PROPOSAL SKRIPSI
Disusun Oleh:
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................... v
i
3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ......................................... 35
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
gambar 2-1Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ 34
gambar 3-1 Kerangka Konsep Penelitian .................................................................... 35
iv
ABSTRAK
Kata Kunci :
v
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian,
Tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi,
dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang
lalu. Robert Koch merupakan penemu penyebab penyakit ini yaitu kuman Tuberkulosis. Kuman
ini berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama ‘Mycobacterium tuberculosis’
(Widoyono, 2008). Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru
(Asiya, 2012). Tuberkulosis merupakan salah Satu masalah kesehatan bagi bangsa indonesia dan
dunia. WHO dalam annual report on global tuberkulosis control 2003 menyatakan terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap tuberkulosis. Menurut WHO
estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif
adalah 115 per 100.000 pemeriksaan (Sardjana, 2007). Tingginya angka insidensi tuberkulosis
selaras dengan karakteristik tuberkulosis itu sendiri, yaitu menyerang semua golongan umur dan
jenis kelamin serta semua lapis tingkat perekonomian.
Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak
yaitu 10% dari seluruh penderita TB di Dunia (WHO, Global Tuberculosis Report, 2015). Dan
hal tersebut akan diperkirakan terus meningkat sampai 2020. Sementara berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia 2015, rata-rata Case Notification Rate (CNR)1 indonesia adalah 130 kasus
TB per 100.000 penduduk. Dan menurut rerata tersebut, masih terdapat banyak provinsi di
indonesia yang masih dibawah angka 130, diantaranya ialah prov. Banten dengan CNR 116 per
100.000 penduduk. Selain itu, dalam sumber yang sama (Kemenkes RI, 2015) proporsi kasus TB
yang terobati di prov. Banten ialah sebesar 57,4%, dimana masih kurang dibandingkan dengan
target 70% kasus TB terobati.
1
Case notification rate (CNR) adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah tertentu. CNR dianggap baik jika terjad peningkatan angka minimal 5%
dibandingkan dengan periode sebelumnya (Kemenkes RI, 2015)
1
Sementara nilai CNR untuk TB baru BTA positif di prov. Banten tahun 2016 adalah 57 per
100.000 penduduk dimana angka tersebut masih dibawa gegara nasional yaitu 61 per 100.000
penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Selain itu juga, masih belum tercapainya target
pengendalian penyakit TB juga berdampak pada penilaian indeks keluarga sehat (IKS) prov.
Banten dimana salah satu indikatornya ialah ‘penderita TB paru yang berobat sesuai standard’.
Berdasarkan Kemenkes RI tahun 2017, persentase keberhasilan indikator pengobatan TB paru
sesuai standard di provinsi Banten hanyalah 33,9%.
Rendahnya indeks untuk TB dalam IKS Banten diantaranya masih belum tercapainya target
penanganan TB ditiap-tiap Kabupaten/kota di Prov. banten. Dari data Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan 2014, diketahui bahwa ada beberapa indikator pengendalian TB yang belum
tercapai, yaitu angka CDR sebesar 56% (target nasional minimal 70%), angka keberhasilan
pengobatan sebesar 82% (target nasional minimal 85%), angka konversi sebesar 75% (target
nasional minimal 80%), angka kesembuhan sebesar 76% (target nasional minimal 85%), dan
angka kesalahan laboratorium dari triwulan pertama sampai triwulan ketiga pada tahun 2013
sebesar 6% (target nasional maksimal 5 %). Selain itu berdasarkan profil kesehatan Provinsi
Banten tahun 2015, masih ditemukan 701 kasus TB Baru di Kota Tangerang Selatan dengan
prevalensi sebesar 1121 kasus dimana 13,47% diantaranya ialah kasus TB anak 0-14 tahun.
Sementara untuk angka kematian, selama tahun 2015 ditemukan 30 kasus TB yang sedang
berobat meninggal di kota Tangerang Selatan. Selain itu, TB paru merupakan kasus tertinggi
nomor tiga pada pasien rawat inap di Tangerang Selatan dengan 186 kasus (BPS Kota Tangerang
Selatan, 2016). Pada sumber yang sama juga diperoleh proporsi kasus TB per 100.000 penduduk
dimana proporsi tertinggi ialah kecamatan Setu yaitu dengan 69 kasus per 100.000 penduduk
kemudian diikuti oleh kecamatan Ciputat dengan 58 kasus per 100.000 penduduk.
2
penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Handayani, 2014). Namun, seperti pribahasa bahwa
tiada gading yang tak retak, pelaksanaan program pengendalian TB di dinkes tangsel masih saja
belum optimal sehingga sulit untuk memenuhi target indikator pengendalian TB yang telah
ditentukan.
Berdasarkan studi literatur lima tahun terakhir tentang determinan tuberkulosis diperoleh
adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis dengan beberapa variabel independen antara lain :
berdasarkan hasil penelitian Mukholipah & Dll (2013), Ernawati & Dkk (2016), Izzati, Basyar,
& Nazar( 2015) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian
TB paru. Kemudian dalam penelitian Mukholipah & Dll (2013) dan Wijaya & Dkk (2013)
menyatakan ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap kejadian TB paru.
Juga menurut penelitian Rosiana (2013) dan juga Izzati et al., (2015) ada hubungan bermakna
antara intensitas pencahayaan hunian terhadap kejadian TB paru.
Menurut hasil penelitian Korua & Dkk (2014) terdapat hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian TB paru. Namun dalam penelitian yang lain yaitu penelitian Mukholipah & Dll,
(2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin terhadap kejadian
TB paru. Dalam penelitian yang lain menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dan
kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru (Wardani, 2015) (Mukholipah & Dll, 2013)(Korua
& Dkk, 2014).
Adapun telaah literatur secara keseluruhan ialah pada Tabel 1-1 sebagai berikut
3
Tabel 1-1 Studi literatur terdahulu determinan kejadian Tuberkulosis
Besar dan
N Analisis
Thn Penulis Judul Desain Pengambila Hasil Simpulan Saran
o data
n sampel
1. 201 Dyah Hubungan Cross Sampel Analisis Diperoleh hasil kepadatan Tidak ada hubungan Perlu adanya
5 Wulan spasial sectional jenuh, yaitu autokorela penduduk menurut kecamatan, antara kepadatan identifikasi
SRW kepadatan 13 kecamatan si spasial proporsi keluarga per penduduk dan lainnya
penduduk di bandar dengan kecamatan berdasarkan tingkat sejahtera kaitannya
dan lampung. Deoda kategori kesejahteraan, dan keluarga dengan dengan
proporsi Karena 0,9.5-i prevalensi TB per kecamatan. prevalensi prevalensi
keluarga merupakan (beta) Analisis hubungan spasial tuberkulosis TB supaya
prasejahter penelitian yang Geoda, menunjukan OLS dapat
a terhadap dengan meliputi prevalensi TB dan kepadatan mencapai
prevalensi sampel jenuh, LM lag penduduk dengan nilai p =0,97, populasi
tuberkulos maka dan LM > a=0,05 sehingga tidak ada berisiko dan
is paru di pengambilan error, OLS hubungan spasial antara mengintensif
bandar sampel kepadatan penduduk dan kan
lampung dilakukan prevalensi TB BTA positif. penemuan
dengan data Hasil OLS untuk prevalensi Tb kasus
ekologi dan dan proporsi keluarga sejahtera
populasi yang diperoleh p = 0,23, >a=0,05
tersedia sehingga tidak ada hubungan
spasial antara proporsi
keluarga prasejahtera dengan
prevalensi TB BTA Positif
2. 201 Siti Analisis Case Sampel Analisis Hasil uji statistik menunjukan Umur dan jenis Pihak
3 mukholip determina control adalah kasus data umur (p=0.07), jenis kelamin kelamin tidak puskesmas
ah, n kejadian orang yang meliputi (p=0.83), tidak memiliki berhubungan dengan Tugu Mulyo
najmah, tuberkulos pernah/sedan analisis hubungan dengan kejadian TB kejadian TB paru. perlu
4
rini is paru di g menderita univariat, Paru. Berdasarkan hasil Sementara status meningkatka
mutahar puskesmas TB pada bivariat analisis regresi logistik gizi, tindak n program
tugu tahun 2011- dan multivariat, terdapat empat pencegahan, tingkat survei TB
mulyo 2012 yang multivariat variabel yang berpengaruh pengetahuan, sikap paru
ogan melakukan dengan terhadap kejadian tuberkulosis pencegahan, kelapangan
komering pengobatan mengguna yaitu usia, tindakan, lingkungan, status dalam
ilir tahun di PKM tugu kan regresi pengetahuan dan sikap.setelah ekonomi memiliki pelacakan
2011-2012 mulyo. logistik. variabel lain dikontrol. hubungan dengan kasus, dan
control kejadian TB. Hasil melakukan
adalah orang analisis multivariat penyuluhan
yang variabel yang untuk
memeriksaka mempunyai meningkatka
n sputum di hubungan dengan n
PKM Tugu kejadian tuberkulosis pengetahuan
Mulyo paru adalah usia, masyarakat
dengan hasil tindakan mengenai
negatif TB. pencegahan, penyakit
Besar pengetahuan, sikap tuberculosis,
masing- sedangkan variabel Perlu adanya
masing status gizi, perbaikan
kelompok lingkungan , dan lingkungan
adalah 47 status ekonomi fisik
responden adalah variabel perumahan .
konfonding, dan
variabel usia adalah
variabel yang paling
dominan
mempengaruhi
kejadian
Tuberkulosis Paru
5
setelah variabel lain
dikontrol.
3. 201 Dyah Determina Cross simple Analisis Hasil analisis menunjukkan determinan kondisi mendukung
5 Wulan n kondisi sectional random univariat bahwa penderita TB rumah penderita TB program
SRW rumah sampling mempunyai kepadatan rumah lebih rendah pengendalian
penderita dengan besar yang lebih tinggi, ventilasi dibandingkan bukan TB,
tuberkulos sampel yang lebih kurang dan sumber penderita TB. khususnya
is paru adalah 238 polusi dalam rumah yang lebih dalam
dikota untuk banyak dibandingkan bukan implementasi
bandar penderita TB penderita TB strategi
lampung dan 238 DOTS yang
untuk bukan disertai
penderita TB dengan
(berdasarkan perbaikan
perhitungan kondisi
sampel a 0,05 rumah. [JuKe
dan β 0,1)
4. 201 Elisa S. Hubungan Metode Purposive Analisis jumlah pasien rawat jalan di Tidak ada hubungan Perlu
4 Korua, antara survei sampling : 69 univariat RSUD Noongan didominasi antara umur dengan dilakukan
Nova H umur, analitik orang yang dan oleh Laki-laki dan range umur kejadian TB Paru penelitian
kapantow jenis dengan memeriksaka bivariat paling banyak adalah 15-55 pada pasien RSUD lebih lanjut
, Paul kelamin, pendekata n diri di dengan chi tahun (73,8%). Dan hasil dari Noongan dengan tentang umur,
A.T dan n cross poliklinik square kepadatan hunian yang p=0,49. Ada jenis kelamin
kawatu kepadatan sectional umum RSUD memenuhi syarat ≥ 8m²/kapita hubungan antara dan
hunian Noongan. dengan total 58 responden. jenis kelamin dengan kepadatan
dengan Jumlah pasien rawat jalan di kejadian TB Paru hunian
kejadian RSUD Noongan yang pada pasien rawat dengan
TB paru menderita TB Paru (BTA+) jalan di RSUD jumlah
pada sebesar (62,3%) Noongan dengan sampel yang
6
pasien p=0,01. Tidak ada lebih besar
Rawat hubungan antara maupun
Jalan di kepadatan hunian penelitian
Rumah dengan kejadian TB dengan
Sakit paru pada pasien faktor-faktor
Umum rawat jalan di RSUD lain yang
Daerah Noongan dengan berhubungan
Noongan nilai p=0,43
5. 201 Shabrina Faktor Case Sampel Analisis jumlah status gizi kurang pada Status gizi dan tidak
5 izzati, risiko control sebesar 33 univariat responden kasus adalah 16 pencahayaan rumah tercantum
masrul yang kasus dan 33 dan (48,5%) sedangkan pada secara statistic dalam jurnal
basyar, berhubung kontrol yang bivariat responden kontrol status gizi memiliki hubungan
julizar an dengan diambil dengan uji kurang hanya berjumlah 3 yang bermakna
nazar kejadian dengan chi square (9,1%). riwayat penyakit DM dengan kejadian TB
tuberkulos random lebih banyak pada kasus TB paru, sedangkan
is paru di sampling dibandingkan kontrol yakni 8 riwayat penyakit
wilayah setelah (24.2%) pada kasus dan 3 DM, ventilasi dan
kerja matching (9.1%) pada kontrol. kasus TB kepadatan hunian
puskesmas umur dan lebih banyak terdapat vetilasi secara statistik tidak
andalas jenis kelamin rumah yang tidak memenuhi memiliki hubungan
tahun syarat, yakni 18 (54,5%). yang bermakna
2013 Sedangkan untuk vetilasi dengan kejadian TB
rumah yang memenuhi syarat paru.
pada kasus TB berjumlah 15
(45,5%). kasus TB paru
pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat lebih banyak
dibandingkan pencahayaan
rumah yang memenuhi syarat,
yakni berjumlah 21 (63,6%)
7
untuk yang tidak memenuhi
syarat dan 12 (36,4%) untuk
yang memenuhi syarat.
Hasil analisis bivariat untuk
var. Status gizi Diketahui
p=0,001 (p<0,05 ) Berarti ada
hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan
kejadian TB paru. Untuk
riwayat DM didapatkan p
value=0,186 (p>0,05) berarti
tidak terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik
antara riwayat penyakit DM
dengan kejadian TB paru.
Untuk kondisi ventilasi nilai
p=0,324 (>0,05), sehingga
secara statistik tidak terdapat
hubungan yang bermakna
antara kondisi ventilasi rumah
dengan kejadian TB paru.
Untuk kepadatan hunian nilai
P:0,731 berarti tidak ada
hubungan bermakna statistik
antara kepadatan hunian rumah
dengan kejadian TB paru.
Untuk pencahayaan rumah
nilai P:0,027 berarti ada
hubungan bermakna statistik
antara pencahayaan rumah
8
dengan kejadian TB paru.
6. 201 I made Hubungan Studi Sampel Analisis terdapat hubungan yang secara Terdapat hubungan mendapatkan
3 kusuma pengetahu analitik diambil univariat statistik signifikan antara yang secara statistik hasil yang
wijaya, an, sikap, observasio dengan untuk variabel pengetahuan dengan signifikan antara obyektif dan
bhisma dan nal dengan simple distribusi aktivitas kader kesehatan pengetahuan, sikap, menyeluruh
murti, motivasi pendekata random variabel, (OR=18.44; CI 95%=1,89- dan motivasi dengan hendaknya
putu kader n cross sampling. analisis 179,91; p=0,012), antara sikap aktivitas kader peneliti
suriyasa kesehatan sectional yang bivariat dengan aktivitas kader kesehatan. Kader selanjutnya
dengan berdasarkan var. kesehatan(OR=8.08; CI kesehatan dengan mengadakan
aktivitasny perhitungan independe 95%=1,60-40,71; p=0,011), pengetahuan tinggi penelitian
a dalam terpilih n dengan dan antara motivasi dengan memiliki terhadap
pengendali sebanyak 60 var. aktivitas kader kesehatan kemungkinan untuk faktor-faktor
an kasus sampel Dependen (OR=15.01; CI 95%=1,59- aktif 18 kali lebih lainnya yang
tuberkulos dan juga 141,65; p=0,018). besar dari pada dapat
is di analisis pengetahuan rendah. mempengaru
kabupaten multivariat Kader kesehatan hi aktivitas
Buleleng dengan dengan sikap baik kader
regresi memiliki kesehatan
logistik kemungkinan untuk dalam
aktif 8 kali lebih pengendalian
besar dari pada sikap kasus
kurang. Kader tuberkulosis
kesehatan dengan dan
motivasi tinggi memperbany
memiliki ak jumlah
kemungkinan untuk sampel dari
aktif 15 kali lebih kader
besar dari pada kesehatan.
motivasi rendah
9
7. 201 Rio gasa Determina Case Dengan Analisis beberapa faktor risiko yang pendidikan yang Tidak
7 handriyo, n sosial control teknik univariat mempengaruhi kejadian rendah, pendapatan tercantum
dyah sebagai purposive dan Tuberkulosis Paru yaitu yang rendah, dan dalam jurnal
wulan faktor sampling. bivariat pendidikan yang rendah kelas sosial rendah
SRW risiko Jumlag dengan uji (OR=3,333; 95%CI:1,27-8,68), menjadi faktor risiko
kejadian sampel chi square pendapatan rendah (OR=4,583; infeksi tuberkulosis
tuberkulos adalah 80 : 95%CI:1,68- 12,4), kelas sosial paru di kecamatan
is paru di 40 sampel rendah (OR=3,208; panjang.
puskesmas kasus dan 40 95%CI:1,26-8,16). Sedangkan
panjang sampel tidak memiliki pekerjaan
kontrol bukan merupakan faktor risiko
kejadian TB paru
8. 201 Kholis Hubungan Deskriptif Total Univariat responden yang termasuk terdapat hubungan Tidak
6 ernawati, status gizi korelatif sampling dan kurus (IMT<18,5) adalah 123 antara status gizi tercantum
qomariya dengan yaitu semua bivariat orang (5,3%) dan 8 di dengan kejadian TB dalam jurnal
h,citrade tuberkulos data respon antaranya mengalamai TB Paru di Provinsi
wi, dian is paru di yang Paru, Normal (IMT ≥18,5-<25) Sulawesi Utara
mardhiya provinsi berjumlah sebesar 1376 orang (59,8%) berdasarkan data
h, khairul sulawesi 2319 dan 45 di antaranya mengalami Riskesdas tahun
huda utara responden TB Paru, Berat Badan (BB) 2010 (p = 0,001).
berdasarka Lebih (IMT ≥25- <27)sebesar
n data 317 (13,8%) orang dan 8 di
riskesdas antaranya adalah TB Paru,
2010 serta yang termasuk Obese
(IMT≥27) sebesar 481 orang
(21%) dan 3 di antaranya TB
Paru.
nilai signifikansi sebesar p =
0,001 (0,001 < 0,05) yang
menunjukkan terdapat
10
hubungan antara status gizi
dengan kejadian TB Paru
9. 201 Herlina Hubungan Cross Sampel Analisis Pada responden dengan yang ada hubungan kontak memperhatik
5 M.L kontak sectional ditentukan univariat menderita tuberklosis paru serumah dengan an aspek
butiop, serumah, dengan dan yang memiliki faktor kontak kejadian tuberkulosis senitasi
Grace D. luas rumus bivariat serumah positif sebesar 9 paru dengan nilai rumah sehat
Kandou, ventilasi lemeshow dengan uji responden (28,1%) sedangkan p=0,016, sedangkan pada segi
Henry dan suhu dengan chi square faktor kontak serumah negatif variabel luas ventilasi,suhu
M.F. ruangan jumlah dan uji sebesar 23 responden (71,9%). ventilasi p=0,278 ruangan dan
Palanden dengan sampel regresi Pada responden yang tidak dan suhu ruangan pencahayaan.
g kejadian adalah 97 logistic menderita tuberkulosis paru p=0,677 menunjukan melakukan
tuberkulos responden. yang memiliki faktor kontak tidak ada hubungan tindakan
is paru di serumah positif sebesar 6 dengan kejadian promosi
desa wori responden (9,2%) sedangkan tuberkulosis paru di sebagai
faktor kontak serumah negatif desa Wori tindakan
sebesar 59 reponden (90,8%). Kata pencegahan
Hasil bivariat pada variabel bagi
faktor kontak serumah dengan masyarakat di
kejadian tuberkulosis paru wilayah kerja
didapatkan nilai p<0,05. puskesmas
Artinya terdapat hubungan Wori dengan
yang bermakna antara riwayat cara
kontak memberikan
Serumah dengan kejadian penyuluhan
tuberkulosis paru. nilai odds tentang
ratio: 3,848 artinya probabilitas persyaratan
untuk terjadinya tuberkulosis rumah sehat
paru pada faktor kontak
serumah positif sekitar 3,8 kali
lebih tinggi dibandingkan
11
dengan faktor kontak serumah
negatif.
Hasil analis uji regresi logistic
pada variabel luas ventilasi
dengan kejadian tuberkulosis
paru didapatkan nilai
p>0,005. Artinya tidak terdapat
hubungan antara variabel luas
ventilasi dengan kejadian
tuberkulosis paru. Dan hasil uji
variabel suhu ruangan dengan
kejadian tuberkulosis paru
didapatkan nilai p>0,005.
Artinya tidak terdapat
hubungan antara variabel suhu
ruangan dengan kejadian
tuberkulosis paru.
10 201 Anisa Analisis Metode Random Tidak Sebanyak tujuh responden Terdapat hubungan Tidak
3 rika kaitan penelitian sampling tercantum utama dari dua puluh empat antara riwayat tercantum
hapsari, riwayat adalah dalam responden yang ada, merokok dengan dalam jurnal
fathin merokok survei jurnal menyatakan ada keterpaparan kejadian TB Paru
faridah, terhadap dengan terhadap asap rokok sebelum pada pasien TB Paru
anugrah pasien pendekata mereka teridentifikasi di wilayah kerja
febrino tuberkulos n case mengidap penyakit TB Paru. Puskesmas Srondol,
balwa, is paru di series dan PMO atau Pengawas Minum Semarang.
lintang puskesmas cohort dan Obat sangat berperan terhadap
dian srondol jenis kesembuhan pasien TB Paru.
saraswati penelitian Rata-rata PMO dari pasien
analitik. mengetahui bahaya dari rokok
dan asap rokok terhadap pasien
12
TB Paru. Pengetahuan
responden akan penyakit TB
Paru masih tergolong rendah,
dikarenakan kebanyakan
responden belum mengetahui
apa penyebab TB, termasuk
faktor risiko terhadap paparan
asap rokok.
11 201 Anggie Hubungan metode Purposive analisis ada hubungan yang signifikan Terdapat hubungan pihak-pihak
3 mareta antara observasio sampling univariat antara jenis lantai signifikan antara terkait untuk
rosiana kondisi nal dengan dengan dan (pvalue=0,025 dan OR = jenis lantai, jenis berpartisipasi
fisik rancangan sampel 26 bivariat 4,792), jenis dinding (p value = dinding, intensitas dalam
rumah penelitian kasus dan 26 dengan uji 0,035 dan OR=5,333), cahaya, kelembaban mengurangi
dengan kasus kontrol Chi- intensitas pencahayaan (p dengan kejadian TB kejadian TB
kejadian kontrol Square. value = 0,023 dan OR = paru. Dan tidak ada paru di
TB paru 3,889), kelembaban (pvalue = hubungan signifikan wilayah kerja
0,032 dan OR =4,033) dengan antara luas ventilasi, Puskesmas
kejadian TB paru. Tidak ada suhu ruangan dengan Kedungmund
hubungan antara kepadatan kejadian TB paru. u Kota
hunian ruang tidur Semarang.
(pvalue=0,163), luas ventilasi
(pvalue = 0,569), dan suhu
(pvalue = 0,337) dengan
kejadian TB paru.
13
Karena masih tingginya kasus TB di tangsel dengan masih ditemukan 701 kasus TB Baru
dengan prevalensi sebesar 1121 kasus dimana 13,47% diantaranya ialah kasus TB anak 0-14
tahun dan masih kurangnya CDR kota Tangsel (56% dari target 70%). Proporsi kasus TB di
kecamatan ciputat ialah 58 per 100.000 penduduk yang merupakan tertinggi kedua setelah
kecamatan setu. Dan karena ingin untuk memperbaiki penelitian terdahulu, maka peneliti ingin
mengetahui hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat
pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan merokok) dan keberadaan sumber penularan TB
dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Ciputat tahun 2018.
1. Bagaimana gambaran kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas Ciputat tahun 2018?
14
2. Bagaimana gambaran Karakteristik individu (umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat
pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan merokok) di wilayah kerja puskesmas
Ciputat tahun 2018?
3. Bagaimana gambaran keberadaan sumber penularan TB di wilayah kerja puskesmas
Ciputat tahun 2018?
4. Apakah ada hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, status gizi,
tingkat pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan merokok) dengan kejadian TB Paru
di wilayah kerja puskesmas Ciputat tahun 2018?
5. Apakah ada hubungan keberadaan sumber penularan TB dengan kejadian TB paru di
wilayah kerja puskesmas Ciputat tahun 2018?
1.4 Tujuan
15
1.5 Manfaat Penelitian
16
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tuberkulosis
2.1.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang ciri khasnya membentuk granuloma pada jaringann yang terinfeksi
sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan fungsi pada berbagai organ tubuh,
khususnya paru-paru (Sardjana, 2007, hal 122). Mycobacterium tuberculosis ini
ditemukan oleh Robert Koch tanggal 24 Maret 1882. Mikrobacteria penyebab
Tuberkulosis adalah bakteri aerob yang berbentuk basil, namun tidak membentuk
endospora. Dan meski tidak mudah untuk diwarnai, namun apabila sudah diwarnai,
bakteri ini tahan terhadap peluntur asam atau alkohol. Itulah alasan mengapa
Mycobacterium tuberculosis dinamakan bakteri tahan asam (BTA) (Naga, 2010, hal.
311). Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain : Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae
yang mana semuanya adalah bakteri tahan asam (BTA). Kelompok tersebut sering kali
menimbulkan gangguan pada penegakan diagnosis TB karena dapat menimbulkan
gangguan saluran pernapasan yang dikenal MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) (kemenkes, 2014).
1. Tuberkulosis paru, yang mana jaringan yang diserang adalah jaringan parenkim paru.
17
2. Tuberkulosis ekstra paru, yang mana jaringan yang diserang selain jaringan parenkim
paru. Seperti tuberkulosis kelenjar limfe, tuberkulosis usus, tuberkulosis meningitis,
dll.
d. Dan dalam Kemenkes 2014, dijelaskan bahwa dalam pemeriksaan dahak mikroskopis
langsung, maka pasien ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal satu dari
pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif (Kemenkes, 2014).
18
4. Kasus pindahan, adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
5. Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.1.2 Gambaran Klinis Tuberkulosis
Gejala utama TB adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan
gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam lebih dari 1 bulan (RISKESDAS, 2013). Secara umum, tingkat atau derajat
penularan Tuberkulosis paru tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam
sputum, virulensi atas, basil dan peluang adanya pencemaran udara dari batuk, besin, dan
berbicara keras. Ada beberapa tanda saat seseorang terjangkit tuberkulosis paru, di
antaranya (Naga, 2010, hal. 310) :
Sementara dalam sumber lain (Sardjana, 2007,hal. 129) disebutkan bahwa gejala
klinis TB digolongkan menjadi dua, yaitu :
- Sesak napas
- Nyeri dada
- Malaise
19
- Keringat malam
1. TB kulit
2. TB tulang
2
(kasus baru BTA positif, kasus BTA negatif, Ro positif, dan sakit berat, serta TB ekstra paru berat).
21
c. Kategori 34 dengan panduan terapi 2HRZ/4H3R3
Dengan keterangan sebagai berikut :
H : Isoniasid
R :Rifampisin
Z : pirazinamin
S : Streptomisin
E : Etambutol
3
(kasus kambuh, gagal, setelah lalai)
4
(kasus BTA negatif, Ro positif dan sakit ringan, serta TB ekstra paru ringan)
22
g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir dan
memakai sabun.
h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.
5. Juga memberi penyuluhan mengenai faktor risiko infeksi tuberkulosis seperti anak
yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik),
dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. (Kartasasmita, 2009)
Banyak hal yang bisa dilakukan mencegah terjangkitnya TBC paru. Pencegahan-
pencegahan berikut dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, maupun petugas
kesehatan. (Naga, 2010, hal. 315) berdasarkan lima lima level pencegahan :
1. Promosi kesehatan
Pada level ini, bentuk pencegahan penyakit tuberculosis yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala, bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
b. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melakukan desinfeksi, seperti cuci
tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap muntahan atau ludah
anggota keluarga yang terjangkit penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian) dan
menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. Ventilasi rumah terdiri
dari dua macam (Ratih, 2016, hal. 15) yaitu :
- Ventilasi alamiah, dimana aliran udara didalam ruangan tersebut terjadi secara
alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan
sebagainya
- Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan
udara tersebut, misalnya kipas angin.
2. Perlindungan umum dan khusus
Pada level ini, bentuk pencegahan penyakit tuberculosis dapat dilakukan dalam
bentuk sebagai berikut :
23
a. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan
ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG.
b. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan
penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan, dan orang lain yang
terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
3. Pengobatan dini dan treatment
Pada level pencegahan sekunder ini, posisi pasien dalam keadaan sudah terinfeksi,
namun masih bersifat asimtomatik (tanpa gejala). Adapun bentuk pencegahan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan Tes
Tuberculin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil
negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan dan perlu penyelidikan
intensif.
b. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang
tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter untuk diminum
dengan tekun dan teratur, selama 6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap
obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
c. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut saat
batuk, dan membuang dahak tidak di sembarangan tempat. Sehingga memperkecil
peluang orang disekitarnya untuk teinfeksi Tuberkulosis.
4. Rehabilitasi dan pengurangi kecacatan (pencegahan tersier)
Dalam level pencegahan ini, keadaan pasien sudah cukup parah, artinya patogenesis
Mycobacterium tuberculosis sudah mencapai akhir perjalanan. Sehingga hadirnya level
pencegahan ini guna mengarahkan prognosis dari Tuberkulosis ke arah sembuh, atau
apabila tidak memungkinkan, ke arah kecacatan. Adapun bentuk tindakan pencegahan
pada level ini adalah :
a. Petugas kesehatan harus segera melakukan pengisolasian dan pemeriksaan terhadap
orang-orang yang terinfeksi, atau dengan memberikan pengobatan khusus kepada
penderita TBC ini. Pengobatan dengan cara menginap dirumah sakit hanya dilakukan
bagi penderita dengan kategori berat dan memerlukan pengembangan program
pengobatannya, sehingga tidak dikehendaki pengobatan jalan.
24
2.1.1.6 Rantai Infeksi Tuberkulosis
Tuberkulosis memiliki rantai infeksi yang sama dengan sebagian besar penyakit
infeksi lainnya sebagai berikut (Noor, 2009, hal. 52) :
1. Pintu keluar (port de exit)
Pada tahap ini, agent Mycobacterium tuberculosis meninggalkan pejamu (reservoir)
melalui jalan pernapasan (hidung). Penyakit tuberculosis keluar dalam bentuk droplet
ketika penderita bersin atau batuk.
2. Cara penularan (mode of transmission)
Dalam tahap ini, terdapat dua kelompok besar, yaitu (1) Penularan langsung yaitu
penularan penyakit terjadi secara langsung dari penderita kepada host baru ; (2)
Penularan tidak langsung yaitu penularan penyakit yang melalui media perantara
seperti udara (air bone), benda tertentu (vehicle bone), dan vektor (vector bone). Cara
penularan Tuberkulosis adalah penularan langsung melalui percikan dahak apabila dalam
jarak dekat ketika batuk/bersin (Sardjana, 2007,hal. 127), dan juga penularan tidak
langsung melalui udara (air bone) dalam bentuk droplet. . Dari sinilah akan terjadi infeksi
dari satu penderita ke calon penderita lain (mereka yang telah terjangkit penyakit). (Naga,
2010, hal. 312). Adanya pengetahuan mengenai cara penularan Tuberkulosis ini
sangatlah penting karena berdampak kepada cara intervensi pencegahan, berupa peranan
konstruksi bangunan dan ventilasi dan siklus pertukaran udara ruangan (Noor, 2009, hal.
58). Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto Toraks positif adalah 17% (Kemenkes, 2014).
5
Adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil resuspensi partikel yang terletak di lantai, atau
terbawa bersama debu di udara (Noor, 2009, hal. 57)
25
4. Pejamu
5. Agent Infeksi
6. Reservoir
1. Periode Prepatogenesis
Pada periode ini, keadaan Host, Agent, environment masih seimbang, dalam artian
belum ada bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh pejamu (host).
2. Periode patogenesis
Periode ini, keadaan Host, Agent, Environment sudah tak lagi seimbang. Hal tersebut
karena agent (Mycobacterium tuberculosis) sudah berada dalam tubuh pejamu. Periode
ini terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a. Tahap inkubasi
Tahap inkubasi tuberkulosis berbeda dengan tahap inkubasi penyakit infeksi lainnya.
Apabila tahap inkubasi penyakit infeksi lain adalah waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit (Eko Budiarto, 2003), maka tahap
inkubasi TB adalah waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
26
berbentuknya kompleks primer secara lengkap (Werdhani, 2016). Masa inkubasi dari TB
biasanya adalah 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Selama masa
inkubasi, bakteri Mycobacterium tuberculosis berkembang hingga mencapai jumlah yang
cukup untuk merangsang imunitas seluler.
b. Tahap dini atau subklinis
Pada tahap dini/subklinis, selama minggu-minggu awal infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terdahap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat inilah, infeksi TB
primer sudah dimulai. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
c. Tahap lanjut
Tahap lanjutan dari infeksi Mycobacterium tuberculosis berupa menyebarnya bakteri
dan terjadinya mekanisme inflamasi pada kelenjar limfe regional.
3. Tahap pascapatogenesis
Disinilah tahap akhir dari proses perjalanan penyakit TB, yang mana terdapat
beberapa keadaan yaitu :
a. Sembuh total
b. Sembuh dengan kecacatan.
c. Carier penyakit tanpa gejala, yaitu kuman TB masih tetap hidup dalam kelenjar limfe
selama bertahun-tahun.
d. Penyakit bertambah kronis, parah
e. Meninggal.
2.1.2 Konsep Segitiga Epidemiologi
segitiga epidemiologi adalah suatu model pendekatan penyebab penyakit utamanya single
causal dengan melihat komponen Host, agent, Environment dan interaksi antar elemennya, yang
dikembangkan oleh Jhon Gordon pada tahun 1950 (Purnama, 2014). Host ialah keadaan
kerentanan pejamu sebagai tempat berlangsungnya penyakit. Agent ialah organisme/zat yang
menjadi penyebab pasti munculnya penyakit pada host. Environment ialah keadaan lingkungan
yang dapat memengaruhi kerentanan host dan kekuatan agent dalam menyebabkan penyakit.
Dalam penerapan kehidupan, ketiga komponen (Host, Agent, Environment) haruslah seimbang
supaya seseorang tetap berada dalam keadaan sehat. Ketidakseimbangan antara ketiga
27
komponen, baik host, agent, maupun environment dapat menyebabkan munculnya penyakit pada
manusia.
1. Agent
2. Host
28
Manusia adalah reservoar dalam penularan Mycobacterium tuberculosis
melalui droplet nuclei. Keadaan kuat-tidaknya manusia untuk melawan infeksi
Mycobacterium tuberculosis ditentukan antara lain :
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian
TB paru dengan prevalensi 75% penderita TB paru di Indonesia merupakan
kelompok usia 15-50 tahun. Kelompok usia 15-50 tahun termasuk dalam
kelompok penduduk usia produktif, dimana seseorang yang termasuk dalam usia
produktif banyak melakukan kegiatan.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor risiko penularan TB paru yang tidak dapat
dimodifikasi. Berdasarkan hasil laporan WHO di amerika serikat tahun 1993-
1998 diketahui bahwa penderita TB lebih banyak diderita oleh laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko untuk
penularan TB paru dikarenakan karena aktivitas sehari-hari yang mana laki-laki
memiliki aktivitas sehari-hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan
sehingga lebih berisiko untuk terinfeksi kuman TB oleh penderita TB paru BTA
positif yang ada dilingkungan.
c. Pendidikan
29
kurang dari sembilan tahun berisiko 3,3 kali lebih besar terkena TB paru
dibandingkan dengan orang dengan pendidikan lebih dari sembilan tahun.
d. Pengetahuan
e. Status Gizi
Status gizi adalah gambaran kecukupan gizi pada tubuh seseorang. Salah satu
cara untuk mengukur status gizi ialah melalui perhitungan Indeks masa Tubuh
(IMT) jika pada kelompok populasi dengan umur > 18 tahun. Rumus perhitungan
IMT ialah sebagai berikut :
No Kategori IMT
1 Kurus IMT < 18,5
2 Normal 18,5 ≤ IMT ≤ 25,0)
3 Berat IMT ≥ 25,1
Sumber : Kemenkes RI (2011)
Status gizi seseorang akan memengaruhi risiko untuk tertular TB. Seseorang
dengan kategori status gizi buruk akan memengaruhi keadaan imunitas seseorang
sehingga seseorang akan menjadi lebih rentan untuk terserang penyakit infeksi,
30
salah satunya adalah TB. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman
yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk
bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis
paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang
baik. Selain itu, status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana
penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan infeksi kuman TB
(Ihram, 2013).
f. Pendapatan
Pendapatan ialah penghasilan bersih rata-rata seseorang setiap bulannya.
Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memengaruhi
baik-buruknya status kesehatan, seperti kejadian TB paru karena TB merupakan
penyakit yang multikompleks yang tidak hanya disebabkan karena faktor biologi,
namun juga sosial ekonomi, dll (A. Rosiana, 2013). Adapun kategori tingkat
pendapatan diperoleh dari pembuatan UMR Tangsel tahun 2017 sebagai cut of
point antara tingkat pendapatan rendah dan tinggi. Adapun lebih jelasnya ialah
seperti pada
Tabel 2-2 kategori tingkat pendapatan berdasarkan UMR tangsel tahun 2017
b. Kepadatan Hunian
d. Intensitas Cahaya
Cahaya alami seperti matahari merupakan bagian yang sangat penting dalam
bagian tempat tinggal karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen, salah
satunya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri yang tahan/suka pada kondisi lingkungan yang
lembab dan gelap, serta hanya mampun bertahan 1-2 jam pada kondisi lingkungan
yang cukup pencahayaan matahari. Dalam ruangan yang lembab dan gelap,
kuman Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hingga berbulan-bulan.
Menurut Kepmenkes RI No.829/MENKES/SK/VII/1999, Intensitas pencahayaan
minimal yang diperlukan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan (A. M. Rosiana,
2013). Dalam penelitian (Izzati et al., 2015; A. M. Rosiana, 2013) diketahui
bahwa terdapat hubungan signifikan antara kondisi intensitas pencahayaan
terhadap kejadian TB paru.
e. Suhu
Suhu adalah besarnya derajat udara yang dinyatakan dalam satuan tertentu.
Suhu dibedakan menjadi 1) suhu kering dimana suhu ditunjukan oleh termometer
suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit (umumnya
antara 24-34o C), 2) suhu basah yaitu suhu yang menunjukan bahwa udara telah
jenuh oleh uap air, dan biasanya lebih rendah dibandingkan dengan suhu kering,
yaitu antara 20-25o C. Secara umum penilaian suhu rumah dilakukan dengan
menggunakan termometer ruangan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki
rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapatsuatu suhu
optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosis merupakan
33
bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapiakan
tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Kemenkes RI, 2006 dalam Ihram,
2013).
f. Jenis Lantai
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang
berbahaya bagi penghuninya dan dapat menjadi media penular kuman TB.
Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti
tegel, semen, atau keramik (Asih, 1995 dalam Romlah, 2015).
Host
• umur
• jenis kelamin
• pengetahuan
• status gizi Kejadian TB paru
• pendapatan
• kebiasaan merokok
Agent Penyebab
Mycobacterium tuberculosis
Environment
• Keberadaan sumber
penularan
• Kepadatan hunian
• Ventilasi rumah
• Kelembaban Sumber : modifikasi konsep HAE
• Intensitas cahaya (Jhon Gordon, 1950; Handriyo & Srw,
• Suhu 2017; Ihram, 2013; Rika Hapsari &
• Jenis lantai Dkk, 2013; Romlah, 2015; A.
Rosiana, 2013)
34
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Host
• umur
• jenis kelamin
• pengetahuan
• status gizi
• pendapatan
• kebiasaan
merokok Kejadian TB paru
Environment
• Keberadaan
sumber
penularan
Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada kerangka teori penelitian pada gambar
2-1. Pada kerangka konsep gambar 3-1 tidak semua variabel dalam kerangka teori diambil oleh
peneliti. Variabel dependen yang akan diteliti adalah kejadian TB paru. Sementara variabel
independen yang akan diteliti adalah adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan, status gizi,
pendapatan, kebiasaan merokok, serta keberadaan sumber penularan. Beberapa variabel yang
tidak diteliti oleh peneliti antara lain :
1. Mycobacterium tuberculosis
Variabel agent penyebab tidak diteliti karena adanya homogensi data ketika
diteliti dimana pada semua kasus TB paru akan selalu ditemukan Mycobacterium
35
tuberculosis. Hal ini dikarenakan Mycobacterium tuberculosis merupakan faktor
necessary6 penyebab penyakit.
2. Kepadatan hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah
anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Dalam penelitian ini variabel kepadatan
penghunian rumah tidak diteliti karena sulitnya mengukur luas lantai tempat tinggal
responden.
3. Ventilasi rumah
Ventilasi adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik ventilasi tetap
maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana pertukaran udara sehingga ruangan
menjadi menyenangkan dan menyehatkan dan diukur dengan mengukur perbandingan
luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan roll meter. Variabel ini tidak diteliti
karena ventilasi rumah harus diukur langsung dan sulit dilakukan.
4. Kelembaban
Kelembaban meliputi kelembaban udara dalam kamar responden yang dihitung
dalam persentase kandungan jumlah air dalam ruangan dengan menggunakan
Hygrometer. Pengukuran optimal biasanya dilakukan pada pagi-siang hari antara pukul
09.00 - 12.00. variabel ini tidak diteliti karena kesulitan dalam pengadaan alat dan
kendala dalam validasi validitas pengukuran yang akan dilakukan.
5. Intensitas cahaya
Pencahayaan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari matahari pagi
yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin, jendela, genteng kaca, dan
pintu kedalam rumah, yang diukur dengan menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00–
12.00. Variabel ini tidak diteliti karena pencahayaan ruangan harus diukur langsung dan
sulit dilakukan.
6. Suhu
6
Organisme/faktor yang harus ditemukan pada setiap kasus
36
Suhu diukur menggunakan termometer ruangan dengan megukur secara langsung.
Variabel ini tidak diteliti karena sulitnya menggambarkan hasil ukur dalam keseluruhan
bagian rumah.
7. Jenis lantai
Jenis lantai memiliki peran dalam proses penularan kejadian TB paru. Namun dalam
penelitian ini tidak diteliti karena tidak ditemukannya rumah dengan lantai tanah di
wilayah kerja puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan.
37
3.2 Definisi Operasional
Variabel
No. Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Dependen
1. Kejadian TB pasien yang tercatat di data Data telaah data rekam medis pasien 1. Penderita TB paru nominal
paru rekam medis puskesmas rekam puskesmas Ciputat Kota BTA positif
Ciputat pada bulan januari- medis Tangerang Selatan pada Bulan 2. Bukan penderita TB
maret 2018, yang yang puskesmas januari – maret 2018
sedang/pernah didiagnosa Ciputat
TB paru BTA positif
Variabel
No Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Independen
2. Umur Lama hidup seseorang Kuisioner Wawancara 1. Usia produktif Ratio
terhitung sejak dia dilahirkan (15-55 thn)
sampai saat ini dalam satuan 2. Usia non
tahun produktif
38
tinggi badan dan responden langsung ditempat IMT ≤ 25,0)
kalkulator oleh peneliti dengan timbangan 3. gemuk (IMT ≥
berat badan dan microtoise. 25,1)
Hasil ukur IMT disesuaikan
dengan klasifikasi dari (Kemenkes RI,2011)
Kemenkes RI (2011)
5. tingkat Tinggi rendahnya skor total Kuisioner Wawancara 1. rendah (jika skor < ordinal
pengetahuan jawaban responden pada mean skor)
pertanyaan-pertanyaan yang 2. tinggi (jika skor ≥
berkaitan dengan TB paru mean skor)
6. tingkat Kategori besar rata-rata Kuisioner Wawancara 1. rendah ( < ordinal
Pendapatan pendapatan per bulan Rp.3.270.000)
responden yang 2. tinggi ( ≥
dikelompokkan berdasarkan Rp.3.270.000)
besar UMR tangsel tahun
2017 (Rp3.270.000)
7. Kebiasaan Kategori banyaknya rokok Kuisioner Wawancara 1. merokok berat ( > ordinal
merokok yang dihidap responden 1 bungkus per hari
dalam sehari secara rutin)
2. merokok sedang (
< 1 bungkus per
hari secara rutin)
3. merokok ringan ( <
1 bungkus per
hari)
4. tidak merokok
39
(Kemenkes, 2012)
40
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas Ciputat
tahun 2018.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
3. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas
4. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
5. Ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
6. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
41
4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada wilayah kerja puskesmas Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
Ciputat dipilih karena menempati urutan kedua proporsi kasus TB dengan 58 kasus per 100.000
penduduk, dan juga karena lokasi yang lebih terjangkau dari kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada pada bulan April Tahun 2018.
42
Dalam menetapkan subjek penelitian sebagai sampel, peneliti menetapkan kriteria inklusi
dan ekslusi sebagai berikut :
1. Kriteria insklusi
a. Pengunjung puskesmas Ciputat yang tercatat dalam rekam medis pada bulan
januari-maret 2018
b. Bertempat tinggal di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi
a. Pengunjung puskesmas Ciputat yang tidak tercatat dalam rekam medis pada bulan
januari-maret 2018
b. Bertempat tinggal diluar Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
c. Tidak bersedia menjadi responden penelitian
Perhitungan penentuan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis
beda 2 proporsi. Rumus tersebut sebagai berikut (Ariawan, 1998):
n = jumlah sampel
Z1-a/2 = nilai Z pada derajat kemaknaan (CI) 95% dengan α =0,05 yaitu 1,96
Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β = 80% yaitu 0,84
Adapun nilai p1 dan p2 didapat dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan variabel
yang ingin diteliti dengan kejadian TB paru sebagaimana pada Tabel 4-1.
43
Tabel 4-1perhitungan sampel berdasarkan variabel
no Variabel P1 P2 n sumber
1. Umur 0,25 0,50 58 (Dotulong & Dkk,
2015)
2. Jenis kelamin 0,73 0,44 45 (Korua & Dkk, 2014)
3. Status gizi 0,64 0,43 88 (Ihram, 2013)
4 tingkat Pengetahuan 0,61 0,33 49 (Anugrah, 2012)
5. Tingkat Pendapatan 0,73 0,41 37 (A. Rosiana, 2013)
6. Kebiasaan merokok 0,74 0,18 12 (Lalombo & Dkk,
2015)
7. Keberadaan sumber 0,82 0,48 30 (Anugrah, 2012)
penularan TB
Perhitungan sampel pada Tabel 4-1 diperoleh dengan perhitungan rumus uji hipotesis
untuk dua proporsi (two-sided test) dengan software “Sample Size” 2.0. Berdasarkan perhitungan
sampel per variabel pada tabel Tabel 4-1, maka diperoleh jumlah sampel sebesar 88 responden
(diambil dari jumlah sampel terbesar yang diperoleh dari perhitungan sampel).
a. Data primer
Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dan pengukuran pada
responden dengan menggunakan alat ukut. Data tentang umur, jenis kelamin, tingkat
pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan merokok, keberadaan sumber penularan TB
diperoleh dengan wawancara. Sementara data status gizi diperoleh dengan cara
pengukuran langsung pada responden. Data untuk status gizi dikumpulkan melalui
pengukuran tinggi badan dan berat badan pada responden dengan menggunakan alat
timbang berat badan dan Microtoise yang kemudian dihitung kedalam rumus IMT.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi puskesmas Ciputat, Kota Tangerang berupa
data hasil rekap medis pengunjung puskesmas ciputat pada bulan januari-maret tahun
2018.
44
4.6 Instrumen Penelitian
Adapun instrumen penelitian yang digunakan adalah metode wawancara dengan instrumen
1. Data coding
Kegiatan memberikan kode untuk masing-masing jawaban responden untuk
mempermudah proses mengolah dan menganalisa data selanjutnya. Adapun kode yang
diberikan tertera pada Tabel 4-2.
No Variabel kode
1 Kejadian TB Paru 1. Penderita TB
paru BTA
positif
2. Bukan
penderita TB
2 Umur 1. Usia produktif
2. Usia non
produktif
3 Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
4 Status gizi 1. Rendah
2. Normal
3. gemuk
5 tingkat Pengetahuan 1. Rendah
2. Tinggi
6 tingkat Pendapatan 1. Rendah
2. tinggi
7 Kebiasaan merokok 1. merokok berat
2. merokok
sedang
3. merokok
ringan
4. tidak merokok
8 Keberadaan sumber penularan TB 1. Ya
2. tidak
2. Data Editing
45
Data yang telah dikumpulkan dicek ulang pada saat di lapangan untuk melihat
kelengkapan data dan menghindari adanya missing data. Selain itu juga untuk
memeriksa konsintensi data.
3. Data Entry
Proses memasukan data menggunakan software kompute berdasarkan variabel
dan klasifikasi datang yang akan dianalisis.
4. Data Cleaning
Proses mengecek data setelah data dimasukkan dalam software untuk
menghindari kesalahan atau missing data dan juga menghindari skip ketika entry data.
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-
masing variabel dependen (kejadian TB paru) dan independen (umur, jenis kelamin,
status gizi, tingkat pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan merokok) dan keberadaan
sumber penularan TB).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen
(umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat pengetahuan, tingkat pendapatan, kebiasaan
merokok dan keberadaan sumber penularan TB) dengan variabel dependen (kejadian TB
paru). Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian antara lain :
a. Uji Chi-Square
Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
kategorik independen ( jenis kelamin, umur, status gizi, tingkat pengetahuan,
tingkat pendapatan, kebiasaan merokok dan keberadaan sumber penularan TB
dengan variabel kategorik dependen (kejadian TB paru) dengan batas kemaknaan
Pvalue ≤ 0,05 yang berarti ada hubungan yang bermakna statistik dan Pvalue >
0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kedua
variabel. Uji Chi-Square dilakukan pada estimasi derajat kepercayaan (CI) 95%
dengan α = 5%. Adapun persamaan Chi-Square adalah sebagai berikut :
46
2
(𝑂 − 𝐸)2
𝑋 =
𝐸
Keterangan :
X2 = Chi-Square
O = efek yang diamati
E = efek yang diharapkan
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat nilai Odds Rasio (OR) pada masing-
masing variabel dengan kejadian TB paru. Uji OR merupakan salah satu uji yang
digunakan untuk melihat besar risiko variabel independen. Nilai OR merupakan
perbandingan antara risiko yang dialami oleh mereka yang terpapar dengan mereka yang
tidak terpapar. Nilai OR dimulai dari nol (0) sampai tak terhingga. Nilai OR sama dengan
satu (OR=1) berarti tidak ada hubungan. Nilai OR lebih kecil dari 1 berarti faktor tersebut
bersifat protektif (OR< 1). Sedangkan jika OR lebih dari 1 (> 1) berarti bahwa faktor
tersebut merupakan faktor risiko. Rumus dari OR adalah :
𝑎/𝑏 𝑎𝑑
𝑂𝑅 = =
𝑐/𝑑 𝑏𝑐
Keterangan :
a/b : rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang tidak terpapar
c/d : rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kasus yang tidak terpapar
47
5 DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I. (98AD). Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan
Biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Asiya, d. (2012). Mengenal 15 Penyakit Menular dan Tidak menular. Tanggerang Selatan: UIN
Jakarta Press.
BPS Kota Tangerang Selatan. (2016). kota tangerang selatan dalam angka 2016. Tangerang
Selatan.
Budiarto, Eko, Dewi Anggraeni. (2003). Pengantar Epidemiologi (2nd ed.). jakarta: EGC.
Depkes RI. 2002 Pedoman penanggulangan TB, cetakan ke-8. Direktoral jenderal
Pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan.
Dotulong, J. F. J., & Dkk. (2015). Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin dan kepadatan
hunian dengan kejadian penyakit tb paru di desa wori kecamatan wori. Kedokteran
Komunitas Dan Tropik, 3(2), 57–65.
Ernawati, K., & Dkk. (2016). HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TUBERKULOSIS
PARU DI PROVINSI SULAWESI UTARA BERDASARKAN DATA RISKESDAS
TAHUN 2010. In prosiding seminar nasional penelitian dan PKM kesehatan (Vol. 6, pp.
133–138).
Handriyo, R. G., & Srw, D. W. (2017). Determinan Sosial Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Panjang. Majority, 7(1), 1–5.
Ihram, M. A. (2013). Hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan
kejadian tb paru pada kelompok usia produktif di puskesmas pondok pucung tahun 2013.
Izzati, S., Basyar, M., & Nazar, J. (2015). Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Andalas, 4(1), 262–268. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/232
48
Kementerian kesehatan, 2011. “Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014”
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016.
Kementerian Kesehatan RI, 100. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/Data dan Informasi
Kesehatan Profil Kesehatan Indonesia 2016 - smaller size - web.pdf
Korua, E. S., & Dkk. (2014). Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin, Dan Kepadatan Hunian
Dengan Kejadian TB Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah
Noongan.
Lalombo, A. Y., & Dkk. (2015). Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis
paru di puskesmas siloam kecamatan tamako kabupaten kepulauan sangihe. eJournal
Keperawatan, 3(2).
Lusiana, N., & dkk. (2015). BUKU AJAR METODOLOGI PENELITIAN KEBIDANAN - Novita
Lusiana, S.K.M., M.Kes., Rika Andriyani, S.S.T., M.Kes., Miratu Megasari, S.S.T., M.Kes. -
Google Books (1st ed.). Yogyakarta: Deepublish. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=IEPoCAAAQBAJ&pg=PA31&dq=desain+studi+cross
+sectional&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=desain studi cross sectional&f=false
Mandal, B. d. (2006). Lecture Notes Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Naga, S. S. (2010). Buku Panduan lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogjakarta: DIVA Press.
Naseh, S. (1993). Keunggulan dan Keterbatasan Beberapa Metode Penelitian Kesehatan. Media
Litbangkes, III(1), 22–24.
Rajab, W. (2008). Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC.
49
Ratih. (2016). Dikutip pada februari 24, 2018, dari e-Skripsi Universitas andalas:
http://scholar.unand.ac.id/3940/2/PENDAHULUAN.pdf
Rika Hapsari, A., & Dkk. (2013). Analisis Kaitan Riwayat Merokok Terhadap Pasien
Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Srondol. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 3(2), 47–50.
Rosiana, A. M. (2013). Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru. Unnes Journal of Public Health, 2(1). https://doi.org/10.1177/1403494814549494
Sardjana, H. N. (2007). Epidemiologi Penyakit Menular. (J. Aripin, Ed.) tanggerang Selatan:
UIN Jakarta Press.
Setyarini, dkk. 2012. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: pilar utama media
Wijaya, I. made kusuma, & Dkk. (2013). J urnal Magister Kedokteran Keluarga J urnal Magister
Kedokteran Keluarga. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga, 1(1), 80–91.
50