Anda di halaman 1dari 61

1

PENGEMBANGAN ALAT UKUR SELF-LEADERSHIP PADA


MAHASISWA KEPERAWATAN PRODI NERS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian yang baik akan menghasilkan temuan yang dapat bermanfaat dan
mampu menggeneralisasi suatu fenomena. Sebagai suatu proses yang terstruktur,
terencana dan sistematis, penelitan member sumbangan yang besar bagi
penyelesaian masalah dan pengembangan batang tubuh pengetahuan. Untuk itu
semua tahapan dalam mempersiapkan penelitian perlu dikerjakan dengan hati-hati
dan ketelitian yang tinggi.

Inti dari kegiatan penelitian adalah melakukan observasi karakteristik dari konsep
yang dikembangkan dari satu atau beberapa konstruk. Observasi dilakukan dengan
bantuan alat ukur yang dibuat sedemikian rupa sehingga alat ukur (tes) dapat
mengukur karakteristik dengan tepat dan benar-benar menggambarkan fenomena
yang diamati secara objektif.

Alat ukur yang baik sedianya memenuhi kriteria: terstandarisasi, valid dan reliabel
(Cohen & Swerdlik, 2010). Standarisasi berhubungan dengan format
pengembangan alat ukur. Sementara itu valid dan reliabel berhubungan dengan
serangkaian pengujian statistik dan pengujian oleh pakar dalam bidang yang
diteliti. Pengujian ini dilaksanakan sebelum penelitian yang sesungguhnya
dikerjakan untuk meyakinkan bahwa alat ukur yang digunakan benar-benar valid
dan reliabel.

Satu alat ukur dikatakan reliabel apabila korelasi antar item tinggi atau konsisten.
Sementara itu valid berarti alat ukur tersebut benar-benar dapat mengukur apa
yang diukur serta setiap item memiliki daya pembeda antar subjek yang diteliti.
2

Sebuah penelitian akan dikembangkan untuk mengukur hubungan antara


karakteristik mahasiswa Program Diploma III Keperawatan dengan self-
leadership. Karakteristik mahasiswa yang akan diobservasi dalam penelitian ini
mencakup usia, jenis kelamin dan etnik. Konstruk self-leadership dibangun oleh
tiga konsep yaitu strategi self-management (pengelolaan diri sendiri), strategi
natural rewards, dan strategi redesigning mental-world atau merancang ulang
dunia mental (Neck & Manz, 2010).

Penulis menemukan dua tulisan mengenai konstruk self-leadership. Tulisan


pertama dari Antonio (2009) yang menyatakan self-leadership sebagai suatu
kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu. Unsur yang terdapat dalam uraian
yang disampaikan oleh Antonio mencakup disipllin diri, menghukum diri sendiri,
dan meningkatkan kesadaran diri. Antonio mengembangkan konstruk ini
berlandaskan pada aspek religi dari seorang nabi utusan Tuhan.

Tulisan kedua berasal dari Neck dan Manz yang mulai mengembangkan teori self-
leadership sejak tahun 1989 melalui penelitian yang mereka lakukan sendiri, hasil
kerja sama dengan peneliti lain, dan peneliti lainnya yang ingin membuktikan teori
ini. Konstruk ini telah mengalami beberapa kali revisi hingga diterbitkannya buku
edisi kelima pada tahun 2010.

Self-leadership yang dikembangkan oleh ketiga penulis ini pada intinya nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya adalah sama. Neck dan Manz mengembangkan
konstruk ini secara lebih detil hingga pada bentuk yang dapat diaplikasikan melalui
berbagai penelitian. Untuk itu peneliti memilih hasil kerja mereka untuk
dikembangkan dalam penelitian pada populalsi mahasiswa. Sejauh ini baru ada
satu penelitian mengenai self-leadership pada populasi mahasiswa yang
dihubungkan dengan kemampuan berpikir kritis. Mayoritas penelitian untuk subjek
ini dilakukan dalam tatanan manajemen dan kepemimpinan dalam organisasi
pekerja (Houghton, 1996; Neck & Manz, 1989, 1996, 1999, 2004, 2007; dll).

Alat ukur untuk konstruk self-leadership pada populasi pekerja telah


dikembangkan sejak awal pengembangan konstruk ini. Houghton (1996)
3

menyempurnakan melalui penelitian untuk disertasinya hingga terbentuk 36 item


pernyataan dan menggunakan skala Likert. Validitas dan reliabilitas alat ukur ini
telah teruji.

Self-leadership pada berbagai populasi pada prinsipnya sama. Hanya saja bidang
tugas yang dihadapi berbeda sebagaimana tugas seorang mahasiswa berbeda
dengan tugas seorang pekerja. Untuk itu perlu dikembangkan alat ukur khusus
untuk populasi mahasiswa, pertimbangan lainnya, alat ukur yang sudah ada juga
disusun dalam bahasa Inggris yang memiliki struktur tata bahasa yang berbeda
dengan bahasa Indonesia. Penulis mengembangkan alat ukur ini merujuk
sepenuhnya kepada teori yang dikembangkan oleh Neck dan MAnz (2010).

1.2 Tujuan

Pengembangan alat ukur penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alat ukur (tes)
Self-leadership yang valid dan reliabel untuk populasi mahasiswa Diploma 3
Keperawatan. Dengan demikian tujuan khusus yang ingin dicapai untuk
mendapatkan hal tersebut adalah:

a. Diketahuinya reliabilitas instrumen pengukuran self-leadership untuk


mahasiswa Diploma 3 Keperawatan,
b. Diketahuinya validitas instrumen pengukuran self-leadership untuk mahasiswa
Diploma 3 Keperawatan,

1.3 Kegunaan

Self-leadership merupakan strategi untuk mencapai pribadi yang efektif yang


mampu mengoptimalkan potensi diri setiap individu dalam melaksanakan suatu
tugas. Potensi ini perlu dikembangkan dalam lingkungan pendidikan baik bagi
mahasiswa maupun staf pengajar.
4

Sesungguhnya setiap orang sudah memiliki potensi untuk menjadi pemimpin bagi
dirinya sendiri—demikian halnya bagi seorang mahasiswa, hanya saja belum
disadari sepenuhnya jika potensi itu ada. Dengan mengembangkan tes Self-
leadership pada mahasiswa dan bahkan secara lebih luas pada usia sekolah yang
lebih dini, diharapkan dapat menjadi alat ukur yang mampu memprediksi
pencapaian hasil belajar atau untuk memetakan potensi keberhasilan mahasiswa.
5

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Konsep Dasar Pengukuran


2.1.1 Definisi

Tes dapatdidefinisikan secara sederhana sebagai suatu pengukuran alat atau


prosedur. Ketika kata tes dihadapkan dengan sebuah modifier maka sama dengan
alat atau prosedur yang yang didesain untuk mengukur suatu variabel yang
dihubungkan dengan modifier tersebut (Cohen &Swerdlik, 2010).

Format merupakan terminology yang berisi bentuk, perencanaan, struktur,


rancangan dan layout item tes yang memerlukan batasan waktu. Format juga
dihubungkan dengan bentuk pelaksanaan tes: koputerisasi, kertas dan pensil, atau
bentuk lainnya.

Tes berbeda dalam prosedur penyelenggaraannya. Ada yang berupa kontak satu
satu, mendemonstrasikan tugas sebagai bagian dari kajian, dan tes juga ada yang
dirancang untuk kelompok.

Skor adalah kode atau ringkasan pernyataan biasanya tidak berbentuk numerik,
yang merefleksikan kinerja pada suatu tes, tugas, wawancara, atau beberapa
perilaku sampel lainnya. Scoring adalah proses penetapan kode atau pernyataan
terhadap kinerja tes, tugas, wawancara, atau perilaku sampel lainnya.

2.1.2 Kriteria Tes yang Baik

Tes yang baik sedianya memuat instruksi pengerjaan, penyekoran, dan interpretasi
yang jelas. Pada saat ini, sisi ekonomis juga dipertimbangkan baik dalam hal
biaya dan waktu yang digunakan pada saat pengerjaan, penyekoran, dan
interpretasinya. Hal yang terbaik dari semua itu, tes yang baik adalah yang mampu
mengukur apa yang ingin diukur. Untuk dapat mencapai hal tersebut ada dua aspek
kunci yang dilihat yaitu reliabilitas dan validitas (Cohen & Swerdlik, 2010).
6

2.1.2.1 Reliabilitas
Reliabilitas dalam pembicaraan sehari-hari memiliki sinonim ketergantungan atau
konsistensi. Dalam pengukuran reliabilitas merujuk pada konsistensi dalam
pengukuran.

Suatu tes dapat saja reliabel untuk satu konteks tetapi belum tentu untuk konteks
lainnya. Dengan demikian ada jenis-jenis dan derajat reliabilitas. Koefisien
reliabilitas adalah indeks reliabilitas yaitu proporsi yang menunjukkan rasio antara
varians skor benar pada suatu tes dengan varians total. Ada beberapa cara
mengukur reliabilitas yaitu reliabiltas test-retest, reliabilitas parallel-forms dan
alternate-forms, reliabilitas split-half, dan reliabilitas inter-scorer. Dengan
demikian ada beberapa bentuk koefisien korelasi yang berbeda untuk mengukur
reliabilitas.

Skor pada sebuah tes kemampuan diperkitrakan tidak hanya mereflelksikan skor
benar orang yang dites tetapi juga error (kesalahan). Error merupakan komponen
observasi skor tes yang tidak boleh dikerjakan dengan kemampuan orang yang
dites.

Statistic yang bermanfaat dalam menjelaskan sumber variabilitas skor dinamakan


varians—kuadrat standar deviasi. Staistik ini bermanfaat karena dapat dipecah
menjadi komponen. Varians dari perbedaan-perbedaan yang benar adalah true
variance, dan varians dari sumber yang tidak relevan dan acak adalah error
variance.

Reliabilitas merujuk pada proporsi dari total varians terhadap varians benar.
Semakin besar proporsi total varians terhadap varians benar, maka tes semakin
reliabel. Karena perbedaan-perbedaan yang benar diasumsikan stabil, perbedaan
ini diperkirakan akan menghasilkan skor yang konsisten pada pengujian berulang
7

tes yang sama. Mengingat varians error dapat menaikkan dan menurunkan skor tes
dengan jumlah yang bervariasi, konsistensi tes (reliabilitas) dapat terpengaruh.

Sumber varians error dapat berasal dari konstruksi tes, penyelenggaraan


(pengerjaan) tes, skoring, dan/ atau interpretasi. Salah satu sumber varians dalam
menyusun tes adalah item sampling atau content sampling yaitu suatu terminologi
yang merujuk pada variasi antar item dalam suatu tes dan variasi antar item antar
tes. Jika dalam suatu test berisi banyak variasi pokok bahasan, maka ada
kecenderungan peserta tes akan mendapatkan skor yang tinggi pada aspek dari tes
yang esuai dengan harapannya.

Penyelenggaraan tes dapat menjadi sumber error varians. Kondisi yang


mendukung terjadinya error varians dari aspek ini dapat berasal dari lingkungan
tempat tes, variable; peserta tes, dan variabel pelaksana tes. Lingkungan yang
kurang nyaman (panas, ribut, cahaya minim) keberadaan serangga, tempat duduk
kurang nyaman, perangkat/peralatan yang digunakan terbatas dan lain-lain dapat
menyebabkan konsentrasi peserta tesmenurun. Kondisi kesehatan peserta yang
terganggu, kurang tidur, kondisi emosi tertekan, dan dalam pengaruh obat yang
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengerjakan tes merupakan
sumber error varians dari aspek peserta. Untuk variabel pelaksana tes hal yang
mungkin menyebabkan error varians adalah kinerja pelaksana tes dan kehadiran
dari petugas pelaksana tes. Jika pelaksana tes banyak memberi tahu kata kunci,
kemungkinan peserta tes akan memperoleh skor yang tinggi.

Sumber error varian lainnya dapat berupa error sistematis dan nonsistematis.
Error sistematis terjadi apabila satu tes diberikan kepada orang yang pernah
mengalami apa yang terdapat di dalam isi dari tes dan tidak pernah mengalami,
skor tes akan cenderung tinggi pada yang sudah pernah mengalami kondisi
tersebut. Error nonsistematik terjadi apabila peserta tes lupa terhadap atau gagal
untuk mengidentifikasi situasi yang dialaminya.
8

Estimasi reliabilitas dapat dilakukan dengan cara test-retest, parallel-forms dan


alternate-forms, split-half, dan inter-scorer. Reliabilitas test-retest adalah estimasi
yang didapatkan dari mengorelasikan pasangan skor dari satu tes yang sama dan
diberikan kepada peserta tes yang sama dengan waktu yang berbeda. Esimasi
dengan pendekatan ini digunakan untuk mengukur kontruk yang dari waktu ke
waktu perkembangannya relatif stabil.

Sejalan dengan berjalannya waktu, manusia mengalami perubahan karena


mempelajari hal yang baru, lupa dan memerlukan peningkatan keterampilan.
Sejalan dengan meningkatnya pertambahan waktu dan interval antar tes jauh,
maka kemungkinan reliabilitas tes akan menurun. Jarak waktu yang ditempuh
dapat mejadi sumber error. Jika interval antar penyelenggaraan ter >6 bulan, maka
reliabilitas test-retest seringkali disebut dengan koefisien stabilitas.

Reliabilitas parallel-forms dan alternate-forms dua istilah yang sering dianggap


sama atau bertukar pengertian. Kedua bentuk reliabilitas ini diukur apabila
seorang peneliti melakukan pengujian ulang terhadap peserta tes yang sama untuk
konstruk yang sama tetapi menggunakan bentuk tes yang lain. Kegiatan ini juga
dilakukan apabila yakin kedua tes tersebut benar-benar equivalen. Derajat
hubungan antara variasi bentuk suatu tes dievaluasi dengan koefisien reliabilitas
parallel-forms dan alternate-forms yang sering diistilahkan dengan koefisien
equivalen.

Reliabilitas parallel-forms dari suatu tes hadir apabila setiap bentuk tes memiliki
mean dan varians skor tes yang diobservasi sama. Menurut teori, mean dari skor
yang didapat dari observasi berkorelasi sama dengan skor benar. Dengan kata lain
skor yang diobservasi pada tes yang paralel berkorelasi sama dengan pengukuran
lain.

Alternate-forms merupakan versi yang berbeda dari suatu tes yang dirancang agar
menjadi pararel. Bentuk ini dirancang untuk menjadi equivalen dengan
9

memperhatikan tingkat kesulitan dan isi variabel. Untuk mengestimasi Reliabilitas


parallel-forms dan alternate-forms dilakukan sama dengan estimasi reliabilitas
test-retest yaitu (a) dua tes yang diberikan kepada peserta tes yang sama dan (b)
skor tes dapat dipengaruji oleh factor-faktor seperti motivasi, kelelahan, perlakuan,
belajar, atau terapi.

Estimasi reliabilitas split-half dilakukan dengan mengorelasikan dua bagian skor


dari satu rangkaian tes dalam satu penyelenggaraan. Cara ini bermanfaat jika
dalam mengkaji reliabilitas tidak memungkinkan untukmelakukannya dengan dua
tes atau menyelenggarakan tes dua kali. Ada tiga langkah dalam menghitung
koefisien reliabilitas ini. Langkah pertama, membagi tes menjadi dua bagian.
Kedua, menghitung r Pearson antaraskor pada kedua bagian dari tes. Ketiga,
memastikan pengujian dengan menggunakan formula Spearman-Brown.

Cara yang diterima untuk memisahkan skor tes menjadi dua bagian dapat
digunakan secara acak atau dengan mengelompokkan berdasarkan nomor genap
dan ganjil dari item. Cara lainnya yang juga masih dapat diterima dengan membagi
berdasarkan tingkat kesulitan item tes.

Metode lainnya untuk mengestimasi konsistensi internal dapat menggunakan


formula Kuder-Richardson dan koefisien alpha yang dikembangkan oleh
Cronbach. Konsistensi inter item merujuk pada derajat korelasi antara seluruh item
dalam suatu skala. Pengukuran konsistensi inter item dilakukan dari satu
penyelenggaraan tes untuk satu bentuk tes. Indeks konsistensi inter item
bermanfaat dalam mengkaji homogenitas tes. Suatu tes dikatakan homogen
apabila berisi item yang mengukur cirri tunggal.

Formula Kuder-Richardson 20 (KR 20) adalah statisti pilihan untuk menguji


konsistensi inter item pada item dikotomi, terutama item dengan menggunakan
pilihan benar salah. Jika item tes lebih heterogen, KR-20 akan menghasilkan
koefisien reliabilitas yang lebih rendah dari metode split-half.
10

Koefisien alpha yang dikembangkan oleh Cronbach, merupakan semua


kemungkinan korelasi split-half yang dikoreksi dengan formula Spearman–
Brown. Metode ini tepat digunakan untuk mengestimasi reliabilitas pada tes yang
berisi item nondikotomi.

Nilai dari koefisien reliabilitas berada dalam rentang 0 – 1. Hasil uji statistik
semakin mendekati angka 1 menunjukkan reliabilitas suatu alat ukur semakin
tinggi. Batasan seberapa tinggi reliabilitas satu tes bervariasi dari satu ahli ke ahli
lainnnya tergantung dari jenis tes. Kaplan dan Saccuzzo (2005) menyatakan
estimasi reliabilitas 0,7-0,8 untuk tes dalam penelitian dasar sudah cukup baik.
Pada situasi klinis reliabilitas 0,90 mungkin belum cukup baik. Untuk satu tes yang
berpengaruh terhadap kehidupan seseorang di masa mendatang, evaluator harus
berupaya untuk menemukan tes yang memiliki reliabilitas >95%.

Pengukuran reliabilitas inter-scorer dilakukan dengan cara membandingkan dua


skor tes yang dibuat oleh dua orang evaluator untuk satu tes yang sama. Dalam
mengevaluasi suatu alat ukur, dikatakan reliabel apabila siapapun yang melakukan
akan menghasilkan skor yang relating sama. Starcth dan Elliot (1992) dalam
Cohen dan Swerdlik menyatakan rentang reliabilitas terendah dan tertinggi dalam
metode ini berada pada kisaran 50%-98%.

Apa yang harus dilakukan apabila mendapakan nilai reliabilitas yang rendah?
Seringkkali penyusun ters berharap menmdapatkan reliabilitas yang tinggi dari
satu tes yang dikembangkannya, tetapi hasil analisis ternyata tidak adekuat. Kaplan
dan Saccuzzo (2005) mengusulkan beberapa cara untuk meningkatkan nilai
reliabilitas. Ada dua pendekatan umum yang biasa digunakan untuk meningkatkan
koefisien reliabilitas, yaitu dengan cara mengeliminasi item yang dapat
menurunkan reliabilitas dan meningkatkan panjang tes (penambahan jumlah item).
11

Sebuah keputusan untuk memeningkatkan jumlah item tes perlu


mempertimbangkan panjangnya proses yang akan dilalui dan besarnya biaya.
Dengan penambahan item, perlu dilakukan evaluasi ulang, dan bahkan nilai dalam
evaluasi tersebut dapat turun menjadi lebih rendah dari nilai reliabilitas awal.
Spearman-Brown memberikan formula penambahan item agar dapat mencapai
reliabilitas yang dapat diterima.

N = rd(1-r0)
r0(1-rd)

Dimana,
N = jumlah item tes yang diharapkan dapat meningkatkan reliabilitas
rd = tingkat reliabilitas yang diharapkan
r0 = tingkat reliabilitas berdasarkan hasil observasi yang sudah ada
Hasil perhitungan ini dikalikan dengan jumlah item yang tersedia dalam tes yang
telah dikerjakan dan akan didapatkan jumlah item baru yang perlu dikembangkan
untuk mencapai reliabilitas yang dapat diterima. Formula ini hanya berlaku untuk
jumlah item yang kecil dan koefisien reliabilitas awal yang tidak terlalu kecil.

Analisis faktor dan item dilakukan untuk mengeliminasi item yang menurunkan
koefisien reliabilitas. Reliabilitas suatu tes tergantung dari kemampuan setiap item
untuk mengukur satu karakteristik yang umum. Seringkali beberapa item tidak
mengukur konstruk yang dimaksud dalam suatu alat ukur. Membiarkanitem ini
dalam tes akan menurunkan reliabilitas. Untuk itu perlu dilakukan analisis faktor.
Tes akan lebih reliabel jika unidimensional. Hal ini berarti bahwa dengan satu
faktor akan menghitung lebih banyak varians daripada faktor lain. Item yg tidak
load.

Pendekatan lain adalah dengan memeriksa korelasi antar item dan total skor tes.
Bentuk analisis item ini disebut analisis diskriminan. Jika korelasi setiap item
dengan total skor rendah berarti item mengukur sesuatu yang berbeda dengan item
12

lain dalam tes. Dengan nilai korelasi yang rendah keputusan dibuat untuk
mengeluarkan item tersebut dari tes.

2.1.2.2 Validitas

Validitas dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antara suatu tes skor atau
pengukuran dengan kulitas yang dipercaya untuk mengukur (Kaplan & Saccuzzo,
2005). Dengan kata lain validitas juga berarti suatu tes dapat mengukur apa yang
diukur.

Validitas adalah bukti untuk kesimpulan yang dibuat tentang suatu skor tes. Ada
tiga jenis bukti: (a) construct-related, (b) criterion-related, dan (3) content-related.

Ada tiga aspek dalam validitas. Pertama face validity, validitas ini ditolak sebagai
suatu kategori yang sah karena secara teknik tidak membentuk validitas. Face
validity semata-mata penampilan bahwa pengukuran memiliki validitas. Validitas
memerlukan bukti untuk kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Face
validity diperlukan untuk memotivasi peserta tes karena tes akan nampak relevan
dengan apa yang akan diukur.

Content-related evidence for validity dari sebuah tes atau pengukuran adalah
adekuasi dari representasi domain konseptual tes dirancang untuk mencakup hal
tersebut. Dengan demikian dapat dikenali apakah suatu tes telah disusun secara
adekuat. Agar dapat menyiapkannya untuk sebuah tes diperlukan logika yang baik,
keterampilan intuisi, dan ketekunan. Seorang pembuat tes perlu
mempertimbangkan penggunaan kata-kata yang tepat dan tingkat kemampuan
membaca peserta tes. Content-related evidence for validity biasanya diperiksa
dengan pertimbangan dari orang yang ahli dalam suatu konstruk. Untuk domain
konseptual dapat dilakukan analisis dengan pengujian statistic analisis faktor untuk
memastikan item cocok dengan domain konseptual. Generalisasi yang akurat dapat
13

dicapai apabila juga mempertimbangkan faktor-faktor seperti kecemasan atau


kemampuan membaca.

Criterion-related evidence for validity memberikan gambaran mengenai seberapa


baik tes berhubungan dengan dengan kriteria tertentu. Beberapa bukti
diperlihatkan dengan korelasi yang tinggi antara sebuah tes dengankcriteria
pengukuran yang didefinisikan dengan jelas. Criteria adalah standar yang
dibandingkan dengan skor tes. Alasan mengumpulkan criterion-related evidence
adalah bahwa tes atau pengukuran menyediakan sandaran untuk mengukur apa
yang benar-benat kita minati.

Ada dua jenis bukti dalam criterion-related evidence, yaitu bukti predictive dan
concurrent. Fungsi peramalan tes merupakan satu jenis atau bentuk bukti kriteria
validasi dikenal sebagai bukti validasi prediksi. Validitas jenis ini digunakan untuk
memprediksi suatu kondisi pada masa yang akan dating dari peserta tes.

Jenis lainnya adalah kriteria validitas concurrent. Validitas jenis ini didapatkan
dari pengkajian hubungan antara tes dan kriteria yang berkesinambungan.
Pengukuran dan kriteria pengukuran diambil dalam waktu yang bersamaan karena
tes didesain untuk menjelaskan suatu keadaan dan latar belakang keadaan tersebut
terjadi. Tes dapat memberikan informasi diagnostik yang dapat membantu dalam
mengarahkan sesuatu.

Koefisien validitas adalah korelasi antara suatu tes dengan kriteria. Koefisien ini
memberitahukan bahwa tes adalah valid untuk membuat pernyataan tentang
kriteria. Acuan tinggi rendahnya koefisien validitas tergantung dari kebutuhan
penggunaan. Koefisien validitas dalam rentang 0,3-0,4 pada umumnya diartikan
sebagai validitas yang tinggi.
14

Kuadrat dari koefisien validitas merupakan persentasi dari variasi dalam kriteria
yang diharapkan dapat diketahui dalam meningkatkan pengetahuan pembuat tes
mengenai skor tes. Angka tersebut menggambarkan berapa persen variabel dapat
menjelaskan suatu konstruk.

Nilai koefisien validitas yang rendah dapat disebabkan oleh populasi yang tidak
merepresentasikan kelompok dimana kesimpulan akan dibuat: ukuran sampel yang
tidak adekuat: populasi yang sangat homogen; dan fakta bahwa satu situasi belum
tentu dapat digeneralisasikan terhadap sitausi yang lain.

Validitas Construct-Related Evidence mencakup menyusun bukti tentang makna


sebuah tes. Hal ini dilakukan dengan memperlihatkan hubungan antara satu tes
dengan tes lain dan mengukur. Melalui beberapa seri penelitian, secara bertahap
makna dari tes mulai mempunyai bentuk.

Reliabilitas dan validitas adalah konsep yang saling berhubungan. Validitas tidak
mungkin tercapai apabila reliabilitas tes rendah. Di sisi lain dapat terjadi satu tes
yang memiliki koefien reliabilitas yang tinggi memiliki validitas yang rendah.
Dengan kata lain, secara logika tidak mungkin ada tes yang valid jika
reliabilitasnya rendah.

2.2 Self –Leadership

Teori self-ledership dari Neck dan Manz (2010) diturunkan dari riset dan teori
dalam dua area psikologi. Pertama teori kognitif sosial yang menggambarkan
adopsi dan perubahan perilaku manusia sebagai suatu proses yang kompleks
dengan banyak bagian. Menurut teori ini, manusia memengaruhi dan dipengaruhi
oleh dunia tempat tinggalnya. Teori ini juga menempatkan pentingnya kapasitas
manusia untuk mengelola dan mengontrol dirinya, terutama pada saat menghadapi
tugas-tugas penting yang sulit. Teori kognitif sosial juga menggambarkan
kemampuan manusia untuk mempelajari dan mengalami tugas-tugas atau peristiwa
15

melalui mekanisme penggantian atau simbolis. Terakhir, teori kognitif sosial


menekankan pentingnya persepsi mengenai efektifitas diri atau potensi untuk
menjadi efektif.

Area pengetahuan penting kedua yang melandasi teori ini adalah teori motivasi
instrinsik. Teori ini memiliki sudut pandang mengenai pentingnya penghargaan
alamiah (natural rewards) yang menyenangkan dari suatu aktifitas atau tugas yang
disukai. Ide-ide ini dipinjam dari batang tubuh pengetahuan lain seperti teori
motivasi dan teori kepemimpinan.

Definisi mengenai self-leadership berdasarkan asal katanya adalah proses


memengaruhi diri sendiri (Neck & Manz, 2010). Pada awal pengembangan konsep
ini self-leadership didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang
memengaruhi dirinya untuk mencapai self-direction (mengarahkan diri sendiri)
dan self-motivated (memotivasi diri sendiri) yang diperlukan untuk bekerja (Manz
& Neck, 1999). Antonio (2008) menyatakan, “Self-leadership pada intinya adalah
kemampuan diri dalam mengendalikan hawa nafsu”. Kesuksesan hidup seseorang
sangat tergantung dari kemampuannya mengendalikan hawa nafsu, yaitu
mengoordinasikan niat, pikiran, dan tindakan agar hawa nafsu yang telah
dianugerahkan Tuhan dapat disalurkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian
self-leadership merupakan segala bentuk kepemimpinan (Antonio, 2008). Self-
leadership juga bermakna self discipline (disiplin diri) yang merupakan kegiatan
paling berat karena berkaitan dengan diri sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Dijelaskan selanjutnya, dalam memimpin diri sendiri seseorang seringkali
melakukan self-excuse (memaafkan diri sendiri) ketika berbuat salah dan jarang
melakukan self-funishment. Di sisi lain ketika memimpin orang lain, seseorang
akan lebih mudah memberikan sanksi kepada bawahan ketika bawahan
melakukan suatu kesalahan.

Self-leadership mencakup strategi perilaku dan kognitif yang secara hipotesis


memengaruhi secara positif terhadap pencapaian tujuan. Untuk dapat memahami,
16

memilih, dan menerapkan strategi ini diperlukan pengetahuan mengenai faktor


eksternal, faktor personal, dan pilihan yang dikerjakan. Dunia tempat seseorang
tinggal memengaruhi apa yang dikerjakannya dari hari ke hari dan secara lebih
luas membentuk pencapaian akhir dalam kehidupan. Beberapa penelitian
menunjukkan pentingnya pengaruh penghargaan terhadap pilihan tindakan.
Artinya, pilihan seseorang terhadap suatu tindakan yang di dalamnya ada
penghargaan merupakan satu jenis perilaku dimana ia akan memilih tindakan
tersebut meskipun ada perilaku lain yang lebih disukai. Inti dari pernyataan
tersebut adalah bahwa manusia berespons terhadap apa yang dialaminya dan
khususnya terhadap apa yang diterimanya dari usahanya.

Manusia adalah mahluk yang unik. Setiap orang memiliki kualitas, cara berpikir,
dan lain-lain yang membantu dalam cara bagaimana memandang dunia dan apa
yang dikerjakan dalam kehidupan. Dengan demikian, manusia penting untuk
mengenali dirinya dan bagaimana cara berpikirnya mengenai sesuatu. Hal ini
mengisyaratkan adanya perbedaan antar pribadi dalam kerangka tindakan yang
dipilih.

Perilaku berada pada tingkat fisik yang dapat diobservasi dan pada tingkat mental
yang tidak dapat diobservasi. Faktanya, peristiwa-peristiwa yang muncul sebelum
perilaku dan hasil-hasil perilaku berada pada tingkat fisik dan mental yang sama.
Dengan demikian terjadilah rantai perilaku yang kompleks. Untuk menjelaskan
pernyataan ini Neck dan Manz (2010) memberikan contoh seseorang yang
memikirkan nikmatnya memancing ikan hingga ia memutuskan untuk membolos
kerja yang pada akhirnya ia merasa bersalah. Dari contoh ini terlihat adanya
peristiwa mental (memikirkan kegiatan memancing ikan) yang muncul
sebelumnya dan memengaruhi perilaku fisik aktual (membolos kerja). Perilaku
fisik diikuti oleh akibat mental (merasa bersalah) yang kemungkinan pada saat
berikutnya akan menghindari perilaku yang sama. Berdasarkan uraian ini, dalam
mempraktikan self-leadership dipengaruhi oleh kecenderungan yang unik dari
setiap individu dalam pola pikir maupun tindakan fisik. Seseorang akan
17

mengarahkan dirinya untuk menyelesaikan tugas yang diharapkan dengan


mengombinasikan kedua tingkat pengaruh ini.

Manusia sebagai pribadi, perilakunya, dan dunia tempatnya tinggal berhubungan


erat satu dengan lainnya. Faktor-faktor ini memberi pengaruh yang penting bagi
orang lain. Sebagai contoh, perilaku seseorang akan membantu mengenali apa
yang akan dihadapi dalam kehidupannya. Jika tindakannya secara umum
berkontribusi terhadap kesejahteraan orang-orang yang berinteraksi dengannya,
maka yang akan timbul adalah tekanan positif untuk melakukan tindakan yang
disukai dan sesuai. Dengan melakukan berbagai tindakan, ia dapat membantu
untuk memastikan keamanan dan kebahagiaan orang lain, sehingga ia akan
mendapat dukungan. Kebalikannya, jika tindakannya hanya untuk keuntungan
dirinya dengan memanfaatkan orang lain, ia akan mendapatkan apa yang
diinginkannya dalam waktu singkat tetapi menciptakan lingkungan yang
memusuhinya dimana ia akan tinggal lebih lama.

Setiap orang adalah pemimpin setidaknya bagi dirinya sendiri. Untuk memperbaiki
kepemimpinan diri sendiri, cara yang bermanfaat untuk melihat diri sendiri adalah
dengan mengetahui predisposisi dari suatu perilaku. Cara ini berfokus pada
bagaimana kecenderungan perilaku seseorang (fisik dan mental) dalam berpikir
dan bereaksi terhadap berbagai situasi, dan bukan pada ide-ide penilaian tingkah
laku yang buruk dan yang baik. Kecenderungan-kecenderungan ini akan
memengaruhi bagaimana ia bertindak dan memandang dunia disekelilingnya.
Tendensi perilaku atau predisposisi ini dipengaruhi oleh pengalaman dan perilaku
sebelumnya.

Seseorang sebagai manusia, dunianya, dan perilakunya tidak sepenuhnya dapat


dimengerti secara terpisah. Setiap faktor secara berkesinambungan memengaruhi
dan dipengaruhi oleh orang lain. Artinya tidak semua keinginan dapat dipenuhi
sesuai dengan harapan meskipun dengan cara yang disukai karena ada banyak
faktor yang terlibat disamping tindakan yang dilakukan. Pada saat yang sama,
18

seseorang memilih suatu tindakan yang memiliki dampak besar terhadap apa yang
dialaminya dan kemudian meningkatkan kesempatannya untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.

Pilihan yang dibuat seseorang senantiasa berlandaskan pada ketiga faktor yang
disebutkan sebelumnya. Dunia atau lingkungan meliputi pengaruh-pengaruh
potensial yang tidak akan berpengaruh terhadap seseorang hingga orang tersebut
membuka dirinya terhadap pengaruh tersebut. Misalnya cuaca yang dingin tidak
akan berpengaruh terhadap orang tersebut selama ia mengenakan mantel tebal, dan
pengaruh cuaca dingin baru dapat diterima ketika ia melepaskan mantelnya.
Manusia juga memiliki pilihan tindakan untuk merubah dunia. Dicontohkan, ide
mengenai self-leadership hanya akan memberi pengaruh pada dunia jika penulis
berupaya menuangkan ide ini dalam buku. Jika pilihan menulis buku akan
membantu orang untuk menjadi lebih efektif dan merasa lebih puas, maka
selanjutnya dunia dapat diperbaiki.

Pilihan juga dapat dilakukan pada bagaimana seseorang berpikir terhadap apa
yang dialaminya. Contohnya, ia dapat memutuskan untuk memandang dunia
secara optimis, meskipun banyak orang lainnya memandang pesimis. Dalam hal
ini ia telah menyelesaikan dua hal. Pertama, dunianya akan nampak lebih positif
terhadap dirinya dan hasilnya dunia akan menjadi tempat hidup yang
menyenangkan bagi dirinya. Kedua, sebagai akibat dari pilihan memandang dunia
dengan optimis, ia akan berespons lebih terhadap kesempatan-kesempatan hidup
dari pada keterbatasan-keterbatasan yang dihadapinya.

Inti dari uraian ini adalah meskipun manusia berfungsi dalam suatu sistem
pengaruh yang kompleks—meliputi diri sendiri, perilaku diri, dan dunia—manusia
memiliki banyak pilihan berlandaskan pada apa yang dialami dan apa yang
dikerjakan dalam hidup ini. Manusia juga merupakan makhluk yang memiliki
keterbatasan. Keterbatasan yang dimaksud meliputi situasi (contoh, manusia tidak
19

dapat terbang tanpa alat bantu yang mempermudah karena adanya gravitasi bumi),
dan peran-peran yang disandang (sebagai orang tua, bos, warga negara).

Self-leadership dapat dicapai dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu strategi


self-control (pengendalian diri sendiri) atau self-management (pengelolaan
diri sendiri), strategi natural reward, dan strategi redesigning mental world.
Strategi pengendalian diri diklasifikasikan ke dalam dua pendekatan umum yaitu
world-altering strategies (strategi merubah dunia/lingkungan) dan self-imposed
strategies (strategi menimbulkan segan diri sendiri).

World-altering strategies (strategi merubah dunia/lingkungan). Manusia memiliki


kemampuan untuk merubah lingkungan terdekat yang akan membantu untuk
berperilaku dengan cara yang diinginkan. Kebanyakan dari perubahan itu
sederhana yang memungkinkan manusia untuk membuat perbedaan yang nyata
dalam tindakan. Ada tiga strategi yang berbeda untuk melakukan perubahan ini
yaitu: pengingat dan pemokus perhatian (reminder and attention focuser),
menghilangkan isyarat negatif (removing negative cues), dan meningkatkan isyarat
positif (increasing positive cues).

Reminder and attention focuser strategies adalah penggunaan objek-objek fisik


untuk mengingatkan atau memokuskan perhatian seseorang terhadap sesuatu yang
perlu dikerjakan. Salah satu cara sederhana yang biasa dilakukan untuk
mengefektifkan manajemen waktu adalah dengan membuat daftar tugas-tugas
yang akan dikerjakan. Sebagai contoh, pada saat mengawali jam kerja tuliskan
daftar kegiatan penting yang akan dikerjakan pada hari itu. Jika memungkinkan
buatlah daftar dengan urutan skala prioritas dan benar-benar dikerjakan dalam hari
yang sama. Daftar ini bukan hanya sekedar pengingat dan petunjuk tetapi dapat
juga menjadi dasar untuk memberikan perasaan pencapaian pribadi dan
penghargaan sesaat segera setelah mencoret daftar kegiatan yang telah dikerjakan.
20

Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan meletakkan berkas proyek prioritas
yang harus dikerjakan di tengah ruangan kerja. Dengan demikian pada saat
kembali ke ruang kerja dengan melihat berkas tersebut ada pengingat bahwa ada
tugas yang harus segera dikerjakan. Nilai yang penting dari strategi ini adalah
bahwa seseorang dapat menggunakan isyarat fisik untuk memokuskan pada
usahanya. Tantangannya adalah menemukan pengingat dan pemokus perhatian
yang tepat dan menggunakannya.

Removing negative cues digunakan untuk menghilangkan perilaku yang tidak


disukai dengan cara menghilangkan isyarat yang mengarah pada perilaku tersebut.
Jika sedang menjalani program diet rendah kalori, maka jauhkan gula dari rak
kopi. Hal yang sama, jika ingin menghilangkan kebiasaan menghabiskan banyak
waktu di depan pesawat televisi, pindahkan televisi ke ruangan yang jarang
digunakan.

Intinya, seseorang dikelilingi oleh isyarat fisik yang cenderung mendorong


perilaku tertentu. Jika tidak mampu mengidentifikasi segala sesuatu di lingkungan
yang dapat mendorong perilaku yang tidak diharapkan, pindahkan benda itu atau
merubahnya. Jika kegiatan itu tidak memungkinkan, maka orangnya lah yang
harus berpindah dari tempat keberadaan benda-benda tersebut. Hal ini
mengimplikasikan sebaiknya ruang kerja didesain untuk mengurangi isyarat fisik
yang mengarah pada perilaku yang tidak diharapkan.

Increasing positive cues adalah strategi yang mengarahkan pada perilaku positif.
Jika seseorang ingin mendalami suatu pengetahuan tetapi tidak memiliki cukup
waktu untuk belajar secara khusus, maka yang dapat dilakukan adalah meletakkan
buku atau bahan bacaan yang sesuai di tempat yang terdekat dengan kursi santai
yang sering digunakan, sehingga jika ada waktu senggang dapat digunakan untuk
membacanya. Atau sekalipun dihadapkan pada pilihan membaca atau menonton
televisi, setidaknya ia akan lebih sadar dengan pilihannya.
21

Seseorang juga dapat merancang isyarat yang berdampak terhadap hal yang
penting—seperti ia akan menjadi seperti apa. Tempat kerja misalnya berisi banyak
isyarat penting untuk perilaku yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Jika tempat kerjanya lebih banyak berisi isyarat negatif daripada yang positif, ia
dapat mencoba merubah isyarat yang memungkinkan, atau jika pun tidak inilah
saatnya untuk merubah pekerjaan.

Teman kerja seseorang dapat menjadi isyarat yang kuat. Apakah nilai-nilai mereka
sesuai dengan nilai dirinya? Dari waktu ke waktu, teman kerja berpengaruh
terhadap akan menjadi seperti apa ia. Seseorang dapat memilih untuk berteman
dengan orang yang nilai-nilainya konsisten dengan dirinya dan yang berhasil
mencapai sukses.

Self-imposed strategies bertujuan untuk memengaruhi perilaku sendiri yang


dilakukan dengan latihan mengontrol diri sendiri. Perekat landasan utama dalam
mengontrol diri adalah informasi yang dimiliki mengenai diri sendiri atau adanya
kesadaran diri. Strategi ini dilakukan dengan enam pendekatan yaitu observasi diri
(self-observation), pemeriksaan maksud/latar belakang/alasan (purpose
examination), penetapan tujuan diri sendiri (self-goal-setting), memberi
penghargaan kepada diri sendiri (self-reward), menghukum diri sendiri (self-
punishment), dan mempraktikan (practice).

Self-observation merupakan upaya untuk mengenali bilamana, mengapa, dan


dibawah kondisi apa beberapa perilaku digunakan seseorang. Contohnya, apabila
seseorang tidak mampu menyelesaikan suatu tugas dalam setiap hari kerjanya
karena membuang-buang waktu, ia dapat mempelajari distraksi yang dialaminya.
Apakah karena terlalu banyak menggunakan waktu untuk melakukan percakapan
informal? Dengan mengobservasi jumlah percakapan informal dimana ia
berpartisipasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu, ia dapat belajar banyak dari
perilaku ini. Jika ternyata percakapan seringkali terjadi sejak awal berada di ruang
minum, maka sebaiknya ia mengurangi frekuensi mendatangi ruang minum. Cara
22

lain yang dapat digunakan misalnya dengan menggunakan alat perekam dan kartu
kecil yang mencatat setiap kegiatan untuk dapat diperiksa lebih detil.

Strategi self observation menjadi landasan untuk mengelola diri sendiri. Penting
untuk diingat bahwa setiap orang sesungguhnya siap menggunakan strategi ini,
hanya saja permasalahannya adalah mereka menggunakannya tanpa disadari dan
kurang efektif. Strategi-strategi lainnya dibangun dari landasan ini.

Self-goal-setting secara umum efektif untuk mengelola perilaku apabila ditetapkan


dalam bentuk yang spesifik, menantang, dan dapat dicapai. Jika tujuan yang
ditetapkan tidak realistis untuk dicapai, apa yang dilakukan menjadi sesuatu yang
membahayakan daripada kebaikan yang diperoleh. Tujuan yang realistik yang
mampu dicapai, dapat memberikan kepuasan apabila dapat meraihnya.

Conduct a self-examination merupakan arahan dalam menetapkan tujuan yang


spesifik dengan memutuskan seberapa penting tujuan tersebut dan tindakan apa
yang akan dilakukan untuk mencapainya. Seseorang dituntut untuk benar-benar
memiliki keinginan dalam mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan, sehingga
benar-benar bermanfaat. Petunjuk di bawah ini merupakan cara untuk penetapan
tujuan.
a. Buatlah dalam pernyataan yang spesifik dan jelas (kapan ingin dicapai,
seperti apa yang ingin dicapai, dan bagaimana caranya mengerjakan untuk
mencapai tujuan) dan
b. Tetapkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek (tujuan jangka pendek
merupakan langkah-langkah atau tahapan kegiatan untuk mencapai tujuan
jangka panjang).

Purpose examination merupakan aspek kunci dalam penetapan tujuan, khususnya


untuk tujuan jangka panjang. Maksud merupakan alasan atau latar belakang
mengapa suatu perilaku dikerjakan. Maksud merupakan dimensi terdalam dari
seseorang dimana seseorang secara mendalam merasakan siapa dirinya, dari mana
23

berasal, dan akan ke mana. (Leider, 1997 dalam Neck & Manz, 2010). Maksud
juga merupakan kualitas dari pilihan untuk menentukan kehidupan. Karenanya
maksud menjadi sumber energi dan petunjuk untuk mencapai puncak kehidupan
yang berasal dari dimensi spiritual dan dimensi hubungan kerja.

Maksud adalah alasan mengapa seseorang dilahirkan, sejak lahir hingga akhir
kehidupan setiap orang senantiasa mencari alasan tersebut. Proses mencari maksud
merupakan proses yang panjang dan sulit sehingga perlu upaya keras untuk
mendapatkannya. Pahala adalah sesuatu yang perlu digali. Pahala adalah anugerah
kehidupan yang diyakini sebagai suatu pemberian untuk berkontribusi dalam
dunia.

Maksud adalah kalisator untuk mengelola kehidupan yang memberi arahan kepada
manusia mengenai bagaimana melewati kehidupan dan bagaimana
mengalokasikan sumber-sumber yang dimiliki. Jika manusia menyadari makna
keberadaannya di muka bumi maka setiap keputusan yang dibuat diarahkan oleh
realisasi kesadaran ini.

Memberi penghargaan kepada diri sendiri (self-reward) merupakan salah satu


metode yang paling kuat yang mampu mengarahkan terhadap pencapaian-
pencapaian yang baru. Seseorang dapat memengaruhi tindakannya secara positif
dengan memberikan penghargaan (hadiah/pahala/ganjaran) atas perilaku yang
diharapkan. Pemberian penghargaan dapat dilakukan baik pada tingkat fisik
maupun pada tingkat mental. Pada tingkat fisik penghargaan diberikan dalam
bentuk benda yang diinginkan. Poin pentingnya dari metode ini adalah bahwa
setiap orang dapat menghadiahi disri sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan
setelah menyelesaikan tujuan yang diharapkan. Contoh untuk menghadiahi diri
sendiri pada aspek fisik misalnya menonton televisi setelah menyelesaikan sebuah
makalah, makan di restoran ketika mendapat bonus atas target penjualan yang
telah dicapai, memanjakan diri di salon atau tempat lainnya yang membuat rileks
setelah menyelesaikan sebuah proyek yang melelahkan, dan lain-lain.
24

Menghadiahi diri sendiri pada tingkat mental dapat dilakukan dengan cara
berbicara kepada diri sendiri (pembicaraan internal) atau melalui imajinasi. Cara
ini sadar atau tidak sudah sering dilakukan oleh setiap orang. Perilaku diri sendiri
dapat diperbaiki secara bermakna dengan cara ini apabila seseorang benar-benar
memperhatikan pencapaian atas perilaku yang diharapkannya dan memberikan
kata-kata penghargaan pada diri sendiri atas pencapaian ini. Metode berbicara
kepada diri sendiri ini, khususnya bermanfaat bagi orang yang mudah mengritik
diri sendiri. Setiap orang memiliki pilihan apakah memokuskan pada sesuatu yang
dikerjakan dengan benar dan membangun diri, atau memokuskan pada sesuatu
yang dikerjakan dengan salah dan melemahkan diri sendiri. Perasaan bersalah dan
mengritik diri sendiri menyebabkan timbulnya tindakan yang tidak diharapkan dari
sistem sosial maupun personal. Contoh kata-kata yang sering dilontarkan langsung
maupun di dalam hati untuk menghadiahi diri sendiri misalnya: “ya ternyata saya
mampu”, “ya saya berhasil”, “saya melakukan sesuatu yang terbaik”, dan
sebagainya.

Cara menghadiahi diri sendiri dengan imajinasi merupakan metode lainnya yang
dilakukan pada tingkat mental. Contohnya, segera setelah menyelesaikan sebuah
tugas yang berat dan melelahkan, ia membayangkan pergi berlibur ke tempat yang
diimpikannya. Situasi yang ada di tempat itu divisualisasikan melalui imajinasi.
Dengan demikian di manapun dan apapun tempat itu, dapat dicapai dalam waktu
singkat melalui imajinasi.

Kombinasi dari tingkat fisik dan mental dapat dilaksanakan, khususnya dalam
rangka menghadiahi diri sendiri. Awalnya hanya membayangkan, dilanjutkan
dengan tindakan nyata terhadap apa yang menjadi imajinasi. Dengan demikian
pengalaman sebagai hasil dari tindakan ini akan menjadi energi baru dalam
menghadapi tugas berikutnya.
25

Seseorang dapat menggunakan strategi imajinasi untuk membayangkan sukses


pencapaian dari suatu tugas yang belum dilaksanakan. Perasaan senang yang
muncul setelah membayangkan berhasil menyelesaikan tugas yang sulit dapat
membantu memelihara motivasi dalam menghadapi pekerjaan. Sesungguhnya,
pikiran merupakan sebuah alat yang memiliki kekuatan untuk memotivasi. Jika
ingin menjadi pemimpin diri sendiri yang benar-benar efektif, alat ini perlu
dikuasai.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengarahkan diri sendiri adalah
menghukum diri sendiri (self-punishment). Sayangnya, banyak individu yang
memnggunakan cara ini secara berlebihan. Perasaan bersalah dan kritik diri yang
terus menerus dapat merusak motivasi dan kreatifitas. Strategi menghukum diri
sendiri ditujukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan.
Pelaksanaannya sama dengan strategi self-reward yang pada prinsipnya
menekankan pada aspek konsekuensi dari suatu perilaku. Pada tingkat fisik metode
ini dapat diterapkan dengan cara mengekang keinginan untuk melakukan suatu
kegiatan yang menyenangkan (olah raga, menonton televisi) setelah mengerjakan
suatu tugas dengan buruk. Pada tingkat pembicaraan internal dapat juga dilakukan
(misal,”saya gagal mengerjakan tugas, saya malu pada diri sendiri) sebagaimana
juga yang terjadi dalam imajinasi (terbayang kehilangan pekerjaan, kehilangan
relasi dan kepercayaan dari orang lain).

Riset dan tulisan-tulisan secara umum mengindikasikan bahwa menghukum diri


sendiri bukan merupakan cara yang efektif dalam mengontrol perilaku. Ada dua
alasan yang dikemukakan. Pertama, jika seseorang menerapkan hukuman pada
dirinya, ia akan menghindarinya. Jika ia memutuskan untuk mengontrol perilaku
yang tidak diharapkan dengan menghukum dirinya, ia tidak akan menggunakannya
secara konsisten karena membuat tidak nyaman, lalu ia menghindarinya. Kedua,
seseorang yang memiliki kebiasaan menghukum dirinya secara konsisten, ia akan
menjadi jera dan tidak menikmati pekerjaannya.
26

Strategi yang lebih baik untuk menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan
adalah dengan mengurangi pahala yang menyokong masalah perilaku dan
menghadiahi diri sendiri ketika melakukan sesuatu yang benar. Contohnya,
kebiasaan menghabiskan waktu di depan pesawat TV yang mengganggu
pekerjaan, dibatasi waktunya atau program pilihannya.

Ada saat dimana strategi menghukum diri sendiri bermanfaat, misalnya ketika
perasaan bersalah muncul setelah melakukan sesuatu yang benar-benar diketahui
hal itu salah. Hidup tanpa kata hati sama dengan bukan manusia. Pada kebanyakan
kasus seseorang dapat berdamai secara konstruktif dengan masalah perilakunya
dengan mempelajarinya, menghilangkan hadiah/pahala yang menyokongnya, dan
menghadiahi perilaku yang diharapkan. Tujuan harus dilaksanakan dengan
tindakan yang konstruktif untuk memperbaiki perilaku dan bukan untuk
menghilangkan moral serta melumpuhkan diri sendiri secara psikologis.

Cara untuk memperbaiki perilaku juga dilakukan dengan mempraktikannya


(practice). Praktik yang dimaksud dalam hal ini adalah mengerjakan suatu tugas
sebelum tugas itu benar-benar dilaksanakan (latihan). Sesungguhnya, dengan
melakukan kegiatan ini masalah dapat dideteksi dan dilakukan koreksi. Dengan
demikian kesalahan yang fatal dapat dihindari.

Praktik dapat dilakukan pada tingkat fisik maupun mental. Misalnya, dalam
menyiapkan sebuah presentasi untuk sebuah lembaga, dapat dilakukan sebelumnya
dengan berlatih secara verbal di depan kaca atau teman-teman sekerja atau
menyusun poin-poin penting dalam ingatan. Motivasi dan kepercayaan diri dapat
ditingkatkan dengan cara menggabungkan self-reward dan praktik secara bersama-
sama. Misalnya, menggambarkan sambutan yang akan diterima dari lembaga itu
setelah presentasi dilakukan.

Strategi praktik merupakan cara yang kuat untuk memperbaiki perilaku.


Tantangannya adalah bagaimana mengaplikasikannya secara sistematis. Kuncinya
27

adalah mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi bagian-bagian


penting dari tugas yang diberikan, mempraktikannya secara fisik dan mental, serta
menggabungkan antara praktik dengan pahala. Praktik tidak membuat sesuatu
menjadi sempurna, tetapi menjadi lebih baik.

Natural Rewards Strategies merupakan pendekatan untuk merubah perilaku


dengan menggunakan pahala/penghargaan alamiah. Literatur-literatur psikologi
memperlihatkan perbedaan dua bentuk dasar penghargaan. Bentuk penghargaan
yang pertama adalah penghargaan dari luar diri individu (eksternal) sebagaimana
yang terjadi dalam organisasi-organisasi kerja. Contoh-contoh untuk penghargaan
jenis ini diantaranya pemberian hadiah dan bonus, liburan, promosi, tanda
penghargaan, dan lain-lain. Bentuk penghargaan yang kedua menitikberatkan pada
hal yang melekat di dalam suatu tugas atau aktifitas yang keduanya tidak dapat
dipisahkan. Contohnya, seseorang yang suka membaca surat kabar dan
menghabiskan waktu dalam mengerjakannya, memasuki sebuah aktifitas yang
dapat digambarkan sebagai mendapat penghargaan secara alamiah (naturally
rewarding). Tidak ada insentif khusus yang diberikan untuk memotivasi perilaku
ini. Insentif dibangun ke dalam tugas itu sendiri. Pada kondisi ini, penghargaan
dari luar dapat juga diterima misalnya karena ada pengakuan dari orang lain
terhadap pencapaian dalam melaksanakan tugas atau aktifitas tersebut. Hal ini
menunjukkan fakta bahwa kedua bentuk penghargaan bekerja dalam satu situasi
yang sama.

Bagaimana membuat aktifitas-aktifitas memberi penghargaan secara alamiah? Ada


dua gambaran utama yang dapat diidentifikasi sebagai deskripsi dari aktifitas-
aktifitas yang memberi penghargaan secara alamiah apabila aktifitas-aktifitas
tersebut, yaitu: a) cenderung membuat seseorang merasa menjadi lebih kompeten,
dan b) cenderung membantu seseorang merasa mampu mengontrol diri. Aspek lain
aktifitas yang memberikan penghargaan alamiah adalah adanya maksud (purpose)
yang diturunkan dari keduanya.
28

Salah satu aspek dari aktifitas-aktifitas yang memberi penghargaan secara alamiah
adalah bahwa aktifitas ini seringkali membuat seseorang merasa lebih kompeten.
Setiap orang menyukai tugas-tugas yang dapat dikerjakannya dengan baik.
Misalnya, seseorang yang melakukan olah raga tertentu dengan baik seringkali
karena ia menyukai olah raga tersebut.

Aktifitas-aktifitas yang secara khusus disukai, kemungkinan besar ditemukan


sebagai sesuatu yang dapat berkontribusi terhadap perasaan kompeten seseorang.
Contohnya, seseorang senang membicarakan mengenai pekerjaan, hobi, atau area
lainnya, dimana ia memiliki pengetahuan dan keterampilan. Ketika bertemu
dengan seseorang lalu terlibat pembicaraan yang kaku, untuk mencairkannya ada
baiknya menanyakan mengenai pekerjaan atau hobinya—hasil yang kemungkinan
akan didapat adalah peningkatan minat dan rasa senang dari orang tersebut untuk
berdiskusi. Pembicaraan mengenai area dimana seseorang ahli berkontribusi
terhadap perasaan kompeten dari orang tersebut dan munculnya penghargaan
alamiah. Hal yang sama manakala seseorang memperbaiki kinerja terhadap suatu
tugas, ia akan merasa senang dan cenderung mengulanginya pada saat yang akan
datang.

Aktifitas yang membuat seseorang merasa lebih kompeten, seringkali berkaitan


erat dengan penghargaan eksternal dalam beberapa hal. Pengakuan dari orang lain
mengenai pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam sebuah pembicaraan atau
sorak sorai penonton dalam pertandingan bola ketika pemain memasukkan bolanya
ke gawang lawan, akan memotivasi orang tersebut dan para pemain untuk
melanjutkan aktifitas ini. Fokus dari strategi ini adalah aspek-aspek penghargaan
alamiah dari aktifitas itu sendiri.

Karakteristik umum kedua dari aktifitas yang secara alamiah menyenangkan


adalah bahwa aktifitas-aktifitas ini membuat seseorang lebih mampu mengontrol
dirinya. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk dapat mengontrol
nasibnya sendiri. Mulai dari masa bermain (toddler) yang selalu mengatakan tidak
29

terhadap orang dewasa yang bermimpi menjadi “bos” nya, keinginan untuk
mengontrol dirinya sudah mulai nampak.

Setiap orang memiliki kecenderungan menjadi sebuah kekuatan yang besar dalam
menentukan apa yang terjadi disekelilingnya. Contohnya, kebanyakan orang akan
menyukai mengambil keputusan penting yang berpengaruh langsung terhadap
dirinya daripada didikte oleh orang lain. Orang-orang yang berada dalam situasi
yang mendikte dirinya baik dari orang lain, peraturan, atau sumber eksternal
lainnya akan menimbulkan perasaan tidak berdaya yang berasal dari lemahnya
kontrol diri.

Kombinasi dari perasaan kompeten dengan kontrol diri menghasilkan pola


perilaku. Pola ini mencakup pencarian tantangan-tantangan yang mampu
diselesaikan dan kemudian memperluas usaha untuk menyelesaikannya. Bergulat
dengan tantangan yang memiliki alasan dapat memberikan penghargaan alamiah
karena dengan menyelesaikannya dapat berkontribusi terhadap perasaan kompeten
dan kontrol diri. Aktifitas-aktifitas yang dicapai kemungkinan menjadi kandidat
utama untuk berusaha meningkatkan atau membangun ke dalam tugas-tugas untuk
membuatnya lebih menyenangkan. Inti dari paparan di atas adalah penggunaan
efektivitas potensial dari aktifitas yang berbeda terhadap perasaan kompeten dan
kontrol diri sebagai arahan untuk membantu dalam memilih gambaran-gambaran
yang dibangun ke dalam tugas. Gambaran ini juga seringkali membentuk
tantangan pribadi yang mampu diselesaikan.

Gambaran penting lainnya dari aktifitas memberi penghargaan alamiah perlu


dipertimbangkan. Gambaran ini melibatkan penyediaan rasa adanya maksud.
Setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk merasakan bahwa apa yang
dikerjakan itu memiliki nilai. Salah satu dari aktifitas memberi penghargaan
alamiah yang dapat memberikan rasa ada maksud adalah dengan membantu atau
mengekspresikan penghargaan (niat baik) untuk orang lain. Istilah altruisme sering
digunakan untuk menghubungkan dengan ide ini. Hans Selye menyatakan bahwa
30

cara untuk menikmati gaya hidup yang berharga, bebas dari stress yang
mengganggu adalah dengan melaksanakan egoism altruistik. Inti dari ide ini
membantu orang lain dan mendapat kasihnya, sementara itu pada saat yang
bersamaan kebutuhan dirinya sendiri terpenuhi serta mengangkat diri sendiri
(egoisme). Selye juga menjelaskan bahwa sifat alamiah manusia mendorong orang
untuk menyelamatkan diri sendiri, atau apa yang disebut dengan kasar sebagai
mementingkan diri sendiri (selfish). Filosofi menegaskan bahwa hanya dengan
mengawinkan sifat alamiah berpusat pada diri sendiri dengan suatu tingkah laku
yang mengedepankan kebaikan serta menghargai orang lain melalui upaya
altruistik, hidup akan bahagia dan bermakna.

Ada dua pendekatan primer untuk menggunakan penghargaan alamiah dalam


rangka meningkatkan self-leadership. Kedua pendekatan tersebut adalah (a)
membangun gambaran yang menyenangkan ke dalam aktifitas-aktifitas hidup
(building more naturally enjoyable features into life’s activities), dan (b) secara
sengaja memokuskan pikiran terhadap aspek-aspek peghargaan yang alamiah dari
aktifitas-aktifitas (intentionally focusing the thought o the naturally rewarding
aspects of the activities) yang dihadapi.

Logika dari pendekatan yang pertama (building more naturally enjoyable features
into life’s activities), meliputi identifikasi aspek-aspek usaha yang secara alamiah
disukai dan mencoba meningkatkannya. Contohnya, pertemuan bisnis yang
dilakukan di lokasi yang tinggi. Hal yang sama jika dilakukan di ruang konferens
yang formal dalam sebuah gedung akan memberi warna yang berbeda
dibandingkan dengan penyelenggaraan di dalam ruang pertemuan yang santai di
sebuah resor. Seseorang yang menyukai pembicaraan langsung dengan
pengikutnya lebih menikmati ketika menyampaikan pesan verbal dengan
berhadap-hadapan secara langsung daripada menuliskannya dalam memo formal.
Intinya adalah bahwa setiap orang dapat mengidentifikasi beberapa cara untuk
menyelesaikan banyak aktifitas. Dengan memilih menyelesaikan tugas-tugas ini
31

dengan cara yang lebih disenangi, berarti penghargaan alamiah telah dibangun
untuk usaha-usaha yang dilakukan.

Perhatian utama dari pendekatan ini adalah pada aspek-aspek yang membuat
aktifitas tersebut dinikmati secara lamiah, dengan memilih konteks yang
menyenangkan dari tugas, dalam hal ini bagian dari tugas. Setiap orang dapat
mencari gambaran dari aktifitas yang memberikan perasaan kompeten, kontrol diri,
dan memiliki maksud yang merupakan faktor utama untuk membuat tugas yang
dapat memberikan penghargaan secara alamiah. Bahkan pendekatan humor dapat
digunakan dalam pendekatan ini

Usaha untuk membuat pekerjaan menyenangkan dapat memberikan keuntungan


dalam mencapai sukses pekerjaan. Ketika seseorang mengatakan “saya mencintai
pekerjaan saya”, ia menurunkan risiko terhadap penyakit jantung. Hal ini
didapatkan dari sebuah survey yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan,
Kesehatan, dan Kesejahteraan Negara Bagian Massachussetts dengan mengajukan
dua pertanyaan “apakah anda bahagia?” dan “apakah anda mencintai pekerjaan
anda?” pada sekelompok partisipan. Hasilnya memperlihatkan bahwa orang yang
menjawab “ya” memiliki kesempatan yang lebih baik untuk terhindar dari penyakit
jantung.

Pendekatan kedua—intentionally focusing the thought on the naturally rewarding


aspects of the activities, memokuskan pada pemusatan pikiran selama tugas
dikerjakan. Seseorang dapat memilih untuk memikirkan, membicarakan, atau
berfokus pada bagian dari pekerjaan yang tidak disukainya sehingga menimbulkan
perasaan yang buruk terhadap pekerjaan. Seseorang juga dapat memilih untuk
mengarahkan fokus pada penghargaan yang akan diterima dari pekerjaan yang
dilakukan (uang, penghargaan, pengakuan) dan kemudian dimotivasi oleh
gambaran pada masa yang akan datang. Pada sisi lain, seseorang juga dapat
memilih untuk mengarahkan fokus pada aspek kenikmatan alamiah dari
32

pekerjaannya dan menikmati aktifitas yang memberikan nilai. Fokus yang ketiga
merupakan kunci untuk dapat menikmati kesenangan alamiah.

Kebanyakan aktifitas memiliki bagian yang menyenangkan dan tidak


menyenangkan. Apa yang dipikirkan seseorang mengenai bagian-bagian dari
suatu aktifitas dan apa yang dipilih seseorang, secara bermakna akan memengaruhi
kenikmatan yang diperolehnya dari aktifitas ini. Logika sederhana ini dapat
diterapkan pada aktifitas besar dalam kehidupan. Dengan memilih untuk berfokus
pada aspek yang menyenangkan dari suatu aktifitas, maka pengalaman
menyenangkan yang alamiah dengan sendirinya dapat diperoleh.

Strategi redesigning mental world (redesigning psychological world) merupakan


cara untuk menganalisis dan menghadapi cara berpikir serta bagaimana
pengaruhnya terhadap self-leadership seseorang. Tujuannya adalah meningkatkan
pemahaman dan kemampuan dalam menghadapi dunia psikologis. Setiap orang
dapat merubah dunia psikologisnya dan perilaku yang dihasilkannya, serta
pengalaman-pengalaman. Titik pandang ini konsisten dengan perspektif psikologi
yang menempatkan tanggung jawab terhadap tindakan dan perbaikan diri sendiri.
Jika seseorang ingin mencapai self-leadership yang efektif dan menjadi pribadi
yang efektif, ia harus mengambil tanggung jawab terhadap apa yang dipikirkan
dan dikerjakannya. Strategi ini bertolak belakang dengan kecenderungan umum
dimana meletakkan tanggung jawab atas tindakannya sendiri pada sumber-sumber
eksternal seperti figur otoritas atau pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak.
Fokusnya adalah menghadapi dan memperbaiki cara berpikir dan perilaku, bukan
sebaliknya mencari-cari alasan .

Konsep berpikir positif menjadi referensi yang bermanfaat dalam pengembangan


strategi ini. Berpikir positif terbukti dapat memperbaiki dunia psikologis. Elemen-
elemen yang berpotensi membantu untuk menjelaskan bagaimana pikiran
seseorang dapat memengaruhi perilaku dan pengalaman hidup. Elemen-elemen
tersebut adalah keyakinan (belief), pengalaman yang dibayangkan (imagined
33

experiences), berbicara kepada diri sendiri (self-talk), dan pola pikir (thought
patterns). Logika dasarnya adalah apabila seseorang melakukan usaha-usaha
sistematis untuk merubah pikiran dengan cara yang menguntungkan, ia dapat
merubah self-leadership nya. Berpikir positif memberi keuntungan dalam bentuk
potensi untuk membantu efektifitas pribadi.

Berbicara kepada diri sendiri (self-talk) yang positif dapat membantu seseorang
mengerjakan tugas dengan baik. Faktanya saat ini, jika ada seseorang yang
mengalami kegagalan dalam belajar, bekerja atau kehidupan pribadi, mungkin saja
hal tersebut merupakan hasil dari pembicaraan kepada diri sendiri yang negatif.
Pernyataan-pernyataan negatif terhadap diri sendiri merupakan kata-kata yang
melemahkan. Kata-kata yang melemahkan dapat menguras energi, menurunkan
rasa percaya diri, dan menghilangkan kebahagiaan. Kata-kata ini merusak dan
mencegah pencapaian tujuan serta perasaan baik dalam diri sendiri. Jika terus
diungkapkan akan menjadi ramalan untuk pencapaian diri, karena apa yang
dikatakan kepada diri sendiri setiap hari biasanya akan menjadi kenyataan di
kemudian hari.

Perspektif psikologi saat ini menyatakan bahwa permasalahan hidup cenderung


mengalir dari berpikir disfungsional. Bentuk penyimpangan mental merupakan
basis terjadinya berpikir yang tidak efektif yang menutupi efektifitas pribadi yang
seringkali mengarah menjadi depresi. Penyimpangan pikiran berasal dari beberapa
disfungsi keyakinan yang diaktifkan oleh situasi sulit dan merusak. Tipe-tipe
berpikir disfungsional ini perlu dikonfrontasi dan meletakkannya kembali pada
pemikiran yang rasional (belief). David Burns mengidentifikasi ada sebelas
kategori primer disfungsi pikiran:
a. Extreme thinking (berpikir ekstrim): segala seuatu dilihat sebagai hitam atau
putih (contoh, jika kesempurnaan total tidak dapat diraih, akibatnya timbul
persepsi kegagalan),
34

b. Overgeneralization (generalisasi secara berlebihan): kegagalan dan hasil buruk


pada suatu aktifitas tertentu digeneralisir sebagai suatu pola yang tidak akan
pernah berakhir,
c. Mental filter: mengedepankan satu bagian yang negatif yang kemudian
mengakibatkan menyimpangkan semua aspek lain dari persepsi terhadap
realitas,
d. Disqualifying the positive: meski jika sesuatu dialami secara positif, secara
mental menganggap tidak cakap untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai atau
penting,
e. Mind reading: menggambarkan kesimpulan negatif terhadap suatu situasi
meski dengan bukti kongkrit yang lemah untuk mendukung kesimpulan
tersebut,
f. Fortune-telling: memrediksi dengan sekehendak hati bahwa segala sesuatu
akan menjadi buruk,
g. Magnifying and maximizing: membesar-besarkan secara berlebihan pentingnya
faktor-faktor negatif dan meminimalkan pentingnya faktor-faktor positif yang
berhubungan dengan suatu situasi,
h. Emotional reasoning: menginterpretasikan realitas berdasarkan pada emosi
negatif dari suatu pengalaman,
i. Should statement: mengatakan pada diri sendiri kata-kata seperti “akan”, “tidak
akan”, “seharusnya”, dan “harus” yang digunakan untuk menekan atau
memanipulasi diri sendiri untuk melakukan suatu tindakan, dan
j. Labeling and mislabeling: menggambarkan diri sendiri, orang lain atau suatu
peristiwa dengan sebutan (label) yang negatif (conto: “saya gagal”, “ia berbuat
curang”).

Pengalaman yang dibayangkan (imagined experience) merupakan teknik yang


biasa disebut dengan praktik mental (mental practice). Kegiatan yang dilakukan
meliputi membayangkan keberhasilan menyelesaikan suatu kegiatan sebelum
kegiatan itu berlangsung secara fisik. Jika bayangan yang dimunculkan terhadap
suatu kegiatan adalah kegagalan, maka berpotensi untuk menghambat kinerja yang
35

efektif. Hal ini terjadi karena penolakan terhadap diri sendiri berhubungan dengan
hasil yang negatif. Pada sisi lain, jika bayangan yang dimunculkan adalah
pengalaman yang positif, maka akan mendorong munculnya rasa percaya diri yang
tinggi.

Inti dari strategi ini adalah bahwa setiap orang dapat menciptakan dunia yang unik
dalam diri sendiri. Inti dari pengalaman hidup berpusat di dalam dunia internal
yang diciptakannya. Bayangan pengalaman negatif terhadap suatu kegiatan atau
kejadian dapat berlangsung beberapa hari atau bahkan beberapa menit sebelum
peristiwa itu berlangsung. Misalnya, jika seseorang membayangkan dicabut gigi
itu menyakitkan, kemungkinan ketika ia benar-benar pergi ke dokter gigi, ia
merasakan rasa sakit yang lebih dari rasa sakit yang sesungguhnya ditimbulkan
oleh tindakan tersebut. Hal ini juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Bayangan
pengalaman positif dapat menjadi lebih tepat dan kuat daripada kejadian yang
sesungguhnya pada dunia fisik. Kejadian-kejadian yang diantisipasi seringkali
pada akhirnya mengecewakan karena tidak sesuai dengan harapan. Ketika
menonton film yang berasal dari novel klasik seringkali hanya berdasarkan pada
karya aslinya karena pengayaan dapat dilakukan oleh setiap orang yang
menontonnya dengan menambahkan imaginasi masing-masing yang jarang dicapai
dalam bentuk visual oleh pembuat film.

Membayangkan pengalaman secara simbolis merupakan komponen penting dari


dunia psikologis dimana setiap orang menginterpretasikan dan mengalami
kehidupan. Jika seseorang dapat menemukan efeknya terhadap kehidupan, ia dapat
lebih memahami diri sendiri dengan lebih baik. Dengan melakukan latihan pada
pilihan yang lebih baik dan mengontrol diri dalam membayangkan pengalaman,
hal ini dapat memperbaiki kualitas dunia psikologi serta efektivitas pribadi.

Penjelasan sebelumnya menyajikan faktor-faktor yang membantu membentuk


dunia psikologis yang unik. Cara penggambaran ide-ide ini dilakukan untuk
melihat psikologi internal diri sendiri yang dikenal dengan istilah pola pikir.
36

Dengan ini, setiap orang cenderung mengembangkan beberapa cara berpikir


mengenai pengalamannya. Dapat juga dikatakan ketika seseorang
mengembangkan kebiasaan dari suatu perilaku, pada saat yang sama ia
mengembangkan cara berpikir. Pola pikir mencakup keyakinan, pengalaman yang
dibayangkan, dan berbicara kepada diri sendiri. Ketiga unsur ini saling
memengaruhi satu dengan lainnya serta membantu membentuk pola pikir.
Keempat faktor ini dipengaruhi oleh tekanan eksternal seperti pengalaman masa
lalu. Ide utamanya adalah bahwa setiap orang membuat konstruksi sebuah konsep
yang unik didalam pikiran mengenai kehidupan yang memengaruhi tindakan dan
bagaimana merasakan sesuatu.

Perilaku dapat berperan baik sebagai sesuatu yang memengaruhi pola pikir
maupun hasil dari pola pikir. Dengan kata lain, keduanya saling memengaruhi.
Karenanya, untuk memperbaiki self-leadership seseorang difokuskan pada kedua
faktor ini. Fakta-fakta menunjukkan bahwa jika seseorang merubah perilaku, ia
juga merubah dunia psikologisnya.

Ada dua jenis pola pikir yang dapat diadopsi seseorang, yaitu berpikir kesempatan
(opportunity thinkinng) atau berpikir rintangan (obstacle thinking). Berpikir
kesempatan mencakup pola pikir yang berfokus pada kesempatan dan
kemungkinan yang ada pada suatu situasi atau tantangan. Pola pikir jenis ini
dimiliki oleh orang-orang yang kreatif dan inovatif. Berpikir rintangan berfokus
pada jalan terjal dan jebakan dalam menghadapi suatu pekerjaan yang baru.

Setiap orang dapat memperlihatkan penggunaan kedua jenis pola pikir ini pada
waktu berbeda dan pada saat berhadapan dengan situasi yang berbeda. Situasi yang
terlalu banyak mengandung risiko pribadi biasanya dihindari. Seringkali
seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak diharapkan. Jika menghindar tidak
dapat lagi dilakukan, maka situasi itu menjadi sesuatu yang bagaimanapun harus
dihadapi. Ada orang yang memiliki kecenderungan lebih banyak menggunakan
salah satu dari kedua jenis pola pikir ini dibandingkan dengan orang lain dalam
37

menghadapi tantangan hidup. Contoh, seseorang akan memilih tantangan-


tantangan yang dapat dikerjakan karena akan membantunya berkembang. Pola-
pola yang digunakan dalam berpikir memengaruhi tindakan, kepuasan terhadap
kehidupan dan efektivitas pribadi.

Sejalan dengan uraian ini Antonio (2008) menegaskan bahwa esensi dari
kepemimpinan adalah mengenali, menemukan, dan mengidentifikasi diri
sesungguhnya. Kepemimpinan adalah bagaimana seseorang mempunyai kebiasaan
proaktif dan kreatif. Proaktif dan kreatif berarti berupaya mencari tahu,
mengembangkan, dan berbuat dengan arahan dari diri sendiri. Ada tiga hukum
dasar tentang bagaimana seseorang mau melakukan sesuatu. Ketiga hukum dasar
itu adalah: (a) seseorang baru akan mengerjakan sesuatu ketika suka dan senang
melakukannya, (b) orang mungkin akan melakukan sesuatu karena terpaksa atau
takut suatu ancaman, dan (c) seseorang akan melakukan sesuatu karena sudah
menjadi “kewajibannya”, namun ia kehilangan semangat dalam melakukannya
(Antonio, 2008). Atas dasar pernyataan ini, self-leadership mengarahkan seseorang
agar termotivasi untuk memilih mengerjakan sesuatu karena merasa suka dan
senang melakukannya, dan memiliki harapan bahwa di balik sebuah kegiatan ada
makna dan hikmah yang positif bagi dirinya.

Cara yang dianjurkan untuk menemukan dan mengidentifikasi diri adalah


melakukan outer journey agar dapat mengalami rasa menjauh, terlepas dari tubuh,
pikiran dan emosi serta memosisikan kesadaran dan pengalaman lebih jauh ke
dalam batin yang juga merupakan diri yang pro aktif dan kreatif. Cara-cara
praktisnya dapat dilakukan dengan yoga, meditasi, dzikir dan puasa (bagi muslim).
Latihan ini menimbulkan rileksasi, perasaan positif dan senang sebagai bentuk dari
penemuan diri seutuhnya dan emosi yang tenang (Antonio, 2008).

Kunci dasar dalam pemberdayaan organisasi adalah self-leadership dari para


pekerjanya (Prussia, Anderson, & Manz, 1998). Mereka meneliti efek dari persepsi
self-leadership dan self-efficacy terhadap kinerja. Hasil penelitian menunjukkan
38

bahwa strategi self-leadership memiliki efek yang bermakna terhadap evaluasi


self-efficacy, dan self-efficacy secara langsung berpengaruh terhadap kinerja. Hasil
penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Norris (2008).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dolbier, Soderstrom, dan Steinhardt (2001)
menemukan bahwa self-leadership berhubungan secara bermakna dengan fungsi
psikologis yang lebih tinggi, lebih optimis, dan status kesehatan yang lebih baik
dari para pekerja. Self-leadership juga berhubungan secara bermakna dengan
persepsi yang lebih baik terhadap kepuasan kerja, memperbaiki komunikasi,
persepsi terhadap kesejahteraan yang lebih baik dan tingkat stress yang lebih
rendah, manajemen mutu, dan hubungan kerja yang efektif.

Konsep mengenai self-leadership disempurnakan oleh pengembangnya Manz dan


Neck dalam kemasan Thought Self-Leadership yang dikembangkan dari sebuah
penelitian yang dilakukan pada tahun 1996. Penelitian intervensi yang mereka
kerjakan menitikberatkan pada aplikasi self-leadership dalam tatanan organisasi
melalui pelatihan yang berfokus pada strategi kognitif. Pelatihan dilakukan selama
enam minggu dengan waktu dua jam/minggu. Minggu pertama diawali dengan ice
breaker, membina hubungan saling percaya, menimbulkan minat, dan gambaran
umum materi pelatihan selanjutnya. Minggu kedua hingga minggu keenam secara
berturut-turut materi yang diberikan mengenai Keyakinan dan Asumsi, Dialog
dengan diri sendiri, Gambaran Mental, Pola-Pola berpikir, dan Pencegahan
Kekambuhan. Pelatihan ini diberikan kepada 48 pegawai bidang akutansi dari
sebuah maskapai penerbangan yang sedang mengalami kebangkrutan. Jumlah ini
kemudian dibagi dua dengan jumlah peserta yang sama baik untuk kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol yaitu 24 orang.

Pengukuran dilakukan satu bulan sebelum pelatihan (pre) dan satu bulan setelah
dilakukan pelatihan baik untuk kelompok kontrol maupun kelompok intervensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mendapat pelatihan thought
self-leadership mengalami peningkatan kinerja mental, antusiasme, kepuasan
39

kerja dan menurunkan afek negatif seperti pesimis, dibandingkan dengan pekerja
yang tidak mendapatkannya.

Ringkasan teori self-leadership sebagaimana terlihat dalam gambar 2.1

SELF-MANAGEMENT MENTAL WORLD REDESIGNING

World-altering strategies Belief

 Remainder and attention focusers


 Removing negative cues
 Increasing positive cues
Thought patterns
Self-imposed strategies

 Self-observations
 Discover natural rewards
 Purpose examination
 Self-rewards
 Self-goal-setting Imagined experience self-talk
 Self-punishment
 Practice

MIND AND BODY

 Behaviors
 thoughts

NATURAL REWARD STRATEGIES


PERSONAL
 Discover your natural rewards
 Building natural rewards into life’s EFFECTIVENESS
activities
 Focus on the natural rewards

Gambar. 2.1. Skema Teori Self-Leadership (Manz &Neck, 2010)


40

BAB 3

METODE PENGEMBANGAN ALAT UKUR

3.1 Responden

Populasi yang akan diukur dalam penelitian adalah mahasiswa Program Diploma 3
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) Muhammadiyah
Pontianak Kalimantan Barat. Uji coba instrumen dilakukan pada empat puluh (40)
mahasiswa Program Studi Diploma 3 Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Sukabumi. Mahasiswa yang berpartisipasi berasal dari semester 1 (21 orang) dan
semester 3 (19 orang). Dasar dari pemilihan responden dalam uji coba ini,
karakteristik responden dan lembaga penyelenggara pendidikan memiliki
kesamaan dengan karakteristik mahasiswa dan lembaga yang akan digunakan
untuk penelitian.

3.2 Metode Pengujian

3.2.1 Skala pengukuran

Skala yang digunakan dalam tes adalah skala Likert dalam tingkat data ordinal.
Pemilihan skala berdasarkan pertimbangan karakteristik yang akan diukur adalah
sikap mahasiswa terhadap pernyataan yang menggambarkan kesesuaian antara
pernyataan dengan perilakunya sehari-hari yang berhubungan self-leadership.
Pertimbangan lainnya, skala Likert relative mudah untuk dikonstruksi dan
menghasilkan reliabilitas yang cukup tinggi (cohen & Swerdlik, 2010).

Ada enam kategori pilihan jawaban dalam skala mulai dari sangat tidak sesuai
hingga sangat sesuai (1-6). Enam kategori dipilih untuk mengendalikan
kemungkinan adanya kecenderungan memilih nilai tengah yang dianggap sebagai
nilai yang aman.
41

3.2.2 Kerangka konsep penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah mengidentifikasi hubungan antara


karakteristik mahasiswa Program Diploma III Keperawatan dengan penggunaan
self-leadership dalam mengikuti proses pembelajaran di STIK Muhammadiyah
Pontianak. Karakteristik yang diobservasi adalah jenis kelamin, umur dan etnis.
Self leadership dibangun oleh tiga strategi yang digunakan untuk memotivasi diri
dalam mengikuti proses pembelajaran. Ketiga strategi tersebut adalah mengelola
diri sendiri, penghargaan alamiah, dan merancang ulang dunia mental.

Self-leadership

- Strategi
Karakteristik mengelola diri
mahasiswa sendiri
- Umur - Strategi
- Jenis penghargaan
kelamin alamiah
- suku - Strategi
merancang
ulang dunia
mental

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian dikembangkan sebagaimana


terdapat dalam tabel 3.1
42

Tabel 3.1 Matriks Pengembangan Alat Ukur Penelitian Self-Leadership

Variabel Teori Dimensi Indikator Butir Pernyataan No


Kepemimpinan Self-Leadership Mengelola diri Strategi mengendalikan
diri sendiri (Neck &Manz, sendiri adalah lingkungan
pada 2010) tindakan yang 1. Pengingat dan pemokus Saya membuat daftar kegiatan harian 1
mahasiswa bertujuan untuk perhatian dengan yang akan saya kerjakan setiap pagi
program studi mengendalikan menggunakan objek- sebelum berangkat kuliah
Diploma Tiga lingkungan dan objek fisik untuk
Keperawatan menimbulkan mengingatkan dan Saya menyusun daftar tugas yang 2
adalah rasa segan memokuskan perhatian diberikan oleh dosen berdasarkan skala
kemampuan terhadap diri terhadap tugas yang prioritas
mahasiswa sendiri perlu dikerjakan
untuk Saya meletakkan bahan-bahan untuk 3
memotivasi mengerjakan tugas di tempat yang
diri dalam mudah terlihat
mengikuti
perkuliahan Bagi saya membuat daftar kegiatan 4
dan harian merupakan pekerjaan yang sia-sia
menyelesaikan (-)
ugas yang
berhubungan 2. Menghilangkan isyarat Saya memiliki tempat belajar khusus 5
dengan negatif yang dapat
aktifitas proses mengarahkan pada Pada saat mengikuti perkuliahan saya 6
pembelajaran perilaku yang tidak menonaktifkan telepon genggam
disukai
Pada saat mengerjakan tugas, saya tetap 7
43

menjawab telepon atau pesan singkat


meskipun isinya obrolan biasa (-)

3. Meningkatkan isyarat Pada saat kuliah berlangsung saya 8


positif untuk memilih duduk dengan teman yang
mengarahkan pada serius mengikuti perkuliahan
perilaku yang
diharapkan Ruang belajar saya dilengkapi dengan 9
jadual penyerahan tugas yang saya
letakkan di tempat yang mudah terlihat

Strategi menimbulkan
rasa segan diri melalui
latihan mengontrol diri Saya berusaha menemukan hal-hal yang 10
1. Observasi diri untuk mengganggu konsentrasi belajar
mengenali bilamana,
mengapa dan dibawah Saya mencatat setiap kegiatan untuk 11
kondisi apa beberapa melihat seberapa efektif saya
perilaku digunakan menggunakan waktu setiap hari

Sebelum tidur saya mengingat-ingat 12


kegiatan yang saya lakukan mulai dari
bangun tidur hingga menjelang waktu
tidur

2. Menetapkan hasil yang Untuk mendapatkan indeks prestasi yang 13


ingin dicapai baik dalam setiap semester, saya
menuliskan langkah-langkah untuk
44

mencapainya

Saya mengikuti perkuliahan setiap hari 14


sebagai rutinitas yang saya kerjakan
sebagai seorang mahasiswa (-)

3. Memeriksa tujuan hidup Saya belajar dengan sungguh-sungguh 15


agar dapat menyelesaikan kuliah tepat
pada waktunya

Bagi saya kuliah di keperawatan hanya 16


untuk memenuhi keinginan orang tua (-)
4. Menghadiahi diri sendiri Saya melakukan kegiatan yang saya 17
setelah menyelesaikan sukai setelah menyelesaikan suatu tugas
suatu tugas yang diberikan dosen kepada saya

5. Menghukum diri sendiri Saya menunda makan siang apabila tugas 18


jika tidak dapat belum selesai saya kerjakan
menyelesaikan tugas
tepat pada waktunya Meskipun banyak tugas dari dosen yang 19
atau tidak sesuai dengan belum saya selesaikan, saya tetap
harapan menyempatkan diri melakukan kegiatan
di luar kegiatan perkuliahan
(-)
6. Praktik pada tingkat Ketika mendapat tugas dari dosen, saya 20
fisik maupun pada membayangkan langkah-langkah yang
tingkat mental akan saya lakukan untuk menyelesaikan
tugas tersebut
45

Saya mempraktikan suatu keterampilan 21


sesuai dengan standar sebelum dosen
menguji saya untuk mempraktikan
keterampilan tersebut

Strategi Menemukan penghargaan Kuliah di keperawatan merupakan beban 22


Penghargaan alamiah di dalam diri yang berat bagi saya. (-)
alamiah adalah sendiri
serangkaian Saya merasa lebih percaya diri pada saat 23
kegiatan yang melakukan tindakan kepada pasien di
bertujuan untuk rumah sakit, apabila tindakan tersebut
menemukan telah dilatihkan berulang-ulang di
aspek-aspek laboratorium kampus.
yang dapat Membangun penghargaan saya mengerjakan satu persatu tugas dari 24
menumbuhkan alamiah ke dalam aktiitas dosen sesuai dengan target waktu yang
perasaan kehidupan ditetapkan untuk masing-masing
berharga penugasan.
terhadap diri
sendiri yang Bagi saya, terlambat memngumpulkan 25
tumbuh dari tugas merupakan hal yang wajar
dalam diri dalam dilalkukan seorang mahasiswa (-)
diri dalam memokuskan pada Dalam mengerjakan suatu tugas, saya 26
melaksanakan penghargaan alamiah memulainya dari bagian yang saya nilai
suatu aktifitas lebih mudah untuk dikerjakan.

Ketika saya mendapat tugas yang saya 27


nilai sulit, saya minta orang lain untuk
46

mengerjakannya. (-)

Merancang ulang Mengembangkan pemikiran Ketika saya mendapatkan nilai yang 28


dunia mental rasional dalam berbagai tidak memuaskan dalam ujian, saya
merupakan situasi melakukan introspeksi untuk mengetahui
tindakan yang penyebabnya
bertujuan untuk 29
menumbuhkan Kegagalan saya dalam meraih prestasi
pola berpikir belajar disebabkan oleh sistem
konstruktif yang perkuliahan yang tidak sesuai dengan
menekankan jadwal yang tersedia (-)
pada
kemampuan Membayangkan sukses Ketika menghadapi ujian praktik, saya 30
berpikir positif dalam setiap kegiatan membayangkan mengerjakan langkah
untuk medorong sebelum kegiatan tersebut demi langkah prosedur tindakan sesuai
keyakinan yang dilaksanakan dengan standar
positif,
pembicaraan self-talk (berbicara kepada ketika saya menghadapi berbagai tugas 31
positif terhadap diri sendiri) adalah aktifitas yang diberikan oleh dosen, saya katakan
diri sendiri dan yang bertujuan untuk pada diri sendiri “saya mampu
membayangkan membantu seseorang agar menyelesaikan semua tugas ini dengan
pengalaman dapat mengerjakan tugas baik”.
yang positif dari dengan baik melalui kata-
suatu aktivitas kata positif yang diucapkan Ketika saya gagal dalam ujian saya 32
yang belum untuk diri sendiri katakana kepada diri sendiri “saya
dilaksanakan bodoh” (-)
47

menilai gambaran suatu Saya berusaha mencari bahan ajar 33


fenomena sebagai tantangan sebanyak-banyaknya agar dapat
atau hambatan. memberikan kontribusi yang besar dalam
mengerjakan penugasan berkelompok

Saya mengerjakan tugas kelompok 34


dengan dengan senang hati meskipun
peran serta anggota kelompok minim,
karena hal ini membuat saya mendalami
bahan ajar dengan baik

Tugas-tugas yang diberikan pada setiap 35


mata kuliah melebihi beban kemampuan
saya sebagai seorang mahasiswa (-)
48

3.2.3 Penyekoran item

Item tes seluruhnya berjumlah 35 butir pernyataan. Skor terendah adalah 1


(sangant tidak sesuai) dan tertinggi 6 (sangat sesuai), dengan demikian skor peserta
tes akan berkisar antara 35-210. Dari 35 butir pernyataan ada 11 pernyataan
mengenai perilaku yang tidak diharapkan (item nomor 5, 7, 14, 19, 22, 25, 27, 29,
32, dan 35), untuk itu skor 1 untuk pilihan jawaban sangat sesuai dan 6 untuk
pilihan jawaban sangat tidak sesuai (1). Pernyataan perilaku yang tidak diharapkan
digunakan untuk meilhat konsistensi jawaban.

3.2.4 Teknik pengambilan data

Pengambilan data dilakukan pada pagi hari sebelum aktifitas perkuliahan dimulai.
Mahasiswa dikumpulkan di ruang belajar tempat perkuliahan berlangsung. Petugas
pengambil data memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan pertemuan kepada
mahasiswa. Salah satu dari dua petugas membagikan lembar instrumen (lampiran
1) beserta alat tulis. Setelah semua mahasiswa mendapatkan lembaran instrumen
petugas memastikan semua mahasiswa mendapatkan jumlah lembaran yang sama
(5 halaman). Selanjutnya petugas meminta responden untuk membaca lembar
pertama yang berisi perkenalan dari peneliti, ketentuan dalam mengisi, dan
jaminan kerahasiaan atas informasi yang disampaikan responden selama lima
menit). Penjelasan mengenai cara mengisi instrumen disampaikan setelah
dipastikan semua mahasiswa selesai membaca dan menyetujui untuk berpartisipasi
dalam uji coba ini.

Waktu yang digunakan dalam seluruh proses pengambilan data sebanyak 45 menit.
Pengisian instrumen sendiri menghabiskan waktu selama 30 menit. Tidak ada
pengondisian yang khusus misalnya ketentuan mengenai ruangan, tingkat distraksi
dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan kenyamanan peserta tes.
49

3.3 Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur (Test)

Pendekatan yang digunakan untuk mengukur reliabilitas dalam uji coba alat ukur
adalah alpha Cronbach. Hasil uji statistik untuk 35 item pernyataan dalam alat
ukur ini memiliki nilai alpha Cronbach 0, 806 (>0,70) dengan demikian semua
pernyataan tersebut reliabel. Uji yang sama dilakukan untuk setiap dimensi. Alpha
Cronbach untuk dimensi strategi mengelola diri sebesar 0,745(> 0,70); untuk
dimensi strategi penghargaan alamiah sebesar 0,493 (< 0,70): dan dimensi strategi
merancang ulang dunia mental sebesar 0,599> berdasarkan hasil uji statistik ini
terlihat hanya dimensi strategi mengelola diri sendiri yang semua itemnya reliabel.
Dengan mengeliminasi item yang memiliki koefisien korelasi corrected-item <0,3
didapatkan peningkatan nilai koefisien korelasi alpha Cronbach 0,830.

Tabel 3. 1 ReliabilityStatistics
Cronbach’s Alpha N of Items
Total 0,806 35
strategi mengelola diri sendiri 0,745 21
Strategi penghagaan alamiah 0,493 6
Strategi merancang ulang 0,599 8
dunia menmtal
Total setelah menghilangkan 0,830 19
item yang tidak valid

Uji validitas dilakukan dengan melihat nilai corected item-total correlation.total


dan corrected item-total correlation dimensi. Suatu item dinyatakan valid apabila
memiliki nilai koefien korelasi > 0,3 (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Hasil uji statistik
untuk validitas terlihat dalam tabel 3.3, 3.4, dan 3.5.

Analisis faktor dilakukan untuk menguji hubungan diantara beberapa variabel dan
menjelaskan variabel-variabel ini dalam keadaan umumnya berdasarkan dimensi
atau faktor (Yamin & Kurniawan, 2009). Hal yang dilihat dari analisis faktor
adalah total varians yang dijelaskan oleh alat ukur, diagram scree plot, dan loading
50

factor. Total varians yang dapat dijelaskan oleh alat ukur ini sebesar 81,64%
dengan jumlah optimum faktor yang terbentuk sebanyak 12 faktor baru. Hal ini
sesuai dengan yang ditunjukkan oleh diagram scree plot, sebagaimana terlihat
dalam diagram 3.1 terdapat 12 faktor yang memiliki eigenvalue > 1. Mengingat
konstruk self-leadership dibangun oleh tiga dimensi utama, maka analisis
dilanjutkan dengan mereduksi dari 12 faktor yang terbentuk menjadi tiga faktor.
Dengan tiga faktor yang terbentuk maka total varians yang dapat dijelaskan oleh
alat ukur ini sebesar 41, 297%. Loading factor dari setiap item dapat dilihat dalam
tabel validitas untuk setiap dimensi.

Hasil uji statistik sebagaimana terlihat pada tabel 3.3 pada dimensi strategi
mengelola diri sendiri, ada tujuh item yang memiliki nilai r-it total < 0,30 yaitu
item nomor 1, 2, 7, 10, 14, 18, dan 19. Pada kolom r-it dimensi terdapat tujuh item
yang memiliki koefisien korelasi < 0,30, yaitu item 7, 10, 14, 17, 18, 19, dan 20.
Hal ini berarti item tersebut tidak valid untuk konstruk self-leadership dan harus
dibuang (dikeluarkan dari alat ukur). Item 1 dan 2 diputuskan untuk dipertahankan
mengingat loading factor > 0,40 dan berada dalam satu kelompok faktor 2 (f2)
yang yang ditempati oleh mayoritas item dalam dimensi ini. Dengan demikian
item yang dihilangkan adalah item nomor 7, 10, 14, 17, 18, 19, dan 20
51

Tabel 3.2 Hasil Analisis Statistik Validitas Dimensi Mengelola Diri Sendiri
r-it r-it
Item total dimensi Loading Factor Keputusan
1 0,232 0,399 0,609 f2 Dipertahankan
2 0,245 0,356 0,622 f2 Dipertahankan
3 0,638 0,547 0,531 f2 Dipertahankan
4 0,496 0,472 0,473 f2 Dipertahankan
5 0,393 0,504 0,684 f2 Dipertahankan
6 0,506 0,559 0,593 f2 Dipertahankan
7 -0,149 -0,140 -0,482 f1 Dibuang
8 0,535 0,552 0,622 f2 Dipertahankan
9 0,620 0,691 0,660 f2 Dipertahankan
10 -0,149 -0,132 -0,155 f2 Dibuang
-0,141 f3
11 0,315 0,421 0,750 f2 Dipertahankan
12 0,396 0,361 0,544 f2 Dipertahankan
13 0,660 0,624 0,583 f2 Dipertahankan dengan
0,434 f1 perbaikan pada strukur
pernyataan
14 -0,376 -0,270 -0,621 f3 Dibuang
15 0,459 0,354 0,532 f3 Dipertahankan
16 0,454 0,268 0,750 f3 Dipertahankan
17 0,346 0,234 0,476 f1 Dibuang
18 0,259 0,215 0,368 f3 Dibuang
19 -0,105 -0,242 0,419 f1 Dibuang
20 0,319 0,231 0,637 f1 Dibuang
21 0,461 0,429 0,540 f1 Dipertahankan dengan
perbaikan pada struktur
pernyataan

Sementara itu pada kolom loading factor terlihat ada empat item yang memiliki
koefisien korelasi dengan nilai < 0,40 yaitu: 7, 10, 14, dan 18. Dari 14 item yang
tersisa terlihat ada 10 item yang berada dalam satu faktor (f2). Hal ini berarti
faktor dua ini diisi oleh dimensi strategi mengelola diri sendiri.

Tabel 3.3 Hasil Analisis Statistik Validitas Dimensi Strategi Penghargaan Alamiah

r-it r-it
Item total dimensi Loading Factor Keputusan
22 0,185 0,367 0,608 f3 Dibuang
23 0,081 0,384 0,466 f3 Dibuang
0,442 f1
52

24 0,363 0,387 0,396 f3 Dipertahankan


25 0,159 0,140 0,423 f3 Dibuang
26 0,174 0,032 0, 751 f1 Dibuang
27 0,268 0,264 0,572 f3 Dibuang

Hasil uji statistik untuk validitas dimensi strategi penghargaan alamiah hanya ada
satu item yang memiliki koefisien korelasi r-it total dan r-it dimensi yang > 0,30
yaitu item nomor 24. Dengan demikian empat dari lima item yang tersedia
dihilangkan. Analisis dari dimensi ini hanya ada satu item yang dapat
menggambarkan konstruk penghargaan alamiah yang diberi nama faktor 3 (f3).

Tabel 3.4 Hasil Analisis Statistik Validitas Dimensi Strategi Merancang Ulang
Dunia Mental
r-it r-it
Item total dimensi Loading Factor Keputusan
28 0,468 0,610 0,803 f1 Dipertahankan
29 0,223 0,194 0,365 f3 Dibuang
30 0,446 0,583 0,683 f1 Dipertahankan
31 0,401 0,322 0,578 f1 Dipertahankan
32 0,223 0,130 0,489 f2 Dibuang
33 0,622 0,403 0,625 f2 Dipertahankan
34 0,220 0,145 0,709 f1 Dibuang
35 0,160 0,281 0,461 f3 Dibuang

Tabel 3.4 memperlihatkan validitas dan loading factor dari dimensi strategi
merancang ulang dunia mental. Dari tabel terlihat ada empat item yang memiliki
nilai koefisien korelasi total dan dimensi < 0,4 yaitu item nomor 29, 32, 34, dan
35. Dari keempat item yang tersisa, masing-masing memiliki nilai loading factor
>0,4. Mayoritas item berkumpul pada faktor 1 (f1). Hal ini menunjukkan bahwa
faktor 1 (f1) diisi oleh dimensi strategi merancang ulang dunia mental.
53

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Reliabilitas

Alat ukur yang baik harus memenuhi syarat reliabilitas dan validitas yang cukup
tinggi. Reliabilitas adalah konsistensi suatu alat ukur atau metode dalam memberi
skor kepada subjek (Waltz, Strictland, & Lenz, 2010). Metode yang digunakan
untuk mengukur reliabilias dalam uji coba alat ukur ini adalah koefisien alpha
yang dikembangkan oleh Cronbach tahun 1951 (Cohen & Swerdlik, 2010). Kaplan
& Saccuzo, 2005) menyatakan, bahwa untuk sebuah penelitian estimasi reliabilitas
cukup baik pada alpha 0,70 – 0,80. Nilai tersebut menunjukkan tingkat korelasi
antar butir pernyataan dalam alat ukur yang diperoleh dari hasil korelasi r-skor
antar individu yang menjadi responden dalam penelitian.

Hasil uji statistik terhadap reliabilitas total alat ukur self-leadership menunjukkan
bahwa alat ukur ini reliabel (0,806). Ketika uji statistik dilakukan masing-masing
dari ketiga dimensi yang ada, nilai alpha Cronbach yang memenuhi syarat hanya
pada dimensi strategi mengelola diri sendiri (0,745), sedangkan dua dimensi
lainnya memiiki nilai koefisen korelasi alpha Cronbach < 0,70. Kaplan dan
Saccuzo (2005) menyatakan ada dua cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan nilali koefiein korelasi alpha Cronbach, yaitu dengan menambah
panjang alat ukur (penambahan item) dan mengeliminasi item yang menurunkan
reliabilitas.

Jumlah item yang dikembangkan dalam dimensi strategi mengelola diri sendiri
sebanyak 21 butir pernyataan. Jumlah ini tiga kali lebih banyak jika dibandingkan
dengan item dua dimensi lainnya. Kaplan & Saccuzo (2005) menyatakan bahwa
menurut model sampel domain setiap item dari sebuah alat ukur adalah sampel
independen dari kepribadian atau kemampuan manusia yang dapat diukur.
Semakin besar sampel akan lebih merepresentasikan karakteristik yang benar.
54

Pada model ini, reliabilitas tes akan meningkat sejalan dengan penambahan jumlah
item.

Dimensi strategi penghargaan alamiah dikembangkan dalam enam item. Untuk


dapat meningkatkan koefisien korelasi alpha Cronbach, setidaknya jumlah item
pada dimensi ini dikembangkan dari 6 butir menjadi 14 butir. Hal ini merujuk
pada formula persamaan aljabar dari Spearman dan Brown yang digunakan
sebagai acuan untuk mengestimasi berapa banyak item yang akan ditambahkan
untuk dapat mencapai reliabilitas yang diharapkan (Kaplan & Saccuzo, 2005). Hal
serupa juga berlaku untuk dimensi strategi merancang ulang dunia mental yang
dikembangkan dalam delapan butir peryataan. Untuk dimensi ini dari 8 item
dikembangkan menjadi 11 item. Formula ini dapat digunakan dalam
pengembangan alat ukur self-leadership karena meskipun memiliki nilai korelasi
antar item dalam dimensi yang rendah tetapi jumlah item yang sudah ada sedikit.

Uji coba ini menggunakansampel yang berasal dari dua tingkat semester yang
berbeda, yaitu semester 1 (21 mahasiswa) dan semester 3 (19 mahasiswa).
Karakteristik pembelajaran diantara keduanya sangat berbeda. Untuk mahasiswa
semester 1 materi perkuliahan berfokus pada ilmu-ilmu dasar yang minim
penugasan, sedangkan mahasiswa semester 3 materi perkuliahan sudah berfokus
pada materi klinik yang beban studinya lebih besar, penugasan lebih banyak dan
sudah masuk ke pembelajaran di lapangan. Berdasarkan pertimbangan ini
dilakukan uji statistik reliabilitas pada kedua kelompok. Koefisien alpha untuk
skor tes mahasiswa semester 1 sebesar 0,555 dan untuk mahasiswa semester 3
sebesar 0,861. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa tes lebih reliabel dilakukan
untuk kelompok mahasiswa semester 3.
55

4.2 Validitas

Koefisen validitas untuk item yang valid berkisar antara 0,315-0,693. Metode
pengujian yang digunakan adalah validitas isi (content). Dari 35 item yang diuji
hanya tersisa 19 item yang valid. Enambelas item yang dibuang dan analisis
terhadap item sebagaimana terlihat dalam kotak berikut:

7. Pada saat mengerjakan tugas, saya tetap Pernyataan bersifat normatif


menjawab telepon atau pesan singkat Pooling pilihan pada
meskipun isinya obrolan biasa mayoritas 5

10. Saya berusaha menemukan hal-hal yang Pernyataan bersifat normatif


mengganggu konsentrasi belajar Pooling pilihan pada
mayoritas 5
14. Saya mengikuti perkuliahan setiap hari Pernyataan bersifat normatif
sebagai rutinitas yang saya kerjakan sebagai Pilihan jawaban hanya 1,2,3
seorang mahasiswa

17. Saya melakukan kegiatan yang saya sukai Pernyataan kurang spesifik
setelah menyelesaikan suatu tugas yang pada kata kegiatan yang
diberikan dosen kepada saya saya s Pooling pilihan pada
mayoritas 4
18. Saya menunda makan siang apabila tugas Pernyataan bersifat normatif
belum selesai saya kerjakan Pooling pilihan pada
mayoritas 4, 5
19. Meskipun banyak tugas dari dosen yang Pernyataan bersifat normatif
belum saya selesaikan, saya tetap Pooling pilihan pada
menyempatkan diri melakukan kegiatan di mayoritas 4 dan5
luar kegiatan perkuliahan

20. Ketika mendapat tugas dari dosen, saya Belum membudaya


membayangkan langkah-langkah yang akan sehingga ada
saya lakukan untuk menyelesaikan tugas kecenderungan menebak
tersebut pilihan
1dan 2 tidak dipilih
22. Kuliah di Prodi Keperawatan merupakan Mengancam
beban yang berat bagi saya. Pooling pilihan pada
mayoritas 3
23. Saya merasa lebih percaya diri pada saat Semester 1 belum ada
melakukan tindakan kepada pasien di rumah pengalamanbelajar klinik
sakit, apabila tindakan tersebut telah Pooling pilihan pada
dilatihkan berulang-ulang di laboratorium mayoritas 5 dan 6
kampus.
56

25. Bagi saya, terlambat mengumpulkan tugas Pernyataan bersifat normatif


merupakan hal yang wajar dilakukan seorang Pooling pilihan pada
mahasiswa mayoritas 5

26. Dalam mengerjakan suatu tugas, saya Pernyataan bersifat normatif


memulainya dari bagian yang saya nilai lebih Yang dipilih hanya 4, 5, dan
mudah untuk dikerjakan. 6

27. Ketika saya mendapat tugas yang saya nilai Pernyataan bersifat
sulit, saya minta orang lain untuk mengancam
mengerjakannya. Pooling pilihan pada
mayoritas 4 dan 5
29. Kegagalan saya dalam meraih prestasi belajar Pernyataan bersifat
disebabkan oleh sistem perkuliahan yang mengancam
tidak sesuai dengan jadwal yang tersedia Pooling pilihan pada
mayoritas 1 dan 2
32. Ketika saya gagal dalam ujian saya katakana Item tidak diharapkan
kepada diri sendiri “saya bodoh” Pooling pilihan pada
mayoritas 4
34. Saya mengerjakan tugas kelompok dengan Pernyataan bersifat normatif
dengan senang hati meskipun peran serta Pooling pilihan pada
anggota kelompok minim mayoritas 4 dan 5

35. Tugas-tugas yang diberikan pada setiap mata Pernyataan bersifat


kuliah melebihi beban kemampuan saya mengancam
sebagai seorang mahasiswa Pooling pilihan pada
mayoritas 4

Pada uji statistik dengan memisahkan kedua kelompok peserta tes, koefisien
validitas total untuk tingkat 2 ( semester 3) lebih tinggi dari tingkat 1(semester 1).
Kemungkinan perbedaan ini timbul karena beban pengalaman belajar tingkat 2
lebih besar, sehingga kemampuan untuk mengelola diri menjadi lebih baik.pada
sisi lain, karena ada item yang menggambarkan pengalaman yang belum dilalui,
kemungkinan peserta menebak saja respons terhadap pernyataan yang ada.

Hasil analisis faktor memperlihatkan hanya ada satu item dari dimensi
penghargaan alamiah yang valid dan seacara sendiri menjadi faktor 3 itupun
dengan faktor loading yang hanya mendekati nilai 0,4. Berdasarkan teori strategi
penghargaan alamiah adalah upaya-upaya untuk dapat memotivasi diri dalam
mengerjakan suatu tugas dengan melihat aspek positif dan menyenangkan dari
57

tugas tersebut. Diperlukan eksplorasi mendalam mengenai penerapan strategi ini,


karena dalam pengamatan sehari-hari strategi ini belum membudaya.

Validitas untuk dimensi mengelola diri sendiri memiliki nilai koefisien yang lebih
tinggi dari dua dimensi lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jumlah itemnya
tiga kali lebih panjang dari dua dimensi yang lain. Tanpa mengeliminasi item yang
tidak valid dan dapat menurunkan reliabilitas, koefisien reliabilitas tetap >0,7.
Dengan demikian untuk meningkatkan koefisien validitas tidak perlu penambahan
item.
58

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan
Alat ukur yang dikembangkan untuk mengukur konstruk self-leadership
berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan koefisien reliabilitas (alpha Cronbach)
sebesar 0,806. Dengan demikian alat ukur ini memiliki konsistensi internal yang
baik.

Dari tiga dimensi yang ada, dua dimensi memiliki nilai koefisien reliabilitas yang
rendah (<0,70), dimensi tersebut adalah strategi penghargaan alamiah dan strategi
merancang ulang dunia mental. Untuk dimensi mengelola diri sendiri memiliki
koefisien yang cukup tinggi (>0,70). Rendahnya koefisien reliabilitas
kemungkinan besar penyebabnya adalah jumlah item kedua dimensi ini kurang
adekuat.

Alat ukur yang terdiri dari 35 item pernyataan ini setelah dilalkukan uji statistik
menjadi tinggal 19 item. Ada 16 item pernyataan yang dieliminasi karena memiliki
koefisien validitas yang rendah (<0,30). Item-item yang dieliminasi adalah
pernyataan yang pada umumnya bersifat normatif sehingga ada kecenderungan
peserta tes memilih jawaban yang diharapkan. Hal lailn yang mungkin
menyebabkan rendahnya adalah jumlah peserta tes yang kurang adekuat.

5.2 Rekomendasi

a. Untuk meningkatkan reliabilitas diperlukan penambahan item setelah item


yang memnurunkan nilai koefisien reliabilitas rendah dieliminasi, terutama
untuk item strategi penghargaan alamiah dan strategi merancang ulang dunia
mental.
59

b. Untuk meningkatkan validitas diperlukan penambahan jumlah peserta agar


rasio kecukupan sampel terpenuhi, setidaknya dengan tiga dimensi yang ada
diperlukan 120 peserta tes
60

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. S. (2008). Muhammad SAW the super leader super manager. Cetakan
XIII. Jakarta: Tazkia Publishing & ProLM Center.

Cohen, R. J., & Swerdlik. (2010). Psychological testing and assessment: An


Introduction to Test & Measurement. 7th edition. Boston Burr Ridge: Mc. Grow-
Hill International Edition.

Kaplan R. M., & Saccuzzo, D. P. (2005). Psychological testing: Principles,


Appllcation, and Issues. 5th edition. Belmont: Thomson Wardsworth.

Neck, C. P., & Manz, C. C. (1996). Thought self-leadership: The Impact of Mental
Strategies Training on Employee Cognition, Behavior, and Affect. Journal of
Organizational Behavior, 17, 445-467.
-------------------------------------(2010). Mastering self-leadership: Empowering
Yourself for Personal Excellence. 5th edition. Upper Saddle River: Prentice
Hall.

Norris, S. E. (2008). An examination of self-leadership. Emerging Leadership


Journey,1, 43-61

Prussia, G. E., Anderso, J. S., & Manz, C. P. (1998). Self-leadership and


performance outcome: The Mediating Influence of Self-efficacy. Journal of
Organizational Behavior, 19, 523-538
Rivai, V. R., & Mulyadi, D. (2009). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Edisi
ketiga. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Waltz, C. F., Strickland, O. L., & Lenz, E. R. (2010). Measurement in nursing and
health research. New York: Springer Publishing Company, LLC.

Yamin, S., & Kurniawan, H. (2009). SPSS complete: Teknik Analisis Statistik
Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Medika.
61

Anda mungkin juga menyukai