Anda di halaman 1dari 5

Fogging Tak Bisa Dilakukan Sembarangan

Jakarta, CNN Indonesia -- Fogging atau pengasapan merupakan salah satu cara efektif membunuh
nyamuk pembawa virus dengue yang mengakibatkan penyakit demam berdarah. Pengasapan ini
dapat membuat nyamuk Aedes aegypti yang bersarang di dalam rumah mati.

Meski efektif, melakukan fogging tak bisa sembarangan. Fogging harus dilakukan dan diawasi
dengan tepat agar nyamuk yang menjadi sasaran benar-benar mati.

"Fogging itu akan efektif jika dilakukan dengan tepat. Harus sesuai dengan SOP, harus mengikuti
aturan. Tidak seperti sekarang, saya lihat banyak sekali kesalahan dalam fogging," kata Kepala Unit
Kajian Pengendalian Hama Pemukiman Institut Pertanian Bogor Profesor Upik Kesumawati dalam
gelaran acara Minyak Telon My Baby, Jakarta, Selasa (19/2).

Upik menjelaskan, fogging harus dilakukan oleh orang yang sudah ahli dalam menggunakan mesin
dan memahami tempat-tempat yang disukai nyamuk untuk bersarang.

"Saya sering lihat fogging bisa dilakukan oleh siapa saja seperti satpam. Padahal, kan, tidak punya
kemampuan untuk itu sehingga tidak tepat sasaran," ungkap Upik.

Menurut Upik, waktu yang tepat untuk melakukan fogging adalah pagi atau sore hari. Di waktu-
waktu ini, nyamuk Aedes sedang beristirahat dan angin belum terlalu kencang.

Pengasapan juga mesti menjangkau seluruh ruangan di dalam rumah, bahkan ke setiap sudut
ruangan dan radius 100 meter dari pemukiman. Lokasi yang lembap dan kotor seperti gantungan
pakaian, bagian bawah lemari, dan tempat air tergenang harus diberi perhatian ekstra.

Saat fogging, kata Upik, pastikan semua anggota keluarga, termasuk anak-anak, tak berada di dalam
rumah. Pastikan pula makanan dan benda lain tertutup agar tak terkena asap.

"Ini saat fogging harus hati-hati sekali dan diawasi," ucap Upik.

Fogging ini akan lebih efektif jika dilakukan dua kali, selang satu pekan setelah pengasapan yang
pertama. Menurut Upik, fogging kedua dilakukan untuk memberantas nyamuk dewasa yang saat
pengasapan pertama masih berupa telur atau jentik nyamuk.
Fogging Tak 100 Persen Efektif Berantas Nyamuk DBD
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia kian meningkat. Per 29
Januari 2019 dilaporkan ada sebanyak lebih dari 13 ribu kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak
133 orang.

Status waspada digaungkan Kementerian Kesehatan kemarin (30/1) demi menepis kemunculan istilah
wabah atau KLB (kejadian luar biasa).

Berbagai upaya dikerahkan termasuk fogging yang diprakarsai dinas kesehatan maupun mandiri. Namun
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik, Kemenkes mengingatkan bahwa fogging hanya satu dari sekian upaya yang bisa dilakukan.
Langkah ini tak akan efektif tanpa langkah penyerta lainnya.

"Fogging itu hanya untuk nyamuk dewasa. Jadi kalau kita lakukan fogging saja, kita tidak lakukan
pemberantasan sarang nyamuk, si jentik nyamuk yang ada sampai 300-450 ekor dia akan berkembang
jadi nyamuk dewasa," ujar Nadia saat temu media di press room Gedung Kemenkes, Kuningan, Jakarta
Selatan, Rabu (30/1).

Lebih lanjut lagi ia berkata fogging merupakan langkah penyemprotan insektisida.


Penggunaan fogging otomatis tak boleh berlebihan.

Fogging perlu disertai langkah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pemberian larvasida untuk
membunuh jentik nyamuk dan gerakan 3M Plus. Gerakan 3M sudah banyak diserukan dalam berbagai
kesempatan dan media termasuk media sosial.

Gerakan ini dapat dimulai dari rumah yakni, menguras tempat yang sering dijadikan tempat
penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan kembali barang bekas
yang berpotensi jadi tempat berkembang biak nyamuk.

Orang tak boleh melupakan tempat penampungan air di belakang kulkas atau tempat penampungan air
di bawah keran dispenser. Bahkan pot bunga dan 'ketiak' tanaman. Bagian-bagian ini kerap luput dari
perhatian.

Di samping itu terdapat langkah Plus yakni menaburkan bubuk larvasida pada wadah-wadah yang sulit
dibersihkan, misalnya water torrent (tabung penampung air). Ada pula cara alami untuk memberantas
jentik nyamuk yakni dengan memelihara ikan pemangsa jentik misalnya ikan cupang.

Nadia juga mengingatkan untuk tidak membiasakan diri menggantung pakaian. Apalagi di musim hujan,
menggantung baju yang dirasa masih layak pakai bakal berpotensi jadi sarang nyamuk. Tanpa sadar
rumah bisa jadi sarang nyamuk karena kebiasaan sepele ini.

Sementara itu Kemekes mentapkan status kewaspadaan untuk kasus DBD kali ini. Dari 13ribu lebih kasus,
wilayah Jawa Timur memiliki kasus terbanyak yakni sebanyak 2.657 kasus dan jumlah kematian mencapai
47 jiwa.

"Surat edaran juga sudah dari November kita ingatkan. Kemudian surat edaran dari Dirjen untuk
memberi dukungan pada provinsi-provinsi seperti larvasida, alat fogging dan kita berikan penyuluhan,"
imbuhnya.
Fogging Tak Selalu Mampu Berantas Demam Berdarah
Musim hujan selain membawa banyak air, juga menghadirkan ancaman rutin yang mematikan
yaitu demam berdarah. Pengasapan atau fogging pun seolah menjadi tradisi tahunan, meski
sebenarnya tak selalu cukup membantu.

Pukul 05.00, ketika masih banyak anak-anak terlelap, deru mesin pengasapan atau fogging sudah
terdengar di kawasan Sariharjo, Sleman. Tidak hanya suara kencangnya yang membangunkan warga,
tetapi juga bau asap menyebar masuk ke rumah-rumah. “Sudah diumumkan kalau memang
mau fogging, karena sudah ada warga sini yang masuk rumah sakit,” kata Jono, ketua RT setempat.

Petugas fogging masuk ke setiap rumah warga, menyemprotkan asap ke kebun dan saluran air untuk
memastikan setiap titik kampung terlewati. Cara ini diyakini mampu membantu melawan serangan
nyamuk Aedes aegypti yang membuat salah satu warga masuk rumah sakit.

Namun, apakah keyakinan masyarakat itu benar?

Riris Andono Ahmad (dok. UGM)

Dr Riris Andono Ahmad menerangkan, tidak semua upaya fogging membawa dampak dalam
memberantas nyamuk penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) itu. Bahkan, jika tidak cermat,
tindakan fogging justru kontraproduktif. Riris adalah peneliti dalam World Mosquito Program di
Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK)
UGM di Yogyakarta.

“Tergantung, saya tidak mengatakan efektif atau tidak karena memang ada syaratnya.

Tidak semua hal memerlukan fogging, karena fogging hanya membunuh nyamuk yang dewasa.
Ketika orang banyak melakukan fogging secara mandiri, menggunakan insektisida secara bebas,
maka ada kemungkinan nyamuk menjadi resisten. Nyamuk Aedes aegypti di Yogya hampir semua
resisten terhadap insektisida komersial yang ada di pasaran. Ketika sudah resisten semua,
maka fogging menjadi tidak efektif,” papar Riris.

Fogging Tindakan Bersyarat

Lalu, kapan fogging bisa dilakukan? Riris menyebut, fogging diperlukan ketika ditemukan kasus
transmisi lokal atau penularan DBD setempat. Kegiatan ini diperlukan untuk membasmi nyamuk
dewasa. Namun, catatan pentingnya, adanya transmisi lokal atau tidak harus merupakan hasil
investigasi dari petugas kesehatan bukan keputusan masyarakat sendiri.
Jika salah dalam mengambil keputusan, lanjut Riris, nyamuk akan resisten terhadap insektisida.
Dalam kondisi ini, ketika fogging dilakukan, nyamuk hanya pingsan, dan akan aktif kembali. Tahun ini
kondisinya lebih memprihatinkan, karena fogging juga menjadi alat mencari simpati masyarakat
dalam Pemilu. Banyak Caleg memfasilitasi fogging tanpa memahami betul sebab dan resiko yang
ada.

Fogging yang tidak tepat justru berpotensi membuat nyamuk resisten insektisida (foto: VOA/Nurhadi
Sucahyo)

Riris menyebut Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah kegiatan yang lebih efektif
mengendalikan serangan DBD. Namun, program ini tidak boleh dilakukan hanya ketika musim hujan
saja. “ PSN jangan hanya ketika ada wabah. Nyamuk Aedes aegypti itu selalu ada. Penelitian kami di
Yogya selama empat tahun terakhir, di musim kemarau maupun hujan nyamuk ini ada. Telurnya di
musim kemarau tetap bisa bertahan sampai enam bulan tanpa air. Nah, dengan rutin melakukan
PSN, populasi nyamuk bisa dikontrol,” tambah Riris.

Strategi “Perang” Baru

“Perang” melawan nyamuk DBD sebenarnya juga dilakukan melalui teknologi tinggi. Salah satu yang
populer adalah Aplikasi Wolbachia dalam Eliminasi Dengue (AWED), yang dilakukan Pusat
Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM.

Nyamuk ber-Wolbachia di insektarium Pusat Kedokteran Tropis, FKKMK UGM (dok. UGM)
AWED dilakukan dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke tubuh nyamuk. Wolbachia adalah genus
bakteri parasit pada hewan artropoda. Infeksi Wolbachia akan menyebabkan partenogenesis atau
produksi sel telur tanpa pembuahan, kematian pejantan, dan feminisasi. Dengan Wolbachia di dalam
nyamuk, virus Aedes aegypti tidak mampu berkembang.

Penerapan AWED dimulai pada 2016 di sejumlah kecamatan di Kota Yogyakarta. Dalam satu tahun,
upaya penyebaran nyamuk dengan Wolbachia di dalam tubuhnya, selesai dilakukan. “Dari hasil
pemantauan yang dilakukan, diketahui saat ini lebih dari 90 persen nyamuk Aedes aegypti di Kota
Yogyakarta sudah ber-Wolbachia,” kata Peneliti Utama dalam program ini, Prof. Adi Utarini.

Saat ini, proses penelitian dilakukan dengan keterlibatan pasien dengan gejala demam yang datang
ke 18 Puskesmas di Kota Yogya dan 1 Puskesmas di Bantul, DIY. Ada 3.400 pasien yang berpartisipasi
menjadi responden penelitian. Mereka berasal dari dua kawasan berbeda, yaitu kawasan dengan
nyamuk ber-Wolbachia dan tidak. “Hasil studi baru bisa diketahui pada tahun 2020, tetapi setiap
perkembangan selalu kita sampaikan ke Dinas Kesehatan,” tambah Adi Utarini.

Riris Andono Ahmad menyatakan, ada dua yang menentukan masa depan perang melawan nyamuk
dengan teknologi Wolbachia ini. Pertama adalah hasil penelitian. Jika efektif, tentu langkah ini
menjadi salah satu strategi pengendalian dengue di Indonesia. Faktor kedua adalah kesediaan
pemerintah mengadopsi teknologi ini, karena dalam skala besar akan dibutuhkan pembiayaan yang
tidak sedikit.

Pemetaan Gejala Serangan

Di sisi lain, Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini sedang mengambangkan peta digital potensi demam
berdarah. Heroe Poerwadi, Wakil Walikota Yogya menjelaskan, peta digital itu sudah masuk pada
tahap awal permodelan. Yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data terkait potensi munculnya
kasus demam berdarah.

“Ini salah satu teknologi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi. Peta ini akan menunjukkan wilayah-
wilayah yang punya potensi tumbuh kembangnya nyamuk Aedes aegypti. Supaya kita tidak
terlambat mangantisipasinya, sehingga muncul kasus. Dengan adanya peta ini, sebelum ada kasus
kita sudah bisa minta ke masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan misalnya dengan
pembersihan dan lainnya,” papar Heroe.

Peta digital ini akan memuat kondisi cuaca, suhu, kelembaban dan curah hujan di suatu kawasan
pada periode tertentu. Jika angka-angka unsur tersebut mencapai titik tertentu, dan dianggap
berpotensi memunculkan kasus demam berdarah, maka pemerintah setempat akan meningkatkan
kewaspadaan. “Nanti kita bisa melihat, berdasar peta itu, wilayah mana saja yang punya potensi
DBD. Kemudian di wilayah itu akan kita lakukan PSN dan peningkatan kewaspadaan,” tambah Heroe.

Pada 2016 di Kota Yogyakarta terjadi 1.705 kasus DBD dengan korban meninggal 13 orang. Setahun
kemudian, terjadi 414 kasus dengan dua meninggal. Pada 2018 ada 113 kasus dan dua meninggal.
Sementara hingga Januari 2019, dilaporkan telah terjadi 35 kasus DBD.

Anda mungkin juga menyukai