1. Pertama: Agar Hamba Mengenal Keagungan Rubûbiyah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan
Kemuliaan-Nya
Bila Allah Jalla Jalâluhû menghendaki kejelekan bagi hamba, tiada seorang pun yang dapat menolak
kejelekan itu.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
سو ًءا فَ َل َم َر ّد لَهه َو َما لَ هه ْم ِم ْن دهو ِن ِه ِم ْن َوال ّ َو ِإ َذا أ َ َرا َد
َللاه ِبقَ ْوم ه
“Dan apabila Allah menghendaki kejelekan terhadap suatu kaum, tak ada yang dapat menolak (kejelekan)
itu; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, kecuali Dia.” [Ar-Ra’d: 11]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang
kafir) lalu mengurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan
hukum (menurut kehendak-Nya), tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat
hisab-Nya.” [Ar-Ra’d: 41]
2. Kedua: Mengenal Kehinaan dan Kerendahan Diri dalam Menegakkan Ibadah kepada-Nya
Saat dilanda musibah, manusia akan menyadari keadaannya sebagai para hamba dan di bawah kekuasaan
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Mereka semua tidak terlepas dari ketetapan dan pengaturan Allah serta qadha
dan takdir-Nya. Hal ini tersirat dari pengakuan orang-orang beriman sebagaimana dalam firman-Nya,
َ اجعه
ون َ َ ِين إِ َذا أ
ِ ّ ِ صابَتْ هه ْم هم ِصيبَة قَالهوا إِنّا
ِ لِل َوإِنّا إِلَ ْي ِه َر َ الّذ
“(Yaitu) orang-orang yang, apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi
râji’ûn ‘sesungguhnya kami hanyalah untuk Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami
dikembalikan’.’.” [Al-Baqarah: 156]
“Maka, apabila menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-
Nya; (Namun), tatkala (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka pun (kembali)
mempersekutukan (Allah).”[Al-‘Ankabût: 65]
4. agar Hamba Bertaubat dan Kembali kepada Allah ‘Azza Wa Jalla
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabb-nya dengan
kembali kepada-Nya; (Namun) kemudian, apabila (Rabb-nya) memberi nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia
akan kemudharatan yang pernah dia mohonkan (kepada Allah) untuk (dihilangkan) sebelum itu, dan dia
mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah,
‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya engkau termasuk sebagai
penghuni neraka.’.” [Az-Zumar: 8]
لِل تَبَ ّرأ َ ِم ْنهه ِإ ّن َ ع َد َها ِإيّاهه فَلَ ّما تَبَيّ َن لَهه أَنّهه
ِ ّ ِ عدهو َ ار ِإب َْرا ِهي َم ِِل َ ِبي ِه ِإ َّل ع َْن َم ْو ِعدَة َو
ستِ ْغفَ ه
ْ َان ا َ َو َما ك
ِإب َْرا ِهي َم َِل َ ّواه َح ِليم
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah beliau ikrirkan kepada bapaknya itu. Oleh karena itu, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya
itu adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri dari (bapak)nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seseorang
yang hatinya sangat lembut lagi sangat hilm.” [At-Taubah: 114]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyajj Abdul Qais,
َللاه ا ْل ِح ْل هم َواِلَنَاةه
ّ صلَتَي ِْن يه ِحبُّ هه َما
ْ إ ُِ ّن فِ ْيكَ َخ
“Sesungguhnya, pada engkau, ada dua (akhlak) yang Allah cintai: hilm dan anâh ‘sikap tidak tergesa-
gesa’.” [2]
Ketujuh: Adanya Sifat Memberi Maaf kepada Orang-Orang yang Tertimpa Musibah
Sifat memberi maaf merupakan sifat yang sangat terpuji. Dalam firman-Nya, Allah Subhânahû Wa
Ta’âlâ berfirman menjelaskan sebagian sifat orang-orang yang bertakwa,
اس ِ َّوا ْلعَافِينَ ع َِن الن
“Dan memaafkan (kesalahan) manusia.” [Âli ‘Imrân: 134]
Allah Jalla Jalâluhû juga berfirman,
ِ ّ علَى
َللا َ صلَ َح فَأَجْ هرهه
ْ َ عفَا َوأ
َ فَ َم ْن
“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.” [Asy-Syûrâ: 40]
Kata kebaikan, yang dijanjikan dalam hadits, adalah segala hal yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat,
baik dalam bentuk pahala maupun selainnya.
Namun, harus diketahui pula bahwa pahala tersebut adalah bagi siapa saja yang menerima musibah dengan
kesabaran. Juga, pahala yang diberikan berjenjang sesuai dengan kekuatan sabar. Allah Subhânahû Wa
Ta’âlâberfirman,
َإِنّ َما تهجْ َز ْونَ َما هك ْنت ه ْم ت َ ْع َملهون
“Sesungguhnya kalian diberi balasan terhadap segala sesuatu yang telah kalian kerjakan.” [Ath-Thûr: 16]
Keenam Belas: Musibah Menahan Manusia untuk Berlaku Sombong, Congkak, dan Sewenang-
Wenang
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menjelaskan salah satu sifat manusia dalam firman-Nya,
ْ أ َ ْن َرآهه ا.سانَ لَيَ ْطغَى
ست َ ْغنَى َ اْل ْن
ِ ْ ّك َّل إِن
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat bahwa dirinya serba
cukup.”[Al-‘Alaq: 6-7]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,
ِ الر ْزقَ ِل ِعبَا ِد ِه لَبَغَ ْوا فِي ْاِل َ ْر
ض َولَك ِْن يهنَ ِز هل بِقَدَر َما يَشَا هء إِنّهه بِ ِعبَا ِد ِه َخبِير بَ ِصير ِ َللاه
ّ ط َ س
َ ََولَ ْو ب
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas
di muka bumi, tetapi Dia menurunkan apa-apa yang Dia kehendaki dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ: 27]
Dengan musibah dan cobaan, seorang hamba akan menahan diri dari segala sifat keangkuhan.
Ketujuh Belas: Merupakan Pendidikan bagi Hamba untuk Ridha kepada Ketentuan dan Takdir
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ّ ط فَلَهه ال
س َخ ه
ط ِ ي فَلَه ه
َ ِالرضَا َو َم ْن سَخ ّ َللا إِذَا أَح
َ َب قَ ْو ًما ا ْبتَلَ هه ْم فَ َم ْن َر ِض َ ظ َم ا ْلج ََزاءِ َم َع ِع
َ ّ ّظ ِم ا ْلبَلَءِ َوإِن َ إِنّ ِع
“Sesungguhnya, besarnya pahala bersama dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya, apabila mencintai
suatu kaum, Allah akan menguji (kaum) tersebut. Barangsiapa yang ridha, untuknya keridhaan (Allah),
(tetapi) barangsiapa yang murka, baginya kemurkaan (Allah).” [9]
Kedelapan Belas: Menampakkan Konsekuensi dan Keagungan Nama-Nama yang Maha Baik dan
Sempurna (Al-Asma` Al-Husna) Milik Allah Jalla Jalâluhû
Di antara Al-Asma` Al-Husna milik Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah Ar-Rabb (Yang Maha bersendirian
dalam kepemilikan, pengaturan, kekuasaan, penciptaan, dan perbuatan) dan Al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa).
Keagungan nama-nama ini akan terasa dengan menyaksikan musibah dan petaka yang Allah ‘Azza Wa
Jalla turunkan, yang kehendak Allah tersebut tidak akan mampu ditolak oleh siapapun. Demikian pula
kandungan dan konsekuensi Al-Asma` Al-Husna yang lain.
Kesembilan Belas: Keberadaan Musibah di Tengah Manusia Akan Membuat Seorang Hamba Tersadar
bahwa Seluruh Manusia Sangat Bergantung kepada Penjagaan dan Perlindungan Allah Subhânahû
Wa Ta’âlâ
Apabila tidak ada rahmat dan perlindungan Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dia akan binasa di tengah badai
musibah dan petaka.
Kedua Puluh: Seorang Hamba yang Didera oleh Petaka Akan Banyak Merenungi Sebab yang
Mendatangkan Petaka
Dengan demikian, dia akan terdidik untuk banyak memperbaiki diri, membenahi aib dan keburukannya, serta
menahan diri dari membahas aib orang lain.
Kedua Puluh Satu: Musibah Menyingkap bahwa Kehidupan Dunia Hanyalah Sementara, bukan
Kehidupan Kekal Abadi
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
َ ّار ْاْلخِ َرةَ لَ ِه
َي ا ْل َحيَ َوا هن لَ ْو كَانهوا يَ ْعلَ همون َ َو َما َه ِذ ِه ا ْل َحيَاةه ال ُّد ْنيَا إِ َّل لَهْو َولَعِب َوإِنّ الد
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan permainan belaka. Dan sesungguhnya akhirat
itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui.” [Al-‘Ankabût: 64]
Wallâhu Ta’âlâ A’lam
[1] Tujuh belas poin pertama dirangkum dari Fawâ`id Al-Balwâ wa Al-Mihan karya Al-‘Izz bin Abdus Salam,
selebihnya dibahasakan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Zâd Al-Ma’âd Fî Hadyi Khair Al-‘Ibâd 4/ 188-
196 dan Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain 2/362-372.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbâs dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhum.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasâ`iy dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu
‘anhû.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu
‘anhumâ, serta oleh At-Tirmidzy, dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.
[5] Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Râsyid, Ahmad, Ibnu Mâjah, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Al-
Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 2047.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân bin Basyir radhiyallâhu ‘anhumâ.
[7] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-
Shahîhah no. 602.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhû.
[9] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-
Shahîhah no. 146.