Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama Pasien : An DS
Umur : 2 tahun 1 bulan
Jenis Kelamin :laki - laki
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Tanggal masuk RS : 18/03/2019
Alamat : KPR Rahana Kilo 10

Anamnesis
Diberikan Oleh : Ibu kandung pasien
Keluhan Utama
Kejang ± 30 menit SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


 Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami demam dengan suhu (38,5 0C). Demam tidak
pernah turun menjadi normal, Mencret (-), muntah (-), batuk (-), pilek(-), sesak nafas
(-), bintik-bintik merah dikulit (-).
 30 menit SMRS pasien mengalami kejang disertai demam. Kejang dimulai dari
tangan dan kaki pasien yang tampak menegang dan kaku, mata menghadap keatas dan
berwarna putih. Lama kejang menurut ibu pasien ± 15 menit. Selama bangkitan
kejang, pasien tidak menoleh saat dipanggil oleh ibunya. Setelah kejang selesai,
pasien sadar kembali dan tampak lemas.
setelah itu pasien langsung dibawa ibunya ke IGD RSUD Selebesolu, di IGD, pasien
mengalami kejang kembali. Proses dan gambaran kejang yang kedua, sama seperti
kejang yang pertama dengan lama kejang ± 5 menit.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
 Trauma kepala (-)
 Riwayat kejang saat demam 1 kali saat usia 8 bulan selama 5 menit, seluruh tubuh
menegang, setelah kejang pasien menangis, obat kejang tidak diberikan hanya
diberikan obat penurun panas.
 Riwayat kejang saat tidak demam (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.
 Riwayat epilepsi (-).

Riwayat Orangtua
 Pekerjaan ayah pasien swasta, ibu sebagai IRT.

Riwayat Kehamilan
 Pasien lahir cukup bulan, secara spontan ditolong oleh bidan BBL 3.300 gram, PB 51
cm, lahir langsung menangis.
 Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan kebidan. Riwayat mengkonsumsi alkohol (-
), obat-obatan (-), merokok (-), jamu-jamuan (-),
 Tidak ada riwayat demam selama kehamilan.

Riwayat Post Natal

- Pemberian ASI eksklusif : 6 bulan


- Makanan tambahan : Mulai umur 6 bulan
- Riwayat Imunisasi
Hep B : 0, 2, 3, 4 bulan
Polio : 1, 2, 3, 4 bulan
BCG : 2 bulan
DPT : 2, 3, 4 bulan
Campak : 9 bulan

Kesan Imunisasi lengkap

2
Riwayat Tumbuh Kembang

- Pertumbuhan gigi : Usia 8 bulan


- Psikomotor : Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak :7 bulan
Berdiri : 8 bulan
Bicara : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan

Kesan: pertumbuhan fisik sesuai umur

Riwayat Pertumbuhan Mental


 Senyum spontan usia 3 bulan
Kesan: pertumbuhan mental sesuai umur

Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal


Pasien tinggal di rumah permanen, ventilasi cukup, lingkungan cukup bersih.
Sumber air minum : sumur bor
Sumber air MCK : sumber bor

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan umum : tampak sakit sedang.
 Kesadaran : CM
 Vital Sign :
 Nadi : 158x/i reguler, cukup
 Nafas : 28x/i, reguler
 Suhu : 39,4 oC
 PB : cm
 BB : 11kg
 LILA : 10 cm
 Lingkar kepala : 38 cm
 Gizi : 7/12,2x100% = 98,42% (Normal)

3
 Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
 Kepala : UUB sudah menutup, LK 48 cm, normosefal.
 Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
 Mata
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Bulat, isokhor Ɵ 3 mm/ 3 mm
- Reflek cahaya : +/+
 Telinga : Sekret -/-
 Hidung : Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan
 Pemeriksaan leher :
- pembesaran KGB tidak ada
- Kaku kuduk tidak ditemukan.
 Pemeriksaan Thoraks :
- Paru : Inspeksi gerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(-)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi bronkhovesikuler, ronki-/-, wheezing -/-
- Jantung : Inspeksi ictus cordis tidak terlihat
Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).

 Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi datar, distensi (-), venektasi (-)
- Palpasi  supel, organomegali (-)
- Perkusi  tympani
- Auskultasi bising usus (+), normal.
 Pemeriksaan alat kelamin : laki – laki , dalam batas normal
 Pemeriksaan Ekstremitas : RCT < 2 detik, akral hangat.
 STATUS NEROLOGIS
Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-), burdzinski II (-),
kernique (-), laseque (-)
Refleks Patologis : Babinski (-)
Openheim (-)

4
Refleks fisiologis : Refleks biseps +/+
Refleks triseps +/+
Refleks patella +/+
Refleks achilles +/+

Hasil pemeriksaan laboratorium (18 Maret 2019)


Darah Lengkap

WBC : 8000
HB : 11,1
HCT : 32,3
PLT :231.000
DDR : NEGATIF

Hal-hal Penting dari Pemeriksaan Fisik


Kesadaran composmentis, suhu: 39,4 0C, rangsang meningeal (-), refleks fisiologis (+),
refleks patologis (-).

Diagnosis Kerja:
Kejang demam kompleks

Diagnosis Banding :
Epilepsi
Meningoensepalitis

Penatalaksanaan
- Medikamentosa
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Inj cefriaxone 350 mg/ 8 jam / iv
Inj gentamicin 35 mg / 12 jam / iv
Inj dexamethason 1 amp / 12 jam / iv
PCT sry 3x 1Cth
5
Phenobarbital 40mg 2x1 ( H1-2)
Phenobarbital 20mg 2x1 (H3-5)

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Follow up
Hari dan tanggal

19 – 03 -2019 S : Demam (+) , kejang ( - ) Diagnose : Kejang Demam


O: KU: tampak sakit sedang Kompleks
Kedasaran: CM Terapi :
Suhu : 38,00C
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Inj cefriaxone 3x350 mg /
iv
Inj gentamicin 2x35 mg / iv
Inj dexamethason 2x1 amp /
iv
PCT sry 3x 1Cth
Phenobarbital 40mg 2x1(
H1-2)
Phenobarbital 20mg 2x1
(H3-5)

20-3-2019 S : Demam (-), kejang (-) Diagnosa : Kejang Demam


O: ku : tampak sakit sedang Kompleks.
Kesadaran : CM Terapi :
Suhu : 36,70C
PCT sry 3x 1Cth
Phenobarbital 20mg 2x1
(H3-5)
Pasien boleh pulang

6
BAB II
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang
tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat. Kejang
demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa;
akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan
Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari.
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau
sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa .
Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya
pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang
menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran
kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.1
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling
lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam.2 Jumlah penderita kejang
demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara
jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti.
Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak
laki-laki.3

1.2 Tujuan penulisan


Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Memahami mengenai kejang demam kompleks
2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran khususnya
bagian ilmu kesehatan anak.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.3
Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat
celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.4

3.2 Epidemiologi3,5

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%.

Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk


di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih
tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang
harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki.

8
3.3 Etiologi

Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.3

Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.6

3.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
9
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.

3.5 Klasifikasi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua4

1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)

- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam

2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)

- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit


- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang
parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang.

10
3.6 Manifestasi Klinis8

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit
tanpa adanya kelainan neurologik.

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :

1. Anak hilang kesadaran


2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.

3.7 Diagnosis6,9,10

11
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala

2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-
pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol
menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh
pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran
menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior
yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

12
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan
subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat dicurigai
Ensefalitis akut / Ensefalopati.

4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat
dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada KDK. Tetapi
beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

13
3.8 Diagnosis Banding3

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.

Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak
yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.

Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.

Tabel Diagnosa Banding

No Kriteri Banding Kejang Epilepsi Meningitis


Demam Ensefalitis

1. Kejang Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu


demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

14
3.9 Penatalaksanaan4,10

Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1. Mengatasi kejang secepat mungkin

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun
atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang
infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit


2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.

Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.

15
2. Pengobatan penunjang

Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan,


sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan
jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan
pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat
kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.

Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala


pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi
digunakan karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan
sehingga menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu.
Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa
karena dirasakan tubuh menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah.
Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa.
Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan.
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.

3. Memberikan pengobatan rumat

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara mengirim
penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks
merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya
hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

16
 Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam


diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak
selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya
kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral
dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh ≥ 38,50C. Profilaksis intermitten ini
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition pada
saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

 Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik


yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:

1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam


2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun

Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:

A).Fenobarbital

Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang
ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur.

17
B) Sodium valproat / asam valproat

Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

C) Fenitoin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian
antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun
seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan
dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.

D) Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium,
kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.

3. 10 Prognosis6,11

1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46
% s/d 0,74%.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

18
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan


mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat
satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami
kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8.
3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000.
Hal 2059-2067.
4. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 –
14.
5. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC,
Jakarta 2006.
6. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada tanggal
23 April 2012. Didapatkan dari: www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
7. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell
pulblishing; 2006. Hal 72-90.
8. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange,
2002
9. Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta. 2010. h. 150-2.
10. Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British columbia
medical association. 2010.
11. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke Diunduh
pada tanggal 23 April 2012. Didapatkan dari:
www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm

20

Anda mungkin juga menyukai