Anda di halaman 1dari 7

Pneumonia Neonatus : Laporan Kasus

Jessa Kris Dayanti

Abstrak
Pneumonia neonatus adalah infeksi paru-paru pada neonatus. Infeksi dapat disebabkan
virus ataupun bakteri. Pada neonatus seringkali terjadi akibat transmisi vertikal ibu anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Masih tingginya kasus pneumonia pada anak di
Indonesia menjadi hal yang perlu diperhatikan di dunia kesehatan. Berdasarkan data Badan
PBB untuk Anak-anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari 147.000
anak dibawah 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia. Dilaporkan kasus di RS
Nasional Diponegoro Semarang yaitu bayi baru lahir laki-laki dengan berat badan lahir 2450
gram (BBLR), PB 47cm, ditemukan adanya bayi menangis merintih, napas cuping, retraksi
subcostal saat lahir disertai asfiksia dengan APGAR score 8-9-10, pasien didiagnosis dengan
gangguan napas sedang, neonatus aterm, BBLR dan SMK. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
anak sadar, aktif,menangis kuat, suhu 36,8℃, takipnea, saturasi oksigen 96% terpasang CPAP
PEEP 5 FiO2 30% flow 5lpm, dan retraksi subkostal. Pada pemeriksaan penunjang lab darah
didapatkan Hb 13,5gr/dl, Ht 39,3%, eritrosit 3,62 juta/uL, leukosit 20.500/uL, trombosit
247.000/uL, GDS 58mg/dL, elektrolit kalsium 2,65mmol/L, natrium 141,73mmol/L, kalium
4,37mmol/L, klorida 103,38 mmol/L. Pada pemeriksaan radiologi babygram didapatkan
adanya gambaran peningkatan corakan bronchovascular dan infiltrat tipis parakardial kanan
yang mendukung gambaran pneumonia neonatus. Pasien didiagnosis dengan pneumonia
neonatus, neonatus aterm, BBLR, dan SMK.

Pendahuluan
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan
oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,
imunokompromais, dll).1 Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak
diderita pada anak-anak diseluruh dunia.

Pneumonia merupakan penyebab penting infeksi neonatal dan untuk angka morbiditas
dan mortalitas yang signifikan, pada periode neonatal.2 Pneumonia neonatus adalah infeksi
paru-paru pada neonatus.3 Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa
ditemukannya gejala-gejala fisik pneumonia.1 Dengan gambaran klinis dari gangguan
pernapasan, terkait dengan temuan radiologi thoraks menunjukkan pneumonia dan bertahan
selama minimal 48 jam.4 Onset biasa terjadi pada saat lahir dan bagian dari sindrom sepsis atau
setelah 7 hari dan berbatas pada paru-paru.3

Pada 2015, WHO melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16 persen
dari jumlah tersebut disebabkan pneumonia. Berdasarkan data Badan PBB untuk Anak-anak
(UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari 147.000 anak dibawah 5 tahun di
Indonesia meninggal karena pneumonia.5
Laporan ini merupakan kasus demonstrasi, sehingga diharapkan dikemudian hari tidak
luput dari diagnosis. Perlu diingatkan bahwa bayi baru lahir dengan demam dan/ atau gangguan
pernapasan perlu dipikirkan adanya pneumonia neonatus.

Kasus
Seorang bayi laki-laki lahir pada tanggal 7 April 2019 di RS Nasional Diponegoro
Semarang secara sectio caesaria atas indikasi gagal induksi. Berat badan saat lahir 2450gram,
panjang badan lahir 47cm. Saat lahir bayi langsung menangis merintih, napas cuping, retraksi
subcostal, disertai asfiksia dengan APGAR score 8-9-10. Pasien diberi early CPAP PEEP 5
FiO2 30% flow 10lpm. Pasien mengalami gangguan napas sedang dengan diagnosis banding
pneumonia neonatus.

Pada riwayat perinatal, pasien merupakan anak ke empat dari seorang ibu dengan
G4P3A0 30 tahun hamil 37 minggu. Selama hamil ibu tidak pernah periksa kehamilan secara
rutin ke dokter maupun bidan, periksa 1x ke spesialis kandungan saat awal kehamilan. Selama
hamil ibu tidak menderita suatu penyakit, minum obat selain dari dokter disangkal. Ibu dirujuk
dari puskesmas ke RS dengan diagnosis inersia uteri sekunder. Ketuban dipecah pada saat
selama proses induksi. Warna jernih, bau khas, rembes, jumlah cukup. Selama 8 jam setelah
ketuban pecah, tidak ada kemajuan dalam persalinan sehingga ibu diharuskan section caesaria
cito. Berat badan lahir pasien 2450gram, panjang badan lahir 47cm, lingkar kepala 33,5cm,
lingkar dada 29cm. Anak langsung menangis merintih.

Pemeriksaan fisik tanggal 8 April 2019 didapatkan keadaaan umum pasien sadar,aktif,
menangis kuat, laju jantung 132x/menit, laju pernapasan 64x/menit, suhu pasien 36,8℃,
saturasi oksigen 96% terpasang CPAP PEEP 5 FiO2 30% flow 5lpm. Saat ini anak sudah
mendapat suntik vitamin K dan suntik vaksin Hb 0. Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik. Pada hidung tidak ditemukan napas cuping. Telinga normal. Pada bibir tidak ditemukan
adanya sianosis. Pada leher tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Kulit tidak tampak
ikterik, turgor kulit kembali dengan cepat. Pemeriksaan thoraks simetris, tampak retraksi
subcostal, suara dasar vesicular pada paru kanan dan kiri, tidak ada suara tambahan, jantung
dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen datar, supel, hepar dan lien tak teraba. Ekstremitas
atas maupun bawah akral hangat. Hasil laboratorium darah rutin (7 April 2019) didapatkan
kadar hemoglobin 13,5gr/dl, hematokrit 39,3%, eritrosit 3,62 juta/uL, leukosit pasien
20.500/uL, trombosit 247.000/uL, GDS 58mg/dL, elektrolit kalsium 2,65mmol/L, natrium
141,73mmol/L, kalium 4,37mmol/L, klorida 103,38 mmol/L. Pada foto babygram (7 April
2019) ditemukan adanya peningkatan corakan bronchovascular dan infiltrat tipis parakardial
kanan yang mendukung gambaran pneumonia neonatus. Hasil laboratorium pada tanggal (9
April 2019) didapatkan hasil hemoglobin 11,4gr/dl, hematokrit 33,7%, eritrosit 3,13 juta/uL,
leukosit pasien 8.500/uL, trombosit 215.000/uL Hitung jenis leukosit didapatkan hasil dalam
batas normal, sedangkan pada gambaran darah tepi didapatkan kesan inflamasi akut curiga
infeksi virus, infeksi bakteri belum dapat disingkirkan. Pada akhirnya ditegakkan diagnosis
pneumonia neonatus, neonatus aterm, BBLR, dan SMK.
Pasien dirawat inap di PBRT RS Nasional Diponegoro Semarang dengan terapi
supportif dan terapi etiologik. Pada terapi supportif berupa kebutuhan makanan dan cairan,
pasien diterapi dengan cairan infus D10% 160ml/6ml/jam ditambah dengan NaCl 3% (2meq)
29,2ml dan KCl otsu (2meq) 15ml, infus aminofusin paed 3,5 ml/jam (2gr/kg/hr), oksigen
dengan CPAP PEEP 5 FiO2 30% flow 5lpm, diet 2ml/6jam naik secara bertahap, serta menjaga
kehangatan bayi, sedangkan terapi etiologik pasien diberi antibiotik cefotaxim 125mg/8jam
intravena dan gentamicin 12mg/24jam intravena

Pada pengamatan lanjut, keadaan pasien menunjukkan perbaikan. Prognosis pada


pasien ini diharapkan baik, karena adanya respon dari pemberian terapi.

Diskusi
Apabila dijumpai pasien neonatus terutama bayi baru lahir (0-7) hari dengan demam
dan/ atau terdapat gangguan pernapasan perlu dipikirkan mengenai pneumonia neonatus.
Pneumonia neonatus adalah infeksi paru-paru pada neonatus.3 Pneumonia neonatus dapat
disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi
vertical ibu anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat
kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi meconium, cairan
amnion, atau dari serviks ibu. Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi
dari RS (hospital acquired pneumonia) misalnya dari perawat, bidan, dokter atau pasien lain,
atau dari alat kedokteran misalnya penggunaan ventilator. Disamping itu , infeksi terjadi akibat
kontaminasi dengan sumber infeksi dari masyarakat (community acquired pneumonia).6
Patogen yang umum terjadi pada pneumonia neonatus seringkali disebabkan oleh Streptokokus
Grup B, E.colli, bakteri gram negatif lainnya, Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza.1

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Juhtisari dkk, menggambarkan distribusi


pneumonia neonatus terbanyak pada kelompok usia 0-7 hari. Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan Mahendra dkk, dalam penelitiannya menemukan kejadian
pneumonia neonatus pada onset (0-7 hari) lebih besar daripada yang terjadi di onset akhir (8-
28 hari). Hal ini dikarenakan faktor risikonya yaitu ketuban pecah dini >12 jam,cairan amnion
keruh, suhu ibu >38℃, infeksi saluran kemih pada ibu, perawatan antenatal yang buruk dan
asupan makanan yang buruk dari ibu.7,8 Pada pasien ini memiliki beberapa faktor risiko yaitu
ibu yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal selama masa kehamilan, asupan
makanan yang buruk sehingga menyebabkan berat bayi lahir rendah, serta ketuban pecah awal
8jam sebelum persalinan.

Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi
hipotermi. Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20-50%. Angka
kematian di Indonesia dan negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu,
setiap kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia dibawah 2 tahun
harus segera dirawat inap di RS.6 Pada pasien ini ditemukan gambaran klinis merintih dan
napas cuping saat lahir, takipnea dengan laju pernapasan 64x/menit disertai adanya retraksi
subkostal dan BBLR yang berisiko hipotermi sehingga pada pasien ini dirawat inap di PBRT
RS Nasional Diponegoro Semarang.
Peningkatan jumlah leukosit menunjukkan adanya proses infeksi, sehingga untuk
mendiagnosis suatu infeksi pada pneumonia neonatus perlu dilakukan pemeriksaan leukosit.
Pada pasien ini tidak didapatkan adanya peningkatan leukosit yaitu 20.500/uL. Seperti pada
penelitian Juhtisari dkk, dalam penelitiannya lebih banyak kasus pneumonia neonatus dengan
kadar nilai leukosit yang normal. Hal ini sesuai kepustakaan, yang mengatakan pada
pneumonia virus dan mikoplasma ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit
meningkat.6

Hemoglobin mempunyai peran sangat penting sebagai pengikat oksigen didalam darah.
Menurut penelitian Juhtisari dan F.Guven,dkk didapatkan neonatus dengan pneumonia
memiliki hemoglobin yang lebih tinggi.7,9 Sedangkan penelitian dari Sawsan Mourad,dkk
kadar hemoglobin yang rendah merupakan factor risiko untuk infeksi saluran pernapasan
bawah (pneumonia).10 Pada pasien ini didapatkan kadar hemoglobin yang rendah yaitu
13,5gr/dl dengan saturasi oksigen 96% terpasang CPAP PEEP 5 FiO2 30% flow 5lpm.
Diagnosis pneumonia terutama didasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan foto
rontgen thoraks perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, selain untuk melihat luasnya kelainan
patologi secara lebih akurat. Foto thoraks posisi AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan adanya komplikasi seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai
terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena
H.influenzae dan S.aureus, tetapi jarang pada pneumonia S.pneumoniae. adanya gambaran
pneumatokel pada foto thoraks mengarahkan dugaan ke S.aureus. kecurigaan kearah infeksi
S.aureus apabila pada rontgen dijumpai adanya gambaran pneumatokel dan usia pasien dibwah
1 tahun. Foto rontgen thoraks umumnya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Pemeriksaan
radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses, efusi pleura,
pneumothoraks atau komplikasi lain.11,12 Pada pneumonia neonatus dapat ditemukan gambaran
salah satu atau lebih seperti infiltrat multiple (lobar, segmental, bercak), densitas “streaky”,
infiltrate groundglass diffuse disertai air bronchogram. Pneumonia neonatus yang disebabkan
oleh Streptokokus Grup B memberikan gambaran seperti RDS (Respiratory Distress
Syndrome) granuler homogen difus, groundglass, air bronchogram abnormal,dan hipoaerasi.13
Hasil radiologis babygram pada pasien ini ditemukan adanya peningkatan corakan
bronchovascular dan infiltrat tipis parakardial kanan yang mendukung gambaran pneumonia
neonatus.

Pasien pneumonia mempunyai indikasi untuk perawatan di rumah sakit. Pneumonia


pada nenatus dan bayi kecil biasanya menunjukkan gejala yang cukup berat. Tatalaksana pasien
meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Terapi suportif berupa pemberian makanan atau
cairan sesuai kebutuhan serta koreksi asam basa dan elektrolit sesuai kebutuhan. Terapi oksigen
diberikan secara rutin.terutama dalam 24-48 jam pertama. Bagian yang sangat penting dari
tatalaksana pneumonia adalah pemberian antibiotik.12 Pada pasien ini telah diberikan terapi
suportif yang sesuai yaitu dengan diberikan makanan atau cairan serta mengkoreksi elektrolit
sesuai kebutuhan pasien yaitu dengan pemberian cairan infus D10% 160ml/6ml/jam ditambah
dengan NaCl 3% 29,2ml dan KCl 15ml, infus aminofusin ped 3,3 ml/jam, diet 2ml/6jam naik
secara bertahap. Pasien juga diberikan terapi suportif berupa oksigen dengan CPAP PEEP 5
FiO2 30% flow 5lpm

Idealnya tatalaksana pneumonia sesuai dengan kumam penyebabnya. Namun, karena


berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik
secara empiris. Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat
diberi antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri,
disamping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.12
Streptokokus dan pneumokokus sebagai kuman gram positif dapat dicakup oleh
ampicillin sedangkan hemofilus suatu kuman gram negatif dapat dicakup oleh kloramfenikol.
Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk pneumonia
anak tanpa komplikasi. Secara umum diberikan dalam 5-10hari namun dapat sampai 14 hari.12
Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta lactam dan kloramfenikol, dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan etiologi yang
diberikan.13
Pada neonatus dan bayi kecil terapi awal antibiotik intravena harus segera dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan
meningitis, sehingga antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta lactam/klavulanat dengan aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga.
Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari14 Pada
pasien ini terapi antibiotik yang diberikan yaitu antibiotik cefotaxim 125mg/8jam intravena
dan gentamicin 12mg/24jam intravena. Hal ini sesuai dengan teori bahwa neonatus terutama
BBLR sering terjadi sepsis dan meningitis sehingga terapi yang diberikan merupakan
kombinasi board spectrum dengan aminoglikosida.

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam oleh karena pasien memperlihatkan respon
yang baik terhadap pemberian oksigen dan antibiotik. Saat ini pasien masih dirawat dan
melanjutkan terapi.

Kesimpulan
Seorang bayi laki-laki baru lahir usia 1 hari semula didiagnosis gangguan napas sedang
curiga pneumonia neonatus,neonatus aterm,BBLR dan SMK sejak baru lahir ternyata
ditegakkan sebagai diagnosis pneumonia neonatus. Pneumonia neonatus ditegakkan berdasar
gambaran klinis pasien berupa merintih dan napas cuping saat lahir, takipnea, retraksi subkostal
dan didukung adanya hasil radiologis berupa peningkatan corakan bronchovascular dan
infiltrat tipis parakardial kanan. Terapi yang diberikan berupa terapi suportif dan terapi
etiologik berupa antiobik. Oleh sebab itu bila kita menemukan bayi baru lahir dengan adanya
gangguan napas perlu dipikirkan terlebih dahulu mengenai pneumonia neonatus terutama pada
bayi BBLR.

Daftar Pustaka
1. Carter ER and Marshall SG. Pneumonia. In: Jenson HB, Behrman RE, Kliegman RM,
Marcdante KJ. Terjemahan Buku Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial . Edisi ke-6 by
IDAI. Elseiver Singapore Pte Ld: Singapore. 2018. p529-536
2. Choudhury A.M, dkk. Determination of risk factors of neonatal pneumonia.
Mymensingh Med J. 2010; 19(3): 323.
3. Tesini B.L. Neonatal pneumonia. MSD MANUAL Professional version. 2018.
available from https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/infection-in-
neonates/neonatal-pneumonia diakses 9 April 2019
4. Henning PA. Neonatal pneumonia. Department of paediatrics and child health. 2007;
11 (4):16
5. dr.Nastiti K,Sp.A(K). Menekan Pneumonia.Indonesian Pediatric Society. IDAI. 2017.
available from www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/menekan-pneumonia
diakses 8 April 2019
6. Said, M.Pneumonia. In. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,penyunting. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2012.p350-365
7. Juhtisari J, Audrey W, Rocky W. Profil Pneumonia Neonatus Yang Dirawat di RSUP
Prof.Dr.R.D Kandou Manado. Artikel penelitian. 2013. Available in
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.pdf
8. IB Mahendra, IW Retayasa, IM Kardana. Risk of early onset pneumonia in neonates
with abnormal gastric aspirate. Jurnal penelitian. 2013. Available in
http://paediatricaindonesiana.org
9. F. Guven, N. Uygur Kulcu, S.Degirmenci, E. Sari, TA Sabuncu, A. Say. Mean platelet
volume in neonatal pneumonia. 2012 available from http://
www.kenes.com/espid2012/abstracts/pdf/286.pdf diakses pada 8 April 2019
10. Sawsan Mourad,dkk. Hemoglobin level as a risk factor for lower respiratory tract
infection in Labanese children. North American Journal of Medical Sciences.
2010:2(10)
11. Arguedas AG, Stutman HR, Marks MI. Bacterial pneumonias. In: Chernick V, Kendig
EL penyunting. Kendig’s Disorders of the respiratory tract in children. Ed 5th. Saunders,
Philadelphia 1990.p371-94
12. Supriyatno,B. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak.Sari pediatri Vol 8. No.2.
2006:100-106. Available from https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article
13. dr. F Mardiana W, Sp.Rad(K). Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada
Neonatus. Bagian Radiologi FK UNDIP/RSUP.Dr.Kariadi. 2010. Available from
http://eprints.undip.ac.id/14915/1/dr_Mardiana_peran_radiologi_dalam_gangguan_na
fas_pada_neonatus.pdf diakses 9 April 2019
14. IKA FK UNAIR. Pneumonia. 2017. Available from
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/2017/03/RS08.Pneumonia-Q.pdf
diakses 9 April 2019

Anda mungkin juga menyukai