Anda di halaman 1dari 13

DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 40, No. 2 December 2013, 99-112 DOI: 10.9744/dimensi.40.1.

99-112
ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online)

FUNGSI PEDESTRIAN JALAN TUNJUNGAN DARI SIRKULASI KE


REKREASI: STUDI KASUS BERDASARKAN KESEJARAHAN

1
OSWAN, Devina Benlin and 2ARIFIN, Liliany Sigit
1
Alumni Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Kristen Petra
Email: wind_reine@yahoo.co.id
2
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalanekrto 121-131, Surabaya 60236
Email: lili@petra.ac.id

ABSTRAK

Jalan Tunjungan sebagai salah satu pusat Kota Surabaya memiliki sebuah nilai historis dimana dahulu kawasan ini
begitu hidup, tetapi seiring berjalannya waktu mengalami degradasi. Dari sekian banyaknya elemen-elemen pembentuk jalan
ini, pedestrian-lah yang memegang peranan penting dan membutuhkan perhatian khusus. Melalui evaluasi ini akan
dilakukan suatu peninjauan ulang terhadap Jalan Tunjungan abad 20 dan 21 berkenaan dengan hal-hal yang berdampak pada
pedestrian seperti kendaraan bermotor, peneduh di pedestrian itu sendiri, aktivitas yang terjadi, jembatan penyebrangan,
fasilitas-fasilitas pendukung, dan kriminalitas. Kesimpulan akhir menunjukkan bahwa akar masalahnya adalah penambahan
kendaraan bermotor, serta ruang pedestrian yang tidak memadai.

Kata kunci: Jalan Tunjungan, pedestrian, kesejarahan, budaya.

ABSTRACT

Tunjungan street as one of Surabaya’s downtown street has a historical value where this street used to be lively, but
suffers degradation as time passes. Pedestrian, among other many elements, holds the most important role and claims extra
attention. This evaluation will cover an observation of Tunjungan strret in 20th and 21st century concerning pedestrian-
impacting elements such as automobiles, canopies in the pedestrian, the activities, overpass, supporting facilities, and crime.
Conclusion shows that the root problem is the increase of automobiles and the insufficient spaces (narrow) for pedestrian.

Keywords: Tunjungan street, pedestrian, history, culture.

PENDAHULUAN Gemblongan, Jalan Toendjoengan, dan jalan Guve-


rnur Suryo (Simpangweg) hingga pangkal jalan
Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan Pemuda di depan sahid Hotel.”[2] Jalan Tunjungan,
yang dahulu dikenal dengan nama Jalan Toen-
‘Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan’ djoengan, memiliki sejarah panjang yang dapat ditarik
adalah sebuah lagu yang mengajak arek-arek hingga abad 19.
Suroboyo untuk menikmati Jalan Tunjungan di pusat Kawasan Jalan Tunjungan tak pernah lekang
kota yang dikenal terutama oleh focal point-nya yang oleh waktu, bahkan sampai akhir abad 20. Daerah ini
sangat bersejarah, Mandarin Oriental Hotel Maja- telah menjadi pusat rekreasi yang dilengkapi berbagai
pahit. Salah satu goresan pena sejarah yang paling Department Store seperti Siola di pertigaan Jalan
membekas adalah menara bendera di Hotel Majapahit Genteng Kali dan Jalan Tunjungan, berlanjut ke arah
yang dulu disebut Oranje Hotel atau Hotel Yamato selatan jejeran toko antara lain Department Store
(zaman Jepang), dimana “Insiden perobekan bendera Aurora, Sari Agung, Gading Murni, Bakso Tanjung
Merah-Putih-Biru terjadi, tepatnya pada tanggal 19 Anom, dan Toko Kwang. Generasi terdahulu me-
September 1945 pukul 10.30 pagi. Dari perobekan nikmati rekreasi „mlaku-mlaku nang Tunjungan‟
oleh pejuang-pejuang Surabaya maka berkibar-lah bahkan mulai dari Jalan Basuki Rahmat (terdapat
bendera Merah-Putih.”[1] Pada masa penjajahan Toko Nam, Tunjungan Plaza, dan fasilitas ice-skating
Belanda, “kawasan elit di sepanjang jalan arteri mulai „Go Skate‟), berlanjut ke Jalan Praban (sepanjang
dari jalan Aloon-aloonstraat (Jl. Pahlawan), Jalan jalan yang berjualan sepatu-sepatu bermerk), dan

1 2
Soenarjo, hal. 107. Ibid., hal. 75.

99
Oswan et al.

sampai ke Jalan Tunjungan. Dari Jalan Tunjungan, bersama generasi muda di Starbucks, seperti tradisi
pengunjung dapat menyebrang kembali ke Jalan metropolitan zaman ini. Dimanakah lagi bisa disedia-
Basuki Rahmat. kan tempat berdiskusi sambil menikmati keramaian
Namun rekreasi semacam ini sudah tidak dapat kota selain beberapa meter lebar pedestrian yang
lagi dinikmati di Jalan Tunjungan. Agaknya para- memisahkan bangunan dari jalan raya? Diungkapkan
digma masyarakat sudah bergeser dari Surabaya kota Untermann, “salah sau bagian yang paling me-
sejarah, menjadi Surabaya kota metropolitan. Jalan nyenangkan [di pedestrian] adalah adegan yang terus
Tunjungan yang dahulu adalah pusat rekreasi, kini berganti dimana para penciptanya adalah pejalan-
tidak lebih dari sebuah jalan raya arteri yang dilalui pejalan kaki tersebut”{4]. Bahkan Rudofsky memberi-
mobil-mobil dari arah Jalan Genteng Kali, Jalan kan pernyataan yang lebih keras lagi, “Jika seseorang
Praban, dan Jalan Gemblogan, yang ingin menuju ke mengamati dunia literatur dalam theater, ia pada
Jalan Pemuda. Apa yang ditawarkan bagi para pen- akhirnya akan menemukan dengan jelas bentuk
datang maupun warga Surabaya sendiri adalah mall- peranannya yang seperti jalan.”[5]
mall bertingkat, seperti apa yang diutarakan Diane Permasalahannya adalah, selain kehidupan
Dodd, “mempertahankan keuntungan maksimal metropolitan, individualisme juga telah menggerogoti
dengan atraksi-atraksi ala kadarnya, menawarkan para mentalitas warga Surabaya. Kemunculan kendaraan
pengunjung gairah yang murahan.”[3] Dengan ter- bermotor dimotivasi dan sekaligus memberi warna
sedianya berbagai mall, kawasan ini ditinggalkan. kepada individualisme. “Dalam 40 tahun terakhir ini.”
Bahkan, boleh jadi daerah yang dulu disebut Kota Menurut Untermann, “sejak kendaraan bermotor telah
Atas Bovenstaad pada zaman Belanda, yang meng- menjadi trend domininan dalam transportasi, peren-
implikasikan keelitan kawasan ini, kini telah mati. canaan kini difokuskan kepada kenyamanan kendara-
Apa yang tersisa dari Bovenstaad itu hanyalah sebuah an bermotor dan pengendaranya.”[6] Akibatnya,
mall dengan empat bagian bernama Tunjungan Plaza. sebuah laporan mancanegara mengabarkan bahwa
Pada zaman dulu, kata „Tunjungan‟ akan ditangkap “Pedestrian tetap merupakan satu-satunya hambatan
sebagai sebuah “jalan”, tetapi kini nama itu ditangkap terbesar lalu lintas.”[7] Tak heran Untermann
sebagai sebuah “plaza”. kemudian menarik kesimpulan bahwa, “Kenyamanan
Jika dahulu arek-arek Suroboyo „mlaku-mlaku dan keamanan pedestrian telah diabaikan di banyak
nang Tunjungan‟, jalan-jalan ke Tunjungan, maka daerah.”[8]
pertanyaannya sekarang bukanlah bagaimana arek- Begitu juga Pedestrian di Jalan Tunjungan me-
arek Suroboyo zaman sekarang dapat „mlaku-mlaku rupakan faktor signifikan keberhasilannya menarik
nang Tunjungan‟ lagi seperti masa lampau. Sebab, arek-arek Suroboyo, bukan hanya generasi abad 20
meskipun seseorang harus belajar dari sejarah, namun saja tetapi juga abad 21. Tujuan studi ini akan
ia hendaknya tidak membawa masyarakat kepada menggali potensi pedestrian ditinjau dari kacamata
masa lalu, tetapi harus tetap maju ke depan. Studi ini kesejarahan dan diharapkan akan dapat membawa
akan secara singkat membahas mengenai Jalan Jalan Tunjungan kepada sebuah masa depan yang
Tunjungan ditinjau dari perspektif kesejarahan. lebih baik. Bukan masa depan yang selamanya hidup
Elemen yang akan difokuskan adalah pedestrian atau dalam angan-angan masa lalu dan nostalgia, karena
area pejalan kaki, sebab di daerah yang sebenarnya jalan ini bukanlah sebuah museum. Tetapi masa
lebarnya tidak lebih dari 30% lebar jalan raya inilah, depan yang membangkitkan kembali „mlaku-mlaku
pengunjung dapat sepenuhnya menikmati Jalan nang Tunjungan‟ tetapi dengan semangat abad 21
Tunjungan, bukan sekedar beberapa detik sekilas sebagai pusat rekreasi warga Surabaya beserta turis-
pandang dari jendela mobil. Dari sini diajukan turisnya.
pertanyaan: Tunjungan yang sekarang ini harus
dibawa „mlaku’, berjalan kemana? Secara khusus, apa Streets for the People
kelemahan pedestrian Jalan Tunjungan yang harus
diperbaiki agar sesuai bagi arek-arek Suroboyo abad Sebuah korelasi atau benang merah antara
21? perancangan sebuah pedestrian dan kesejarahan dapat
Kisho Kurokawa, seorang arsitek Jepang, gemar ditemukan melalui sebuah kata kunci yaitu kebudaya-
mengobrol dan makan bersama generasi muda untuk
berdiskusi sambil berjalan dan menikmati keramaian
4
kota. Kurokawa tidak menghabiskan waktunya Untermann, hal. 2
5
Rudofsky, hal. 132
6
Untermann, hal. 1
7
Rudofsky, hal. 106
3 8
Dodd, hal. 178 Untermann, hal.1

100
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

an atau „culture‟, yang terpancar dalam suatu Menurut Untermann, “Pedestrian kini hanya
komunitas. Menurut John Urry, “[Masyarakat] sering nyaman di pulau-pulau kecil pedestrian yang
mencurahkan pikirannya akan nostalgia untuk suatu dikelilingi kendaraan bermotor.” [11] Padahal, “Untuk
tempat. Mereka akan mengungkapkan rasa kehilang- pengendara kendaraan bermotor, jalan raya hanyalah
an akan suatu „rumah‟ karena perubahan sebuah sebuah perantara, namun untuk pejalan kaki, jalan itu
budaya ekonomi maupun sosial”[9]. Pedestrian me- adalah suatu pengalaman tersendiri.” [12] Di dalam
rupakan tempat dimana masyarakat atau komunitas buku yang sama, ia menawarkan kriteria desain yang
pejalan kaki berkumpul dan melakukan sesuatu yang memicu pelayakan dan pemakaian pedestrian bagi
merupakan ciri khas kebudayaannya, yang mana pasti pejalan kaki: Safety, Covenience, dan Pleasure.
menimbulkan suatu sejarah. Bahkan, pedestrian itu Pertama, Safety atau keamanan dari kendaraan
sendiri adalah sebuah hasil kebudayaan. Hasil ke- bermotor yang berada di jalan raya. Angka kecelaka-
budayaan apapun dapat memberitahukan seseorang an di Surabaya yang tinggi menunjukkan bahwa ini
mengenai sejarah dari masyarakat di daerah tersebut, bukan barang baru.
entah itu sejarah lima menit yang lalu, kemarin, tahun Kedua, Convenience atau kontinuitas serta
lalu, atau berdekade-dekade lalu. Oleh karena itu, kenyamanan dalam berjalan kaki. Kenyamanan
tidak melulu pedestrian harus dilihat melalui kaca- dipengaruhi oleh hambatan yang terdapat di suatu
mata sains ekologi maupun teknologi. jalan, serta berapa jauhnya jarak dapat ditempuh
Dalam Streets for The People, Bernard Rudof- seseorang. Ketiga adalah, Pleasure atau kesenangan,
sky memberikan tiga belas elemen dalam sebuah yaitu seberapa menarik sebuah pedestrian menjadi
„streets for the people‟, jalan untuk manusia. Ketiga pengalaman pejalan kaki. Hal yang paling sederhana
belas elemen ini dijadikan empat belas bab dalam misalnya dari objek yang dapat dilihat di jalan
bukunya dengan judul yang dapat menggelitik rasa tersebut. Sebuah jalan dengan yang dilalui dengan
kecepatan 3MPH (pejalanan kaki) dan 40 MPH
humor pembacanya. Keempat belas bab itu antara
(kendaraan bermotor) tentu memiliki kualitas
lain ialah: “Streets for pigs, Testimonials, The
pleasure yang berbeda. Pengendara bermotor tidak
canopied street (serta lanjutannya, The canopied
memperhatikan detail dan cukup dengan desain yang
street, continued), Peripatetics, The street where the
serba minimalis. Pejalan kaki membutuhkan sesuatu
action is, What‟s in a name, In praise of stairs, Bridges
untuk menghilangkan kebosanan kala berjalan. Jalan
and elevated streets, Mazes, Diamant street and
Tunjungan yang memiliki nilai historis tinggi, serta
crystal pavements, Fountainblues, The care and fokus studi yang adalah kesejarahan akan menekan-
feeding of the pedestrian, crime does pay”. Dalam kan pada aspek pleasure ini.
paper ini, penulis memilih enam elemen dalam teori The canopied street: “Aspek sosial dari sebuah
Rudofsky yang sesuai dengan keadaan Jalan portico adalah sama pentingnya dengan aspek
Tunjungan, serta berhubungan dengan kesejarahan. klimatisnya.”[13] Demikian menurut Rudofsky.
Enam elemen itu antara lain: Rudofsky sendiri bahkan membagi dua istilah antara
Streets for pigs: “Penjajahan jalan oleh portico dengan arcade. Namun, apapun istilahnya,
kendaraan bermotor pada masa kini dipraraelkan tetap tidak mengurangi kepentingan sebuah peneduh-
dengan penjajahan jalan oleh binatang pada masa an pada pedestrian. Pedestrian yang baik hendaknya
lampau. Dengan usaha putus asa untuk membawa dilengkapi peneduhan, bukan hanya untuk alasan
mereka keluar dari jalan, para hakim menetapkan sains dan iklim saja, tetapi juga menyangkut masalah
suatu jasa tow-away (menggandengkan dan mem- sosial.
bawa pergi).”[10] Rudofsky mungkin mengungkap- Semua orang tentu mengerti bahwa setiap
kannya dengan rasa antagonis terhadap perkembang- negara secara unik memiliki peneduhan yang sesuai
an kendaraan bermotor. Namun, perbandingan dengan iklim masing-masing. Namun, jarang diper-
Rudofsky di satu sisi menyebabkan bahwa masa ini hatikan bahwa bentuk sebuah peneduhan juga
berarti lebih bodoh ketimbang masa lalu. Setidaknya, merupakan hasil sejarah dan budaya. Oleh karena itu,
zaman dahulu orang masih berpikir untuk me- dilihat dari kacamata kesejarahan dan kebudayaan,
nyingkirkan binatang-binatang ini. Di masa ini, justru sebuah peneduhan hendaknya memicu terjadinya
pengendara kendaraan bermotor yang adalah sebuah interaksi sosial ditinjau dari dua dimensi:
mayoritas-lah yang ingin mengusir pejalan kaki. vertikal dan horisontal.

11
Untermann, hal. 1
9 12
Urry, hal. 172 Ibid., hal. 15
10 13
Rudofsky, hal. 45 Rudofsky, hal. 74

101
Oswan et al.

Dari segi dimensi vertikal, Rudofsky mengungkapkan The street where the action is: Bernard
“Ada banyak beranda dan piazzas (plaza) di dalam Tschumi, dalam Manhattan Transcrip, menyatakan
kota, yang nyaman untuk melindungi orang dari bahwa keberanekaragaman definisi arsitektur – ruang
hujan, tetapi membuat jalan menjadi sempit dan (space), aksi (action), dan pergerakan (movement) –
gelap.”[14] Kelemahan desain sebuah peneduhan, baik menghasilkan arsitektur tersebut sebuah event, sebuah
berupa portico, arcade, beranda, dan sebagainya, tempat penuh kejutan, sebuah tempat penemuan diri
adalah kecenderungannya untuk memberikan kesan sendiri.[16] Tak dapat dipungkiri bahwa pedestrian
menekan manakala langit-langitnya terlalu rendah yang merupakan sebuah karya arsitektur tak lepas dari
dan tidak skalatis dengan manusia yang lewat di konsep ini. Sebuah pedestrian di zaman sekarang ini
bawahnya. hanya dian*ggap sebagai pergerakan (movement)
Dari segi dimensi horisontal, suatu peneduhan saja, dimana orang berpindah dari satu tempat ke
akan membentuk bayang-bayang di bawahnya, tempat yang lain. Di poin sebelumnya telah dibahas
dimana bayang-bayang ini sendiri menciptakan sebuah pedestrian, lengkap dengan peneduhannya,
sebuah ruang dalam dimensi horisontal. Harus akan menciptakan sebuah ruang (space) yang harus
disadari bahwa dalam sebuah pedestrian, ada lebih dapat menampung bukan hanya manusia tetapi juga
dari satu orang yang melaluinya dimana orang-orang personal space masing-masing. „The street where the
ini memiliki personal space sendiri-sendiri. Menurut action is‟ menambahkan sebuah elemen lagi di dalam
Hall, “setiap orang dilingkupi oleh empat ruang pedestrian, yakni sebuah aksi (action) yang terjadi di
„gelembung‟ yang tak kasat mata: intim, personal, dalamnya.
sosial, dan publik (Gambar 1). Inilah yang akhirnya dapat menciptakan sebuah
Jarak intim adalah jarak ketika berpelukan, jalan sebagai tempat yang dapat dinikmati oleh Kisho
bersentukan, atau berbisik. Jarak pribadi adalah jarak Kurokawa sebagai sebuah „keramaian kota‟. Duduk
interaksi dengan kawan akrab atau keluarga. Jarak di sebuah pedestrian sambil melihat orang berlalu-
sosial adalah jarak interaksi dengan rekan atau lalang dan beraktivitas tidak hanya memicu interaksi
kenalan, sementara jarak publik adalah interaksi lain sosial yang telah membeku di zaman serba
seperti public-speaking.”[15] Tergantung fungsi spe- individualis ini, tetapi juga sangat menyenangkan.
sifik sebuah pedestrian, jarak-jarak ini tidak boleh Menurut Rudofsky, “sebelum aksi dan emosi manu-
lebih besar daripada luasan ruang yang terbentuk di sia dipamerkan di panggung dengan dibayar, jalan itu
bawah peneduhan. Sebuah peneduhan harus memiliki sendiri telah merupakan sebuah teater besar berskala
cukup ruang untuk menampung semua orang, berikut dunia.”[17]
dengan personal space yang mereka bawa masing- Bridges and elevated streets: Jembatan penye-
masing. berangan untuk pejalan kaki sebenarnya bukanlah hal
baru di masa kini. Menurut Rudofsky “pada waktu
ketika menunggang kuda merupakan jalan tercepat
untuk sampai ke suatu tempat, Leonardo [Da Vinci]
memberikan pemikiran tentang transportasi yang
cepat di masa depan. Untuk membuat sebuah lalu
lintas kota efisien dan menyenangkan untuk semua, ia
merencanakan sistem ganda pada jalan–jalan arteri
dengan ketinggian tanah untuk kendaraan jenis
apapun, dan jalan yang dinaikkan untuk pedestrian”
[18]

Namun, Untermann tidak memandang baik ide


ini. Menurutnya, “penggunaan yang berlebihan pada
jembatan penyebrangan dapat menyebabkan pejalan
kaki mening-galkan jalan di bawah, dan menurutnkan
kualitas jalan. Jalan tersebut akan menjadi makin
berbahaya dan tidak menyenangkan bagi mereka
Gambar 1. Personal Ruang

16
“Bernard Tschumi-Six Concepts: Excerpt from Architecture and
Disjunction”
14 17
Ibid., hal. 79 Rudofsky, hal. 123
15 18
Fridman, hal. 10 Ibid., hal. 188

102
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

yang terpaksa harus berjalan di sana.”[19] Selain itu, Crime does pay: Salah satu kriminalitas yang
dari segi kenyamanan, “dibutuhkan sembilan kali paling terlihat adalah vandalisme. Vandalisme me-
lebih banyak energi untuk mendaki dan melalui rupakan kriminalitas yang lebih jahat dibandingkan
jembatan penyebrangan dibandingkan menyebrang pencurian. Seorang pencuri tahu nilai sebuah barang
dengan ketinggian yang sama.”[20] dan mengharaginya, oleh sebab itu ia mengambilnya
Untuk itu, “sebuah jembatan yang menghubung- dari orang lain karena ingin memilikinya. Tetapi
kan dua bangunan utama, dimana pejalan kaki vandalisme adalah pengerusakan sebuah properti
mendaki sebagai bagian dari rute normalnya (seperti yang dimiliki orang lain. Ini berarti pelakunya bahkan
ramp) atau elevasi natural yang mengizinkan peng- tidak menghargai nilai dari suatu barang. Hal yang
guna untuk mencapainya tanpa perlu menggunakan sama terjadi juga di dalam pedestrian. Menurut
Rudofsky, “Vandalisme selalu menjadi pengeluaran
tangga, akan memberikan keuntungan bagi pejalan
tenaga terbesar dari negara, bukan hanya karena
kaki.”[21]
masalah memecahkan jendela dan merusak fasad
The care and feeding of the pedestrian:
bangunan, tetapi juga untuk kerusakan berskala besar
Menurut Rudofsky, “sebuah cafee yang otentik akan yang pada akhirnya harus membawa kepada pem-
menjadi bagian dari sebuah jalan, trotoar atau bukan. baharuan kota secara keseluruhan.”[25]
[...] Ia merepresentasikan versi statis dari sebuah Masalah keamanan di pedestrian memang
perjalanan–dapat dikatakan sebuah 'stasiun' pejalan masalah yang pelik. Untuk membuat suatu kawasan
kaki.”[22] Sebuah cafe, atau minimal vendor kecil- yang nyaman dan aman dilalui pejalan kaki, terlebih
kecilan, akan memberikan fasilitas kepada para dahulu harus dipastikan agar pedestrian tersebut bebas
pejalanan kaki yang mungkin kehausan atau lapar di dari kriminalitas dan pihak-pihak yang tidak ber-
tengah perjalanan. Bahkan semisalkan tidak lapar atau tanggung jawab. Namun, Untermann justru mengata-
tidak haus pun, tempat-tempat ini akan memicu kan bahwa pejalan kaki-lah yang dapat sadar pada
terjadinya kegiatan ekonomi yang membuat sebuah kehadiran orang-orang luar dan mendeteksi keanehan
pedestrian makin hidup. Di beberapa daerah Eropa, seperti vandalisme, perampokan, dan penjabalan.[26]
misalnya di Roma, sebuah jalan yang minim trotoar, Ini merupakan suatu problem sirkuler sebab agar
tiang listrik, apalagi kendaraan dijadikan tempat yang sebuah jalan dapat dilalui orang, jalan tersebut harus
sempurna untuk makan malam outdoor pada musim aman. Tetapi keamanan suatu jalan tergantung dari
panas. Pencahayaannya tidak melulu dari lilin, tetapi apakah orang tertarik untuk melaluinya atau tidak.
juga bulan purnama di musim panas serta lentera-
lentera yang digantung di atas jalan. METODOLOGI
Perlu digaris bawahi bahwa „the care and
feeding of the pedestrian‟ tidak berbicara tentang Studi ini merupakan penelitian kualitatif yang
tempat makan saja. Bahasa yang digunakan Rudof- memakai metode eksploratif. Langkah-langkah
sky, „stasiun‟ pejalan kaki, juga mengindikasikan penelitian dimulai dengan merekam kondisi eksisting
pada pagi, siang, dan malam hari, serta dilengkapi
kebutuhan lain yang dibutuhkan seorang pejalan kaki
dengan studi literatur, internet, dan wawancara
selain makan. Kebutuhan itu adalah beristirahat.
dengan generasi terdahulu khususnya untuk pe-
Menurut Untermann, “Pejalan kaki yang membawa
ngumpulan informasi mengenai Jalan Tunjungan
barang belanjaan atau mengasuh anak lebih peka abad 20. Dari keadaan tersebut dilakukan analisa
terhadap waktu dan jarak dan tidak akan mau berjalan dengan SWOT (strength, weakness, opportunity,
lebih dari 1000 kaki.”[23] Oleh karena itu, ada baiknya thread) untuk mencari keunggulan dan kelemahan
disediakan tempat-tempat perhentian seperti “penye- serta potensi yang dapat dikembangkan atau
diaan troley belanja, locker, atau check-in point untuk dihindari. Langkah selanjutnya dengan kerangka teori
menyimpan barang belanjaan dan suatu jasa pe- yang dibahas dalam tinjauan pustaka, maka diberikan
ngiriman rendah biaya yang memungkinkan shopping sebuah pemikiran dari kacamata kesejarahan
yang lama tanpa dibebani barang belanjaan.”[24] (Gambar 2).

19
Untermann, hal. 37
20
Ibid.
21
Ibid., hal. 38
22
Rudofsky, hal. 308
23 25
Untermann, hal. 24 Rudofsky, hal. 331
24 26
Ibid., hal. 68 Untermann, hal. 3

103
Oswan et al.

(A)

(B)
Gambar 2. Kerangka Berpikir

KONDISI EKSISTING

Area yang dijadikan bahan studi adalah Jalan


Tunjungan yang terletak di pusat kota Surabaya
(Gambar 3A), mulai dari perempatan dengan Jalan
Genteng Kali, Jalan Praban, dan Jalan Gemblongan,
dan berakhir di selatan di Hotel Majapahit (Gambar
3B). Jalan raya dilalui kendaraan satu arah dari arah
utara, mengakibatkan bottle-neck effect akibat
bermuaranya tiga jalan ke satu jalan Tunjungan. (C)
Pedestrian berada di kedua sisi jalan dengan lebar
rata-rata 3 meter (Gambar 3C). Gambar 3. Kondisi Obyek Penelitian A, B, & C

JALAN TUNJUNGAN: Jika diteliti, ini disebabkan karena pada masa


JALAN UNTUK MANUSIA lampau volume kendaraan relatif lebih sedikit. Begitu
sedikitnya jumlah kendaraan bermotor, sampai-
Hasil penelitian akan dipaparkan berdasarkan sampai becak dan sepeda pun dapat berjalan
keenam elemen jalan untuk manusia menurut berdampingan dengan mobil di jalan raya. Tidak ada
Rudfosky. suatu upaya untuk memisahkan antara kendaraan
bermotor, sepeda, dan pejalan kaki. Salah satu hal
1. Street for Pigs yang lain adalah ketiadaan sepeda motor di Jalan
Pada tahun 1900an, Jalan Tunjungan memiliki Tunjungan masa lampau.
pedestrian yang relatif lebih sempit dengan jalan raya Selain masalah volume kendaraan bermotor,
dibandingkan sekarang. Tidak hanya itu, lebar yang juga perlu mendapat perhatian adalah kecepatan
pedestrian pun tidak lebih lebar daripada sekarang. kendaraan yang melalui Jalan Tunjungan. Kecepatan
Namun, justru tahun-tahun inilah masa kejayaannya maksimal mobil klasik adalah sekitar 60 kilometer per
Jalan Tunjungan. Kini, tidak peduli seberapapun jam. Kini, kecepatan mobil maksimalmencapai 200
pedestrian dilebarkan, tetap tidak banyak pejalanan kilometer per jam, tentu akan sangat membahayakan
kaki yang jewat di jalan yang sudah disediakan. keselamatan pejalan kaki.

104
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

Volume dan kecepatan kendaraan yang berbeda Ketiga, pleasure. Menurut Untermann, “Arsitek
di abad 20 dan abad 21 pada Jalan Tunjungan tentu telah merespon terhadap kendaraan bermotor dengan
akan sangat mempengaru-hi ketiga poin yang disebut- menyederhana-kan bangunan dan lingkungan. Toko-
kan Untermann: Safety, Convenience, dan Pleasure. toko telah menjadi lebih panjang tanpa dekorasi atau
Dari segi safety, seperti yang dituliskan dalam jendela, dengan tanda yang helas dan besar agar jelas
„Remaking Minnie Street‟, “mengurangi volume dan terlihat dari jalan raya. Display jendela dan pohon
kecepatan kendaraan adalah kunci dalam meningkat- hilang. Jalan yang telah direstruktur ini disederhana-
kan keselamatan pedestrian untuk segala usia.”[27] kan berdasarkan kecepatan mobil, yang mana merugi-
Kedua, convenience atau kenyamanan. Di kan mereka yang berjalan kaki.”[29] Ini dikarenakan,
“Tiga puluh mil per jam telah menggantikan tiga mil
sepanjang sisi pedestrian Jalan Tunjungan, baik sisi
per jam sebagai kecepatan baru dimana arsitek dan
timur maupun barat, padat diparkiri kendaraan insinyur mengevaluasi bangunan mereka.”[30]
(Gambar 4), khususnya sepeda motor yang tidak Di Jalan Tunjungan sendiri, pada abad 20an
hanya sembarang parkir di daerah pedestrian, tetapi masih dipenuhi dengan bangunan-bangunan style
bahkan melewati pedestrian (Gambar 5). Pada kolonial Belanda. Style ini bisa berupa art deco, art
pedestrian di sisi barat, mobil ikut parkir di area nouvo, dan sebagainya, mengikuti kaidah-kaidah
pejalan kaki. Di sisi sebelah timur, terdapat tempat estetika arsitektur modernisme seperti komposisi
parkir sepeda motor di dalam gedung dan parkiran repetisi, irama, hierarki, dan sebagainya dalam
mobil untuk pusat perbelanjaan TC dan TEC yang perancangannya. Ditambah lagi, dengan minimnya
berada di basement. Menurut Untermann, hal-hal kendaraan bermotor, dan jika adapun kecepatannya
semacam ini “harus dilarang pada jalanan umum. [...] sangat rendah, maka spanduk-spanduk dan billboard
Drive-in menciptakan bahaya ketika kendaraan berukuran besar sangat tidak diperlukan. Jalan
masuk keluar, mengganggu kontinuitas jalan, dan Tunjungan abad 20, jika dibandingkan dengan
secara visual mengurangi keindahan daerah pejalan sekarang, terasa sangat lapang dan lega (Gambar 6).
kaki.”[28] Maka, nampak sangat jelas sekali bahwa ini Kini, dengan banyaknya billboard, khususnya
sangat merusak pedestrian di Jalan Tunjungan. billboard yang menutupi keindahan bangunan style
kuno Rabo Bank, menyebabkan suatu degradasi
keindahan Jalan Tunjungan bagi para pejalan kaki.
Volume dan kecepatan mobil perlu diperhatikan
secara khusus. Namun, tidak perlu mengambil
langkah yang terlalu ekstrem seperti penutupan Jalan
Tunjungan sepenuhnya yang dulu sempat pernah
akan dilakukan.[31] Langkah yang terbaik untuk saat
ini adalah pengurangan volume kendaraan dan
kecepatan yang diizinkan, misalnya dengan pelebaran
pedestrian. Pada saat yang sama, kualitas visual Jalan
Tunjungan juga harus diperhatikan dengan cara
menyingkirkan billboard-billboard dan display toko-
Gambar 4. Kondisi Pedestrian Jalan Tunjungan Sekarang toko yang lebih atraktif.

Gambar 5. Pedestrian menjadi Jalan Raya Gambar 6. Kondisi Jalan Tunjungan Abad 20

29
Ibid., hal. 16
27 30
Day, hal. 315 Ibid.
28 31
Untermann, hal. 12 Silas, hal. 84-91

105
Oswan et al.

Gambar 7. Kondisi Papan Reklame Sepanjang Jalan Gambar 9. Bangunan Siola (Tujungan Center) Sekarang
Tunjungan Abad 21

2. The Canopied Street

Keadaan peneduh-peneduh di pedestrian Jalan


Tunjungan boleh dikatakan memperihatinkan, kalau
bukan sangat menyedihkan. Secara estetika, sekilas
pandang saja terlihat bahwa peneduh-peneduh yang
berbentuk arcade ini tidak dirawat dengan baik dan
menjadi objek vandalisme tangan-tangan yang tidak
bertanggung jawab. Selain itu, ukuran kolom-kolom
sangat besar (Gambar 8 & 9). Di arcade Tunjungan
Center (TC), kolom-kolomnya kurang lebih berukur-
an 100 x 80 cm. Kolom-kolom ini dapat dipakai
penjambret bersembunyi, yang pada akhirnya me- Gambar 10. Skala Pilar Arcade Siola dg Manusia:
nimbulkan rasa tidak aman. : Ketinggian langit-langit arcade
Jika dilihat dari segi vertikalnya, tentu dapat : Skala manusia
terlihat sebuah perbedaan mencolok. Misalnya, di
bangunan TC yang dulu bernama Siola, dan pada Arcade yang tiggi tidak hanya baik untuk iklim
penjajahan Belanda dinamakan Engelsche Waren- tropis Surabaya saja, tetapi pada saat yang sama
huis. arcade-arcade yang tinggi dapat mengurangi kesan
Semakin lama, dimensi vertikal arcade ini sempit dan tertekan. Pada siang hari, arcade-arcade
mengalami pengurangan. Engelsche Warenhuis yang terlalu rendah akan memberikan kesan suram
memiliki arcade yang sangat tinggi, menurut per- dan menghalangi cahaya matahari ke pedestrian,
kiraan dari foto mungkin hampir empat kali tinggi apalagi masuk ke dalam bangunan.
manusia (Gambar 10). Sementara untuk dimensi horisontal, Edward T.
White telah memberikan sebuah diagram mengenai
detail radius personal space yang diperolehnya
melalui survey pada orang-orang Amerika. Masalah-
nya, menurut Hall sendiri terdapat dua tipe budaya,
contact culture dan noncontact culture. Indonesia,
yang berada di Asia Tenggara termasuk noncontact
culture, yang sedikit bersentuhan, memposisikan diri
jauh satu dengan yang lain, berhadapan dengan tidak
langsung, dan mempertahan-kan tatapan mata lebih
sebentar daripada negara-negara contact culture.[32]

Gambar 8. Bangunan Siola Tempo Dulu 32


Griffin, hal. 64

106
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

Jelas sekali bahwa diagram ini sebenarnya


kurang memadai untuk kondisi di Indonesia, tepatnya
Surabaya. Warga Surabaya tentu memiliki personal
space yang radiusnya lebih besar daripada diagram
White yang ia temukan berdasarkan surverynya
dengan orang-orang Amerika. Namun untuk suatu
angka minimal, digunakan diagram ini.
Ketika berjalan dengan seorang teman atau
keluarga, jarak yang digunakan adalah personal
space, yaitu sekitar 46 sampai 122 cm.
Sementara dengan orang yang tidak dikenal
menggunakan social space, jaraknya bertambah yaitu
Gambar 11. Canopy Arcade Tunjunan Tempo Dulu
sekitar 1,2 sampai 2,4 meter. Ukuran pedestrian rata-
ratanya tidak sampai tiga meter. Ini berarti, pejalan
kaki dalam satu kelompok teman atau keluarga hanya Pada akhirnya, perlu diperhatikan apakah luasan
bisa berjejer tiga sampai empat orang. Dan jika tidak pedestrian yang „dipagari‟ dengan kolom ini perlu
saling mengenal, kemungkinan besar hanya bisa dua diperluas atau tidak, apakah arcade-arcadenya perlu
orang saja. Jika berpapasan dari arah berlawan dan penambahan dimensi baik horisontal maupun
tidak saling mengenal, maka terpaksa orang harus vertikal. Kedua, secara kreatif perlu dipikirkan suatu
berjalan beriringan. Tentu saja ini sangat tidak solusi untuk memanfaatkan kolom-kolom ini untuk
memadai untuk sebuah pedestrian. membangkitkan suatu „budaya‟ masyarakat.
Dibandingkan dengan keadaan Jalan Tunjungan
pada abad 20, sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh. 3. The Street Where the Action Is
Malah, pada tahun 1930an sampai 1950an, bangunan-
bangunan hampir tidak memiliki arcade, melainkan Jika diperhatikan pada masa kini, tidak ada
hanya tenda-tenda kanopi kecil (Gambar 11). orang yang memiliki waktu untuk duduk-duduk
Bagaimana, dengan tanpa arcade melainkan sambil memandangi orang berlalu-lalang, apalagi di
hanya peneduhan berupa tenda kanopi kecil ini, sebuah pedestrian yang kenyamanannya patut
memungkinkan penampungan para pejalan kaki dipertanyakan seperti Jalan Tunjungan. Karena itu,
dengan seluruh personal space nya masing-masing? fungsi Jalan Tunjungan hanya sebagai sirkulasi saja,
Ada dua alasan. Pertama, perlu dingat bahwa kanopi- sebuah movement yang memungkinkan pejalan kaki
kanopi berbentuk tenda ini, meski berukuran kecil, untuk secepatnya meninggal-kan pedestrian tersebut
tetapi tidak dilengkapi kolom-kolom besar yang dan mencapai tujuan tanpa suatu pengalaman yang
sifatnya membatasi ruang yang terbentuk di berkesan. Inilah yang pada akhirnya menimbulkan
dalamnya. Ketiadaan kolom ini mengizinkan ruang kejemuan. Makin menjemukan sebuah pedestrian,
tak terbatas, yang juga didukung dengan minimnya makin besar tendensi jalan tersebut untuk dipakai
kendaraan bermotor di Jalan Tunjungan, menyebab- sebagai movement saja. Dan pada saat yang sama,
kan kesan yang sangat lega bagi penajalan kaki. semakin sering sebuah jalan dipakai untuk movement
Alasan kedua adalah, tidak selamanya Indonesia saja, semakin menjemukan pedestrian tersebut.
dapat dikategorikan sebagai negara yang noncontact Problematika sirkuler dan rumit seperti inilah yang
culture. Pada abad 20, sebelum wabah-wabah sulit dipecahkan.
individualisme menyerang Asia Tenggara, Indonesia Jalan Tunjungan pada abad 20an memenuhi
adalah negara yang masyarakatnya relatif lebih ramah semua kriteria place yang didalamnya terdapat event,
dan lebih mudah bersosialisasi daripada negara- yaitu tidak hanya space dan movement saja, tetapi
negara Asia Tenggara lain seperti misalnya Singapura juga action. Ada space yang sangat memadai untuk
atau Malaysia. Sebagai buktinya, di Indonesia orang- menampung pejalan kaki beserta personal space
orang dapat duduk berdesak-desakkan di bemo dan mereka masing-masing, yang pada masa itu masih
percakapan mudah terjadi dengan supirnya, bahkan tidak seluas sekarang. Space ini memungkinkan
orang yang tidak dikenal sekalipun. Dibandingkan sebuah movement, yaitu sebuah pergerakan yang
negara lain, misalnya Tiongkok dan Singapura, bebas dan lega. Apalagi, waktu itu kendaraan
meskipun bis dan kendaraan umum di sana sangat bermotor tidak sembarangan diparkir dan lewat di
penuh, jarang sekali terjadi percakapan antara satu atas trotoar seenaknya. Dan yang terutama, terdapat
orang dengan orang yang lain. Pembayaran angkutan sebuah action, sebuah aksi atau kegiatan. Sepanjang
umum bahkan terjadi tanpa kontak mata. Ini berarti, jalan dipenuhi dengan toko-toko atau department
warga Surabaya abad 20 membutuhkan personal store dan warung-warung yang memicu adanya
space yang tidak seluas abad 21 ini. kegiatan ekonomi di daerah tersebut.

107
Oswan et al.

Pedestrian Jalan Tunjungan mengalami degradasi dari 4. Bridges and Elevated Streets
baik space, movement, dan khususnya action. Dari
segi space telah dibahas sebelumnya, bahwa bentukan Jika jembatan layang di Jalan Tunjungan
dan dimensi arcade-arcade yang sekarang sudah langsung dinilai berdasarkan pemikiran Untermann
tidak memenuhi lagi. Dari segi movement, diabai- bahwa overpass sangat tidak mendukung suatu
kannya faktor safety, convenience, dan pleasure, pedestrian, maka boleh dikatakan bahwa jembatan
seperti yang telah dibahas di dua point sebelumnya, layang ini harus disingkirkan, seperti keadaan Jalan
meminimumkan movement pejalan kaki. Action, Tunjungan pada zaman pra-kemerdekaan.
elemen yang ketiga dan mungkin yang terpenting Jembatan layang ini, dari segi kesejarahan,
karena mengubah pedestrian menjadi bukan instru- memiliki nilai yang sangat tinggi. Pembangunan
ment sirkulasi biasa, juga mengalami penurunan yang jembatan dua tingkat yang kemudian difungsikan
signifikan dibandingkan abad 20 lalu. Suatu interaksi sebagai toko yang menyatukan antara Siola dan
sosial maupun kegiatan ekonomi akan sangat jarang department store di seberangnya, Aurora, merupakan
atau bahkan tidak mungkin terjadi di Jalan hal baru dan membanggakan bagi Surabaya. Pejalan
Tunjungan. kaki yang menyeberang dapat sekaligus menikmati
Secara luas, Jalan Tunjungan yang harus juga toko-toko di dalamnya dan bahkan membeli barang di
dimanfaatkan sebagai action ini hendaknya dapat sana. Bisa dibayangkan betapa menyenangkan,
membangkitkan budaya melalui event-eventnya. Pada khususnya bagi anak-anak, untuk menyeberang
abad 20an, Jalan Tunjungan dilalui banyak marching dengan jembatan layang ini, kemudian melihat-lihat
band pada saat Carnaval. Lebih jauh lagi, jalan ini orang-orang berjualan di dalamnya dan memandang
juga dilalui barisan marinir yang menuju ke Jalan ke bawah ke arah jalan raya lewat jendela-jendelanya.
Simpang. Event menarik lainnya pada adalah Parade Jembatan itu kini telah mati. Bukan hanya mati
Juang yang memparodikan perjuangan arek-arek karena tidak ada orang yang mau melaluinya, tetapi
Suro-boyo di Hotel Majapahit melawan Belanda. juga karena jembatan tersebut ditutup. Padahal,
Kini, Walikota Surabaya Ibu Tri Risma telah jembatan tersebut memegang peranan penting.
membangkitkan event ini melalui Parade Bunga, Menurut hasil wawancara dengan generasi sebelum-
Surabaya Urban Culture Festival, dan Car-free day. nya, dahulu pernah ada kecelakaan yang menewaskan
Suara Surabaya juga mengadakan event seperti satu keluarga yang nekat menyeberang tanpa
Remong Masal. Pelaksanaan event seperti inilah yang menggunakan jembatan. Akibatnya, deparment store
membangkitkan Jalan Tunjungan ke kejayaannya Aurora yang berada di ujung akhir jembatan menjadi
yang semula (Gambar 13). sangat sepi, mengingat warga Surabaya sangat
Hendaknya event seperti ini diadakan secara percaya takhayul dan nasib buruk.
berkala dan berkelanjutan. Sebagai contoh, pada hari- Salah satu alasan matinya toko-toko di dalam
hari raya misalnya pada saat Idul Fitri diadakan jembatan adalah karena pemasangan billboard besar.
Parade Bedug ketika Takbiran, atau Parade Barongsai Pemasangan ini sebenarnya merupakan suatu ke-
(yang telah mengalami akulturasi antara budaya banggaan juga dimana billboard ini digunakan untuk
Tionghoa dan Jawa) pada saat Tahun Baru China. menayangkan film-film. Tetapi, kurangnya perhatian
terhadap aktivitas di dalam jembatan tersebut
akhirnya mematikan jembatan itu sendiri. Cahaya
matahari tidak dapat masuk ke dalam jembatan itu
dan mengakibatkan suasana yang suram, tertutup, dan
terhimpit. Akhirnya, orang akan merasa tidak nyaman
dan takut melewatinya. Inilah yang menyebabkan
matinya jembatan tersebut.
Gambar 12. Event Tempo Dulu di Jalan Tunjungan
5. The Care and Feeding of The Pedestrian

Hanya ada dua restoran di Jalan Tunjungan.


Pertama, Restoran Oikos yang menjual makanan-
makanan Italia, lengkap dengan kursi-kursi di luar
(outdoor). Kedua, restoran di dalam toko pusat oleh-
oleh „Wisata Rasa‟. Yang kedua ini pun letaknya
sangat jauh di dalam, terpisah dari pedestrian oleh
Gambar 13. Event di Jalan Tunjungan Sekarang lapangan parkir yang luas dan tidak mengizinkan

108
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

adanya kontak dengan pedestrian. Tempat-tempat Intinya, pedestrian Jalan Tunjungan disediakan
berjual-an makanan yang lain lebih berupa tenda atau untuk pejalan kaki. Maka, tidak cukup jika para
vendor-vendor yang kurang terawat dan malah pejalan kaki hanya diberi sebuah jalan tempat mereka
memberi kesan kumuh. Pujasera di TC dan TEC dapat berlalu lalang untuk mencapai tujuan, tetapi
tidak dapat dimasukkan dalam kategori ini, karena juga harus difasilitasi sedemikian hingga pejalan kaki
letaknya yang sudah begitu jauh dan tidak terjangkau dapat terpenuhi segala kebutuhannya.
oleh pejalan kaki. Di TEC, misalnya, pujasera berada
di lantai basement. Untuk sebuah kawasan sepanjang 6. Crime Does Pay
kurang lebih satu kilometer, perlu dipertimbangkan
lagi apakah dua restoran ini, Oikos dan Wisata Rasa, Masalah kriminalitas yang akan disorot dalam
sudah memadai untuk pejalan kaki. studi ini adalah vandalisme, fenomena yang sudah
Namun, banyak restoran saja tidak cukup. tidak asing bagi warga Surabaya. Setiap ada tempat
Restoran yang banyak tetapi tidak dapat mendorong yang sudah tidak terpakai, pasti akan ada orang-orang
kegiatan ekonomi tidak akan bisa dinikmati. Misalnya tidak bertanggung jawab yang merusaknya. Setiap
di TC, yang menjadi penarik perhatian adalah kali ada sebuah benda, properti, atau fasilitas umum
gambar-gambar makanan yang ditempel di jendela yang tidak ada yang merasa memilikinya, berarti
pujasera. Pejalan kaki akan mudah jemu hanya benda tersebut siap untuk menjadi korban vanda-
melihat gambar-gambar saja, tetapi tidak dapat lisme. Di Jalan Tunjungan, bangunan-bangunan yang
melihat bagaimana koki-koki dengan handal me- sudah tidak terpakai dikotori dinding-dindingnya
masak, atau melihat bagaimana pengunjung menyan- dengan grafiti (Gambar 14).
tap masakannya dengan lahap sehingga tidak tertarik
membeli. Dibandingkan dengan gambar-gambar
mati, tentunya action dari koki maupun konsumen
yang diperlihatkan pasti akan memancing keingin-
tahuan pejalan kaki untuk mencoba, yang pada
berujung pada kegiatan ekonomi. Dan kegiatan
ekonomi ini sendiri dapat mencegah terjadinya
kriminalitas.
Gambar 14. Grafiti pada Dinding dan Kolom Bangunan
Selain berhubungan dengan tempat makan, Sepanjang Arcade Pedestrian Jalan Tujungan
keberadaan vendor-vendor atau penjaja keliling yang
menjual minuman maupun makanan ringan sangat Untuk poin yang terakhir ini, sebenarnya tidak
diperlukan. Perlu diingat agar vendor-vendor ini ada suatu penyelesaian atau pemikiran yang dapat
tampil cantik dan atraktif, tidak kumuh seperti menyelesaikan kriminaliatas dari segi arsitektur dalam
sekarang. Ketiadaan check-in juga memberikan suatu pedestrian.
ketidaknyaman-an lain bagi pengunjung yang mem- Sebaliknya, sekali lagi mengutip perkataan
bawa banyak barang bawaan. Sering pengunjung Untermann, bahwa pejalan kaki-lah yang dapat sadar
harus bolak-balik ke kendaraan mereka untuk pada kehadiran orang-orang luar dan mendeteksi
memasukkan barang jika tidak mau menentengnya keanehan seperti vandalisme, perampokan, dan
selama berjalan. Harus diakui bahwa pedestrian Jalan penjabalan. Semisalkan kelima elemen di atas sudah
Tunjungan sangat tidak ramah dengan pejalan kaki di mendapatkan sebuah improvisasi sehingga pedestrian
dalamnya karena kurangnya fasilitas umum seperti Jalan Tunjungan dapat dipenuhi dengan pejalan kaki
street furniture seperti kursi taman untuk pejalan kaki yang merasa memiliki jalan ini, maka masalah
yang lelah karena perjalan panjang, tong sampah, pot- kriminalitas dengan sendirinya akan teratasi.
pot tananam yang dapat difungsikan untuk duduk- Rangkuman seluruh hasil data penelitian analisa dan
duduk, dan pepohonan sebagai peneduh. pendapat dapat di lihat di Tabel 1.

109
Oswan et al.

Tabel 1. Hasil Analisa Pedestrian Jalan Tunjungan

KESIMPULAN  Penambahan jembatan penyebrangan pada per-


tigaan jalan Genteng Besar yang menyambung
Jalan Tunjungan telah mengalami degradasi dengan bangunan.
dibanding abad sebelumnya. Degradasi ini didorong  Penambahan dan perbaikan vendor pada pedes-
oleh penambahan kendaraan ber-motor serta tidak trian di kedua sisi.
memadainya pedestrian untuk pejalan kaki. Hal ini
mempengaruhi faktor-faktor seperti estetika, sosial,
ekono-mi, dan kriminalitas sehingga jadilah Jalan
Tunjungan yang tidak lagi bisa dipakai „mlaku-mlaku
nang Tunjungan‟ di abad 21.
Untuk itu, usulan yang diberikan dalam rangka
mengembalikan 'mlaku-mlaku nang Tunjungan' demi
menjadikan Tunjungan sebagai tempat rekreasi yang
memiliki nilau kultural dan historis, beberapa hal
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
 Perlebaran pedestrian dengan mengambil jalur
parkir mobil guna memberikan kenyamanan lebih
pada pejalan kaki dan membatasi jumlah ken-
daraan bermotor yang masuk ke Jalan Tunjungan.
 Penanaman pohon dan penambahan kursi taman
untuk mengembalikan nilai kultural dan sosial
bagi warga Surabaya.
 Pencopotan billboard pada jembatan penyebrang-
an guna menghidupkan lagi.
 Pemanjangan pulau jalan pada pertigaan jalan
Genteng Besar untuk memperlambat laju mobil
dari arah Jalan Tunjungan.

110
Fungsi Pedestrian Jalan Tunjungan dari Sirkulasi ke Rekreasi

 Pemanfaatan kolom-kolom raksasa di daerah and Pedestrian Safety.” Journal of Planning


Tunjungan Center untuk tempat sosialisasi, Education and Research, 3, 315. 26 Okt 2013
misalnya dengan tempat duduk-duduk bermain <http://jpe.sagepub.com/cgi/content/abstract/ 26/
catur atau permainan tertentu yang kaya budaya. 3/315>
 Penggunaan lahan kosong di belakang area ruko Dodd, Dianne (2004). “Barcelona: The Making of a
sebagai parkiran baru mobil. Cultural City.” The City Cultures Reader: 177-
 Pemanfaatan bangunan kosong sebagai restoran, 182.
toko, dan check-in point. Fridman, Natalie, Avishy Zilka, dan Gal A. Kaminka
 Pengadaan event-event seperti Car-free day dan (2011). “The Impact of Cultural Differences on
Crowd Dynamics in Pedestrian and Evacuation
Surabaya Urban Culture Festival secara lebih
Domains.” 26 Okt 2013. <http://u.cs.biu.ac.il/
berkala di Jalan Tunjungan. Bisa juga ditambah
~galk/ Publications/Papers/culture11tech.pdf>
dengan parade hari-hari raya lainnya.
Griffin, Em. “A First Look at Communication
 Jalan Tunjungan digunakan sebagai rute marching Theory.” A First Look. McGraw-Hill. 13
band, atau kegiatan-kegiatan karnaval lainnya. November 2013 <http://www.afirstlook.com/
docs/proxemic.pdf>
Untuk kedepannya, perlu diadakan suatu pene- Rudofsky, Bernard. (1982). Streets for People. New
litian lebih lanjut dengan skala yang lebih luas, York: Van Nostrand Reinhold Company Inc.
misalnya mengkaji cangkupan yang lebih luas mulai Silas, Johan (1984). "Penutupan Jalan Tujungan
dari sepanjang Jalan Pahlawan, Jalan Gemblongan, Butuh Pandangan Optimis." Surabaya Post 21
Jalan Tunjungan, dan jalan Guberur Suryo hingga November.
pangkal Jalan Pemuda di depan Hotel Sahid. Soenarjo, H., & Aminuddin Kasdi (2006). Mana
Soerabaya Koe. Surabaya: Pustaka Eureka.
DAFTAR PUSTAKA Untermann, Richard K. (1984). Accomodating the
Pedestrian. New York: Van Nostrand Reinhold
Adorno, Theodore W. (2004). “Culture Industry Company Inc.
Reconsidered.” The City Cultures Reader: 163- Urry, John. (2004). “Reinterpreting Local Culture.”
168. The City Cultures Reader: 169-176
Day, Kristen, et al. (2007). “Remaking Minnie Street: ________. "Menutup Jalan Tunjungan, Mendatang-
The Impacts of Urban Revitalization on Crime kan Bajaj?" Surabaya Post 7 November 1994.

111

Anda mungkin juga menyukai