Anda di halaman 1dari 16

HAKIKAT NILAI, DEANTOLOGI DAN TELEOLOGI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Logika

Disusun Oleh :
Hikmah Khoeirudin alwi
192110047

PROGRAM STUDI FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MAJALENGKA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena atas berkat limpahan rahmat, karunia-
Nya dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Deontologi”. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan menjelang ajal dan paliatif, makalah ini juga disusun dengan maksud agar teman-teman mahasiswa
dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang Keperawatan menjelang ajal dan paliatif.
Pembahasan makalah ini dilakukan secara lugas dan sederhana sehingga akan mudah dipahami, dalam
pembuatannya kami mendapatkan informasi dari berbagai literature, yang berhubungan dan sesuai dengan apa yang
sudah disarankan demi untuk memperoleh hasil yang optimal walaupun masih banyak kekurangan. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya teman-teman mahasiswa, Terimakasih.

Majalengka, Desember 2019


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam obyek Filsafat Nilai, penilaian kita terbagi menjadi dua. Pertama, penilaian Determinatif. Dalam
artian bahwa, ketika kita mendeskripsikan bahwa cuaca saat dingin misalnya, maka kita sesungguhnya
mendskripsikan apa yang terjadi pada realitas sebagai mana adanya. Artinya dalam hal ini kita sesuaikan
dengan keadaan yang terjadi pada saat itu. Jangan kita mengatakan cuaca sangat dingin padahal saat itu
berlainan dengan hal tersebut. Jadi, ada kesesuaian antara keadaan yang kita rasakan dengan situasi pada
saat itu. Kedua, penilaian Asumtif. Artinya, bahwa kita menilai sesuatu dengan sifat yang tidak ada didalamnya,
namun penilaian kita didasarkan pada yang kita raskan dan kita lihat. Misalnya, jika kita memandang bahwa
keputusan ini penuh dengan kezaliman, maka sesungguhnya kita menilai keputusan itu dari sudut pandang
kita dan dalam perspektif apa yang sesuai dengan kemaslahatan kita. Terkadang apa yang kita anggap itu
sesuatu yang zalim namun bagi orang lain itu adalah sesuatu yang adil karena sesuai dengan sudut pandang
mereka serta membawa manfaat bagi mereka.
Dengan demikian panilaian kita terhadap sesuatu dalam pandangan kita berarti bahwa sesuatu itu
memiliki nilai (Value) tertentu sesuai nilai pentingnya bagi kita. Dengan itu, kita bisa menamakan penilaian-
penilaian asumtif kita dengan hukum-hukum nilai. terlepas dengan hal itu, yang kita akan fokuskan dalam
makalah ini ialah tentang hakikat nilai

1.2 Tujuan Penulisan

1.1.1 Tujuan Umum


Dengan diadakannya masalah dan pembahasan ini semoga mahasiswa Fakultas Hukum dapat memahami
dan menerapkan Hakikat Nilai, Deontologi Dan Teleologi.
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami Hakikat Nilai
2. Mengetahui dan memahami Konsep Etik
3. Mengetahui dan memahami Konsep Deantologi
4. Mengetahui dan memahami contoh dari Etika Deantologi
5. Mengetahui dan memahami Teleologi
6. Mengetahi dan memahami Perbedaan Deantologi Dan Teologi

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Hakikat Nilai?


2. Bagaimana ajaran Etika Deantologi?
3. Apa itu konsep Deantologi?
4. Bagaimana contoh dari Etika Deantologi?
5. Apa yang dimaksud Teleologi?
6. Apa perbedaan Deantologi dengan Teleologi?

1.4 Metode Penulisan


Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku
sumber untuk memperoleh bahan-bahan ilmiah yang berhubungan dengan penulisan makalah, dan mengambil
bahan dari internet. Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
 Bab I. Pendahuluan
 Bab II Tinjauan teoritis
 BAB III Penutup
 Daftar Pustaka
1.5 Manfaat Penulisan
1. Penulis memperoleh suatu gambaran tentang Hakikat Nilai, Deantologi dan Teleologi
2. Penulis memperoleh pengetahuan secara luas
3. Sebagai bahan evaluasi.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Hakikat Nilai

Dalam bagian ini penulis akan membahas pokok bahasan mengenai Hakikat dan Makna Nilai berdasarkan

pengertian tentang nilai menurut para ahli, agar memperoleh persepsi dan pemahaman yang memadai dari

berbagai sumber dan pendapat. Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum pembahasan lebih jauh, diantaranya

adalah; pertama, telah disepakati bahwa nilai itu ada, tapi tidak mudah untuk dipahami, sifatnya abstrak dan

tersembunyi dibelakang fakta. . Kedua, ciri-ciri nilai menurut Bertens dalam (Mulyana, 2004) adalah sebagai berikut:

Pertama, nilai berkaitan dengan subyek.Kedua, nilai tampil dalam suatu konteks praktis, ketika subyek ingin

membuat sesuatu. Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan subyek pada sifat-sifat yang dimilki objek.

1. Pengertian nilai

Nilai secara etimologi merupakan pandangan kata value dalam Bahasa inggis yang berarti moral. Nilai

merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas dan berguna bagi manuasia.istilah ini

dalam filsafat dipakai untuk menunjukan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan yang setara

dengan berarti atau kebaikan.

Dalam Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa aksiologi (teori tentang nilai) ada tiga bentuk :

a. Nilai, yang digunakan sebagai kata abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik,

dan bagus. Dan dalm pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk

kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia

seringkali diapakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem

nilai dia. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan

dengan sesuatu yang dianggap tidak baik.

c. Nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.

Setidaknya ada dua aliran dalam kaian nilai yaitu aliran naturalisme dan nonnaturalisme,

adapun penjelsasanya adalah sebagai berikut :


a. Aliran naturalisme

Aliran ini menganggap bahwa nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu setiap keputusan nilai

dapay diuji secara empirik. maka sifat perilaku seperti jujur, adil, dermawan dan lainya atau

kebalikanya merupakan indikator seseorang itu berpeilaku baik atau tidak baik. Selain bentuk

pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan adalah juga merupakan indikator seseorang

itu baik atau tidak baik. Maka dapat kita lihat bahwa keputusan nilai pada naturalisme bersifat

ungkapan faktual, sehingga dapat diuji secara empirik.

b. Aliran nonnaturalisme

Aliran ini menganggap bahwa nilai tidak sama dengan fakta, artinya fakta terpisah dengan

nilaidan secara absolut (mutlak) tidak terdeteksi satu sama lainya. Berbeda dengan naturalisme,

mengingat bagi nonnaturalistik nilai itu bukan fakta, tetapi bersifat normatif dalam memberitahukan

sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, maka keputusan nilai pada kelompok ini tidak dapat

diketahui melalui uji empirik, akan tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebutnya dengan

intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar

dan salah dalm perilaku, objek seseorang.

2. Hakikat Nilai

Berdasarkan beberapa pengertian dan penjelasan diatas, dapat dikemukakan kembali bahwa nilai itu

adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Sejalan dengan definisi itu maka yang dimaksud dengan

hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama

dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada

dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis,

dan berkembang kearah yang lebih kompleks.

Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004: 323) mengatakan bahwa hakekat nilai dapat dijawab

dengan tiga macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman

manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun

tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.

Ketiga, nilai-nilai merupakan unsure-unsur objektif yang menyusun kenyataan Mengenai makna nilai Kattsoff

mengatakan, bahwa nilai menpunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga
bermacam-macam.Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus

mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah), mempunyai nilai artinya merupakan objek

keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap „menyetujui‟ atau mempunyai

sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi seseuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal

yang menggambarkan nilai tertentu.

2.2 Pengertian Etika Deontologi


Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban dan ‘logos’
berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi
menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Sejalan
dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai
atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontology yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah
kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu
teori etika yang terpenting. Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan
tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun
tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang
dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga
merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga
tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita
untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah
tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya
sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada
segala situasi dan tempat.

Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat
dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat
adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau
tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Dengan demikian,
etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu
tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka
peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.
Contoh: Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain, mencelakai orang lain melalui
perbuatan ataupun ucapan, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan.

Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk
bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri
terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai paling pertama dan
menjadi kondisi dari segalanya. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi. Pertama, dalam
kehidupan sehari-hari ketika menghadapi situasi yang dilematis, etika deontologi tidak memadai untuk menjawab
pertanyaan bagaimana saya harus bertindak dalam situasi konkret yang dilematis itu. Ketika ada dua atau lebih
kewajiban yang saling bertentangan, ketika kita harus memilih salah satu sambil melanggar yang lain, etika
deontologi tidak banyak membantu karena hanya mengatakan, bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.

Persoalan kedua, sebagaimana dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut etika deontologi
sesungguhnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan
itu baik atau buruk.para penganut etika deontologi secara diam-diam menutup mata terhadap pentingnya akibat
suatu tindakan supaya bias memperlihatkan pentingnya nilai suatu tindakan moral itu sendiri. Kedua persoalan
tersebut tapi dapat dipecahkan, persoalan pertama dipecahkan oleh W.D Ross dengan mengajukan prinsip prima
facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita menghadapi berbagai macam kewajiban moral bahkan
bersamaan dalam situasi yang sama. Dalam situasi seperti ini kita pertlu menemukan kewajiban yang terbesar
dengan membuat perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu. Untuk itu, Ross memperkenalkan perbedaan
antara kewajiban prima facie dan kewajiban-kewajiban actual. Kewajiban prima facieadalah kewajiban yang selalu
harus dilaksanakan kecuali kalau bertentangan dengan kewajiban lain yang sama atau lebih besar.

Pandangan Adam Smith, mengenai persoalan kedua adalah suatu tindakan dapat dinilai baik atau buruk
berdasarkan motif pelakunya serta berdasarkan akibat atau tujuan dari tindakan itu. Hanya saja dipihak lain, bagi
Adam Smith, motif dan kemauan saja tidak dengan sendirinya menentukan nilai suatu tindakan. Juga motif tidak
dengan sendirinya membebaskan seseorang dari kesalahan moral karena tindakannya. Misalnya, seseorang
tanpa sengaja membuang kulit pisang dipinggir jalan, kemudian kulit pisang itu menyebabkan seseorang yang lain
terjatuh hingga terluka bahkan menemui kematian, jelaslah melakukan suatu tindakan yang salah secara moral,
bukan karena motifnya untuk melukai atau membunuh, melainkan karena tindakannya itu berakibat merugikan
orang lain.

A. Menurut Teori Kant


Teori etika Immanuel Kant dikategorikan sebagai etika deontologis karena beberapa alasan.
Pertama-tama, Kant menyatakan bahwa seseorang harus bertindak berdasarkan kewajibannya (deon) bila
ingin berbuat sesuatu yang benar secara moral. Kemudian, Kant juga menekankan bahwa suatu tindakan
dianggap benar atau salah bukan berdasarkan dampaknya, tetapi berdasarkan niatan dalam melakukan
tindakan tersebut.
Argumen Kant dibuka dengan pernyataan bahwa kebaikan tertinggi (summum bonum) haruslah baik
per se dan baik tanpa kualifikasi. Sesuatu dianggap "baik per se" bila hal tersebut secara intrisik baik, dan
"baik tanpa kualifikasi" adalah ketika penambahan hal tersebut tidak membuat keadaan menjadi lebih buruk
secara etis. Kant lalu menyatakan bahwa hal-hal yang biasanya dianggap baik, seperti kecerdasan,
ketekunan, dan kesenangan, tidak baik per se atau baik tanpa kualifikasi. Misalnya, kesenangan tampaknya
tidak baik tanpa kualifikasi, karena jika seseorang senang melihat orang lain menderita keadaan tersebut
buruk secara etis. Ia menyimpulkan bahwa hanya ada satu hal yang sungguh baik, yaitu niat baik. Kant lalu
berargumen bahwa dampak dari suatu niatan tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui niat baik
seseorang; dampak positif dapat muncul secara kebetulan dari tindakan yang dimaksudkan untuk melukai
seseorang, dan dampak negatif dapat muncul dari tindakan yang berniat baik. Kant malah mengklaim bahwa
seseorang berniat baik bila ia bertindak berdasarkan penghormatan pada hukum moral. Orang-orang
bertindak berdasarkan penghormatan pada hokum
moral karena mereka memiliki kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Maka, satusatunya hal yang
sungguh baik adalah niat baik, dan niat baik hanya baik bila orang yang memiliki niatan tersebut melakukan
sesuatu karena hal tersebut merupakan kewajiban orang itu, yaitu kewajiban dalam "menghormati" hukum.
Kant juga merumuskan tiga imperatif kategoris:
1. Bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjadi hukum alam
umum
2. Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam pribadi
Anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka
3. Semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin,
satu kerajaan alam

2.3 Konsep Deantologi


Istilah “Deontologi” berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty) atau keharusan. Oleh karena itu
etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut perspektif deontologi,
suatu tindakan itu baik bukanlah dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik menurut dirinya sendiri. Maka tindakan itu bernilai
moral/etis karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Atas dasar pandangan demikian, etika
deontologi sangat menekankan pentingnya motif, kemauan baik, kesadaran dan watak yang kuat dari para pelaku,
terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku para pelaku itu. Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan
tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti
kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang
dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal

Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum

moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Perintah Bersyarat adalah perintah yang

dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang

diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan

begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah

akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.

Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut,

baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu

tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar

akan kewajiban-kewajiban moral.

2.4 Contoh Khasus Deantologi


1. (laki-laki) dengan B(perempuan) telah menikah selama lima tahun. Keduanya belum memiliki anak, dan entah
karena masalah keturunan ataupun yang lain. Dalam perjalanan pernikahan keduanya, diduga si B selingkuh
dengan C(laki-laki). Si A mengetahui perselingkuhan tersebut. Dan ia merasa marah dan gusar, sehingga si A
konsultasi dengn pekerja sosial. Karena sengan membenci si C, A sempat berkata kepada pekerja sosial,
“apabila suatu saat saya bertemu dengan C, saya akan membunuh dia.” Dalam pekerjaan sosial, mejaga
kerahasiaan(confidentiality) dan menghargai keputusan klien(self determination) adalah suatu prinsip etik yang
harus ditegakkan. Oleh karenanya, menurut etika deontologi pekerja sosial wajib menjaga rahasia keluarga
tersebut dan memberika keleluasaan kepada klien untuk berbuat sesuai keputusan klien sendiri(membunuh si
C).
Baik buruk tindakan berdasarkan etika doentologi bukan didasarkan kepada akibat perbuatan tersebut yang
dapat membahayakan nyawa manusia lainnya. Tetapi perbuatan itu sendiri, yakni pekerja sosial menerapkan
prinsip kerahasiaan dan self determination. Dalam pekerjaan sosial, menjaga kerahasiaan dan menghargai
keputusan klien adalah suatu prinsip etik yang harus ditegakkan. Menurut etika deontologi pekerja sosial
menjaga rahasia keluarga tersebut dan memberikan keleluasaan kepada kilen untuk mengambil keputusannya
sendiri. Baik atau buruknya tindakan berdasarkan etika deontologi bukan didasarkan kepada akibat dari
perbuatan tersebut yang dapat menbahayakan nyawa orang lain. Tetapi perbuatan itu sendiri, yakni pekerja
sosial menerapkan prinsip kerahasiaan dan self determination(mengharagai keputusan klien). Jadi, apabila
seseorang melakukan kebaikan tidak didasarkan kepada kewajiban, maka perbuatan tersebut tidak bisa dinilai
baik. Kesedihan membuat akal terpana dan tidak berdaya. Jika anda tertimpa kesedihan, terimalah dia dengan
keteguhan hati dan berdayakanlah akal untuk mencari jalan keluar Socrates Apabila kamu menasihati orang
yang bersalah maka berlemah lembutlah agar dia tidak merasa di telanjangi Thales
2. Baru baru ini telah terjadi kasus penculikan generasi muda yang dilakukan oleh temen Facebook nya, yang
belom sama sekali bertemu, tetapi ada oknum temen facebook nya yg mengajak untuk bertemu kemudian
membawa lari teman facebooknya tersebut,hal tersebut tentu membuat para orang tua resah karena takut
terjadi hal yang sama pada anaknya, para generasi muda menggunakan jejaring sosial dengan niat dengan
motif yang baik yaitu untuk saling bersilaturahmi, saling mengenal dan memperbanyak teman, tetapi oknum
oknum yang lain menyalah gunakan hal ini, banyak oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal
ini untuk melakukan hal yang tidak benar seperti kasus penculikan.
Dari kasus hal ini para Ahli Deantological menilai perbuatan menggunakan facebook ialah baik karena untuk
bersilaturahim dan memperbanyak pertemanan, tetapi bagi para teleologikal tidak baik karena yang dilihat oleh
teleologikal adalah Akibat yang terjadi, akibat menggunakan facebook adalah ada oknum yang
menyalahgunakan sosial media ini untuk penculikan..
2.5 Teleologi
Teleologi adalah Mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.Teleologi merupakan sebuah
studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud,
kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam
arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam
maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi
tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia.
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru menilai baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau jika akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan itu baik. Baik atau buruk nya tindakan mencuri, sebagai contoh, bagi etika teleologi
tidak ditentukan oleh tindakan itu sendiri baik atau buruk, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari
tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan mencuri dapat dipandang baik. Seorang anak yang mencuri
uang karena tidak mempunyai cara lain untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit parah dalam
perspektif etika teleologi dipandang sebagai tindakan yang baik, tetapi jika ia mencuri untuk membeli narkoba
ata keperluan tidak mulia lainnya, maka tindakan itu dinilai jahat. Contoh dari etika teleology : Setiap agama
mempunyai tuhan dan kepercayaan yang berbeda beda dan karena itu aturan yg ada di setiap agama pun
perbeda beda. Dua aliran etika teleologi :
1. Egoisme
Egoism merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya
menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak
peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai
teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”. Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan
meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, dan umumnya memiliki
pendapat untuk meningkatkan citra pribadi seseorang dan pentingnya – intelektual, fisik, sosial
dan lainnya. Egoisme ini tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang
banyak pada umunya dan hanya memikirkan diri sendiri. Egois ini memiliki rasa yang luar biasa
dari sentralitas dari ‘Aku adalah’:. Kualitas pribadi mereka Egotisme berarti menempatkan diri
pada inti dunia seseorang tanpa kepedulian terhadap orang lain, termasuk yang dicintai atau
dianggap sebagai “dekat,” dalam lain hal kecuali yang ditetapkan oleh egois itu.
Teori eogisme atau egotisme diungkapkan oleh Friedrich Wilhelm Nietche yang merupakan
pengkritik keras utilitarianisme dan juga kuat menentang teori Kemoralan Sosial. Teori egoisme
berprinsip bahwa setiap orang harus bersifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu yang bertujuan
memberikan manfaat kepada diri sendiri. Selain itu, setiap perbuatan yang memberikan
keuntungan merupakan perbuatan yang baik dan satu perbuatan yang buruk jika merugikan diri
sendiri.
Kata “egoisme” merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yakni ego, yang berasal dari
kata Yunani kuno – yang masih digunakan dalam bahasa Yunani modern – ego (yang berarti
“diri” atau “Saya”, dan-isme, digunakan untuk menunjukkan sistem kepercayaannya. Dengan
demikian, istilah ini secara etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme filosofis
2. Utilitarianisme

Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan

adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua

orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme,

kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the

greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.

2.6 Perbedaan Antara Deontologi Dan Teleologi

Fakta – fakta yang harus dipertimbangkan dalam pembedaan teori etika yang bersifat teleologis dengan

deontologis yaitu:

1. Memperhatikan tingkat penegasan daripada dasar pengeluaran timbal balik.

2. Unsur – unsur dari teleologis dan deontologis ddapat ditemukan dalam teori etika tertentu.
3. Terdapat perbedaan interprestasi yang dilakukan filosof terhadap setiap teori etika yang lain.

4. Interprestasi sangat luas sebagian besar etika formalisme dan etika intuisime ke dalam deontologis dan semua

etika naturalistic yaitu hedonism, utilitarisme kedalam kelompok teleologis


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nilai merupakan gagasan atau konsep yang memiliki kualitas, sehingga menjadikan hal itu
dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, bermuatan motivasi, dalam mencapai tujuan
kehidupannya, sedangkan moral yaitu pandangan tentang baik buruk dan benar salah suatu perilaku
atau perbuatan yang ditampilkan seseorang. Etika yaitu ilmu yang mempelajari cara manusia
memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik. Deontologi menekankan kewajiban manusia
untuk bertindak secara baik. Jadi, etika Deontologi yaitu tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan
itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya sendiri.

Deantologi dibedakan dari Aksiologi, studi tentang Nilai, pada umumnya, theori tentang
kebaikan dan kejahatan, Kewajiban (sesuatu yang harus dilakukan atau dijalankan), mengungkap
tuntutan tuntutan hukum sosial, termasuk kebutuhan kebutuhan individu-individu dan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam arti lebih sempit, Deantologi adalah Etika profesional para pekerja misalnya
medis dll, Etika inidiarahkan untuk menjamin hasil maksimum dalam pengobatan misalnya dengan
bantuan psikoterapi, dan mentaati etika medis dll.

3.2 Saran

Setelah saya melakukan studi kasus, kami mengalami beberapa hambatan dalam penulisan ini.
Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak penulis mampu menyelesaikan masalah ini dengan tepat pada
waktunya. Demi kemajuan selanjutnya maka menyarankan kepada :

1) Mahasiswa Fakultas Hukum


Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa fakulyas hokum khususnya di Universitas Majalengka
dapat memahami serta menambah wawasan tentang Hakikat Nilai, Deantologi dan Teleologi.
2) Institusi Pendidikan
Kami mengharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bacaan untuk menambah
pengetahuan bagi pembaca khususnya bagi mahasiswa Universitas Majalengka dan makalah ini dapat
digunakan sebagai tambahan literatur yang membahas masalah tentang Hakikat Nilai, Deantologi, Dan
Teleology.
Daftar Pustaka

Burhanuddin Salam, Logika Materi;Filsafat Ilmu Pengetahuan, Cet.1(Jakarta:Reneka Cipta, 1997)


Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, Cet.1 (Pekanbaru:Pustaka Pelajar,
2002)
Fu’ad Farid Isma;il & Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat : Barat Dan Islam, cet . I (Jogjakarta,
IRCiSoD, 2012)

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, Edisi revisi ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004)

Anda mungkin juga menyukai