PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Identitas
Nama : An R.P
Agama : Islam
BB : 14 Kg
Pasien sudah pernah mengalami kejang sebanyak 5 kali selama 2 tahun ini.
Pasien sebelumnya sudah pernah didiagnosis epilepsi oleh Dokter Spesialis Anak.
Saat ini obat pasien habis. Sehingga tidak minum obat selama 1 minggu. 1
diantara 5 kejang pernah terjadi setelah pasien mengalami demam dengan suhu 39
derajat celcius.
2
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Saudara-saudaranya
buah : 1 tahun
3
Riwayat Prenatal
Riwayat Kelahiran
Riwayat lahir spontan, di rumah sakit di tolong oleh bidan dengan usia kehamilan
cukup bulan
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 bulan
Campak : 9 bulan
Vital Sign
TD : 90/60mmHg
Nadi : 100x/menit
RR : 22 x/menit
4
Kepala dan Leher
Mulut : bibir lembab, lidah bersih, blood (-) tonsil T1/T1, faring
hiperemis (+)
Thorax
Inspeksi : gerakan Napas Simetris, retraksi (-), iktus cordis tidak terlihat
Abdomen
Inspeksi : Flat
Ekstremitas
Akral : Hangat
5
2.3 Penunjang
Darah Lengkap
Hematokrit : 40,4 %
EEG
6
2.4 Dianosis
2.5 Terapi
- D51/2NS 12 tpm
2.6 Follow Up
Tanggal S O A P
13/11/16 Kejang (-) N : 88x/I, R:20x/I Epilepsi D51/2 12 tpm
T:37,6 ane -/- ikt-/- Inj Dilantin 2x125 mg
Rho (-) wheez(-)
Bu(+)N
Rawat Jalan
Tanggal S O A P
17/11/2016 Batuk dan Pilek BB : 14,3 ISPA Cefadroxil 2x 1 1/4 cth
Epilepsi Mucohexin 3x1 cth
Dilantin 3x45 mg
21/11/2016 Kejang (-) BB : 16,3 kg Epilepsi Dilantin 3x50 mg
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
8
3.2 Etiologi
3.3 Epidemiologi
9
3.4 Klasifikasi
No
1 Kejang Kejang parsial 1. Kejang parsial sederhana dengan
Parsial sederhana gejala motorik
2. Kejang parsial sederhana dengan
gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
3. kejang parsial sederhana dengan gejala
psikis
Kejang parsial 1. Kejang parsial kompleks dengan onset
kompleks parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
2. Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang 1. Kejang parsial sederhana menjadi
berubah menjadi kejang umum
kejang umum 2. Kejang parsial kompleks menjadi
sekunder kejang umum
3. Kejang parsial sederhana menjadi
kejang parsial kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2 Kejang 1. Kejang absans
Umum 2. absans atipikal
3. Kejang mioklonik
4. Kejang klonik
5. Kejang tonik-klonik
6. Kejang atonik
3.5 Patogenesis
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini :
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. Fungsi neuron
penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak
normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor GABAA Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa
mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA ini sama sekali tidak
10
sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA
pada absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada
kesepekatan tentang peran GABA pada epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa
fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi sistim pencetus impuls
(eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran
peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui
secara pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps
perangsang di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan
bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal
seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari
beberapa subtip reseptor lagi. Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat
sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila diberikan sebelum serangan
dimulai.
11
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena alusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher,
dan badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
12
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.
3.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis,
gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan
merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
13
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebab - sebabterjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik.
14
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT-Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung
singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per
rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat
badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang
terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya
terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin.
15
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital,
dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat
mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda
efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
a. Fenitoin
Merupakan obat antiepilepsi pilihan pertama yang digunakan untuk kejang
umum, kejang tonik klonik. Dosis obat ini adalah 5-10 mg/kg/hari.
b. Primidon
Merupakan obat epilepsy anak untuk terapi pada kejang parsial dan tonik-
klonik. Primidon mempunyai efek berupa penurunan eksitasi pada neuron
eksisatori. Egek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi
obat ini adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan
perilaku dan kemerahan pada kulit.
c. Asam valproat
Merupakan pilihan pada kejang parsial, kejang absens, mioklonik dan
kejang tonik klonik. Obat ini berguna meningkatkan Gama Amino Butiric
Acid (GABA) dengan menghambat degradasi GABA itu sendiri.
Penggunaan dosis dari obat ini adalah dengan dosis 15-60 mg/kg/hari.
Efek samping berupa gangguan pencernaan, mual dan muntah.
d. Lamotrigin
Merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spectrum luas yang
memiliki efekasi pada kejang parsial dan epilepsy umum. Dosis yang
16
digunakan adalah 25-50 mg/kg/hari. Efek samping berupa gangguan
keseimbangan, pusing dan sakit kepala.
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi.
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil
terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan
yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat
kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak.
Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah
4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Klinis Kepustakaan
Gejala Klinis Pasien Gejala Klinis Kejang Umum
1. Kejang 5 menit 1. Kejang absans
2. Tidak sadar 2. absans atipikal
3. Mata melirik ke atas 3. Kejang mioklonik
4. Kekakuan anggota gerak 4. Kejang klonik
5. Diikuti hentakan anggota gerak 5. Kejang tonik-klonik
6. Demam (-) 6. Kejang atonik
7. Muntah 5 kali sebelum kejang
8. Pemeriksaan fisik normal Kejang Tonik-klonik Sering disebut
9. Riwayat terapi epilepsi selama 2 dengan kejang grand mal. Kesadaran
tahun hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas.
Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik
dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama
fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang terjadi seperti dilatasi
pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.
Sesuai
Pada pasien kasus ini mengalami gejala kejang selama 5 menit, pasien
tidak sadar dan merespon terhadap ransangan, dimana kejang berupa kekakuan
pada anggota gerak lalu diikuti hentakan anggota gerak yang berulang-ulang dan
mata pasien melirik keatas. Berdasarkan gejala-gejala yang didapat pada pasien
ini maka pasien ini lebih mengarah kepada gejala klinis dari kejang umum tipe
kejang tonik klonik atau grand mal, yaitu kejang dengan fase tonik yang diikuti
fase klonik dan juga terdapat deviasi mata ke atas.
18
4.2 Diagnosis
Klinis Kepustakaan
Diagnosis : Epilepsi Diagnosis
1. Pada pasien ini didiagnosis Penegakkan diagnosis pada Epilepsi :
berdasarkan anamnesis pada pasien 1. Anamnesis
pada saat mengalami kejang. 2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
2. Pemeriksaan fisik pada pasien ini neurologi
dalam batas normal 3. Penunjang berupa : EEG dan
3. pada pemeriksaan penunjang hanya Neuroimaging.
dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil
leukositosis
4. hasil EEG tidak menunjukkan
adanya gelombang epileptikus.
5. Pemeriksaan Neuroimaging tidak
dilakukan
Kurang sesuai
Diagnosis pada kasus ini adalah Epilepsi dimana pasien dilakukan
anamnesis mengenai gejala pada saat kejang. Dilakukan pula pemeriksaan fisik
tanpa ditemukan kelainan pada pasien ini karena pada saat pemeriksaan pasien
sudah dalam keadaan tidak kejang.
4.3 Penatalaksanaan
Klinis Kepustakaan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
1. Syrup depakene 2x3 cc (rawat 1. Dosis asam valproat adalah 15-60
inap), BB pasien 14 kg mg/kg/hari, sediaan asam valproat
2. Dilantin 3x50 mg (rawat jalan), sirup adalah 250 mg/5 ml
BB pasien 16,3 kg 2. Pada epilepsi dengan kejang umum
tonik klonik pilihan utama adalah
fenitoin dengan dosis 5-10
mg/kg/hari
Sesuai
19
Pada kasus ini pemberian terapi selama rawat inap adalah depakene syrup
yang mengandung asam valproat 250mg/5ml. pasien diberikan 2x3cc artinya
2x150 mg per hari. Berdasarkan berat badan pasien masih dalam rentang dosis
asam valproat yaitu 15-60 mg/kg/hari.
Saat rawat jalan pasien diberikan obat dilantin 3x50 mg. saat itu berat
pasien mencapai 16,3 kg. kepustakaan menunjukkan bahwa dosis dilantin/fenitoin
yaitu 5-10 mg/kg/hari terbagi 3 dosis. Sehingga berdasarkan dosis tersebut makan
obat yang diberikan pada pasien masih sesuai dengan rentang dosis fenitoin.
20
BAB V
KESIMPULAN
21