LAPORAN PENDAHULUAN KMB FIX Baru 1 PDF
LAPORAN PENDAHULUAN KMB FIX Baru 1 PDF
OLEH
i
S.Kep, Fitriyanti Talib, S.Kep, Yulina Papeo, S.Kep, Eni Indrawati Bano,
S.Kep, Fauzia Abdul Kadir, S.Kep, Widyawati Maksum, S.Kep
9. Sistem Persyarafan : Cedera Kepala, Cedera Medulla Spinalis,
Chepalgia, Katarak, Meningitis, Risnawati Nagi, S.Kep, Rosnawati,
S.Kep, Hernilah Mahluk, S.Kep, Indriani Katili, S.Kep, Siskawaty Usman,
S.Kep, Sri Nurfauziah Langago, S.Kep, Sri Rahayu Djama, S.Kep, Sri
Wahyuni Hunawa, S.Kep, Sarnila Pakaya, S.Kep, Silvana Djoni Tahir,
S.Kep
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunian- Nya
kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan lengkap konsep
medis dan konsep keperawatan KMB.
Dalam penyusunan laporan ini cukup banyak hambatan dan kesulitan yang
dihadapi oleh penulis, namun berkat bimbingan, arahan dan bantuan moril
maupun material serta kerja sama yang tulus dari berbagai pihak maka hambatan
dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini
perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada :
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan ini selanjutnya.
iii
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM ENDOKRIN
(DM, STRUMA)
2. Klasifikasi
a. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi karena
kerusakan sel β (beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes Association
(CDA) 2013 juga menambahkan bahwa rusaknya sel β pankreas diduga
karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui secara pasti.
Diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi lebih
sedikit dibandingkan diabetes tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di
negara maju maupun di negara berkembang (IDF, 2014).
b. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014).
Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu
setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari
penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari
memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya
aktivitas fisik (WHO, 2014).
2
c. Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis selama
kehamilan (ADA, 2014) dengan ditandai dengan hiperglikemia (kadar
glukosa darah di atas normal) (CDA, 2013 dan WHO, 2014). Wanita
dengan diabetes gestational memiliki peningkatan risiko komplikasi
selama kehamilan dan saat melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe
2 yang lebih tinggi di masa depan (IDF, 2014).
d. Tipe diabetes lainnya
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena adanya
kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta
mengganggu sel beta pankreas, sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja
insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (ADA,
2015).
3. Etiologi
Faktor penyebab diabetes mellitus sesuai klasifikasi penyakit menurut
(Smeltzer, 2002) antara lain :
a. DM tipe 1 : IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Pada tipe ini insulin tidak diproduksi. Hal ini disebabkan dengan
timbulnya reaksi autoimun oleh karena adanya peradangan pada sel
beta insulitis. Kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memiliki
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen).
1) Faktor Genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki
tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu.
3
2) Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana Antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi dengan jaringan tersebut sebagai jaringan
asing.
3) Faktor Lingkungan
Virus / toksin tertentu dapat memacu proses yang dapat
menimbulkan distruksi sel beta.
4. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan
gejala kronik.
a. Gejala Akut Penyakit Diabetes melitus
1) Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi
bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba
banyak (Poli), yaitu:
a) Banyak makan (poliphagia).
b) Banyak minum (polidipsia).
c) Banyak kencing (poliuria).
2) Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a) Banyak minum.
b) Banyak kencing.
c) Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat
(turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
d) Mudah lelah.
e) Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan
penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.
b. Gejala Kronik Penyakit Diabetes mellitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes melitus
adalah sebagai berikut:
4
1) Kesemutan.
2) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
3) Rasa tebal di kulit.
4) Kram.
5) Capai.
6) Mudah mengantuk.
7) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8) Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
9) Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual
menurun,bahkan impotensi.
10) Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
5. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa
yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya
5
simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru
dari dari asam - asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut
akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton
yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh
apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda - tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian
insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki
dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi
serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah
yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
6
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra
glukosanya sangat tinggi).
7
6. Penyimpangan KDM
Produksi insulin
Ketidakseimbangan
Protein tubuh hilang prod.energi metabolisme dehidrasi nutrisi
Kekurangan vol
Resiko Infeksi cairan
Kerusakan vaskuler
Neuropati perifer
Ulkus
Pembedahan
Pengeluaran histamin & prostaglandin Nyeri akut
8
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Smelzer dan Bare (2008), adapun pemeriksaan penunjang untuk
penderita diabetes melitus antara lain :
a. Pemeriksaan Vaskuler
1) Pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan, adanya benda
asing, osteomelietus.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah yang meliputi : GDS (Gula Darah
Sewaktu), GDP (Gula Darah Puasa),
b) Pemeriksaan urine , dimana urine diperiksa ada atau tidaknya
kandungan glukosa pada urine tersebut. Biasanya pemeriksaan
dilakukan menggunakan cara Benedict (reduksi). Setelah
pemeriksaan selesai hasil dapat dilihat dari perubahan warna
yang ada : hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah bata
(++++).
c) Pemeriksaan kultur pus
Bertujuan untuk mengetahui jenis kuman yang terdapat pada
luka dan untuk observasi dilakukan rencana tindakan
selanjutnya.
d) Pemeriksaan Jantung meliputi EKG sebelum dilakukan
tindakan pembedahan
8. Komplikasi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan
berbagai macam komplikasi, antara lain :
a. Komplikasi Metabolik Akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga
macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar
glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
1) Hipoglikemia
9
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai
komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang
kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).
2) Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar
glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat
menurun sehingga mengakibatkan kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis (Soewondo,
2006).
3) Sindrom HHDK (Koma Hiperglikemia Hiperosmoler Nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai
dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari
600 mg/dl (Price & Wilson, 2006).
b. Komplikasi Metabolik Kronik
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price & Wilson
(2006) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh darah besar
(makrovaskuler) diantaranya:
1) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu :
a) Kerusakan retina mata (Retinopati)
Kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu mikroangiopati
ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil
(Pandelaki, 2009).
b) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik
merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal.
10
c) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang paling sering
ditemukan pada pasien DM. Neuropati pada DM mengacau pada
sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf
(Subekti, 2009).
2) Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien diabetes yaitu
stroke dan risiko jantung koroner.
a) Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM disebabkan
karena adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak
disertai dengan nyeri dada atau disebut dengan SMI (Silent
Myocardial Infarction) (Widiastuti, 2012).
b) Penyakit Serebrovaskuler
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien
non-DM untuk terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang
ditimbulkan menyerupai gejala pada komplikasi akut DM,
seperti adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,
kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer & Bare,
2008).
9. Penatalaksanaan Medis
a. Insulin
Insulin merupakan protein yang berukuran kecil dengan berat
molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang
tersusun dalam 2 rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfida.
Insulin diproduksi langsung di dalam sel β pankreas (Nolte dan Karam,
2002).
Pada individu sehat, sekresi insulin mengimbangi jumlah asupan
makanan yang bermacam-macam dengan latihan fisik. Namun pada
penderita diabetes tidak mampu mensekresi jumlah insulin yang cukup
untuk mempertahankan euglikemia. Akibatnya kadar glukosa dalam
11
darah meningkat tinggi sebagai respon terhadap makanan dan tetap
tinggi pada keadaan puasa (Schteingart,2006).
Terdapat empat tipe utama insulin yang tersedia, yaitu insulin kerja
cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin) (Anonim, 2006a).
1) Rapid acting insulin, yaitu insulin lispro. Diabsorbsi sangat cepat
ketika disuntikkan secara subkutan dan mencapai puncak dalam
serum dalam jangka waktu 1 jam. Masa kerja insulin lispro tidak lebih
dari 3-4 jam (Nolte dan Karam,2002).
2) Short acting insulin, insulin reguler dengan masa kerja pendek yang
efeknya terjadi dalam waktu 30 menit setelah penyuntikan subkutan
dan berlangsung selama 5-7 jam (Nolte dan Karam, 2002).
3) Intermediate acting insulin dan long acting insulin, insulin lente
dengan mula kerja yang lebih lambat dan dengan masa kerja yang
panjang. Atau insulin ultralente, yang mula kerjanya lama namun
dapat memberikan efek dalam jangka waktu yang panjang (Nolte
dan Karam, 2002).
b. Antidiabetik Oral
1) Golongan Sulfonilurea
Kerja dari obat ini adalah dengan merangsang sekresi insulin dari
granul sel-sel β langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksi
dengan ATPsensitive K channel pada membran sel-sel β yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka
kanal Ca++, sehingga ion Ca++ akan masuk sel β, merangsang granula yang
berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang
ekuivalen dengan peptida-C. Selain itu, sulfonylurea juga dapat
mengurangi klirens insulin di hepar (Suherman, 2007).
Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi 2, yaitu generasi pertama dan
generasi kedua. Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi
efek terapi, potensi efek samping selektif dan penempelan pada protein
12
serum. Yang termasuk dalam generasi pertama meliputi asetoheksamid,
klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid. Sedangkan sulfonilurea
golongan kedua adalah glimepirid, glipizid dan gliburid, yang
mempunyai potensi hipoglikemi lebih besar dari generasi pertama
(Triplitt et al., 2005).
Sulfonilurea jika digunakan bersama obat lain (insulin, alkohol,
fenformin, sulfonamid, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat
MAO, guanetidin, anabolik steroid fenfluramin dan klofibrat) akan
meningkatkan risiko hipoglikemia (Suherman, 2007).
2) Meglitinid
Mekanisme kerja obat golongan ini hampir sama dengan
sulfonilurea. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup
kanal K yang ATP independent di sel β pankreas. Repaglinid dan
nateglinid merupakan golongan obat ini. Absorbsinya cepat saat diberikan
secara oral dan mencapai kadar puncaknya dalam waktu
1jam. Waktu paruhnya 1jam, maka harus diberikan beberapa kali dalam
sehari, pada waktu sebelum makan. Obat ini mengalami metabolisme di
hati (utamanya), 10% dimetabolisme di dalam ginjal. Efek samping
utama hipoglikemia dan gangguan saluran pencernaan, juga reaksi
alergi (Suherman, 2007).
3) Biguanid
Fenformin, buformin dan metformin merupakan golongan
biguanid. Namun yang sering digunakan adalah metformin, fenformin
telah ditarik dari peredaran karena dapat menyebabkan asidosis laktat
(Suherman, 2007). Di Amerika Serikat, metformin merupakan satu-
satunya obat biguanid yang tersedia sejak tahun 1995. Metformin
meningkatkan sensitivitas insulin pada hepar juga pada jaringan otot
disekitarnya. Hal ini meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam
jaringan sensitif insulin (Triplitt et al., 2005).
13
Biguanid merupakan suatu antihiperglikemik, tidak merangsang
sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemik.
Metformin oral diabsorbsi di intestin dan tidak terikat dengan protein
plasma di dalam darah dan diekskresi melalui urin. Metformin diminum
pada saat makan, pada pasien DM yang tidak memberikan respon
terhadap sulfonilurea, dapat diberikan metformin atau digunakan
sebagai terapi kombinasi bersama insulin atau sulfonylurea (Suherman,
2007).
4) Peroxisome Proliverators-activated receptor-γ (PPARγ)
Antidiabetik oral ini juga disebut dengan golongan tiazolidinedion,
termasuk dalam golongan ini yang tersedia secara komersial adalah
rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini mampu meningkatkan
sensitivitas insulin terhadap jaringan sasaran, diduga memiliki aktivitas
untuk mengurangi resistensi insulin dengan meningkatkan ambilan
glukosa dan metabolisme dalam otot dan jaringan adipose. Agen ini
juga menahan glukoneogenesis di hati dan memberikan efek tambahan
pada metabolisme lemak, steroidogenesis di ovarium, tekanan darah
sistemik dan sistem fibrinolitik (Suherman, 2007).
5) Penghambat α-glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
hiperglikemia postprandial, bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan
hipoglikemia dan tidak mempengaruhi kadar insulin. Efek samping
yang ditimbulkan dapat berupa gejala gastrointestinal, flatulen dan diare
(Waspadji, 1996). Yang termasuk dalam golongan ini adalah akarbose
dan miglitol (Suherman, 2007)
c. Pembedahan
Pada penderita ulkus DM dapat juga dilakukan pembedahan yang
bertujuan untuk mencegah penyebaran ulkus ke jaringan yang masih
sehat, tindakannya antara lain :
14
1) Debridement : pengangkatan jaringan mati pada luka ulkus
diabetikum.
2) Neucrotomi
3) Amputasi
15
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut NANDA (2013), fase pengkajian merupakan sebuah komponen
utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi data,
mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data. Pengumpulan data
antara lain meliputi :
a. Biodata
1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku, alamat,status, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, diagnose medis)
2) Identitas penanggung jawab (nama,umur,pekerjaan, alamat,
hubungan dengan pasien)
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama, biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien saat
dilakukan pengkajian. Pada pasien post debridement ulkus kaki
diabetik yaitu nyeri 5 – 6 (skala 0 - 10)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Data diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan penyakit
pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan mendapatkan
perawatan di bangsal.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Adakah riwayat penyakit terdahulu yang pernah diderita oleh
pasien tersebut, seperti pernah menjalani operasi berapa kali, dan
dirawat di RS berapa kali.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga , adakah anggota keluarga dari pasien
yang menderita penyakit Diabetes Mellitus karena DM ini
termasuk penyakit yang menurun.
16
c. Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat infeksi
sebelumnya,persepsi pasien dan keluarga mengenai pentingnya
kesehatan bagi anggota keluarganya
2) Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari – hari,
jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, jeni makanan dan
minuman, waktu berapa kali sehari, nafsu makan menurun / tidak,
jenis makanan yang disukai, penurunan berat badan.
3) Pola Eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama
sakit , mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari,
konstipasi, beser.
4) Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul
keringat dingin, kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah
aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
5) Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
6) Pola persepsi dan kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan
kemampuan mengetahui tentang penyakitny
7) Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau
perasaan tidak percaya diri karena sakitnya
8) Pola reproduksi dan seksualitas
9) Pola mekanisme koping : emosi, ketakutan terhadap penyakitnya,
kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas.
10) Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis, interaksi ,
komunikasi, cara berkomunikasi
11) Pola keyakinan dan spiritual : agama pasien, gangguan beribadah
selama sakit, ketaatan dalam berdo’a dan beribadah.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Penderita post debridement ulkus dm biasanya timbul nyeri akibat
pembedahanskala nyeri (0 - 10), luka kemungkinan rembes pada
17
balutan. Tanda-tanda vital pasien (peningkatan suhu, takikardi),
kelemahan akibat sisa reaksi obat anestesi.
2) Sistem Pernafasan
Ada gangguan dalam pola napas pasien, biasanya pada pasien
post pembedahan pola pernafasannya sedikit terganggu akibat
pengaruh obat anesthesia yang diberikan di ruang bedah dan pasien
diposisikan semi fowler untuk mengurangi atau menghilangkan
sesak napas.
3) Sistem Kardiovaskuler
Denyut jantung, pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi pada permukaan jantung, tekanan darah dan nadi
meningkat.
4) Sistem Pencernaan
Pada penderita post pembedahan biasanya ada rasa mual akibat
sisa bius, setelahnya normal dan dilakukan pengkajian tentang
nafsu makan, bising usus, berat badan.
5) Sistem Muskuloskeletal
Pada penderita ulkus diabetic biasanya ada masalah pada sistem
ini karena pada bagian kaki biasannya jika sudah mencapai
stadium 3 – 4 dapat menyerang sampai otot. Dan adanya
penurunan aktivitas pada bagian kaki yang terkena ulkus karena
nyeri post pembedahan
6) Sistem Integummen
Turgor kulit biasanya normal atau menurun akibat input dan output
yang tidak seimbang. Pada luka post debridement kulit dikelupas
untuk membuka jaringan mati yang tersembunyi di bawah kulit
tersebut.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nanda, (2013), diagnosa keperawatan yang muncul antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan
b. Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan
18
c. Kekurangan volume cairan
d. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka post debridement
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NIC NOC
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan Pain Management
Definisi : sensori yang tidak tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat
menyenangkan dan selama ....x24 jam, nyeri,meliputi :
pengalaman emosional diharapakan nyeri lokasi, karakteristik,
yang muncul secara berkurang dengan dan onset, durasi,
aktual atau potensial, kriteria: frekuensi, kualitas,
kerusakan jaringan atau 1. Kontrol nyeri intensitas / beratnya
menggambarkan adanya 2. Mengenal faktor nyeri, faktor - faktor
kerusakan.. penyebab presipitasi
Batasan karakteristik : (Mengenal reaksi 2. Kontrol faktor-faktor
1. Laporan secara verbal serangan nyeri lingkungan yang
atau non verbal 3. Mengenali gejala dapat mempengaruhi
2. Fakta dan observasi nyeri respon pasien
3. Gerakan melindungi 4. Melaporkan nyeri terhadap
4. Tingkah laku berhati- terkontrol Tingkat ketidaknyamanan
hati Nyeri 3. Berikan informasi
5. Gangguan tidur (mata Frekuensi nyeri tentang nyeri\
sayu, tampak capek, Ekspresi akibat 4. Ajarkan teknik
sulit atau gerakan nyeri relaksasi
kacau, menyeringai) 5. Tingkatkan
6. Tingkah laku distraksi tidur/istirahat yang
(jalan-jalan, menemui cukup
orang lain, aktivitas 6. Turunkan dan
berulang-ulang) hilangkan faktor
7. Respon autonom yang dapat
(diaphoresis, perubahan meningkatkan nyeri
19
tekanan darah, 7. Lakukan teknik
8. perubahan pola nafas, variasi untuk
nadi dan dilatasi pupil) mengurangi nyeri
9. Tingkah laku ekspresif Analgetik
(gelisah, marah, Administration
menangis, merintih, 1. Tentukan lokasi,
waspada, napas panjang, karakteristik,
iritabel) kualitas, dan derajat
10. Berfokus pada diri nyeri sebelum
sendiri pemberian obat
11. Muka topen 2. Monitor vital sign
Fokus menyempit sebelum dan sesudah
(penurunan persepsi pada pemberian analgetik
waktu, kerusakan proses 3. Berikan analgetik
berfikir, penurunan interaksi yang tepat sesuai
dengan orang dan dengan resep
lingkungan) 4. Catat reaksi analgetik
dan efek buruk yang
ditimbulkan
5. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan MONITOR NUTRISI
Nutrisi Kurang dari tindakan keperawatan 1. Berat badan pasien
Kebutuhan Tubuh (00002) selama.......x24 jam dalam batas normal
Domain 2 : Nutrisi status nutrisi pasien 2. Monitor adanya
Kelas 1 : Makan normal dengan penurunan berat badan
Defenisi : asupan nutrisi indikator: 3. Monitor tipe dan
tidak cukup untuk 1. Intake nutrien jumlah aktivitas yang
memenuhi kebutuhan normal biasa dilakuakn
metabolik.
20
Batasan Karakteristik : 2. Intake makanan dan 4. Monitor interaksi
1. Kram abdomen cairan normal anak dan orang tua
2. Nyeri abdomen 3. Berat badan normal selama makan
3. Menghindari makan 4. Massa tubuh normal 5. Monitor lingkungan
4. Berat badan 20% atau 5. Pengukuran selama makan
lebih di bawah berat biokimia normal 6. Jadwalkan pengobatan
badan ideal dan tindakan
5. Kerapuhan kapiler Setelah dilakukan tidak selama jam
6. Diare tindakan keperawatan makan
7. Kurang makanan selama.......x24 jam 7. Monitor kulit kering
8. Kurang informasi status nutrisi: intake dan perubahan
9. Kurang minat pada nutrient pasien adekuat pigmentasi
makanan dengan indikator : 8. Monitor turgor kulit
10. Penurunan berat badan 1. intake kalori 9. Monitor kekeringan,
dengan asupan makanan 2. intake protein rambut kusam,
adekuat 3. intake lemak total protein, Hb dan
11. Membran mukosa pucat 4. intake karbohidrat kadar Ht
12. Ketidakmampuan 5. intake vitamn 10. Monitor makanan
memakan makanan 6. intake mineral kesukaan
13. Tonus otot menurun 7. intake zat besi 11. Monitor
14. Kelemahan otot 8. intake kalsium pertumbuhan dan
mengunyah perkembangan
15. Kelemahan otot untuk 12. Monitor pucat,
menelan kemerahan, dan
Faktor yang kekeringan jaringan
berhubungan: konjungtiva
1. Faktor biologis 13. Monitor kalori dan
2. Faktor ekonomi intake nutrisi
3. Ketidakmampuan untuk 14. Catat adanya
mengabsorbsi nutrien edema, hiperemik,
4. Ketidakmampuan untuk
21
mencerna makanan hipertonik papila
5. Ketidakmampuan lidah dan cavitas
menelan makanan oval
6. Faktor psikologis 15. Catat jika lidah
berwarna megenta,
scarlet
MANAJEMEN
NUTRISI
1. Kaji adanya alergi
makanan
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan
pasien
3. Anjurkan pasien
untuk meningkatkan
intake Fe
4. Anjurkan pasien
untuk
meningkatkan
protein dan vitamin
C
5. Berikan subtansi
gula
6. Yakinkan diet yang
dimakan
mengandung tinggi
serat untuk
22
mencegah konstipasi
7. Berikan makanan
yang terpilih
(sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi)
8. Ajarkan pasien
bagaimana
membuat catatan
makanan harian
9. Monitor jumlah
nutrisi dan
kandungan kalori
10. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
3 Kekurangan volume Tujuan : 1. Kaji cairan yang
cairan (00027) Menyeimbangkan disukai klien dalam
Domain 2 : Nutrisi volume cairan batas diet.
Kelas 5 : Hidrasi sesuai 2. Rencanakan
Definisi : dengan 3. Kaji pemahaman
Penurunan cairan kebutuhan tubuh klien tentang alasan
intravascular, interstisial, Kriteria Hasil: mempertahankan
dan/atau intraselular. Ini 1. Terjadi hidrasi yg adekuat.
mengacu pada dehidrasi, peningkatan 4. Catat asupan dan
kehilangan cairan saja tanpa asupan cairan haluaran.
perubahan pada natrium. min. 2000ml/hari 5. Pantau asupan per
Batasan Karakteristik : (kecuali terjadi oral, min. 1500 ml/
1. Perubahan status mental kontraindikasi). 24 jam.
2. Penurunann tekanan 2. Menjelaskan 6. Pantau haluaran
23
darah perlu-nya cairan 1000-1500ml
3. Penurunan tekanan nadi meningkatkan /24jam. Pantau berat
4. Penurunan turgor kulit asupan cairan jenis urine.
5. Penurunan haluaran urine pada saat
6. Membrane mukosa stress/cuaca
kering panas.
7. Kulit kering 3. Mempertahankan
Faktor yang berat jenis urine
berhubungan: dalam batas
1. Kehilangan cairan aktif normal.
2. Kegagalan mekanisme 4. Tidak
regulasi menunjukan
tanda-tanda
dehidrasi.
4 Resiko Infeksi ( 00004 ) Setelah dilakukan Kontrol Infeksi
Domain 11 : tindakan keperawatan 1. observasi dan
Keamanan/Perlindungan selama .....x24 jam laporkan tanda dan
Kelas 1 : Infeksi diharapkan tidak ada gejala infeksi seperti
Definisi : mengalami infeksi dengan kriteria kemerahan, panas,
peningkatan risiko terserang : nyeri, tumor, dan
organisme patogenik Risk Control fungsiolesa
Faktor Resiko : 1. mengetahui resiko 2. kaji temperatur klien
1. Penyakit Kronis 2. memonitor faktor tiap 4 jam
Diabetes Melitus resiko lingkungan 3. gunakan strategi
Obesitas 3. memonitor faktor untuk mencegah
2. Pengetahuan yang tidak resiko dari tingkah infeksi nosokomial
cukup untuk laku 4. cuci tangan sebelun
menghindari pemajanan 4. mengembagkan dan setelah tindakan
patogen strategi kontrol keperawatan.
3. Pertahanan tubuh resiko secara 5. Gunakan standar
efektif precaution dan
24
primer yang tidak 5. memodifikasi gaya gunakan sarung
adekuat hidup untuk tangan selama kontak
4. Kerusakan integritas mengurangi resiko dengan darah,
kulit membran mukosa
5. Perubahan sekresi Ph yang tidak utuh.
6. Pecah ketuban dini 6. Kaji kelembaban,
7. Pecah ketuban sekarang tekstur dan turgor
8. Malnutrisi kulit dengan hati-hati.
7. Pastikan teknik
perawatan luka secara
tepat
8. Dorong pasien untuk
istirahat
25
DAFTAR PUSTAKA
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia
Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
26
LAPORAN PENDAHULUAN STRUMA
A. Konsep Dasar
1. Definsi
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid
dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan sepertii berdebar-
debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan
menurun, mata membesar (Nurarif, 2015).
2. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid yang
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain :
a. Defisiensi iodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid
c. Penghambatan sintesa hormone oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai)
d. Penghambatan sintesa hormone oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium)
3. Patofisiologi
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme
tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA),
menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,
merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan
normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon ini, membuat
retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak
struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ disekitarnya. Dibagian
27
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah kedalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Struma
terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam
pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan
hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam
jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama
makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi
peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar
dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-
500 gram. Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital
yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon
oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan
autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu
tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-
obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan
metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik)
(Rismadi, 2013).
Pada kebanyakan penderita, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali
dari ukuran normal, disertai dengan banyaknya hyperplasia dan lipatan-
lipatan sel-sel didalam folikel, sehinggajumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Setiap sel
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat. Perubahan pada
kelenjar tiroid ini mirip dengan perubahan akibat kelebihan TSH. Pada
beberapa penderita ditemukan adanya beberapa bahan yang mempunyai
kerja mirip dengan TSH yang ada didalam darah. Biasanya bahan-bahan ini
28
adalah antibody immunoglobulin yang berikatan dengan reseptor membran
yang sama dengan reseptor membrane yang mengikat TSH. Bahan-bahan
tersebut merangsang aktiviasi terus-menerus dari sistem cAMP dalam sel,
dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Dimana ada peningkatana
produksi T3 dan T4 mengakibatkan peningkatan pembentukan limfosit oleh
karena efek dari auto imun yang akan menginfiltrasi ke jaringan orbita dan
otot mata sehingga terjadi edema jaringan retro orbita mengakibatkan
eksoftalmus. Pada beberapa keadaan dapat menjadi sangat parah sehingga
protusi bola mata dapat menarik saraf optic sehingga mengganggu penglihatan
penderita. Yang lebih sering yaitu kerusakan pada kelopak mata yang mnjadi
sulit menutup sempurna pada waktu penderita berkedip atau tidur akibatnya
permukaan permukaan epitel mata menjadi kering dan mudah mengalami
iritasi dan sering kali terinfeksi seingga timbul luka pada kornea penderita.
Peningkatan produksi T3 dan T4 juga mengakibatkan aktivitas simpatis
berlebih, adanya peningkatan aktivitas medula spinalis yang akan
menyebabkan gangguan pengeluaran tonus otot sehingga menimbulkan
tremor halus. Peningkatan kecepatan serebrasi mengakibatkan gelisah, apatis,
paranoid, dan ansietas. Selain itu dapat mengakibatkan hipermetabolisme
yang berpengaruh pada peningkatan sekresi getah pencernaan dan
peningkatan peristaltik saluran cerna dimana salah satunya akan ada
peningkatan nafsu makan dan juga timbulnya diare. Bila terjadi peningkatan
metabolisme KH dan lemak mengakibatkan proses oksidasi dalam tubuh
meningkat yang akan meningkatkan produksi panas ditandai dengan
berkeringat dan tidak tahan panas da penurunan cadangan energy
mengakibatkan kelelahan dan penurunan berat badan. Karena
hipermetabolisme sehingga penggunaan O2 lebih cepat dari normal dan
adanya peningkatan CO2 menyebabkan peningkatan kecepatan napas
sehingga terjadi sesak nafas (Bararah,2013).
Akibat tekanan fisik dan gangguan pada vaskularisasi menyebabkan
kerusakan vocal, dengan akibat jaringan parut dan pertumbuhan
kompensatoris dari folikel baru, dan pembesaran dari folikel yang masih
29
hidup akhirnya menghasilkan gambaran multinodular. Gondok multinodulus
difus terdiri dari nodulus-nodulus folikel tiroid yang ukuran dan bentuknya
bervariasi . sebagian folikel mengalami peregangan oleh koloid dan dilapisi
oleh epitel gepeng. Sedangkan yang lainnya berukuran kecil dan dilapisi
oleh epitel kuboid. Jaringan ikat membungkus kelompok-kelompok folikel
dan masuk kedalam celah-celah diantara kelompok-kelompok tersebut.
Perubahan sekunder misalnya perdarahan dan klasifikasi sering terjadi,
tetapi seara klinis tidak bermakna. Tiroidektomi biasanya dilakukan dengan
kosmetik dan jarang dilakukan untuk menghilangkan gejala-gejala tekanan
(Sander, 2012).
4. Manifestasi Klink
a. Laju metabolisme basal meningkat, ditandai degan meningkatya
produksi panas yang menyebabkan perasaan tidak tahan panas,
keringat berlebihan, dan kulit yang hangat.
b. Penurunan berat badan, walaupun nafsu makan baik atau bertambah
karena muscle wasting (thyrotoxic myopathy) dan diare serta gangguan
menstruasi.
c. Denyut nadi ccepat, tremor, palpitasi, fibrilasi atrium, dan hipertensi.
Sekresi hormone tiroid yang meningktakan akan menyebabkan
peningkatan respons terhadap sistem saraf simpatis akibat
meningkatnya jumlah dan afinitas β-adrenoceptor.
d. Gelisah, cemas berlebihan, gugup, iritabilitas, dan emosi yang labil.
e. Perubahan-perubahan pada mata (oftalmopati graves), ditandai
dengan eksoftalmos atau proptosis dapat terjadi pada sekitar 50%
pasien. keadaan ini disebabkan penebalan dari otot-otot ekstraorbita
karena infiltrasi limfosit dan endapan mukopolisakarida (yang
dikenal dengan glikosaminoglikans) serta edema di sekitar jaringan
lunak orbita.
f. Struma difusa toksik (pembengkakan kelenjar tiroid yang simetris,
yaitu pembengkakan lobus kiri dan kanan disertai pembengkakan
isthmus secara merata).
30
g. Peningkatan kadar T3/T4 serum, tetapi kadar TSH serum rendah
(bahkan tidak terdeteksi), karena efek umpan balik negatif dari
peningkatan kadar T3/T4 terhadap hipofisis anterior (Shahab, 2017).
h. Gejala mayor antara lain takikardi, tekanan nadi melebar,
eksoftalmus dan nervositas
i. Gejala minor antara lain tremor, intolerasi aktivitas, dan berat badan
menurun (Naga, 2014)
31
5. Pathways
Defisiensi iodium kelainan metabolic Penghambat sintesa hormone oleh
kongenital zat kimia dan obat
Pembedahan Hipermetabolisme
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan sidik tiroid
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
c. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
d. Termografi
e. Pertanda tumor (Nurarif, 2015).
7. Penatalaksanaan
a. Operasi/pembedahan
32
b. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi
pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang
tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat
mengurangi gondok sekitar 50%.
c. Pemberian Tiroksin dan obat anti-tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma (Nurarif,
2015).
8. Komplikasi
a. Penyakit jantung
b. Oftalmopati graves
c. Dermopati graves
d. Infeksi karena agranulositisis (Naga, 2014).
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a) Aktivitas atau istirahat
1) Gejala : Imsomnia, sensitivitas meningkat, Otot lemah, gangguan
koordinasi, Kelelahan berat
2) Tanda : Atrofi otot
b) Sirkulasi
1) Gejala : Palpitasi, nyeri dada (angina)
2) Tanda : Distritmia (vibrilasi atrium), irama gallop, murmur,
Peningkatan tekanan darah dengan tekanan nada yang berat.
Takikardia saat istirahat sirkulasi kolaps, syok (krisis
tirotoksikosis)
c) Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia), Rasa
nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), Infeksi saluran kemih
berulang, nyeri tekan abdomen, diare, urine encer, pucat, kuning,
poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria atau anuria jika terjadi
33
hipovolemia berat), urine berkabut, bau busuk (infeksi), Bising usus
lemah dan menurun, hiperaktif (diare).
d) Integritas / Ego
1) Gejala : Stress tergantung pada orang lain, masalah finansial
yang berhubungan dengan kondisi.
2) Tanda : Ansietas peka rangsang
e) Makanan / Cairan
1) Gejala : Hilang nafsu makan, mual atau muntah. Tidak
mengikuti diet, peningkatan masukan glukosa atau karbohidrat,
penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari/minggu,
haus, penggunaan diuretik ( tiazid ).
2) Tanda : Kulit kering atau bersisik, muntah, Pembesaran thyroid
(peningkatan kebutuhan metabolisme dengan pengingkatan gula
darah), bau halitosis atau manis, bau buah ( napas aseton)
f) Neurosensori
1) Gejala : Pusing atau pening, sakit kepala, kesemutan, kebas,
kelemahan pada otot parasetia, gangguan penglihatan
2) Tanda : Disorientasi, megantuk, lethargi, stupor atau koma
(tahap lanjut), gangguan memori (baru masa lalu) kacau mental.
Refleks tendon dalam (RTD menurun; koma). Aktivitas kejang
(tahap lanjut dari DKA)
g) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang atau nyeri (sedang/berat), Wajah
meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
h) Pernapasan
1) Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan / tanpa
sputum purulen (tergantung adanya infeksi atau tidak)
2) Tanda : sesak napas, batuk dengan atau tanpa sputum purulen
(infeksi), frekuensi pernapasan meningkat
i) Keamanan
1) Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
34
2) Tanda : Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi atau ulserasi,
menurunnya kekuatan umum/rentang gerak, parastesia atau
paralysis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium
menurun dengan cukup tajam)
j) Seksualitas
1) Gejala : Rabas wanita (cenderung infeksi), masalah impotent
pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
2) Tanda : Glukosa darah meningkat 100-200 mg/ dl atau lebih.
Aseton plasma, positif secara menjolok. Asam lemak bebas,
kadar lipid dengan kolosterol meningkat.
35
2. Penyimpangan KDM
Defisiensi iodium kelainan metabolik Penghambat sintesa hormone oleh
kongenital zat kimia dan obat
Pembedahan Hipermetabolisme
3. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut (D.007)
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan Kenyamanan
2. Risiko Infeksi (0142)
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan Proteksi
3. Diare (D.0020)
36
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Nutrisi dan Cairan
4. Rencana Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Nyeri Akut (D.007) Kriteria Hasil : 1. Lakukan
Kategori : Psikologis 1. Mampu mengontrol pengkajian nyeri
Subkategori : Nyeri dan nyeri (tahu secara
Kenyamanan penyebab nyeri, komprehensif
Definisi : Pengalaman mampu termasuk lokasi,
sensorik atau emosional menggunakan karakteristik,
yang berkaitan dengan tehnik durassi,
kerusakan jaringan aktual nonfarmakologi frekuensi,
atau fungsional, dengan untuk mengurangi kualitas dan
onset mendadak atau nyeri, mencari faktor
lambat dan berintensitas bantuan) presipitasi
ringan hingga berat 2. Melaporkan bahwa 2. Observasi reaksi
berlangsung kurang dari 3 nyeri berkurang nonverbal dari
bulan. dengan ketidaknyamana
Penyebab : menggunakan n
1. Agen pencedera manajemen nyeri 3. Gunakan tehnik
fisiologis (misalnya, 3. Mampu mengenali komunikasi
inflamassi) nyeri (skala, terapeutik untuk
2. Agen pencedera fisik intensitas, frekuensi mengetahui
(misalnya, prosedur dan tanda nyeri) pengalaman
operasi) 4. Menyatakan rasa nyeri pasien
Gejala dan Tanda Mayor nyaman setelah 4. Kaji kultur yang
Subjektif nyeri berkurang mempengaruhi
1. Mengeluh Nyeri respon nyeri
Objektif 5. Evaluasi
1. Tampak meringis pengalaman
37
2. Bersikap protektif nyeri masa
(misalnya, waspada, lampau
posisi menghindari 6. Pilih dan
nyeri) lakukan
3. Gelisah penanganan
4. Frekuensi nadi nyeri
meningkat (farmakologi,
5. Sulit tidur nonfarmakologi
Gejala dan Tanda Minor dan
Objektif interpersonal)
1. Tekanan darah 7. Ajarkan tentang
meningkat tehnik non
2. Pola napas berubah farmakologi
3. Nafsu makan berubah 8. Berikan
4. Proses berpikir analgetik untuk
terganggu mengurangi
5. Menarik diri nyeri
6. Berfokus pada diri 9. Tingkatkan
sendiri istirahat
Kondisi Klinis Terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Infeksi
38
1. Efek prosedur invasive penularan serta untuk mencuci
2. Malnutrisi penatalaksanaannya tangan saat
3. Peningkatan paparan . berkunjung dans
organism patogen 3. Menunjukkan etelah
lingkungan kemampuan untuk berkunjung
4. Ketidakadekuatan mencegah meninggalkan
pertahanan tubuh primer timbulnya infeksi pasien
a. Gangguan peristaltik 4. Jumlah leukosit 4. Pertahankan
b. Perubahan sekresi dalam batass lingkungan
pH normal asseptik selama
5. Ketidakadekuatan 5. Menunjukkan pemasangan alat
pertahanan tubuh perilaku hidup 5. Ganti letak IV
sekunder sehat perifer dan line
a. Imunosupresi central dan
b. Supresi respon dressing sesuai
inflamasi dengan petunjuk
Kondisi Klinis Terkait umum
1. Tindakan invasive 6. Tingkatkan
intake nutrisi
7. Berikan terapi
antibiotik bila
perlu
8. Monitor tanda
daan gejala
infeksi sistemik
dan local
9. Monitor hitung
granulosit,
WBC
10. Dorong
masukan cairan
39
11. Dorong istirahat
12. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
13. Ajarkan cara
menghindari
infeksi
14. Laporkan kultur
positif
3. Diare (D.0020) Kriteria Hasil : 1. Evaluasi efek
Kategori : Fisiologis 1. Feses berbentuk, samping
Subkategori : Nutrisi dan BAB sehari pengobatan
Cairan sekali-tiga hari terhadap
2. Menjaga daerah gastrointestinal
sekitar rectal dari 2. Ajarkan pasien
iritasi untuk
3. Tidak mengalami menggunakan
diare obat antidiare
4. Menjelaskan 3. Instruksikan
penyebab diare pasien/keluarga
dan rasional untuk mencatat
tindakan warna, jumlah,
5. Mempertahankan frekuensi dan
turgor kulit konsistensi dari
feses
4. Evaluasi intake
makanan yang
masuk
5. Monitor tanda
dan gejala diare
40
6. Ukur
diare/keluaran
BAB
41
DAFTAR PUSTAKA
Bararah T. Jauhar M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi
Perawat Profesional. Jakarta. Penerbit Prestasi Pustakaraya.
Naga S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta. Penerbit
DIVA Press (Anggota IKAPI).
Nurarif A. Kusuma H. 2015. NANDA NIC-NOC. Jilid 3. Jogjakarta. Mediaction
Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan. Penerbit DPP PPNI
Rismadi K. 2013. Jurnal Struma. Sumatra Utara. Penerbit Universitas Sumatra
Utara.
Sander M. 2012. Patologi Anatomi. Jakarta. Penerbit UMM Press
Shahab A. 2017. Dasar-Dasar Endokrinologi. Jakarta Timur. Penerbit Rayyana
Komunikasindo
42
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM IMUN DAN
HEMATOLOGI (ANEMIA, DHF, HD, HIV/AIDS)
43
LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA
A. DEFINISI
Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin
yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. Secara laboratoris, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar
hemoglobin serta hitung eritrosit dan hematokrit dibawah normal ( Handayani, 2012
)
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung seldarah dan
kadar hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit (gangguan) fungsi tubuh. Secara
fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan Hb untuk mengangkut oksigen
ke jaringan. Anemia tidak merupakan satu kesatuan tetapi merupakan akibat dari
berbagai proses patologik yang mendasari (Smeltzer C Suzane, Buku Ajar
Keperawatan Medical Bedah dalam Brunner dan Suddarth ; 935).
Dapat disimpulkan bahwa anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hb
dan /atau hitung eritrosit lebih rendah dari nilai normal yaitu Hb < 14 g/dl dan Ht <
40 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer.
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi anemia menurut Muttaqin,Arif (2010), anemia dapat diklasifikasikan
menurut morfologi sel darah merah dan etiologi :
1. Klasifikasi morfologi :
a) Anemia Normositik Normokrom
b) Anemia Makrositik Normokrom
c) Anemia Mikrositik Hipokrom
2. Klasifikasi etiologi :
a) Hemolisis : merupakan penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi,
terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek
44
hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan
penghancuran sel darah merah.
Adapun klasifikasi anemia lainnya sebagai berikut :
1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah
disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
a. Anemia aplastik
Penyebab:
1) agen neoplastik/sitoplastik
2) terapi radiasi, antibiotic tertentu
3) obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
4) infeksi virus (khususnya hepatitis)
Gejala-gejala:
1) Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)
2) Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran
cerna,
3) Perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf pusat
b. Anemia pada penyakit ginjal
Gejala-gejala:
1) Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl
2) Hematokrit turun 20-30%
Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi. Penyebabnya adalah
menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritopoitin
c. Anemia pada penyakit kronis
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis
normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang
normal). Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru, osteomilitis,
tuberkolosis dan berbagai keganasan
d. Anemia defisiensi besi
Penyebab:
1) Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil,
menstruasi
45
2) Gangguan absorbsi (post gastrektomi)
3) Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises
oesophagus, hemoroid, dll.)
Gejala-gejalanya:
1) Atropi papilla lidah
2) Lidah pucat, merah, meradang
3) Stomatitis angularis, sakit di sudut mulu
e. Anemia megaloblastik
Penyebab:
1) Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat
2) Malnutrisi, malabsorbsi, infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan,
agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang
terinfeksi, pecandu alkohol.
2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan
oleh destruksi sel darah merah:
1) Pengaruh obat-obatan tertentu
2) Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik
3) Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
4) Proses autoimun
5) Reaksi transfusi
6) Malaria
C. ETIOLOGI
Menurut Muttaqin Arif (2010), berkurangnya sel darah merah dapat
disebabkan oleh kurangnya kofaktor untuk eritropoesis, seperti : asam folat, vitamin
B12, dan besi . Produksi sel darah merah juga dapat turun apabila sumsum
tulang tertekan (oleh tumor atau obat) atau rangsangan yang tidak memadai karena
kekurangan eritropoetin, seperti yang terjadi pada penyakit ginjal kronis.
Peningkatan penghacuran sel darah merah dapat terjadi akibat aktivitas
sisem retikuloendotelial yang berlebihan. (misal : hipersplenisme ) atau akibat
46
sumsum tulang yang menghasilkan sel darah merah abnormal. Penyebab anemia
yang lain yaitu :
1. Perdarahan hebat
a. Akut (mendadak)
1) Kecelakaan
2) Pembedahan
3) Persalinan
4) Pecah pembuluh darah
b. Kronik (menahun)
1) Perdarahan hidung
2) Wasir (hemoroid)
3) Ulkus peptikum
4) Kanker atau polip di saluran pencernaan
5) Tumor ginjal atau kandung kemih
6) Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
2. Berkurangnya pembentukan sel darah merah
1) Kekurangan zat besi
2) Kekurangan vitamin B12
3) Kekurangan asam folat
4) Kekurangan vitamin C
5) Penyakit kronik
3. Meningkatnya penghancuran sel darah merah
1) Pembesaran limpa
2) Kerusakan mekanik pada sel darah merah
3) Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
4) Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
5) Sferositosis herediter
6) Elliptositosis herediter
7) Kekurangan G6PD
8) Penyakit sel sabit
9) Penyakit hemoglobin C
47
10) Penyakit hemoglobin S-C
11) Penyakit hemoglobin E
12) Thalasemia
4. Kegagalan dan kerusakan sumsum tulang
1) Anemia aplastik
2) Keganasan
3) Osteoporosis
4) Myelo fibrosis (penyakit ginjal kronis dan defisiensi vitamin D)
D. PATOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
(misal.berkuranganya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
terpapar zat toksik, invasi tumor, atau kebanyakan penyebab yang tidak diketahui.
Sel darah merah dapat hilang melalui peradarahan atau hemolisis( destruksi).
Pada kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah
merah yang tidak sesuai dengan ketahahan sel darah merah normal atau akibat
beberapa faktor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah
merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau
dalam sistem retikuloendotelia, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil
samping proses ini bilirubin yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran
darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah segera direfleksikan dengan
peningkatan bilirubin plasma ( konsentrasi normalanya 1 mg/ dl atau kurang ;
kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sklera). Apabila sel darah
merah mengalami pengancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai
kelainan hemolitik, maka akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila
konsentrasi plasma melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk
hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (misal: Apabila jumlahnya lebih
dari sekitar 100 mg/dl ) hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan
kedalam urin (hemoglobinuria).
48
Jika ada atau tidak adanya hemoglobinemia atau hemoglobinuria dapat
memberikan informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal
pada pasien dengan hemolisi dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui
sifat proses hemolitik tersebut (Sunarsih Rahayu & Addi Mardi Harnanto, 2012).
Kesimpulan menganai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar hitung retikulosit dalam sirkulasi
darah, derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara
pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsy, dan ada tidaknya
hiperbilirubinemia. Anemia defisiensi zat besi adalah anemia yang paling sering
menyerang anak – anak. Bayi cukup bulan yang lahir dan ibu non-anemik dan
bergizi baik, memiliki cukup persediaan zat besi sampai berat badan lahirnya
menjadi dua kali lipat umumnya saat berusia 4 – 6 bulan. Sesudah itu zat besi
harus tersedia dalam makanan untuk memenuhi kebutuhan anak. Jika asupan zat
besi beri makanan tidak mencukupi terjadi anemia defisiensi zat besi. Hal ini
paling sering terjadi pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum usia 4
– 6 bulan) dihentikannya susu formula bayi yang mengandung zat besi atau ASI
sebelum usia 1 tahun dan minum susu sapi berlebihan tanpa tambahan makanan
padat kaya besi. Bayi yang tidak cukup bulan, bayi dengan perdarahan perinatal
berlebihan atau bayi 7 dari ibu yang kurang gizi dan kurang zat besi juga tidak
memiliki cadangan zat besi yang adekuat. Bayi ini berisiko lebih tinggi menderita
anemia defisiensi besi sebelum berusia 6 bulan.
Anemia defisiensi zat besi dapat juga terjadi karena kehilangan banyak darah
yang kronik. Pada bayi hal ini terjadi karena perdarahan usus kronik yang
disebabkan oleh protein dalam susu sapi yang tidak tahan panas. Pada anak
sembarang umur kehilangan darah sebanyak 1 – 7 ml dari saluran cerna setiap hari
dapat menyebabkan anemia defisiensi zat besi. Pada remaja puteri anemia defisiensi
zat besi juga dapat terjadi karena menstruasi.
Anemia aplastik diakibatkan oleh karena rusaknya sumsum tulang.
Gangguan berupa berkurangnya sel darah dalam darah tepi sebagai akibat
terhentinya pembentukan sel hemotopoetik dalam sumsum tulang. Aplasia dapat
49
terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga system hemotopoetik (eritropoetik,
granulopoetik, dan trombopoetik). Aplasia yang hanya mengenai system
eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik) yang mengenai system
trombopoetik disebut agranulositosis (penyakit Schultz), dan yang mengenai system
trombopoetik disebut amegakariositik trombositopenik purpura (ATP). Bila
mengenai ketiga system disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia
aplastik.
Kekurangan asam folat akan mengakibatkan anemia megaloblastik. Asam
folat merupakan bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA, yang paling
penting sekali untuk metabolisme inti sel dan pematangan sel.
Penyimpangan KDM
Kegagalan Destruksi
SDM Perdarahan/
Defisiensi B12, produksi SDM o/
berlebih hemofilia
asam folat, zat sum-sum tulang
besi
Penurunan SDM
Hb berkurang
Anemia
Makanan Asam
sulit lambung
dicerna meningkat
50
ATP
berkurang Nyeri akut
Konstipasi Anoreksia
mual
Kelelahan Energi untuk
membentuk antibodi
Defisit
nutrisi Intoleran
aktivitas Risiko
infeksi
Sumber : Amin Huda Nurarif (Aplikasi Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia)
E. MANIFESTASI KLINIK
(Menurut Handayani, 2012) Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada
umumnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu :
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia dapat juga disebut sebagai sindrom atau anemic
syndrome. Gejala umum atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada
semua jenis anemia pada kadar hemglobin yang sudah menurun sedemikian rupa
dibawah e titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala
tersebut diklasifikasikan menurut organ – organ yang terkena :
a. Sistem kardiovaskuler : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas
saat berktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.
b. Sistem syaraf : sakit kepala, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem urigenital : gangguan hid dan libido menurun.
d. Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus.
2. Gejala Khas masing-maing anemia
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah, sebagai
berikut :
a. Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
b. Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue).
51
c. Anemia aplastik : perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.
d. Anemia hemolitik : ikterus dan hepatosplenomegali.
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut.
Misalnya : anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang
berat akan menimbulkan gejala, seperti pembesaran parotis dan telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Kadar porfirin eritrosit bebas ---- meningkat
2. Konsentrasi besi serum ------- menurun
3. Saturasi transferin ------ menurun
4. Konsentrasi feritin serum ---- menurun
5. Hemoglobin menurun
6. Rasio hemoglobin porfirin eritrosit ---- lebih dari 2,8 ug/g adalah diagnostic
untuk defisiensi besi
7. Mean cospuscle volume ( MCV) dan mean cospuscle hemoglobin
concentration ( MCHC ) ---- menurun menyebabkan anemia hipokrom
mikrositik atau sel-sel darah merah yang kecil-kecil dan pucat.
8. Selama pengobatan jumlah retikulosit ---- meningkat dalam 3 sampai 5
harisesudah dimulainya terapi besi mengindikasikan respons terapeutik yang
positif.
9. Dengan pengobatan, hemoglobin------- kembali normal dalam 4 sampai 8
minggu mengindikasikan tambahan besi dan nutrisi yang adekuat.
G. KOMPLIKASI
1. Kardiomegali
2. Gagal Jantung
3. Gagal Ginjal
4. Gagal Jantung Paralisis
52
H. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti
darah yang hilang.
1) Transplantasi sel darah merah.
2) Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3) Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
4) Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan
oksigen.
5) Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6) Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1) Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
a) Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang
diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
b) Pemberian preparat Fe
c) Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
d) Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2) Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3) Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4) Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan
pemberian cairan dan transfusi darah.
b. Penatalaksanaan Terapi
Pada setiap kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut
ini :
a) Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
b) Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efesien.
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah :
53
a. Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka
harus segera diberikan terapi darurat dengan transfuse sel darah merah yang
dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
b. Terapi khas untuk masing-masing anemia terapi ini bergantung pada jenis
anemia yang di jumpai, misalnya preperat besi untuk anemia defesiensi besi.
c. Terapi kausal, terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit
dasar yang menjadi penyebab anemia misalnya anemia defesiensi besi yang
disebabkan oleh infeksi cacing-cacing tambang.
d. Terapi ex-juvantivus (empires) terapi yang terpaksa diberikan sebelum
diagnosis dapat dipastikan jika terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat
dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tersedia fasilitas diagnosis yang
mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita harus diawasi dengan
ketat. Jika terdapat respon yang baik, terapi diteruskan, tetapi jika tidak
terdapat respon, maka harus dilakukan evaluasi kembali.
(Wiwik & Hariwibowo, A. S, 2014)
54
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
55
Composmentis kooperatif sampai terjadi penurunan tingkat kesadaran
apatis, somnolen, spoor, coma.
3) Tanda – tanda vital
TD : tekanan darah menurun ( N : 90 – 110 / 60 – 70 mmHg)
N : frekuensi nadi meningkat , kuat samapai lemah ( N : 60 – 100 x/i)
SB : bias meningkat atau menurun ( 36, 5 – 37, 20C )
RR : meningkat ( anak N : 20 – 30 x/i ).
4) TB dan BB : menurut rumus dari Behermen, 1992 pertambahan BB anak
adalah sebagai berikut :
a) Lahir -3,25 kg
b) 3 – 12 bulan = umur (bulan ) – 9
c) 1 – 6 tahun = umur (tahun ) x 2 – 8
d) 6 – 12 tahun = umur (tahun ) x 7 -5
Tinggi badan rata – rata waktu lahir adalah 50 cm. secara garis besar,
tinggi badan anak dapat diperkirakan, sbb :
1 tahun : 1,5 x TB lahir
4 tahun : 2 x TB lahir
6 tahun : 1,5 x TB setahun
13 tahun : 3 x TB lahir
Dewasa : 3,5 x TB lahir ( 2 x TB 2 tahun ).
5) Kulit
Kulit teraba dingin, keringat yang berlebihan, pucat, terdapat perdarahan
dibawah kulit.
6) Kepala
Biasanya bentuk dalam batas normal
7) Mata
Kelainan bentuk tidak ada, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik,
terdapat perdarahan sub conjugtiva, keadaan pupil, palpebra, reflex
cahaya biasanya tidak ada kelainan.
56
8) Hidung
Keadaan / bentuk, mukosa hidung, cairan yang keluar dari hidung,
fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan.
9) Telinga
Bentuk, fungsi pendengaran tidak ada kelainan.
10)Mulut
Bentuk, mukosa kering, perdarahan gusi, lidah kering, bibi pecah –
pecah atau perdarahan.
11) Leher
Terdapat pembedaran kelenjar getah bening, thyroid lebih membesar, tidak
ada distensi vena jugularis.
12) Thoraks
Pergerakan dada, biasanya pernafasan cepat irama tidak teratur. Fremitus
yang meninggi, perkusi sonor, suara nafas bias vesikuler atau ronchi,
wheezing,. Frekuensi nafas neonates 40 – 60 x/I, anak 20 – 30 x/i irama
jantung tidak teratur, frekuensi pada anak 60 – 100 x/i.
13)Abdomen
Cekung, pembesaran hati, nyeri, bissing usus normal dan juga bias dibawah
normal bias juga meningkat.
14)Genetalia
Laki – laki, testis sudah turun kedalam skrotum
Perempuan : labia minora tertutup labia mayora.
15) Ekstremitas
Terjadi kelemahan umum, nyeri ekstremitas, tonus otot kurang, akral
dingin.
16)Anus
Keadaana anus, posisinya, anus +
17) Neurologis
Refleksi fasiologis + sperti reflex patella, reflex patologis – seperti
babinski tanda kerniq – dan brunzinski 1 – 11 = -
57
h. Pemeriksaan Penunjang
Kadar Hb turun, pemeriksaan darah : eritrosit dan berdasarkan penyebab.
i. Riwayat Social
Siapa yang mengasuh klien dirumah. Kebersihan didaerah tempat tinggal,
orang yang terdekat dengan klien. Keadaan lingkungan, pekarangan,
pembuangan sampah.
j. Kebutuhan Dasar
Meliputi kebutuhan nutrisi klien sehubungan dengan anoreksia, diet yang
harus dijalani, pasang NGT, cairan IVFD yang dugunakan jika ada. Pola tidur
bias terganggu. Mandi dan aktivitas : dapat terganggu berhubungan dengan
kelemahan fisik. Eliminasi : biasanya terjadi perubahan frekuensi, konsistensi
bisa diare atau konstipasi.
k. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Bergantung pada usia. Terdiri dari motorik kasar, halus, kognitif, dan bahasa.
l. Data Psikologis
Akibat dampak hospitalisasi, anak menjadi cengeng, menangis, dan terlihat
cemas dan takut. Orang tua terhadap penyakit anaknya sangat bervariasi.
Psikologis orang tua yang harus diperhatikan :
1) Keseriusan ancaman penyakit terhadap anaknya
2) Pengalaman sebelumnya terhadap penyakit dan hospitalisasi
3) Prosedur medic yang akan dilakukan
4) Adanya support system
5) Kemampuan koping orangtua
6) Agama, kepercayaan, adat.
7) Pola komunikasi dalam keluarga.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif (D0017)
Kategori : fisiologis
Subkategori : sirkulasi
2. Nyeri akut (D0077)
Kategori : psikologis
58
Subkategori : nyeri dan kenyamanan
3. Pola napas tidak efektif (D0005)
Kategori : fisiologis
Subkategori : respirasi
4. Defisit nutrisi (D0019) Kategori
: fisiologis Subkategori : nutrisi
dan cairan
5. Intoleran aktivitas (D0056)
Kategori : fisiologis
Subkategori : aktivitas/istirahat
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif (D0017)
Kategori : fisiologis
Subkategori : sirkulasi
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perfusi perifer meningkat
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) TTV dalam batas normal
3) Konjungtiva merah (tidak pucat)
4) CRT < 3
5) Urine > 600 ml/hari
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji status mental klien secara Mengetahui derajat hipoksia dalam
teratur. otak.
2. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, Mengetahui derajat hipoksemia dan
nadi perifer, dan diaforesis secara peningkatan tahanan perifer.
teratur.
3. Catat adanya keluhan pusing. Keluhan pusing merupakan
manifestasi penurunan suplai
jaringan otak yang parah.
4. Pantau frekuensi dan irama
Perubahan dan frekuensi irama
59
jantung jantung menunjukkan komplikasi
distritmia.
2. Nyeri akut (D0077)
Kategori : psikologis
Subkategori : nyeri dan kenyamanan
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan dan terdapat penurunan
respons nyeri dada.
Kriteria Hasil :
1) Penurunan nyeri dada
2) TTV dalam batas normal
3) Wajah rileks
4) Tidak terjadi penurunan perfusi perifer
5) urine > 600 ml/hari
INTERVENSI RASIONAL
1. Catat karakteristik nyeri, lokasi, Variasi penampilan dan perilaku
intensitas,serta lama penyebarannya. klien karena nyeri terjadi sebagai
temuan pengkajian.
2. Anjurkan pada klien untuk Nyeri berat dapat menyebabkan
melaporkan nyeri dengan segera. syok kardiogenik yang berdampak
pada kematian mendadak.
3. Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan oksigen
pernapasan dalam. sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemia jaringan
otak.
3. Pola napas tidak efektif (D0005)
Kategori : fisiologis
Subkategori : respirasi
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak sesak napas
2) RR dalam batas normal
60
3) Respons batuk berkurang
INTERVENSI RASIONAL
1. Auskultasi bunyi napas (krakels). Indikasi edema paru sekunder
akibat dekompensasi jantung.
2. Kaji adanya edema. Curiga gagal kongestif/ kelebihn
volume cairan.
3. Ukur intake dan output. Penurunan curah jantung,
mengakibatkan gangguan perfusi
ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan pengeluaran urine.
4. Kolaborasi diet tanpa garam. Natrium meningkatkan retensi
cairan dan volume plasma yang
berdampak terhadap peningkatan
beban kerja jantung dan akan
meningkatkan kebutuhan
miokardium.
4. Defisit nutrisi (D0019)
Kategori : fisiologis
Subkategori : nutrisi dan cairan
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat peningkatan dalam pemenuhan
nutrisi.
Kriteria Hasil :
1) Klien dapat melakukan pemenuhan nutrisi sesuai anjuran.
2) Klien dan keluarga dapat mengetahui asupan nutrisi yang tepat pada
klien.
3) asupan meningkat pada porsi makan yang disediakan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan tentang manfaat makan Dengan pemahaman klien akan
bila dikaitkan dengan kondisi klien lebih kooperatif mengikuti aturan.
61
saat ini.
2. Anjurkan agar klien memakan Untuk menghindari makanan yang
makanan yang disediakan rumah justru dapat mengganggu proses
sakit. penyembuhan klien.
3. Beri makanan dalam keadaan Untuk meningkatkan selera dan
hangat dan porsi kecil serta diet mencegah mual , mempercepat
tinggi kalori tinggi protein. perbaikan kondisi, serta
mengurangi beban kerja jantung.
4. Pemberian multivitamin. Memenuhi asupan vitamin yang
kurang dari penurunan asupan
nutrisi secara umum dan
memperbaiki daya tahan.
5. Intoleran aktivitas (D0056)
Kategori : fisiologis
Subkategori : aktivitas/istirahat
62
4. Pertahankan rentang gerak pasif sehingga membantu aliran vena
selama sakit kritis. balik.
63
DAFTAR PUSTAKA
Handayani. 2012. Epidemiologi Penyakit. Jakarta : Medika Group
Muttaqin, Arif. 2010. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan kardiovaskular
dan hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Nurarif, A.H. 2012. Aplikasi Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta :
Pusdik SDM Kesehatan
Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC
Wiwik. H., & Haribowo, A. S .2012. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan sitem hematologi. Jakarta : Salemba Medika
64
LAPORAN PENDAHULUAN
DHF (DENGUE HEMORAGIK VEFER)
65
a. Derajat I
Ditandai dengan demam disertai dengan gejala tidak khas dan satu- satunya
manifestasi perdarahan ialah uji bendung (Uji torniquet).
b. Derajat II
Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan
lain.
c. Derajat III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang), atau hipotensi, sianosis disekitar
mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat (profound syok), nadi tidak dapat diraba, dan tekanan darah
tidak teratur.
4. Manifestasi Klinik
Gejala klinis utama yaitu demam tinggi mendadak dan terus menerus
selama 2-7 hari dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak dapat
dipengaruhi oleh antipiretika, manifestasi perdarahan : manipulasi (uji torniquet
positive), spontan (petekie, etomose, perdarahan gusi, hemetemesis atau
melena), pembesaran hati dan syok. Sedangkan kriteria laboratoriknya adalah
trombositopenia : trombosit ≤ 100.000/mm3 dan hemokonsentrasi :
meningginya nilai hematokrit atau Hb ≥ 20% dibandingkan dengan nilai pada
masa kovalesense. (Rampengan, 2007).
Menurut Soedarto (2012), demam dengue menunjukkan gejala-gejala
klinis sebagai berikut :
a. Demam tinggi yang timbul mendadak
b. Sakit kepala yang berat, terutama di kepala bagian depan
c. Nyeri dibelakan mata
d. Sakit seluruh badan
e. Mual dan muntah
66
5. Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan
viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di
hipotalamus sehingga menyebabkan (pelepasan zat bradikinin, serotinin,
trombin, histamin) terjadinya peningkatan suhu. Selain itu viremia meyebabkan
pelebaran pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan perpindahan cairan
dan plasma dari intravascular ke intersisiel yang menyebabkan hipovolemia.
Tombositopenia dapat terjadi akibat dari penurunan produksi trombosit sebagai
reaksi dari antibodi melawan virus (Murwani, 2011).
Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik
kulit seperti petekia atau perdaraha mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan
adanya kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme
hemostatis secara normal. Hal tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan jika
tidak tertangani maka akan menimbulkan syok. Masa virus dengue inkubasi 3-
15 hari, rata-rata 5-8 hari. (Soegijanto, 2006).
Menurut Ngastiyah (2005), virus akan masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti. Pertama-tama yang terjadi adalah viremia
yang menyebabkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bitik-bintik merah pada kulit, hiperemia
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi pembesaran kelenjar getah
bening, pembesaran hati (hepatomegali).
Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks
virus antibodi. dalam sirkulasi dan akan mengativasi sistem komplemen. Akibat
aktivasi C3 dan C5 akan akan di lepas C3a dan C5adua peptida yang berdaya
untuk melepaskan histamin dan merupakanmediator kuat sebagai faktor
meningkatnya permeabilitas dinding kapilerpembuluh darah yang
mengakibtkan terjadinya pembesaran plasma keruang ekstraseluler.
Pembesaran plasma ke ruang eksta selulermengakibatkan kekurangan volume
plasma, terjadi hipotensi,hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi
dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningatan hematokrit >20%)
67
menunjukan ataumenggambarkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga
nilaihematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
(Noersalam, 2005).
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler di buktikandengan
ditemukan cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaiturongga
peritonium, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyatamelebihi
cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairanintravena,
peningkatan jumlah trombosit menunjukan kebocoran plasmatelah teratasi,
sehingga pemberian cairan intravena harus di kurangikecepatan dan
jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan gagaljantung, sebaliknya
jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akanmengalami kekurangan
cairan yang akan mengakibatkan kondisi yangburuk bahkan bisa mengalami
renjatan. Jika renjatan atau hipovolemikberlangsung lam akan timbul anoksia
jaringan, metabolik asidosis dankematian apabila tidak segera diatasi dengan
baik (Murwani, 2011).
Pelepasanzat anafilaktoksin, histamin dan serotonin serta aktivitas dari
sistem kalikreinmenyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
kapiler/vaskuler sehinggacairan dari intravaskuler keluar ke ekstravaskuler atau
terjadinyaperembesaran plasma akibat pembesaran plasama terjadi
pengurangan volumeplasma yang menyebabkan hipovolemia, penurunan
tekanan darah,hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selain
itu sistemreikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi
antigen anti bodiyang akhirnya bisa menyebabkan anaphylaxia (Price dan
Wilson, 2000).
Plasma merembes sejak permulaan demam dan mencapai puncaknyasaat
renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapatberkurang
sampai 30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadiakibat
kehilangan plasma yang tidak dengan segera diatasi maka akan terjadianoksia
jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Terjadinya renjatan inibiasanya
pada hari ke-3 dan ke-7 (Sudoyo, 2000).
68
Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah akanmenyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi trombositopenia,yang berlanjut
akan menyebabkan perdarahan karena gangguan trombosit dankelainan
koagulasi dan akhirnya sampai pada perdarahan. Reaksi perdarahanpada pasien
DHF diakibatkan adanya gangguan pada hemostasis yangmencakup perubahan
vaskuler, trombositopenia (trombosit <
100.000/mm3),menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protrombin,faktor V, IX, X dan fibrinogen). Perdarahan yang
terjadi seperti peteke,ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, sampai
perdarahan hebat padatraktus gastrointestinal Pembekuan yang meluas pada
intravaskuler (DIC) jugabisa menyebabkan terjadi saat renjatan (Price dan
Wilson, 2000).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Langkah - langkah diagnose medik pemeriksaan menurut(Murwani, 2011):
a. Pemeriksaan hematokrit (Ht) : ada kenaikan bisa sampai 20%, normal:pria
40-50%; wanita 35-47%
b. Uji torniquit: caranya diukur tekanan darah kemudian diklem
antaratekanan systole dan diastole selama 10 menit untuk dewasa dan 3-
5menit untuk anak-anak. Positif ada butir-butir merah (petechie) kurang20
pada diameter 2,5 inchi.
c. Tes serologi (darah filter) : ini diambil sebanyak 3 kali denganmemakai
kertas saring (filter paper) yang pertama diambil pada waktupasien masuk
rumah sakit, kedua diambil pada waktu akan pulang danketiga diambil 1-3
mg setelah pengambilan yang kedua. Kertas inidisimpan pada suhu kamar
sampai menunggu saat pengiriman.
d. Isolasi virus: bahan pemeriksaan adalah darah penderita atau jaringan-
jaringanuntuk penderita yang hidup melalui biopsy sedang untukpenderita
yang meninggal melalui autopay. Hal ini jarang dikerjakan.
7. Komplikasi
Menurut Widagdo (2012), komplikasi DBD adalah sebagai berikut :
a. Gagal ginjal
69
b. Efusi pleura
c. Hepatomegali
d. Gagal jantung
8. Penatalaksanaan
Untuk penderita tersangka DF / DHF sebaiknya dirawat dikamar yang
bebas nyamuk (berkelambu) untuk membatasi penyebaran. Perawatan kita
berikan sesuai dengan masalah yang ada pada penderita sesuai dengan beratnya
penyakit.
a. Derajat I: terdapat gangguan kebutuhan nutrisi dan keseimbangan
elektrolit karena adanya muntah, anorexsia. Gangguan rasa nyaman karena
demam, nyeri epigastrium, dan perputaran bola mata.
Perawat: istirahat baring, makanan lunak (bila belum ada nafsu makan
dianjurkan minum yang banyak 1500-2000cc/hari), diberi kompres
dingin, memantau keadaan umum, suhu, tensi, nadi dan
perdarahan,diperiksakan Hb, Ht, dan thrombosit, pemberian obat-obat
antipiretik dan antibiotik bila dikuatirkan akan terjadi infeksi sekunder.
b. Derajat II: peningkatan kerja jantung adanya epitaxsis melena dan
hemaesis.
Perawat: bila terjadi epitaxsis darah dibersihkan dan pasang tampon
sementara, bila penderita sadar boleh diberi makan dalam bentuk lemak
tetapi bila terjadi hematemesis harus dipuaskan dulu, mengatur posisi
kepala dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi, bila perut kembung besar
dipasang maag slang, sedapat mungkin membatasi terjadi
pendarahan,jangan sering ditusuk, pengobatan diberikan sesuai dengan
intruksidokter, perhatikan teknik-teknik pemasangan infus, jangan
menambah pendarahan, tetap diobservasi keadaan umum, suhu, nadi,
tensi danpendarahannya, semua kejadian dicatat dalam catatan
keperawatan, bila keadaan memburuk segera lapor dokter.
c. Derajat III: terdapat gangguan kebutuhan O2 karena kerja jantung`
menurun, penderita mengalami pre shock/ shock.
70
Perawatan: mengatur posisi tidur penderita, tidurkan dengan posisiter
lentang denan kepala extensi, membuka jalan nafas dengan cara pakaian
yang ketat dilonggarkan, bila ada lender dibersihkan dari mulut dan hidung,
beri oksigen, diawasi terus-meneris dan jangan ditinggal pergi, kalau
pendarahan banyak (Hb turun) mungkin berikan transfuse atas izin dokter,
bila penderita tidak sadar diatur selang seling perhatian kebersihan
kulit juga pakaian bersih dan kering.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
1. Menggunakan insektisida
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah
dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dantemephos
(abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion
ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos
(abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes
yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah
1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
2. Tanpa insektisida
Caranya adalah: Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan
air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10
hari); Menutup tempat penampungan air rapat-rapat; Membersihkan
halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah danbenda lain yang
memungkinkan nyamuk bersarang.
d. Terapi pemberian transfuse berdasarkan nilai trombosit
Kategori Kriteria
71
Resiko sedang Nilai trombosit awal 21.000-40.000/mm3 dikelompok
ini perlu di transfuse hanya jika terdapat manifestasi
perdarahan
72
PATHWAYS
Melepaskan histamin
Kebocoran plasma
Hipovolemia
73
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas pasien
Terdri nama, umur (pada DBD tersering menyerang anak dengan usia
kurang 15 tahun), jenis kelamin, alamat, nama orang tua, pendidikan orang
tua, pekerjaan orang tua.
2) Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan yang menonjol pada pasien DBD untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai
menggigil. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7, anak anak
semakin lemah. Kadang – kadang disertai dengan keluhan batuk,
pilek, nyeri telan, mual, muntah anoreksia, diare atau konstipasi, sakit
kepala, nyeri oto dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakkan bola
mata terasa pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi
(grade III, IV), melena atau hematemesis.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DBD, anak biasanya
mengalami serangan ulangan DBD dengan tipe virus yang lain.
d. Riwayat gizi
Status gizi anak yang menderita DBD dapat bervariasi. Semua anak
dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila
terdapat beberapa faktor predisposisinya. Anak yang menderita DBD
sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsumakan menurun.
Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan
nutrisi yang mencukupi, maka akan dapat mengalami penurunan
berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.
74
3) Kondisi lingkungan
Sering terjadi didaerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih (seperti air yang menggenang dan gantungan baju kamar)
4) Pola kebiasaan
a) Nutrisi dan metabolisme
Frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan berkurang.
b) Eliminasi alvi (buang air besar)
Anak mengalami diare atau konstipasi. Sementara pada DBD grade
IV bisa terjadi melena.
c) Eliminasi urin (bang air kecil)
Pada anak DBD akan mengalami urine output sedikit. Pada DBD
grade IV sering terjadi hematuria.
d) Tidur dan istirahat
Nyamuk Aedes Aegypti biasanya menggigit pada siang hari jam
10.00-12.00 dan sore hari pada jam 16.00-18.00. Anak biasanya sering
tidur pada siang hari dan pada sore hari ,tidak memakai kelambu dan
tidak memakai lotion anti nyamuk.
e) Kebersihan
Upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
cenderung kurang terutama untuk memebersihkan tempat sarang
nyamuk aedes aegypti, dan tidak adanya keluarga melakukan 3m
plus yaitu menutup, mengubur, menguras dan menebar bubuk abate.
5) Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Pemeriksaan fisik secara umum :
a) Tingkat kesadaran
Biasanya ditemukan kesadaran menurun, terjadi pada grade III dan
grade IV karena nilai hematokrit meningkat menyebabkan darah
mengental dan oksigen ke otak berkurang.
b) Keadaan umum
Lemah
75
c) Tanda-tanda vital (TTV)
Tekanan nadi lemah dan kecil (grade III), nadi tidak teraba (grade IV),
tekanan darah menurun (sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang), suhu tinggi (diatas 37,5oC)
d) Kepala
Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam.
e) Mata
Konjungtiva anemis
f) Hidung
Hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis) pada grade II, III,
g) Telinga
Terjadi perdarahan telinga (pada grade II, III, IV)
h) Mulut
Pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi
perdarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokkan
mengalami hyperemia pharing
i) Leher
Kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak mengalami pembesaran
j) Dada/thorak
Inspeksi : Bentuk simetris, kadang-kadang tampak sesak.
Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan tidak sama
Perkusi : Bunyi redup karena terdapat adanya cairan yang
tertimbun pada paru
Asukultasi : Adanya bunyi ronchi yang biasanya terdapat pada grade
III, dan IV
k) Abdomen
Inspeksi : Abdomen tampak simetris dan adanya asites.
Palpasi : Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati
(hepatomegali)
Perkusi : Terdengar redup
76
Asukultasi : Adanya penurunan bising usus
l) Sistem integument
Adanya petekia pada kulit spontan dan dengan melakukan uji
tourniket. Turgor kulit menurun, dan muncul keringat dingin, dan
lembab. Pemeriksaan uji tourniket dilakukan dengan terlebih dahulu
menetapkan tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan
antara sistolik dan diastolic pada alat ukur yang dipasang pada
tangan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan
timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah (Soedarmo, 2008
dalam Fauzia 2017).
m) Genitalia
Biasanya tidak ada masalah
n) Ekstremitas
Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi serta tulang. Pada kuku
sianosis/tidak
2. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan dehidrasi, peningkatan laju
metabolisme.
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif,
kegagalan mekanisme regulasi.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera.
5. Resiko syok berhubungan dengan kebocoran plasma darah
6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurangnya
suplai oksigen ke jaringan
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis (mual, muntah dan anoreksia)
8. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan adanya cairan di
rongga pleura. (Nanda, 2015)
77
C. Intervensi Keperawatan
No NOC NIC
Diagnosa
1 Hipertermia Setelah dilakukan Perawatan Demam
tindakan keperawatan 1. Pantau suhu dan
Defenisi :
tandatanda vital
peningkatan suhu diharapkan
tubuh diatas termoregulasi normal lainnya
kisaran normal dengan kriteria hasil: 2. Monitor warna kulit
a) Tidak ada dan suhu
Batasan peningkatan suhu 3. Berikan obat atau
karakteristik :
tubuh cairan IV (misalnya,
a. Kunvulsi
b. Kulit b) Tidak ada antipiretik,
kemerahan hipertermia agenantibakteri, dan
c. Peningkatan
c) Tidak ada sakit agen anti menggil)
suhu tubuh
diatas kisaran kepala 4. Monitor penurunan
normal d) Tidak ada sakit otot tingkat kesadaran
d. Kejang
e) Tidak ada perubahan 5. Tutup pasien dengan
e. Takhikardi
f. Takhipnea warna kulit selimut atau pakaian
g. Kulit terasa f) Tidak ada dehidrasi ringan, tergantung
hangat
pada fase demam (
yaitu: memberikan
selimut hangat untuk
Faktor yang
berhubungan fase dingin,
dengan : menyediakan pakaian
a. Anastesia atau linen tempat
b. Penurunan
tidur untuk demam
respirasi c.
Dehidrasi d. 6. Dorong konsumsi
Pemajanan cairan g) Fasilitasi
lingkungan
istirahat
yang panas
e. Penyakit
f. Peningkatan
78
laju
metabolisme
2 Resiko Setelah dilakukan Pencegahan
perdarahan tindakan keperawatan Perdarahan
diharapkan keparahan 1. Monitor ketat
Definisi :
beresiko kehilangan darah tandatanda
mengalami tidak terjadi dengan perdarahan
penurunan volume
kriteria hasil : 2. Catat nilai Hb dan
darah yang dapat
mengganggu a. Tidak ada Ht sebelum dan
kesehatan kehilangan darah sesudah terjadinya
yang terlihat perdarahan
Faktor resiko : b. Tidak ada hematuria 3. Monitor nilai labor
a. Aneurisme
c. Tidak ada keluar 4. Monitor status
b. Defisiensi
pengetahuan darah dari anus cairan yang meliputi
d. Tidak ada intake dan ouput
hematemesis 5. Observasi adanya
e. Tidak ada darah dalam sekresi
penurunan tekanan cairan tubuh
darah sistolik 6. Instruksikan pasien
f. Tidak ada untuk meningkatkan
penurunan tekanan makanan yang kaya
darah diastolik vitamin K
7. Instruksikan
keluarga untuk
Setelah dilakukan
memonitor
tindakan keperawatan
tandatanda
diharapkan koagulasi
perdarahan dan
darah membaik
mengambil tindakan
dengan kriteria hasil:
yang tepat jika
a. Tidak ada deviasi
terjadi perdarahan
dari kisaran normal
(misalnya: lapor
pembentukan
79
bekuan kepada perawat)
b. Tidak ada deviasi
dari kisaran normal
waktu prtrombin
(PT)
c. Tidak ada deviasi
dari kisaran
normalwaktu parsial
tromboplastin
(PTT)
d. Tidak ada deviasi
dari kisaran normal
hematokrit (Hct)
e. Tidak ada deviasi
dari kisaran normal
hemoglobin (Hb)
f. Tidak ada
peradarahan
g. Ringan petekie
h. Tidak ada ekimosis
i. Tidak ada BAB
berdarah
j. Tidak ada hematuria
k. Tidak ada
hematemesis
l. Tidak ada gusi
darah
80
intravaskular, dengan kriteria hasil : 2. Monitor status
interstisial, dan 1. Tekanan darah tidak hidrasi (misalnya
atau intraseluler.
terganggu membrane mukosa
Ini mengacu pada
dehidrasi. 2. Keseimbangan lembab, denyut nadi
intake dan output adekuat, dan
Faktor risiko :
tidak terganggu tekanan darah)
a. Perubahan
status mental 3. Berat badan stabil 3. Monitor vital sign
b. Penurunan tidak terganggu 4. Monitor masukan
tekanan darah
4. Turgor kulit tidak atau cairan dan
c. Penurunan
tekanan nadii terganggu hitung intake kalori
d. Penurunan 5. Hematokrit sedikit harian
volume nadi 5. Monitor status
terganggu
e. Penurunan
turgor kulit nutrisi
f. Membran Setelah dilakukan 6. Dorong pasien untuk
mukosa kering tindakan keperawatan menambah asupan
g. Kulit kering
diharapkan hidrasi oral (misalnya,
h. Peningkatan
suhu tubuh tidak terjadi dengan memberikan
kriteria hasil : sedotan,
Faktor yang 1. Turgor kulit tidak menawarkan cairan
berhubungan terganggu diantara waktu
dengan :
2. Membran mukosa makan)
a. Kehilangan
cairan aktif lembab tidak 7. Tawari makanan
b. Kegagalan terganngu ringan(misalnya
mekanisme
3. Intake cairan tidak minuman ringan dan
regulasi
terganggu buahan segar/ jus
4. Output urin tidak buah)
terganggu 8. Kolaborasi
5. Perfusi jaringan tidak pemberian cairan IV
terganggu 9. Monitor hasil
6. Tidak ada haus laboratorium
7. Tidak ada
81
peningkatan
hematokrit
8. Tidak ada nadi cepat
dan lemah
4 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
tindakan keperawatan 1. Lakukan pengkajian
Defenisi :
diharapkan tingkat nyeri secara
pengalaman
sensori dan nyeri berkurang komprehensif
emosional yang dengan kriteria hasil: termasuk lokasi,
tidak
1. Tidak ada nyeri yang karakteristik, durasi,
menyenangkan
yang muncul aibat dilaporkan frekuensi, kualitas
kerusakan jaringan 2. Tidak ada mengerang dan faktor
yang aktual atau
dan menangis presipitasi
potensial atau
digambarkan 3. Tidak ada 2. Observasi reaksi
dalam hal menyeringit non verbal dari
kerusakan 4. Tidak ada ketegangan ketidaknyamanan
sedemikian rupa
otot 3. Gunakan teknik
Batasan 5. Tidak ada kehilangan komunikasi
karakteristik : nafsu makan terapeutik untuk
a. Perubahan
6. Tidak ada Ekspresi mengetahui
selera makan
b. Perubahan wajah nyeri pengalaman nyeri
tekanan darah pasien
c. Perubahan
Setelah dilakukan 4. Kaji kultur yang
frekuensi
jantung tindakan keperawatan mempengaruhi
d. Perubahan diharapkan kontrol respon nyeri
frekuensi
nyeri teratasi dengan 5. Evaluasi
pernapasan
e. Mengekspresi kriteria hasil : pengalaman nyeri
kan perilaku masa lampau
f. Masker wajah
1. Sering menunjukkan 6. Evaluasi bersama
g. Gangguan
mengenali kapan pasien dan tim
tidur
nyeri terjadi kesehatan lain
82
Faktor yang 2. Secara konsisten tentang
berhubungan menunjukkan ketidakefektifan
dengan : agen
menggambarkan kontrol nyeri masa
cedera ( misal
biologis, zat kimia, faktor nyeri lampau
fisik, psikologis) 3. Sering menunjukkan 7. Bantu pasien dan
menggunakan keluarga untuk
tindakan mencari dan
pengurangan (nyeri) menemukan
tanpa analgetik dukungan
4. sering menunjukkan 8. Kontrol lingkungan
melaporkan yang dapat
perubahan terhadap mempengaruhi nyeri
gejala nyeri pada seperti suhu
professional ruangan,
kesehatan pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,non
farmakologi dan
inter personal)
11. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi
12. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
13. Evaluasi keefektifan
83
kontrol nyeri
14. Dukung tingkatkan
istirahat/ tidur yang
adekuat untuk
membantu
penurunan nyeri
15. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
Pemberian analgetik
1. Tentukan lokasi,
karakteristik,kualita
s,da n derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis
obat,dosis,dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih
dari satu
5. Tentukan pilihan
analgesik
tergantung tipe dan
84
beratnya nyeri
6. Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian,dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian
secara IV,IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
anlgesik pertama
kali
9. Berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
10. Evaluasi efektifitas
analgesic,tanda dan
gejala (efek
samping)
5 Resiko syok Setelah dilakukan Manajemen
tindakan keperawatan hipovolemi
Defenisi :
diharapkan keparahan 1. Monitor status
berisiko terhadap
ketidakcukupan syok: hipovolemik hemidinamik,
aliran darah ke tidak terjadi dengan meliputi nadi,
jaringan tubuh,
kriteria hasil: tekanan darah.
yang dapat
mengakibatkan 1. Tidak ada penurunan 2. Monitor adanya
disfungsi seluler tekanan nadi perifer tandatanda dehidrasi
yang mengancam (misalnya: turgor
2. Tidak ada penurunan
85
jiwa tekanan darah sistolik kulit buruk,
3. Tidak ada penurunan capillary refill
Faktor resiko :
tekanan darah terlambat, nadi
a. Hipotensi
b. Hipovolemia diastolik lemah, membrane
c. Hipoksemia 4. Tidak ada mukosa kering, dan
d. Hipoksia
melambatnya waktu penurunan urin
e. Infeksi
f. Sepsis pengisian kapiler output
g. Sindrom 5. Tidak ada nadi lemah 3. Monitor adanya
respons
dan halus sumbersumber
inflamasi
sistemi 6. Tidak ada akral perdarahan
dingin, kulit lembab/ (misalnya:
basah perdarahan, muntah,
7. Tidak ada penurunan keringat yang
tingkat kesadaran berlebihan)
4. Monitor adanya
Setelah dilakukan bukti laboratorium
tindakan keperawatan terkait dengan
diharapkan tanda- kehilangan darah
tanda vital dalam (misalnya:
rentang normal hemoglonin,
dengan kriteria hasil: hematoktrit,
1. Tekanan darah trombombosit)
sistolik tidak ada 5. Dukung asupan
deviasi dari kisaran cairan oral
normal (misalnya: berikan
2. Tidak ada deviasi cairan lebih dari 24
dari kisaran normal jam dan berikan
tekanan darah cairan dengan
diastolic makanan), jika tidak
3. Tidak ada deviasi ada kontraindikasi
dari kisaran normal 6. Berikan cairan IV
86
tekanan nadi isotonic (misalnya
4. Tidak ada deviasi cairan normal saline
dari kisaran normal atau Ringer Laktat)
tingkat dan irama untuk rehidrasi
pernapasan ekstraseluler dengan
tetesan aliran yang
tepat
7. Instruksikan pada
pasien dan/atau
keluarga untuk
mencatat intake dan
output, dengan tepat
8. Instruksikan pada
pasien dan/atau
keluarga tindakn-
tindakan yang
dilakukan untuk
mengatasi
hopivolemi
Monitor tanda-tanda
vital
1. Minitor tekanan
darah, nadi, suhu,
dan status
pernapasan
2. Inisiasi dan
pertahankan
perangkat
pemantauan suhu
tubuh secara
87
terusmenerus
dengan tepa
3. Monitor warna kulit,
suhu dan
kelembaban
4. Monitor sianosis
sentral dan perifer
5. Identifikasi
kemungkinan
penyebab perubahan
tanda-tanda vital
88
tekanan darah kanan dalam kisaran 3. Monitor adanya
di ekstremitas normal Tekanan sumbersumber
e. Warna tidak
darah sistolik dan kehilangan cairan
kembali ke
tungkai saat diastolik tidak ada (misalnya.,
diturunkan deviasi dari kisaran perdarahan, muntah,
f. Kelambatan
normal tekanan darah diare, keringat yang
penyembuhan
luka perifer sistolik dan diastolik berlebihan, dan
g. Penurunan dalam kisaran normal takpnea) perifer
nadi
4. Tidak ada muka
h. Edema
i. Nyeri pucat
ekstremitas 5. Tidak ada kelemahan Monitor tanda-tanda
j. Pemendekan
otot vital :
jarak total
yang ditempuh 1. Minitor tekanan
dalam uji darah, nadi, suhu,
berjalan enam dan status
menit
k. Warna kulit pernapasan
pucat saat 2. Inisiasi dan
elevasi pertahankan
perangkat
pemantauan suhu
tubuh secara
terusmenerus
dengan tepat
3. Monitor warna kulit,
suhu dan
kelembaban
4. Monitor sianosis
sentral dan perifer
5. Identifikasi
kemungkinan
penyebab perubahan
89
tanda vital
7 Ketidakseimbang Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
an Nutrisi tindakan keperawatan 1. Kaji adanya alergi
Kurang Dari
status nutrisi: asupan makanan
Kebutuhan
Tubuh makanan dan cairan 2. Kolaborasi dengan
teratasi dengan ahli gizi untuk
Defenisi:
kriteria hasil: menentukan jumlah
asupan nutrisi
tidak cukup untuk 1. asupan makanan kalori dan nutrisi
memenuhi secara peroral yang dibutuhkan
kebutuhan
sepenuhnya adekuat pasien
metabolic
2. Asupan cairan secara 3. Berikan informasi
Batasan peroral sepenuhnya tentang kebutuhan
Karakteristik: nutrisi
adekuat
a. Berat badan
20% atau 3. Asupan cairan Monitor Nutrisi
lebih dibawah intravena sepenuhnya 1. Monitor adanya
rentang berat adekuat penurunan berat
badan ideal
badan
b. Bising usus 4. Asupan nutrisi
hiperaktif parenteral 2. Monitor lingkungan
c. Kelemahan sepenuhnya adekuat selama makan
otot untuk
3. Monitor kulit kering
mengunyah
d. Kelemahan dan perubahan
otot untuk pigmentasi
menelan 4. Monitor kekeringan,
e. Kehilangan
rambut rambut kusam, dan
berlebihan mudah patah
f. Membran 5. Monitor mual
mukosa pucat
muntah
g. Ketidakmamp
uan memakan 6. Monitor kadar
makanan albumin, total
h. Nyeri
protein, Hb, Ht g)
abdomen
Catat adanya edema,
90
Faktor yang hiperemik,
Berhubungan: hipertonik, papilla
a. Faktor
lidah dan cavitas
biologis
b. Ketidakmamp oral
uan mencerna
makanan
c. Kurang
asupan
makanan
8 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Terapi Oksigen
Pola Napas tindakan keperawatan 1. Pertahankan
diharapkan pola napas kepatenan jalan
Defenisi:
Inspirasi dan/ atau efektif dengan kriteria napas
ekspirasi yang hasil: 2. Siapkan peralatan
tidak member
1. Frekuensi pernapasan oksigen dan
ventilasi adekuat
tidak ada deviasi dari berikan melalui
Faktor Resiko: normal b) Suara system humidifier
a. Perubahan
perkusi nafas tidak 3. Berikan oksigen
kedalaman
pernapasan ada deviasi dari tambahan seperti
b. Perubahan kisaran normal c) yang diperintahkan
ekskursi dada Kapasitas vital tidak (Sambungan)
c. Mengambil
ada deviasi dari 4. Monitor aliran
posisi tiga titik
d. Bradipnea kisaran normal oksigen
e. Penurunan 5. Monitor efektifitas
tekanan
terapi oksigen
ekspirasi
f. Penurunan 6. Atur posisi untuk
tekanan meringankan sesak
inspirasi
napas
g. Penurunan
ventilasi 7. Monitor status
semenit pernapasan dan
h. Penurunan
oksigenasi,
kapasitas vital
i. Dispnea sebagaimana
91
j. Pernapasan mestinya
cuping hidung
k. Fase kespirasi
memanjang
l. Takipnea
Faktor
Berhubungan:
a. Ansietas
b. Posisi tubuh
c. Deformitas
tulang
d. Deformitas
dinding dada
e. Keletihan
f. Hiperventilasi
g. Sindrom
hipoventilasi
92
DAFTAR PUSTAKA
Fauziah. 2017, Asuhan Keperawatan Pada An. H Dan An. N Dengan Demam
Berdarah Dengue (Dbd) Di Rsi Ibnu Sina Padang. Poltekkes Kemenkes
Padang
Mulyo, 2015. Transfusi Trombosit Profi laksis pada Demam Berdarah Dengue:
Bermanfaat atau Merugikan?, (42)(12) 1-5
93
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA
A. Konsep Dasar Hemodialisa
1. Definsi
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi
kedalam tubuh pasien, (Baradero, Dayrit dan siswadi, 2009 dalam Amali, 2018).
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah
dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser (Hudak dan Gallo 1996 dalam
Wijaya dan Putri, 2013).
2. Tujuan
1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat
2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan.
3) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Wijaya dan Putri, 2013).
3. Prinsip Hemodialisis
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu
dialisis dan ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi
zat terlarut dari satu larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran
semipermiabel. Molekul-molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul
rendah dalam kedua larutan dapat melewati poripori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier
membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin
uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).
94
a. Difusi
Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari daerah konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaan
konsentrasi zat-zat terlarut dikedua sisi membran dialysis, difusi menyebabkan
pergeseran urea, kreatinin dan asam urat dari darah klien ke larutan dialisat
b. Osmosa
Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari daerah
yang kadar partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi.
c. Ultrafiltrasi
Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permeabel dampak dari
bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan. Proses ultrafiltrasi ini
terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
Hemo = darah Dialisis = memisahkan dari yang lain, (Wijaya dan Putri, 2013).
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
a) Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan
tekanan yang melewati membran.
b) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi tergantung
besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam)
yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan
(pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
95
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke
“B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran, akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
4. Indikasi
Adapun indikasi untuk pasien yang dapat melakukan terapi cuci
darah/hemodialisis ini antara lain :
1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus <5 ml)
2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat indikasi:
a. Hiperkalemia (K+ darah >6 meq/l)
b. Asidosis
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam (ureum >200 mg%, kreatinin
serum > 6 mEq/l
e. Kelebihan cairan
f. Mual dan muntah hebat
3) Intoksikasi obat dan zat kimia
4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
5) Sindrom hepatorenal dengan criteria :
a. K+ pH darah <7,10 asidosis
b. Oliguria/anuria > 5 hr
c. GFR < 5 ml/I pada GGK
d. Ureum darah > 200 mg/dl
5. Kotraindikasi
1) Hipertensi berat (TD >200 / 100 mmHg)
2) Hipotensi (TD < 100 mmHg)
3) Adanya perdarahan hebat
4) Demam tinggi, (Wijaya dan Putri.2013).
96
6. Akses Sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati,
2017).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart,
2011). Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum
berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah
agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena
fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah
didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati, 2017).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri
atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai
tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri
tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008 dalam Hermawati,
2017).
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu
pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik
hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang besar
( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2-5 jam sangatlah sulit. Biasannya pada pasien
akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran darah yang
besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu harus
disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena. Ada 2 macam
cara :
97
a. Pintas (shunt) eksternal Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri
langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan
dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri
dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena
untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering
terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas ini
biasanya dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini jarang
dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat
oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan
vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah
tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga
menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-
lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai
dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar
tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin. Pemakaian
heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
a) Heparinisasi sistemik Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil.
Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak
diberikan lagi.
b) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikAN
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan
dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam
tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja
c) Heparinisasi minimal Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan
karena penderita cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
98
7. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010 dalam Pratiwi, 2014).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013 dalam Pratiwi, 2014)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab
1. Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
2. Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak
adekuat
3. Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
4. Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
5. Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
6. Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
7. Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
8. Masalah pada dialisat Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
9. Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,
gejala neurologi, aritmia
10. Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi
endotoksin dari dialisat maupun sirkuti air
99
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber & Himmelfarb,
2013).
8. Penatalaksanaan
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012 dalam Hermawati, 2017).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan predictor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2
gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.
Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120
mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium
akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006 dalam Hermawati, 2017).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
100
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010 dalam
Hermawati, 2017).
9. Peralatan Hemodialisa
1) Dialiser (Dialyzer)
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan
tipe membrane yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua
factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya
membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
a. Fungsi :
a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat.
b) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif
dalam arus darah dan tekanan negative (penghisap) dalam kompartemen
dialisat (proses ultrafiltrasi).
c) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh,
(Haryono, 2012).
b. Karakteristik Dialiser
Banyak aspek dari dialiser dapat mempengaruhi efektivitas tindakan
hemodialisis, kenyamanan dan keamanan pasien. Hal ini termasuk
Biokompatibiliti (seberapa cocok membran dengan tubuh manusia), luas permukaan
membran, batas berat molekul (ukuran solut yang dapat melewati membrane).
Koefisien ultrafiltrasi dan klirens (kecepatan keluarnya solut), (Cahyaningsih,2008).
2) Dialisat atau cairan dialisis
a. Tujuan Dialisat
Dialisat adalah cairan yang membantu mengeluarkan sampah uremik
seperti ureum dan kreatinin dan kelebihan elektrolit seperti sodium dan
101
kalium, dari dalam darah pasien. Dialisat juga dapat mengganti substansi yang
dibutuhkan tubuh seperti kalsium dan bikarbonat yang membantu menjaga
keseimbangan pH tubuh.
b. Komposisi dialisat
Ada dua konsentrat dialisat : acid dan bikarbonat
a) Konsentrat acid mempunyai jumlah yang diinginkan dari sodium
chloride, calcium chloride, magnesium chloride, calcium chloride,
glucose chloride, dan asam asetat. Asam asetat ini ditambahkan untuk
menurunkan pH dialisat.
b) Konsentrat bikarbonat mempunyai kandungan sodium bikarbonat,
(Cahyaningsih, 2008).
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat
harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh
pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, tetapi dapat
dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
Sistem pemberian dialisat. Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk
satu pasien : system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk
20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan
alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat air.
(Haryono, 2012).
3) Asesoris peralatan
Peranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan
tekanan, udara, dan kebocoran darah. (Haryono, 2012 : 96).
102
10. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis
1) Tahap persiapan
a. Mesin sudah siap pakai
b. Alat lengkap (set HD)
a) Dialyzer
b) Av blood line
c) Av vistula
d) Cairan dialisat pekat
e) Infuse set
f) Spuit 1 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc
g) Kassa steril
h) Hanschoen steril
i) Pinset, dock, klem steril
j) Gunting dan plester
c. Obat-obatan
a) Lidocain
b) Alcohol
c) Betadin
d) Heparin
e) Kalmetason
f) Anti histamine & Nacl 0,9%
d. ADM
a) informed consent
b) Formulir hemodialisis dan travelling dialysis
2) Tahap pelaksanaan
a. Penjelasan pada klien dan keluarga
b. Timbang berat badan
c. Atur posisi, observasi TTV
d. Siapkan sirkulasi mesin
e. Persiapkan tindakan steril pada daerah punksi
103
f. Lakukan penurunan vena (out let dan in let) dengan AV fistula fiksasi
kemudian tutup dengan kasa steril
g. Berikan bolus heparin dosis awal, Heparin 5000 Ui encerkan 1 cc menjadi
10 cc dengan NaCl
h. Memulai HD:
a) Hubungkan sirkulasi mesin dengan klien
b) Jalankan pompa darah dengan 26 ± 100 ml/’ sampai sirkulasi darah
terisi semua
c) Cairan priming ditampung Ukur jumlahnya.
d) Hubungkan selang-selang untuk semua monitor
e) Pompa heparin dijalankan
f) Catat keluhan dan masalah sebelum hemodialisis
3) Tahap penghentian
a. Siapkan alat yang dibutuhkan
b. Ukur TTV
c. 5 menit pre hemodialisis berakhir 26 diturunkan sekitar 100 cc/l, UFR:0
d. Blood pump stop
e. Ujung ABL di klem, jarum dicabut, bekas tusukan intel ditekan dengan
kassa steril yang diberi betadin.
f. Hubungkan dengan ujung ABL dengan infuse set
g. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan didorong NaCL 0,9% (± 50.100
cc)
h. Setelah outlet dicabut, bekas punksi outlet dengan kassa steril + betadin
i. Ukur TTV
j. Timbang berat badan, (Wijaya dan Putri, 2013).
104
Dosis Hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi
dialysis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan
protein dan makanan, derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya
komorbid. Kecukupan (Adequacy) dialysis menjadi target dosis dialysis saat ini
dipakai juga URR (%Urea Reduction Rate) atau besarnya penurunan ureum
dalam persen. URR = 100% x (1-(ureum sebelum/ ureum sesudah dialysis)).
Pada hemodialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dianjurkan target URR setiap
kali hemodialisa adalah diatas 65%.
Untuk setiap sesi dialysis, status fisiologis pasien harus dinilai sehingga resep
dialysis dapat disejajarkan dengan tujuan setiap terapinya (Sari, 2017).
1. Menghitung Adekuasi Hemodialisis
a. Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea
predialisis dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang
dapat dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara
paling sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak dapat
dipakai untuk merencanakan dosis hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan
waktu dan V merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter.K adalah
klearensi dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis
dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih dari 1,2 saat evaluasi menandakan
bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi metode pilihan untuk
mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat menunjukkan
penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan
bisa dipakai untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal
residual.5,20. Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang
dipakai adalah model single-pool urea kinetik. Cara ini merupakan
penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum (MKU), dimana Kt
merupakan jumlah bersihan ureadari plasma dan V merupakan volume distribusi
105
dari urea. K dalam satuan L/menit,diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan alirandialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam satuan
me nit, sedangkan V dalam satuanliter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI
adalah generasi kedua yang dikemukakanoleh Daugirdas.
Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W
Dimana :
a. Ln adalah logaritma natural.
b. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
c. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:
Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
106
4. Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
5. Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
6. Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
7. Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
8. Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993) PRU=Percent
Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x
100/BUNsebelum HD
107
b) Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter
tidak praktis.
c) Waktu tindakan HD.
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen dari
Kt/V ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang lebih
besar dari urea diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dimana hal ini akan mengurangi komplikasi
kardiovaskuler. Meskipun data penunjang secara klinis belum lengkap, lama
HD yang dianjurkan minimal adalah 2,5jam.
d) Urea removal indek (URI).
Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk
mengukurAHD, dan masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam
penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis
hemodialisis, independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan
hemodialisis, klirens dari molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan
lebih baik. Selain itu juga akan mengakibatkan terjadinya intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dan dapat mengurangi komplikasi
kardiovaskuler.Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
1. Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
2. Pelaksanaan secara rutin
3. Kualitas hidup baik
4. Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)
a. Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :
1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
108
3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam
atau HD 2 kali per mingguselama 4 hingga 5 jam
4. Kt/v URR setiap bulan
b. Untuk peritoneal dialisis :
1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3. Target Creatinin Clearance 60L per minggu padahigh average. Sedangkan
pada low average50L per minggu
c. Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:
1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu
setelah dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang
tiap 2 bulan pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
a. Volume urine menurun tajam
b. Overload cairan
c. Perburukan uremia secara klinis / biokemis.
109
a. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnyapengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
b. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
c. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa
diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai
KoAtinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk
wanita.Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat
tidak akanmengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal.Di beberapa tempat dimana
pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan pemakaian
dialyzer ini.Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan dialisis asetat,
pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek samping.Terlepas dari
biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada pasien besar, terutama
penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan >45 liter. Pada
penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA rendah, walaupun
kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer KoA tinggi
juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran darah yang
tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan dialisis yang
memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan
durasi dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi
tidak selalumenjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang
lebih besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan aliran
darah yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer besar
dengan membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang lebih
tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih mendukung
pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer KoA rendah
serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.
110
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD
yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.
2. Penggunaan 2 Dializer Paralel Atau Seri Meningkatkan AHD.
Terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas penderita HD reguler
padasaat ini masih menjadi masalah.Dari penelitian dilaporkan bahwa salah satu
penyebabmortalitas yang tinggi dan tidak produktifnya penderita tersebut karena
tindakan HDyang tidak adekuat. Seperti pada penelitian Ifudu dkk mendapatkan
bahwa dosishemodialisis standard pada penderita dengan berat badan lebih dari
68,2 kg tidakmendapatkan hasil yang adekuat. Penelitian Wolfe dkk mengenai
luas permukaantubuh, dosis HD dan mortalitas mendapatkan luas permukaan
tubuh berhubungandengan mortalitas serta berkorelasi langsung dengan dosis HD.
Menyatakan bahwadosis HD yang diberikan merupakan keadaan individual.
Penelitian Kuhlmannmelaporkan bahwa penderita dengan volume distribusi urea
>42,0 liter atau luaspermukaan tubuh >2,0 m2 merupakan pasien yang
mempunyai risiko dosis hemodialysis yang tidak adekuat. Penelitian Salahudeen
dkk pada penderita HD berat badan lebihmendapatkan hasil Kt/V lebih rendah dan
berpengaruh negatif terhadap survival.Penelitian Elangovan dkk melaporkan
bahwa walaupun menggunakan dializer yangluas, kec epatan aliran darah dan aliran
dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80kg atau volume distribusi urea
>46 liter tidak satupun yang mencapai Kt/V 1,45 setaradengan RRU >70%,
penelitian tersebut menganjurkan perlu terobosan HD pada penderita berat badan
besar.
Oleh karena hal tersebut berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan
AHD.Telah diketahui bahwa untuk meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan
memperlama waktu dialisis, meningkatkan kecepatan aliran darah dan atau aliran
111
dialisat,meningkatkan luas permukaan membran dializer dengan memakai dializer
KoA tinggi.
Akhir-akhir ini meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan meningkatkan
luas permukaan membran dializer dengan memakai memakai 2 dializer yang
dihubungkan secara paralel atau secara seri.
Ari dalam penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan 2 coil dializer
secara seri dapat mempersingkat lama waktu HD.
Nolph dkk penelitiannya menggunakan 2 dializer paralel mendapatkan total
klearens berat molekul rendah (ureum) yang menurun, menyimpulkan terdapatnya
efikasi dialisis.
Sridhar dkk penelitian pada penderita berat badan ³95 kg membandingkan
penggunaan 2 dializer paralel dan dializer tunggal melaporkan 2 dializer paralel
dapat meningkatkan Kt/V.
Powers dkk menggunakan 2 dializer dihubungkan secara paralel pada
penderita dengan berat badan besar mendapatkan RRU meningkat bermakna.
Denninson menggunakan 2 dializer yang dihubungkan secara seri untuk
meningkatkan AHD mendapatkan perbaikan RRU dari 52% menjadi 64%, dan
menyimpulkan bahwa 2 dializer seri tersebut dapat meningkatkan RRU 23 %.
Fritz dkk membandingkan 2 dializer yang dihubungkan secara paralel dan 2
dializer yang dihubungkan secara seri mendapatkan bahwa Kt/V dan RRU dari
penderita tersebut tidak mempunyak perbedaan yang bermakna dan juga
melaporkan 83% penderta mendapatkan target adekuasi hemodialisis dari 2
dializer yangdihubungkan secara paralel ataupun 2 dializer yang dihubungkan
secara seri.
Pada penelitian lainnya dikatakan tidak ada perbedaan 2 dializer seri dan 2
dializer paralel, tetapi 2 dializer seri mempunyai keuntungan lebih praktis dan
mudah dalam pelaksanaanya. Gerhartd dkk. Penelitiannya membandingkan 2
dializer paralel dan 2 dializer seri, pada 167 penderita masing-masing 112
penderita menggunakan 2 dializer paralel dan 55 penderita menggunakan 2
dializer seri menyimpulkan bahwa efektifitas kedua alat tersebut hampir sama,
tetapi hubungan seri lebih mempunyai keuntungan praktis.
112
12. Durasi Hemodialisis
Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu,
tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa
idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan memerlukan QB 200-
300 mL/menit. Sedangkan merurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3-5 jam dan dilakukuan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-3 hari diantara
hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa, (Nuari dan Widyati, 2017)
Asupan Protein 1,2 g/kg BB/hari, bila secara klinis pasien stabil
(setidaknya 50% dari diet protein dengan nilai
biologi tinggi).
113
Kalium 70-80 mEq/L
Vitamin B5 5 mg/hari
Biotin 30 µg/hari
Vitamin B6 10 mg/hari
75-90 mg/hari
Vitamin C
1-10 mg/hari
Asam Folat
Sumber : Nutritional management ogf renal disease (2004) dalam Cahyaningsih
(2011)
B. Konsep keperawatan
1. Pengkajian
1) Biodata
a. Nama :
b. Umur : Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun
c. Jenis Kelamin :
d. Pekerjaan :
e. Agama :
114
f. Alamat :
g. Pendidikan :
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya mengeluh
mual, muntah, anorexia, akibat peningkatan ureum darah dan edema
akibat retensi natrium dan cairan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai
penyebab terjadinya GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penggunakan analgesik
yang lama atau menerus.
115
Pasien biasanya mengalami gangguan pola istrahat tidur akibat keluhan-
keluhan sehubungan dengan peningkatan ureum dan zat-zat toksik seperti
mual, muntah, sakit kepala, kram otot dan sebagainya.
4) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah dan penurunan tingkat kesadaran akibat
terjadinya uremia
b. Vital sign : biasanya terjadi hipertensi akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivitas sistim rennin
c. BB : Biasanya meningkat akibat oedema
d. Inspeksi
a) Tingkat kesadaran pasien biasanya menurun
b) Biasanya timbul pruritus akibat penimbunan zat-zat toksik pada
kulit
c) Oedema pada tangki, acites, sebagai akibat retensi caira dan natrium
e. Auskultasi
Perlu dilakukan untuk mengetahui edema pulmonary akibat
penumpukan cairan dirongga pleura dan kemungkinan gangguan
jantung (perikarditis) akibat iritasi pada lapisa pericardial oleh toksik
uremik serta pada tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi gagal jantung
kongestif.
f. Palpasi
Untuk memastikan oedema pada tungkai dan acietas.
g. Perkusi
Untuk memastikan hasil auskultasi apakah terjadi oedema pulmonar yang
apabila terjadi oedema pulmonary maka akan terdengar redup pada
perkusi.
5) Data psikologis
Pasien biasanya mengalami kecemasan akibat perubahan body image,
perubahan peran baik dikeluarga maupun dimasyarakat. Pasien juga
biasanya merasa sudah tidak berharga lagi karena perubahan peran dan
ketergantungan pada orang lain.
116
6) Data sosial
Pasien biasanya mengalami penurunan aktivitas sosial akibat penurunan
kondisi kesehatan dan larangan untuk melakukan aktivitas yang berat.
7) Data Penunjang
a. Rontgen foto dan USG yang akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan
atropik
b. Laboratorium :
a) BUN dan kreatinin, terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dalam
darah
b) Elektrolit dalam darah : terjadi peningkatan kadar kalium dan
penurunan kalium.
2. Diagnosa Dan Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1 Pola nafas tidak efektif b.d Pola nafas efektif dengan 1. Beri O2 nasal/masker/reservoir
Penumpukan cairan pada criteria : sesuai dengan tingkat sesak
paru a. Klien mengatakan 2. Atur posisi semi fowler/ fowler
a. Asidosis sesak berkurang 3. Kolaborasi dengan medis
b. Anemia b. RR 16-20 x/mnt prescript HD
c. Hiperkalemia c. Tidak ada pernafasan 4. Lakukan UF didepan bila perlu
Karakteristik : cuping hidung 5. Atur UFR
a. Klien mengeluh sesak d. Tidak ada tarikan 6. Kolaborasi dengan medis dalam
b. RR > 30 x/mnt intercostae pemberian tranfusi jika Hb < 7
c. Pernafasan cuping hidung e. Nilai BGA Post HD mg/dl
d. Tarikan intercostae normal 7. Observasi Sign Vital
e. Lab BGA menunjukkan f. Nilai Kalium post
asidosis (pH > 7,45 dll) HD normal
f. Hb < 7 mg/dl g. Kadar HB > 7 mg/dl
g. Adanya Ronchi
h. Sputum campur darah
2 Gangguan rasa nyaman: a. Kram 1. Anjurkan klien untuk relaksasi,
kram b.d. berkurang/hilang hiperekstensi bagian tubuh yang
a. Hipotensi dengan criteria kram.
b. UFR↑/penarikan cairan di b. Keluhan kram 2. Lakukan distraksi, kaji
bawah BB kering berkurang
penyebab kram, ukur tekanan
c. Kandungan sodium pada c. Otot yang kram
rileks darah
cairan dialisat rendah
d. Hipokalsemi d. Klien nampak tenang 3. Bila disertai hipotensi, berikan
e. Tensi dalam batas normal salin;diikuti pemberian
Karakteristik: normal larutan hipertonik dianjurkan
Klien mengeluh kram glukosa 40% (tidak diberikan
Otot pada anggota tubuh yang pada klien diabetic)
117
kram nampak tegang 4. Kolaborasi pemberian kalsium
Klien nampak kesakitan iv bila hipokalsemi
Klien nampak gelisah 5. Kolaborasi pemberian relaksan
Tensi menurun oral 2 jam sebelum dialysis
6. Evaluasi BB kering klien, atur
UF Goal dengan hati-hati
7. Anjurkan kepada klien untuk
latihan peregangan pada
anggota badan yang serting
kram
8. atur nilai sodium pada cairan
dialisat tidak terlalu rendah.
3 Gangguan rasa nyaman: a. Ekspresi wajah 1. Observasi tanda vital, kaji tingkat
nyeri kepala b.d tenang nyeri
a. Sindroma dis-equilibrium b. Keluhan sakit kepala 2. Anjurkan relaksasi dan lakukan
ringan berkurang/hilang
c. Gelisah (-) distraksi
b. Penggunaan larutan 3. Turunkan QB sampai batas
d. Minum kopi
dialisat yang mengandung
terkendali minimal (150 ml/mnt)
asetat e. Qb minimal
c. Penarikan kafein dari 4. Ganti dialisat asetat dengan
f. Menggunakan bicnat
darah secara mendadak dialisat bicnat
bagi klien peminum kopi 5. Berikan asetaminofen sesuai
g. Time dialysis
Karakteristik: terkendali anjuran
a. Klien mengeluh sakit 6. Anjurkan untuk membatasi kopi
kepala sebelum cuci darah
b. Ekspresi wajah nampak 7. Hentikan dialysis bila sakit
meringis
kepala tidak hilang
c. Nampak gelisah
d. Riwayat peminum kopi
e. QB tinggi
f. Penggunaan dialisat asetat
g. Time dialysis terlalu lama
4 Resiko terjadi hipotensi b.d. Hipotensi tidak terjadi 1. Monitor tanda vital tiap
1. Penurunan volume darah dengan criteria: jam/lebih sering bila perlu
yang berlebihan akibat: a. Tanda vital dalam sebagai deteksi dini hipotensi
a. Fluktuasi UFR batas normal
2. Kaji adanya keluhan mual,
b. UFR yang tinggi akibat b. Keluhan pusing,
mual (-) pusing sebagai deteksi dini
peningkatan BB yang
c. UFR tidak lebih dari hipotensi
tinggi
selisih BB per time 3. Atur UFR dengan cara: BB
c. BB kering yang terlalu dialysis < 5% BB sebelum cuci dikurangi BB
rendah kering
kering dibagi time dialysis tidak
d. Sodium cairan dialisat d. Mengkonsumsi OAH
pada wakrtu yang lebih dari 5% BB kering
terlalu rendah
tepat 4. Anjurkan tidak mengkonsumsi
2. Penurunan fungsi
e. Menggunakan OAH sebelum cuci
vasokonstriksi akibat
dialisat bicnat, Na 5. Atur pemberian dialisat :
a. Obat anti hipertensi
ditingkatkan, suhu a. Gunakan bicnat hindari
(OAH) diturunkan asetat
b. Cairan dialisat asetat f. BB kering terkendali b. Tingkatkan nilai sodium
c. Suhu cairan dialisat c. Turunkan suhu dialisat ke
terlalu panas 34-36°C
3. Penurunan fungsi jantung 6. Re-evaluasi BB kering
118
a. Kegagalan meningkatkan 7. Anjurkan untuk tidak makan
denyutan jantung secara secara berlebihan saat
tepat karena penurunan menjalani HD
pengisiannya akibat:
8. Bila diketahui tensi menurun
memakan β bloker,
neuropati dan terdapat keluhan pusing:
otonom uremikum, a. Berikan oksigen lembab
ketuaan. b. Atur posisi kepala lebih
b. Ketidak mampuan rendah
meningkatkan kardiak c. Turunkan UFR serendah
output karena alas an lain : mungkin
penurunan kontraktilitas d. Berikan normal salin 100
otot jantung akibat cc/lebih
ketuaan, hipertensi, e. Berikan larutan hipertonis
aterosklerosis, kalsifikasi
miokardial, penyakit
katup, amiloidosis dll
4. Sepsis, perdarahan samar,
arritmia, hemolisis, emboli
udara, anafilksis
Karakteristik
a. Klien mengeluh pusing,
mual, kram
b. Tensi menurun
c. UFR tinggi
d. Suhu dialisat rendah
e. Sodium dialisat terlalu
rendah
f. Pemakan asetat dialisat
g. Ureum sangat tinggi
h. Riwayat mengkonsumsi
OAH sebelum dialysis
5 Perubahan pola nutrisi b.d. a. Keluhan mual- 1. Monitor BB, kadar ureum,
1. Pembatasan diet muntah, tidak napsu kreatinin, protein total,
2. Mual-muntah makan albumin, dan elektrolit sebagai
3. Anoreksia berkurang/hilang
b. Protein total dan indicator dari adekuasi dialysis,
4. Penurunan BB kering
albumin dalam batas status gizi dan respon therafi
5. Gangguan keseimbangan
elektrolit normal 2. Anjurkan perawatan mulut
Karakteristik: c. BB kering terpelihara untuk mencegah stomatitis,
a. Klien mengeluh mual- membuang bau mulut
muntah, tidak nafsu 3. Berikan makanan porsi kecil
makan tapi sering dalam keadaan
b. BB kering menurun hangat
c. Bau mulut (+)
4. Anjurkan klien untuk memilih
makanan yang diperbolehkan
5. Berikan makanan dengan kalori
35 kcal/kgBB/hari untuk
mengimbangi proses
katabolisme dialysis dan
memelihara BB kering
6. Batasi protein 1,2 gr/kgBB/hari
dan batasi fosfat untuk
119
mengurangi metabolisme dan
produk ureum, kalium, fosfat
dan H+
7. Berikan permen dan sejenisnya
untuk meningkatkan rasa pada
klien yang tidak menderita DM
6 Gangguan keseimbangan a. Klien mengatakan 1. Monitor peningkatan tensi,
cairan : overload b.d. bengkak edema perirbital dan peripheral
Penurunan fungsi ginjal berkurang/hilang 2. Auskultasi paru untuk
b. Klien mengatakan
dalam dalam mengatur sesak berkurang mengidentifikasi adanya cairan
keseimbangan cairan dan c. Edema (-) dalam paru
elektrolit d. Peningkatan BB 3. Ajarkan klien untuk pentingnya
interdialitik tidak pengendalian dan pengukuran
Karakteristik: lebih dari 5% BB air dan berat badan untuk
kering
a. Klien mengeluh bengkak- mencegah overhidrasi; jumlah
e. Pola napas normal,
bengkak pada perut, wajah air yang diminum = 500 cc +
RR Normal
atau anggota gerak, sesak diuresis / hari
b. Anuri/oliguri (+)
4. Ajarkan klien tentang diet
c. Hipertensi (+)
d. Peningkatan BB yang rendah sodium untuk
signifikan mengontrol edema dan
e. Pernapasan pendek-cepat hipertensi
f. Ronchi (+), edema paru 5. Ajarkan klien agar peningkatan
BB interdialitik tidak lebih dari
5% BB kering
6. Berikan oksigen lembab bila
sesak
7. Lakukan UF untuk mencapai
BB kering
8. Lakukan SQHD bila perlu
7 Gangguan rasa aman: a. Karakteristik: 1. Mengkaji tingkat kecemasan:
cemas b.d. b. Perilaku yang tidak a. Apabila ringan sampai sedang,
1. Perubahan konsep diri patuh dilanjutkan dengan
2. Ancaman fungsi peran c. Penolakan
penyelesaian masalah (problem
3. Ketidakpastian hasil terafi d. Cemas
e. Mudah marah solving)
pengganti ginjal
4. Batasan-batasan diet obat f. Peningkatan denyut b. Apabila berat-panik, kurangi
dan penanganan jantung, RR, dan tuntutan-tuntutan pada klien,
5. Berkurangnya rasa kendali tensi mencegah prosedur yang tidak
diri g. Ketidakmampuan perlu, gunakan teknik focusing
berkonsentrasi
dan relaksasi
Karakteristik: 2. Mengkaji stressor tertentu
a. Perilaku yang tidak patuh terhadap ancaman-ancaman
b. Penolakan yang tidak spesifik dan umum
c. Cemas 3. Menunjukkan sikap pengertian
d. Mudah marah
4. Mempertahankan cara yang
e. Peningkatan denyut
jantung, RR, dan tensi santai, tidak mengancam dan
f. Ketidakmampuan empati
berkonsentrasi 5. Membantu mengidentifikasi
mekanisme koping yang biasa
120
klien gunakan
6. Identifikasi cara klien
meminimalkan stressor-stressor
yang dihadapinya
7. Berikan umpan balik realistis
terhadap ancaman nonspesifik
yang dihadapi klien
8. Gali cara-cara klien mengontrol
dirinya
9. Gali konsep diri klien dan
persepsi akan perasaannya
10. Berikan konsistensi terhadap
apa yang kita lakukan
121
DAFTAR PUSTAKA
122
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN PENYAKIT HIV/AIDS
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk
family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan
imunitas tubuh pejamu. Pada proses replikasi virus HIV diperlukan adanya
perubahan dari Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid
(DNA) di dalam sel pejamu. Virus HIV menginfeksi tubuh memiliki masa
inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda
dan gejala AIDS (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012). HIV merupakan
retrovirus yang menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama
CD4 positive T-sel dan macrophages (komponen utama sistem kekebalan sel),
dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya.Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-
menerus.Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat
lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit (KPA Nasional,
2010).
AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000).AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan
infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV).Manivestasi infeksi HIV
ditandai dengan tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang ringan sampai
manivestasi yang menunjukkan kelainan sistem imun yang berat (Smeltzer,
2001).Smeltzer & Bare (2001) menyatakan bahwa HIV telah ditetapkan sebagai
agens penyebab Accuired Immunideficiency Syndrome (AIDS), yaitu gejala
dari penyakit yang mungkin terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.
Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala
penyakitakibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut
HIV, dalam bahasa Indonesiadapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat
123
Kekebalan Tubuh Dapatan (Zuya Urahman, 2009).AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitandengan
infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan
Brenda G.Bare,200 )
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari
kelainan ringandalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga
keadaan imunosupresi dan berkaitandengan pelbagi infeksi yang dapat
membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarangterjadi (
Center for Disease Control and Prevention, 2005)
2. Etiologi
Factor-faktor yang menyebabkan seserang terjangkit HIV diantaranya adalah :
1) Melalui hubungan seks dengan seorang yang terjangkit, yakni dimana berlaku
pemindahan cairan dalam tubuh, seperti cairan sperma, cairan vagina, saliva
dari seseorang yang terinfeksi HIV ke orang lain.
2) Melalui darah yang telah dijangkiti HIV, contohnya menggunankan jarum
suntikan yang tidak steril, pemindahan darah atau organ-organ tubuh.
3) Dari ibu yang telah terjangkit HIV kepada anaknya semasa kehamilan,
kelahiran atau penyusuan.
4) Penggunaan alcohol dan obat bius, karena dalam keadaan tidak sadar,
seseorang dapat melakukan seks bebas dengan orang lain yang tidak
diketahui kondisinya sudah tertular oleh virus atau belum.
5) Tingkatkan stres yang tinggi.
6) Kurang gizi.
7) Penyakit lain, terutama yang ditularkan lewat alat kelamin.
8) Kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS.
3. Manifestasi Klinis
124
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada
infeksi HumanImmunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 –
2 minggu pasien akan merasakansakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun
simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalamidemam, keringat dimalam hari,
penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam
kulit,limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.Dan disaat fase
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-
5tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi
opurtunistik, yang palingumum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia
interstisial yang disebabkan suatu protozoa,infeksi lain termasuk menibgitis,
kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal :
1) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)Acut gejala tidak khas dan
mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat,lesu
mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah
bening,dan bercak merah ditubuh.
2) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejalaDiketahui oleh
pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah
akandiperoleh hasil positif.
3) Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala
pembengkakankelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3
bulan.
4. Patofisiologi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan etiologi dari infeksi
HIV/AIDS.penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV dengan
jumlah CDA< 200 ul meskipun tanpa ada gejala yang terlihat atau tanpa
infeksi oputonistik. HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah
yang terinfeksi atau secret dari kulit yang terluka dan oleh ibu yang terinfeksi
kepada janinnya atau melalui laktasi.
Molekul reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh HIV dalam
tahap infeksi. HIVterutama akan menyerang limfosit CD4, limfosit CD4
berikatan kuat dengan gp 120 HIV sehingga gp41 dapat memerantari
125
fusimembrane virus ke membransel. Dua ke-reseptor permukaan sel, CCR5
dan CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan
dengan reseptor CS4, koroseptor meyebabkan perubahan konformasi sehingga
gp41 dapat masuk kemembran sel sasaran.
Selain limfosit, monosit dan magrofag juga rentan terhadap infeksi HIV monosit
dan magrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoiruntuk HIV tetapi
tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifatpolitorik dan dapat menginfeksi
beragamsel manusia, seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel,
sel epitel, sel lagerhans, sel dendritic, sel mikrogila dan berbagai jaringan tubuh,
setelah virus berfungsi dengan limfosit CD4, maka berlangsung
serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel- partikel virus baru
dari yang terinfeksi.
Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirusatau
mungkin nebgalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak
virus.infeksi pada limfosit CD4 juga dapat menimbulkan sitopatogenitas melalui
beragam mekanisme termasuk apoptosis ( kematian sel terprogram) anergi
(pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pebentukansinsitium (fusi sel).
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel- sel
yang terinfeksiHuman Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsumtulang.Human Immunodeficiency Virus
(HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan proteinperifer CD 4, dengan
bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel
T4terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency
Virus (HIV) menginfeksisel lain dengan meningkatkan reproduksi dan
banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhirespon imun sel killer
penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemogramanulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA iniakan disatukan kedalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yangpermanen.Enzim
inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV
126
sebagaiantigen.Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak
dihancurkan oleh sel T4 helper.Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan
sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalahmengenali antigen yang asing,
mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasilimfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap
infeksi parasit.Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang
biasanya tidak menimbulkan penyakitakan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif.Diikutiberkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya
fungsi sel T penolong. Seseorang yangterinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala(asimptomatik) selama
bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang darisekitar
1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah,
2-3 tahunsetelah infeksi.Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala
infeksi ( herpes zoster dan jamuroportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian
menurun akibat timbulnya penyakit baru akanmenyebabkan virus
berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosismengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per
ml darah, atau apabila terjadiinfeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
b. Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tesdan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
1) Serologis
a. Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
ELISA.Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa.
127
b. Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
c. Sel T
limfositPenurunan jumlah total
d. Sel T4
helperIndikator system imun (jumlah <200>
e. T8 (sel supresor sitopatik)
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada
sel helper ( T8 keT4 ) mengindikasikan supresi imun.
f. P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi
infeksi.
Kadar Ig Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal.
a) Reaksi rantai polymerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel
perifer monoseluler.
b) Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif.
g. Neurologis.
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf), dilakukan
dengan biopsy pada waktuPCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru.
a) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV), maka system imunakan bereaksi dengan memproduksi
antibody terhadap virus tersebut.Antibody terbentukdalam 3
– 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12
bulan.Hal ini menjelaskanmengapa orang yang terinfeksi
128
awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapiantibody
ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody
Human ImmunodeficiencyVirus (HIV) dalam darah
memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan
evaluasidiagnostic.Pada tahun 1985 Food and Drug
Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji –kadar
Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor
darah atau plasma. Testersebut, yaitu :
b) Tes Enzym – Linked
Immunosorbent Assay ( ELISA)Mengidentifikasi antibody
yang secara spesifik ditujukan kepada virus
HumanImmunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak
menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa
seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).Orang yang dalam darahnya
terdapat antibodyHuman Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
c) Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan memastikan seropositifitas Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
Indirect Immunoflouresence Pengganti pemeriksaan western
blot untuk memastikan seropositifitas.
d) Radio Immuno Precipitation Assay (RIPA)
Mendeteksi protein dari pada antibody.
e) Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan
penyakit dan responnya.Protein tersebut disebutprotein virus
p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik
untuk HIV– 1.tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human
129
Immunodeficiency Virus (HIV)sangat rendah, pasien
dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih
besardari menjadi AIDS.
6. Komplikasi
1) Oral Lesi
130
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza,
pneumococcus, danstrongyloides dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan,gagal nafas.
5) Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot,lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dansepsis.
6) Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efeknyeri.
7. Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan
HumanImmunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus(HIV), bisa dilakukan dengan :
a. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan
pasangan yang tidakterinfeksi.
b. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks
terakhir yang tidakterlindungi.
c. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak
jelas status HumanImmunodeficiency Virus (HIV) nya.
d. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.5.Mencegah
infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka
pengendaliannya yaitu:
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik,nasokomial, atausepsis.Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dankomplikasi
131
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obatini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambatenzim pembalik
traskriptase.AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya
<>3 .Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positifasimptomatik dan sel T4 > 500
mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasivirus / memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
132
imunokompetens pasien. Berikutbentuk kelainan hospes dan penyakit
serta terapi yang berhubungan dengan kelainanhospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T)Terapiradiasi,
defisiens inutrisi, penuaan, aplasia timik, limpoma,
kortikosteroid,globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)Limfositik leukemia
kronis,mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein –liosing
enteropati (peradangan usus).
2) Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala: Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan
pola tidur.Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot,
respon fisiologi aktifitas (Perubahan TD, frekuensi Jantun dan
pernafasan).
b. Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama
pada cedera.Tanda : Perubahan TD postural, menurunnya volume
nadi perifer, pucat / sianosis,perpanjangan pengisian kapiler.
c. Integritas dan Ego
Gejala :Stress berhubungan dengan kehilangan
mengkhawatirkan penampilan, mengingkari diagnosa, putus asa,
dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d. Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan
atau tanpa kramabdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat
miksi.
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering,nyeri tekan abdominal, lesi atau abses
rectal,perianal,perubahan jumlah, warna,dankarakteristik urine.
133
e. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan
gusi yang buruk,edema.
f. Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda :Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g. Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental, kerusakan
status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks
tidak normal, tremor,kejang, hemiparesis, kejang.
h. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan
rentan gerak, pincang.
i. Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,
adanya sputum.
j. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan,luka, transfuse darah,
penyakit defisiensiimun, demam berulang, berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya
nodul, pelebarankelenjar limfe, menurunya kekuatan umum,
tekanan umum.
k. Seksualitas
134
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pilpencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan, herpes genetalial.
h. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi,
kesepian, adanya traumaAIDS.
Tanda : Perubahan interaksim, Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi,
penyalahgunaanobat-obatan IV, merokok, alkoholik.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
2) Pola nafas tidak efektif
3) Hpertermi
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
135
dan irama nafas 3. Mampu mengidentifikasikan 8. Monitor status oksigen
Faktor-faktor yang dan mencegah factor yang pasien
berhubungan: dapat menghambat jalan 9. Ajarkan keluarga bagaimana
1. Lingkungan nafas cara melakukan suksion
Perokok pasif, 10. Hentikan suksion dan
mengisap asap, berikan oksigen apabila
merokok. pasien menunjukkan
2. Obstruksi jalan nafas bradikardi, peningkatan
Spasmea jalan nafas, saturasi O2, dll.
mokus alam jumlah
berlebihan, eksudat b. Airway Management
dalam jala elvoli, materi 1. Buka jalan nafas, guanakan
asing dalam jalan nafas, teknik chin lift atau jaw
adanya jaan nafas thrust bila perlu
buatan, sekresi dalam 2. Posisikan pasien untuk
bronki. memaksimalkan ventilasi
3. Fisiologis 3. Identifikasi pasien perlunya
Jalan nafas alergi, asma, pemasangan alat jalan nafas
penyakit paru obstruktif buatan
kronik, hiperplasi 4. Pasang mayo bila perlu
dinding bronkial, 5. Lakukan fisioterapi dada
infeksi, disfungsi jika perlu
neuromuscular. 6. Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila
perlu
10. Berikan pelembab udara
Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status
O2
136
udara per menit efektif dan suara nafas yang buatan
3. Menggunakan otot bersih, tidak ada sianosis 4. Lakukan fisioterapi dada
pernafasan tambahan dan dyspneu (mampu jika perlu
4. Nasal flaring mengeluarkan sputum, 5. Keluarkan sekret dengan
5. Dyspnea mampu bernafas dengan batuk atau suction
6. Orthopnea mudah, tidak ada pursed 6. Auskultasi suara nafas, catat
7. Perubahan lips) adanya suara tambahan
penyimpangan dada 2. Menunjukkan jalan nafas 7. Berikan bronkodilator bila
8. Nafas pendek yang paten (klien tidak perlu
9. Assumption of 3-point merasa tercekik, irama 8. Berikan pelembab udara
position nafas, frekuensi pernafasan Kassa basah NaCl Lembab
10. Pernafasan pursed-lip dalam rentang normal, tidak 9. Atur intake untuk cairan
11. Tahap ekspirasi ada suara nafas abnormal) mengoptimalkan
berlangsung sangat 3. Tanda Tanda vital dalam keseimbangan.
lama rentang normal (tekanan 10. Monitor respirasi dan status
12. Peningkatan diameter darah, nadi, pernafasan) O2
anterior-posterior b. Terapi Oksigen
13. Pernafasan rata- 1. Bersihkan mulut, hidung
rata/minimal dan secret trakea
a) Bayi : < 25 2. Pertahankan jalan nafas
atau > 60 yang paten
b) Usia 1-4 : < 3. Atur peralatan oksigenasi
20 atau > 30 4. Monitor aliran oksigen
c) Usia 5-14 : < 5. Pertahankan posisi pasien
14 atau > 25 6. Onservasi adanya tanda
d) Usia > 14 : < tanda hipoventilasi
11 atau > 24 7. Monitor adanya kecemasan
Kedalam pasien terhadap oksigenasi
an
pernafasa c. Vital sign Monitoring
n 1. Monitor TD, nadi, suhu,
a) Dewasa dan RR
volume 2. Catat adanya fluktuasi
tidalnya 500 tekanan darah
ml saat 3. Monitor VS saat pasien
istirahat berbaring, duduk, atau
b) Bayi volume berdiri
tidalnya 6-8 4. Auskultasi TD pada kedua
ml/Kg lengan dan bandingkan
✓ Timing 5. Monitor TD, nadi, RR,
rasio sebelum, selama, dan
✓ Penuruna setelah aktivitas
n 6. Monitor kualitas dari nadi
kapasitas 7. Monitor frekuensi dan
vital irama pernapasan, suara
Faktor yang paru
berhubungan : 8. Monitor pola pernapasan
a. Penurunan abnormal
137
energi/kelelahan 9. Monitor suhu, warna, dan
b. Posisi tubuh kelembaban kulit
c. Kelelahan otot 10. Monitor sianosis perifer
pernafasan 11. Monitor adanya
d. Nyeri , Kecemasan Hipertermia
e. Kerusakan
persepsi/kognitif
b. Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal tiap
2 jam
2. Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu
3. Monitor TD, nadi, dan RR
4. Monitor warna dan suhu
kulit
5. Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
138
7. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat
panasDiskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu
dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
9. Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan
emergency yang diperlukan
10. Ajarkan indikasi dari
hipotermi danpenanganan
yang diperlukan
11. Berikan anti piretik jika
perlu
139
4. Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC :
kurang dari kebutuhan 1. Nutritional Status : food a. Nutrition Management
tubuh and Fluid Intake 1. Kaji adanya alergi makanan
Definisi :asupan nutrisi 2. Nutritional Status : 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
tidak cukup untuk nutrient Intake untuk menentukan jumlah
memenuhi kebutuhan 3. Weight control kalori dan nutrisi yang
metabolic. a. Kriteria Hasil : dibutuhkan pasien.
a. Batasan 1. Adanya peningkatan berat 3. Anjurkan pasien untuk
karakteristik : badan sesuai dengan meningkatkan intake Fe
1. Berat badan 20 % atau tujuan 4. Anjurkan pasien untuk
lebih di bawah ideal 2. Berat badan ideal sesuai meningkatkan protein dan
2. Dilaporkan adanya dengan tinggi badan vitamin C
intake makanan yang 3. Mampumengidentifikasi 5. Berikan substansi gula
kurang dari RDA kebutuhan nutrisi 6. Yakinkan diet yang
(Recomended Daily 4. Tidak ada tanda tanda dimakan mengandung
Allowance) malnutrisi tinggi serat untuk
3. Membran mukosa dan 5. Menunjukkan peningkatan mencegah konstipasi
konjungtiva pucat fungsi pengecapan dari 7. Berikan makanan yang
4. Kelemahan otot yang menelan terpilih ( sudah
digunakan untuk 6. Tidak terjadi penurunan dikonsultasikan dengan ahli
menelan/mengunyah berat badan yang berarti gizi)
5. Luka, inflamasi pada 8. Ajarkan pasien bagaimana
rongga mulut membuat catatan makanan
6. Mudah merasa harian.
kenyang, sesaat 9. Monitor jumlah nutrisi dan
setelah mengunyah kandungan kalori
makanan 10. Berikan informasi tentang
7. Dilaporkan atau fakta kebutuhan nutrisi
adanya kekurangan 11. Kaji kemampuan pasien
makanan untuk mendapatkan nutrisi
8. Dilaporkan adanya yang dibutuhkan
perubahan sensasi rasa
9. Perasaan b. Nutrition Monitoring
ketidakmampuan 1. BB pasien dalam batas
untuk mengunyah normal
makanan 2. Monitor adanya penurunan
10. Miskonsepsi berat badan
11. Kehilangan BB 3. Monitor tipe dan jumlah
dengan makanan aktivitas yang biasa
cukup dilakukan
12. Keengganan untuk 4. Monitor interaksi anak
makan atau orangtua selama
13. Kram pada abdomen makan
14. Tonus otot jelek 5. Monitor lingkungan
15. Nyeri abdominal selama makan
dengan atau tanpa 6. Jadwalkan pengobatan
140
patologi dan tindakan tidak selama
16. Kurang berminat jam makan
terhadap makanan 7. Monitor kulit kering dan
17. Pembuluh darah perubahan pigmentasi
kapiler mulai rapuh 8. Monitor turgor kulit
18. Diare dan atau 9. Monitor kekeringan,
steatorrhea rambut kusam, dan mudah
19. Kehilangan rambut patah
yang cukup banyak 10. Monitor mual dan muntah
(rontok) 11. Monitor kadar albumin,
20. Suara usus hiperaktif total protein, Hb, dan
21. Kurangnya informasi, kadar Ht
misinformasi 12. Monitor makanan
b. Faktor-faktor yang kesukaan
berhubungan : 13. Monitor pertumbuhan dan
Ketidakmampuan perkembangan
pemasukan atau 14. Monitor pucat, kemerahan,
mencerna makanan dan kekeringan jaringan
atau mengabsorpsi zat- konjungtiva
zat gizi berhubungan 15. Monitor kalori dan intake
dengan faktor biologis, nuntrisi
psikologis atau 16. Catat adanya edema,
ekonomi. hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral.
17. Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet
18. cushing triad (tekanan
nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan
sistolik)
141
DAFTAR PUSTAKA
Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI.
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 3. Jakarta : EGC.
http://www.indonesianurse.com/2009/12/14/asuhan-keperawatan-hivaids. 1 maret
2011.
142
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN KONSEP
KEPERAWATAN PADA SISTEM INTEGUMEN (DERMATITIS
DAN LUKA BAKAR)
143
LAPORAN PENDAHULUAN DERMATITIS
I. KONSEP DASAR MEDIS
A. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon
terhadap pengaruh fakor eksogen atau pengaruh factor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik ( eritema, edema, papul, vesikel,
skuama ) dan keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.(
NANDA, 2015 ).
B. Etiologi
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bah kimia
(contoh: detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu),
mikroorganisme (bakteri, jamur), dapat pula dari dalam (endogen), misalnya
dermatitis dan atopik.
Klasifikasi dermatitis: .( NANDA, 2015 ).
1. Dermatitis kontak DA pada Lokasi le sam distrib mengen pula b kering sialp.
K di dae kering Ikenifi garuka dewas ahun Peradangan di kulit karena
kontak dengan sesuatu yang dianggap asing oleh tubuh. Terbagi menjadi 2:
alergi dan iritan.
2. Dermatitis atopic Peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak
3. Neurodermatitis sirkumskripta
4. Dermatitis numularis
5. Dermatitis statis
C. Manifestasi Klinis
1. Dermatitis kontak
a. Lesi kemerahan yang muncul pada bagian kulit yang terjadi kontak.
b. Untuk dermatitis kontak alergi, gejala tidak muncul sebelum 24-48
jam, bahkan sampai 72 jam.
144
c. Untuk dermatitis kontak iritan, gejala terbagi dua menjadi akut dan
kronis. Saat akut dapat terjadi perubahan warna kulit menjadi
kemerahan sampai terasa perih bahkan lecet. Saat kronis gejala
dimulai dengan kulit yang mengering dan sedikit meradang yang
akhirnya menjadi menebal.
d. Pada kasus berat, dapat terjadi bula (vesikel) pada lesi kemerahan
tersebut.
e. Kulit terasa gatal bahkan terasa terbakar.
f. Dermatitis kontak iritan, gatal dan rasa terbakarnya lebih terasa mund
saat dibandingkan dengan tipe alergi. (Djuanda Adhi. 2014)
2. Dermatitis atopik(DA)
Ada 3 fase klinis DA yaitu:
a) DA infantil (2 bulan-2 tahun)
DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada
bulan kedua. Lesi mula-mula tampak di daerah muka (dahi-pipi) berupa
eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi
eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta Lesi bisa meluas ke kepala, leher,
pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa
ditemukan di daerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar penderita
sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak.
b) DA anak (2-10 tahun)
Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de
novo). Lokasi lesi di lipatan siku/ lutut, bagian fleksor pergelangan tangan,
kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama
erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih
dari 50 % permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan.
c) DA pada remaja dan dewasa
Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut samping leher,
dahi, sekitar mata. Pada dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering
145
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat
misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau
skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan,
mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung
berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati
ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi
hiperpigmentasi. Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama
kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan dan sebagian kecil sampai tua
3. Neurodermatitis sirkumskripta
a. Kulit yang sangat gatal
b. Muncul tunggal di daerah leher, pergelangan tangan, lengan bawah,
paha atau mata kaki, kadang muncul pada alat kelamin.
c. Rasa gatal sering hilang timbul. Sering timbul pada saat santai atau
sedang tidur, akan berkurang saat beraktifitas. Rasa gatal yang digaruk
akan menambah berat rasa gatal tersebut.
d. Terjadi perubahan warna kulit yang gatal, kulit yang bersisik akibat
garukan atau penggosokan dan sudah terjadi bertahun-tahun
4. Dermatitis numularis
a. Gatal yang kadang sangat hebat, sehigga dapat mengganggu.
b. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3-1,0 cm), kemudian
membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas kesamping,
membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam (coin),
eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas tegas.
c. Lambat laun vesikel pecah terjadi eksudai, kemudian mengering
menjadi krusta kekuningan.
d. Ukuran lesi bisa mencapai garis tengah 5 cm atau lebih, jumlah lesi
dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau
146
simetris, dengan ukuran bervariasi dari milliar sampai nummular,
bahkan plakat.
e. Tempaat predileksi biasanya terdapat ditungkai bawah, badan, lengan
termasuk punggung tangan.
5. Dermatitis statis
a. Bercak-bercak berwarna merah yang bersisik.
b. Bintik-bintik berwarna merah dan bersissik.
c. Borok atau bisul pada kulit.
d. Kulit yang tipis pada tangan dan kaki.
e. Luka (lesi) kulit.
f. Pembengkakkan pada tungkai kaki.
g. Rasa gatal disekitardaerah yang terkena.
h. Rasa kesemutan pada daerah yang terkena
D. Patofisiologi
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan
tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom,
mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid
keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik
akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi
pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system
kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang
akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi
platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan
merangsang ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi
kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan
mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak
iritan tidak melalui fase sensitisasi.Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat
147
dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan
pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang
paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya
kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya
kerusakan tersebut.
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV
yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :
a) Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang
disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama
18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh
sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan
protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein
ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen
HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen
presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks
Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul
CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai
pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang
berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3- Ti), merupakan pengenal antigen
yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua
reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi
pengenalan antigen (antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang
untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk
mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga
terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh
meninggalkan limfonodi dan akan memasuki
fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada
148
manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada
saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk
mengalami dermatitis kontak alergik.
b) Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,
edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan
2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi
menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit.
Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang
molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,
seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan
149
E. Phatway
Reaksi hipersensitivitas
IV
150
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Percobaan asetikolin (suntikan dalam intracutan, solusio asetikolin 1/5000)
2. Percobaan histamin hostat disuntikan pada lesi.
3. Pric.
Laboratorium
F. Komplikasi
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Infeksi sekunder khususnya oleh stafilokokus aureus
3. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
4. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi.
G. Pentalaksanaan
1. Dermatitis Kontak
a. Hindari kontak lebih lanjut dengan zat atau benda penyebab dermatitis
kontak.
b. Pada tipe iritan, basuhlah bagian yang terkena dengan air memngalir
sesegera mungkin.
c. Jika smapai terjadi lecet, tanganilah seperti menangani luka bakar.
d. Obat anti histamin oral untuk mengurangi rasa atal dan perih yang
dirasakan.
e. Kortikosteroid dapat diberikan secara topikal, oral, atau intravena
sesuai dengan tingkat keparahannya.
2. Dermatitis atopik
a. Menghindar dari agen pencetus seperti makanan, udara panas/dingin,
bahan berbulu.
151
b. Hidrasi kulit dengan berbagai jenis pelembab antara lain krim
hidrofilik urea 10% atau pelembab yang mengandung asam laktat
dengan konsentrasi kurang 5%.
c. Kortikosteroid topikal potensi rendah diberi pada bayi, daerah
intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah
dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila katifitas penyaki telah
terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali
seminggu. Kortikosteroid oral hanya dipakai untuk mengendalikan DA
eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi
selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka
panjang akan menimbulkan efek smaping dan bila tiba-tiba dihentikan
akan timbul rebound phenomen.
d. Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam
jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitasi, tapi
pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
e. Pemberian antibiotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan
koloni S. aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin,
asitromisin atau kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi
asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10
hari.
3. Neurodermatitis sirkumskripta
a. Pemberian kortikosteroid dan antihistamin oral betujuan untuk
mengurangi reaksi inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Pemberian
steroid topical juga membantu mengurangi hyperkeratosis. Pemberian
steroid topical mid-potent diberikan pada reaksi radang yang akut,
tidak direkomendasikan untuk daerah kulit yang tipis (vulva, scrotum,
axilla dan wajah). Pada pengobatan jangka panjang digunakan steroid
yang low-poten, pemakaian high-potent steroid hanya dipakai kurang
dari 3 minggu pada kulit yang tebal.
152
b. Anti-depresan atau anti-anxiety snagat membantu pada sebagian orang
yang diperlu pertimbangan untuk pemberiannnya.
c. Jika terdapat suatu infeksi sekunder dapat diberikan antibiotic topikal
ataupun oral.
d. Perlu diberikan nasehat untuk mengatur emosi dan perilaku yang dpat
mencegah gatal dan garukan.
4. Dermatitis numularis
a. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien.
b. Secara topikal lesi dpat diobati dengan obat antiinflamasi, misalnya
preparat ter, glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus.
c. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya di kompres dahulu misalnya
dengan larutan permanganas kalikus 1 : 10.000
d. Kalau ditemukan infeksi bacterial, diberikan antibiotic secara sistemik.
e. Kostikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan
refrakter, dalam jangka pendek.
f. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan H1, misalnya
hidroksisilin HCl.
5. Dermatitis statis
a. Cahaya berdenyut intens
b. Diuretic
c. Istirahat
d. Kostikosteroid
e. Pelembab
f. Terapinkompresi
153
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1) Pengkajian
- Identitas Pasien.
- Keluhan Utama.Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
- Riwayat Kesehatan:
a. Riwayat Penyakit Sekarang :Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan
seperti yang ada pada keluhan utama dantindakan apa saja yang dilakukan
pasien untuk menanggulanginya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit
seperti ini atau penyakit kulit lainnya
c. Riwayat Penyakit Keluarga :Apakah ada keluarga yang pernah menderita
penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat Psikososial :Apakah pasien merasakan kecemasan yang
berlebihan. Apakah sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat Pemakaian Obat :Apakah pasien pernah menggunakan obat-
obatan yang dipakai pada kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi)
terhadap sesuatu obat.
▪ Pemeriksaan fisik
a. Sistem pernafasan (B1)
Tidak ada gangguan sistem pernafasan, bunyi nafas vesikuler, tidak ada
wheezing dan ronkhi, irama reguler.
b. Sistem kardiovaskuler (B2.
Tidak adaa gangguan sirkulasi darah irama jantung normal, tidak ada
takikardi dan nadi teraba normal.
c. Sistem persyarafan (B3)
Kesadaran composmentis, adanya nyeri tekan pada kulit yang mengalami
lesi.
d. Sistem perkemihan (B4)
BAK normal, warna kuning kekuning-kuningan, bau urine khas.
e. Sistem pencernaan (B5).
Mukosa lembab, nafsu makan baik, BAB normal.
154
f. Sistem muskuloskeletal dan integumen (B6)
Nyeri tekan pada bagian otot, otot yang mengalami lesi mengalami
penurunan fungsi otot akibat nyeri tekan, warna putih tidak ikterik tidak
ada cyanosis, kulit terlihat agak kering, integritas kulit ditemukan luka
bekas garukan seperti kemerahan timbul bula / pustulla turgor.
2) Diagnosa keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan adanya lesi kulit.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermatitis,
respon menggaruk.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
baik.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan perlindungan kulit.
3) Rencana Intervensi
NO DIAGNOSA INTERVENSI
1. Nyeri b.d adanya lesi kulit 1. Kaji jenis dan tingkat nyeri
Tujuan : pasien. tentukan apakah
Setelah dilakukan tidakan nyerinya kronis atau akut.
keperawatan selama 1×24 R/ : Dapat mengetahui kriteria
jam, diharapkan nyeri nyeri pasien
berkurang atau 2. Kaji factor yang dapat
teradaptasi. mengurangi atau memperberat;
lokasi, durasi, intensitas dan
Kriteria hasil :
karakteristik nyeri; dan tanda-
- Pasien melaporkan nyeri
tanda dan gejala psikologis.
berkurang
R/ : Untuk memfasilitasi
- Nyeri dapat diadaptasi
pengkajian yang akurat tentang
- Dapat mengidentifikasi
tingkat nyeri pasien
aktifitas yang
3. Minta pasien untuk
meningkatkan atau
menggunakan sebuah skala 1
menurunkan nyeri
sampai 10 untuk menjelaskan
- Pasien tidak gelisah dan
155
skala nyeri 0-1 atau tingkat nyerinya (dengan nilai
teradaptasi 10 menandakan tingkat nyeri
paling berat)
R/ : Untuk menentukan
keefektifan obat
4. Berikan obat yang dianjurkan
untuk mengurangi nyeri,
bergantung pada gambaran nyeri
pasien. pantau adanya reaksi
yang tidak diinginkan terhadap
obat. Sekitar 30 sampai
40 menit setelah pemberian
obat, minta pasien untuk menilai
kembali nyerinya dengan skala
1 sampai 10.
R/ : Tindakan ini meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan, dan
peningkatan tingkat energy,
yang penting untuk pengurangan
nyeri.
5. Atur periode istirahat tanpa
terganggu
R/ : Untuk menurunkan
ketegangan atau spasme otot
dan untuk mendistribusikan
kembali tekanan pada bagian
tubuh
6. Ajarkan manajemen nyeri
R/ : Tehnik nonfarmakologis
pengurangan nyeri akan efektif
156
2. Kerusakan integritas kulit 1. Inspeksi kulit pasien setiap
b.d inflamasi dermatitis, pergantian tugas jaga, jelaskan
respon menggaruk dan dokumentasikan kondisi
Tujuan : kulit dan laporkan perubahan.
Setelah dilakukan Lakukan tindakan pendukung,
tindakan keperawatan sesuai indikasi.
selama 3×24 jam R/ : Untuk menentukan
diharapkan kerusakan keefektifan regimen perawatan
integritas kulit dapat kulit
membaik 2. Bantu pasien dalam melakukan
Kriteria hasil : tindakan hygiene dan
1. Pasien menunjukkan tidak kenyamanan
adanya kerusakan kulit R/ : Untuk meningkatkan
2. Pasien menunjukkan kenyamanan dan kesejahteraan
turgor kulit yang normal 3. Berikan obat nyeri sesuai
program dan pantau
keefektifannya
R/ : Pengurangan nyeri
diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan
4. Pertahankan lingkungan yang
nyaman
R/ : Untuk meningkatkan rasa
sejahtera pasien
5. Gunakan kasur busa,
penyangga, atau peralatan lain
R/ : Untuk mencegah kerusakan
kulit
6. Peringatkan agar tidak
157
menyentuh luka atau balutan
R/ : Untuk mencegah
kemungkinan infeksi
7. Atur posisi pasien supaya
nyaman dan meminimalkan
tekanan pada penonjolan tulang.
R/ : Tindakan tersebut
mengurangi tekanan,
meningkatkan sirkulasi dan
mencegah kerusakan kulit
8. Berikan kesempatan pasien
untuk mengungkapkan perasaan
tentang masalah kulitnya
R/ : Tindakan ini membantu
mengurangi ansietas dan
meningkatkan ketrampilan
koping
9. Berikan pengarahan pada pasien
dan anggota keluarga atau
pasangan dalam program
perawatan kulit.
R/ : Untuk mendorong
kepatuhan
158
Kriteria hasil : diri, kaji pola koping dan
- Pasien berpartisipasi tingkat harga dirinya
dalam berbagai aspek R/ : Untuk mendapat nilai dasar
perawatan dan dalam pada pengukuran kemajuan
pengambilan keputusan psikologisnya
tentang perawatan 3. Dorong pasien melakukan
- Pasien menyatakan perawatan diri
perasaan positif terhadap R/ : Untuk meningkatkan rasa
dirinya sendiri kemandirian dan control
- Pasien berpartisipasi 4. Berikan kesempatan kepada
dalam program pasien untuk menyatakan
rehabilitasi dan konseling perasaan tentang citra tubuhnya
dan hospitalisasi
R/ : Agar pasien dapat
mengungkapkan keluhannya
dan memperbaiki
kesalahpahaman
5. Bimbing dan kuatkan focus
pasien pada aspek-aspek positif
dari penampilannya dan
upayanya dlam menyesuaikan
diri dengan perubahan citra
tubuhnya
R/ : Untuk mendukung adaptasi
dan kemajuan yang
berkelanjutan
159
tindakan keperawatan Menggunakan sarung tangan
selama 1×24 jam, infeksi untuk mempertahankan asepsis
dapat dihindari pada saat memberikan
Kriteria hasil : perawatan langsung
- Tanda-tanda vital dalam R/ : a. Mencuci tangan adalah
batas normal satu-satunya cara terbaik untuk
- Tidak adanya tanda-tanda mencegah penularan pathogen.
infeksi b. Sarung tangan dapat
melindungi tangan pada saat
memegang luka yang dibalut
atau melakukan berbagai
tindakan
2. Pantau suhu minimal setiap 4
jam dan catat pada kertas grafik.
Laporkan evaluasi segera
R/ : Suhu yang terus meningkat
setelah pembedahan dapat
merupakan tanda awitan
komplikasi pulmonal, infeksi
luka atau dehisens, infeksi
saluran kemih atau
tromboflebitis
3. Bantu pasien mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan dan
setelah dari kamar mandi
R/ : Mencuci tangan mencegah
penyebaran pathogen terhadap
objek dan makanan lain
4. Beri pendidikan kepada pasien
mengenai :
- Teknik mencuci tangan yang
160
baik
- Factor-faktor yang
meningkatkan resiko infeksi
- Tanda-tanda dan gejala
infeksi
R/ : Tindakan tersebut
memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi dalam perawatan
dan membantu pasien
memodifikasi gaya hidup untuk
mempertahankan tingkat
kesehatan ang optimum
4) Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
yang merupakan pelaksanaan pelaksanaan keperawatan oleh perawat dank
lien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakuka implementasi adalah
implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi, penguasaan penguasaan personal, intelektual dan teknikal.
Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen atau mandiri,
dependen atau tidak mandiri serta interdependen atau intervensi kolaborasi.
5) Evaluasi
▪ Nyeri pada pasien dapat berkurang
▪ Kerusakan integritas kulit pasien dapat teratasi
▪ Gangguang citra tubuh dapat teratasi
▪ Infeksi tidak terjadi
161
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda Adhi. 2014. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III. Jakarta : FK UI :
126-31.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta: Salemba Medika.
162
LAPORAN PENDAHULUAN
LUKA BAKAR
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik,
bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih aman
(Soetomo, 2001 dalam Padila, 2018).
Luka bakar adalah bentuk trauma yang terjadisebagai akibat dari aktivitas
manusia dalam rumah tangga, industri, trafic accident¸maupun bencana alam
(Krisanti, 2016).
2. Etiologi
Menurut padila (2018), penyebab luka bakar yaitu :
a. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)
1) Gas
2) Cairan
3) Bahan padat (solid)
b. Luka bakar bahan kimia
c. Luka bakar sengatan listrik
d. Luka bakar radiasi
Klasifikasi luka bakar menurut Krisanti et all (2016), yaitu :
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna perasaan
163
partial (tingkat bahan padat. ukurannya bertambah kurang
II) : Jilatan api besar. Pucat bial jelas, putih
a. Superfisial kepada ditekan dengan ujung coklat,
b. Dalam pakaiyan. Jilatan jari, bila tekanan pink,
langsung dilepas berisi kembali. daerah
kimiawi. Sinar merah
ultra violet. coklat.
Ketebalan Kontak dengan Kering disertai kulit Putih,
sepenuhnya bahan cair atau mengelupas. Pembulu kering,
(tingkat III padat, nyala api, darah seperti arang hitam,
kimia. Kontak dibawah kulit yang cokelat
dengan arus mengelupas. tua, hitam
listrik. Gelembunng jarang dan
didindingnya sangat merah.
tipis, tidak membesar.
Tidak pucat bila
ditekan.
Luas luka bakar menurut Walance membai tubuh atas 9 % atau kelipatan 9
yang terkenal dengan nama rule of nine atau rule wallnce yaitu :
a. Kepala dan leher : 9%
b. Lengan masing-masing 9% : 18%
c. Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
d. Tungkai masing-masing 18 : 36%
e. Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
3. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ketubuh.
Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagneetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bbakar dermal, radiasi
atau kimiawi, kulit dengan mengalami lukabakar akan kerusakan epidermis,
164
dermis, maupun jaringan sub kutan tergantung faktor penyebab dan lamanya
kulitkontak dengan sumber panas.
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembulu darah
sehingga air, natrium, klorida, dan protein keluar dari dalam sel dan menyebabkan
terjadinya edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan
hemokosentrasi.
Cedera panas menghasilkan efek lokal dan efek sistemik yang berkaitan
dengan luasnya dekstruki jaringan. Pada luka bakar suferfisial, kerusakan
jaringan minimal, pada luka bakar ketebalan/sebaaagian terjadi edema dan
kerusakan kapiler yang lebih parah. Dengan luka mayor lebihdari 30% TBSA,
terdapat terdapat respon sistemik yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler, yang memungkinkan protein plasm, cairan dan elektrolit hilang.
Pembentukan edema maksimal pad luka kecilterjadi sekitar 8 sampai 12
jamsetelah cedera. Setelah yang lebih besar, hipovolemia, yang dikaitkan dengan
penomena tersebut, akan membetulkan laju pembentukan edema, dengan efek
maksimum terjadi pada 18 sapai 24 jam.
Respon sistemik lainnya adalah anemia, yang dihancurkan oleh sel dalah
merah secara lansung oleh panas, hemolisis sel darah merah yang cedera, dan
terjebaknya sel darah merah dalam trombi mikrovaskuler sel-sel yang rusak.
Penurunan jumlah sel-sel darah merah dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan pengurangan masa hidup sel darah merah. Pada awalnya terdapat
peningkatan aliran darah kejantung, otak dan ginjal dengan penurunan aliran
darah ke saluran gastrotestinal. Terdapat peningkatan netabolisme untuk
mempertahankan panas tubuh, yang disediakan untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi tubuh.
Fisiologi syok pda luka baar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kaplier
secara massive dan berpengaruh dalam sistem vaskuler karena hilangnya atau
rusaknya pembulu darah, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilangnya
compartement intravasuler kedalam jaringan intertisial. Eritrosit dan leukosit tetap
dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan dan leukosit tetap
dalam sirkulasi dan dapat menyebabkan peningkatakan hematokrit dan leukosit.
165
Darah dan cairan akan hilang melalui evapoasi sehingga terjadi kekurangan
cairan.
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan tubuh akan
mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrotesninnal yang
mana dapat teerjadi ilus paralitik, tacykardia dan thacipnea merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan
oksigen terhadap injuri jaringan dan perubahan sisten. Kemudian perfusi pada
ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi filtrasi golmelurus
dan oliguria.
Respon luka bakar akan meningkatkan aliran darah keorgan vital dan
menurunkan aliran darah ke perifer dan organ yang tidak vital. Respon metabolik
pada luka bakar adalah hipermmetabolisme yang merupakan hasil dari
peningkatan sejumlah energi, peningkatan katekolamin ; dimana terjadi penigkatan
temperatur dan metabolisme, hiperglikemia karena meningkatnya pengeluaran
glukosa untuk kebutuhanmetabolik yang untuk kemudian terjadi penipisan
glukosa. Ketidakseimbangan nitrogen olehstatus hipermetabolisme dan injuri
jaringa. Kerusakan pada sel darah merah hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbua dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terpokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak.
Pembentukan edema karena adanya peningkatakan permeaabilitas kapiler dan
pada saat yang sama vasodilatasi yang menyebabkan peningkatakan
hidostatik dalam kapiler. Terjadi pertukran elektrolit yang abnormal antara sel
dan cairan intertisial dimana secara khusus natrium masuk dalam sel dan kalium
keluar dalam sel. Dengan demikian mengakbatkan kekurangan sodium dalam
intravaskuler.
4. Manifestasi Klinik
a. Cedera inalasi
Cedera biasanya timbul dalam 24-48 jam pertama pasca luka baka. Jika luka
bakar disebabkan oleh nyala api atau korban terbakan pada tempat yang
166
terkurung atau kedua-duanya, maka perlu diperhatikan tanda-tanda sebagai
berikut :
1) Keracunan karbonmonoksida
Karakteristik tanda fisik tidak ada dan warna kulit warna merah betanya
cheery hampir tidak pernah terlihat pada pasien luka bakar. Maisfestasi
susunan sistem saraf pusat darii sakit kepala sampai koma hingga
kematian.
2) Distress pernapasan
Penurunan oksigenasi akibat aterial akibat rendahnya perfusi jaringan
dan syok. Penyebab distres adalh pernapasan edema laring aatau spasme
dan akumuasi lendir. Adapun tenda-tanda distres pernapasan yatu serak,
ngilerdan ketidakmampuan menangani sekresi.
3) Cedera pulmonal
Inhalasi produk-produk terbakar tidak sempurna mengakibatkan
pnemonitis kimiawi. Pohon oulmonal teriritasi pada 24 jam pertama.
Edema pulmonal adalah pernapasan cepat dan sulit, krekles, stridor dan
batuk pendek.
b. Hematologi
Hematokrit meingkat sekunder mengalami kebocoran dan kehilangan
volume plasma disirkulasi. Menurunnya darah putih dan trombosit serta
meningkatnya leukosit.
c. Elektrolit
Menunurunnya kalium dan meningkatnya natrium, klorida serta BUN.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Hitung darah lengkap
1) Meningkatnya hematokrit karena hemokosentrasi
2) Penurunan hematokrit karena kerusakan endotelium
b. Peningkatan jumlah sel darah putih, karena sel pada sisi luka dan respon
peradangan.
167
c. Analisa gas darah, penurunan PO2/ peningkatan PCO2 pada retensi CO
asidosisdapat terjadi pnurunan fungsi ginjal dan kehilangan mekanisme
kompensasi.
d. Karboksiihemoglobin
e. > 75 %, inddikasi karacunan CO (carbonmonoksida)
f. Elektrolit serum, peningkatan kalium diawali karena cedera jaringan
kerusakan eritrosit dan penurunan fungsi ginjal.
g. Peningkatan BUN
h. Peningkatan natrium
i. Peningkatan klorida j.
Mioglubinuria
6. Penatalaksanaan Luka Bakar
a. Fase resusitasi (48 jam)
1) Memerlukan penganan yang cepat dan tepat sesuai kondisi
2) Pemberian terapi cairan yang sesuai dengan kebutuhan pada penentuan
ketat penatalaksanaan fase resusitasi.
b. Fase akut (>48 jam)
1) Mulaiada diuresis
2) Terjadinya perpindahan cairan dari intertisial dan diteruskan melalui
daerah luka bakar.
3) Biasanya dilakukan skin graft untuk luas dan dalam
c. Fase rehabilittasi
Luka sembuh-pengembalian fungsi tubuh, pad fase ini peranan fisioteerai
sangat besar. Rehirasi cairan atau perhitungan pergantian cairan luka bakar :
a. Rumus kosesus
Larutan RL : 2-4 x Kg BB x LLB %.
Separuh diberikan 8 jam pertama, sisanya untuk 16 jam selanjutnya.
b. Rumus baxter
4 ml x BB Kg x LLB %
Hari 1 : diberikan 8 jam pertama ; separuh 16 jam selanjutnya
Hari 2 ; ditambahkan cairan koloid
168
c. Rumus dalam pemberian cairan
1) Jumlah cairan x faktor tetesan
= 8 jam pertama
Waktu pemberian x 60 menit 16 jam selanjutnya
7. Penanganan Luka Bakar
Menurut krisanti et all (2015), membagi panganan luka bakar menjadi 2
yaitu :
a. Luka bakar fase pra rumah sakit
1) Pada penderita ditemukan, biasanya apisudahmati, tapi penderrita masih
dalam keadaan terbakar, maka dilakukakan dengan cara :
a) Menyiram dengan air banyak apabila disebabkan oleh api, bensin
atau minyak.
b) Mengulingkan penderita, kalaw bisa dalam selimut basa.
2) Hentikan proses luka bakar
Luka bakar mengalami pendalaman, walaupun api sudah mati, luka
dapat disiraaam dengan air besih, untuk pendinginan.
3) Perhatikan aiway / jalan napas
4) Breating/pernpasan pasien
5) Circulation
b. Penanganan luka bakar di Unit Gawat Darurat
Tindakan yang harus diberikan terhadap pasien pada 24 jam pertama yaitu :
1) Penilaiyan tentang A : Airway, B: Breating, C: Circulating
2) Penilaiyan luas dan kedalaman luka bakar
3) Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara
4) Kaji adanya edema pada saluran pernapasan
5) Kaji adanya faktor pemberat dalam luka bakar
6) Pasang IVFD (IV Line) apabila luka bakar lebih dari 20 % (derajat II
dan III)
7) Pasang kateter urin
8) Pemasangan NGT
9) Pemberian terapi O2
169
10) Pemeriksaan lab (HB, HT, Trombosit, protein, ureum dan kreatinin,
elektrolit, gula darah, analisa gas darah, tes fungsi hati).
11) Cuci luka dengan cairan savlon 1 % (savlon:NaCL = 1 : 100)
12) Biarkan luka melepuh utuh
13) Selimuti pasien dengan selimut steril
14) Pemberian obat-obatan (antasida, roborantia meliputi vit. C dan Vit. A,
analgetik dan antibiotik)
15) Mobilisasi secara dini
16) Pengaturan posisi
8. Perawatan Luka Bakar
Menurut wijaya dan putri (2013), penatalaksanaan luka bakar memerlukan :
a. Hidroterapi setiap hari dan tekhnik dengan debridement
b. Mempertahankan nutrisi yang adekuat
c. Mencegah hipotermia
d. Mengendalikan nyeri
e. Mempertahankan mobilitas sendi
f. Patuh teerhadap prosedur-prosedurpengendalian infeksi
g. Pengkajian dan pemantauwan yang tajam teerhadap luka.
9. Komplikasi
Menurut wijaya dan putri (2013), komplikasi yang dapat yang biasanaya
terjadi pada luka bakar yaitu :
a. Curling ulkes / dekubitus
b. Sepsis
c. Pnemonia
d. Gagal ginjal akut
e. Deformitas
f. Kontraktur dan hipertropi jaringan perut
170
B. Konsep Asuhan Keperawatan
Menurut padila (2018), konsep asuhan keperawatan meliputi pengkajian,
diagnosa intervensi, implementasi, dn evaluasi pada luka bakar yaitu sebagai berikut
:
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Tanda : penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak, pada
daerah yang sakit ; gangguan massa otot , perubahan tonus.
b. Sirkulasi
Tanda (dengan cederaluka bakar lebih dari 20 % APTT) : hipotensi (syok)
; penurunan nadi perifer distal pada ekremitas yang cedera; vasokontriksi
perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok
listrik) ; pembentukan edema jaringan (semua luka bakar).
c. Integritas ego
Gejala : masalah tetang keluarga, pekerjaan, keuangan, dan kecatatan.
Tanda : ansietas menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri,
dan marah..
d. Eliminasi
Tanda : haluaran urin menurun/ tidak selama fase darurat ; warna mungkin
hitam kemerahan bila terjadi mioglobin ; mengindikasikan kerusakan otot
dalam ; diuresis(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan kedalam
sirkulas, penurunan bising usus/tidak ada ; khususnya luka baar
khuntaneus lebih besar dari 20% sebagai stress
penurunanmotilitas/paristaltik gastrik.
e. Makanan dan cairan
Tanda : edema jaringan umum; anoreksia ; mual / mutah
f. Neurosensorik
Gejala : area batas kesemutan.
Tanda : perubahan orientasi ; efek, perilaku; penurunan reflek tendon
dalam (RTD) pada cedera ekremitas aktivitas kejang (syok listrik) ;
laselerasi korneal; kerusakan kornea; penurunan ketajaman penglihatan
171
(syok listrik); ruptru membran timpanik (syok lisrik); paralis (cedera
listrik ada aliran saraf)
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : berbagai nyeri ; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren
ensitif untuk disentuhi ; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka
bakr ketebalan sedang derajat dua tergantung pada keutuhan ujung saraf;
luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
h. Pernapasan
Gejala : terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan
cedera inhalasi
Tanda : serak; batuk mengii; partikel karbon dala
sputum;ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi
cedera inhalasi.
Pengembagna torak munkin terbatas pada adanya luka bakar pada lingkar
dada; jalan napas atau stridor/ mengii (obtruksi sehubungan
laringospasme, edema laringeal); bunyi napas: gemericik (edema paru);
stridor (edema laringeal); sekret jalan napas dalam (ronkhi).
i. Keamanan
Tanda : kulit umum : destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti
selama 3-5 hari sehubungan dengan prosses trombus mikrovaskuler
padabeberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian
kapiler pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan
kehilangan cairan status/syok.
Cedera api: terdapat area campuran dalam sehubungan dengan variase
intesitas panas yang dihasilkan bekuan teerbakar. Bulu hidung koson;
mukosa hidung dan mulut kering; lepuh paring posterior ; edema lingkar
mulut danlingkar nasal.
Cedera kimia : tampak uka bervariasi sesuai dengan penyabab, kulit
mungkin agak cokelat kekuningan dengan tekstur sepertikulit samak
halus; lepuh; ulkus; nekrois; aau jaringan paru teebal.
172
Cedera listrik: cedera kontaneus eksternal biasanya lebih sedikit
dibawah nekrosis. Penampilan luka berfariasi dapat meliputi luka aliran
masuk keluar (ekxplosif) dan bisa adanya fraktur dislokasi.
2. Diagnosa
a. Resiko tinggi besihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
obtruksi trakeabronkial; edema mukosa hilangnya kerja silia.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan cairan
rute abnorma. Peningkatan kebutuhan : status hipermetabolik,
ketidakcukupan pemasukan. Kehilangan pendarahan.
c. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedrea inhalasi
asap atau sindrom compartemment torakal sekunder teerhadap luka
bakar sirkumfisial dari dada atau leher.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan oertahanan primer tidak adekuat;
kerusakan perlindungan kulit; jaringan traumatik.
e. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit/jarinngan pembentukan
edema. Manipulasi jaringan cedera contoh debridement luka.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma dan kerusakan
permukaan kullit.
3. Rencana intervensi
Rencana keperawatan
Diagnosa
keperawatan Tujuan dan krteria hasil intervensi
173
suction.
2. Resiko Pasien dapat 1. Observasi tanda-tanda
tinggi mendemostransikan status vital, CVP, perhatikan
kekurangan cairan dan biokimia kapiler dan kekuatan
volume membaik nadi perifer.
cairan Kriteria Hasil : 2. Perkirakan drainase
1. Tidak ada tanda luka dan perkiraan yang
dehidrasi, resolusi tampak
edema, elektrolit 3. Tenang perubahan
serum dalam batas mental
normal, haluaran urin 4. Kolaorasi :
diatas 30 ml/jam. a. Pemasangan kateter
b. Pemberian cairan
dan jumlah
cairanyang akan
diberikan
c. Kolaborasi
pemberian obat
3. Resiko Pasien dapat 1. Pantau GDA dan kadar
kerusakan mendemonstrasikan karbon monoksida
pertukaran oksigen adekuat. serum
gas Kriteria hasil: 2. Atur posisi pasien
1. RR dalam batas nomal 3. Anjurkan relaksasi
2. Warna kulit normal napas dalam
3. GDA dalam rentang 4. Kolaborasi pemberian
nomal o2 pada ketentuan yang
4. Bunyi napas bersih ditentukan
5. Tidakada kesulitan
bernapaas
5. Resiko Pasien bebas dari infeksi 1. Observasi penampilan
174
tinggi Kriteria Hasil luka
infeksi 1. Tidak ada demam, 2. Bersihkan area luka
2. pembentukan jaringan bakar setia hari dan
granula baik. lepaskan jaringan
nekrosis(debridemen)
6. Nyeri akut Pasien dapat 1. Melakukakan
mendemonstrasikan hilang pengkajian nyer secara
dari ketidaknyamanan komperhensif, lokasi,
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi,
1. Menyangkal nyeri frekuensi, dan kulitas
2. Melaporkan perasaan nyeri.
nyaman 2. Mengatur posisi pasien
3. Ekspresi wajah dan 3. Ajarkan teknik
postur tubuh rileks relaksasi napas dalam
4. Kolaborasi pemberian
obat analgetik.
7. Kerusakan Menunjukkan regenrasi 1. Kaji/catat ukuran luka,
integritas jaringan warna, kedalaman luka,
kulit Kriteria hasil : perhatikan jaringan
1. Penyembuhan tepat, nekrotik, daan kondisi
waktu pada area luka sekitar luka.
bakar 2. Mengatur posisi pasien
3. Lakukan perawatan
luka
4. Kolaborasi :
a. Prosedur bedah
b. Balutan biologis
175
176
DAFTAR PUSTAKA
Padila . 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogjakarta : Nuha Medika
Krisyanti et all. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta Timur : Cv.
Trans Info Media
177
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM
KARDIOVASKULER
(ANGINA PECTORIS, CHF, IMA STROKE)
Aterosklerosis
Trombosis
Konstriksi arteri koronaria
Metabolisme an aerob
Seluler hipoksia
Gangguan
pertukaran Timbunan Nyeri
Integritas membran sel berubah
gas asamlaktat
Resiko
Fatique Ansietas Kont penurunan
raktilit curah
jantung
asturu
Intoleransi
aktifitas
7. Komplikasi
7.1. Dapat terjadi tromboembolus akibat kontraktilitas miokardium
berkurang.
7.2. Dapat terjadi gagal jantung kongestif apabila jantung tidak dapat
memompa keluar semua darah yang diterimanya.
7.3. Disritmia
7.4. Syok kardiogenik
7.5. Ruptur miokardium
7.6. Perikarditis
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan medis adalah memperkecil kerusakan jantung
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi.
Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien yang menderita
angina pektoris adalah sebagai berikut :
8.1. Tirah baring, posisi semi fowler.
8.2. Monitor EKG
8.3. Infus D5% 10 – 12 tetes / menit
8.4. Oksigen 2 – 4 liter / menit
8.5. Analgesik : morphin 5 mg atau petidin 25 – 50 mg
8.6. Obat sedatif : diazepam 2 – 5 mg
8.7. Bowel care : laksadin
8.8. Antikoagulan : heparin tiap 4 – 6 jam / infus
8.9. Diet rendah kalori dan mudah dicerna
8.10. Psikoterapi untuk mengurangi cemas.
9. Prognosis
Beberapa indeks prognosis telah diajukan, secara praktis dapat
diambil pegangan 3 faktor penting yaitu:
9.1. Potensial terjadinya aritmia yang gawat (aritmia ventrikel dll)
9.2. Potensial serangan iskemia lebih lanjut.
9.3. Potensial pemburukan gangguan hemodinamik lebih lanjut
(bergantung terutama pada luas daerah infark).
DAMPAK PENYAKIT TERHADAP KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA
1. Kebutuhan Oxygenasi
Penyempitan pembuluh drah koroner menyebabkan suplay oksigen ke
miokardium menurun terjadinya hipoksia otot jantung, terjadi metabolisme
anaerob, terjadi peningkatan asam laktat, terjadi asidosis, terjadi gangguan
fungsi ventrikel, cardiak output menurun, mengakibatkan tekanan jantung
meningkat, tekanan paru meningkat, terjadi sesak napas.
2. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Penyempitan pembuluh drah koroner menyebabkan suplay oksigen ke
miokardium menurun terjadinya hipoksia otot jantung, kontraktilitas jantung
menurun, cardiac output menurun mengakibatkan suplay darah yang masuk
ke ginjal untuk difiltrasi glomerolus menurun, mengaktifkan sistem renin-
angiotensin, sekresi aldosteron, terjadi retensi air dan natrium
mengakibatkan kelebihan volume cairan vaskuler.
3. Kebutuhan sirkulasi
Penyempitan pembuluh drah koroner menyebabkan suplay oksigen ke
miokardium menurun terjadinya hipoksia otot jantung, kontraktilitas jantung
menurun, cardiac output menurun mengakibatkan supay darah kejaringan
menurun, mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
4. Kebutuhan rasa nyaman
Penyempitan pembuluh drah koroner menyebabkan suplay oksigen ke
miokardium menurun terjadinya hipoksia otot jantung, terjadi metabolisme
anaerob, penimbunan asam laktat, reseptor syaraf nyeri terangsang,
mengakibatkan nyeri dada.
5. Kebutuhan rasa aman
Adanya ancaman terhadap kesehatan dan kurang pengetahuan tentang
penyakitnya merupakan faktor pencetus timbulnya kecemasan.
6. Kebutuhan aktifitas
Penyempitan pembuluh drah koroner menyebabkan suplay oksigen ke
miokardium menurun terjadinya hipoksia otot jantung, terjadi metabolisme
anaerob, penimbunan asam laktat, produksi ATP menurun, terjadi
kelemahan fisik (fatique).
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1.1. Pengkajian primer
1) Airways
a. Sumbatan atau penumpukan secret
b. Wheezing atau krekles
2) Breathing
a. Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
b. RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
c. Ronchi, krekles
d. Ekspansi dada tidak penuh
e. Penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation
a. Nadi lemah , tidak teratur
b. Takikardi
c. TD meningkat / menurun
d. Edema
e. Gelisah
f. Akral dingin
g. Kulit pucat, sianosis
h. Output urine menurun
1.2. Pengkajian sekunder
1) Aktifitas
a. Gejala :
a) Kelemahan
b) Kelelahan
c) Tidak dapat tidur
d) Pola hidup menetap
e) Jadwal olah raga tidak teratur
b. Tanda :
a) Takikardi
b) Dispnea pada istirahat atau aktifitas
2) Sirkulasi
a. Gejala
Riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah
tekanan darah, diabetes mellitus.
b. Tanda :
a) Tekanan darah. Dapat normal / naik / turun. Perubahan
postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri
b) Nadi. Dapat normal, penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus
(disritmia).
c) Bunyi jantung. Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin
menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau
komplain ventrikel.
d) Murmur. Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi
otot jantung
e) Friksi : dicurigai Perikarditis
f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
g) Edema. Distensi vena jugular, edema dependent, perifer,
edema umum,krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau
ventrikel.
h) Warna. Pucat atau sianosis, kuku datar, pada membran
mukossa atau bibir.
3) Integritas ego
a. Gejala :
Menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,
khawatir tentang keuangan, kerja, keluarga.
b. Tanda :
Menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma nyeri.
4) Eliminasi
a. Tanda :
a) Normal
b) Bunyi usus menurun.
Tujuan :
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan selama ....x
24 jam
Kriteria Hasil:
Nyeri dada berkurangmisalnyadariskala 3 ke 2, ataudari 2 ke 1
Ekpresiwajahrileks / tenang, taktegang
Tidakgelisah
Nadi 60-100 x / menit,
TD 120/ 80 mmHg
Intervensi :
a. Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada
tersebut.
b. Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan
istirahat.
c. Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, mis nafas dalam, perilaku
distraksi, visualisasi, atau bimbingan imajinasi.
d. Pertahankan Olsigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/ menit )
e. Monitor tanda-tanda vital ( Nadi & tekanan darah ) tiap dua jam.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.
2) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard.
Tujuan :
Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .....x 24 jam
Kriteria Hasil :
Tidak ada edema
Tidak ada disritmia
Haluaran urin normal
TTV dalam batas normal
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring selama fase akut
b. Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD
c. Monitor haluaran urin
d. Kaji dan pantau TTV tiap jam
e. Kaji dan pantau EKG tiap hari
f. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
g. Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi
h. Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai advis
i. Berikan makanan sesuai diitnya
j. Hindari valsava manuver, mengejan ( gunakan laxan )
Intervensi :
a. Monitor Frekuensi dan irama jantung
b. Observasi perubahan status mental
c. Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
d. Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
e. Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai indikasi
f. Pantau Pemeriksaan diagnostik / dan laboratorium mis EKG,
elektrolit , GDA( Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2 ). Dan Pemberian
oksigen
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M.
Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical –
surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC;
2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001
A. Konsep Medik
1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah gangguan multisistem yang terjadi
apabila jantung tidak lagi mampu menyemprotkan darah yang mengalir ke
dalamnya melalui sistem vena.(Robbins, 2007).Menurut J.Charles Reeves (2001)
dalam Wijaya & Yessi (2013), CHF adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai
pemompa untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk
memenuhi keperluan-keperluan tubuh.
Menurut Smeltzert & Bare (2013) CHF adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen
dan nutrisi yang dibutuhkan oleh jaringan. CHF merupakan suatu keadaan
patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung untuk
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat
memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian
(Muttaqin,2012).
2. Penyebab
Pada CHF, jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah cukup
untuk menjaga lancarnya sirkulasi. Akibatnya terjadi penumpukan darah dan
tekanan ekstra dapat menyebabkan akumulasi cairan ke dalam paruparu. Gagal
jantung terutama berkaitan dengan masalah-masalah pemompaan otot jantung di
bilik jantung, yang mungkin disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti infraktus
otot jantung (serangan jantung), endocarditis (infeksi pada jantung), hipertensi
(tekanan darah tinggi), atau valvular insufficiency.Jika penyakit mempengaruhi
jantung sebelah kiri, darah akan kembali ke paru-paru.
Jika penyakit mempengaruhi jantung sebelah kanan, sirkulasi
sistemikdapat kelebihan beban.Ketika gagal jantung menjadi signifikan, system
sirkulasi keseluruhan dapat terpengaruh.Menurut Kasron (2012), ada beberapa
penyebab dari gagal jantung diantaranya :
a. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakupateriosklerosis koroner, hipertensi arterial,
dan penyakitdegeneratif atau infalamasi.
b. Aterosklerosis Koroner
Aterosklerosis Koroner mengakibatkan disfungsi otot jantungkarena
terganggunya aliran darah ke otot jantung.Terjadihipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat).Infarkmiokardium (kematian sel
jantung) biasanya mendahuluiterjadinya gagal jantung.Peradangan dan
penyakit otot jantungdegenerative, berhubungan dengan gagal jantug
karena kondisiyang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkankontraktilitas menurun.
c. Hipertensi Sistemik atau Pulmonal
Meningkatnya beban kerja jantung dan pada akhirnyamengakibatkan
hipertrophi serabut otot jantung. Efek tersebut(hipertrofi miokard) dapat
dianggap sebagai mekanismekompensasi karena akan meningkatkan
kontraktilitas jantung.Tetapi untuk alasan yang tidak jelas, hipertrofi otot
jantung taditidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan
terjadiCHF.
d. Peradangan dan Penyakit Miokardium Degeneratif
Sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi inisecara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkankontraktilitas menurun.
e. Penyakit Jantung Lain.
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yangsebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung.Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan alirandarah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner),ketidakmampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade,pericardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis
katup AV),peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya
tekanan darah sistemik (hipertensi‖malignan‖) dapat menyebabkan CHF
meskupun tidak ada hipertrofi miokardial.
f. Faktor Sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya CHF meningkatnya laju metabolisme, (demam,tirotoksikosis),
hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.Hipoksia atau anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen kejantung.Asidosis (respiratorik atau metabolik)
dan abnormalitaselektrolit dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.Disritmia jantung juga dapat terjadi dengan sendirinya atau secara
sekunder akibat CHF menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.
3. Patofisiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2013), patofisiologi CHF yaitu:Mekanisme
yang mendasari Heart Failure (HF) meliputi gangguankemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantunglebih dari curah jantung normal.
Konsep curah jantung yang baikdijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di
mana curah jantung (CO: Cardiac Output) dalah fungsi frekuensi jantung (HR :
Heart Rate) Xvolume sekuncup (SV : Stroke Volume). Frekuensi jantung adalah
fungsisistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, sistem saraf
simpatisakan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan
curahjantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankanperfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah
yangharus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.Tetapi pada
CHF dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabutotot jantung, volume
sekuncup berkurang dan curah jantung normalmasih dapat dipertahankan.Volume
sekuncup jumlah darah yangdipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga
faktor; preload;kontraktilitas dan afterload.Preload adalah sinonim dengan
hokumStarling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yangmengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkanoleh panjangnya
regangan serabut jantung. Kontraktilitas mengacu padaperubahan kekuatan
kontraktilitas yang terjadi pada tingkat sel
danberhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadarkalsium.
Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harusdihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriole. (Brunner and Suddarth, 2013)
Menurut Wijaya & Yessi (2013), patofisiologi CHF yaitu:
a. Mekanisme Dasar
Kelainan kontraktilitas pada gagal jantung akan mengganggukemampuan
pengosongan ventrikel. Kontraktilitas ventrikel kiri yangmenurun
mengurangi cardiak output dan meningkatkan volumeventrikel.
Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolic ventrikel)
makaterjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik kiri (LEDV).
Denganmeningkatnya LEDV , maka terjadi pula peningkatan tekanan
atrium(LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung
kedalamanyaman vaskuler paru-paru meningkatkan tekanan kapiler dan
pena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-
parumelebihi tekanan osmotik kapiler, makan akan terjadi
edemainterstitial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkancairan merembes ke alveoli dan terjadilah edema
paru.Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan
kronistekanan vena paru.Hipertensi pulmonalis meningkatkan
tekananterhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti
yangterjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan
yangakhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru
dapatdiperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup
trikuspidalisatau mitralis secara bergantian.Regurgitasi fungsional
dapatdisebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis,
atauperubahan orientasi otot palpilaris dan korda tendinae akibat
dilatasiruang.
b. Respon kompensatorik
1) Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatisMenurunnya cardiac
output akan meningkatkan aktivitas adrenergic simpatik yang
dengan merangsang pengeluaran katekolamin dan
sarafsarafadrenergik jantung dan medula adrenal.
Denyut jantung dan kekuatan kontraktilitas akan meningkat
untukmenambah curah jantung. Selain itu juga terjadi
vasokonstriksi arteriperifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan
redistribusi volume darahdengan mengurangi aliran darah ke organ–
organ yang metabolismenyarendah (kulit dan ginjal) untuk
mempertahankan perfusi ke jantung danotak. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kananjantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontriksi.
2) Meningkatnya beban awal akibat aktivitas sistem renin-
angiotensinaldosteron (RAA)
Aktivitas sistem RAA menyebabkan retensi natrium dan air oleh
ginjal,meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut.
Peningkatanbeban awal ini akan menambah kontraktilitas
miokardium.
3) Atropi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir pada heart failure adalah
hidrotropimiokardium akan bertambah tebalnya dinding .
4) Efek negatif dari respon kompensatorik
Pada awalnya respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek
yangmenguntungkan, namun pada akhirnya mekanisme
kompensatorikdapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja
jantung, danmemperburuk derajat gagal jantung.Resistensi jantung
yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatankontraktilitas dini
menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti venaparu dan
sistemik.Vasokonstriksi arteri dan redistribusi aliran
darahmengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskuler yang
terkena,serta menimbulkan gejala dan tanda (kekurangan jumlah
keluaran urinedan kelemahan tubuh).Vasokonstriksi arteri juga
meningkatkan bebanakhir dengan memperbesar resistensi terhadap
ejeksi ventrikel, bebanakhir juga meningkat karena dilatasi ruang
jantung.Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan miokard akan
oksigen (MVO2)juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan
rangsangan simpatis lebihlanjut akan meningkatkan kebutuhan
oksigen miokardium. Jikapeningkatan ini tidak dapat dipenuhi
dengan meningkatkan suplaioksigen miokardium maka akan terjadi
iskemia miokard. Akhirnyadapat timbul beban miokard yang tinggi
dan serangan gagal jantungyang berulang.
4. Manifestasi klinis
a. Kelas I
Akitivitas biasa tidak menimbulkan kelelahan, dyspea, palpitasi, tidak
adakongesti pulmonal atau hipotensi perifer serta bersifat
asimtomatik.Kegiatan sehari –hari tidak terbatas.
b. Kelas II
Kegiatan sehari-hari sedikit terbatas, gejala tidak ada saat istirahat,adanya bailar
(krekels dan S3 murmur).
c. Kelas III
Kegiatan sehari- hari terbatas dan pasien merasa nyaman saat beristirahat.
d. Kelas IV
Gejala insufisiensi jantung ada saat insirahat.
5. Komplikasi
Dampak masalah potensial yang mungkin terjadi pada CHF ini dapat berupa:
a. Syok Kardiogenik
Merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantungkongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang
luas.Ototjantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya, menimbulkan
penurunancurah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital(jantung, otak, ginjal).
b. Episode tromboemboli karena pembentukan bekuan vena akibat
stasisdarah.
c. Efusi perkardial dan tamponade jantung
Efusi perikardium mengacu pada masuknya cairan ke dalam
kantungperikardium. Secara normal kantung perikardium berisi cairan
sebanyakkurang dari 50 ml. cairan perikardium akan terakumulasi secara
lambattanpa menyebabkan gejala yang nyata. Namun demikian
perkembanganefusi yang cepat dapat meregangkan perikardium sampai
ukuranmaksimal dan menyebabkan penurunan curah jantung serta aliran
balikvena ke jantung. Hasil akhir dari proses ini adalah tamponade
jantung.(Smeltzert & Bare, 2013)
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CHF menurut Kasron (2012), meliputi :
a. Non Farmakologis
1) CHF Kronik
a) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen
danmenurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat dan
pembatasanaktivitas.
b) Diet pembatasan natrium (< 4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
c) Menghentikan obat-obatan yang dapat memperparah kondisi
sepertiNSAIDs karena efek prostaglandin pada ginjal
menyebabkanretensi air dan natrium.
d) Pembatasan cairan ( kurang lebih 1200 – 1500 cc/hari )
e) Olahraga ringan secara teratur.
2) CHF Akut
a) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
b) Pembatasan cairan (< 1500 cc/hari)
b. Farmakologis
1) First line drugs (diuretik)
Tujuan pemberian diuretik ini yaitu untuk mengurangi afterload
padadisfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada
disfungsidiastolik.
Obatnya adalah : thiazide diuretics untuk CHF sedang, loop
diuretic,metolazon (kombinasi dari loop diuretic untuk
neningkatkanpengeluaran cairan), Kalium-Sparing diuretic.
2) Second Line drugs (ACE inhibitor)
Tujuan pemberian obat ini yaitu meningkatkan COP dan
menurunkankerja jantung. Obatnya adalah :
a) Digoxin
Untuk meningkatkan kontraktilitas.Obat ini tidak digunakanuntuk
kegagalan diastolik yang mana dibutuhkan pengembanganventrikel
untuk relaksasi.
b) Hidralazin
Untuk menurunkan afterload pada disfungsi sistolik.
c) Isobarbide dinitrat
Untuk mengurangi preload dan afterload, disfungsi sistolik,hindari
vasodilator pada disfungsi sistolik.
d) Calsium channel bloker
Untuk kegagalan diastolik, meningkatkan relaksasi dan
pengisianventrikel tetapi tidak dianjurkan untuk CHF kronik.
e) Beta blocker
Sering dikontraindikasikan karena menekan respon
miokard.Digunakan pada disfungsi diastolik untuk mengurangi
HR,4).mencegah iskemi miokard, menurunkan TD, hipertrofi
ventrikelkiri.
3) Obat – obat untuk anti hipertensi
1). ACE inhibitor
ACE inhibitor Kerjanya untuk menurunkan tekanan darah dengan
cara membuat dinding pembuluh darah lebih rilex. Contoh : captopril
dan ramipril
2). Angiotensin-2 receptor blocker (ARB).
Fungsi obat ini hamper sama dengan ACE Inhibitor, sehingga obat
ini ini tidak boleh diberikan secara bersamaan. Contoh : Losartan dan
valsartan
3). Penghambat Renin
Obat ini berfungsi menghambat kerja renin, yaitu enzim yang di
hasilkan ginjal dan berfungsi menaikkan tekanan darah.Contoh :
Aliskiren
4). Antagonis kalsium
Menurunkan tekanan darah dengan melebarkan pembuluh darah.
Contoh: Amlodipin dan Nifedipin
5). Beta blocker
Berfungsi menurunkan tekanan darah dengan melebarkan pembuluh
dan memperlambat detak jantung.Contoh : Atenolol dan Bisoprolol
6). Diuretik
Obat ini bekerja membuang kelebihan garam dan cairan di tubuh
melalui urin.Contoh : Hidrocchlorothiazide.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien CHF menurut Kasron (2012)
diantaranya :
1. Elektrokardiografi (EKG)
Kelainan EKG yang ditemukan pada pasien CHF adalah:
1) Sinus takikardi dan bradikardi
2) Atrial takikardia / futer / fibrilasi
3) Aritmia ventrikel
4) Iskemia / infark
5) Gelombang Q menunjukkan infark sebelumnya dan kelainan
segmenST menunjukkan penyakit jantung iskemik
6) Hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang T terbalik
menunjukkanstenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi
7) Blok atrioventikular
8) Mikrovoltase
9) Left bunddle branch block (LBBB) kelainan segmen
ST/Tmenunjukkan disfungsi ventrikel kiri kronis
10) Deviasi aksis ke kanan, right bundle branch block, dan hipertrofikanan
menunjukkan disfungsi ventrikel kanan
2. Ekokardiografi
Gambaran yang paling sering ditemukan pada CHF akibat penyakitjantung
iskemik, kardiomiopati dilatasi, dan beberapa kelainan katupjantung
adalah dilatasi ventrikel kiri yang disertai hipokinesis seluruhdinding
ventrikel.
3. Rontgen Toraks
Abnormalitas foto toraks yang ditemukan pada pasien CHF:
1). Kardiomegali
2). Efusi pleura
3). Hipertrofi ventrikel
4). Edema intertisial
5). Infiltrat paru
6). Kongesti vena paru
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2015)
4. Pemeriksaan Laboratrium
Tes Laboratorium Darah
a. Enzym hepar : meningkat dalam gagal jantung/ kongesti.
b. Elektrolit : kemungkinan berubah karena perpindahan cairan,
penurunan fungsi ginjal.
c. Oksimetri nadi : kemungkinan saturasi oksigen rendah.
d. AGD : Gagal jantung ventrikel kiri ditandai dengan
alkalosisrespiratorik ringan atau hipoksemia denganpeningkatan COP2
e. Albumin : kemungkinan besar dapat menurun sebagai akibatpenurunan
protein.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2015)
B. Konsep Dasar Keperawatan
Pengkajian
Identitas Klien
Meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama pendidikan, pekerjaan, alamat, No MR, dan diagnosa medis.
Riwayat Kesehatan Sekarang
1). Keluhan utama
Biasanya pasien CHF mengeluh sesak nafas dan kelemahan saat
beraktifitas, kelelahan, nyeri pada dada, dispnea pada saat beraktivitas.
(Wijaya &Yessi, 2013)
2). Keluhan saat dikaji
Pengkajian dilakukan dengan mengajukan serangkaian pertanyaan
mengenai kelemahan fisik pasien secara PQRST. Biasanya pasien akan
mengeluh sesak nafas dan kelemahan saat beraktifitas, kelelahan, dada
terasa berat, dan berdebar – debar.
c). Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita klien terutama penyakit yang
mendukung munculnya penyakit saat ini.Pada pasien CHF biasanya
sebelumnya pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia miokardium,
infark miokardium, diabetes melitus, dan hiperlipidemia.Dan juga
memiliki riwayat penggunaan obat-obatan pada masa yang lalu dan masih
relevan dengan kondisi saat ini.Obat-obatan ini meliputi obat diuretik, nitrat,
penghambat beta, serta antihipertensi.Catat adanya efek samping yang
terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang timbul.Sering kali
pasien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.
d). Riwayat kesehatan keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga,
anggota keluarga yang meninggal terutama pada usia produktif, dan
penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
(Muttaqin, 2012)
e). Pemeriksaan Fisik
1). Keadaan umum
Kesadaran pasien dengan CHF biasanya baik atau compos mentis (GCS
14-15) dan akan berubah sesuai tingkat gangguan perfusi sistem saraf
pusat.
2). Mata
Konjungtiva biasanya anemis, sklera biasanya tidak ikterik, Palpebra
biasanya bengkak
3). Hidung
Biasanya bernafas dengan cuping hidung serta hidung sianosis
4). Mulut
Bibir biasanya terlihat pucat.
5). Wajah
Biasanya wajah terlihat lelah dan pucat.
6). Leher
Biasanya terjadi pembengkakan pada vena jugularis (JVP)
7). Pernafasan
a. Dispnea saat beraktivitas atau tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal.
b. Batuk dengan atau tanpa sputum
c. Penggunaan bantuan pernafasan, misal oksigen atau medikasi
d. Pernafasan takipnea, nafas dangkal, pernafasan laboral,penggunaan
otot aksesori
e. Sputum mungkin bercampur darah, merah muda / berbuih
f. Edema pulmonal
g. Bunyi nafas : Adanya krakels banner dan mengi.
(Wijaya & Yessi, 2013)
8). Jantung
a. Adanya jaringan parut pada dada
b. Bunyi jantung tambahan (ditemukan jika penyebab CHF kelainan
Katup)
c. Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya
hipertrofi jantung (Kardiomegali)
d. Adanya bunyi jantung S3 atau S4
e. Takikardia
9). Abdomen
a. Adanya hepatomegaly
b. Adanya splenomegaly
c. Adanya asites
10). Eliminasi
a. Penurunan frekuensi kemih
b. Urin berwarna gelap
c. Nokturia (berkemih pada malam hari)
d. Diare/ konstipasi.
11). Ekstremitas
a. Terdapat edema dan CRT kembali > 2 detik
b. Adanya edema
c. Sianosis perifer
(Smeltzer & Bare, 2013)
Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung,
peningkatan frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi
sekuncup
b. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan volume paru
c. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung,
hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
d. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal,
penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan
curah jantung.
e. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi
cairan dan natrium oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan
hipertensi pulmonal
Rencana Intervensi
- Perubahan tekanan
darah di ekstremitas
- Bruit
- Terlambat sembuh
- Pulsasi arterial
berkurang
- Warna kulit pucat
pada elevasi, warna tidak
kembali pada penurunan kaki
Cerebral
- Abnormalitas bicara
- Kelemahan
ekstremitas atau paralis
- Perubahan status
mental
- Perubahan pada respon
motorik
- Perubahan reaksi pupil
- Kesulitan untuk
menelan
- Perubahan kebiasaan
Kardiopulmonar
- Perubahan frekuensi
respirasi di luar batas
parameter
- Penggunaan otot
pernafasan tambahan
- Balikkan kapiler > 3
detik (Capillary refill)
- Abnormal gas darah
arteri
- Perasaan ”Impending
Doom” (Takdir terancam)
- Bronkospasme
- Dyspnea
- Aritmia
- Hidung kemerahan
- Retraksi dada
- Nyeri dada
Faktor-faktor yang
berhubungan :
- Hipovolemia
- Hipervolemia
- Aliran arteri terputus
- Exchange problems
- Aliran vena terputus
- Hipoventilasi
- Reduksi mekanik pada
vena dan atau aliran darah
arteri
- Kerusakan transport
oksigen melalui alveolar dan
atau membran kapiler
- Tidak sebanding
antara ventilasi dengan aliran
darah
- Keracunan enzim
- Perubahan
afinitas/ikatan O2dengan Hb
- Penurunan konsentrasi
Hb dalam darah
AcidBase Managemen
Monitro IV line
Pertahankanjalan nafas
paten
Monitor AGD, tingkat
elektrolit
Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP,
PAP)
Monitor adanya tanda
tanda gagal nafas
Monitor pola respirasi
Lakukan terapi oksigen
Monitor status neurologi
Tingkatkan oral hygiene
5 Kelebihan volume cairan b/d NOC NOC
berkurangnya curah jantung,
retensi cairan dan natrium Electrolit and acid base Pertahankan catatan
oleh ginjal, hipoperfusi ke balance intake dan output yang
jaringan perifer dan hipertensi Fluid balance akurat
pulmonal Pasang urin kateter jika
Definisi : Retensi cairan Kriteria Hasil: diperlukan
isotomik meningkat Terbebas dari edema, Monitor hasil lAb yang
Batasan karakteristik : efusi, anaskara sesuai dengan retensi
- Berat badan meningkat Bunyi nafas bersih, cairan (BUN , Hmt ,
pada waktu yang singkat tidak ada dyspneu/ortopneu osmolalitas urin )
- Asupan berlebihan Terbebas dari Monitor status
dibanding output distensi jugularis, hemodinamik
vena termasuk
- Tekanan darah berubah, reflek hepatojugular (+) CVP, MAP, PAP, dan
tekanan arteri pulmonalis PCWP
Memelihara tekanan
berubah, peningkatan CVP Monitor vital sign
vena sentral, tekanan kapiler
- Distensi vena jugularis Monitor indikasi
paru, output jantung dan
- Perubahan pada pola retensi / kelebihan cairan
vital sign dalam batas
nafas, dyspnoe/sesak nafas, (cracles, CVP , edema,
normal
orthopnoe, suara nafas distensi vena leher, asites)
Terbebas dari
abnormal (Rales atau kelelahan, kecemasan atau Kaji lokasi dan luas
crakles), kongestikemacetan kebingungan edema
paru, pleural effusion Menjelaskanindikator Monitor masukan
- Hb dan hematokrit kelebihan cairan makanan / cairan dan
menurun, perubahan hitung intake kalori harian
elektrolit, khususnya Monitor status nutrisi
perubahan berat jenis Berikan diuretik sesuai
- Suara jantung SIII interuksi
- Reflek hepatojugular Batasi masukan cairan
positif pada keadaan
- Oliguria, azotemia hiponatrermi dilusi
- Perubahan status mental, dengan serum Na < 130
kegelisahan, kecemasan mEq/l
Kolaborasi dokter jika
Faktor-faktor yang tanda cairan berlebih
berhubungan : muncul memburuk
- Mekanisme pengaturan Fluid Monitoring
melemah Tentukan riwayat
- Asupan cairan berlebihan jumlah dan tipe intake
- Asupan natrium cairan dan eliminaSi
berlebihan Tentukan
kemungkinan faktor
resiko dari ketidak
seimbangan cairan
(Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
Monitor serum dan
elektrolit urine
Monitor serum dan
osmilalitas urine
Monitor BP, HR, dan
RR
Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan
irama jantung
Monitor parameter
hemodinamik infasif
Monitor adanya
distensi leher, rinchi,
eodem perifer dan
penambahan BB
Monitor tanda dan
gejala dari odema
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, arif. 2012. Buku ajar Asuhan keperawatan klien dengan gangguan
sistem kardiovaskular dan hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Smelzer, Suzanne dan Bare Brenda. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddart. Jakarta: EGC.
Wijaya, Andra Saferi dan Putri, Yessie Marita. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah.Yogyakarta: Nuha Medika.
Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
Menurut proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak
adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang.
Sedangkan pengertian menurut Suyono, 1999 infark miokard akut atau
sering juga disebut akut miokard infark adalah nekrosis miokard akibat aliran
darah ke otot jantung terganggu.
Infark miokard adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung
terganggu. Biasanya didasari oleh adanya aterosklerosis pembuluh darah koroner.
Nekrosis miokard akut hampir selalu terjadi akibat penyumbatan total arteri
koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plaqus aterosklerosis yang tidak
stabill (Soeparman, 1996:1098).
Infark miokardium merupakan blok total yang mendadak dari arteri koroner atau
besar atau pada cabang-cabangnya (Barbara C. Long, 1996:568).
Myocardial infark (MI, sumbatan koroner, thrombosis koroner atau serangan
jantung) merupakan sumbatan total pada arteri koronaria. Sumbatan ini mungkin
kecil dan focal atau besar dan difus. Pembuluh yang sering terkena adalah
koronaris kiri, percabangan anterior kiri dan arteri circumflex. Pembuluh yang
tersumbat mungkin hanya satu, dua, atau tiga pembuluh (Depkes, 1993:138).
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat
iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Tiga kriteria untuk menegakkan
diagnosis IMA adalah adanya nyeri dada khas infark, elevasi segmen ST pada EKG,
dan kenaikan enzim creatine kinase (CK), dan creatine kinase myocardial band
(CKMB).
2. ETIOLOGI
Brunner & Sudarth, 2002 infark miokardium mengacu pada
Menurut Nurarif (2013), penyebab IMA yaitu :
a. Faktor Penyebab
1) Suplai oksigen ke miocard yang disebabkan oleh 3 faktor :
a) Faktor pembuluh darah : Arterioklorosis, Spasme, Arteritis
b) Faktor Sirkulasi : Hipotensi, Stenosos Aorta, Insufisiensi
c) Faktor Darah : Anemia, Hipoksemia, Polisitimia
2) Curah jantung yang meningkat :
a) Aktifitas berlebihan
b) Emosi
c) Makan terlalu banyak
d) Hypertiroidisme
3) Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada
a) Kerusakan miocard
b) Hypertropimiocard
c) Hypertensi diastolic
b. Faktor Prediposisi
1) Faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah
a) usia lebih dari 40 tahun
b) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
c) Hereditas
d) Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam
2) Faktor resiko yang dapat diubah :
a) Mayor : Hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes,
obesitas, diet tinggi lemak jenuh, aklori.
b) Minor : Inaktifitas fisik, pola kepribadian tipe A (emosinal,
agresif, ambisius, kompetetif), stress psikologis berlebihan
3. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan IMA berasal dari iskemia
otot jantung dan penurunan fungsi serta asidosis yang terjadi. Manifestasi klinis
utama dari IMA adalah nyeri dada yang serupa dengan angina pectoris tetapi lebih
parah dan tidak berkurang dengan nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar ke leher,
rahang, bahu, punggung atau lengan kiri. Neri juga dapat ditemukan di dekat
epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. IMA juga dapat berhubungan dengan
manifestasi klinis yang jarang terjadi berikut ini (M. Blasck, Joyce, 2014)
a. Klasifikasi dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas.
b. Mual atau pusing.
c. Sesak napas dan kesulitan bernapas
d. Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelasjan
e. Palpitasu, keringat dingin, pucat
Wanita yang mengalami IMA sering kali datang dengan satu atau lebih
manifestasi yang jarang terjadi di atas.
4. PATOFISIOLOGI
Akut Miokard Infark (AMI) Berawal dari proses aterosklerosis yang
merupakan factor etiologi utama yang mendasari terjadinya penyakit jantung
koroner. Terbentuknya plaque dari aterosklerosis menyebabkan penyempitan lumen
pembuluh darah arteri, bila plaque ini pecah dan berdarah menyebabkan thrombosis
dan obstruksi arteri koroner. Obstruksi pembuluh darah lebih dari 75% akan
meningkatkan kematian (30 – 40%). Penyempitan atau obstruksi total pembuluh
arteri koroner akan mempengaruhi perfusi koroner. Suplai oksigen yang kurang
atau tidak ada menyebabkan iskemia miokard. Pada iskemia memaksa
miokardium mengubah metabolisme bersifat anaerob dimana asam laktat yang
dihasilkan tertimbun di sel-sel miokard akan menstimuli ujung saraf dan
menimbulkan rasa nyeri dada, serta kadar pH sel akan berkurang/asidosis. Iskemia
miokard yang berlangsung lama lebih dari 35 – 45 menit menyebabkan kerusakan
selsel miokard yang irreversible dan nekrosis. Pada keadaan demikian fungsi
ventrikel terganggu, kekuatan kontraksi berkurang, penurunan stroke volume dan
fraksi ejeksi serta gangguan irama jantung. Hal ini akan mengubah hemodinamika.
Mekanisme kompensasi output cardial dan perfusi yang mungkin meliputi
stimulasi simpatik berupa peningkatan heart rate, vasokontriksi, hipertrofi
ventrikel. Proses terjadinya infark miokard terbagi dalam tiga zona, yaitu zona
nekrotik, injury dan iskemia. Zona injury dan iskemia berpotensial dapat pulih
kembali tergantung pada kemampuan jaringan sekitar iskemia membentuk sirkulasi
kolateral untuk reperfusi cepat. Luasnya infark tergantung pada pembuluh darah
arteri yang tersumbat. Miokard infark paling sering
mengenai ventrikel kiri. Dan area yang terkena dapat seluruh otot jantung (infark
transmural) atau hanya mengenai sebagian dalam lapisan miokard (infark sub
endokardial). (Mulyadi, 2017)
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi
hemodinamik dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat
akan memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan
ejection fraction, isi sekuncup (stroke volume) dan peningkatan volume akhir
distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat
tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg
yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisium paru
(gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebakan karena
daerah infark, tetapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih
relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsangan
adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat
peningkatan kebutuhan oksigen miokard. (M.Black, Joyce, 2014)
IMA dapat dianggap sebagai titik akhir dari PJK. Tidak seperti iskemia
sementara yang terjadi dengan angina, iskemia jangka panjang yang tidak berkurang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel terhadap miokardium. Sel-sel jantung
dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelm akhirnya mati. Menifestasi
iskemi dapatt dilihat dalam 8-10 detik setelah aliran darah turun karena
miokardium aktif secara metabolic. Ketika jantung tidak mendapatkan darah
dan oksigen, sel jantung akan menggunakan metabolisme anaerobic, menciptakan
lebih sedikit adenosime trifostfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai
sampingannya. Sel miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan
fungsinya akan menurun. Asidosis akan menyebabkan miokardium menjadi lebih
rentan terhdapa efek dari enzim lisosom dalam sel. (M.Black, Joyce, 2014)
Kompensasi ini jelas tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan
jugamengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard
yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan hemodinamik akan minimal.
Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus berkompensasi
sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
akan naik dan gagal jantung terjadi. Sebagai akibat IMA sering terjadi perubahan
bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena
infark maupun yang non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling
ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia.
(M.Black, Joyce, 2014)
Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA makin
tenang fungsi jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan
karena daerah-daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah
diskinetik akibat IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut
yang kaku. Miokard sehat dapat pula mengalami hipertropi. Sebaliknya
perburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark
meluas. Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi
mitral akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik
jantung. (M.Black, Joyce, 2014)
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada
menit-menit atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh
perubahan-perubahan masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan
terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan besar terhadap terjadinya
aritmia. Pasien IMA inferior umumnya mengalami peningkatan tonus
parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat, sedangkan
peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan mempertinggi kecenderungan
fibrilasi ventrikel dan perluasan infark. Infrak inferior terjadi saat arteri koroner
kanan mengalami oklusi. Pada sekitar 25% dari IMA dinding inferior, ventrikel
kanan merupakan lokasi infrak. Infrak atrium terjadi pada kurang dari 5%.
(M.Black, Joyce, 2014).
5. PATHWAYS
Timbunan kolestrol lipid di intima arteri besar
aliran darah
Iskemik miokard
Syok Kardiogenik
Kematian
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. EKG: Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q.
patologis, menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
b. Laboratorium
1) Enzim Jantung: CKMB, LDH,
2) Elektrolit: Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, missal hipokalemi, hiperkalemi
3) Sel darah putih: Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak
pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi
4) Kecepatan sedimentasi: Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah
AMI , menunjukkan inflamasi.
5) GDA: Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru
akut atau kronis.
6) Kolesterol atau Trigliserida serum: Meningkat, menunjukkan
arteriosclerosis sebagai penyebab AMI
c. Foto Dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK
atau aneurisma ventrikuler.
1) Pemeriksaan pencitraan nuklir
a) Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status
sel miocardia misal lokasi atau luasnya IMA
b) Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area
nekrotik
Pencitraan darah jantung (MUGA): Mengevaluasi penampilan
ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi
ejeksi (aliran darah)
3) Angiografi koroner: Menggambarkan penyempitan atau sumbatan
arteri koroner.
Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan
serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur
tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati bedah
jantung angioplasty atau emergensi.
4) Digital subtraksion angiografi (PSA) Nuklear Magnetic Resonance
(NMR): Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung
atau katup ventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis
atau infark dan bekuan darah.
5) Tes stress olah raga: Menentukan respon kardiovaskuler terhadap
aktifitas atau sering dilakukan sehubungan pencitraan talium pada
fase penyembuhan.
7. KOMPLIKASI
a. Gagal Ginjal Kongestif
Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Infark
miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan Pengurangan
kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan mengubah daya
kembang ruang jantung tersebut. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri
untukmengosongkan diri, maka besar curah sekuncup berkurang sehingga volume
sisa ventrikel meningkat. Akibatnya tekanan jantung sebelah kiri meningkat.
Kenaikkan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskuler maka
terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstitial. Bila tekanan ini masih
meningkat lagi, terjadi udema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveolis
sampai terjadi gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi
gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru sehingga
membebani ventrikel kanan.
b. Syok Kardiogenik
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami
infark yang masif, biasanya mengenai lebif dari 40% ventrikel kiri. Timbul
lingkaran setan hemodinamik progresif hebat yang irreversibel, yaitu :
1) Penurunan perfusi perifer
2) Penurunan perfusi koroner
3) Peningkatan kongesti paru
c. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau rupture nekrosis otot papilaris akan mengganggu
fungsi katub mitralis, memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama
sistolik. Inkompentensi katub mengakibatkan aliran retrograd dari ventrikel kiri ke
dalam atrium kiri dengan dua akibat pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan
kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. Volume aliran regugitasi
tergantung dari derajat gangguan pada otot papilari bersangkutan.
d. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikularis dapat menyebabkan ruptura dinding
septum sehingga terjadi depek septum ventrikel. Karena septum mendapatkan aliran
darah ganda yaitu dari arteri yang berjalan turun pada permukaan anterior dan
posterior sulkus interventrikularis, maka rupture septum menunjukkan adanya
penyakit arteri koronaria yang cukup berat yang mengenai lebih dari satu arteri.
Rupture membentuk saluran keluar kedua dari ventrikel kiri. Pada tiap kontraksi
ventrikel maka aliran terpecah dua yaitu melalui aorta dan melalui defek septum
ventrikel. Karena tekanan jantung kiri lebih besar dari jantung kanan, maka darah
akan mengalami pirau melalui defek dari kiri ke kanan, dari daerah yang lebih besar
tekanannya menuju daerah yang lebih kecil tekanannya. Darah yang dapat
dipindahakan ke kanan jantung cukup besar jumlahnya sehingga jumlah darah
yang dikeluarkan aorta menjadi berkurang. Akibatnya curah jantung sangat
berkurang disertai peningkatan kerja ventrikel kanan dan kongesti.
e. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukkan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah sehingga terjadi perdarahan
masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak alastis tak dapat
berkembang. Kantong perikardium yang terisi oleh darah menekan jantung ini akan
menimbulkan tanponade jantung. Tanponade jantung ini akan mengurangi
alir balik vena dan curah jantung.
f. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar
yang merupakan predisposisi pembentukkan trombus. Pecahan trombus mural
intrakardia dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Daerah kedua yang
mempunyai potensi membentuk trombus adalah sistem vena sistenik. Embolisasi
vena akan menyebabkan embolisme pada paru-paru.
j. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dengan perikardium menjadi besar sehingga merangsang permukaan
perikardium dan menimbulkan reaksi peradangan, kadang-kadang terjadi efusi
perikardial atau penimbunan cairan antara kedua lapisan.
k. Aritmia
Aritmia timbul aibat perubahan elektrofisiologis sel-sel miokardium.
Perubahan elektrofiiologis ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial
aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel.
7. PENATALAKSANAAN
a. Pengobatan iskemia dan infark
1) Nitrogliserin
Terutama untuk dilatasi arteria dan vena perifer dengan memperlancar
distribusi aliran darah koroner menuju daerah yang mengalami iskemia meliputi;
vasodilatasi pembuluh darah kolateralis. Dilatasi vena akan meningkatkan
kapasitas penambahan darah oleh vena diperifer, akibatnya aliran balik vena ke
jantung menurun sehingga memperkecil volume dan ukuran ventrikel. Dengan
demikian vasodilatasi perifer akan mengurangi beban awal akibatnya kebutuhan
oksigen pun akan berkurang
2) Propranol (inderal)
Suatu penghambat beta adrenergik, menghambat perkembangan iskemia
dengan menghambat secara selektif pengaruh susunan saraf simpatis terhadap
jantung. Pengaruh ini disalurkan melalui reseptor beta. Rangsangan beta
meningkatkan kecepatan denyut dan daya kotraksi jantung . Proprenol
menghambat pengaruh-pengarug ini, dengan demikian dapat mengurangi
kebutuhan miokardium akan oksigen.
3) Digitalis
1) Digitalis dapat meredakan angina yang menyertai gagal jantung
dengan meningkatkan daya kontraksi dan akibatnya akan
meningkatnya curah sekuncup. Dengan meningkatnya pengosongan
ventrikel, maka ukuran ventrikel berkurang. Meskipun kebutuhan
akan oksigen meningkat akibat meningkatnya daya kontraksi Deteksi
dini dan pencegahan sangat penting pada penderita infark. Dua
kategori komplikasi yang perlu diantisipasi yaitu; ketidakstabilan
listrik atau aritmia dan gangguan mekanis jantung atau kegagalan
pompa. Segera dilakukan pemantauan elektrokardiografi.
2) Prinsip-prisip penanganan aritmia :
hasil akhir dari pengaruh digitalis terhadap gagal jantung adalah
menurunkan kebutuhan miokardium akan oksigen.
4) Diuretika
Mengurangi volume darah dan aliran balik vena ke jantung, dan dengan
demikian mengurangi ukuran dan volume ventrikel. Obat vasodilator dan
antihipertensi dapat mengurangi tekanan dan resistensi arteria terhadap ejeksi
ventrikel, akibatnya beban akhir menurun/berkurang. Sedativ dan antidepresan
juga dapat mengurangi angina yang ditimbulkan oleh stres atau depressi.
DIAGNOSA
NO Tujuan dan
KEPERAWAT INTERVENSI
DX Kriteria Hasil
AN
1. Nyeri (akut) NOC : NIC :
berhubungan Pain Level, pain 1) Lakukan pengkajian
dengan iskemia control, comfort nyeri secara
jaringan level Setelah komprehensif
sekunder dilakukan termasuk lokasi,
terhadap tindakan keperawatan karakteristik, durasi,
sumbatan arteri selama 3x24 jam Pasien frekuensi, kualitas
koroner tidak mengalami nyeri, dan faktor presipitasi
dengan kriteria hasil: 2) Observasi reaksi
1. Mampu mengontrol nonverbal dari
nyeri (tahu penyebab ketidaknyamanan
nyeri, mampu 3) Bantu pasien dan
menggunakan tehnik keluarga untuk
nonfarmakologi untuk mencari dan
mengurangi nyeri, menemukan
mencari bantuan) dukungan
2. Melaporkan bahwa 4) Kontrol lingkungan
nyeri berkurang yang dapat
dengan menggunakan mempengaruhi nyeri
manajemen nyeri seperti suhu ruangan,
3. Mampu mengenali pencahayaan dan
nyeri (skala, intensitas, kebisingan
frekuensi dan tanda 5) Kurangi faktor
nyeri) presipitasi nyeri
4. Menyatakan rasa 6) Kaji tipe dan sumber
nyaman setelah nyeri nyeri untuk
berkurang menentukan
5. Tanda vital dalam intervensi
rentang normal 7) Ajarkan tentang
6. Tidak mengalami teknik non
gangguan tidur farmakologi: napas
dala, relaksasi,
distraksi, kompres
hangat/ dingin
8) Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri: ……...
9) Tingkatkan istirahat
10) Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan
dari prosedur
11) Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
B. KLASIFIKASI
a. Stroke Hemoragi,
2) Perdarahan subaraknoid
C. ETIOLOGI
1. Thrombosis Cerebral
a. Aterosklerosis
d. Emboli
2. Haemorhagi
3. Hipoksia Umum
4. Hipoksia Setempat
8. Gangguan persepsi
F. KOMPLIKASI
4. Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang mengontrol
respon pernapasan atau kardiovaskuler dapat meninggal.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan atau
obstruksi arteri.
2. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga
mendeteksi, melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh
pemindaian CT).
3. CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan
posisinya secara pasti.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan
bsar terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang
mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunya impuls listrik
dalam jaringan otak.
6. Pemeriksaan laboratorium
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan Konservatif :
Pengobatan Pembedahan
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
dan tidak dapat berkomunikasi.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan
separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti
koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus.
Pengumpulan data :
A. Aktivitas/istirahat:
B. Sirkulasi
C. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
D. Eliminasi
E. Makanan/caitan :
F. Neuro Sensori
G. Nyaman/nyeri
H. Respirasi
I. Keamanan
J. Interaksi sosial
K. RENCANA KEPERAWATAN
6. Observasi tanda-tanda
hipo-ventilasi
6. Programkan speech-
language teraphy
7. Lakukan speech-
language teraphy setiap
interaksi dengan klien
1 Ajarkan pasien
bagaimana merubah posisi
dan berikan bantuan jika
diperlukan
v Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
§ Membatasi pengunjung
§ Memberikan penerangan
yang cukup
§ Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
§ Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
§ Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica
Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC.
Tim SAK Ruang Rawat Inap RSUD Wates. 2006. Standard Asuhan Keperawatan
Penyakit Saraf. Yogyakarta: RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM
MUSKULOSKELETAL
(FRAKTUR, OSTEOATRITIS, OSTEOMELITIS)
1.1.2. Etiologi
Menurut Sachdeva (2008), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin
D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang berutgas di
kemiliteran
3. Secara Spontan
Disesbabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
1.1.3. Patofisiologi
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang
diabsorpsinya. Fraktur pada tualng dapat menyebabkan edema jaringan lemak,
persarafan keotot dan sendi terjanggu, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan
syaraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memuntir, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan memuntir mendadak dan bahkan kontraksi ekstrem, sehingga tulang
mengalami kegagalan menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar,
dan tarikan. Fraktur akan mempengaruhi jaringan sekitarnya yaitu kerusakan pada
saraf sensori, kerusakan jaringan lemak dapat menyebabkan luka terbuka sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi. Untuk kerusakan pembuluh darah dapat
menyebabkan perdarahan, inflamasi, dan rupture tendon sehingga terjadinya
penekanan saraf akan menyebabkan nyeri. Selain itu juga akan mempengaruhi
korteks tulang dan periosteum sehingga akan mengalami deformitas dan
pemendekan tulang, hal itu menyebabkan ekstremitas terganggu.
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah dank e dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan
lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin
(hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru.
Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tualng baru imatur yang
disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang sejati. Tulang sejati
menggantikan kalus dan secara perrlahan mengalami klasifikasi.
Penyembuhan memerlukan beberapa minggu sampai beberapa bulan. (Corwin,
2001)
Fraktur di bagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup .tertutup bila tidak
ada hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar .sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh
karenaperlukaan di kulit(smelter 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya di sekitar tempat patah kedalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut . jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan .reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur .sel-sel darah
putih dan sel anast berkumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang di
sebut callus.bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.insfusiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di
tangani dapat menurunkan pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan
,oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot.komplikasi ini dinamakan sindrom compartment( Brunner
2002)
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi peubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa nyaman
nyeri(brunner 2002).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.(Sylvia, 2002)
1.1.5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur tertutup adalah sebagai berikut :
1. Terapi non farmakologi, terdiri dari :
a. Proteksi, untuk fraktur dengan kedudukan baik. Mobilisasi saja tanpa
reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplet dan fraktur tanpa
kedudukan baik.
b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Reposisi dapat dalam anestesi
umum atau lokal.
c. Traksi, untuk reposisi secara berlebihan. Untuk menghilangkan /
mengurangi rasa sakit pada leher dan bokong. Ada dua macam traksi,
yaitu:
1) Traksi Kulit (skin traction)
2) Traksi Skeletal (skeletal traction). Traksi skeletal untuk jangka pendek
pada fraktur femur → tibia proksimal. Traksi skeletal untuk jangka
panjang pada fraktur femur → femur distal.
2) Bryant’s traction
- Disebut juga Gallow’s traction
- Pada anak < 1 tahun
- Dislokasi sendi panggul
- Skin traksi
3) Weber Extensionsapparat
- Traksi kulit dan traksi skeletal
- Fraktur batang femur pada anak-anak
4) Cotrel traction
- Untuk terapi skoliosis
- Tindakan pendahuluan sebelum
operasi dan pemasangan gips.
5) Ducroquet extension
- Pada skoliosis
- Sebagai persiapan untuk operasi
6) Dunlop traction
- Pada fraktur supracondylar humerus
- Lengan tangan digantung dengan skin traksi
7) Russell traction
- Suatu balanced traction
- Skin traksi
- Kegunaannya pada orang tua dengan
fraktur pelvis dan pada anak-anak
dengan fraktur femur.
8) Cervical traction
- Untuk traksi leher
- Pada pasien duduk atau tiduran
- Secara continous atau secara intermittent
9) Halo-Femoral traction
- Traksi berlawanan pada kepala dan femur
- Digunakan alat Crutchfield Tongs
1. Kesadaran penderita:
Tingkat kesadaran kualitatif :
Composmentis : Berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : Terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan
perabaan normal
Delirium : yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan
motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu.
Klien Nampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta.
Samolen : yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, klien
akan tertidur kambali
Sopor : kadaan mengantuk yang dalam, klien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya
rangsang nyeri, tetapi klien tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal
yang baik
Semi Koma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberrikan
respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi reflex (kornea,
pupil) masih baik. respons terhadap rangsang nyeri
tidak adekuat.
Koma : Tidak ada respon terhadap rangsangan Somnolen:
dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh
dan menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti
penderita tidur lagi.
Tingkat Kesadaran Kuantitatif (GCS)
Respon membuka mata (E)
1 = Tidak ada reaksi
2 = ada reaksi jika dirangsang dengan nyeri
3 = ada reaksi dengan dirangsang suara
4 = reaksi yang spontan
Respon verbal (V)
1 = tidak ada suara
2 = mengerang
3 = bicara kacau
4 = disorientasi tempat dan waktu
5 = orientasi baik dan sesuai
Respon Motorik (M)
1 = tidak ada gerakan
2 = ekstensi abnormal
3 = fleksi abnormal
4 = menghindari nyeri
5 = melokalisir nyeri
6 = mengikuti perintah
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS di sajikan
dalam symbol E….V…..M….
Selanjutnya nilai – nilai dijumlahkan.
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapatis maka didapatkan
hasil:
GCS : 14-15 = CKR (Cedera Kepala Ringan)
GCS : 9-13 = CKS (Cedera Kepala Sedang)
GCS : 3-8 = CKB (Cedera Kepala Berat)
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa. Gejala:
nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada
nyeri akibat kerusakan syaraf. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
Fraktur
Bunner. 2002. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC
Nurarif A. Huda, Hardji Kusuma.2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 1.
Jogjakarta: MediAction
Sachdela. 2008. At a glance ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Sjamuhidayat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Sylvia. 2002. Patofisiologis Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta : EGC
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Edisi I. 2016. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI
LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOARTHRITIS
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologinya, osteoarthritis dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga sebagai osteoarthritis idiopatik dimana penyebabnya
tidak diketahui. Namun demikian OA primer ini sering dihubungkan
dengan proses penuaan atau degenerasi. Osteoarthritis sekunder
terjadi disebabkan oleh suatu penyakit ataupun kondisi tertentu,
contohnya adalah karena trauma, kelainan kongenital dan
pertumbuhan, kelainan tulang dan sendi, dan sebagainya (Maya
Yanuarti, 2014).
b. Berdasarkan letaknya
Osteoarthritis dapat menyerang sendi mana pun. Akan tetapi
sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang teletak pada
tangan, lutut, panggul, dan vertebra.
3. Patofisiologi
Osteoartritis selama ini dipandang sebagai akibat dari suatu proses
penuaan yang tidak dapat dihindari. Namun, penelitian para pakar terbaru
menyatakan bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan
homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui. Jejas
mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang
merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi
kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi
inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas mekanik dan
kimiawi pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, humoral, genetik, obesitas, stress mekanik atau
penggunaan sendi yang berlebihan, dan defek anatomik (Maya
Yanuarti, 2014).
4. Etiologi
Hampir pada setiap aktivitas sehari-hari terjadi penekanan pada
sendi, terutama sendi yang menjadi tumpuan beban tubuh seperti
pergelangan kaki, lutut, dan panggul. Hal tersebut memiliki peranan
yang penting dalam terjadinya OA. Banyak peneliti percaya bahwa
perubahan degenerative merupakan hal yang mengawali terjadinya OA
primer (Carlos J Lozada et al, 2015). Sedangkan obesitas, trauma, dan
penyebab lain merupakan factor-faktor yang menyebabkan terjadinya
OA sekunder.
5. Faktor Resiko
Faktor resiko OA dibagi ke dalam faktor endogenous dan
eksogenous. Yang merupakan faktor endogenous adalah usia, jenis
kelamin, genetik, ras/suku, dan perubahan hormone post-menopause.
Sedangkan yang merupakan faktor eksogenous adalah makrotrauma,
repetitive mikrotrauma, obesitas, riwayat operasi sendi, dan gaya hidup
(merokok dan konsumsi alcohol) (Joern W.-P. Michael et al, 2010).
a. Usia
Dengan pertambahan usia akan terjadi penurunan volume
kartilago, kandungan proteoglikan, vaskularisasi kartilago, dan perfusi
kartilago. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan karakteristik
yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi, termasuk penipisan
pada celah persendian, dan timbulnya ostheopite. Namun demikian,
penelitian mengenai biokimia dan patofisiologi OA mendukung
gagasan bahwa usia itu sendiri sudah cukup menjadi penyebab OA
(Carlos J Lozada et al, 2015).
b. Jenis Kelamin
Penelitian telah menunjukan bahwa OA pada laki-laki usia 60
sampai 64 tahun lebih banyak ditemukan pada lutut kanan (23 %)
dibandingkan pada lutut kiri (16,3%), sedangkan pada wanita
menunjukan distribusi yang cukup seimbang antara lutut kanan dan
kiri (lutut kanan, 24,2%; lutut kiri, 24,7%) (Joern W.-P. Michael et
al, 2010).
c. Genetik
Sebuah komponen genetik, terutama yang melibatkan beberapa
persendian dalam terjadinya OA, sudah lama diketahui. Beberapa gen
secara langsung berhubungan dengan terjadinya OA, dan banyak
yang telah ditentukan berhubungan dengan faktor-faktor yang
berkontribusi, seperti inflamasi yang parah dan obesitas (Carlos J
Lozada et al, 2015).
g. Makrotrauma
Trauma atau tidakan bedah (termasuk pembedahan pada
trauma) terutama pada kartilago articular, ligament, atau meniscus
dapat menyebabkan ketidaknormalan biomekanik pada sendi dan
mempercepat keparahan OA. Walaupun perbaikan pada kerusakan
ligament dan meniscus bertujuan untuk mengembalikan fungsi
sendi, ketika di amati selama 5-15 tahun setelah tindakan terjadi OA
pada 50-60% pasien (Carlos J Lozada et al, 2015).
h. Repetitiv mikrotrauma
Kerusakan sendi bisa terjadi walaupun tidak terdapat trauma
yang berarti. Mikrotrauma bisa menjadi penyebab kerusakan,
terutama pada individu yang memiliki kebiasaan atau gaya hidup
terutama sering berjongkok, menaiki tangga, atau berlutut (Carlos J
Lozada et al, 2015).
6. Prognosis
Prognosis pasien OA tergantung pada kondisi sendi dan tingkat
keparahan. Sejauh ini belum ada bukti ditemukannya obat modifying untuk
OA, treatment secara farmakologi OA ditujukan untuk mengurangi gejala
(Carlos J Lozada et al, 2015).
a. usia tua
b. BMI tinggi
c. Varus deformity
d. Terlibatnya sendi lebih dari Satu
Pasien dengan OA yang diberikan penanganan pembedahan sendi
memiliki prognosis yang baik, dengan rasio keberhasilan untuk panggul
dan lutut arthroplasty secara umum mencapai 90 %. Namun demikian,
prosthesis sendi mungkin akan mengalami revisi 10-15 tahun setelah
tindakan, tergantung pada level aktivitas pasien. Lebih muda pasien dan
lebih aktif pasien lebih banyak mengalami revisi, sedangan tidak pada
mayoritas pasien yang lebih tua.
7. Manifestasi Klinis
Pasien dengan OA sering mengeluhkan nyeri pada saat bergerak,
biasanya terjadi ketika pergerakan dimulai atau ketika pasien mulai
berjalan. Seiring dengan progresifitas OA, nyeri terus berlanjut, dan
fungsi sendi semakin terganggu (Joern W.-P. Michael et al, 2010).
Gejala-gejala spesifik yang berhubungan erat dengan OA dapat di lihat
pada tabel berikut :
Tabel 3. Gejala-gejala OA
8. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan rekomendasi IRA untuk diagnosis dan
penatalaksanaan OA tahun 2014, pada seseorang yang dicurigai OA,
direkomendasikan melakukan pemeriksaan berikut ini:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan seperti nyeri dirasakan
berangsur-angsur (onset gradual), tidak disertai adanya inflamasi (kaku
sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai inflamasi, umumnya dengan
perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak disertai kemerahan
pada kulit) tidak disertai gejala sistemik, dan nyeri sendi saat beraktivitas.
Osteoarthritis
Sulit bergerak
Gerakan akibat aktivitas
Gangguan Mobilitas
fisik Nyeri kronis
3. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronis
D.0078
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan kenyamanan
b. Gangguan mobilitas fisik
D.0054
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Aktivitas dan iatirahat
4. Rencana intervensi
No Diagnose NOC NIC
ekstremitas diinginkan.
Subjektif :
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terorganisasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
DAFTAR PUSTAKA
2. KLASIFIKASI
Pembagian osteomielitis yang lazim menurut Arif Mansjoer (2000) dalam
Qorahman (2014) , yaitu:
a. Osteomielitis primer, yang disebabkan penyebaran secara hematogen dari
fokus lain. Osteomielitis primer dapat dibagi menjadi osteomielitis akut dan
kronik.
1) Osteomielitis hematogen akut adalah fase sejak terjadinya infeksi 10-15 hari.
Osteomielitis hematogen akun pada dasarnya adalah penyakit pada tulang
yang sedang tumbuh. Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang dan
tersering femur, diikuti oleh tibia, jumerus, radius, ulna dan fibula. Bagian
tulang yangterkena adalah bagian metafisis.
2) Osteomielitis kronik, yakni jika tidak diterapi secara adekuat, akan
berkembang menjadi osteomielitis kronik.
b. Osteomielitis sekunder atau osteomielitis perkontinuitanum yang disebabkan
penyebaran kuman dari sekitarnya, seperti bisul dan luka.
Selain itu, osteomielitis juga diklasifikasikan ke dalam:
a. Osteomielitis hematogen, yakni yang disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
focus lain di dalam tubuh.
b. Osteomilietis eksogen, yakni yang disebabkan oleh infeksi dari luar tubuh
secara langsung. Contohnya trauma tembus atau fraktur terbuka.
3. ETIOLOGI
a. Staphylococcus aureus hemolyticus (koagulasi positif) sebanyak 90% dan
jarang oleh Streptococcus hemolyticus
b. Haemophilus influenszae (5-50%) pada usia di bawah 4 tahun
c. Organisme lain seperti B. coli, B. aeruginosa capsulate, Prateus mirabilis,
Brucella, dan bakteri anaerob yaitu Bacterioiddes fragilis.
d. Penyebaran hematogen dari focus infeksi di tempat lain: tonsil yang
terinfeki, infeksi gigi, infeksi saluran nafas bagian atas
e. Penyebaran infeksi jaringan lunak: ulkus dekubitus yang terinfeksi atau
ulkus vaskuler
f. Kontaminasi langsung dengan tulag: fraktur terbuka, cedera traumatic
(luka tembak dan pembedahan tulang)
4. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit yaitu virulensi
organisme dan kerentanan hospes dengan status imun yang rendah. Penyakit ini
lebih terbatas pada metafisis tulang karena pembuluh darah cenderung melingkari
metafisis sehingga memungkinkan emboli terinfeksi menyangkut di daerah itu
dan lapisan epifisis dapat mencegah penyebaran infeksi ke sendi sehingga infeksi
terkoalisir di metafisis. Itulah sebabnya mengapa infeksi terjadi pada lapisan
metafisis tulang yang mengalami pertumbuhan pada anak-
anak. Tetapi pada orang dewasa terjadi di diafisis.. Emboli yang terinfeksi
menyangkut di dalam pembuluh darah, menyebabkan trombosis sehingga
mengakibatkan nekrosis avaskuler pada bagian korteks tulang. Respons
peradangan terhadap infeksi mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan terjadi
oedem dan mengakibatkan terangkatnya periosteum dari tulang sehingga
memutuskan lebih banyak suplai darah. Pengangkatan periosteum ini
menimbulkan nyeri hebat, apalagi dengan adanya tegangan eksudat
dibawahnya, infeksi dapat pecah ke subperiosteal kemudian menembus
subkutis dan menyebar menjadi selulitis atau menjalar melalui rongga
subperiosteal ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah ke bagian tulang diafisis
melalui kanalis medularis, penjalaran subperiosteal ke arah diafisis akan
memasuki pembuluh darah yang ke diafisis sehingga menyebabkan nekrosis
tulang. Tulang yang mengalami nekrosis dikenal sebagai sekuestrum. Tulang
dimana periosteum terangkat melapisi tulang yang mati dikenal dengan
involukrum. Pus mencari jalan keluar dari lapisan tulang baru melalui
serangkaian lubang yang dikenal dengan kloaka.
Osteomielitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin terkena.
Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi di
dekatnya atau scara langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal
menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus mungkin menyebar ke
bawah ke dalam rongga medula atau menyebabkan abses superiosteal. Suquestra
tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus
yang memungkinkan pus kelua
Staphylococcus aureus
Kuman masuk
Metafisis tulang
Reaksi inflamasi
Osteomielitis
nyeri
fungsi tulang menurun
Risiko Infeksi
Pasie
n
Nyeri Akut banya
k
bertan
ya
kemampuan melakukan
pergerakan menurun Defisit Pengetahuan
Hambatan mobilitas
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Osteomielitis eksogen biasanya disertai tanda-tanda cedera dan peradangan di
tempat nyeri
b. Pembesaran kelenjar getah bening regional
c. Pada anak mengalami keengganan menggerakkan anggota badan yang sakit
d. Panas tinggi, anoreksia
e. Menggigil
f. Lemah dan malaise (adanya proses septicemia)
g. Nyeri tulang dekat sendi
h. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuh bersangkutan
i. Tidak ada kelainan foto rontgen (fase akut)
j. Pembengkakan local (tanda-tanda radang akut: rubor, dolor, kalor, tumor,
fungsi larsa dan nyeri tekan
k. Fistel kronik yang mengeluarkan nanah dan kadang skuester kecil (fase
kronis)
l. Foto ditemukan skuester dan pembentukan tulang baru (fase kronis)
m. Pada pemeriksaan laboratrium (Leukositosis, anemia, LED meningkat)
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Beberapa prinsip penatalaksanaan klien osteomielitis yang perlu diketahui
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan agar mampu melaksanakan
tindakan kolaboratif adalah sebagai berikut:
a. Istirahat dan memberikan analgesic untuk menghilangkan nyeri
b. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu lakukan tranfusi darah
c. Istirahat local dengan bidai dan traksi
d. Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaiu
staphylococcus aureus sambil menunggu biakan kuman. Antibiotic diberikan
selama 3-6 minggu dengan melihat keadaan umum dan endap darah klien.
Antibiotic tetap diberikan hingga 2 minggu setelah endap darah normal.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah: sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai laju
endap darah, pemeriksaan tier antibody anti-stafilokokus, pemeriksaan kultur
darah untuk menentukan bakterinya (50% positif) dan diikuti uji sensitivitas.
Selain itu, juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang
merupakan jenis osteomielitis yang jarang terjadi
b. Pemeriksaan feses: pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan bila terdapat
kecurigaan infeksi oleh bakteri
c. Pemeriksaan biopsy: pemeriksaan dilakukan pada tempat yang dicurigai
d. Pemeriksaan ultra sound: pemeriksaan ini dapat memperlihatkan efusi pada
sendi
e. Pemeriksaan radiologi: pada pemeriksaan foto polos sepuluh hari pertama,
tidak ditemukan kelainan radiologis yang berarti, dan mungkin hanya ditemukan
pembengkakan jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat dilihat setelah
sepulu hari (2 minggu). Pemeriksaan radiostope akan memperlihatkan
penangkapan isotop pada daerah lesi.
8. KOMPLIKASI
a. Dini:
1) Kekakuan yang permanen pada persendian terdekat (jarang terjadi)
2) Abses yang masuk ke kulit dan tidak mau sembuh sampai tulang yang
mendasarinya sembuh
3) Arthritis septic
b. Lanjut:
1) Osteomielitis kronik ditandai oleh nyeri heba, rekalsitran, dan penurunan
fungsi tubuh yang terkena
2) Fraktur patologis
3) Kontraktur sendi
4) Gangguan pertumbuhan
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. B1 (Breathing) : Pada inspeksi, didapat bahwa klien osteomielitis tidak
mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, ditemukan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapat suara
napas tambahan.
b. B2 (Blood) : Pada inspeksi, tidak tampak iktus jantung. Palpasi menunjukan
nadi meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi, didapatkan S1 dan S2
tunggal, tidak ada mundur.
c. B3 (Brain) : Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.
Kepala : Tidak ada gangguan (normosefalik, simetris, tidak ada
penonjolan).
Leher : Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, reflex
menelan ada).
Wajah : Terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi atau bentuk.
Mata : Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada klien
patah tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Klien
osteomielitis yang desrtai adanya malnutrisi lama biasanya
mengalami konjungtiva anemis.
Telinga : Tes bisik atau Weber masih dalam keadaan normal.
Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan faring : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut pucat.
Status mental: Observasi penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya
status mental tidak mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf cranial :
Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal.
Saraf III,IV,dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak
mata, pupil isokor.
Saraf V. Klien osteomielitis tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan
reflex kornea tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak da deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. B4 (Bladder) : Pengkajian keadaan urine meliputi warna, jumlah,
karakteristik dan berat jenis. Biasanya klien osteomielitis tidak mengalami
kelainan pada system ini.
e. B5 (Bowel) : Inspeksi abdomen: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
: Turgor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: Suara timpani, ada
pantulan gelombang cairan. Auskultasi: Peristaltik usus
normal (20 kali/menit). Inguinal-genitalia-anus: Tidak ada
hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan defekasi.
Pola nutrisi dan metabolisme. Klien osteomielitis harus
mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-hari, seperti
kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan infeksi tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat, terauma kalsium atau
protein. Masalah nyeri pada osteomielitis menebabkan klien
kadang mual atau muntah sehingga pemenuhan nutrisi
berkurang. Pola eliminasi: Tidak ada gangguan pola eliminasi,
tetapi tetap perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau
feces. Pada pola berkemih, dikaji frekuensi, kepekatan, warna,
bau, dan jumlah urine.
b. Intraoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Resiko tinggi Tujuan : 1. Monitor perdarahan pada
perdarahan Terjadi daerah pembedahan setelah
berhubungan perdarahan. dilakukan insisi.
dengan proses Kriteria hasil : 2. Ingatkan operator dan asisten
pembedahan Terjadi bila terjadi perdarahan hebat.
perdarahan, 3. Monitor vital sign.
TTV dalam 4. Monitor cairan
batas normal.
c. Postoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri Akut yang Tujuan : Setelah 1. Kaji lokasi, intensitas dan
berhubungan dengan dilakukan tindakan tipe nyeri.
inflamasi, insisi dan keperawatan 2. Tinggikan dan dukung
drainase. diharapkan nyeri ekstremitas yang terkena.
berkurang. 3. Jelaskan prosedur sebelum
Kriteria Hasil :Klien memulai tindakan
akan mengekspresikan keperawatan.
perasaan nyerinya, 4. Lakukan dan awasi latihan
klien dapat tenang dan rentang gerak pasif atau
istirahat yang cukup, aktif.
Klien dapat mandiri 5. Berikan alternatif tindakan
dalam perawatan dan kenyamanan, contoh
penanganannya secara perubahan posisi.
sederhana. 6. Dorong menggunakan
tehnik manajemen stress,
latihan nafas dalam.
7. Berikan obat sesuai
indikasi : narkotik dan
analgesik non narkotik
2. Risiko infeksi Tujuan : Tidak terjadi 1. Berikan perawatan luka.
berhubungan dengan pesiko perluasan infeksi 2. Ganti balutan dengan
luka insisi. yang dialami. sering, pembersihan dan
Kriteria Hasil : pengeringan kulit
Mencapai waktu sepanjang waktu.
penyembuhan. 3. Berikan antibiotic sesuai
indikasi.
3. Hambatan Tujuan : Gangguan 1. Pertahankan tirah baring
mobilisasi fisik mobilitas fisik dapat dalam posisi yang di
berhubungan dengan berkurang setelah programkan.
nyeri, alat dilakukan tindakan 2. Tinggikan ekstremitas
imobilisasi dan keperawatan yang sakit, instruksikan
keterbatasan Kriteria Hasil : klien / bantu dalam
menahan beban Meningkatkan latihan rentang gerak
berat badan. mobilitas pada pada ekstremitas yang
tingkat paling tinggi sakit dan tak sakit.
yang mungkin, 3. Beri penyanggah pada
mempertahankan ekstremitas yang sakit
posisi fungsional, pada saat bergerak.
menunjukkan teknik 4. Fisioterapi / auskultasi
mampu melakukan terapi.
aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen
ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
` Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia,
dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis
umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang
dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat
bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup
yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar
6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
4. Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks diikuti oleh
infeksi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan
oleh hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak- anak
dan disebut sebagai apendisitis katar. Pada 35 % pasien, obstruksi disebabkan
oleh fekalit dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa (Lee, 2013).
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung dan
meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan intraluminal
terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri viseral yang khas
di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks dipersarafi oleh pleksus
saraf torakal sepuluh (T 10) (Minkes, 2013 dan Saucier,
2013).
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran limfe,
yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai apendisitis
akut atau fokal (Minkes, 2013). Karena inflamasi semakin hebat, terbentuk eksudat
pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai peritoneum
parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada
abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut gejala klasik apendisitis (Lee,
2013).
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi vena,
yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan invasi
bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya, dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi (Lee,
2013).
Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang
inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan
peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada
berapa banyak cairan usus yang tumpah (Minkes, 2013). Jika tubuh berhasil
menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun demikian, gejala tidak
sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri abdomen pada kuadran
kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola defekasi (misalnya diare,
konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak berhasil ditutup, maka akan
terjadi peritonitis difus (Lee, 2013). Selain itu, Apendisitis biasanya disebabkan oleh
penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau abses) dan
apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di tersebut atas)
(DynaMed, 2013).
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul
suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway
5. Manifestasi Klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba
6. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36
jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut,
dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya
mengenai:
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar
ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan
dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat
hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai
biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah.
kesehatan klien sekarang.
c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
e. Pemeriksaan Fisik
i. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
ii. Sirkulasi : Takikardia.
iii. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
f. Aktivitas/istirahat : Malaise.
g. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
h. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak
ada bising usus.
i. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
j. Demam lebih dari 38oC.
k. Data psikologis klien nampak gelisah.
l. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
m. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.
n. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
3) Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang informasi.
3. Rencana Keperawatan
PRE OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Kaji tingkat nyeri, lokasi dan - Untuk mengetahui sejauh mana tingkat
dengan agen injuri diharapkan nyeri klien berkurang dengan karasteristik nyeri. nyeri dan merupakan indiaktor secara dini
biologi (distensi jaringan kriteria hasil : - Jelaskan pada pasien tentang untuk dapat memberikan tindakan
intestinal oleh inflamasi) - Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri selanjutnya
penyebab nyeri, mampu - Ajarkan tehnik untuk - Informasi yang tepat dapat menurunkan
menggunakan tehnik nonfarmakologi pernafasan diafragmatik lambat tingkat kecemasan pasien dan menambah
untuk mengurangi nyeri, mencari / napas dalam pengetahuan pasien tentang nyeri.
bantuan) - Berikan aktivitas hiburan - Napas dalam dapat menghirup O2 secara
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang (ngobrol dengan anggota adequate sehingga otot-otot menjadi
dengan menggunakan manajemen keluarga) relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa
nyeri - Observasi tanda-tanda vital nyeri.
- Tanda vital dalam rentang normal : - Kolaborasi dengan tim medis - Meningkatkan relaksasi dan dapat
TD (systole 110-130mmHg, diastole dalam pemberian analgetik meningkatkan kemampuan kooping.
70-90mmHg), HR(60-100x/menit),
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- - Deteksi dini terhadap perkembangan
37,50C) kesehatan pasien.
- Klien tampak rileks mampu - Sebagai profilaksis untuk dapat
tidur/istirahat menghilangkan rasa nyeri.
2. Perubahan pola eliminasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Pastikan kebiasaan - Membantu dalam pembentukan jadwal
diharapkan konstipasi klien teratasi defekasi klien dan gaya hidup irigasi efektif
(konstipasi) berhubungan
dengan kriteria hasil: sebelumnya.
dengan penurunan
- BAB 1-2 kali/hari - Auskultasi bising usus - Kembalinya fungsi gastriintestinal
peritaltik.
- Feses lunak mungkin terlambat oleh inflamasi intra
- Bising usus 5-30 kali/menit peritonial
- Tinjau ulang pola diet dan - Masukan adekuat dan serat, makanan
jumlah / tipe masukan cairan. kasar memberikan bentuk dan cairan
adalah faktor penting dalam menentukan
konsistensi feses.
- Berikan makanan tinggi serat. - Makanan yang tinggi serat dapat
memperlancar pencernaan sehingga tidak
terjadi konstipasi.
- Berikan obat sesuai indikasi, - Obat pelunak feses dapat melunakkan
contoh : pelunak feses feses sehingga tidak terjadi konstipasi.
3. Kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Monitor tanda-tanda vital - Tanda yang membantu
cairan berhubungan diharapkan keseimbangan cairan dapat - Kaji membrane mukosa, kaji mengidentifikasikan fluktuasi volume
dengan mual muntah. dipertahankan dengan kriteria hasil: tugor kulit dan pengisian intravaskuler.
- kelembaban membrane mukosa kapiler. - Indicator keadekuatan sirkulasi perifer
turgor kulit baik - Awasi masukan dan haluaran, dan hidrasi seluler.
- Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg catat warna urine/konsentrasi, - Penurunan haluaran urin pekat dengan
BB/jam berat jenis. peningkatan berat jenis diduga
- Tanda-tanda vital dalam batas normal - Auskultasi bising usus, catat dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.
: TD (systole 110-130mmHg, diastole kelancaran flatus, gerakan - Indicator kembalinya peristaltic,
70-90mmHg), HR(60-100x/menit), usus. kesiapan untuk pemasukan per oral.
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- - Berikan perawatan mulut - Dehidrasi mengakibatkan bibir dan
37,50C) sering dengan perhatian khusus mulut kering dan pecah-pecah
pada perlindungan bibir. - Selang NG biasanya dimasukkan pada
- Pertahankan penghisapan praoperasi dan dipertahankan pada fase
gaster/usus. segera pascaoperasi untuk dekompresi
- Kolaborasi pemberian cairan usus, meningkatkan istirahat usus,
IV dan elektrolit mencegah mentah.
- Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan menghasilkan
sejumlah besar cairan yang dapat
menurunkan volume sirkulasi darah,
mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi
dapat terjadi ketidakseimbangan
elektrolit
4. Cemas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Evaluasi tingkat ansietas, catat - Ketakutan dapat terjadi karena nyeri
dengan akan diharapkan kecemasan klien berkurang verbal dan non verbal pasien. hebat, penting pada prosedur diagnostik
dilaksanakan operasi. dengan kriteria hasil : dan pembedahan.
- Melaporkan ansietas menurun sampai - Jelaskan dan persiapkan untuk - Dapat meringankan ansietas terutama
tingkat teratasi tindakan prosedur sebelum ketika pemeriksaan tersebut melibatkan
- Tampak rileks dilakukan pembedahan.
- Jadwalkan istirahat adekuat - Membatasi kelemahan, menghemat energi
dan periode menghentikan dan meningkatkan kemampuan koping.
tidur. - Mengurangi kecemasan klien
- Anjurkan keluarga untuk
menemani disamping klien
POST OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Kaji skala nyeri lokasi, - Berguna dalam pengawasan dan keefesien
dengan agen injuri fisik diharapkan nyeri berkurang dengan karakteristik dan laporkan obat, kemajuan penyembuhan,perubahan
(luka insisi post operasi kriteria hasil : perubahan nyeri dengan tepat. dan karakteristik nyeri.
appenditomi). - Melaporkan nyeri berkurang - Monitor tanda-tanda vital - Deteksi dini terhadap perkembangan
- Klien tampak rileks - Pertahankan istirahat dengan kesehatan pasien.
- Dapat tidur dengan tepat posisi semi powler. - Menghilangkan tegangan abdomen yang
- Tanda-tanda vital dalam batas normal - Dorong ambulasi dini. bertambah dengan posisi terlentang.
: TD (systole 110-130mmHg, diastole - Berikan aktivitas hiburan. - Meningkatkan kormolisasi fungsi organ.
70-90mmHg), HR(60-100x/menit), - Kolaborasi tim dokter dalam - Meningkatkan relaksasi.
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- pemberian analgetika. - Menghilangkan nyeri.
37,50C)
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji adanya tanda-tanda infeksi - Dugaan adanya infeksi
berhubungan dengan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan pada area insisi - Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis,
tindakan invasif (insisi kriteria hasil : - Monitor tanda-tanda vital. abses, peritonitis
post pembedahan). - Klien bebas dari tanda-tanda infeksi Perhatikan demam, menggigil, - Mencegah transmisi penyakit virus ke
- Menunjukkan kemampuan untuk berkeringat, perubahan mental orang lain.
mencegah timbulnya infeksi - Lakukan teknik isolasi untuk - Mencegah meluas dan membatasi
- Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) infeksi enterik, termasuk cuci penyebaran organisme infektif /
tangan efektif. kontaminasi silang.
- Pertahankan teknik aseptik - Menurunkan resiko terpajan.
ketat pada perawatan luka - Terapi ditunjukkan pada bakteri anaerob
insisi / terbuka, bersihkan dan hasil aerob gra negatif.
dengan betadine.
- Awasi / batasi pengunjung dan
siap kebutuhan.
- Kolaborasi tim medis dalam
pemberian antibiotik
3. Defisit self care Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Mandikan pasien setiap hari - Agar badan menjadi segar, melancarkan
berhubungan dengan diharapkan kebersihan klien dapat sampai klien mampu peredaran darah dan meningkatkan
nyeri. dipertahankan dengan kriteria hasil : melaksanakan sendiri serta cuci kesehatan.
- klien bebas dari bau badan rambut dan potong kuku klien. - Untuk melindungi klien dari kuman dan
- klien tampak bersih - Ganti pakaian yang kotor meningkatkan rasa nyaman
- ADLs klien dapat mandiri atau dengan yang bersih. - Agar klien dan keluarga dapat termotivasi
dengan bantuan - Berikan Hynege Edukasipada untuk menjaga personal hygiene.
klien dan keluarganya tentang - Agar klien merasa tersanjung dan lebih
pentingnya kebersihan diri. kooperatif dalam kebersihan
- Berikan pujian pada klien - Agar keterampilan dapat diterapkan
tentang kebersihannya. - Klien merasa nyaman dengan tenun yang
- Bimbing keluarga klien bersih serta mencegah terjadinya infeksi.
memandikan / menyeka pasien
- Bersihkan dan atur posisi serta
tempat tidur klien.
4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji ulang pembatasan - Memberikan informasi pada pasien untuk
tentang kondisi prognosis diharapkan pengetahuan bertambah aktivitas pascaoperasi merencanakan kembali rutinitas biasa
dan kebutuhan dengan kriteria hasil : - Anjuran menggunakan tanpa menimbulkan masalah.
pengobatan b.d kurang - menyatakan pemahaman proses laksatif/pelembek feses ringan - Membantu kembali ke fungsi usus semula
informasi. penyakit dan pengobatan bila perlu dan hindari enema mencegah ngejan saat defekasi
- berpartisipasi dalam program - Diskusikan perawatan insisi,
pengobatan termasuk mengamati balutan, - Pemahaman meningkatkan kerja sama
pembatasan mandi, dan dengan terapi, meningkatkan
kembali ke dokter untuk penyembuhan
mengangkat jahitan/pengikat - Upaya intervensi menurunkan resiko
- Identifikasi gejala yang komplikasi lambatnya penyembuhan
memerlukan evaluasi medic, peritonitis.
contoh peningkatan nyeri
edema/eritema luka, adanya
drainase, demam
DAFTAR PUSTAKA
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN PENYAKIT DEMAM THYPOID
2. Etiologi
Menurut Suratun & Lusianah (2010) etiologi dari demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella typhi (S. Typhi), Paratyphi A, Paratyphi B, and
Paratyphi C. Salmonella typhi merupakan basil gram negatif, berflagel
dan tidak berspora, anaerob fakultatif masuk ke dalam keluarga
enterobacteriaceae, panjang 1-3 um dan lebar 0.5-0.7 um, berbentuk
batang single atau berpasangan. Salmonella hidup dengan baik pada suhu
37°C dan dapat hidup pada air steilyang beku dan dingin, air tanah, air
laut dan debu selama berminggu-minggu, dapat hidup berbulan-bulan
dalam telur yang terkontaminasi dan tiram beku. Parasit hanya pada tubuh
manusi. Dapat dimatikan pada suhu 60°C selama 15 menit. Hidup subur
pada medium yang mengandung garam empedu. S typhi memiliki 3 macam
antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel),
dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan berbentuk
antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.
3. Manifestasi klinis
Menurut Ardiansyah (2012) gejala klinis demam tifoid pada anak
biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Penyakit ini masa tunasnya
10- 20 hari. Masa tunas tersingkat 4 hari, jika infeksi terjadi melalui
makanan. Sedangkan masa tunas terlama berlangsung 30 hari, jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat, yang kemudian disusul dengan gejala-gejala klinis
sebagai berikut:
a. Demam
Demam berlangsung selama tiga minggu, bersifat febris remiten, dan
dengan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama,
suhu berangsur-angsur meningkat, biasanya turun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada soredan malam hari. Pada minggu kedua, penderita
terus demam dan pada minggu ketiga demam penerita berangsur-angsur
normal.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Napas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih
kotor (coated tongue) ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati
dan limpa membesar, disertai nyeri pada perabaan.
c. Gangguan kesadaran
Kesadaran menurun, walaupun tidak terlalu merosot, yaitu apatis
sampai samnolen (keinginan untuk tidur dan terus tidur). Di samping
gejala-gejala tersebut, pada punggung dan anggota gerak juga
dijumpai adanya roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli
basil dalam kapiler kulit.
4. Patofisiologi
Kuman Salmonella typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam
lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di
tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi.
Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina propia, masuk
aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga
mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini
salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman
salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian
lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala
toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi
kemudian berdasarkan penelitian ekperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala
toksemia pada demam tifoid. Endotoksin salmonella typi berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi
lokal pada jaringan tempat salmonella typi berkembang biak. Demam pada
tifoid disebabkan karena salmonella typi dan endotoksinnya merangsang
sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang
meradang.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang
timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara berbagai bagian
dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu
gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis,
sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian hal
ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat
berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan membuat diagnosis klinis
demam tifoid.
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan
muntah pada penderita tifoid dapat menularkan kuman salmonella typhi
kepada oeang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara
lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh
orang yang sehat. Apabila makanan tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Kemudian kuman masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah
dan mencapai sel-sel retikuloendotetial. Sel-sel retikuloendotetial ini
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu (Padila, 2013).
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan
oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid,
karenamembantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang
sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi
antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan.
Selama masa inkubasi penderita tetap dalamkeadaan asimtomatis.
5. Pathways
6. Komplikasi
Komplikasi dari demam tifoid menurut Riyadi (2010) & Ngastiyah
(2012) dapat dibagi dalam intestinal dan ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal diantaranya ialah :
1. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi
melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda ranjatan.
2. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya
dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
3. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang
hebat dan dinding abdomen tegang.
Komplikasi ekstraintestinal diantaranya ialah :
a. Komplikasi cardiovaskuler: miakarditis, trombosis dan trombo
flebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombusta penia dan sindrom
urenia hemolitik
c. Komplikasi paru: premonia, emfiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitaris.
e. Komplikasi ginjal: glumerulonetritis, prelene tritis, dan perine pitis.
f. Komplikasi tulang: ostieomilitis, spondilitis, dan oritis.
7. Pemeriksaan diagnostic
a. Darah
Pada penderita demam thypoid bisa didapatkan anemia, jumlah lekosit
normal, bisa menurun, atau meningkat, kadang- kadang didapatkan
trombositopenia dan pada anak didapatkan aneosinofilia dan limfositisis
relatif. Penelitian yang dilakukan oleh Herawati (1999) di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung dan dilakukan pemeriksaan darah dengan
pasien demam thifoid dan didapatkan:anemia (48%), lekopenia (29%),
dan leukositosis (3,5%) sedangkan anesinofilia dan limfositosis
didapatkan pada 80 % kasus dan 91% penderita.
b. Uji Serologis
Uji srologis Widal mempunyai berbagai kelemahan baik sensivitas
dan spesifitasnya yang rendah maupun interpretasi yang sulit dilakukan.
Namun demikian hasil uji widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam thypoid. Biakan
empedu untuk menemukan salmonella thyposa dan pemeriksaan
Widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis
demam thypoid secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada
waktu masuk dan setiap minggu berikutnya (diperlukan darah vena
sebanyak 5 cc untuk kultur/widal). Biakan empedu hasil salmonella
thyposa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama
sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan
mungkin akan positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu
pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk
menegakan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin
dan feses dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa
pasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawakuman.
c. Pemeriksaan Widal
Dasar pemikiran ialah aglutinasicyang terjadi bila serum pasien
thypoid dicampur dengan suspensi antigen salmonella thyposa.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan
cara mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan rekasi aglutinasi.
Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadapat
antigen O. Titer bernilai1/200 atau lebih dan atau menunjukan kenaikan
yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer
terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap
tinggi setelah mendapat imunisasi atau pasien lama sembuh.
Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-
sungguh menderita demam typhoid.
d. Isolasi Kuman
Pemeriksaan isolasi kuman diagnosis pasti demam thypoid dilakukan
dengan isolasi S.typhi isolasi kuman penyebab demam thypoid
dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat didalam
tubuh (Rusepno Hassan, 2007).
8. Penatalaksanaan
Menurut Suratun & Lusianah (2010) pengobatan / penatalaksanaan
pada penderita Demam tifoid adalah sebagai berikut:
a. Istirahat ditempat tidur, untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan minimal 7 / 14 hari. Mobilisasi
bertahap, sesuai dengan pulihnya keadaan pasien. Tingkatkan
hygiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
peralatan yang dipakai oleh pasien. Ubah posisi minimal tiap 2 jam
untuk menurunkan resiko terjadi dekubitus. Defekasi dan buang air
kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan
retensi urin, isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan eksreta
pasien.
b. Diet dan terapi penunjang. Diet makanan harus mengandung cukup
cairan dan tinggi protein, serta rendah serat. Diet bertahap mulai dari
bubur saring bubur kasar hingga nasi. Diet tinggi serat akan
meningkatkan kerja usus sehingga resiko perforasi usus lebih tinggi.
c. Pemberian antibiotika, anti radang anti inflamasi dan anti piretik.
a. Pemberian antibiotika
1. Amoksilin 100 mg/hari, oral selama 10 hari.
2. Kotimoksazol 6 mg/hari, oral. Dibagi dalam 2 dosis selama
10 hari.
3. Seftriakson 80 mg/hari, IV atau IM, sekali sehari selama 5
hari.
4. Sefiksim 10 mg/hari, oral dibagi dalam 2 dosis selama 10
hari.
5. Untuk anak pilihan antibiotika yang utama adalah
kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi
pemberantasan/ eradikas kuman serta waktu perawatan
dipersingkat.
b. Anti radang (antiinflamasi). Kortikosteroid diberikan pada kasus
berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/hari
IV, dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran membaik.
c. Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol.
d. Antiemetik untuk menurunkan keluhan mual dan muntah pasien.
3. Intervensi
a. Hipertermi
Diagnosa Keperawatan / Rencana Keperawatan
Masalah Kolaborasi NOC NIC
Hipertermi (00007) Setelah dilakukan Regulasi suhu :
Domain : 11 Keamanan / tindakan keperawatan .... 1. Monitor minimal tiap 2 jam
perlindungan x24 jam hipertermi pasien 2. Rencanakan monitoring
Kelas : 6 Termoregulasi berkurang dengan suhu secara kontinyu
Definisi : peningkatan indikator : 3. Monitor TD, nadi, dan RR
suhu tubuh di atas rentang 1. Suhu tubuh menurun 4. Monitor warna dan suhu
normal. 2. Tidak dehidrasi kulit
3. Frekwensi pernapasan 5. Monitor tanda-tanda
Batasan karakteristik :
dalam batas normal. hipertermi dan hipotermi
1. Kulit kemerahan
4. Tidak gelisa 6. Tingkatkan intake cairan
2. Peningkatan suhu
5. Tidak ada sakit kepala dan nutrisi
tubuh di atas kisaran
6. Tidak ada nyeri otot 7. Selimuti pasien untuk
normal
7. Tidak ada perubahan mencegah hilangnya
3. Kejang
warna kulit Tidak ada kehangatan tubuh
4. Kulit terasa hangat
tremor 8. Ajarkan pada pasien cara
Factor yang berhubungan mencegah keletihan akibat
: panas
1. Obat atau Anastesia 9. Diskusikan tentang
2. Pemajanan lingkungan pentingnya penagturan
yang panas suhu dan kemungkinan efek
3. Penyakit negatif dari kedinginan
4. Pemakaian pakaian 10. Berikan antipiretik jika
yang tidak sesuai perlu
dengan suhu
lungkungan
5. Peningkatang laju
metabolisme
6. Aktivitas Berlebihan
b. Nyeri akut
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
NOC NIC
Nyeri Akut (D.0077) Manajemen Nyeri / Pain Manajemen Nyeri / Pain
Kategori : Psikologis Management Management
Subkategori : Nyeri dan Indikator : Lakukan pengkajian
Kenyamanan Melaporkan kesejahteraan nyeri secara
Definisi fisik dan psikologis komprehensif
Pengalaman sensorik atau Menggunak an tindakan (PQRST)
emosional yang berkaitan meredakan nyeri dengan Observasi reaksi non
dengan kerusakan jaringan analgesic verbal dari
aktual atau fungsional, Melaporkan kesejahteraan ketidaknyamanan
dengan onset mendadak fisik dan psikologis Gunakan tekhnik
atau lambat dan
Pengendalian Nyeri / Pain komunikasi terapeutik
berintensitas ringan hingga
Control untuk mengetahui
berat yang berlangsung
Indikator : pengalaman nyeri
kurang dari 3 bulan
Memperlihatkan teknik pasien
Batasan Karakteristik:
relaksasi secara individual Ajarkan tekhnik non
Gejala dan Tanda
yang efektif untuk farmakologi (napas
Mayor
mencapai kenyamanan dalam, distraksi,
Subjektif : Nyeri
Menggunak an tindakan visualisasi, bimbingan
Objektif meredakan nyeri dengan imajinasi)
➢ Tampak Mering non analgesic secara tepat Monitor penerimaan
➢ Bersikap Tidak mengalami pasien tentang
Proktektif (mis : gangguan dalam frekuensi mananjemen nyeri
waspada, posisi
pernafasan, frekuensi Pengendalian Nyeri /
menghindari nyeri)
➢ Gelisah jantung, atau tekanan Pain Control
➢ Frekuensi darah Kontrol lingkungan
Nadi Meningkat Tingkat Kenyamanan / yang dapat
➢ Sulit Tidur Comfort Level mempengaruhi nyeri
Gejala dan Tanda Indikator : seperti suhu ruangan,
Minor Mengenali factor pencahayaan dan
Subjektif : (Tidak penyebab dan kebisingan
Tersedia) menggunakan tindakan Kurangi faktor
Objektif : untuk memodifikasi factor presipitasi nyeri
➢ Tekanan Darah tersebut Tingkatkan istirahat
Meningkat Melaporkan nyeri Evaluasi keefektifan
➢ Pola Nafas Berubah berkurang pada tingkat kontrol nyeri
➢ Nafsu Makan skala nyeri 0-10 Tingkat Kenyamanan /
Berubah Comfort Level
➢ Proses Berfikir Tentukan lokasi
Terganggu karakteristik kualitas
➢ Menarik Diri dan derajat nyeri
➢ Berfokus Pada sebelum pemberian
Diri Sendiri obat.
➢ Diaforesis Periksa instruksi
Faktor Yang dokter tentang jenis
Berhubungan: obat, dosis dan
Agen Pencedera Fisiolo
frekuensi
gis (inflamasi, Iskemia,
Berikan analgetik
Neoplasma)
tepat waktu terutama
Agen Pencedera
saat nyeri hebat
Kimiawi (terbakar,
Monitor vital sign
bahan kimia iritan)
sebelum dan sesudah
Agen Pencedera Fisik
pemberian analgetik
(abses, amputasi,
Evaluasi efektivitas
terbakar, terpotong,
pemberian analgetik
mengangkat berat,
prosedur operasi,
trauma, latihan fisik
berlebihan)
Kondisi Klinis Terkait :
Kondisi Pembedahan
Cedera Traumatis
Infeksi
Sindrom Koroner Akut
Glaukoma
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HATI
2. FISIOLOGI
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fung hati yaitu :
1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari
usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen
lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen
menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut
glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama
glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa
monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa
mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari
nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3
karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).
2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1) Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2) Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam
lemak dan gliserol)
3) Pembentukan cholesterol
4) Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
5) Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan
ekskresi kholesterol. Dimana serum Cholesterol menjadi standar
pemeriksaan metabolisme lipid
3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam
amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari
bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk
plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi
urea.Urea merupakan end product metabolisme protein.∂ - globulin
selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang β –
globulin hanya dibentuk di dalam hati.albumin mengandung ±
584 asam amino dengan BM 66.000
4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin,
faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang
beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung –
yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat
pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K
dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
6. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai
macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.
7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.
8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam
a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan
dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari,
shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
3. ETIOLOGI
Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang memiliki dua klasifikasi
etiologi, yakni etiologi yang diketahui penyebabnya dan etiologi yang tidak
diketahui penyebabnya. Telah diketahui juga bahwa penyakit ini merupakan
stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati
(Sujono H, 2002). Etiologi sirosis hepatis yang diketahui penyebabnya meliputi:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari sirosis
hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa
serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis
virus Penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis
karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
2. Alkohol
Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras
(Brunner & Suddarth, 1996). Alkohol dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik
akan berupa sirosis hepatis. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah
penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi, 2002).
3. Malnutrisi
Faktor kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein hewani menjadi
penyebab timbulnya sirosis hepatis. Menurut Campara (1973) untuk
terjadinya sirosis hepatis ternyata ada bahan dalam makanan, yaitu
kekurangan alfa 1-antitripsin.
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak,
dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut
Kayser Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan
sitoplasmin.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu :
a. penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe sejak dilahirkan
b. kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari
Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hepatis.
6. Sebab-sebab lain
a. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi
dan nekrosis sentrilibuler.
b. Sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
Sedangkan, untuk etiologi sirosis hepatis yang tidak diketahui penyebabnya
dinamakan sirosis kriptogenik. Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan
tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, Sedangkan dalam makanannya cukup
mengandung protein. Berdasarkan etiologi-etiologi tersebut, sirosis hepatis
digolongkan menjadi tiga tipe (Brunner & Suddarth, 1996). , yakni:
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara
khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholisme kronis.
2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).
4. PATOFISIOLOGI
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian. Kejadian
tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis
atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alkohol aktif.
Hal ini kemudian membuat hati merespon kerusakan sel tersebut dengan
membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan
proteoglikans, dimana sel yang berperan dalam proses pembentukan ini adalah sel
stellata. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks
ini dimana akan memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati sehingga ditemukan pembengkakan pada
hati.
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran
dari fenestra endotel hepatik menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti
endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen
mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal.
Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan
penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke
sel hati dan pada akhirnya sel hati mati. Kematian hepatocytes dalam jumlah yang
besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga
menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat
menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab
terjadinya manifestasi klinis.
Mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi
terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, biasanya terjadi peningkatan aliran
arteria splangnikus. Kombinasi kedua faktor ini yaitu menurunnya aliran keluar
melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama yang
menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan sistem portal ini
merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik
(varises).
Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume intravaskuler
sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma
rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur
keseimbangan elektrolit terutama natrium . Dengan peningkatan aldosteron maka
terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan dan
lama-kelamaan menyebabkan asites dan juga edema.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan penyakit
hati menahun yang ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul
dimana terjadi pembengkakan hati. Etiologi sirosis hepatis ada yang diketahui
penyebabnya, misal dikarenakan alkohol, hepatitis virus, malnutrisi,
hemokromatis, penyakit Wilson dan juga ada yang tidak diketahui penyebabnya
yang disebut dengan sirosis kriptogenik. Patofisiologi sirosis hepatis sendiri dimulai
dengan proses peradangan, lalu nekrosis hati yang meluas yang akhirnya
menyebabkan pembentukan jaringan ikta yang disertai nodul.
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
4. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
5. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah
jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh :
Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time (Quick %) > 70 40 - < 70 < 40
Asites 0 Min. – sedang Banyak (+++)
(+) – (++)
Hepatic Ensephalopathy Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4
6. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis dari sirosis tergantung pada penyakit penyebab serta
perkembangan tingkat kegagalan hepatoselullar dan fibrosisnya. Manifestasi klinis
sirosis umumnya merupakan kombinasi dari kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta.
Berdasarkan stadium klinis sirosis dapat dibagi 2 bentuk:
1. Stadium kompensata
Pada keadaan ini belum ada gejala klinis yang nyata, diagnosisnya sering
ditemukan kebetulan.
2. Stadium dekompensata
Sirosis hati dengan gejala nyata, gejala klinik sirosis dekompensata melibatkan
berbagai sistem. Pada gastrointestinal terdapat gangguan saluran cerna seperti mual,
muntah dan anoreksia sering terjadi. Diare pada pasien sirosis dapat terjadi akibat
malabsorbsi, defisiensi asam empedu atau akibat malnutrisi yang terjadi. Nyeri
abdomen dapat terjadi karena gallstones, refluk gastroesophageal atau karena
pembesaran hati. Hematemesis serta hematokezia dapat terjadi karena pecahnya varises
esophagus ataupun rektal akibat hipertensi porta.
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang diproyeksikan ke
dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal. Hipertensi portal adalah
peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10 mmHg yang menetap, sedangkan
tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 –10 mmHg. Hipertensi portal paling sering disebabkan
oleh sirosis hati. Sekitar 50% pasien dengan sirosis hati akan terbentuk varises esofagus, dan
sepertiga pasien dengan varises akan terjadi perdarahan yang serius dari varisesnya dalam
hidupnya.
Perdarahan varises esofagus mempunyai rata-rata morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas lainnya seperti misalnya ulkus
peptikus. Bila tidak di terapi, mortalitas varises esofagus adalah 30–50%, namun bila dilakukan
terapi maka mortalitasnya menurun hingga 20%. Prinsip pemberian farmakoterapi adalah
menurunkan tekanan vena porta dan intravena.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hiporom
normositer, hipokrom mikrositer. Anemia bisa akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia. Kolesterol darah yang selalu rendah
mempunyai prognosis kurang baik.
b. Kenaikan kadar transaminase (SGOT/SGPT) tidak merupakan petunjuk
berat dan luasnya kerusakan parenkim hati. Kenaikan kadarnya dalam serum
timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan. Peninggian
kadar gamma GT sama dengan transaminase, lebih sensitf tapi kurang spesifik.
c. Albumin : Kadar albumin yang merendah merupakan cerminan kemampuan
sel hati yang kurang. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar
globulin merupakan tanda kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stress
seperti tindakan operasi.
d. Pemeriksaan CHE(kolinesterase) : penting dalam menilai sel hati. Bila
terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun, pada perbaikan terjadi
kenaikan CHE menuju nilai normal. Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai
normal mempunyai prognosis yang jelek.
e. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet. Dalam hal ensefalopati, kadar Na 500-1000,
mempunyai nilai diagnostik suatu kanker hati primer.
f. Radiologi.
g. Esofagoskopi
h. Ultrasonografi Tomografi komputerisasi
i. Angiografi selektif
j. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan
melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakteriai
spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat, dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase.
8. PENATALAKSANAAN
1. Pembatasan aktifitas fisik tengantung pada penyakit dan toleransi fisik penderita.
Pada stadium kompensata dan penderita dengan keluhan gejala ringan dianjurkan
cukup istirahat dan menghindari aktifitas fisik berat.
2. Pengobatan berdasarkan etiologi
3. Dietetik
a. Protein diberikan 1,5-2,5 gram/hari. Jika terdapat ensepalopati protein harus
dikurangi (1gram/kgBB/hari) serta diberikan diet yang mengandung asam
amino rantai cabang karena dapat meningkatkan penggunaan dan
penyimpanan protein tubuh.
b. Kalori 150 % dan kecukupan gizi yang dianjurkan (RDA)
c. Lemak diberikan 30-40% dari jumlah kalori
d. Vitamin tenutama vitamin yang larut dalam lemak diberikan 2 kali kebutuhan
RDA12.
e. Natrium dan cairan tidak perlu dikurangi kecuali ada asites
4. Medikamentosa
a. Asam ursodeoksilat merupakan asam empedu tersier yang mempunyai sifat
hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu
primer dan sekunder. Bekerja sebagai kompentitif binding terhadap asam
empedu toksik. Sebagai hepatoprotektor dan bile flow inducer. Dosis 10-30
mg/kg/hari.
b. Kolestiramin bekerja dengan mengikat asam empedu di usus halus sehingga
terbentuk ikatan komplek yang tak dapat diabsorbsi ke dalam darah sehingga
sirkulasinya dalam darah dapat dikurangi. Obat ini juga berperanan sebagai
anti pruritus. Dosis 1 gram/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu.
c. Colchicines 1 mg/hari selama 5 hari setiap minggu memperlihatkan adanya
perbaikan harapan hidup dibandingkan kelompok placebo.
d. D-penicilamine. Pemberian penicilamin selama 1-7 tahun pada pasien dengan
Indian Chilhood cirrhosis ternyata memberikan perbaikan klinik, biokimia dan
histology.
e. Cyclosporin; pemberian cyclosporine A pada pasien sirosis bilier primer
sebanyak 3mg/kgbb/hari akan menurunkan mortalitas .
f. Obat yang menurunkan tekanan vena portal, vasopressin, somatostatin,
propanolol dan nitrogliseñn
g. Antivirus pemberiannya bertujuan untuk menghentikan replikasi virus dalam sel
hati.
5. Mencegah dan mengatasi komplikasi yang terjadi
a. Pengobatan Hipertensi portal
b. Asites
Asites dapat diatasi dengan retriksi cairan serta diet rendah natrium
(0,5mmol/kgbb/hari),10-20% asites memberikan respon baik dengan terapi
diet. Bila usaha ini tidak berhasil dapat diberikan diuretik yaitu antagonis
aldosteron seperti spironolakton dengan dosis awal 1 mg/kgbb yang dapat
dinaikkan bertahap 1 mg/kgbb/ harisampai dosis maksimal 6 mg/ kgbb/hari.
Bila hasil tidak optimal dapat ditambahkan furosemid dengan dosis awal 1-2
mg/kgbb/hari dapat dinaikan pula sampal 6 mg/kgbb/hari.
c. Transplatasi hati, merupakan merupakan terapi standar untuk anak dengan
penyakit sirosis.
9. KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah
sehingga timbul perdarahan.
3. Koma Hepatikurn.
4. Ulkus Peptikum
5. Karsinoma hepatosellular
6. Infeksi
7. Hepatic encephalopathy
8. Hepatorenal Syndrome
9. Hepatopulmonary Syndrom
10. Hypersplenism
11. Edema dan ascites
4. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (1996). Textbook of Medical-Surgical Nursing. 8th ed. Philadephia.
Lippincott-Raven Publishers
Tarigan, P., Zain LH., Saragih DJ., Marpaung B. (1981). Tinjauan Penyakit Hati di
Rumah Sakit Pringadi Medan. Semarang: FK UNDIP.
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM PERKEMIHAN
(CKD, BPH)
A. PENGERTIAN
Berikut ini adalah pengertian tentang CKD menurut beberapa ahli dan sumber
diantaranya adalah :
1. Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap
akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea
dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare,
2001).
2. CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai
nama keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita
sadari bahwa gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam
darah (Sibuea, Panggabean, dan Gultom, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah
penyakit ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total
seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan
oleh berbagai hal. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.
a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90
ml/menit/1,73 m2.
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60-89
ml/menit/1,73 m2.
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-
59 ml/menit/1,73 m2.
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15-29
ml/menit/1,73 m2.
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
2. Fisiologi.
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan
urin menurut Syaeifudin (2006). a. Fungsi ginjal.
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem
lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagi organ ekresi dan
non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam
bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur
tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis
sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping
itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif),
yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus. b. Peroses pembentukan
urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal.
Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah,
kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi
(Syaefudin, 2006) :
a. Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses
aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke
tubulus ginjal.
b. Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi
secara pasif yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada
tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan
kembali natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi
secara aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papila renalis.
c. Proses eksresi
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus
dan diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan
masuk ke fesika urinaria.
D. ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson
(2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit
vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter,
penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari
golongan penyakit tersebut adalah :
E. PATHOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi
glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga
kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak
hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan
ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan
cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
Asidosis metabolic terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium
bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin
menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin
yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi
dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama
dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang.
Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun.
Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain
itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal
dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi
penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal
terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari
ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara
signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung
akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
F. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang
mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio
vaskuler, dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan
psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium
dari aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual
sampai dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmol, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi
feron.
7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.
G. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
H. PENATALAKSANAAN
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum. Menurut
Suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel
berikut :
Tabel 2.1
Derajat CKD
(ml/mnt/1,873 m2)
1 > 90 kondisikomorbid,evaluasipemburukan
kardiovaskuler.
ginjal.
A PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang
tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa / zat
logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih,
dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan
terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang
sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari
dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat
bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang
telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan
nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
e. Aktifitas dan latian
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta
pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
f. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung
mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
g. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
h. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri
sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri,
tertutup, komunikasi tidak jelas.
i. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan
saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
j. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi
edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan
peran, dan percaya diri.
k. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil
keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
l. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan
kegiatan agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri.
Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat
ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1) Urin
1. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak
ada (anuria).
2. Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh
pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor,
warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan
porfirin.
3. Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
4. Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
2) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
4) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga
ada.
5) Darah
1. Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar
kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5).
2. Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia.
Hb biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
3. SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada
defisiensi eritropoetin seperti pada azotemia.
4. GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik
(kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal
untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
5. Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan
natrium atau normal (menunjukkan status dilusi
hipernatremia).
6. Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan
(hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG mungkin
tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun.
Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar
dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran
ginjal dan adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
5) KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter
/ kandung kemih dan adanya obtruksi (batu).
6) Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan
megidentifikasi ekstravaskuler, massa.
7) Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis
ginjal.
8) Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran
kandung kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi.
9) Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat
ketat dengan diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta
dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan
cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10) pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi
obat anti hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna
sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya nanti
akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada masalah CKD menurut Doenges (2001), dan
Carpenito (2006) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia mual muntah.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus
sekunder terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler
sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan
elektrolit).
8. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit atau uremia.
9. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis,
akumulasi toksik, asidosis metabolik, hipoksia, ketidak seimbangan
elektrolit, klasifikasi metastatik pada otak.
a) Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan dasar
kuku.
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan
perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan tubuh
b) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan
oksigenasi untuk kebutuhan seluler, vasokonstrisi (ke organ vital)
menurunkan sirkulasi perifer.
c) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh
hangat sesuai dengan indikasi.
Rasional : Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus
seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan
pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ).
d) Kolaborasi untuk pemberian O2.
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
e) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin).
Rasional : Mengetahui status transport O2.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Kelebihan cairan / edema tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tercipta kepatuhan pembatasan diet dan cairan, turgor kulit
normal tanpa edema, dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi
a. Monitor status cairan, timbang berat badan harian, keseimbangan
input dan output, turgor kulit dan adanya edema, tekanan darah,
denyut dan irama nadi.
Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal,
keluaran urine dan respons terhadap terapi.
c. Identifikasi sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang
digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena.
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan.
e. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet.
f. Kolaborasi pada medis dalam pembatasan cairan intravena antara 5-10
tetes permenit, dan pembatasan obat-obatan cair.
Rasional : dengan pembatasan cairan intravena dapat membantu
menurunkan resiko kelebian cairan.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil : Berpartisipasi dalam aktivitas keluwarga sesuai kemampuan
melaporkan peningkatan rasa segar dan bugar, melakukan istirahat dan
aktivitas secara bergantian, berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri
yang dipilih.
Intervensi :
a) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan, anemia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah,
dan depresi.
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat
keletihan.
b) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan / sedang dan
memperbaiki harga diri.
c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
d) Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialisis, yang bagi banyak pasien sangat
melelahkan.
6. Resti gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru sekunder terhadap adanya edema pulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan
pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan
pertukaran gas efektif, GDA dalam rentang normal, tidak ada tanda sianosis
maupun hipoksia, traktil fremitus positif kanan dan kiri, bunyi napas tidak
mengalami penurunan, auskultasi paru sonor, tanda-tanda vital dalam batas
normal : RR 16-24 x/menit.
Intervensi :
a) Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b) Auskultasi bunyi napas.
Rasional : Untuk mengetahui keadaan paru yang menunjukkan adanya
edema paru.
c) Catat pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun
apabila terjadi ansietas atau udema pulmoner.
d) Kaji traktil fremitus.
Rasional : Traktil fremitus dapat negative pada klien dengan edema
pulmoner.
e) Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler. Rasional :
Meningkatkan ekspansi paru.
f) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indicator keadaan
status cairan.
g) Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi
dari implementasi.
h) Kolaborasikan pemberian oksigen.
Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler
sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan
elektrolit).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat
dipertahankan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur, akral hangat, Capillary refil
kurang dari 3 detik, nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1
mmol/L, urea 15-39 mg/dl).
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah,
perhatikan postural misalnya duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik,
mengi dan edema.
b) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.
Rasional : Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan
defisit cairan.
c) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi frictionrub, tekanan darah, nadi
perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d) Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga
anemia.
e) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi
jantung.
f) Berikan obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi. Rasional :
Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
8. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah
kerusakan atau cidera kulit, tidak terjadi kerusakan integritas kulit dan tidak
terjadi edema.
Intervensi :
a) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan
adanya kemerahan, ekimosis.
Rasional : Menandakan adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
b) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit serta membran mukosa.
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
c) Inspeksi area tubuh terhadap edema.
Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
d) Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri
bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan
peninggian aliran balik statis vena sebagai pembentukan edema.
e) Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
f) Pertahankan kuku pendek.
Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.
9. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan sosiologis,
akumulasi kultur, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan lektrolit
dan klasifikasi metastatik pada otak.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
atau mempertahankan proses pikir dan harga diri pasien tidak turun.
Kriteria hasil : tidak terjadi disorientasi orang, tempat dan waktu serta tidak
terjadi perubahan prilaku pada pasien.
Intervensi :
a. Observasi luasnya gangguan kemampuan berpikir, mental, dan
orientasi. Perhatikan juga luas lapang pandang.
Rasional : Efek sindrom uremik dapat terjadi dengan kekacauan
pikiran dan berkembang pada perubahan prilaku sehingga tidak dapat
menyerap informasi sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam
keperawatan.
b. Validasi pada orang terdekat pasien tentang kondisi mental pasien
dalam sehari-hari.
Rasional : Perbandingan antara perburukan dan perbaikan gangguan
c. Berikan lingkungan yang tenang.
Rasional : Meminimalkan rangsang lingkungan untuk menurunkan
keletian sensori.
d. Orientasikan kembali lingkungan, waktu, dan orang.
Rasional : Mempantu pasien mengingat dan mengenal kembali
keadaan sekitarnya.
e. Berikan penjelasan pada pasien tentang penyakit, akibat, gejala, dan
penatalaksanaannya.
Rasional : Memberi informasi pada pasien dan menghilangkan
kecemasan pasien.
f. Motivasi pasien untuk tetap semangat, tidak cemas, untuk berusaha
bergaul dengan orang sekitar tanpa rasa malu dan tetap percaya diri.
Rasional : Meningkatkan rasa percaya diri pasien, mencegah proses
menarik diri pada pasien dan meningkatkan keyakinan pasien.
g. Meningkatkan istirahat yang adekuat.
Rasional : gangguan tidur dapat meningkatkan gangguan kemampuan
koknitif lebih lanjut.
h. Beri O2 sesuai indikasi.
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat memperbaiki kognitif.
LAPORAN PENDAHULUAN BPH
1. Definisi
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat. Hal ini mengacu pada stroma dan hyperplasia epitel yang terjadi
di zona transisi periuretra dari prostat yang mengelilingi uretra.
Manifestasi klinis dari BPH sebagai gejala saluran kemih bagian bawah
yang terdiri dari gejala iritatif (urgensi, frekuensi, dan nokturia) dan gejala
obstruktif (pancaran lemah dan terputus – putus, mengedan saat mulai
berkemih, tidak lampias, hesitensi) (Miller, et al. 2011).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH
adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab
antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan
hiperplasi stroma.
c. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
(Menurut Wiyono, 2016)
3. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat.Faktor hormonal tersebut
mempunyai pengaruh yang berbeda pada masing – masing laki – laki
dewasa (Roehrborn, et al.2002). Pertumbuhan prostat terjadi melalui dua
cara. Cara pertama, multiplikasi sel disekitar uretra, sedangkan cara kedua
melalui pertumbuhan lobus medius dimana sel – sel prostat tumbuh
mendesak ke arah uretra daan daerah bladder neck (Greenstein, 2009).
Jumlah sel dan volume dari suatu organ, termasuk prostat tergantung
pada keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Sebuah organ
dapat membesar tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi
sel, tetapi dapat juga disebabkan oleh menurunnya kematian sel.
Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan pada sebuah model
eksperimen menstimulasi proliferasi sel, tetapi proliferasi sel yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat pada manusia masih menjadi
pertanyaan, sebab tidak secara jelas terjadi proses proliferasi yang aktif.
Androgen tidak hanya dibutuhkan untuk proses proliferasi yang normal dan
diferensiasi dan kelenjar prostat saja, tetapi juga secara aktif menghambat
kematian sel.
Androgen adalah hormon seks pria yang amat penting pada proses
pertumbuhan dan perkembangan organ aksesori pria serta pertumbuhan
BPH. Adanya hormone Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH)
yang dihasilkan oleh hipotalamus merangsang hipofisis untuk
menghasilkan Luteinizing Hormon (LH) (gambar 2.1).LH ini kemudian
merangsang sel Leydig dalam testis untuk mensekresi hormon testosteron
dan pregnolon yang bersifat reversibel.
Testosteron adalah androgen utama yang menstimulasi pertumbuhan
kelenjar prostat. Testosteron diproduksi oleh tubuh setiap harinya berkisar
antara 6 mg hingga 7 mg. Dari keseluruhan testosterone yang diproduksi
oleh tubuh, 95% testosteron diproduksi oleh sel leydig, sedangkan 5%
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Testosteron kemudian mengalami proses
reduksi menjadi dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α reduktase, atau
berubah menjadi estrogen oleh pengaruh enzim aromatase, dan proses ini
bersifat irreversible. DHT ini lebih kuat afinitasnya terhadap androgen
reseptor daripada testosterone di dalam inti sel. Setelah berikatan dengan
androgen reseptor akan mempengaruhi deoxyribo nucleic acid (DNA)
dalam inti sel, kemudian ditranskripsi menjadi messenger ribo nucleic
acid (mRNA ) selanjutnya terbentuk protein growth factor dan PSA.
Growth factor inilah yang menjadikan prostat tumbuh menjadi
besar.Peranan testosterone ini cukup besar terhadap prostat. Hal ini
terbukti apabila anak laki – laki yang dilakukan kastrasi sebelum dewasa,
maka prostatnya tidak akan tumbuh menjadi BPH pada usia lanjut
(Roehrborn,et al.2002). Meskipun diketahui bahwa androgen memiliki
peranan yang penting dalam perkembangan prostat yang normal, tetapi
testosterone atau DHT tidak pernah terbukti berperan secara langsung
sebagai mitogen pertumbuhan BPH pada pria berusia tua. Hal ini dibuktikan
pada kultur sel epitel prostat, yang mana hormon tersebut tidak pernah
memiliki efek mitogenik (Hayward, et al.2009; Brosman, 2009).
Hiperplasia prostat mengakibatkan peningkatan tahanan outflow urine
pada daerah bladder neck akibat gangguan mekanisme pembukaan
bladder neck sewaktu miksi.Hiperplasia prostat juga menyebabkan
perubahan fungsi buli – buli.Peningkatan tekanan detrusor diperlukan untuk
tetap mempertahankan pancaran miksi normal pada keadaan
peningkatan tahanan outflow urine. Perubahan fungsi detrusor akibat
obstruksi dan perubahan sistem saraf buli – buli pada usia tua menyebabkan
beberapa keluhan utama frequency, urgency, dan nocturia (Claus,et
al.2007). Korelasi antara besarnya prostat dengan gejala gangguan miksi
dan residual urin tidak jelas.Prostat yang besar tidak selalu
mengakibatkan gangguan miksi, sebaliknya pada fibrotik prostat dimana
prostatnya kecil dapat timbul gangguan miksi yang hebat (Claus, et al.
2007).
Buli – buli memompakan urine ke luar tubuh harus berkontraksi lebih
kuat untuk mengimbangi tahanan outflow pada bladder neck.Seiring dengan
ini maka otot detrusor buli – buli mengalami hipertrofi, akibatnya terbentuk
trabekula, cellula dan divertikula.Sedangkan tekanan di dalam buli – buli
dapat meningkat dari 20-40 cm air menjadi 50-100cm air atau lebih hingga
melampaui tahanan outflow.Keadaan ini kita sebut masa kompensasi. Bila
proses berlangsung terus dan tahanan outflow meningkat, maka daya
kontraksi dan tekanan di dalam buli – buli meningkat lebih tinggi lagi untuk
mengimbangi daya tahanan outflow.
Pancaran urine semakin lama semakin lemah, aliran urine kecil sehingga
penderita harus menunggu sebentar untuk memulai miksi.Pada suatu saat
daya kontraksi otot detrusor melemah, masa kontraksi menjadi lebih
pendek, otot detrusor menipis sehingga terjadi masa dekompensasi.Pada
masa dekompensasi daya pompa buli – buli untuk mengalirkan urine
keluar tubuh lebih kecil dari pada daya tahanan outflow, sehingga
pengosongan buli – buli tidak sempurna dan terdapat sisa urine (residual
urine) di dalam buli – buli.Pada masa dekompensasi ini sisa urine semakin
lama semakin bertambah banyak.Dengan demikian daya tamping dari buli
– buli jadi lebih kecil.Hajat miksi jadi lebih sering, sedangkan daya
kontraksi otot detrusor sudah melemah. Penderita harus mengejan untuk
miksi, tetapi pancaran urine tetap lemah, aliran urine semakin kecil, menetes
dan akhirnya pengeluaran urine menjadi tertahan dari subtotal menjadi total.
Ada dua macam masa dekompensasi yaitu masa dekompensasi akut
dan masa dekompensasi kronis. Pada masa dekompensasi kronis buli –
buli membesar dan meregang dengan hebatnya sehingga daya kontraksi
menghilang dan mengakibatkan overflow incontinence (Claus, et al.2007).
Secara histopatologis, BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel –
sel epithelial dan stromal di daerah periuretra prostat.Peningkatan jumlah
sel disebabkan oleh proliferasi epithelial dan stromal atau gangguan
program kematian sel (impaired programmed cell death) yang
mengakibatkan akumulasi seluler (celluler accumulation). Hormon
androgen, estrogens, interaksi epitel stromal, growth factors, dan
neurotransmitter mempunyai peran, baik secara sendiri – sendiri ataupun
kombinasi pada proses hyperplasia prostat (Claus, et al.2007)
Pertumbuhan BPH memerlukan androgen testikular selama
pertumbuhan prostat, saat pubertas, dan penuaan.Pasien yang menjalani
kastrasi atau terdapat kelainan genetik yang menyebabkan gangguan
produksi androgen terbukti prostat tidak tumbuh menjadi BPH. Dari
beberapa penelitian, ditemukan tidak ada kaitan yang jelas antara kadar
androgen di dalam serum dengan ukuran prostat. Di dalam prostat,
membrane nucleus (nuclear membrane) mengikat enzyme steroid 5α –
reductase untuk mengubah hormone testosterone menjadi
dehydrotestosteron (DHT), yang merupakan androgen utama prostat
(McConnell, 2005). Sembilan puluh persen androgen prostat berbentuk
DHT, yang merupakan derivat utama dari androgen testicular.Sedangkan
androgen adrenal menyumbangkan 10% dari keseluruhan androgen
prostat.
Di dalam sel, kedua hormon baik androgen testosteron maupun DHT
menempel pada androgen receptor protein (AR).Androgen DHT lebih
potensial dari pada testosterone karena lebih tinggi afinitasnya (affinity)
terhadap AR. Apalagi komplek DHT – reseptor lebih stabil dari pada
komplek testosterone – receptor. Komplek hormon – reseptor ini
kemudian menempel pada spesifik DNA yang terdapat di dalam nucleus,
yang mengakibatkan peningkatan transcription of androgen – dependent
genes dan selanjutnya akan menstimulasi sintesis protein. Sedangkan
androgen withdrawal dari androgen – sensitive tissue menyebabkan
penurunan sintesa protein.
Disamping inaktivasi key androgen – dependent genes (misalnya
prostate specific antigen), androgen withdrawal menyebabkan aktivasi
spesifik gen yang terlibat dalam program kematian sel. Walaupun peran
androgen penting dalam pertumbuhan prostat normal dan sekresi
fisiologis, namun tidak terdapat bukti bahwa testosterone maupun DHT
memberikan pengaruh langsung sebagai mitogen pertumbuhan prostat
pada pria usia lanjut. Namun demikian , beberapa faktor pertumbuhan dan
reseptornya diatur oleh androgen. Sehingga, peran testosterone dan DHT
di dalam prostat adalah sebagai mediator tidak langsung melalui autocrine
dan paracrine pathways (Claus, et al.2007).
Organ prostat tidak seperti organ yang lain dalam hal kemampuannya
untuk merespon androgen. Pada prostat, kadar AR tetap tinggi hingga lanjut
usia. Terdapat bukti bahwa kadar AR lebih tinggi pada jaringan hyperplasia
dibandingkan jaringan yang normal. Peningkatan ekspresi AR pada aging
prostate mengakibatkan pertumbuhan prostat berlangsung terus dan
kematian sel menurun, walaupun terdapat penurunan kadar androgen di
sirkulasi perifer dan kadar DHT prostat normal (Claus, et al.2007).
Konsentrasi DHT pada prostat tidak meningkat pada BPH. Pada
beberapa penelitian juga meninjukkan bahwa kadar DHT hyperplasia
prostat sama dengan prostat normal. Namun demikian, kadar DHT dan
AR yang tetap tinggi pada usia lanjut menyebabkan mekanisme androgen
– dependent cell growth tetap berlanjut. Tipe 2 5α- reductase berperan untuk
pertumbuhan normal prostat dan juga pada hyperplasia prostat.Sedangkan
peran tipe 1 5α-reductase pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal
masih diteliti lebih lanjut.Kadar estrogen pada prostat juga meningkat
pada pasien BPH. Pasien BPH dengan volume
yang lebih besar mempunyai kadar estrogen perifer yang lebih besar pula.
Namun demikian peran estrogen pada pasien BPH tidak sejelas peran
androgen (Claus, et al.2007).
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang
selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih
atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
1) Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2) Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
3) Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak
dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah
residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4) Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
5) Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra
berkurang selama tidur.
6) Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
7) Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
8) Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
9) Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal
atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin
inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal
ginjal.
10) Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana
sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi
sebagai media untuk organisme infektif.Karena selalu terdapat sisa
urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga
lama kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.
4. Manifestasi Klinik
a. IPPS ( International Prostat Symptoms Score ) adalah kumpulan
pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms)
1) Skor 0-7 : gejala ringan
2) Skor 8-19 :gejala sedang
3) Skor 20-35 : gejala berat
Gejala :
Obstruktif :
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya
miksi.
Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra.
Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
Iritatif :
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
b. Rectal grading
Didapatkan batas atas teraba, menonjal > 1 cm (seperti ujung hidung)
Lobus kanan/kiri simetri & tidak teraba nodul
1) Grade 0 : penonjolan 0-1 cm
2) Grade 1 : penonjolan 1-2 cm
3) Grade 2 : penonjolan 2-3 cm
4) Grade 3 : penonjolan 3-4 cm
5) Grade 4 : penonjolan >4 cm
c. Clinical grading (berdasarkan residu urine)
1) Grade 1
Sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasien mengeluh
kencing tidak puas, pancaran urine lemah, harus mengedan,
nocturia (belum terdapat sisa urine)
2) Grade 2
Telah terdapat sisa urine (sistitis), nocturia makin sering dan
kadang disertai hematuri pada cyctoscopy dinding vesika urinaria
menebal karena trabekulasi (hipertropi musculus destrusor)
3) Grade 3
Sisa urine mencapai 80-100 ml, infeksi semakin hebat (hiperplexi,
menggigil & nyeri pinggang karena cystitis).Trabekulasi semakin
banyak.
4) Grade 4
Retensi urine total.
5. Pathways
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila
terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti
keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun
BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum
dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan
status metabolik. Pemeriksaan prostate spesific antigen
(PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai
deteksi dini keganasan.Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu
biopsi.Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific
antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula
bila nilai PSA > 10 ng/ml
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi.Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus
dikaji.Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
c. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi.Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli.Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-
belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan
batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius.IVP untuk
melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.Dengan IVP
buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya
dikencingkan.Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel.Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin.Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
7. Komplikasi
a. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat
menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
b. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan
media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005)
8. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien.Terapi yang dilakukan pada pasien tergantung pada derajat keluhan
dari pasien. Penatalaksanaan yang diberikan berupagaya hidup, terapi
farmakologi, prosedur non-bedah, dan pembedahan (Levi et all 2008
dalam adha 2018).
Modalitas terapi BPH adalah :
a. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan
kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
b. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan,
sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan
berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor
androgen.
c. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi
urin akut.
2) Klien dengan residual urin 100 ml.
3) Klien dengan penyulit.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
6) Pembedahan dapat dilakukan dengan :
7) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95 % )
8) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
9) Perianal Prostatectomy
10) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
d. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi,
Terapi Ultrasonik
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Sebelum Operasi
a. Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
2) Sulit kencing
3) Frekuensi berkemih meningkat
4) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
5) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
6) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
7) Pancaran urin melemah
8) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
9) Kalau mau miksi harus menunggu lama
10) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
11) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
12) Urin terus menetes setelah berkemih
13) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
14) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
b. Data Obyektif
1) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
2) Terpasang kateter
Sesudah Operasi
a. Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah
operas
b. Data Obyektif
1) Ekspresi tampak menahan nyeri
2) Ada luka post operasi tertutup balutan
3) Tampak lemah
4) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah
masalah urinari yang dialami pasien.
Pengkajian fisik
a. Gangguan dalam berkemih seperti
1) Sering berkemih
2) Terbangun pada malam hari untuk berkemih
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
4) Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
5) Rasa tidak puas sehabis miksi
6) Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
7) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah
berkemih.
8) Nyeri saat berkemih
9) Ada darah dalam urin
10) Kandung kemih terasa penuh
11) Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
12) Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut
d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e. Kaji tanda vital
f. Pemeriksaan radiografi : Urinalisa, lab (kimia darah, darah lengkap,
urin)
g. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di
rumah.
2. Penyimpangan KDM
BPH
4 Perubahan Pola eliminasi Setelah dilakukan 1. Kaji haluaran urine dan system
tindakan keperawatan kateter/drainase, khususnya selama irigasi
selama 5-7 hari pasien kandung kemih
tidak mengalami 2. Bantu pasien memilih posisi normal
inkontinensia untuk berkemih (berdiri, berjalan ke kamar
Kriteria = mandi) dengan frekuensi sering setelah
- pasien dapat buang kateter dilepas
air kecil teratur 3. Perhatikan waktu, jumlah urine, ukuran
- bebas dari distensi aliran setelah kateter dilepas.
kandung kemih 4. Beri tindakan asupan oral 2000-3000
ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
5. Beri latihan perineal (Kegel traning) 15-
20 kali/jam selam 2-3 minggu anjurkan dan
motivasi pasien untuk melakukannya
6. Pertahankan irigasi kandung kemih secara
kontinou sesuai indikasi pada periode
pascaoperasi dini.
LAPORAN LENGKAP KONSEP DASAR MEDIS DAN
KONSEP KEPERAWATAN PADA SISTEM PERNAPASAN
(ASMA, EFUSI PLEURA, TB)
A. DEFINISI
Asma adalah wheezing berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan
dimana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang
telah disingkirkan (Mansjoer, 2008). Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan
oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis
rangsangan (Pierce, 2007).
Organ pernapasan
a. Hidung
b. Faring
c. Laring
d. Trakea
e. Bronkus
f. Paru-paru
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutukan
okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan
mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagidan bisa
menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau
pikiran dananoksia serebralis.
a. Pernapaan paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada
paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil
melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea
sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli
memisahkan okigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil oleh sel darah
merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Di dalam paru-
paru karbondioksida merupakan hasil buangan yang menembus membran
alveoli. Dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus berakhir sampai pada mulut
dan hidung. Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner :
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan
udara luar.
2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh,
karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumla yang tepat,
yang bisa dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler karbondioksida lebih
mudah berdifusi dari pada oksigen. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida
terjadi ketika konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat
pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan,
sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah
(hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam
jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru
terjadi pernapasan eksterna.
b. Pernapasan sel
Transpor gas paru-paru dan jaringan Selisih tekanan parsial antara O2 dan CO2
menekankan bahwa kunci dari pergerakangas O2 mengalir dari alveoli masuk ke
dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke alveoli
melalui pembuluh darah.Akan tetapi jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan
dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan
bergabung dengan protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang
larut masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara)
yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas
pengangkutan O2 dalam darah sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2
dalam darah mnjadi 17 kali. Pengangkutan oksigen ke jaringan Sistem pengangkutan
O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke
jaringan bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas
yang cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2
dalam darah.Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan
curah jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut,
hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin.
1) Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita menarik napas
tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli komposisi udara
berbeda dengan komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg.
3) Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh
tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu oksigen yang larut
dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang
terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan O2
bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan
bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah.18
4) Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui
cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial 20
mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan
tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan terjadinya
difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial.
5) Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 020 mmHg. Oksigen
dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel oksigen ini digunakan
untuk reaksi metabolism yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan
(karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan energi. Reaksi
hemoglobin dan oksigen Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok untuk
mengangkut O2.Hemoglobin adalaah protein yang terikat pada rantai polipeptida,
dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-masing atom besi dapat mengikat
secara reversible (perubahan arah) dengan satu molekul O2. Besi berada dalam bentuk
ferro sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi. Transpor karbondioksida
Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali kelarutan O2 sehingga terdapat lebih
banyak CO2 dari pada O2 dalam larutan 19 sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah
merah dengan cepat mengalami hidrasi menjadi H2CO2 karena adanya anhidrase
(berkurangnya sekresi kerigat) karbonat berdifusi ke dalam plasma. Penurunan
kejenuhan hemoglobin terhadap O2 bila darah melalui kapiler-kapiler jaringan.Sebagian
dari CO2 dalam sel darah merah beraksi dengan gugus amino dari protein, hemoglobin
membentuk senyawa karbamino (senyawa karbondioksida). Besarnya kenaikan
kapasitas darah mengangkut CO2 ditunjukkan oleh selisih antara garis kelarutan CO2
dan garis kadar total CO2 di antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah
senyawa karbamino dan 43,8 ml dalam HCO2(Syaifuddin, 2006).
C. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang yang
menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus
penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi.
Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan ole alergen atau alergen
yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu bulu binatang.20
3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002). Ada beberapa hal yang
merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu
a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat jugamenderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,penderita
sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jikaterpapar dengan faktor pencetus. Selain
itu hipersensitivitas saluranpernapasannya juga bisa diturunkan.
a. Faktor presipitasi
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur,bakteri dan polusi21
2. Perubahan cuaca
3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping gejala Asma yang timbul
segera diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
makagejala belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja.Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industry ,tekstil, pabrik, asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik padawaktu libur
atau cuti.
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat seranganjika melakukan aktifitas jasmani
atau olah raga yang berat. Laricepat paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan
asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesaiaktifitas tersebut.
D. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible.
Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos
baik saluran napas, pembengkakan membranyang melapisi bronki, pengisian bronki dengan
mukus yang kental. , otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang
kental,banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udaraterperangkap
didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE)kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadapantigen mengakibatkan ikatan antigen dengan
antibody, menyebabkanpelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamine,bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yangbereaksi lambat
(SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan parumempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa,
dan pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik
dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang,
terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptorβ-
adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat(cAMP). Stimulasi reseptor α-
mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-selmast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan
menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwapenyekatan β-
adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap
peningkatan pelepasan mediator kimiawi dankonstriksi otot polos (Smeltzer & Bare,
2002).
E. MANIFESTASI KLINIK
batuk, dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malamhari. Asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesakdalam dada, disertai dengan
pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding
inspirasi, yang mendorong pasien unutk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot
aksesori pernapasan. Jalanapas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma
dapat24berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.
Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadireaksi kontinu yang lebih
berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisiini mengancam hidup (Smeltzer & Bare,
2002).
F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala gejala yang timbul
saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan
optimal yang umum. Tujuanutama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien
segeramengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12
jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
dengan baik
G. KOMPLIKASI
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila
terdapat benturan atau tusukan dada.Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih
lanjut lagidapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
3. Atelektasis
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat
oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi
pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai
untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-
sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa
perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau
merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udaramenjadi sempit oleh adanya lendir.
7. Fraktur iga
H. PENGKAJIAAN FOKUS
1. Pengkajian
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal sehingga
pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang memungkinkan
tidak terjadi serangan Asma
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitan-
kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya. Serta pada pasien sesak, potensial sekali
terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat
makan, laju metabolism serta ansietas yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk, konsistensi,
frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi.
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja, dan aktifitas
lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi factor pencetus terjadinya Asma.
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa lama pasien tidur
dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing
dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri pasien dan
akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien sehingga kemungkinan
terjadi serangan Asma yang berulang pun akan semakin tinggi.
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak
terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi stresor
yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan Asma.
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.Persepsi yang salah dapat menghambat
respon kooperatif pada diri pasien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi
stresor dalam kehidupan pasien.
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan Asma
maka prlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan
pasien serta cara penanggulangan terhadap stresor.
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat meningkatkan
kekuatan jiwa pasien.Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan
diri pada-Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif (Perry 2005 &
Asmadi 2008).
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan spirometri
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru
atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-
lain.
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan Asma
berat.
e. Pemeriksaan sputum
f. Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita Asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan Asma dari Bronchitis kronik
(Sundaru, 2006)
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
atau imunitas
F. RENCANA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
Kriteria hasil :
b) Sesak berkurang
c) Batuk efektif
d) Mengeluarkan sekret
Intervensi :
Rasional : beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode akut.
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau mulut
Kriteria hasil :
c) Batuk berkurang
Intervensi
Kriteria hasil :
b) Pernapasan normal
Intervensi
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau kronisnya proses
penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang nyaman untuk
bernapas
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan
napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
c) Kaji atau awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra (terlihat sekitar bibir
atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan jika batuk
tidak efektif.
Rasional : bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi.
f) Palpasi Fremirus
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
Rasional : Selama distress pernapasan berat atau akut atau refraktori pasien secara total
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
atau imunitas
c) Batuk berkurang
Intervensi
dalam tubuh
Kriteria hasil :
b) Cemas berkurang
Kriteria hasil ;
Intervensi
Kriteria hasil :
Intervensi :
4. Patofisologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura
parietalis dan pleura viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat
cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu
bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara
kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain.
Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya
di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada
pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis.
Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian
kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak
mikrovili disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga
pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi.
Keadaan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm
H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm
H2o. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah
satunya adalah infeksi tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil
Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju
alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan
juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan
mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan
meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam
rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari
tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran
getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah
saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna
vetebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah
merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan
pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini
biasanya serous, kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap
ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula –
mula yang dominan adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian
sel limfosit, Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa.
Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi
karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa
perubahan fisik antara lain : Irama pernapasan tidak teratur, frekuensi
pernapasan meningkat , pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih
cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas
ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh efusi pleura yang diakibatkan
infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan
menurun.
PATHWEY
TBC 80 % Kardiovaskular,neoplasma,penyakit
abdomen,infeksi,cedera,dll
Proses peradangan
Adanya bendungan cairan dalam
rongga pleura
Efusi pleura
Resiko infeksi
febris
Sesak nafas Ronchi (+)
Metabolisme
Gangguan kelemahan
tubuh meningkat
pertukaran
gas
Cairan Pleura
Kemungkinan Eksudat
Tatalaksana gagal jantung
kongestif, sirosis, atau
nefrosis
Pasien gagal jantung kongestif atau sirosis?
Transudat
Tidak Ya
Ya
Eksudat Tidak
Nutritional management:
a. Timbang berat badan
secara rutin
b. Monitor turgor kulit
c. Monitor mual dan muntah
d. Monitor kalori dan intake
nutrisi
Intoleransi NOC : NIC
aktivitas Setelah dilakukan Activity therapy
berhubungan tindakan keperawatan Observasi :
dengan selama 3 x 24 jam, a. Monitor respon fisik,
ketidakseimban klien dapat emosi, social dan spiritual
gan suplai melakukan aktivitas b. Sediakan penguatan positif
dengan dengan baik dengan bagi yang aktif
kebutuhan kriteria hasil: beraktivitas.
oksigen a. Berpartisipasi
dalam aktivitas Mandiri :
fisik tanpa disertai a. Bantu klien untuk
penignkatan mengidentifikasi aktivitas
tekanan yang mampu dilakukan
darah,nadi dan b. Bantu untuk memilih
RR aktivitas konsisten yang
b. Mampu sesuai dengan kemampuan
melakukan fisik, psikologis dan sosial.
aktivitas sehari- c. Bantu untuk
hari secara mengidentifikasi aktivitas
mandiri yang disukai
c. Tanda-tanda vital d. Bantu pasien untuk
normal mengembangkan motivasi
d. Level kelemahan diri dan penguatan.
e. Status
kardiopulmonary Health education :
adekuat a. Ajarkan untuk penggunaan
f. Status respirasi : teknik relaksasi
pertukaran gas b. Ajarkan Tindakan untuk
dan ventilasi mengehemat energi.
adekuat
Kolaborasi :
a. Kolaborasikan dengan
tenaga rehabilitasi medik
dalam merencanakan
program terapi yang tepat
b. Rujuk pasien ke pusat
rehabilitasi jantung jika
keletihan berhubungan
dengan penyakit jantung.
Resiko infeksi NOC : NIC
berhubungan Setelah dilakukan Observasi
dengan tindakan keperawatan a. Pantau tanda dan gejala
tindakan selama 3 x 24 jam, infeksi (misalnya, suhu
invasive: infeksi tidak terjadi tubuh, denyut jantung,
pemasangan dengan kriteria hasil: drainase, penampilan luka,
WSD (Water a. Tanda – tanda sekresi, penampilan urin,
Seal Drainage) vital klien suhu kulit, lesi kulit,
terutama suhu keletihan, dan malise)
dalam batas b. Kaji faktor yang dapat
normal meningkatkan kerentanan
b. Tidak terdapat terhadap infeksi (misalnya,
tanda – tanda usia lanjut, usia kurang
infeksi pada dari 1 tahun, luluh imun,
daerah dan malnutrisi )
pemasangan WSD c. Pantau hasil laboratorium
c. Nilai laboratorium (hitung darah lengkap,
terutama leukosit hitung granulosit, absolut,
dalam batas hitung jenis, protein
normal ( leukosit serum, dan algumin)
normal : 5000 – d. Amati penampilan praktik
10.000 rb/ul ). higiene Personal untuk
perlindungan terhadap
infeksi
Mandiri
a. Lindungi pasien terhadap
kontaminasi silang dengan
tidak menugaskan perawat
yang sama untuk pasien
lain yang mengalami
infeksi dan memisahkan
ruang perawatan pasien
dengan pasien yang
terinfeksi
b. Bersihkan lingkungan
dengan benar setelah
dipergunakan masing-
masing pasien
Kolaborasi
a. Ikuti protokol institusi
untuk melaporkan suspek
infeksi atau kultur positif
b. Berikan terapi antibiotik,
bila di perlukan
Health education
a. Jelaskan kepada pasien
dan keluarga mengapa
sakit atau terapi
meningkatkan resiko
terhadap infeksi
b. Instruksikan untuk
menjaga higiene personal
untuk melindungi tubuh
terhadap infeksi (misalnya,
mencuci tangan)
4. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Judith M. Wilkinson, P. A. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
EGC.
A. DEFINISI
Tuberkolosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycrobacterium Tuberculasi yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernafasan dan saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi
droplet yang berasal dari orang orang yang terinfeksi bakteri tersebut (Sylvia A.
Price, 2006)
B. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Myvrobacterium tubercolosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar
ultraviolet. (Wim de Jong, 2005 )
Setelah organism terinhalasi dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup
dan menyebar kenodus limfatikus lokal. Penyebaran melului aliran darah ini dapat
menyebabkan TB pada orang lain. Dimana infeksi laten dapat bertahan sampai
bertahun-tahun ( Pfiser Davey, 2007)
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase ( Wim de Jong, 2005)
1. Fase 1 (fase Tuberkulosis Primer)
Masuk kedalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi
perta+wfggnbvhanan tubuh.
2. Fase 2
3. Fase 3 (Fase Laten) : fase dengan kuman yang tidur bertahun-tahun
/seumur hidup) dan reaktifitas jika terjadi perubahan keseimbanagn daya
tahan tubuh dan bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopi,
kelenjar limf hilus, leher dan ginjal.
4. AFase 4 : dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis menurut Amercan Thoracic Society
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negative, test tuberculin negatif.
2. Kategori 1 : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, test tuberkulin negatif.
3. Kategori 2 : Terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit. Test tuberkulin
positif, radiologis dan sputum negatif.
4. Kategori 3 : Terinfeksi tuberculosis dan sakit
Klasifikasi di Indonesia di pakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan
makrobiologis.
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis pareu tersangka, yang dibagi dalam :
- TB tersangka yang diobati : sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain
positif.
- TB tersangka yang tidak diobati : sputum BTA negative dan tanda-tanda
lain juga meragukan.
Klasifikasi WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu : (Sudoyo, 2009)
Kategori 1 , ditunjukan terhadap :
- kasus baru dengan sputum positif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori 2 , ditunjukan terhadap :
- kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori 3 , ditunjukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru agak luas.
- Kasus TBC ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori.
Kategori 4 , ditunjukan terhadap : TB kronik
D. MENIFESTASI KLINIK
1. Sistemik : malaise, anoreksia, berat badan menurun dan keluar keringat
malam.
2. Akut : demam tinggi seperti flu dan menggigil.
3. Milier : demam akut, sesak nafas dan sianosis
4. Respiratorik : batuk lebih dari 2 minggu, sputu, yang mukoid atau
kopurulen, nyeri dada, batuk darah, dan gejala lain. Bila ada tanda-tanda
penyebaran ke organ seperti pleura, akan terjhadi nyeri pleura, sesak nafas,
ataupun gejala meningeal seperti nyeri kepala, kaku kuduk, dan lain
sebagainya.
(Ardiansyah. M, 2012)
E. PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mempunyai permukaan alveolis biasanya diinstalasi sebagai
suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau cabang besar bronkus
dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruangan alveolus biasanya di bagian lobus atau paru-paru atau
bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan, leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan memfagosit namun
tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama masa leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi
dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat juga berjalan
terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak, dalam sel basil juga
menyebar melalui gestasi bening reginal. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, nekrosis bagian sentral lesi yang
memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju-lesi nekrosis kaseora dan
jaringan granulasi di sekitarnya terdiri dari sel epiteloid dan
fibrosis menimbulkan respon berbeda, jaringan granulasi menjadi lebih fibrasi
membentuk jaringan parut akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan komplet ghon dengan
mengalami pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan dimana bahan cairan lepas ke dalam bronkus dengan menimbulkan
kapiler materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitis akan masuk ke dalam
percabangan keobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain dari
paru-paru atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan
meninggalkan jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkijaan dapat mengontrol sehingga tidak dapat mengalir melalui
saluran penghubung, sehingga kavitasi penuh dengan bahan perkijuan dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala
dalam waktu lama dan membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi
limpal peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.
Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen yang biasanya
sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar
ke organ-organ tubuh (Ardiansyah. M, 2012)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menjurut mansjoer, dkk (1999 : hal 472) pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada klien dengan tuberculosis paru, yaitu :
1. Labolatorium darah rutin : LED normal/ meningkat, limfositosis
2. Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diagnostik Tbparu, namun
pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat di
diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
Memeriksa dahak secara mikroskopis pada 3 spesimen yang di kena
dengan istilah
SPS.
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu):
Dahak yang baik untuk di periksa adalah dahak yang mukopurulen
(nanah berwarna hijau kekuning kuningan ) bukan ingus juga bukan
ludah, jumlahnya 3-5 ml tiap pengambilan.
Pada orang dewasa harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu
2 hari berturut-turut.
Sewaktu : Dahak di kumpulkan pada saat suspek TBC datang
berkunjung
pertama kali datang pelayanan kesehatan. Pada saat pulang
suspek
membawa sebuah pot untuk mengumpulkan dahak hari
kedua. Pagi : Dahak di kumpulkan di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot tersebut diantar sendiri ke laboratorium
pelayanan
kesehatan.
Sewaktu : Dahak di kumpulkan pada hari pada saat menyerahkan
dahak pagi
kepada pihak pelayanan kesehatan
3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
4. Test Mantoux/ Tuberkulin
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen stainning
untuk menentukan adamnya IgF spesifik terhadap basil TB.
5. Tekhnik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun
hanya satu mikroorganisme dalam spesimen jugfa dapat mendeteksi
adanya resistensi.
6. MYCODOT
Deteksi anti body memakai antigen liporabinomanan yang direkatkan pada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah
memadai memakai warna sisir akan berubah.
7. Pemeriksaan Radiologi : Rontgen Thorax PA dan Lateral
Gambaran fotoi thorax yang menunjang diagnosis TB yaitu :
➢ Bayangan lesi terletak dilapangan paru atas atau segmen apikal
lobus bawah.
➢ Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
➢ Adanya kavitas, tunggal atau ganda
➢ Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru
➢ Adanya klasifikasi
➢ Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
➢ Bayangan millie
Foto rontgen dada dapat dilakukan dalam posisi lateral, posteroanterior,
dan lordotik apikal. Gambaran yang mungkin didapatkan di antaranya adalah
:
➢ Kavitas, menandakan infeksi yang sudah berlanjut dan
diasosiasikan dengan adanya jumlah kuman TB yang tinggi
➢ Infiltrat non-kalsifikasi berbentuk bulat, ini mesti dibedakan
dengan karsinoma paru
➢ Nodul-nodul kalsifikasi yang homogenus, ukuran 5-20 mm, seperti
tuberkuloma menunjukkan infeksi lama
Pasien dengan hasil röntgen dada seperti tersebut diatas dan memiliki
gambaran klinis TB paru yang khas sudah dapat dikatakan terkena TB
paru walaupun tanpa dilakukan pemeriksaan sputum. Sebaliknya, bila
gambaran rontgen dada normal, tidak menyingkirkan TB terutama pada
pasien dengan kekebalan tubuh menurun.
Pada TB Primer Aktif, gambaran rontgen dada tidak spesifik, bahkan
kadang normal. Secara tipikal dapat muncul gambaran seperti pneumonia
dengan proses infiltrasi pada bagian tengah atau bawah paru yang
cenderung menyerupai gambaran community-acquired pneumonia (CAP).
Pada kasus reaktivasi TB, gambaran klasik lesi berlokasi pada segmen
posterior lobus kanan bagian atas, segmen apikoposterior pada lobus kiri
atas, dan segmen apikal pada lobus-lobus bagian bawah. Kavitasi adalah
gambaran yang paling umum. Sedangkan tuberkuloma yang sembuh akan
menjadi jaringan parut, dimana parenkimnya akan hilang dan terjadi
kalsifikasi
Pada Infeksi TB dan HIV, lesi yang muncul akan atipikal, walaupun
sekitar 20% pasien dengan HIV positif dan TB aktif memiliki hasil
rontgen dada yang normal
Pada TB laten dan TB paru yang telah sembuh, gambaran dapat berbeda-
beda. Gambaran rontgen dapat berupa nodul-nodul yang radioopak,
dengan atau tanpa kalsifikasi pada hilus atau lobus-lobus atas. Selain itu,
dapat pula muncul gambaran nodul-nodul yang kecil, dengan atau tanpa
jaringan parut fibrotik pada lobus-lobus atas. Gambaran lesi-lesi fibrotik
dan nodul-nodul dapat jelas dibedakan, dan tampak memiliki
densitas dengan gambaran radioopak dan tepi yang jelas. Pasien dengan
gambaran rontgen dada seperti ini yang disertai hasil positif TST dikatakan
sebagai karier laten.
Pada pasien TB Milier, rontgen dada akan menunjukkan lesi-lesi nodular
kecil berukuran sekitar 2 mm yang banyak, menyerupai bulir-bulir yang
merupakan gambaran khas TB milier. Namun, gambaran rontgen dada bisa
bervariasi dan dapat disertai gambaran infiltrat-infiltrat pada lobus atas
dengan atau tanpa adanya kavitasi.
Apabila terjadi pleural TB, pada rontgen dada akan tampak gambaran
empiema ataupun efusi pleura.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru
a) Pemeriksaan Kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul serta
dengan penderita TB paru BTA positif.
b) Mast Chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-
kelompok polulasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau
puskesmas atau balai pengobatan.
c) Vaksinasi BCG : reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi
BCG langsung terdapat reaski lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7
hari setelah penyuntikan.
d) Kemoprokfilaksis, yaitu dengan menggunakan INH 5mg/kg BB selama 6-
12 bulan dengan tujuan mengahncurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit.
e) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosos
kepda masyarakat.
2. Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT): WHO
➢ Grup 1 - OAT lini pertama: isoniasid, rifampisin, etambutol,
pirasinamid
➢ Grup 2 - Obat suntik: streptomisin, kanamisin, amikasin, kapreomisin,
(viomisin)
a) Pleuritis
b) Efusi pleura
c) Empiema
d) Laringitis dan TB usus
2. Komplikasi Lanjut
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas klien dan keluraga meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat, pekerjaan.
b. Riwayat Kesehatan
Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya,
Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan,
Kaji riwayat pekerjaan pasien. Kaji keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum dan TTV
Keadaan umum pasien TB paru dapat dilihat secara selintas dengan
menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu perlu nuga dinilai
secara umum tentang kesadaran pasien seperti composmentis,
soporcoma, apatis dan somnolen. Biasanaya hasil poemeriksaan fisik
pada pasien dengan TBC, TTV menunjukan peningkatan suhu tubuh
yang signifikan, frekuensi pernafasan meningkat disertai dengan sesak
nafas, denyut nadi meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh
dan pernafasan.
d. Aktivitas Keseharian
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Kelelahan umum dan kelmahan, nafas pendek saat
bekerja atau beraktivitas, kesulitan tidur pada malam hari atau demam
malam hari, setiap hari menggigil dan berkeringat serta mimpi buruk
2. Integritas Ego
Gejala: adanya faktor stress lama, masalah keuangan dan rumah
tangga, perasaan tidak berdaya atau tidak ada harapan.
3. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna makanan, dan
terjadi penurunan berta badan.
Tanda : Tugor kulit buruk, kering/kulit bersisik, serta kehilangan
otot atau otot mengecil karena hilangnya lemak subkutan.
4. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
5. Pernafasan
Gejala : batuk (produktif atau tidak produktif) dan nafas pendek.
6. Keamanan
Gejala: adanya kondisi tekanan pada sistem imun.
7. Interaksi social
Gejala : perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular.
Perubahan pola biasa dalam kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
8. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala : riwayat penyakit TB, ketidakmampuan umum atau status
kesehtana yang buruk, gagal menyembuhkan TB secara total, TB
sering kambuh, tidak mengikuti terapi dengan baik.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
B. Discharge Planning
- Kerusakan integritas kulit penyakit, faktor yang mempengaruhi berkunjung atau meninggalkan
Corwin J. Elisabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. EGC : Jakarta.
Mansjoer Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI :
Jakarta.
1.6.1 Phatway
No Intervensi Rasional
1 Pantau dan catat tanda-tanda awal nyeriAdanya tanda awal nyeri sering terjadi
kepala, penurunan, lokasi, lamanya, danpada pasien migren sehingga dapat
tanda-tanda lainnya diidentifikasi upaya pencegahan
2 Anjurkan pasien untuk mencatat Mengetahui reaksi pemberian obat apakah
perkembangan tingkat nyeri ada perubahan penurunan tingkat nyeri
3 Anjurkan pada klien untuk mengurangiMenghindari stimulus nyeri dan
aktivitas yang berat dan menambahmeningkatkan rasa nyaman.
waktu istirahat
4 Massage kepala dan leher Meningkatkan relaksasi dan menurunkan
ketegangan otot
5 Kompres hangat atau dingin pada daerah Kompres dingin dapat mengakibatkan
kepala vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan
nyeri kepala. Kompres hangat dapat
meningkatkan sirkulasi darah dan
menurunkan tegangan otot
6 Kolaborasi pemberian obat: Mengurangi rasa nyeri skala ringan hingga
aspirin dengan metoklopramid sedang dan rasa mual
No Intervensi Rasional
1 Observasi perilaku pasien dan Pasien dengan nyeri kepala akan terjadi
perubahan yang terjadi saat nyeri perubahan prilaku, seperti sensitive,
marah, depresi
2 Pantau mekanisme koping pasien Menentukan efektifitas koping
saat terjadi serangan
3 Dorong pasien untukMenyampaikan perasaan dapat
mengekspresikan masalah yangmengurangi masalah
dihadapi sekarang seperti rasa takut
4 Berikan support dan berikan Membangkitkan kemampuan untuk
informasi yang realistik mengurangi rasa nyeri
No Intervensi Rasional
1 Rancang jadwal harian pasien Mencegah aktivitas pasien yang berlebihan
2 Tingkatkan aktifitas secaraMeningkatkan tingkat toleransi aktivitas
bertahap dengan periodepasien
istirahat diantara dua aktifitas
misalnya duduk dulu sebelum
berjalan setelah tidur
3 Observasi respon individu Evaluasi kelemahan dan tingkat toleransi
terhadap aktivitas aktivitas pasien
4 Bantu aktivitas dan motivasiMotivasi dapat meningkatkan keinginan
klien untuk melakukansehingga pasien lebih percaya diri dalam
aktivitas sesuai kemampuan melaksanakan aktivitasnya secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Cynthia. M.T. & Sheila. S.R. (2011). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana
Asuhan. Jakarta : EGC.
Papdi, Eimed. (2012). Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in
internal medicine). Jakarta : Interna Publishing.
Soemarmo, Markam. (2009). Penuntun Neurlogi. Jakarta : Binarupa Aksara.
Sidharta, Priguna. (2008). Neurogi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian
Rakyat.
Kusuma, H. (2012). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC
NOC. Yogyakarta : Mediaction.
LAPORAN PENDAHULUAN KATARAK
Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tak dapat diambil denagan laser.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan yang
terbaik dicapai 20/50 atau lebih buruk lagi. Pembedahan katrak paling sering
dilakukan pada orang berumur 65 tahun. Dengan menggunakan anestesi lokal.
Macam-macam pembedahan ada 2 yakni:
1. Ekstraksi Katarak Intra Kapsuler
2. Ekstraksi katarak ekstra kapsuler (Wijaya & Putrid,2013).
Pembedahan/pengobatan untuk penderita katarak adalah bertujuan untuk
mengeluarkan lensa yang keruh. Penentuan waktu operasi katarak sangat ditentukan
oleh dokter dan pasien. Berdasarkan penentuan waktu operasi tersebut terdapat dua
macam indikasi pembedahan katarak, yaitu:
a. Indikasi sosial
Pembedahan katarak dilakukan jika kekeruhan lensa telah menggangu
pekerjaan sehari-hari atau mengakibatkan kebutaan penderitanya (tajam penglihatan
kedua mata kurang atau sama dengan 3/60 setelah dikoreksi). Dalam operasi katarak
dilakukan bila katarak sudah matang. Kalau sekarang dilakukan demi memberikan
kemudahan bagi para orang-orang dengan pekerjaan halus seperti pelukis, penjahit
dan ahli bedah mikro. Sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan dengan mudah.
b. Indikasi Medik
Sebaiknya katarak operasi secepatnya bila katarak telah/matang, karena bila
terlambat akan mengakibatkan penyulit atau komplikasi akibat lensa yang terlalu
matang. Penyulit yang akan timbul beberapa peradangan bola mata (uveitus) dan
bertambah tebal, penglihatan akan menjadih keruh seperti melihat melalui kaca
jendela yang berkabut. Berat ringannya gangguan tajam penglihatan bervariasi
dari mulai kesulitan melihat benda-benda yang kecil sampai pada kebutaan. Katarak
tidak menular ke mata yang sebelahnya tetapi dapat mengenai kedua lensa
mata. Katarak bukan disebabkan karena mata yang terlalu lama dipakai dan mata
yang dipakai tidak akan memperberat katarak (Ilyas dalam Arimbi 2012).
7. Data Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan EKG
c. Pemeriksaan USG mata
d. Pemeriksaan biometri
8. Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit katarak ini adalah sebagai berikut:
1. Glaukoma
Kelainan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra okuler didalam
bola mata, sehingga lapang pandang mengalami gangguan dan virus mata
menurun
2. Kerusakan retina
Kerusakan retina ini dapat terjadi setelah pasca beda, akibat ada robekan
pada retina, cairan masuk ke belakang dan mendorong retina atau terjadi
penimbunan dibawah retina sehingga terangkat.
3. Infeksi
Ini bisa terjadi setelah pasca bedah karena kurangnya perawatan yang tidak
adekuat (Wijaya & Putrid,2013).
Walaupun sebenarnya efek samping pembedahan katarak jarang terjadi,
mungkin dapat terjadi infeksi pascaoperasi, perdarahan, edema macular dan
kecerobohan luka. Kejadian ablasio retina lebih sering terjadi pada 12 bulan
pascaoperasi (Black & Hawks, 2014).
9. Diagnosis
1. Gangguan oreseosi sensori visual/penglihatan berhubungan dengan
penurunan ketajaman penglihatan.
2. Resiko terhadap cidera berhubngan dengan penurunan fungsi ketajaman
penglihatan
3. Gangguan body image berhubungan dengan kekeruhan lensa
4. Cemas berhubungan dengan krisis situasional, perubahan kesehatan,
interaksi
Faktor-Faktor Risiko Penyebab Katarak
Katarak adalah penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi antara lain adalah usia,
jenis kelamin, diabetes mellitus, gizi, pekerjaan, merokok, pendidikan yang dalam
hubungannya paparan sinar ultraviolet dari sinar matahari (Sirlan dalam Arimbi,
2012).
1. Faktor intrinsik
a. Usia
Proses normal ketuaan mengakibatkan lensa menjadi keras dan keruh,
keadaan ini disebut sebagai katarak, yang sering ditemukan mulai 40 tahun keatas.
Seiring bertambahnya usia, lensa berkurang kebeniannya, keadaan ini akan
berkembang dengan bertambahnya dan timbulnya seret-seret lensa yang baru.
Seret-seret yang terbentuk lebih dahulu akan terdorong kearah tengah membentuk
nukleus. Nukleus ini akan memadat dan mengalami dehidrasi sehingga terjadi
sklerosis. Sklerosis ini menyebabkan lensa tidak elastic, menjadi kompak dan
kesanggupan untuk berakomodasi menjadi turun. Seiring bertambahnya usia,
lensa berkurang kebeningannya, keadaan ini akan berkembang dengan
bertambahnya katarak (Tana, 2007).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin erat kaitannya dengan kejadian katarak menurut Ilyas dalam
Hanok (2014). Faktor risiko jenis kelamin dengan kejadian katarak yang
kebanyakan diderita jenis kelamin perempuan ini disebabkan perempuan
mengalami menopouse pada usia 40 tahun. Sehingga mengakibatkan kemampuan
metabolisme dalam tubuh semakin berkurang dan terjadi kerusakan pada jaringan
tubuh.
Progesteron diproduksi oleh korpus luteum dan menyebabkan penebalan
endometrium dalam persiapan untuk penempelan ovum yang telah dibuahi.
Progesteron juga menghambat tindakan estrogen pada jaringan tertentu. Pada
wanita yang anovulatori, tidak ada korpus luteum terbentuk. Oleh karena itu,
estrogen sering tidak terhalangi. Hal ini dapat mengakibatkan penumpukan pada
endometrium, menyebabkan perdarahan menstruasi yang tidak teratur pada fase
perimenopause. Ovarium pada saat menopause tidak lagi menghasilkan estradiol
(E2) atau inhibin dan progesteron dalam jumlah yang bermakna, dan estrogen hanya
dibentuk dalam jumlah kecil. Oleh karena itu, FSH (Folicle Stimulating Hormone)
dan LH (Luteinizing Hormone) tidak lagi dihambat oleh mekanisme umpan balik
negatif estrogen dan progesteron yang telah menurun dan sekresi FSH dan LH
menjadi meningkat dan FSH dan LH plasma meningkat ke tingkat yang tinggi.
Fluktuasi FSH dan LH serta berkurangnya kadar estrogen menyebabkan munculnya
tanda dan gejala menopause (Viska, 2013).
Pada wanita menopause akan timbul berbagai masalah kesehatan, seperti
gejala vasomotorik yaitu hot flush (rasa panas dari dada hingga wajah), night
sweat (keringat dimalam hari) dan mudah berkeringat, gejala psikogenik, nyeri
sanggama, insomnia (susah tidur), penurunan libido, meningkatnya kejadian
penyakit jantung koroner, patah tulang (osteoporosis), dementia, stroke, kanker
usus besar, dan katarak (Qamariah, 2013).
c. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kelainan metabolik dimana ditemukan
ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat akibat gangguan pada
mekanisme insulin yang normal. Penderita diabetes mellitus akan memilki kadar
gula darah yang lebih tinggi dibandingkan orang normal. Salah satu komplikasi dari
diabetes mellitus dapat menyerang mata (katarak)(Riskawati, 2012).
Penyakit metabolik yang sering menyebabkan katarak adalah diabetes
melitus. Pada kondisi normal glukosa lensa akan mengalami proses metabolisme
yang akan menjaga lensa agar tetap transparan. Proses ini dilakukan melalui
glikolisis anerobik dan jalur sorbitol. Namun pada kondisi normal jalur sorbitol
tidak terlalu digunakan.
Pada kondisi hiperglikimia, jalur sorbital akan lebih aktif berkerja dimana
glukosa akan diubah menjadi sorbital. Sorbital akan diubah menjadi fruktosa oleh
polyol dehidrogenase sehingga lensa tetap transparan. Namun polyol
dehidrogenase jumlahnya sedikit sehingga pada kondisi hiperglikemia sorbital
tidak dapat diubah menjadi fruktosa. Sorbital akan menetap pada didalam lensa
karena permeabilitas lensa terhadap sorbital kurang. Penumpukan sorbital dan
peningkatan fruktosa dalam lensa yang dapat merusak struktur sitoskeleton dan
mengakibatkan kekeruhan lensa. Bentuk kekeruhan yang tampak pada penderita
diabetes melitus adalah kekeruhan seperti kepiting salju yang terjadi secara bilateral
pada waktu yang bersamaan
d. Gizi
Dengan pendapatan yang rendah, asupan gizi menjadi kurang. Faktor nutrisi
merupakan salah satu risiko terjadinya katarak. Telah banyak epidemiologi yang
menujukan dengan berbagai antioksidan seperti vitamin C, E dan karoten yang dapat
mengurangi risiko katarak akibat radikal bebas. Diet rendah Thiamin, Ribhoflavin,
niancin, Pyridoxine, folate, vitamin B12, zinc dan protein dapat meningkatkan risiko
terjadinya katarak (laila 2017).
Sayur/buah banyak mengandung antioksidan. Antioksidan mampu menangkal
atau meredam dampak negatif radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan banyak
ditemukan di dalam lensa dan berfungsi untuk menjaga transparansi lensa.
Peningkatan kematangan katarak terjadi karena penurunan kadar antioksidan pada
lensa. Beberapa antioksidan dapat diperoleh dari makanan maupun sediaan
suplemen makanan antara lain vitamin C, vitamin E, karotenoid, dan flavonoid.
Dalam penelitian Rustama, (2014) terdapat hubungan kadar antioksidan dengan
kekeruhan dengan keruhan lensa yang bermakna secara statistik. Penurunan
aktivitas aktivitas dan antioksidan dapat merusak keseimbangan redoks lensa yang
mengarah pada pembentukan katarak. Pemberian antioksidan dapat memberi
proteksi jangka panjang terhadap katarak serta dapat memperlambat progesivitas
katarak
Seleda air yang berwarna hijau gelap yang mengandung beta koraten dan zat
besi tinggi. Berbeda dengan sayuran dan buah-buahan berwarna karetenoid seleda
air tertutup oleh klorofil, yaitu untuk berfotosintesis (membuat energy dari sinar
matahari). Seleda merupakan sumber karetenoid jenis lutein dan zeaxianthin yang
melindungi mata dari penyakit degenerative, seperti degenerasi macular dan
katarak. Lutein dan zeaxithin nerupakan satu-satunya keratonoid yang ditemukan
di dalam lensa mata dan macular.,mengkomsumsi kutein dan zeaxthin lebih rata-
rata jumlah komsumsi yang dianjurkan dapat meningkatkan densitas pigmen
macular, sehingga kemampuan dalam mata menyaring cahaya biru akan
meningkat dan mampu melawan bahaya radikal bebas. Lutein dan zaexthin, yaitu
kekeringan pada lensa mata yang menyebabkan gangguan penglihatan (Marshall,
2005).
2. Ekstrinsik
a. Pekerjaan
Pekerjaan dalam hal ini berhubungan dengan paparan sinar maatahari. Sinar
UV merupakan faktor terjadinya katarak. Sinar Ultraviolet yang berasal dari sinar
matahari akan diserap oleh protein lensa terutama asam amino aromatic, yaitu
triptofan, fenil alanin dan tirosin sehingga menimbulkan reaksi foto kimia dan
menghasilkan fragma molekul yang disebut radikal bebas, seperti anion
superoksida, hidroksil dan spesiesoksigen reaktif seperti hydrogen peroksida yang
semuanya bersifat toksis. Reaksi tersebut akan mempengaruhi struktur protein lensa,
selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa yang disebut katarak. Sinar ultra violet
akan diserap (Arimbi,2012).
Ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan diluar gedung dengan
kejadian katarak, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan diluar gedung merupakan
faktor risiko terjadinya katarak. Responden pekerjaan berisiko untuk terjadinya ≥
4 jam diluar gedung mempunyai resiko 13 kali untuk terjadinya katarak
dibandingkan dengan responden pekerjaan tidak berisiko < 4jam diluar gedung
(Ulandari Tri, 2014).
b. Merokok
Rokok berperan dalam pembentukan katarak melalui dua cara yaitu, pertama
paparan asap rokok yang berasal dari tembakau dapat merusak membrane sel dan
seret-seret yang ada pada mata. Kedua yaitu, merokok dapat menyebabkan
antioksidan dan enzim-enzim didalam tubuh sehingga dapat merusak mata.
Merokok dapat menginduksi strees oksidatif dihubungkan dengan penurunan
kadar oksidan, askorbat, dan karotenoid. Merokok juga dapat menyebabkan
penumpukan Cromophores yang dapat menyebabkan terjadinya penguningan warna
lensa. Kandungan dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan
denaturasi protein lensa ( Hadini 2016).
Merokok dapat menginduksi stress oksidatif dan menurunkan kadar
antioksidan. Merokok dapat menyebabkan penumpukan molekul berpigmen “3
Hydroxykhynurine dan chromophores”.yang menyebabkan terjadinya
penguningan dan pengaruh warna lensa. Kandungan sianat dalam rokok juga
menyebabkan kekeruhan pada mata (Hutauruk & Siregar, 2017).
Rokok kelihatan seperti daun tembakau yang digulung dengan kertas putih.
kelihatannya seperti barang yang tidak berarti dan tidak berbahaya. Tetapi begitu
di bakar dan siisap rokok mngeluarkan sekitar 4000 jenis zat kimia. Dari 4000 zat
kimia ini berbahaya untuk mata terjadi kekeruhan pada lensa mata yang di sebut
katarak. Orang yang menghisap 20 batang batang rokok atau lebih perhari memiliki
risiko terkena katarak dua kali lipatdari pada orang yang tidak merokok. Degenerasi
makuler (kerusakan “ sel-sel penglihatan” di retina dibagian belakang bola mata),
sesuatu penyebab kebutaan yang lazim pada orang berusai lanjut, 2-5 kali lebih
sering didapatkan pada perokok dari pada orang yangtidak merokok. (Crofton &
Simpson, 2009).
c. Pendidikan
Penlitian yang dilakukan oleh Echeribi, Dkk (2010) menyebutkan bahwa
resiko katarak sangat terkait pada responden dengan pendidikan yang rendah,
dimana responden yang berpendidikan mempunyai resiko 2,42 kali menderita
katarak. Pendidikan yang rendah pada masyarakat juga akan berdampak pada
tidak adanya pemahaman dan kesadaran akan penyakit katarak tersebut, ditambah
lagi dengan sangat kurangnnya informasi atau penyuluhan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan. Pendidikan tidak terkait langsung dengan terjadinya katarak,
tetapi biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Seseorang dengan tingkat
pendidikan rendah, biasanya akan berkerja sebagai petani, nelayan, atau buruh kasar
sehingga kecenderungan untuk terpapar oleh sinar ultraviolet akan lebih sering.
2.2 Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Idemtitas klien:
Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, pendidikan, alamat, Status pernikahan .
Katarak biasanya lebih banyak pada orang yang berusia lanjut. Pekerjaan
sering terpapar sinar matahari ultraviolet akan lebih mudah berisiko mengalami
katarak.
b. Riwayat ksehatan:
Diaagnosa medis, keluhan utama, riwyat penyakit sekarang, riwayat kesehatan
terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan, obat-obatan
yang digunakan, riwayat penyakit keluarga, keluhan uatama yang dirasakan yaitu
penurunan ketejaman penglihatan dan silau.
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya terdapat keluarga yang mengalami katarak
f. Genogram
g. Pengkajian keperawatan
1) Presepsi kesehatandan penglihatan kesehatan berbeda pada setiap klien.
2) Polaaktivitasdan latihan
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan
3) Pola tidur dan istirahat
Tidak ada gangguan pola tidurdan istirahat yang disebabkan oleh katara
4) Pola kognitif dan perceptual
Gangguan penglihatan (kabut/tka jelas), sinar terang menyebabkan selalu
dengan kehilangan bertahap, kesulitan memfokuskan kerja dengan
dekat/merasa di ruang gelap
5) Pola presepsi diri
Klien berisiko megalami harga diri rendah kondisi yang diaminya.
6) Pola seksual dan reproduksi
Tidak ada gangguan pada pola seksualitas dan reproduksi yang diakibatkan
leh katarak
7) Pola peran dan hubungan
pola peran dan hubungan klien akan terganggu karena adanya gangguan
pada penglihatannya
8) Pola menejemen dan koping stress
klien dapat mengalami sterss karena klintidak dapat menlihat secara jelas
sebelumnya
9) Sistem nilai dan keyakinan
Sistem bilai dan keyakinan seseorang akan berbeda satu sama lain
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Kulit
Inspeksi: lihat ada/tidak adanya lesi, hiperpigmentasi (warna
kehitaman/kecoklatan), edema, dan distribusi rambut kulit.
Palpasi: di raba dan tentukan turgor kulit elastic atau tidak, tekstur : kasar /halus,
suhu : akral dingin atau hangat.
3) Rambut
inspksi: disribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak, bercabang.
Palpasi: mudah rontok/tidak, tekstur: kasar/halus
4) Kuku
Inspeksi: catat mengenai warna : biru: sianosis, merah: peningkatan visibilitas Hb,
bentuk: clubbing karena hypoxia pada kangker paru, beau’s lines pada penyakit
difisisensi fe/anemia fe
Palpasi: catat mengenai warna : biru: sianosis, merah: peningkatan visibilitas Hb,
bentuk: clubbing karena hypoxia pada kangker paru, beau’s lines pada penyakit
difisisensi fe/anemia fe
5) Kepala
Inspeksi: wajah jika, muka ka.ki berbeda atau misal lebih condong ke kanan atau ke
kiri itu menunjukan ada parese/kelumpuhan, contoh: pada pasien SH.
Palpasi: Cari adanya luka, tonjolan patologik, dan respon nyeri dengan menekan
kepala sesuai kebutuhan
6) Mata
Inspeksi: Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris ka.ki atau tidak, reflek
kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah/konjungtivitis, ikterik/indikasi
hiperbilirubin/gangguan pada hepar, pupil: isokor ka,ki (normal),
miosis/mengecil, pin point/sangat kecil (suspek SOL), medriasis/melebar/dilatasi
(pada pasien sudah meninggal).
OD (Optik Dekstra/ka): 5/5
Berarti : pada jarak 5 m, mata masih bisa melihat huruf yang seharusnya dapat
dilihat/dibaca pada jarak 5 m
OS (Optik Sinistra/ki) : 5/2
Berarti : pada jarak 5 m, mata masih dapat melihat/membaca yang seharusnya di
baca pada jarak 2 m.
P = Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO (tekanan intra okuler) jika
ada peningkatan akan teraba keras (pasien glaucoma/kerusakan dikus optikus),
kaji adanya nyeri tekan.
7) Hidung
Inspeksi: Apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah ada secret
Palpasi : Apakah ada nyeri tekan, massa
8) Telinga
Inspeksi: Daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran, bentuk, kebresihan,
adanya lesy.
Palpasi: Tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan kelenturan kartilago
9) Mulut dan Faring
Inspeksi: Amati bibir apa ada klainan kogenital (bibir sumbing), warna,
kesimetrisan, kelembaban, pembengkakkan, lesi Amati jumlah dan bentuk gigi, gigi
berlubang, warna, plak, dan kebersihan gigi
Inspeksi: Pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri.
10) Leher
Inspeksi: Amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut, pembengkakkan
kelenjar tirod/gondok, dan adanya massa, leher dari depan, belakang dan samping
ka,ki.
Palpasi: Letakkan kedua telapak tangan pada leher klien, suruh pasien menelan
dan rasakan adanya kelenjar tiroid (kaji ukuran, bentuk, permukaanya.)
11) Dada
Inspeksi: Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati adanya retraksi interkosta, amati
gerkkan paru Amati klavikula dan scapula simetris atau tidak
Palpasi: ekspansi paru, Taktil vremitus posterior dan anterior,
Perkusi: Untuk perkusi anterior dimulai batas clavikula lalu kebawah sampai
intercosta 5 tentukkan batas paru ka.ki (bunyi paru normal : sonor seluruh lapang
paru, batas paru hepar dan jantung: redup).
Auskultasi: bunyi nafas: vesikuler/wheezing/creckels
12) Jantung
Inspeksi: Amati denyut apek jantung pada area midsternu lebih kurang 2 cm
disamping bawah xifoideus.
Palpasi: Merasakan adanya pulsasi
Perkusi: Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada pada daerah perkusi
Auskultasi: Bunyi S1: dengarkan suara “LUB” yaitu bunyi dari menutupnya katub
mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis pada waktu sistolik.
Bunyi S2: dengarkan suara “DUB” yaitu bunyi meutupnya katub semilunaris
(aorta dan pulmonalis) pada saat diastolic.
Adapun bunyi : S3: gagal jantung “LUB-DUB-CEE…” S4: pada pasien
hipertensi “DEE..-LUB-DUB”.
Inspeksi: Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi,
penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites.
Palpasi: mengetahui adanya massa dan respon nyeri tekan, hepar, ginjal, limpa,
ginjal
2. Peyimpanagn KDM
Perubahan fisik lensa Degenerasi
Mengaburkan
bayangan
3. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
2. Ansietas
3. Risiko Cedera
4. Risiko Infeksi
4. Rencana Intevensi
a. Nyeri
No Intervensi Rasional
b. Risiko cedera
No Intervensi Rasional
c. Risiko ifeksi
No Intervensi Rasional
6. Beriakn obat sesuai resep sesuai Obat yang diesepkan sesuai dengan
tekhnik yang diresepkan cara yng tidak sesuai dengan resep
dapat menggangu oenyembuahn atau
menyebabkan komplikasi
d. Ansietas
No Intervensi Rasional
6. Beriakn obat sesuai resep sesuai Obat yang diesepkan sesuai dengan
tekhnik yang diresepkan cara yng tidak sesuai dengan resep
dapat menggangu oenyembuahn atau
menyebabkan komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Smaltzer, S., & Bare, B. 2013. Keperawatan medikal bedah. jakarta: EGC.
Suslia, A., Ganiajri, F., Lestari, P. P., & Sari, R. W. 2014. Keperawatan medikal
bedah . Singapur: Elsevier, 443
PATHWAY
mendula spinalis
servikalis , torako
lumbalis, sakralis perpindahan cairan dari intraseluler pelepasan
brakinin ke ekstraseluler
sensasi nyeri
Penurunan aliran darah Jaringan otak sindroma kompartemen
Resiko perfusi
serebral tidak efektif
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
1) Aktivitas isterahat
Tanda : kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada/
dibawah lesi. Kelemahan umum/kelemahan otot ( trauma dan adanya
kompresi saraf)
2) Sirkulasi
Gejala: Berdebar –Debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau
bergerak.
Tanda : hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias dingin dan
pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena
3) Eliminasi
Tanda : inkontinensia defekasi dan berkemih. Retensi urine. Distensi
abdomen, peristaltic usus hilang. Melena, emesis berwarna seperti kopi
tanah/hematemesis
4) Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah. Tanda : takut, cemas,
gelisah , menarik diri.
5) Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda : takut, cemas, gelisah , menarik diri.
6) Makanan/ Cairan
Tanda : mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang ( ileus
paralitik)
7) Higyene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
8) Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki. Paralysis
flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi tergantung pada
area spinal yang sakit.
Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal. Kehilangan sensasi, kehilangan tonus otot/
vasomotor, kehilangan refleks/ refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Perubahan reaksi pupil,ptosis, kehilangan keringat dari bagian
tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala ; Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma.
Tanda : Mengalami deformitas, postur,nyeritekan vertebral.
10) Pernapasan
Gejala : napas pendek, “ lapar udara” sulit bernapas. tergantung pada
area spinal yang sakit.
Tanda : pernapasan dangkal/labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki,pucat, sianosis.
11) Keamanan
gejala : suhu yang berfluktuasi
12) Seksualitas
gejala : keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur.
2. Diagnosa Keperawatan
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut b.d agen NOC label: Mengelola analgetik (2210)
cede-ra : fisik Kontrol nyeri Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas
Batasan karakteristik: (1605) nyeri sebelum pemberian obat pada
Tujuan: pasien
Setelah dilakukan Cek jenis obat, dosis, dan frekuensi
tindakan pemberian
keperawatan Cek adanya riwayat alergi pada
selama … x 24 pasien
jam pasien dapat Evaluasi kemampuan pasien untuk
melakukan menggunakan rute analgesic (oral, IM,
kontrol nyeri , IV, suppositoria)
dengan criteria : Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik jenis
Kontrol Nyeri narkotik
(1605) Evaluasi efektifitas dan efek
Klien samping yang ditimbulkan akibat
mengetahui pe- pemakaian analgetik.
nyebab nyeri Kolaborasi dengan dokter jika ada
(160501) perubahan advis dalam pemakaian
Klien analgetik
mengetahui wak-
tu timbulnya nyeri Distraksi (5900)
(160502) Tentukan jenis distraksi yang sesuai
Klien dengan pasien (musik, televisi,
mengenal gejala membaca, dll)
timbulnya nyeri Ajarkan teknik buka-tutup mata
(160509) dengan focus pada satu obyek, jika
Klien memungkinkan
menggunakan Ajarkan teknik irama (ketukan jari,
analgetik jika bernafas teratur) jika memungkinkan
diper-lukan Evaluasi dan catat teknik yang
(160505) efektif untuk menurunkan nyeri pasien
Bladder Training
Inkontinensia usus b.d Setelah dilakukan Manajemen Usus (0430)
dengan kerusakan saraf tindakan Catat tanggal terakhir pasien b.a.b
motorik bawah keperawatan Monitor b.a.b pasien (frekuensi,
Batasan Karakteristik selama .. x 24 jam konsistensi, volume, warna)
saluran Monitor suara usus
gantrointestinal Catat adanya peningkatan frekuensi
pasien mampu bising usus
membentuk massa Monitor terhadap tanda dan gejala
feses dan diare
mengevakuasi Evaluasi terhadap incontinensia
secara efektif , Ajarkan pasien tentang makanan
dengan criteria : yang dianjurkan
Evaluasi jenis obat yang
Eliminasi usus menimbulkan efek samping pada fungsi
(0501) gastrointestinal
Mampu
mengontrol b.a.b. Bowel Training (0440)
(050102) Rencanakan program latihan dengan
Tidak terjadi pasien
diare (050111) Konsul dengan dokter dalam
pemakaian suppositoria/laksatif
Ajarkan pasien dan keluarga prinsip-
prinsip bowel training
Anjurkan pasien tentang jemis
makanan yang harus diperbanyak
Berikan diit yang cukup sesuai jenis
yang diperlukan
Pertahankan intake cairan yang
adekuat
Pertahankan latihan fisik yang cukup
Jaga posisi pasien
Evaluasi status bowel secara teratur
. Modifikasi program usus jika
diperlukan
Resiko kerusakan Setelah dilakukan Circulatory Care (4060)
integri-tas kulit ,Faktor tindakan Kaji secara komprehensif sirkulasi
resiko : keperawatan perifer (cek pulsasi perifer, adanya
Perubahan sensasi selama … x 24 udema, pengisian kapiler, warna kulit
jam perfusi dan suhu ekstrimitas)
jaringan perifer Amati kulit dari munculnya
pasien adekuat , perlukaan atau memar akibat tekanan
dengan criteria : Kaji adanya ketidaknyamanan datau
nyeri local
Perfusi jaringan Rendahkan ekstrimitas untuk
: perifer (0407) meningkatkan sirkulasi arteri, jika tidak
Pengisian ada kontra indikasi
kapiler perifer Pasang stocking anti emboli,
adekuat (040701) dilakukan perubahan 15-20 menit setiap
Pulsasi perifer 8 jam
distal kuat Naikkan anggota badan 20 derajat di
(040702) atas level jantung untuk meningkatkan
Pulsasi aliran balik vena jika tidak ada kontra
proximal perifer indikasi
kuat (040703) Rubah posisi pasien minimal tiap 2
Tingkat jam jika tidak ada kontra indikasi
sensasi normal Gunakan matras/bed terapetik jika
(040706) tersedia
Warna kulit Lakukan aktif/pasif ROM selama
normal (040707) bedrest
A. KONSEP MEDIK
1. DEFINISI
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan
(decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang
mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat
injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan
menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak
dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus.
Otakadalahbagiandari system sarafpusatbersamasumsumtulangbelakangdan
system sarafperifer yang terbuatdarisaraf, otakataukorteksadalahbagianterbesar
yang kemudiandibagimenjadiempatlobus, lobus frontal, lobusparietalis,
lobusoksipital, danlobus temporal.
a. lobus frontal adalahrumahbagikognitifmanusiadanituadalah proses yang
menentukandanmembentukkeperibadianindividu,
sangatrentanterhadapcederakarenalokasinyadidepantengkorakpusat.
b. lobus parietal
terletakdibelakangsulkussentralmemilikiempatbatasanotomi, sulkus
central yang memisahkanlobus parietal darilobus frontal, sulkusparieto
– oksipital yang memisahkan parietal danoksipitallobus, sulkuslateralis
yang memisahkan parietal darilobus temporal
danfisuramembujurmedialis yang membagiduabelahankanandankiri,
bertanggungjawabuntukmengintegrasiinformasisensorikdariberbagaibag
iantubuh.
c. Lobusoksipital, kecildarisegalajeniskeempatlobus , terletakdibagian
paling belakangtengkorak, terletakditentoriumcerebelli yang
memisahkanotakdariotakkecil, lobusinibertanggungjawabuntuk system
persepsi visual, pemprosesan visual – spasial,
gerakandanpengenalanwarna. Gangguanpadalobusinimenyebabkanilusi
visual.
d. Lobus temporal, adadualobus temporal setiap yang
terletakdisetiapsisiotak
,kiridankananpadasekitarsetinggitelinga,berisikortekspendengaran
primer, sehinggabertanggungjawabatassemua proses
pendengaran.Lobusinijugamengandung hippocampus yang
bertanggungjawabuntukpembentukanmemorijangkapanjangdanmemilah
informasibaru.
2. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda- benda
tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian
Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
1. GCS 13 – 15
2.Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
3. Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
1. GCS 9 - 12
2. Saturasi oksigen > 90 %
3. Tekanan darah systole > 100 mmHg
4. Lama kejadian < 8 jam
5. Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi <
24 jam
6. Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
1. GCS 3 – 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
3. Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit
kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis
cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya
lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis
lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis
lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan
robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea,
bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill
hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering
n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal
cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan
sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody
otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang
dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1. Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya
korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera
(amnezia retrograd dan antegrad).danjika coma berlangsung tidak
lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih
berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.
2. Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan
saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi
adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan
bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.
3. Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah kondisidimanadarahmasukdanmenumpukpadaruang
yang adadiantaratulangtengkorakdanlapisan yang
menyelimutiotakataudisebuut Dura.
Karenacederakepalamenimbulkankeretakantulangtengkorak,
kerusakanatausobekanduraataupembuluhdarahotak.Menumpuk
nyadarahdiruang yang
terdapatdiantaratulangtengkorakdanlapisandurameningkatkante
kanankepaladanberpotensimenekanotak,
kondisiinidapatmenyebabkangangguanpenglihatan, pergerakan,
kesadaran,
dankemampuanberbicaradankondisiinimestiditanganikarenadap
atmenyebabkankematian. Epiduralis haematoma dapat juga
terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital
dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena
pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat,
karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga
darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-
tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK =
Tekanan Intra Kranial). Gejala subdural hematoma
tergantungpadaseberapaseriuscedera yang dialami,
danberapaukuransertalokasi hematoma,
gejaladapatsegeramunculataubeberapaminggusetelahcedera,
beberapa orang terlihatpertamanyabaikbaik ( lucid interval )
setelahcedera , namuntekananpadaotakkemudianmenyebabkan
, kehilanganatauperubahantingkatkesadaran, muntah,
sakitkepala, pusing, disorientasi , bicaramelantur, amnesia ,
kejang, perubahankepribadian, nafas yang abnormal,
kesulitanberjalan, kelemahanpadasatusisitubuh.
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak,
yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk
paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah
perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena
bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah
otak.gambarankliniktidakmenunjukkangejalapenyakittetapiterja
digangguaningatankarenatimbulnyagangguan meningeal.
Akutintracerebralishaematomaterjadikarenapukulanbendatump
uldidaerahkorteksdansubkorteks yang mengakibatkanpecahnya
vena yang
besaratauarteripadajaringanotak.palingseringterjadipadasubkort
eks,
selaputotakpecahkarenaduramaterbagianbawahmelebarsehingg
aterjadilahsubduralishaematoma.
d) Intracerebralis Haematoma
perdarahan yang terjadididalamjaringanotakpasca traumatic
merupakankoneksidarahfokal yang
biasanyadiakibatkancederareganganataurobekanrasionalterhada
ppembuluhpembuluhdarahintraparenkimalotakataukadangkada
ngcederapenertasi, ukuran hematoma bervariasidari millimeter
sampai centimeter dandapatterjadi 2 % - 16 % kasuscedera,
intracerebal hematoma
mengacupadahemoragic/perdarahanlabihdari 5 ml
dalamsubtansiotak ( hemoragi yang
lebihkecildinamakanpunctateataupatechieal / bercak. Dan
hipertensidalahpenyebabterbanyak.
4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera
primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan,
dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.
3. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor
yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi
dan deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan
pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.
4. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
5. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan
asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis
metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60
ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Menurut
Long (1996) trauma kepala terjadi karena cedera kepala, kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa
seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang
bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio
pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi.
Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak
bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum
cedera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit
sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK
normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran
otot.Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Cedera fokal
diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa
lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera
akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua- duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika
sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma
epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan
mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odemaserebral,
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K
(Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan
muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
Cedera kepala penetrasi ( cedera kepala tertutup ) dapat disebabkan oleh
mekanisme trauma yang berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektif yang
memiliki kecepatan tinggi atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka
tusukan, cedera akibat terkena panah, cedera senjata di industri dan cedera akibat
penggunaan mesin Bor. Pada cedera otak yang disebabkan oleh objek dengan
kecepatan rendah. Kerusakan hanya terbatas pada adanya disrupsi jaringan secara
langsung. Kadang-kadang tidak terjadi hilangnya kesadaran. Pada cedera yang
disebabkan oleh misil.cavitasi dapat terbentuk di sepanjang jalur misil. Dan
tergantung pada ukuran dan kecepatan misil, maka disrupsi dari jaringan otak
disekitanya kadang-kadang dapat menyebar dan sifantnya berat. Baik cedera
penetrasi dengan kecepatan tinggi maupun rendah dapat menyebabkan disrupsi
dari kulit. Tulang tengkorak. Dan selaput otak. Shingga dapat memudahkan
kontaminasi cairan cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif.
Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat komplex bervariasi dan
belum sepenuhnya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi seluler,
cedera perfusi. Eksitosin edema, cedera veskuler dan cedera menginduksi kepala.
Tinitus dan iritabilitas dengan derajat yng bervariasi tanpa adanya abnormalitas
serebral yang bermakna, tidak disertai adanya kerusakan patologis pada otak.
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim
otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi
anatominya. Kontusi umumnya ditemukan paling sering pada lobus frontal,
khususnya pada bagian ujung dan sepanjang permukaan orbital inferior pada
lobus temporal. Khususnya pada kutub anterior dan pada daerah sambungan
frontotemporal bagian anterior dari lobus frontal dan temporal merupakan bagian
yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari tulang tengkorak pada regio
ini. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek masa yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial atau hemiasi otak hal ini mengakibatkan
perubahan pada fungsi perhatian memori afek emosi, dan tingkah laku. Pada
kasus yang jarang terjadi kontusi terjadi pada lobus parietal dan oksipital kontusi
cerebral vokal dapat bersifat superfisial dan hanya melibatkan girus otak kontusi
hemoragik dapat berkumpul menjadi hematom intrakranial konfulen yang luas.
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya
perdarahan,edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kontusi coap lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya
berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecop berlokasi pada
permukaan otak yang berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan
cedera deselarasi. Kontusi traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom
intracerebral superfisial. Edema yang terjadi pada substansi alba, dan merupakan
akibat dari adanya destruksi.
7. PATHWAY
Trauma Kepala
Terputusnya kontinuitas
Jaringan, kulit, otot dan vaskular resiko perdarahan
jaringan otak
Rusak
Nyeriakut perdarahan ,hematoma gangguansuplaydarah
H
ipoksia
Perubahansirkulasi CSS
perfusiperifertidakefektif
gangguanNeurologis
penurunankesadaran
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan
serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
9. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan cedera kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20
% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa
8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya
bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahanbilaadaindikasi.
10. KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebraldanherniasi
B. KONSEP KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea,
sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise,
akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.
6). Sistem Perkemihan, Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal, Usus mengalami gangguan fungsi,
mual/muntah danmengalami perubahan selera
8). SistemMuskuloskeletal, Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang,
kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II :pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III,N.IV,NVI:penurunanlapang pandang, refleks
cahayamenurun,perubahanukuran pupil, bola mta
tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa
pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan
tubuh
N.IX , N.X , N.XI : jarang ditemukan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
1. Gangguanventilasispontan
2. Pola napas tidak efektif
3. Perununankapasitasadaptifintrakranial
4. Perfusiperifertidakefektif
5. Nyeriakut
6. Gangguanmobilitasfisik
7. Resikoperfusiserebraltidakefektif
8. Resikoperdarahan
9 Resikoperfusiserebraltidakefektif
10. Gangguansirkulasispontan
11. Gangguanpersepsisensorik
Memaksimalkan O2
pada darah arteri dan
membantu dalam
. Pantau analisa gas darah,
tekanan oksimetri. mencegah hipoksia.
Menentukan
kecukupan
pernapasan,
keseimbangan asam
basa.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd
ed. Philadelpia F.A. Davis Company.
Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC
A. Konsep Dasar
1. Pengertian dan Klasifikasi
Meningitis adalah radang dari selaput otak yaitu lapisan aracnoid dan
piameter yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Judha & Rahil, 2012).
Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput meningeal yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dengan ditandai adanya gejala spesifik
dari system saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, gejala rangsang meningkat,
gejala peningkatan tekanan intrakranial dan gejala defisit neurologi (Widagdo,
2011).
Klasifikasi
a. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :
a). Asepsis Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarakhnoid.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada
meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak.
Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan otak. Mekanisme atau
respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung pada jenis sel
yang terlibat.
b). Sepsis Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh
organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza.
Bakteri paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria
meningitdis (meningitis meningokokus), Streptococcus pneumoniae (pada
dewasa), dan Haemophilus influenzae (pada anakanak dan dewasa muda). Bentuk
penularannya melalui kontak langsung, yang mencakup droplet dan sekret dari
hidung dan tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang
lain. Akibatnya, banyak yang tidak berkembang menjadi infeksi tetapi menjadi
pembawa (carrier). Insiden tertinggi pada meningitis disebabkan oleh bakteri gram
negatif yang terjadi pada lansia sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah
saraf atau seseorang yang mengalami gangguan respons imun.
c). Tuberkulosa Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi
meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu melalui salah
satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti
selulitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik
tulang wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau
hasil sekunder prosedur invasif seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasif
(seperti alat pemantau TIK) (Muttaqin, 2008).
b. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak, yaitu :
a). Meningitis Serosa Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang
disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
b). Meningitis Purulenta Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang
meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus
pneumoniae (pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococcus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).
2. Etiologi
Penyebab meningitis pada orang dewasa disebabkan oleh bakteri. bakteri
penyebab meningitis tersering pada orang dewasa adalah diplococus pneumonia dan
neiseria meningitidis, stafilococus dan gram negatif. Pada anak – anak bakteri
tersering yang menjadi penyebab adalah Hemophylus influenza, neiseria
meningiditis, dan diplococus pneumonia (Satyanegara, 2010). Bakteri Merupakan
penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara umum
diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :
a. Haemophillus influenzae
b. Nesseria meningitides (meningococcal)
c. Diplococcus pneumoniae (pneumococcal)
d. Streptococcus, grup A
e. Staphylococcus aureus
f. Escherichia coli
g. Klebsiella
h. Proteus
i. Pseudomonas
3. Manifestasi Klinik
Menifestasi klinik meningitis secara keseluruhan sangat bergantung pada
etiologinya. Tanda dan gejala dari meningitis menurut Suyono, S (2011) antara
lain :
a. Anak
a) Menolak makan
b) Refleks menghisap masih kurang
c) Muntah
d) Diare
e) Tonus otot melemah
f) Menangis lemah
b. Dewasa
a) Demam tinggi ( gejala kardinal)
b) Sakit kepala
c) Muntah
d) Perubahan sensori
e) Kejang
f) Mudah terstimulasi
g) Foto pobia
h) Delirium
i) Halusianasi
j) Maniak
k) Stupor
l) Koma
m) Kaku kuduk
n) Tanda kernig sign dan brudzinki (+)
o) Ptechial ( menunjukan infeksi meningococal)
4. Patofisiologi
Infeksi mikroorganisme terutama bakteri dari golongan kokus seperti
streptokokus, stapilokus, meningokokus, pneumokokus, dan dari golongan lain
seperti tersebut diatas menginfeksi tonsil, bronkus, dan saluran cerna.
Mikroorganisme tersebut mencapai otak mengikuti aliran darah.
Di otak mikroorganisme berkembangbiak membentuk koloni. Koloni
mikroorganisme itulah yang mampu menginfeksi lapisan otak (meningen).
Mikroorganisme menghasilkan tosik dan merusak meningen. Kumpulan toksik
mikroorgannisme, jaringan meningen yang rusak, cairan sel terkumpul menjadi satu
membentuk cairan yang kental disebut pustula. Karena sifat cairnya tersebut
penyakit ini popular disebut meningitis purulenta.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme melalui hematogen sampai
hipotalamus. Hipotalamus kemudian menaikkan suhu sebagai tanda adanya
bahaya. Kenaikkan suhu dihipotalamus akan diikuti dengan peningkatan mediator
kimiawi akibat peradangan seperti prostaglandin, epinefrin, norepinefrin.
Kenaikkan mediator tersebut dapat merangsang peningkatan metabolisme
sehingga dapat terdapat kenaikkan suhu di seluruh tubuh, rasa sakit kepala,
peningkatan gastrointestinal yang memunculkan rasa mual dan muntah.
Volume pustule yang semakin meningkat dapat mengakibatkan
peningkatan desakan di dalam intracranial. Desakan tersebut dapat meningkatkan
rangsangan di korteks serebri yang terdapat pusat pengaturan gastrointestinal
sehingga merangsang munculnya muntah dengan cepat, juga dapat terjadi gangguan
pusat pernafasan. Peningkatan tekanan intrakranial tersebut juga dapat menganggu
fungsi sensorik maupun motorik serta fungsi memori yang terdapat pada serebrum
sehingga penderita mengalami penurunan respon kesadaran terhadap lingkungan
(penurunan kesadaran). Penurunan kesadaran ini dapat menurunkan pengeluaran
sekresi trakeobronkial yang berakibat penumpukan sekret di trakea dan bronkial.
Sehingga trakea dan bronkus menjadi sempit.
Peningkatan tekanan intracranial juga dapat berdampak pada munculnya
fase eksitasi yang terlalu cepat pada neuron sehingga memunculkan kejang.
Respon saraf perifer juga tidak bisa berlangsung secara kondusif, ini yang secara
klinis dapat memunculkan respon patologis pada jaringan tersebut seperti
munculnya tanda kering dan brudinsky. Kejang yang terjadi pada anak dapat
mengakibatkan spasme pada otot bronkus. Spasme dapat mengakibatkan
penyempitan jalan nafas (Riyadi & Suharsono, 2010).
5. Pathways
Mikroorganisme secara hematogen sampai ke meningen
Meningitis
Hipertermi
peningktan output cairan depresi pada pusat kesadaran ekstensi
sekresi trakeobronkial memori, respon,lingkungan luar neuron
penyempitan lumen
trakea, bronkus
penurunan oksigen
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk pasien dengan
menigoensefalitis Wijaya Andra, S (2013) antara lain :
a. Pemeriksaan neurologis : gangguan kesadaran, hemiparase, tonus otot
meningkat, spastisitas, terdapata refleks patologis, refleks fisiologis meningkat,
gangguan nervus cranialis, ataksia.
b. Pemeriksaan fungsi lumbal
c. Pemeriksaan labolatorium
d. Pemeriksaan penunjang lainnya antara lain
a) CRP darah dan LCS
b) Serologi (IgM, Ig G )
c) EEG
d) CT scanm kepala : edema otak, tanpa bercak – bercak hipodens tubekolosis
yang terfokus.
7. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul pada penderita dengan
meningitis dan ensefalitis adalah
a. Ketidaksesuaian sekresi ADH
b. Pengumpulan cairan subdural
c. Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan
d. Hidrocepalus yang berat dan retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi
nervus II ( optikus )
e. Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di
mulut, konjungtivitis
f. Epilepsi
g. Pneumonia karena aspirasi
h. Efusi subdural, emfisema subdural
i. Keterlambatan bicara
j. Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus IV (toklearis ),
nervus VI (abdusen).
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Rawat Inap
a) Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis
biasanya berat.
b) Perbaiki hemsotastis tubuh
c) Deksametasone 0,5-1,0 mg/KgBB/hari IV
d) Pemberian cairan manitol
e) Antibiotik
f) Fisioterapi dan terapi bicara untuk pasien yang masih sadar
b. Jika penderita tidak sadar lama :
a) Diit TKTP melalui sonde
b) Mencegah dekubitus dan pneumonia
c) Ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam
d) Mencegah kekeringan kornea dengan
e) borwater atau salep antibiotik
h) Pernapasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (tahap awal ), perubahan mental (
letargi sampai koma ) dan gelisah.
i) Keamanan
Gejala : Adanya riwayat infeksi saluran napas atas atau infeksi lain, meliputi
mastoiditis telinga tengah sinus, abses gigi, abdomen atau kulit, fungsi
lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak / cedera kepala.Imunisasi yang
baru saja berlangsung ; terpajan pada meningitis, terpajan oleh campak,
herpes simplek, gigitan binatang, benda asing yang terbawa.Gangguan
penglihatan atau pendengaran
Tanda : Suhu badan meningkat,diaphoresis, menggigil, Kelemahan
secara umum ; tonus otot flaksid atau plastic, Gangguan sensoris.
j) Data Psikososial
Respon emosi pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien juga
penting untuk menilai pasien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
2. Diagnosa Keperawatan
(Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia , 2017)
a. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D. 0017)
b. Nyeri Akut (D.0077)
c. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)
d. Hipertermia (D.0130)
e. Pola Nafas tidak efektif (D.0005)
f. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D. 0001)
g. Defisit nutrisi (D.0019)
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI NIC
(NOC)
1. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif NOC : NIC
(D. 0017) Status Sirkulasi
Menejemen Sirkulasi
Definisi : Status Perfusi jaringan serebral
Kriteria Hasil Pantau nadi perifer
Beresiko mengalami penurunan sirkulasi Catat warna kulit dan temperatur
darah ke otak Setelah dilakukan intervensi selama
Cek capilery refill
Kondisi klinis terkait 3 x 24 jam nyeri berkurang/teratasi. Monitor status cairan, masukan
a. Stroke dan keluaran yang sesuai Monitor
NOC / Kriteria Hasil :
b. Cedera kepala lab Hb dan Hmt
c. Hipertensi Tekanan darah sis-tolik dan diastolik Monitor perdarahan
d. Dilatasi kardiomiopati dalam rentang yang diharapkan Monitor status hemodinamik,
e. Infeksi otak ( meningitis) Tidak ada ortostatik hipotensi neurologis dan tanda vital
Tidak ada tanda- tanda Peningkatan
TIK Terapi Oksigen
2 NOC : NIC
Nyeri Akut (D.0077
Pain Level / Tingkat Nyeri (2102) Pain Managemen
Definisi
Pain Control/ Kontrol Nyeri (1605)
Lakukan pengkajian secara
Pengalaman sensori dan emosional yang
Kriteria Hasil komprehensif termasuk lokasi,
berkaitan dengan kerusakan jaringan actual
karateristik, durasi, frekuensi,
atau fungsional, dengan onset mendadak Setelah dilakukan tindakan skala, kualitas, dan faktor prepitasi
atau lambat dan berintensitas ringga hingga keperawatan selama 3x24 jam klien
(otot yang sudah lama tidak
berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. mampu digerakan ).
Observasi reaksi nonverbal dari
Penyebab Mengontrol nyeri (penyebab nyeri,
Agens-agens penyebab cedera (misalnya, mampu ketidaknyamanan.
menggunakan tekhnik
Gunakan komunikasi terapeutik
biologis, fisik, kimia, dan psikologis) nonfarmakologi untuk mengurangi agar klien dapat mengekspresikan
Gejala dan tanda mayor : nyeri, mencari bantuan)\ nyeri.
Subyektif Melaporkan bahwa nyeri berkurang Lakukan tindakan kenyamanan
Mengeluh nyeri dengan menggunakan manajeman untuk meningkatkan relaksasi,
Obyektif nyeri dengan tekhnik non farmakologis
a. Tampak meringis Mampu mengenali nyeri ( skala, misalnya pemijatan, mengatur
b. Bersikap protektif intensitas, frekuensi dan tanda nyeri posisi klien, tekhnik relaksiasi,
c. Gelisah Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri distraksi.
d. Frekuensi nadi meningkat berkurang Gunakan tekhnik panas dingin
e. Sulit tidur sesuai anjuran untuk
Gejala dan tanda minor : meminimalkan nyeri.
Subyektif : Monitor penerimaan tentang
(tidak tersedia) manajemen nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Kurangi faktor presipitasi
Obyektif : Berikan analgetik untuk
a. Tekanan darah meningkat mengurangi rasa nyeri.
b. Pola nafas berubah
c. Nafsu makan berubah Analgetik Administration (2210)
d. Proses berpikir terganggu Cek riwayat alergi
e. Menarik diri Cek instruksi dokter tentang jenis
f. diaforesis obat, dosis, dan frekuansi
Tentukan lokasi, kharateristik,
kulitas dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
Pilih analgetik yang diperlukan
+atau kombinasi dari analgetik
ketika pemberian lebih dari satu.
Tentukan pilihan analgetik
tergantung tipe dan bertatnya
nyeri, tentukan rute pemberian dan
sosis yang optimal (pilih rute
pemberian secara IV,IM, untuk
pengobatan nyeri secara teratur).
Evaluasi efektifitas analgesik tanda
dan gejala (efek samping).\
Health Education
Anjurkan klien untuk meminum
obat secara berkala, terlebih saat
awitan terjadi sesuai dengan
anjuran
Anjurkan klien untuk istirahat
Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
Anjurkan klien untuk
menggunakan aktivitas pengalihan
atau relaksasional (meninton TV,
membaca, mendengarkan musik
dll).
Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang.
3 Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) NOC NIC
Obyektif : Rencanakan
a. Kulit merah secara konti
b. Kejang Monitot TD
c. Takikardi Monitor war
d. Takipnea Monitor ta
e. Kulit terasa hangat dan hipoterm
Tingkatkanh
nutrisi
Selimuti klien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
Ajarkan pada klien cara mencegah
keletihan akibat panas
Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu tubuh dan
kemungkinan efek negatif dari
kedinginan
. Beritahukan tentang indikasi
terjadinya keletihan dan
penanganan emergensi yang
diperlukan
. Ajarkan indikasi dari hipotermi
dan penaganan yang diperlukan
. Berikan antipiretik jika perlu
Vital Sign Montoring
Monitor TD, Nadi, suhu dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
Monitor vital sign klien saat
berbaring, duduk atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
Monitor TD, Nadi RR sebelum,
selama dan setelah melakukan
aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernafasan abnormal
. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit.
. Monitor sianosis perifer
. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
. Identifikasi penyebab dari
perubahan
Pola nafas tidak efektif (D.0005) NOC NIC
Ventilation
Definisi: inspirasi dan atau ekspirasi yang Airway Management
Respiratory status : Airway patency
tidak memberikan ventilasi adekuat
Vital sign status Buka jalan nafas, Gunakan tehnik
Penyebab Chinn lift atau jaw trash bila perlu
Posisikan pasien untuk
Ansietas Posisi Kriteria Hasil:
memaksimalkan ventilasi
tubuh Deformitas
Mendemonstrasikan batuk efektif dan Identifikasi pasien perlunya
tulang
suara nafas yang bersih, tidak ada pemasangan alat jalan nafas buatan
Deformitas dinding dada
sianosis dan dyspnea (Mampu Pasang mayo bila perlu
Keletihan
Mengeluarkan sputum, Mampu Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Hiperventilasi
Bernafas dengan mudah tidak ada keluarkan secret dengan batuk atau
Sindrom hipoventilasi
pursed lips) section
Gangguan musculoskeletal
Menunjukkan Jalan nafas yang paten Auskultasi suara nafas catat
Kerusakan neurologis
(Klien tidak merasa tercekik, irama adanya suara tambahan.
Imaturitas neurologis
nafas, frekuensi pernafasan dalam Lakukan suction pada mayo
Disfungsi neuromuscular
rentang normal, tidak ada suara nafas Berikan bronkodilator bila perlu.
Obesitas abnormal) . Berikan pelembab udara kasa basa
Nyeri Tanda tanda vital dalam rentang NaCl Lembab
Keletihan otot pernapasan normal (tekanan Darah, Nadi, . Atur intake untuk cairan
Cedera medulla spinalis Pernafasan). mengoptimalkan keseimbangan
Gejala dan tanda mayor : . Monitor respirasi dan status O2
Subyektif : oksigen teerapi
Dispnea . Bersihkan mulut, hidung dan
Obyektif : secret trakea
a. Penggunaan otot bantu pernafasan . Pertahankan jalan nafas yang paten
b. Fase ekspirasi memanjang . Atur peralatan oksigenasi
c. Pola nafas abnormal . Monitor aliran oksigen
Gejala dan tanda minor : . Pertahankan posisi pasien
Subyektif : . Observasi adanya tanda
Ortopnea hipoventilasi
Obyektif : . Monitor adanya kecemasan pasien
a. Pernafasan pursed-lip terhadap oksigenasi
b. Pernafasan cuping hidung
c. Kapasitas vital menurun
Vital sign monitoring
Monitor TD, Nadi, Suhu Dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan
darah.
Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
Monitor TD, Nadi, RR, sebelum,
Selama Dan Setelah Aktifitas.
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernafasan abnormal
. Monitor suhu, warna, dan
kelembapan kulit
. Monitor sianosis perifer,
. Monitor cushing triad * Tekanan
Nadi Yang melebar, Bradikardi,
peningkatan sistolik)
. Identifikasi penyebab dari
penyebab perubahan vital sign.
Bersihan jalan nafas tidak efektif NOC NIC
(D.0001) Respiratory status : Ventilation
Airway suction
Respiratory status : airway patency
Definisi : ketidakmampuan untuk
Pastikan kebutuhan oral / tracheal
membersihkan sekresi atau obstruksi dari
suctioning
saluran pernafasan untuk mempertahankan Kriteria hasil :
Auskultasi suara nafas sebelum
kebersihan jalan nafas tetap paten
Setelah dilakukan tindakan dan sesudah suctioning
penyebab: keperawatan selama 3x24 jam di Informasikan pada klien dn
Lingkungan harapkan klien mampu : keluarga tentang suction
Perokok pasif Minta klien nafas dalam sebelum
Mendemonstrasikan batuk efektif dan
Mengisap asap suction dilakukan
suara nafas yang bersih, tidak ada
Merokok Berikan O2 dengan menggunakan
sianosis dan dypsneu (mampu
Obstruksi jalan nafas nasal untuk memfalitasi suction
mengeluarkan sputum, mampu
Spasme jalan nafas nasotrakeal
bernafas dengan mudah tidak ada
Mucus dalam jumlah berlebihan Gunakan alat yang steril setiap
pursed lips)
Eksudat dalam jalan alveoli melakukan tindakan
Materi asing dalam jalan nafas Menunjukkan jalan nafas yang paten ( Anjurkan pasien untuk istirahat
Adanya jalan nafas buatan klien tida merasa tercekik, irama dan napas dalam setelah kateter
Sekresi bertahan / sisa sekresi nafas, frekuensi pernafasan dalam dikeluarkan dari nasotrakeal
Sekresi dalam bronchi rentang normal, tidak ada suara nafas Monitor status oksigen pasien
Fisiologis abnormal) Ajarkan keluarga bagaimana cara
Jalan napas alergik Mampu mengidentifikasikan dan melakukan suction
Asma mencegah factor yang dpat . Hentikan suction dan berikan
Penyakit paru obstruktif kronik menghambat jalan nafas oksigen apabila pasien
Hiperplasi dinding bronchial menunjukkan bradikardi,
Infeksi peningkatan saturasi O2, dll
Disfungsi neuromuscular Airway Management
Gejala dan tanda mayor :
. Buka jalan nafas, gunakan teknik
Subyektif :
chinlift atau jaw thrust bila perlu
(tidak tersedia)
. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Obyektif :
. Identifikasi pasien perlunya
a. Batuk tidak efektif
pemasangan alat jalan nafas buatan
b. Tidak mampu batuk
. Pasang mayo bila perlu
c. Sputum berlebih
d. Mengi, wheezing, dan/atau ronchi . Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Gejala dan tanda minor : . Keluarkan secret dengan batuk
Subyektif : atau suction
a. Dispnea . Auskultasi suara nafas, catat
b. Sulit bicara adanya suara tambahan
c. Ortopnea . Lakukan suction pada mayo
Obyektif : . Berikan bronkodilator bila perlu
a. Gelisah . Berikan pelembab udara kassa
b. Sianosis basah NaCl pelembab
c. Bunyi nafas menurun . Atur intake untukn cairan
d. Frekuensi nafas berubah mengoptimalkan keseimbangan
e. Pola nafas berubah . Monitor respirasi atau O2
Suyono, Salamet. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam Edisi 3 Jilid 1, 2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI