Anda di halaman 1dari 6

Metodelogi Penelitian Kriminologi

A. Tujuan dan Bentuk-Bentuk Penelitian Residivisme


Residivisme merupakan suatu keadaan yang menunjukkan tingkat atau pola pengulangan
kejahatan, baik kejahatan yang sama maupun berbeda di masyarakat. Residivisme ini dapat
muncul apabila ancaman hukuman tidak mampu menghasilkan efek jera kepada pelaku
kejahatan. Sehingga pelaku kembali melakukan tindak kejahatan setelah selesai menjalani masa
hukuman.
Penelitian residivisme bertujuan untuk mengukur kembalinya bekas terpidana ke dalam proses
penghukuman. Secara tidak langsung, hasil penelitian ini juga berkaitan dengan penelitian
evaluasi keberhasilan program pembinaan terpidana penjara di lembaga pemasyarakatan.
Keberhasilan pembinaan ditentukan dengan adanya tenggat waktu yang pada umumnya berkisar
2 tahun.
Apabila seorang mantan pidana kembali menjalani penghukuman dalam kurun waktu kurang
dari atau sama dengan 2 tahun, maka ia disebut residivis. Sebaliknya, jika seorang mantan
pidana kembali masuk penjara lewat dari 2 tahun maka ia disebut non residivis. Klasifikasi
residivisme kemudian terbagi menjadi tiga, yakni residivis habitual, kadang-kadang residivis dan
bukan residivis. Oleh Glaseer (1964) ia menambahkan istilah “bersih” dan “pinggiran” untuk
residivis dan non residivis.
Model yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian residivis adalah feedback process
model (proses umpan balik). Model ini melihat residivisme sebagai pola umpan balik
kembalinya seorang mantan tahanan penjara ke dalam proses penghukuman atau penahanan.
Salah satu penelitian dengan model ini adalah penelitian residivis Belkin, Blumstein, Glass
(1975). Mereka melakukan penelitian residivisme dengan menggunakan model feedback process
dalam Sistem Peradilan Pidana. Dalam penelitian ini mereka memasukan asupan (input) seara
terus menerus dari orang yang pertama kali mendapat sanksi pidana (virgin arrest), dengan
orang-orang yang telah kembali masuk penjara setelah keluar dari sana (residivist).
Adapun penelitian residivis lainnya dilakukan oleh Don Weatherburn, Gary Froyland, Steve
Moffat, dan Simon Corben (2009), menggunakan model feedback process untuk mengukur
dampak pengurangan residivisme terhadap anggaran penyelenggaraan penjara. Griswold (1978)
melakukan penelitian ini dengan menggunakan tiga model pengukuran, yakni pengakuan diri,
data FBI dan data Divisi Koreksi (Pemasyarakatan).
Penelitian Soothil (1983), penelitian residivisme tentang ada tidaknya pengaruh residivisme
terhadap suatu program pembinaan. Penelitian Soothil ini merupakan follow up terhadap
narapidana penjara di dua penjara di London pada tahun 1966-1969 sebanyak 450 laki-laki
terpidana, terhadap minat mereka untuk mengikuti program persiapan pencarian pekerjaan.
B. Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Residivisme
Dalam pengukuran residivisme, menurut Payne (2007) dalam Jasni et al. (2017), pengkaji harus
memerhatikan tiga aspek utama, yaitu sampel yang digunakan, penunjuk peristiwa dan periode
susulan.

Gambar 1 Model Pengukuran Residivisme (Payne, 2007)


Sampel yang dimaksud pada penelitian pengukuran residivisme adalah kumpulan residivis, yaitu
orang-orang yang megulangi kejahatan, baik kejahatan yang sama maupun kejahatan yang
berbeda dalam kurun waktu tertentu. Namun, kemungkinan masalah yang akan dihadapi adalah
ketidakseragaman periode susulan tiap residivis dan kurangnya responden. Penunjuk peristiwa
adalah jumlah atau jenis peristiwa yang dipantau dalam tempo tertentu yang menunjukkan
pengulangan kejahatan. Pengukuran residivisme biasanya diukur dari waktu pembebasan dan
waktu pengulangan kejahatan. Waktu pembebasan dapat mengacu pada pembebasan dari penjara,
pembebasan sebagai tahanan rumah dan lain-lain. Pemilihan penunjuk peristiwa bergantung pada
penelitian yang dilakukan. Sedangkan, periode susulan adalah periode urutan penunjuk peristiwa
yang diukur untuk memperkirakan kadar pengulangan kejahatan (Jasni et al. 2017).
Menurut Hoffman dan Stome-Meiehoefer (1980), pengukuran residivisme diartikan sebagai
proporsi kelompok tertentu (narapidana yang baru saja dibebaskan dari penjara) yang
dikategorikan sebagai kategori negative (melakukan kejahatan kembali) dalam periode waktu
tertentu (misal tiga tahun setelah pembebasan dari penjara). Berdasarkan landasan ini, beberapa
peneliti mengacu pada beberapa rumusan utama yaitu:
Jumlah terpidana penjara yang dibebaskan dalam
periode waktu (X) dengan hasil yang tidak
memuaskan (Y) dalam (Z) jumlah bulan sejak
(1)
pembebasan
Jumlah terpidana penjara yang dibebaskan dari
penjara pada periode waktu (X)

Jumlah terpidana penjara yang ada di dalam penjara


dalam waktu (X) dengan hasil sebelumnya tidak
memuaskan (Y) (2)
Jumlah terpidana penjara di dalam penjara dalam
waktu (X)

Jumlah keputusan pembebasan bersyarat dan


pembebasan demi huku dalam periode waktu (X)
(2)
Jumlah orang yang menerima keputusan pembebasan
bersyarat
Griswold (1978) dalam Mustofa, 2013, dalam penelitiannya tentang residivisme menggunakan
tiga model pengukuran, yaitu pengakuan diri, data FBI, dan data Divisi Koreksi
(Pemasyarakatan). Penemuan penelitian menunjukkan bahwa semua pengukuran residivisme
mempunyai kesetaraan validitas dan reliabilitas dan penggunaan pengukuran yang berbeda
sehingga dapat menghasilkan temuan yang berbeda.
C. Penelitian Penggentarjeraan
Penggenterjeraaan adalah suatu keadaan ideal yang diakibatkan oleh sistem hukum dan
penghukuman untuk membuat orang tidak melakukan kejahatan.
Tujuan penelitian penggenterjeraan adalah untuk mengetahui apakah suatu sanksi hukuman atas
dilanggarnya suatu larangan akan dipatuhi atau tidak oleh masyarakat. Selain itu, juga untuk
mengukur apakah pelaksanaan hukuman akan membuat orang yang pernah melakukan
pelanggaran hukum tidak akan mengulangi kejahatan nya.
Penelitian atau pengukuran penggenterjeraan di terapkan pada level masyarakat.
D. Metode Penelitian Penggentarjeraan
Penelitian penggenterjeraan melakukan metode eksperimen. Yang di eksperimen apakah hukum
yang berlaku membuat masyarakat gentar melakukan kejahatan atau mungkin ada banyak faktor
lain selain itu.
Seperti contoh, pengaruh dari perubahan perundangan dan penegakan hukum terhadap tingkat
kriminalitas dengan membandingkan keadaan sebelum dan sesudah perubahan.
Metode lain dengan membandingkan dua kurun waktu yang berbeda, membandingkan dua atau
lebih wilayah yang berbeda dalam hukum, penegakan hukum, dan penghukuman, melihat
pengaruhnya terdahap tingkat kriminalitas.
Kritik terhadap metode eksperimental diberikan oleh Zimring dan Hawkins, namun mereka
memberikan isngiht lain mengenai penelitian tentang penggentarjeraan yaitu dengan metode
perbandingan dengan melakukan pengendalian dan pencoocokan (metode kuasi eksperimental)
Metode retrospektif juga bisa digunakan, metode ini adalah metode penelitian dengan
membandingkan tingkat kejahatan sebelum dan sesudah diterbitkan suatu kebijakan
penghukuman.
Metode lainnya adalah induced retrospektive, memungkinkan membujuk pihak eksekutif untuk
menerapkan kebijakan pengkuhukam baru sehingga peneliti dapat merencanakan penelitian
perbandingan dampak penghukuman langsung.
Masalah utama dari seluruh metode itu adalah keadaan gentar jera dari ancaman penghukuman
tidak dapat diukur secara langsung.
E. Validitas dan Reliabilitas Penggentarjeraan (Deterrence)
Mengenai pengukuran penggentarjeraan, sebenarnya masih menjadi perdebatan serta
perselisihan karena hal tersebut tergantung dari masing-masing persepsi individu, serta adanya
perbedaan tempat di mana hal itu dilakukan. A specific penalty may be quite efficacious as a
deterrent measure in one society, yet have little effectiveness in another (Ball, hal. 349). Pada
daerah tertentu bisa dikatakan berhasil dalam menimbulkan penggentarjeraan, namun belum
tentu berhasil apabila diterapkan pada wilayah lain. Sehingga, untuk menentukan ketepatannya
masih belum sepenuhnya dapat dipastikan. Berdasarkan penelitian empiris oleh Piquero,
Paternoster, Pogarsky, dan Loughran (dalam Mustofa, 2013:128) faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi penghukuman dan program penjeraan pada narapidana tergantung pada tingkat
keterikatan sosialnya, moralitasnya, tingkat pengurangan penghukuman, impulsivitas, posisinya
dalam jaringan sosial, kompetensi dalam mengambil keputusan, dan perbedaan-perbedaan
situasional (emosi, penggunaan narkotika/alkhohol).
Penggentarjeraan dengan penghukuman tidak sepenuhnya dapat menimbulkan efek jera, baik
general deterrence maupun specific deterrence. Seperti misalnya, penghukuman penahanan
(penjara), siksaan, maupun hukuman mati. Penghukuman biasanya tergantung dari tingkat
keseriusan kejahatan yang dilakukan, sehingga semakin lama narapidana berada di dalam
tahanan maka menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang berat.
Namun, pada kenyataannya, jangka waktu lamanya penghukuman tidak sepenuhnya memberi
efek jera, atau bahkan penjara bisa menjadi tempat belajar untuk melakukan kriminalitas di masa
depan. Sehingga, tidak mengherankan jika ada orang yang tidak terpengaruh oleh penghukuman.
Oleh karena itu, terdapat masalah residivisme dalam penerapan hukum (Netler dalam Mustofa,
2013: 138).
Menurut National Institute of Justice (2016), dengan mengirim pelaku kriminal ke dalam penjara
bukanlah cara yang efektif untuk Penggentarjeraan kriminalitas dan menambah hukuman hanya
sedikit berfungsi untuk penggentaran. Hal ini menunjukkan bahwa Penggentarjeraan tidak dapat
hanya dengan penghukuman serta penahanan. Penahanan penjara hanya membatasi ruang gerak
pelaku kriminal dan tidak sepenuhnya menimbulkan efek jera. Selain itu juga tidak menimbulkan
ada rasa takut bagi para pelaku kriminal lain untuk melakukan kejahatan.
Selanjutnya, yaitu Penggentarjeraan dengan hukuman mati. Pada beberapa kasus penerapan
hukuman mati memang menimbulkan rasa takut, namun kembali lagi terhadap persepsi masing-
masing individu. Pada prakteknya, penerapan hukuman mati tidaklah sepenuhnya
menghilangkan angka kriminalitas, namun hanya sedikit mengurangi. Bahkan beberapa Negara
sudah tidak menerapkan hukuman mati sebagai bentuk penghukuman terhadap pelanggar berat.
Hal ini menimbulkan kerancuan hukum, sehingga sulit untuk menilai dampak hukuman mati.
Kemudian, jika melihat model-model pengukuran Penggentarjeraan pada beberapa kasus seperti
di atas, hasilnya juga masih belum dapat dipertanggungjawabkan. Hukuman yang berat pun tidak
memberikan dampak penjeraan. Ketika terjadi penurunan angka kejahatan, hal itu lantaran
aktivitas kepolisian yang lebih aktif dalam menangani masalah kejahatan. Penggunaan metode-
metode pengukuran tersebut memang belum menunjukkan adanya konsistensi hubungan antara
hukuman dan ancaman hukuman dengan tingkat kriminalitas. Penggentarjeraan hanya diuji dan
diukur dengan perkiraan, sehingga hasilnya tidak dapat dipastikan.

Anda mungkin juga menyukai