Logika
Disusun Oleh :
Hikmah Khoeirudin alwi
192110047
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena atas berkat limpahan rahmat, karunia-
Nya dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Deontologi”. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan menjelang ajal dan paliatif, makalah ini juga disusun dengan maksud agar teman-teman mahasiswa
dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang Keperawatan menjelang ajal dan paliatif.
Pembahasan makalah ini dilakukan secara lugas dan sederhana sehingga akan mudah dipahami, dalam
pembuatannya kami mendapatkan informasi dari berbagai literature, yang berhubungan dan sesuai dengan apa yang
sudah disarankan demi untuk memperoleh hasil yang optimal walaupun masih banyak kekurangan. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya teman-teman mahasiswa, Terimakasih.
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORITIS
Dalam bagian ini penulis akan membahas pokok bahasan mengenai Hakikat dan Makna Nilai berdasarkan
pengertian tentang nilai menurut para ahli, agar memperoleh persepsi dan pemahaman yang memadai dari
berbagai sumber dan pendapat. Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum pembahasan lebih jauh, diantaranya
adalah; pertama, telah disepakati bahwa nilai itu ada, tapi tidak mudah untuk dipahami, sifatnya abstrak dan
tersembunyi dibelakang fakta. . Kedua, ciri-ciri nilai menurut Bertens dalam (Mulyana, 2004) adalah sebagai berikut:
Pertama, nilai berkaitan dengan subyek.Kedua, nilai tampil dalam suatu konteks praktis, ketika subyek ingin
membuat sesuatu. Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan subyek pada sifat-sifat yang dimilki objek.
1. Pengertian nilai
Nilai secara etimologi merupakan pandangan kata value dalam Bahasa inggis yang berarti moral. Nilai
merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas dan berguna bagi manuasia.istilah ini
dalam filsafat dipakai untuk menunjukan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan yang setara
Dalam Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa aksiologi (teori tentang nilai) ada tiga bentuk :
a. Nilai, yang digunakan sebagai kata abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik,
dan bagus. Dan dalm pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia
seringkali diapakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem
nilai dia. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan
c. Nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Setidaknya ada dua aliran dalam kaian nilai yaitu aliran naturalisme dan nonnaturalisme,
Aliran ini menganggap bahwa nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu setiap keputusan nilai
dapay diuji secara empirik. maka sifat perilaku seperti jujur, adil, dermawan dan lainya atau
kebalikanya merupakan indikator seseorang itu berpeilaku baik atau tidak baik. Selain bentuk
pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan adalah juga merupakan indikator seseorang
itu baik atau tidak baik. Maka dapat kita lihat bahwa keputusan nilai pada naturalisme bersifat
b. Aliran nonnaturalisme
Aliran ini menganggap bahwa nilai tidak sama dengan fakta, artinya fakta terpisah dengan
nilaidan secara absolut (mutlak) tidak terdeteksi satu sama lainya. Berbeda dengan naturalisme,
mengingat bagi nonnaturalistik nilai itu bukan fakta, tetapi bersifat normatif dalam memberitahukan
sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, maka keputusan nilai pada kelompok ini tidak dapat
diketahui melalui uji empirik, akan tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebutnya dengan
intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar
2. Hakikat Nilai
Berdasarkan beberapa pengertian dan penjelasan diatas, dapat dikemukakan kembali bahwa nilai itu
adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Sejalan dengan definisi itu maka yang dimaksud dengan
hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama
dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada
dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis,
Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004: 323) mengatakan bahwa hakekat nilai dapat dijawab
dengan tiga macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman
manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
Ketiga, nilai-nilai merupakan unsure-unsur objektif yang menyusun kenyataan Mengenai makna nilai Kattsoff
mengatakan, bahwa nilai menpunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga
bermacam-macam.Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus
mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah), mempunyai nilai artinya merupakan objek
keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap „menyetujui‟ atau mempunyai
sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi seseuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga
merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga
tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita
untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah
tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya
sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada
segala situasi dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat
dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat
adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau
tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Dengan demikian,
etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu
tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka
peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.
Contoh: Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain, mencelakai orang lain melalui
perbuatan ataupun ucapan, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan.
Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk
bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri
terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai paling pertama dan
menjadi kondisi dari segalanya. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi. Pertama, dalam
kehidupan sehari-hari ketika menghadapi situasi yang dilematis, etika deontologi tidak memadai untuk menjawab
pertanyaan bagaimana saya harus bertindak dalam situasi konkret yang dilematis itu. Ketika ada dua atau lebih
kewajiban yang saling bertentangan, ketika kita harus memilih salah satu sambil melanggar yang lain, etika
deontologi tidak banyak membantu karena hanya mengatakan, bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.
Persoalan kedua, sebagaimana dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut etika deontologi
sesungguhnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan
itu baik atau buruk.para penganut etika deontologi secara diam-diam menutup mata terhadap pentingnya akibat
suatu tindakan supaya bias memperlihatkan pentingnya nilai suatu tindakan moral itu sendiri. Kedua persoalan
tersebut tapi dapat dipecahkan, persoalan pertama dipecahkan oleh W.D Ross dengan mengajukan prinsip prima
facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita menghadapi berbagai macam kewajiban moral bahkan
bersamaan dalam situasi yang sama. Dalam situasi seperti ini kita pertlu menemukan kewajiban yang terbesar
dengan membuat perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu. Untuk itu, Ross memperkenalkan perbedaan
antara kewajiban prima facie dan kewajiban-kewajiban actual. Kewajiban prima facieadalah kewajiban yang selalu
harus dilaksanakan kecuali kalau bertentangan dengan kewajiban lain yang sama atau lebih besar.
Pandangan Adam Smith, mengenai persoalan kedua adalah suatu tindakan dapat dinilai baik atau buruk
berdasarkan motif pelakunya serta berdasarkan akibat atau tujuan dari tindakan itu. Hanya saja dipihak lain, bagi
Adam Smith, motif dan kemauan saja tidak dengan sendirinya menentukan nilai suatu tindakan. Juga motif tidak
dengan sendirinya membebaskan seseorang dari kesalahan moral karena tindakannya. Misalnya, seseorang
tanpa sengaja membuang kulit pisang dipinggir jalan, kemudian kulit pisang itu menyebabkan seseorang yang lain
terjatuh hingga terluka bahkan menemui kematian, jelaslah melakukan suatu tindakan yang salah secara moral,
bukan karena motifnya untuk melukai atau membunuh, melainkan karena tindakannya itu berakibat merugikan
orang lain.
Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum
moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Perintah Bersyarat adalah perintah yang
dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang
diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan
begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah
Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut,
baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu
tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan
adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua
kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the
Fakta – fakta yang harus dipertimbangkan dalam pembedaan teori etika yang bersifat teleologis dengan
deontologis yaitu:
2. Unsur – unsur dari teleologis dan deontologis ddapat ditemukan dalam teori etika tertentu.
3. Terdapat perbedaan interprestasi yang dilakukan filosof terhadap setiap teori etika yang lain.
4. Interprestasi sangat luas sebagian besar etika formalisme dan etika intuisime ke dalam deontologis dan semua
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nilai merupakan gagasan atau konsep yang memiliki kualitas, sehingga menjadikan hal itu
dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, bermuatan motivasi, dalam mencapai tujuan
kehidupannya, sedangkan moral yaitu pandangan tentang baik buruk dan benar salah suatu perilaku
atau perbuatan yang ditampilkan seseorang. Etika yaitu ilmu yang mempelajari cara manusia
memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Deontologi menekankan kewajiban manusia
untuk bertindak secara baik. Jadi, etika Deontologi yaitu tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan
itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya sendiri.
Deantologi dibedakan dari Aksiologi, studi tentang Nilai, pada umumnya, theori tentang
kebaikan dan kejahatan, Kewajiban (sesuatu yang harus dilakukan atau dijalankan), mengungkap
tuntutan tuntutan hukum sosial, termasuk kebutuhan kebutuhan individu-individu dan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam arti lebih sempit, Deantologi adalah Etika profesional para pekerja misalnya
medis dll, Etika inidiarahkan untuk menjamin hasil maksimum dalam pengobatan misalnya dengan
bantuan psikoterapi, dan mentaati etika medis dll.
3.2 Saran
Setelah saya melakukan studi kasus, kami mengalami beberapa hambatan dalam penulisan ini.
Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak penulis mampu menyelesaikan masalah ini dengan tepat pada
waktunya. Demi kemajuan selanjutnya maka menyarankan kepada :
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, Edisi revisi ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004)