Anda di halaman 1dari 3

Tugas Reading Report 1 Pembangunan di Asia Timur

Nama : Julian Dwi Santosoaji


NPM : 1606888550
Bahan Utama : Johnson, Chalmers. MITI and Japanese Miracle: The Growth of
Industrial Policy 1925-1975. Stanford: Stanford University Press, 1982.

MITI, Konsep Developmental State, dan Sumbangsihnya bagi

Kemajuan Ekonomi Jepang

Dewasa ini, Jepang dikenal sebagai negara industri mapan di Asia Timur, dengan
produk-produk manufaktur berteknologi tinggi yang menembus pasar dunia. Ketika
Komodor Matthew Perry menjejakkan kaki di Jepang, nyaris tidak ada yang menyangka
bahwa negara agraris yang terisolasi seperti Jepang akan melampaui negara-negara
industri di Eropa dan AS. Lantas, bagaimana Jepang dapat bertransformasi menjadi
powerhouse di masa kini? Tulisan ini berupaya menyajikan secara singkat argumen
Chalmers Johnson (1982) tentang Kementerian Industri dan Perdagangan (MITI) yang
kemudian menjadi motor penggerak developmental state dan kemudian “economic
miracle” di Jepang. Pada bagian akhir tulisan, penulis akan memberikan opini pribadi
serta kesimpulan.
Di kalangan masyarakat Jepang, terdapat semacam konsensus bahwa “keajaiban
ekonomi” negara tersebut dimulai pada tahun 1962. Pada tahun tersebut, majalah The
Economist memuat sebuah esai bertajuk Consider Japan yang antara lain mengapresiasi
produktivitas, ekspansi agregat permintaan, atmosfer perburuhan yang tenang, serta
tingkat tabungan yang tinggi. Ulasan tersebut memang sejalan dengan data statistik, yang
ada menunjukkan bahwa Jepang mengalami pertumbuhan luar biasa pesat sejak Perang
Dunia II. Dalam kurun waktu 1946 – 1976, Ekonomi Jepang diperkirakan tumbuh hingga
55 kali lipat.
Kisah pertumbuhan ekonomi Jepang yang fenomenal di atas tentu menuntut
penjelasan. Studi literatur yang dilakukan Charles Johnson menunjukkan bahwa frasa
‘keajaiban ekonomi’ sebenarnya sudah ada sejak 1937, ketika Prof. Arisawa Hiromi
menulis tentang pertumbuhan 81% industri Jepang hanya dalam waktu tiga tahun (1931
– 1934). ‘Keajaiban’ Pra-Perang Dunia ini memantik kebingungan dari ekonom Barat
Charles Kindleberger, bahwa Pemerintah Jepang sudah mengadopsi kebijakan-kebijakan
a la Keynes bahkan sebelum adanya teori dan preskripsi Keynes itu sendiri.
Terdapat sejumlah aliran penjelasan mengenai ‘keajaiban ekonomi’ Jepang. Salah
satu yang literatur yang banyak ditemui menyinggung sisi ‘sosioekonomi’. Aliran ini
setidaknya terbagi menjadi empat tipe analisis yang bersinggungan. Analisis pertama
menyoroti faktor budaya masyarakat Jepang yang ‘unik’. Keunikan tersebut tampak
misalnya dari rendahnya angka kriminalitas, budaya kooperasi, hingga yang terpenting
adanya ‘konsensus’ antara pemerintah dan masyarakat mengenai cita-cita sosial-ekonomi
bersama dan bagaimana cara mencapainya.
Tipe analisis kedua yakni ‘no-miracle occured’ school, yang percaya bahwa
“keajaiban” merupakan istilah yang berlebihan. Bagi mereka, performa ekonomi Jepang
tidak lebih dari akumulasi tindakan individu dan korporasi dalam pasar bebas. Pandangan
ini banyak mendapat sanggahan, bahwa pemerintah pada kenyataannya lebih dari sekadar
menyediakan atmosfer yang kondusif bagi pasar bebas. Tipe analisis ketiga
menitikberatkan institusi ekonomi Jepang yang unik sebagai motor penggerak ‘keajaiban
ekonomi’. Keunikan yang dimaksud termanifestasi dalam Three Sacred Treasures, yakni
sistem ketenagakerjaan seumur hidup, sistem upah berbasis senioritas, serta enterprise
unionism. Kritik terhadap cara pandang ini antara lain bahwa ketiga institusi di atas tidak
benar-benar istimewa. Terdapat sejumlah institusi lain yang juga berperan penting, antar
lain sistem distribusi, sistem tabungan personal, struktur asosiasi industri (keiretsu) dan
sebagainya. Secara bersama-sama, mereka menjelma sebagai sebuah sistem yang
mendorong pertumbuhan ekonomi (“GNP Machine”).
Tipe analisis ketiga yakni teori free rider, bahwa kemajuan Jepang tidak lepas
dari keuntungan yang ia dapat dari aliansi dengan AS pasca Perang Dunia II. Pertama,
Jepang tidak mengeluarkan anggaran untuk pertahanan sesuai dengan kesepakatan pasca
kapitulasi Perang Dunia II. Kedua, Jepang menikmati akses ke pasar ekspor yang besar.
Ketiga, Jepang mendapatkan transfer teknologi dengan biaya murah. Kendati teori free
rider tidak sepenuhnya keliru, sejumlah kritik tetap dilayangkan, misalnya bahwa negara
dengan anggaran pertahanan besar seperti Korea ternyata juga menikmati pertumbuhan
ekonomi yang pesat.
Setelah menguraikan keempat aliran dalam kerangka sosioekonomi, Johnson
selanjutnya menjelaskan cara pandang developmental state, posisi teoretis yang
dianutnya dalam melihat kemajuan ekonomi Jepang. Sebagai pengantar, terminologi
developmental state seringkali disalahartikan, terutama dari kaca mata Barat yang
membedakan secara biner ekonomi pasar/market rationality dengan ekonomi
terencana/plan rationality. Dalam konteks Jepang sebagai negara pengejar ketertinggalan
industri dari Barat, intervensi Pemerintah memiliki tujuan spesifik yakni industrialisasi.
Maka, kata developmental yang dimaksud adalah relasi swasta-pemerintah yang bahu-
membahu mencapai tujuan sosial-ekonomi bersama. Fungsi developmental yang melekat
pada pemerintah Jepang tidak dikenal di negara-negara Barat. Di AS, misalnya, fungsi
pemerintah hanya sebatas regulator yang menyediakan iklim persaingan, tanpa
menyediakan suatu kebijakan/garis haluan industri. Perlu dicatat pula, peran aktif
pemerintah di Jepang tidak dapat disamakan dengan intervensi ekonomi a la Soviet yang
menurut Johnson bersifat plan ideological.
Jika menilik pada sejarah, ciri developmental state di Jepang memiliki akar dari
Restorasi Meiji 1868. Pemerintah secara berkala mematok target-target pembangunan
industri jangka panjang, misalnya fukoku kyohei (negara makmur, militer kuat) pada
akhir abad XIX hingga obei ni oikose (lampaui AS dan Eropa) pada 1960-an. Wewenang
pemerintah untuk menentukan target industrialisasi tidak lepas dari kuasa yang besar di
lingkaran birokrat elit, khususnya Kementerian Keuangan, Perdagangan dan Industri,
Pertanian dan Kehutanan, Konstruksi, Transportasi, serta Agensi Pembangunan
Nasional. Dengan tenaga ahli dari universitas-universitas terbaik di Jepang, lembaga-
lembaga di atas berwenang mengambil keputusan strategis, mengajukan legislasi, hingga
mengontrol anggaran. Dominasi pemerintah semakin kuat karena pada umumnya
birokrat elit yang telah pensiun beralih menjadi petinggi korporasi swasta.
Penulis menutup laporan bacaan ini dengan argumen pribadi. Secara umum,
penulis berkesimpulan bahwa developmental state yang dianut Jepang dapat
disandingkan dengan gagasan nasionalisme ekonomi yang muncul di Eropa pada abad
XIX. Alih-alih membiarkan ekonomi berkembang sesuai ‘ritme’ dan mekanisme pasar
bebas, pemerintah Jepang khususnya MITI memiliki konsepsi tersendiri mengenai peran
yang harus diembannya. Sinergi dengan swasta dalam industrialisasi pada akhirnya dapat
dipahami bukan sebagai agenda ekonomi belaka, melainkan juga agenda politik dan
sosial. Rasionalisasi industri sebagaimana dikemukakan Nawa Taro, misalnya, memiliki
tujuan besar menciptakan industri yang bernilai guna maksimal bagi bangsa secara
keseluruhan, melalui prosedur dan teknik tertentu. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa
kuasa besar yang dimiliki MITI dan birokrat ekonomi elit di Jepang tidak lepas dari
pemahaman yang kuat sejak era Meiji, bahwa pemerintah mutlak diperlukan jika Jepang
ingin mencapai kesejahteraan dan kemandirian ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai