Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi


sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah,
pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa
anak-anak
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel
opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi
selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari
narkotik.Di Inggris, satu orang diantara 131 orang menyindap epilepsi. Jadi
setidaknya 456.000 penyindap epilepsi di Inggris. Epilepsi dapat menyerang anak-
anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian
epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk
akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100
populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis

Identitas

Nama : An R.P

Umur : 2 tahun 6 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Merdeka Gg 2 RT 1 no 097

Agama : Islam

BB : 14 Kg

MRS : 12 November 2016

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien Mengeluhkan Kejang kurang lebih ½ jam sebelum Masuk Rumah


sakit, kejang terjadi kurang lebih selama 5 menit. kejang hanya terjadi 1 kali saja.
kejang awalnya berupa kekakuan pada pada anggota gerak lalu diikuti hentakan
berulang-ulang pada anggota gerak, dimana mata pasien melirik ke atas dan mulut
sukar untuk dibuka. Pasien tidak sadar namun, Setelah kejang anak menangis.
Pada saat kejang keluarga menyangkal adanya demam. Muntah 5 kali sebelum
kejang. Susah makan (+). Keluhan lain berupa batuk, pilek, mencret, nyeri kepala,
nyeri perut, dan sesak disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah pernah mengalami kejang sebanyak 5 kali selama 2 tahun ini.
Pasien sebelumnya sudah pernah didiagnosis epilepsi oleh Dokter Spesialis Anak.
Saat ini obat pasien habis. Sehingga tidak minum obat selama 1 minggu. 1
diantara 5 kejang pernah terjadi setelah pasien mengalami demam dengan suhu 39
derajat celcius.

2
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan kejang yang serupa pada keluarga pasien.

Riwayat Saudara-saudaranya

Pasien Anak Tunggal

Riwayat Tumbuh Kembang

 BB lahir : 3100 gram


 PB lahir :49 cm
 Gigi keluar : 9 bulan
 Tersenyum : tidak ingat
 Miring : 4 bulan
 Tengkurap : 5 bulan
 Duduk : 7 bulan
 Merangkak : 9 bulan
 Berdiri : 12 bulang
 Berjalan : 12 bulan
 Bicara dua suku kata : 8 bulan

Riwayat Makan dan Minum Anak

ASI : 6 bulan – 2 tahun, dihentikan dengan alasan pasien


telah cukup umur untuk makanan padat dan lauk
saja.

susu buatan : 6 bulan

buah : 1 tahun

bubur susu : 6 bulan

tim saring : 1 tahun

makanan padat dan lauk : 2 tahun

3
Riwayat Prenatal

Pemeriksaan ANC setiap bulan sebanyak 4 kali di klinik kandungan dokter


spesialis. Minum obat tablet besi, asam folat dan vitamin.

Riwayat Kelahiran

Riwayat lahir spontan, di rumah sakit di tolong oleh bidan dengan usia kehamilan
cukup bulan

Riwayat Post Natal

tidak ada masalah pada pemeriksaan postnatal

Riwayat Imunisasi

BCG : 1 bulan

Hep B : 0,1,2,3,4 bulan

Polio : 1,2,3,4 bulan

DPT :2,3,4 bulan

Campak : 9 bulan

2.2 Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

 Kesadaran : Compos Mentis

 KU : Tampak sakit sedang

 TD : 90/60mmHg

 Nadi : 100x/menit

 RR : 22 x/menit

 Temperatur : 37 derajat celcius

4
Kepala dan Leher

 Kepala : ubun-ubun sudah menutup

 Rambut : warna hitam

 Mata : ane (-/-) ikterus (-/-) edema (-/-)

 Hidung : rhinorea (-/-)

 Mulut : bibir lembab, lidah bersih, blood (-) tonsil T1/T1, faring
hiperemis (+)

 Pembesaran KGB (-)

Thorax

Inspeksi : gerakan Napas Simetris, retraksi (-), iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : trakea ditengah, gerakan napas simestris, iktus teraba

Perkusi : sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : suara napas vesikuler, Wheezing (-),Rhonki (-), S1S2 reguler,


murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Flat

Auskultasi : BU (+)N. borborigmi (-)

Perkusi : Timpani seluruh kuadran

Palpasi : Nyeri Tekan (-), massa (-) Organomegali (-)

Ekstremitas

Akral : Hangat

Kekuatan Otot : baik

5
2.3 Penunjang

Darah Lengkap

Hemoglobin : 13, 4 g/dL

Hematokrit : 40,4 %

Platelet : 422.000 /mm3

Leukosit : 19.400 /mm3

EEG

Kesimpulan EEG : Tidak ada Gelombang Epileptikum

6
2.4 Dianosis

Diagnosis Dokter Spesialis Anak : Epilepsi

2.5 Terapi

- D51/2NS 12 tpm

- Inj. Dilantin 2x125 mg

2.6 Follow Up

Tanggal S O A P
13/11/16 Kejang (-) N : 88x/I, R:20x/I Epilepsi D51/2 12 tpm
T:37,6 ane -/- ikt-/- Inj Dilantin 2x125 mg
Rho (-) wheez(-)
Bu(+)N

14/11/16 Kejang (-) N : 88x/I, R:20x/I Epilepsi Infus Stop


T:37,6 ane -/- ikt-/- Injeksi Stop
Rho (-) wheez(-) Syrup depakene 2x3cc
Bu(+)N

15/11/16 Kejang (-) N : 88x/I, R:20x/I Epilepsi Syrup depakene 2x3 cc


T:37,6 ane -/- ikt-/-
Rho (-) wheez(-)
Bu(+)N

Rawat Jalan

Tanggal S O A P
17/11/2016 Batuk dan Pilek BB : 14,3 ISPA Cefadroxil 2x 1 1/4 cth
Epilepsi Mucohexin 3x1 cth
Dilantin 3x45 mg
21/11/2016 Kejang (-) BB : 16,3 kg Epilepsi Dilantin 3x50 mg

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti


serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat
dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap m asyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap
orang di seluruh dunia.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.13 Terdapat dua
kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan
pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik
termasuk dalam epilepsi umum.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi
adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan
tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala
dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi
berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

8
3.2 Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus


epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu :
Kejang fokal Kejang umum
1. Trauma kepala 1. Penyakit metabolic
2. Stroke 2. reaksi obat
3. Infeksi 3. Idiopatik
4. Malformasi vaskuler 4. Faktor genetic
5. Tumor (Neoplasma) 5. Kejang fotosensitif
6. Displasia
7. Mesial Temporal Sclerosis

3.3 Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada


anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat
beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit
degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor
resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang
pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak
laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada,
insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62
pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

9
3.4 Klasifikasi
No
1 Kejang Kejang parsial 1. Kejang parsial sederhana dengan
Parsial sederhana gejala motorik
2. Kejang parsial sederhana dengan
gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
3. kejang parsial sederhana dengan gejala
psikis
Kejang parsial 1. Kejang parsial kompleks dengan onset
kompleks parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
2. Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang 1. Kejang parsial sederhana menjadi
berubah menjadi kejang umum
kejang umum 2. Kejang parsial kompleks menjadi
sekunder kejang umum
3. Kejang parsial sederhana menjadi
kejang parsial kompleks dan kemudian
menjadi kejang umum
2 Kejang 1. Kejang absans
Umum 2. absans atipikal
3. Kejang mioklonik
4. Kejang klonik
5. Kejang tonik-klonik
6. Kejang atonik

3.5 Patogenesis

Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini :
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. Fungsi neuron
penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak
normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor GABAA Gamma amino butyric acid (GABA). Suatu hipotesa
mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama di otak. Ternyata bahwa sistem GABA ini sama sekali tidak

10
sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Ada kesan bahwa peran GABA
pada absence dan pada epilepsi konvulsif tidak sama. Kini belum ada
kesepekatan tentang peran GABA pada epilepsi kronis.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa
fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi sistim pencetus impuls
(eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak . sampau berapa jauh peran
peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui
secara pasti. Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps
perangsang di korteks dan hipocampus. Hayashi pada tahun 1954 menemukan
bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan paroksimal
seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini juga terdiri dari
beberapa subtip reseptor lagi. Glycine diperlukan untuk fungsi glutamat
sedangkan zinc memblokir pengaruhnya bila diberikan sebelum serangan
dimulai.

3.6 Gejala Klinis

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari


epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya masih baik.

a. Kejang parsial sederhana

11
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena alusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher,
dan badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik

12
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.

3.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis,
gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan
merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

13
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebab - sebabterjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :


1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG
bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu
atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).

14
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT-Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung
singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per
rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat
badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang
terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya
terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin.

15
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital,
dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat
mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda
efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
a. Fenitoin
Merupakan obat antiepilepsi pilihan pertama yang digunakan untuk kejang
umum, kejang tonik klonik. Dosis obat ini adalah 5-10 mg/kg/hari.
b. Primidon
Merupakan obat epilepsy anak untuk terapi pada kejang parsial dan tonik-
klonik. Primidon mempunyai efek berupa penurunan eksitasi pada neuron
eksisatori. Egek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi
obat ini adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan
perilaku dan kemerahan pada kulit.
c. Asam valproat
Merupakan pilihan pada kejang parsial, kejang absens, mioklonik dan
kejang tonik klonik. Obat ini berguna meningkatkan Gama Amino Butiric
Acid (GABA) dengan menghambat degradasi GABA itu sendiri.
Penggunaan dosis dari obat ini adalah dengan dosis 15-60 mg/kg/hari.
Efek samping berupa gangguan pencernaan, mual dan muntah.
d. Lamotrigin
Merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spectrum luas yang
memiliki efekasi pada kejang parsial dan epilepsy umum. Dosis yang

16
digunakan adalah 25-50 mg/kg/hari. Efek samping berupa gangguan
keseimbangan, pusing dan sakit kepala.
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi.
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

3. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil
terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan
yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat
kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak.
Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah
4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.

17
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gejala Klinis

Klinis Kepustakaan
Gejala Klinis Pasien Gejala Klinis Kejang Umum
1. Kejang 5 menit 1. Kejang absans
2. Tidak sadar 2. absans atipikal
3. Mata melirik ke atas 3. Kejang mioklonik
4. Kekakuan anggota gerak 4. Kejang klonik
5. Diikuti hentakan anggota gerak 5. Kejang tonik-klonik
6. Demam (-) 6. Kejang atonik
7. Muntah 5 kali sebelum kejang
8. Pemeriksaan fisik normal Kejang Tonik-klonik Sering disebut
9. Riwayat terapi epilepsi selama 2 dengan kejang grand mal. Kesadaran
tahun hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas.
Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik
dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama
fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang terjadi seperti dilatasi
pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.

Sesuai

Pada pasien kasus ini mengalami gejala kejang selama 5 menit, pasien
tidak sadar dan merespon terhadap ransangan, dimana kejang berupa kekakuan
pada anggota gerak lalu diikuti hentakan anggota gerak yang berulang-ulang dan
mata pasien melirik keatas. Berdasarkan gejala-gejala yang didapat pada pasien
ini maka pasien ini lebih mengarah kepada gejala klinis dari kejang umum tipe
kejang tonik klonik atau grand mal, yaitu kejang dengan fase tonik yang diikuti
fase klonik dan juga terdapat deviasi mata ke atas.

18
4.2 Diagnosis

Klinis Kepustakaan
Diagnosis : Epilepsi Diagnosis
1. Pada pasien ini didiagnosis Penegakkan diagnosis pada Epilepsi :
berdasarkan anamnesis pada pasien 1. Anamnesis
pada saat mengalami kejang. 2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
2. Pemeriksaan fisik pada pasien ini neurologi
dalam batas normal 3. Penunjang berupa : EEG dan
3. pada pemeriksaan penunjang hanya Neuroimaging.
dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan hasil
leukositosis
4. hasil EEG tidak menunjukkan
adanya gelombang epileptikus.
5. Pemeriksaan Neuroimaging tidak
dilakukan
Kurang sesuai
Diagnosis pada kasus ini adalah Epilepsi dimana pasien dilakukan
anamnesis mengenai gejala pada saat kejang. Dilakukan pula pemeriksaan fisik
tanpa ditemukan kelainan pada pasien ini karena pada saat pemeriksaan pasien
sudah dalam keadaan tidak kejang.

Penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan EEG tanpa adanya


gelombang epileptikus. Berdasarkan kepustakaan hal ini kurang sesuai meskipun
berdasarkan anamnesis lebih mengarah kepada diagnosis epilepsi, karena pada
pasien ini pemeriksaan EEG tidak terdapat gelombang epileptikus yang
seharusnya mendukung diagnosis epilepsi.

4.3 Penatalaksanaan

Klinis Kepustakaan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
1. Syrup depakene 2x3 cc (rawat 1. Dosis asam valproat adalah 15-60
inap), BB pasien 14 kg mg/kg/hari, sediaan asam valproat
2. Dilantin 3x50 mg (rawat jalan), sirup adalah 250 mg/5 ml
BB pasien 16,3 kg 2. Pada epilepsi dengan kejang umum
tonik klonik pilihan utama adalah
fenitoin dengan dosis 5-10
mg/kg/hari
Sesuai

19
Pada kasus ini pemberian terapi selama rawat inap adalah depakene syrup
yang mengandung asam valproat 250mg/5ml. pasien diberikan 2x3cc artinya
2x150 mg per hari. Berdasarkan berat badan pasien masih dalam rentang dosis
asam valproat yaitu 15-60 mg/kg/hari.

Saat rawat jalan pasien diberikan obat dilantin 3x50 mg. saat itu berat
pasien mencapai 16,3 kg. kepustakaan menunjukkan bahwa dosis dilantin/fenitoin
yaitu 5-10 mg/kg/hari terbagi 3 dosis. Sehingga berdasarkan dosis tersebut makan
obat yang diberikan pada pasien masih sesuai dengan rentang dosis fenitoin.

20
BAB V

KESIMPULAN

Pasien pada Kasus didiagnosis Epilepsi dengan hasil anamnesis saat


kejang pasien Kejang 5 menit, tidak sadar, mata melirik ke atas, kekakuan anggota
gerak, diikuti hentakan anggota gerak, demam (-), muntah 5 kali sebelum kejang,
Pemeriksaan fisik normal serta riwayat terapi epilepsy selama 2 tahun. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan dari epilepsy dengan kejang umum tonik-klonik.
Diagnosis pasien adalah Epilepsi, pada penegakkan diagnosis ini perlu
dilakukan anamnesis mengenai epilepsy, pemeriksaan fisik,dan penunjang berupa
EEG dan neuroimaging. Namun pada kasus ini penunjang tidak begitu
mendukung diagnosis karena hasil EEG tidak menunjukkan adanya gelombang
epileptikus.
Terapi pada pasien diberikan asal valproat pada saat rawat inap dan
fenitoin pada saat rawat jalan. Dosis pada kasus sesuai dengan dosis pada
kepustakaan sehingga terapi pada kasus masih sesuai dengan kepustakaan.

21

Anda mungkin juga menyukai