Kaidah Fiqhiyyah
Kaidah Fiqhiyyah
PENDAHULUAN
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku
penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian,
sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan
sistematika kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh
diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu
kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah
dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i
yang banyak”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian
atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum
cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi
islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22
tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung
selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman
kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir
adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru
dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim
(kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.
Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad
SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu :
· Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam
yang tidak mengandung al-Mustasnayat
· Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah
fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh,
karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena
dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang
menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn
Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-
mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah
satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts),
apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya,
yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak
terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang
dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu
bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh,
karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting
dan termasyhur abad ini adalah :
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-
cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat,
umpamanya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan
sebagai syarat”
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad
SAW. Umpamanya adalah :
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
yaitu :
· Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
· Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah
al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
usmaniah.
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata,
pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas
suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa
lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy
dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya
ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad
al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di
dalam kaidah.
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak
mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh
syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di
dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang
baik.
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil
suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan
tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti :
Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si
B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan
hasil curian.
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa
sebelum maghrib tiba.
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu :
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai
datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu
dengan adanya akad pernikahan.
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-
tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai
kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya.
Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian
atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari
muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya,
seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah
agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
· Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang
ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.