Anda di halaman 1dari 2

Pelesiran Tumenggungan : Jalan sebagai Ruang Perjumpaan

Seorang pakar gamelan dari Inggris, Peter Smith, pernah bercerita mengenai kebiasaan orang Inggris
pedalaman yang mirip dengan kebiasaan masyarakat pedesaan Jawa. Perjalanan berbelanja di pasar
yang cukup dekat seringkali ditempuh dalam waktu yang relatif lama. Bukan karena kondisi jalan yang
rusak namun karena banyaknya selingan tegur sapa bahkan obrolan dengan sahabat kerabat yang
ditemui di sepanjang jalan.

Masyarakat Jawa tradisional yang relatif rendah mobilitasnya memandang jalan tak semata-mata dalam
konteks transportasi. Kata ratan (jalan .jw) berarti area yang diratakan. Munculnya area yang diratakan
tak semata-mata untuk memudahkan perpindahan namun juga menjadi sarana untuk bertandang,
untuk berjumpa. Maka di kawasan pedesaan, berkendara dengan kecepatan tinggi adalah hal yang tidak
dianjurkan. Tak hanya karena aspek keselamatan, namun juga karena hilangnya kesempatan bertukar
senyum dan angguk kepala dengan orang yang berpapasan.

Seiring dengan perkembangan jaman serta laju pertumbuhan ekonomi dan industri, pelan-pelan orang
melupakan makna sosial yang diemban jalan. Ukuran kualitas jalan semata-mata diukur dari kondisi dan
ukuran jalan. Semakin cepat jalan dilalui, semakin banyak barang bisa diangkut dalam waktu singkat,
semakin tinggi nilai sebuah jalan.

Segala potensi yang ‘memperlambat’ dipandang sebagai hambatan. Atas nama efisiensi dan percepatan
perekonomian, dibangunlah jalan-jalan yang steril dari semua hambatan. Muncullah jalan-jalan panjang
dan lebar yang mulus dan dapat dilalui kendaraan berbagai ukuran dengan kecepatan tinggi. Setelah
berkembang di Amerika dan Eropa, jalan tol tanpa hambatan pun masuk Indonesia; dimulai dari Tol
Jagorawi di tahun 1978.

Pengembangan jalan – jalan yang begitu masif seringkali mengorbankan wilayah-wilayah yang tak lagi
menjadi menjadi tempat ampiran untuk berhenti sejenak. Film animasi Cars dengan bagus menceritakan
sebuah kota kecil bernama Radiator Spring yang mati karena tak pernah disambangi orang. Ini gegara
muculnya jalan tol yang ‘mematikan’ rute mampir ke sana. Sebuah efek yang sebenarnya juga dirasakan
oleh Kebumen seiring dengan beroperasinya jejaring jalan tol di kawasan Jawa Utara.

Dalam pengembangan tata kota, sebagian masyarakat dan pemerintah daerah juga terpasung oleh
konsep ‘modern’ ini. Pembangunan jalan dan penataan rute disusun dengan mengedepankan efisiensi
dan daya tampung perindahan manusia dan barang.

Jalan Kota Wajah Kota

Sejak beberapa waktu lalu pemerintah Kabupaten Kebumen intens menata salah satu ruas jalan utama
kota, tepatnya Jalan Sukarno Hatta. Kawasan Tugu Walet ke arah Timur hingga Tugu Adipura di sudut
alun-alun dirombak total.

Semula ini adalah jalan dua jalur, terpisah oleh pembatas jalan yang di beberapa tempat berfungsi
sebagai taman kecil. Pedestrian hampir tak berfungsi karena banyak dimanfaatkan sebagai lapak
pedagang kaki lima atau bahkan perluasan ruang pajang toko. Yang menyedihkan, sepanjang jalan
banyak dijumpai toko-toko yang pintunya selalu tertutup. Pemiliknya para pedagang yang sudah
menyerah karena semakin sedikit pelintas yang mau mampir.
Pemerintah kemudian melakukan berbagai perubahan yang cukup mendasar hingga mengundang pro
kontra sengit. Pembatas jalur dibongkar bersamaan dengan diberlakukannya sistem satu arah. Teriakan
protes dan keberatan mengiringi tahap ini namun pemerintah tetap bertahan pada rencananya.

Bersamaan dengan semakin terbiasanya masyarakat dengan pola lalulintas baru, pembenahan berlanjut
dengan penataan drainase, pelebaran wilayah pejalan kaki (pedestrian) serta pembangunan lampu
penerangan yang artistik.

Kabarnya pembenahan ini masih akan berlanjut dengan mengajak para pemilik toko untuk membenahi
(setidaknya) tampilan depan toko mereka agar semakin melengkapi indahnya panorama jalan. Rasanya
akan semakin cantik jika tebaran baliho-baliho promosi yang semakin sesak juga dibenahi.

Intinya, wajah jalan utama yang dipermak habis-habisan diharapkan juga akan menjadi salah satu
cerminan wajah kota yang indah, tertata dan layak dinikmati siapa saja.

Pelesiran Tumenggungan bukan Malioboro van Kebumen

Mereka yang lahir di era 60 hingga 80an pasti masih ingat bagaimana senangnya ketika diajak untuk
pesiar ke kota. Menyusuri jalan utama kota, melirik berbagai barang di etalase toko dengan harapan
akan berbelok ke toko mainan. Atau kadang duduk terkantuk ketika orangtua asyik ngobrol dengan
sahabat yang ditemui di persimpangan jalan.

Ruas jalan Sukarno Hatta yang telah tertata akan menjadi perwakilan jalan yang tumbuh kembali fungsi
sosial dan budayanya. Masyarakat bisa mendapatkan destinasi wisata keluarga yang hemat, sehat
namun tetap kaya manfaat. Tumbuhnya arus pelintas lambat (karena berjalan kaki bukan bermotor adu
cepat) juga diharapkan mampu membuka kembali pintu-pintu toko yang lama tutup.

“Tak usah ke Jogja untuk merasakan Malioboro, cukup ke Kebumen saja!”, kata seorang teman penuh
semangat. Ini sah-sah saja karena ndilalah beberapa ornamen dan desain memang mengingatkan pada
jalan legendaris itu. Namun melakukan branding dengan mengekor hal populer sesungguhnya tak elok
karena justru menunjukkan inferioritas, ketidakyakinan atas milik kita.

Kebumen sebagai simpul perjumpaan masyarakat kisik (pantai) dengan para petani perbukitan Serayu
Selatan sesungguhnya sudah memiliki karakter dan kekayaan sendiri. Memunculkan istilah-istilah lokal
akan terasa lebih mengakar dan tetap memiliki kekuatan branding yang kuat. Pelesiran Tumenggungan
atau istilah lain rasanya layak dipikirkan. Membuat event-event branding yang gaungnya cukup kencang
keluar juga wajib dilakukan. Pemerintah, komunitas dan lembaga terkait wajib duduk bersama untuk
mengoptimalkan ruang baru ini.

Di Kawasan Pelesiran Tumenggungan kita disadarkan : jalan adalah ruang perjumpaan.

***

Sigit Tri Prabowo, penulis dan peminat budaya

Anda mungkin juga menyukai