Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN HIV/AIDS

“Penerapan Terapi Komplementer dan Trend Issue”

1
KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan terapi komplementer terhadap pasien HIV/AIDS?
2. Bagaimana trend dan issue HIV/AIDS?
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Terapi Komplementer pada Pasien HIV/AIDS


2.1.1 Pengertian Terapi Komplementer
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Terapi merupakan
usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit. Pengobatan
penyakit, perawatan penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi,
bersifat menyempurnakan. Menurut WHO (World Health Organization).
Pengobatan komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang
bukan berasal dari Negara yang bersangkutan. Misalnya jamu yang
merupakan produk Indonesia dikategorikan sebagai pengobatan
komplementer di Negara Singapura. Di Indonesi sendiri, jamu
dikategorikan sebagai pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang
dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu digunakan
dan diturunkan secara turun-temurun pada suatu Negara.
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakuka
sebagai pendukung atau pendamping kepada pengobatan makro nutrient
dan mikro nutrient. Terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi
dari sistem-sistem tubuh. Terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh agar
tubuh dapat menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit. Karena tubuh kita
sebenarya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan
kita mau mendengarkanya dan memberikan respon dengan asupan nutrisi yang
baik lengkap serta perawatan yang tepat.
Jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif berdasarkan
permenkes RI Nomor: 1109/Menkes/2007 adalah:
1. Intervensi tubuh dan pikiran : hipnoterapi, mediasi, penyembuhan
spiritual, dao dan yoga.
2. Sistem pelayanan pengobatan alternative : akupuntur, akupresur,
natropati, aromaterapi.

2
3. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal
4. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro
nutrient dan diet mikro nutrient.

2.1.2 Penerapan Terapi Komplementer pada Pasien HIV/AIDS


HIV/AIDS kini bukan dari akhir segalanya, dengan kemajuan
diagnosis dan terapi, orang yang terinfeksi HIV/AIDS memiliki harapan
hidup lebih panjang dan bisa menjalani hidup yang produktif. Meski tidak
bisa menyembuhkan, terapi komplementer seperti: terapi informasi, terapi
spritul, terapi nutrisi, dan terapi spritula, bisa memperpanjang hidup
pengidap HIV/AIDS positif dan membuat mereka hidup lebih
produktif. HIV dan AIDS sering dianggap penyakit yang tidak ada
obatnya dan dikaitkan dengan kematian secara cepat. Padahal, kita bisa
hidup sehat dengan HIV di dalam tubuh untuk waktu yang sangat
lama, bahkan melebihi pikiran yang umum yaitu lima sampai sepuluh
tahun. Banyak cara yang bisa ditempuh agar kekebalan tubuh tidak
berkurang dan kita tidak rentan terhadap serangan penyakit. Mengerti
manfaat terapi alternatf bagi seseoang yang HIV-positif sangatlah penting.
Walapun tidak boleh menutup kemungkinan adanya keajaiban dan terjadi
kesembuhan, sampai saat ini belum terjadi status oran ang HIV-positif
berubah menjadi HIV-negatif.
Berikut ini beberapa terapi komplementer yang dapat diterapkan pada
pasien HIV/AIDS, ialah :
1. Terapi Informasi
Dalam kamus, definisi terapi adalah “usaha untuk memulihkan
kesehatan orang yang sedang sakit”. Tidak disebut “usaha
medis” dan juga tidak disebut penyembuhan penyakit. Terapi
informasi melatarbelakangi semua bentuk terapi lain. Terapi
informasi bukan sekedar penegtahuan. Contohnya seseorang yang
baru dites HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa
terkejut (shock), banyak pertanyaan akan muncul dan seseorang
akan bingung mengenai pengertian dan konsep dari HIV/AIDS itu

3
sendiri. Konseling pasca (atau sesudah) tes yang paling sempurna
pun tidak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan dan Terapi
informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan
berlangsung secara terus-menerus. Sejak mengetahui bahwa
dirinya terdiagnosa HIV/AIDS, seorang ODHA pasti akan
mengalami ketakutan. Pertolongan pertama untuk mengobati
ketakutan terhadap hal yang tak diketahui adalah informasi yang
jelas dan tepat. Bila mulai memahami apa arti menjadi HIV-
positif, seorang ODHA dapat mulai menerima penyakit ini,
mungkin bahwa itu bukan vonis mati, dan mulai merencanakan
tanggapan odha sendiri yaitu kumpulan terapi lain yang akan
diikuti. Dengan perncanaan begitu dan tindakanya dan rasa
ketakutan kita akan berkurang dan stress yang terkait denganya
akan mulai menurun juga. Jadi, informasi untuk membantu ODHA
menjadi lebih paham.
2. Terapi Spiritual
Dewasa ini konsep kedokteran moderen mengenai pengobatan
ialah dengan pertimbangan aspek biopsikososial. Artinya
pengobatan tidak hanya berusaha untuk mengembalikan fungsi
fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan social. Pendekatan ini
menepatkna kembali pengobatan spiritual sebagai salah satu cara
pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita. Di Indonesia
pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seseorang
pemeluk agama islam misalnya cenderung untuk menjalani
pengobatan spiritual yang dilaksanakan sesuai ajaran agama islam,
misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat hajat dll. Dalam agama
lain juga terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik yang
dibimbing oleh rohaniawan maupun yang dilakukan sendiri. Odha
dapat memilih untuk menjalankana pengobatan spiritual yang
sesuai dengan agamanya atau pengobatan spiritual yang berlaku
umum. Bila dia memilih pengobatan spiritual yang sesuai dengan
agamanya maka kegiatan tersebut tidak asing lagi baginya serta

4
mendukung jemaah yang dikenal dan akrab akan mempermudah
sosialisasi.
3. Terapi Nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV /AIDS
untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi system
imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi,
dan menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap aktif dan
produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada
orang degan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak dini walaupun
pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan kehilangan nafsu
makan dan gangguan absorbs zat gizi. Di unti perawatan
intermediet penyakit terdapat 87% ODHA dengan berat badan di
bawah normal. Sebagian besar para ODHA dan keluarga
mengatakan bahwa nafsu makanya menurun sehingga frekuensi
makan juga berkurang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh HIV untuk
berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk
melawan HIV menjadi berkurang.
Untuk mendapatkan nutrisi yang sehat dan berimbang, ODHA
sebaiknya mengosumsi makanan yang bervariasi, seperti makanan
pokok, kacang-kacangan, produk susu, daging, serta sayur dan
buah-buahan setiap hari, lemak dan gula, dan meminum banyak
air bersih dan aman. Bila diperlukan bisa diberikan zat gizi mikro
dalam bentuk supleme makanan sera jus buah dan sayur.
4. Terapi Fisik
Terapi fisik adalah upaya yang bisa dijadikan alternatif pelengkap
dalam upaya memperbaiki disfungi yang berikatan dengan tubuh
yang disebabkan HIV, virus penyebab AIDS. Ada beberapa jenis
terapi fisik yang bisa dilakukan. Antara lain terapi makanan dan
jamani. Pada asanya terapi yang dilakukan bisa membuat daya
tahan tubuh atau keadaan kekebalan ODHA bisa dipertahankan
secara maksimal, juga kondisi fisiknya tetap dilatih agar lebih

5
kuat. Misalnya massa otot orang pada masa AIDS yang biasanya
akan menurun drastis, semakin kurus. Saat seseorang mulai
menunjukan gejala, masa otot dan lemak berkurang perlahan
namun pasti. Kalau dari awalnya masa otot tidak diperhatikan,
maka penampilan serta daya tahan akan sangat berpengaruh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa olahraga dengan tigkat/
kadar sedang ternyata bisa meningkatkan system kekebalan tubuh
menjadi lebih tinggi. Selama berolahraga, tubuh mengelurkan
berbagai hormon. Antara lain yang berfungsi meningkatnkan mutu
dan jumlah limfosit B dan T, serta endfrin, dan enkafalin, serta
homon yang berfungsi menurunkan kekebalan seperti suatu
hormone yang disebut ACTH. ACTH bekerja meningkatkan kadar
kortisol yang berperan menekan produksi sel kekebalan.
Keluarnya hormon tersebut sangat beraneka ragam tergantung
beberapa factor, antara lain beratnya latihan.
Latihan ringan sampai sedang akan mengelurkan hormone yang
merangsang pembentukan system kekebalan. Sementara latihan
berat yang menimbulkan kelelahan justru sebaliknya, yaitu
menekan produksi sel kekebalan. Agar keadaan tubuh tetap stabil
lebih baik memilih jenis olahraga yang tidak menimbulkan stress.
Seperti jalan kaki dan renag. Terapi jenis jasmani lain yang bisa
dilakukan adalah tehnik aromaterapi. Beberapa alhi menyarankan
penggunaan wewangian berbagai jenis tumbuhan, seperti lavender.
Yoga, meditasi, dan pemijatan merupakan tehnik yang baik untuk
dipilih sebagai alternative terapi fisik-jasmani yang lain. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa jenis olah fisik tersebut mampu
menghilangkan stress dan membuat tubuh tenang. Ketenangan
yang diperoleh bisa meningkat pembuatan sel kekebalan tubuh di
dalam tubuh.

6
2.2 Trend dan Issues HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang
mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk
membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV
menyebabkan kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut
terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam, 2007: 40). Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan penyakit yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang didapat. AIDS disebabkan oleh adanya
virus HIV yang hidup di dalam 4 cairan tubuh manusia yaitu cairan darah, cairan
sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional, 2010).
Penyakit AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika
Serikat yang kemudian dengan pesatnya menyebar ke seluruh dunia. Di negara-
negara Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda kaum muda
berusia 20-49 tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual dan
pengguna obat-obat suntik ke pembuluh darah (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:
310). Prevalensi global HIV tetap stabil dan jumlah infeksi HIV menurun
sekitar 15% dari tahun 2001 sampai 2008. Pada tahun 2008 terdapat 280.000
orang meninggal dari 430.000 penderita HIV/AIDS, dan tahun 2009 terdapat
33.300.000 penderita (WHO, 2009: 7). Pada tahun 2001 dan 2010, jumlah orang
yang baru terinfeksi HIV menurun tajam sebesar 34 persen di Asia Tenggara.
Menurut WHO, dengan perluasan fasilitas serta penyediaan layanan pengujian
dan konseling, sekitar 16 juta orang telah diuji untuk HIV di seluruh Asia
Tenggara. Menurut Laporan Kemajuan WHO tentang HIV/AIDS di Asia
Tenggara tahun 2011, 3,5 juta orang diperkirakan hidup dengan HIV AIDS di
tahun 2010, diantaranya 140 ribu anak-anak dan perempuan (37% dari populasi
penderita). Di Indonesia, kasus epidemi penyakit ini masih terus meningkat,
meskipun jumlah infeksi baru menunjukkan tren penurunan di Myanmar, Nepal,
dan Thailand. Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV/AIDS
tercepat di Asia Tenggara (WHO, 2009: 7). Indonesia merupakan negara yang

7
menempati urutan pertama dalam penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara. Dari
total populasi penduduk sebanyak 240 juta jiwa, Indonesia memiliki prevalensi
HIV sebesar 0,24% dengan estimasi ODHA 186.000, bahkan bisa mencapai
200.000. Untuk jumlah kasus sendiri HIV/AIDS mengalami penurunan di tahun
2011. Di Indonesia pada tahun 2008 terdapat 59 penderita (prevalensi naik
25,5% dari tahun 2007 yang terdapat 43 penderita), tahun 2009 terdapat 131
penderita (prevalensinya naik 8,8%), tahun 2010 terdapat 102 orang penderita
(prevalensi turun 9,0% dari tahun sebelumnya). Angka kejadian HIV/AIDS di
kalangan perempuan semakin mengkhawatirkan. Hal ini menempatkan anak
pada posisi rentan dengan HIV/ AIDS dari orang tuanya dalam proses
persalinan, menyusui, dan melalui media lain seperti transfusi darah. Case rate
tertinggi pada tahun 2008-2010 adalah di Papua, dimana Case rate-nya pada
tahun 2008 adalah 129,35 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 173,69 per
100.000 penduduk pada tahun 2010.
Berdasarkan jenis kelamin penderita HIV/AIDS tahun 2008, persentase
laki-laki sebesar 74,9% menurun menjadi 73% di tahun 2010, sedangkan
persentase perempuan cenderung meningkat yaitu 24,6% tahun 2008 naik
menjadi 26,6% tahun 2010 (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Berdasarkan
jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS triwulan 1 tahun 2012, Jawa Tengah
menduduki peringkat 6 se Indonesia, di bawah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,
Jawa Barat, dan Bali. Di Jawa Tengah tahun 2008 terdapat 428 penderita
(prevalensi turun 0,7 % dari tahun 2007), tahun 2009 terdapat 559 penderita
(prevalensinya naik 22%), tahun 2010 terdapat 874 penderita (prevalensi naik
35% dari tahun sebelumnya) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2010). Di
Kota Semarang penderita HIV/AIDS sebanyak 199 penderita HIV dan 15
penderita AIDS, tahun 2009 terdapat 323 penderita HIV dan AIDS 19 penderita,
tahun 2010 terdapat 287 penderita HIV dan 61 penderita AIDS, tahun 2011
terdapat 427 penderita HIV dan 59 penderita AIDS. Proporsi kasus HIV tahun
1995-April 2012 di Kota Semarang berdasarkan jenis kelaminnya adalah 48%
perempuan dan 52% laki-laki. Proporsi kasus AIDS tahun 2007- April 2012 di
Kota Semarang berdasarkan jenis kelaminnya adalah 69% laki-laki dan 31%
perempuan (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012).

8
Berdasarkan hasil penelitian Agung Sapresetya Dwi Laksana dan Diyah
Woro Dwi Lestari tahun 2010, dengan judul “Faktor-faktor risiko penularan
HIV/AIDS pada laki-laki dengan orientasi seks heteroseksual dan homoseksual
di Purwokerto tahun 2010” didapatkan hasil bahwa orientasi seks (laki-laki
homoseksual lebih cenderung berganti-ganti pasangan), IMS, dan penasun
merupakan faktor risiko penularan HIV/AIDS. Hasil penelitian Besral, Budi
Utomo, dan Andri Prima Zani tahun 2004, dengan judul “Potensi penyebaran
HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum, disebutkan bahwa
penularan HIV/AIDS disebabkan karena penggunaan jarum suntik secara
bergantian pada pengguna narkoba (penasun), tidak menggunakan kondom di
saat berhubungan seksual, dan penularan dari ibu ke anak (perinatal). Hasil
penelitian Heri Winarno, Antono Suryoputro, dan Zahroh Shaluhiyah, tahun
2008, dengan judul “ Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan
Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna NAPZA Suntik Di Kota
Semarang”, disebutkan bahwa penularan HIV/AIDS pada penasun disebabkan
karena adanya kepercayaan diri untuk menggunakan jarum suntik secara
bergantian dan keikutsertaan dalam penggunaan jarum suntik secara bergantian.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

10
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni. Laely. 2017. Terapi Komplementer Untuk ODHA. Tersedia pada


https://www.scribd.com/document/349555009/Terapi-Komplementer-Untuk-Odha diakses
pada 29 Oktober 2018 pukul 13.20 WITA

Ayu. 2016. Trend dan Issue Penularan HIV. Tersedia pada


https://www.scribd.com/document/327828999/Trend-Dan-Isu-Penularan-Hiv diakses pada 29
Oktober 2018 pukul 13.54 WITA

Nupus, Nur Hayatul. 2015. Terapi Komplementer Spiritual ODHA. Tersedia pada :
https://www.scribd.com/doc/289070966/Terapi-Komplementer-Spiritual-Odha diakses pada
29 Oktober 2018 pukul 12.55 WITA

11
12
13

Anda mungkin juga menyukai