Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku
penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian,
sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II. Rumusan Masalah

1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh


2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III. Tujuan Pembahasan

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan
sistematika kaidah fiqh.

BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh
diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu
kaidah dan fiqh.

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah
dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.

(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut

Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i
yang banyak”.

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :

”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar


bagiannya”.

Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu :

”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”

(Q.S. At-Taubat : 122)

Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman dalam agama.

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)

Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian
atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum
cabang itu”.

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi


3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentuka

Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.

Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi
islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22
tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung
selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman
kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir
adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru
dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim
(kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.
Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad
SAW.

Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu :

· Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam
yang tidak mengandung al-Mustasnayat

· Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :

”pajak itu disertai imbalan jaminan”

”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)”

Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah
fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh,
karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena
dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang
menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.

Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn
Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :

”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-
mal”

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah
satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts),
apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya,
yaitu :

”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak
terpaksa”

Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang
dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :

”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi

Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu
bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh,
karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting
dan termasyhur abad ini adalah :

· Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)

· Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)

· Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W.


761 H)

· Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian


tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah
satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah

“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn.


Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :

“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

III. Pembagian Kaidah Fiqh

Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :

1. Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-
cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat,
umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,


diantaranya :

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan
sebagai syarat”

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan


naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang


cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’

2. Segi mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.

Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad
SAW. Umpamanya adalah :

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada


tergugat”

Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
yaitu :

· Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh


adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia
mendapatkan kemaslahatan.

· Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

· Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah
al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
usmaniah.

IV. Manfaat Kaidah Fiqh

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :

1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)

1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum


2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya
dalam satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah
cara memahami furu’ yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah
dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata,
pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas
suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa
lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy
dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya
ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,


menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani
mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh
karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki
pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut,
kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang
lebih bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad
al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum
fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah

Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah


asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah
ada 5 macam, yaitu :

1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya


2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.”
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah
asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di
dalam kaidah.

IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi

1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan

Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak
mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh
syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.

2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)

Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :

a. Kaidah asasi pertama

“segala perkara tergantung kepada niatnya”


Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada
Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat
karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

b. Kaidah asasi kedua

“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

c. Kaidah asasi ketiga

“kesulitan mendatangkan kemudahan”

Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam


penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah
meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.

d. Kaidah asasi keempat

“kemudhoratan harus dihilangkan”

Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah


dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau
setidak-tidaknya meringankannya.

e. Kaidah asasi kelima

“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di
dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang
baik.

X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum

Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”

Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :

“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”

2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”

Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil
suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.

3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”


4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai
dalil”

Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan
tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti :
Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si
B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan
hasil curian.

5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung


akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”

Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa
sebelum maghrib tiba.

XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus

Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu :

1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah


“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula
digunakan shalat fardhu”

2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah

Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat,


waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini,
yaitu

“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”

Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai
datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu
dengan adanya akad pernikahan.

3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-
tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.

4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah

Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai
kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya.
Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :

“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan


syari’ah”

Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian
atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari
muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah

“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada


kemaslahatan”

Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada


kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya
maupun golongannya.

6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)

Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya,
seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah
agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :

“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang


mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”

Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan,


kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.

BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya)

2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :

· Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah


menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

· Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

II. Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang
ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

Anda mungkin juga menyukai