Anda di halaman 1dari 22

AKAL DAN OTAK DALAM AL QUR’AN DAN NEUROSANS

Aulia Nanda Rizkiyanti


(1800031211)

Program Studi Pendidikan Agama Islam FAI UAD


Aulnanda21@gmail.com

ABSTRACK

It‟s inevitable that the Koran will always be a reference


(marja’) for Muslims in every thought and action, followed
later by al-Sunnah in the second position, both as a reference
in understanding the Koran or as independent sources in
understanding and resolve specific cases. In the Qur'an the
term brain is not known, to illustrate the intelligence used
the term of reason. The brain is the meaning of reason in the
physical dimension. 'Aql is the power of thought, effort,
deception, trickery, ingenuity, cunning, and the ability to see.
Neuroscience is neural science that studies the nervous
system, mainly studies neurons or nerve cells with a
multidisciplinary approach. Neurosains is a science that
specializes in scientific studies of the nervous system.
Neuroscience has traces in Islam. Islamic education has
traces in the nature of neuroscience. this article is written to
better understand the concepts of aqal and the brain in al
qura’an and neuroscience.

ABSTRAK

Tidak dapat dihindari bahwa Alquran akan selalu menjadi referensi (marja ')
bagi umat Islam dalam setiap pemikiran dan tindakan, diikuti kemudian oleh
al-Sunnah di posisi kedua, baik sebagai referensi dalam memahami Alquran
atau sebagai sumber independen dalam memahami dan menyelesaikan
kasus tertentu. Dalam Alquran istilah otak tidak dikenal, untuk
menggambarkan kecerdasan digunakan istilah akal. Otak adalah makna
nalar dalam dimensi fisik. 'Aql adalah kekuatan pikiran, usaha, penipuan,
tipu daya, kecerdikan, kelicikan, dan kemampuan untuk melihat.
Neuroscience adalah ilmu saraf yang mempelajari sistem saraf, terutama
mempelajari neuron atau sel-sel saraf dengan pendekatan multidisiplin.
Neurosains adalah ilmu yang berspesialisasi dalam studi ilmiah tentang
sistem saraf. Ilmu saraf memiliki jejak dalam Islam. Pendidikan Islam
memiliki jejak dalam sifat ilmu saraf. artikel ini ditulis untuk lebih
memahami konsep aqal dan otak dalam al qura’an dan ilmu saraf.

Pendahuluan
Sebelum sampai kepada pengertian konsep al aql secara utuh, dalam kehidupan atau
percakapan sehari – hari terdapat suatu fenomena tentang otak dan akal ibarat dua
sisi dari mata uang logam, sulit dipisahkan baik kata maupun makna - ada keterikatan
dan keterkaitan kuat diantara keduanya, sehingga perlu dijelaskan.

Akal berasal dari bahasa arab yaitu Al-aql yang artinya adalah mencegah dan
menahan, dan bila dihubungkan dengan manusia berarti orang yang mencegah dan
menahan hawa nafsunya.

Paradigma lama memandang otak sebagai "seonggok daging lemak" yang terpisah
dengan pikiran dan memori. Bahkan, sebagian kalangan mempertentangkan antara
otak dan akal. Salah satunya tokoh yang membedakan antara otak dan akal adalah
Harun Nasution. Menurutnya, pikiran (akal) bukanlah otak melainkan daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia.

Otak adalah organ tubuh manusia yang posisinya ditempatkan Tuhan secara
terhormat di bagian atas tubuh manusia dan terlindungi dengan kokoh di bagian
dalam tengkorak (batok) kepala. Posisi otak ini merupakan simbol yang menunjukkan
bahwa manusia lebih mulia terhadap makhluk ciptaan Tuhan lainnya, misalnya hewan
yang lokasi dan posisi otaknya sejajar dengan bagian tubuh terhina dan tempat
meyimpan dan mengeluarkan kotorannya (perut dan dubur atau tumbuhan yang tidak
mempunyai otak dan tidak diketahui dimana posisi otaknya jika ada.

Dengan meng-otak atik kata OTAK, kata OTAK juga bisa merupakan kependekan
kata (singkatan) dari kalimat : Organ Tubuh terpenting yang Ada di Kepala manusia.1

Muhammad Izuddin Taufiq dalam bukunya Dalil Anfus Al Qur an dan Embriologi
(Ayat-ayat tentang Penciptaan Manusia) mengatakan : Bagian tubuh yang paling
ambigu yang masih menyelimuti tubuh manusia adalah OTAK karena ia merupakan
tempat berfikir yang berkaitan dengan roh atau jiwa, sedangkan roh atau jiwa itu
merupakan sesuatu yang ambigu .

Maka tidak heran, jika ada yang menyamakan makna antara otak dan akal, begitu juga
yang membedakannya. Harun Nasution termasuk orang yang membedakan, dan
menyatakan bahwa akal dalam pengertian Islam bukanlah otak , melainkan daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya sebagaimana digambarkan Al Qur an,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.

Otak adalah organ tubuh yang bukan hanya manusia, binatangpun memilikinya.
Ketika otak bekerja dan salah satu kerja otak itu adalah berpikir, maka otak yang
bekerja atau berfungsi tersebut disebut AKAL. Orang yang tidak berotak adalah
orang yang tidak menggunakan otaknya berfungsi atau berpikir. Otak yang berfungsi
dan disebut akal inilah yang membedakan manusia dengan binatang melata, dan
manusia dengan manusia, - al insanu hayawanun nathiqun, manusia adalah hewan
yang berpikir man as the animal that reasons - sebagaimana juga terpapar secara
tersirat dan tersurat sejak 14 abad yang lampau di dalam QS. Al Anfaal [8]: 22:

‫ْم‬
ُ ‫ُك‬ ْ ُّ
‫الب‬ ‫ُّم‬ َّ ‫د‬
‫اَّللِ الص‬ َْ
‫ِن‬‫َابِ ع‬ َّ
‫الدو‬ ‫ن شَر‬
َّ َِّ
‫إ‬
‫ن‬ ُ‫ْق‬
َ‫ِلو‬ ‫يع‬ َ
َ ‫َل‬ َ
‫ِين‬ َّ
‫الذ‬

1Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta : UI Press, 1986, h.13. Dikutip dalam Taufik Pasiak,
Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al Quran, Bandung : Penerbit PT.Mizan Pustaka, 2004, h.190.
Sesungguhnya, seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah ialah mereka
(manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya (la ya qiluun)
[QS.Al-Anfaal/6 : 22]

Menurut Allah SWT kelebihan manusia dengan binatang, tumbuhan dan manusia
lainnya adalah terletak pada berfungsi atau tidaknya otak untuk berpikir.2

Akal sebagai organ yang mengikat dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh
pemikir Islam dari Malaysia, Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ
aktif dan sadar yang mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau
bentuk-bentuk perlambang lain. Ini menunjukkan pada fakta yang sama dan
bermakna sama dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb, ruuh, dan nafs. Sebagaimana
Al Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata itu bermakna sama.
Kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maraatib al wujuud).3

Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukan seseorang
dalam situasi yang berubah-ubah. Akal, menurut pengertian pra-Islam itu,
berhubungan dengan pemecahan masalah. Karena itu, ia bersifat praktis saja. Akal
seperti itu, menurut istilah psikologi kogntif, adalah problem solving capacity
(kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar dalam situasi
apa pun juga.

Izutsu mengkaitkan akal dengan kecerdasan, maka akal adalah Kecerdasan praktis
atau mengikat dan menahan adalah makna dasar kata itu sebagaimana ia dipakai oleh
orang Arab pra-Islam. Ia lebih cocok atau lebih dekat dengan kegiatan penalaran
logis, sebuah cara berpikir yang mengandalkan fakta dan langkah-langkah rasional.
Untuk makna ini, kata aql lebih mungkin disebut reason (Inggris), rasio (Latin),
verstand (Jerman), dan Dianoia (Yunani). Dari prosedur kerjanya, kata ini cocok
untuk menyebut cara kerja dari otak kiri yang berpikir secara vertikal.4

2 Muhammad Izzududdin Taufik, Dalil Anfus Al Qur an dan Embriologi, Solo : Tiga Serangkai, 2006, h.209
3 Endang Saifuddin Anshari, Op.cit., h.6.
4 Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al Quran, Bandung: Penerbit PT.Mizan Pustaka, 2004.

Hal.96.
Secara etimologi, neurosains adalah ilmu neural (neural science) yang mempelajari
sistem saraf, terutama mempelajari neuron atau sel saraf dengan pendekatan
multidisipliner. Secara terminologi, neurosains merupakan bidang ilmu yang
mengkhususkan pada studi saintifik terhadap sistem saraf. Atas dasar ini, neurosains
juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari otak dan seluruh fungsi-fungsi saraf
belakang.

Tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap
perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia
dari sudut pandang aktivitas yang terjadi didalam otaknya. Penelitian mutakhir di
bidang neurosains menemukan sejumlah bukti hubungan tidak terpisahkan antara
otak dan perilaku (karakter) manusia.5

Dengan demikian bahwa akal itu adalah fungsi otak yang jika bekerja akan berpikir
atau salah satu kerja otak adalah berpikir. Allah SWT dalam Surah Al Anfaal [8]: 22
tidak menggunakan kalimat yang tidak menggunakan otaknya , adalah hikmah
tersembunyi untuk memotivasi manusia agar memperhatikan dirinya, menggunakan
otaknya untuk meneliti (men-tafakuri dan men-tadabburi) tentang organ otak.
Sehingga neurosains adalah salaha satu ilmu yang sang sangat di gunakan dalam
pempelajari sistem syaraf dan pengembangan otak.

Metode Penelitian

Hasil dan Pembahasan


A. Aqal Menurut Al Quraan
Kata ‘a-q-l, dalam bentuk derivatifnya diulang sebanyak 49 kali dalam al-
Qur‟an.31 Bentuk-bentuk derivatif yang digunakan dalam al-Qur‟an ada
lima, yaitu ‘aqalûh 1 kali, na‘qil 1 kali, ya‘qiluhâ 1 kali, ya‘qilûn 22 kali, dan
ta‘qilûn 24 kali. Kata ‘aql antara lain disandingkan dengan negasi interogatif
afalâ sebanyak 15 kali, negasi lâ 12 kali, harapan (la‘alla) 8 kali, shart} (in
kuntum) 2 kali, dan hanya 12 kali berdiri sendiri. Dari 49 kali penggunaan
kata ‘aql tersebut, hanya sekitar tiga kali dikaitkan secara jelas dengan aspek-
aspek metafisik, sedangkan sisanya diakitakan dengan fenomena alam, yang

5 Taufiq Pasiak, Pendidikan Karakter Sebagai Pendidikan Otak, dalam Suyadi, Teori Pembelajaran. Hal 7-8.
dalam bahasa al-Qur‟an disebut tanda (âyât). Untuk kepentingan analisis,
tulisan ini hanya akan mengambil ayat-ayat tertentu sebagai representasi
untuk menafsirkan arti kata ‘aql yang dimaksudkan dalam al-Qur’an.6
Penting untuk membandingkan pemahaman para mufasir atas kata ‘aql,
antara lain bisa dilihat dalam tafsiran al-Baydâwî (w. 791 H) ketika
menafsirkan frase min ba‘d mâ ‘aqalûh dalam QS. al-Baqarah [2]: 75 dengan
fahhamûh bi ‘uqûlihim wa lam yabqâ lahum fîh rayb. Sedangkan Abû Hayyân
al-Andalûsî (w. 754 H) menafsirkan ayat yang sama dengan fahhamûh wa ma‘
‘aqlihim lah ‘alâ wad‘ih yuharrifûnah ‘alâ wad‘ih.
Sekalipun aspek yang ditekankan kedua mufasir ini berbeda, mereka
sepakat tentang makna kata ‘aql, yakni paham atau mengerti. Hanya saja
keduanya tampak tidak bergerak lebih jauh mengembangkan dan
mendiskusikan pemahaman yang lebih substantif atas kata ‘aql. Keduanya
juga tidak membicarakan secara tajam dampak yang ditimbulkan oleh
pemahaman tersebut. 7
Namun dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 44 ini, al-Baydâwî
menegaskan arti kata ‘aql sekaligus menjelaskan penggunaannya secara
metaforis fungsional pada manusia. Dengan akal, menurutnya, manusia
bisa mengetahui dan memahami, dan dengan pengetahuan dan
pemahaman yang sama manusia bisa menahan diri dari keburukan dan
menambatkan diri pada kebaikan, yang dalam konteks agama secara
ringkas bisa dikatakan, orang yang berakal akan bertakwa, yakni
mematuhi ketentuan-ketentuan agama.
Al-Qur‟an juga banyak mempertanyakan fungsi ‘aql ketika tidak mampu
memahami âyât yang bertebaran di alam semesta, dan cenderung
menerima begitu saja berita-berita yang bertentangan dengan kebenaran
wahyu. Terhadap sikap taklid semacam itu, al-Qur‟an mengecam keras,8
seperti terbaca dalam QS. al-Baqarah [2]: 168-171 :

6 Muhammad al-Tabâtabâ‟î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Vol. 15 (Beirut: Mu’assasat al-A’lâ, t.th), 166.
7 Shihâb al-Dîn Mahmûd b. „Abd Allâh al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa al-Sab‘ al-Mathânî,
Vol. 2 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâth al-„Arabî, t.th) 194.
8 al-Baydâwî, Anwâr al-Tanzîl, Vol. 1, 59.
‫َّا ف‬
‫ِي‬ ‫ِم‬‫لوا م‬ ‫ُُ‬‫َّاسُ ك‬ ‫ها الن‬ ‫يَ‬‫َُّ‬
‫يا أ‬ ‫َ‬
‫ُوا‬‫ِع‬‫َّب‬
‫تت‬ ‫َََل َ‬ ‫اا و‬ ‫َيِب‬‫َََلاَل ط‬
‫ض ح‬ ‫ِْ‬‫اْلَر‬
‫ْ‬
‫ُم‬
‫ْ‬ ‫ه َلك‬ ‫نُ‬ ‫َِّ‬
‫انِ إ‬‫َ ۚ‬ ‫ْط‬‫َاتِ الشَّي‬ ‫ُو‬‫ُط‬‫خ‬
‫ُم‬
‫ْ‬ ‫ُك‬
‫مر‬ ‫ُْ‬ ‫يأ‬‫َا َ‬ ‫نم‬ ‫َِّ‬
‫ِين إ‬ ‫مب‬‫ٌّ ُ‬‫دو‬‫َُ‬‫ع‬
‫َْ‬
‫ن‬ ‫َأ‬ ‫ء و‬ ‫ْشَاِ‬ ‫َح‬ ‫َ ْ‬
‫الف‬ ‫ء و‬ ‫ِالسُّوِ‬ ‫ب‬
‫ما ََل‬ ‫اَّللِ َ‬
‫لى َّ‬ ‫ََ‬ ‫ولوا ع‬ ‫ُ ُ‬ ‫تق‬‫َ‬
‫ُ‬
‫هم‬‫َ َلُ‬ ‫ِيل‬‫َا ق‬ ‫َإ‬
‫ِذ‬ ‫ون و‬‫ُ َ‬ ‫َْ‬
‫لم‬ ‫تع‬ ‫َ‬
‫َ ُ‬
‫الوا‬ ‫اَّللُ ق‬
‫ل َّ‬ ‫ََ‬ ‫َْ‬
‫نز‬ ‫ما أ‬‫ُوا َ‬ ‫ِع‬ ‫َّ‬
‫اتب‬
‫ْه‬
‫ِ‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫َا ع‬ ‫ْن‬ ‫َْلف‬
‫َي‬ ‫ما أ‬ ‫ُ َ‬
‫ِع‬‫َّب‬
‫نت‬ ‫ْ َ‬‫بل‬ ‫َ‬
‫ْ ََل‬
‫هم‬‫ُُ‬
‫باؤ‬‫ان آَ‬‫َ َ‬
‫ْ ك‬ ‫َو‬
‫ََلو‬ ‫ا أ‬ ‫ءَ‬
‫نۗ‬ ‫باَ‬‫آَ‬
‫دون‬
‫َ‬ ‫َُ‬ ‫يْ‬
‫هت‬ ‫اا و‬
‫َََل َ‬ ‫ْئ‬‫ون شَي‬ ‫ْقُ‬
‫ِل َ‬ ‫َ‬
‫يع‬
‫َل‬
‫ِ‬ ‫َم‬
‫َث‬ ‫ُوا ك‬‫َر‬ ‫َف‬‫َ ك‬‫ِين‬ ‫ُ َّ‬
‫الذ‬ ‫َل‬
‫مث‬‫ََ‬
‫و‬
‫ََِّل‬
‫ُ إ‬‫َع‬ ‫َا ََل َ‬
‫يسْم‬ ‫ُ ب‬
‫ِم‬ ‫ْع‬
‫ِق‬ ‫ِي َ‬
‫ين‬ ‫َّ‬
‫الذ‬
‫ْي‬ ‫ْم ع‬
‫ُم‬ ‫بك‬‫ٌّ ُ‬
‫ُم‬‫ء ص‬ ‫داا‬
‫ۚ‬ ‫َِ‬‫َن‬
‫ء و‬ ‫َاا‬‫دع‬‫ُ‬
‫ون‬ ‫ْقُ‬
‫ِل َ‬ ‫يع‬‫ْ ََل َ‬
‫هم‬‫َُ‬‫ف‬
Terhadap ayat ini, al-Râzî (544-604 H) mengatakan, Lâ ya‘qilûn shay’ - annahum
lâ ya‘lamûn shay’ min al-dîn. I‘lam annah ta‘âlâ lammâ h}akâ ‘an al-kuffâr annahum
‘ind al-du‘â’ ilâ ittibâ‘ mâ anzal allâh tarakû al-naz}r wa al-tadabbur wa akhlidû ilâ
al-taqlîd. Sedangkan „Abd Allâh Yûsuf „Alî menafsirkan kalimat lâ ya‘qilûn
shay’ wa lâ yahtadûn (2: 170)sebagai keadaan void of wisdom and guidence, alpanya
kebijaksanaan dan petunjuk. Alî juga menegaskan aktivitas ta‘aqqul sebagai
kebijaksanaan (wisdom), yang secara filosofis berarti kemampuan memahami
secara luas, mendalam, dan detail serta merasakannya dari berbagai segi
sehingga mendorong munculnya komitmen dan konsistensi antara apa yang
dibaca, dipahami, dan disimpulkan dengan apa yang dilakukan.
Di dalam tafsirnya, al-Râzî menegaskan bahwa taklid dalam agama pun tidak
dibenarkan. Manusia, sebagaimana dianugerahi ‘aql, wajib merenungkan (al-
nazr) dan memikirkan secara mendalam (al-tadabbur). 9 Berikutnya, al-Qur‟an
sendiri menyamakan orang-orang yang taklid dengan binatang, dan bahkan
lebih sesat (QS. al-Furqân [25]: 44).

َۡ
‫ن‬ ‫َع‬
‫ُو‬ ‫يسۡم‬َ ۡ َُ
‫ہم‬ ‫َر‬
‫کث‬َۡ ََّ
‫ن ا‬ ‫ُ ا‬‫ۡسَب‬
‫تح‬َ ۡ ‫َم‬‫ا‬
َّ‫ۡ ا‬
‫َِل‬ ‫ہم‬ُ ‫ن‬ِۡ
‫ن ا‬ َۡ
ؕ ُ‫ۡق‬
‫ِلو‬ ‫يع‬َ ۡ ‫َو‬‫ا‬
‫ۡاَل‬
‫ِي‬‫ُّ سَب‬ ‫َض‬
‫َل‬ ‫ۡ ا‬ ُ ۡ
‫ہم‬ ‫بل‬َ ِ‫َام‬ ۡ َ
‫اَلَۡنع‬ ‫ک‬
Ringkasnya, al-Tabâtabâ‟î menegaskan bahwa berulang-ulangnya penggunaan
‘aql dan sam‘ menunjuk pada salah satu media yang dapat digunakan manusia
untuk menjalani dan meraih kehidupan yang bahagia; murni dengan ta‘aqqul
atau mengikuti nasihat orang yang berakal. Idealnya, aktivitas ta‘aqqul tidak
hanya berhenti pada posisi tahu, mengerti, dan menyimpulkan, tetapi juga
berlanjut menumbuhkan komitmen dan konsistensi antara apa yang
diketahui, dipahami, dan disimpulkan dengan apa yang akan dilakukan.
Dalam ayat ini (25: 44) pula, al-Qur‟an menempatkan ‘aql dalam posisi sejajar
dengan sam‘, satu hal yang penting untuk direnungkan. Sam‘ (mendengar)

9‘Alî, ‘Abd Allâh Yûsuf. The Holy Quran: Text, Translation and Commentary. Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf,
1938. hal 8
merupakan kata yang lebih menunjuk pada fungsi dan potensi, bukan
instrumen yang digunakan untuk meraih tujuan mendengar (telinga).
Adapun eksistensi ‘aql, penggunaannya dapat dilihat dengan jelas dalam QS.
al-Hajj [22]: 46; Afalam yasîsû fi al-ard} fa takûn lahum qulûb ya‘qilûn bihâ aw
adhân yasma‘ûn bihâ fa innahâ lâ ya‘mâ al-absâr wa lakin ta‘mâ al-qulûb al-latî fî al-
s}udûr (Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada).
Dalam ayat-ayat ini ‘aql disetarakan dengan sam‘ dan qalb dengan udhun.
Seperti diketahui, telinga (udhun) adalah instrumen untuk mendengar (sam‘),
maka sangat mungkin bahwa qalb sebenarnya adalah instrumen ‘aql. Namun
secara biologis, aktivitas sam‘ - sebagaimana aktivitas ta‘aqqul - merujuk
kepada qalb. Secara metaforis al-Qur‟an menggambarkan adanya mata hati
(bas}îrah) yang bersifat metafisik, yang secara fungsional dan potensial -
dengan catatan tertentu - memiliki kemiripan dengan mata fisik. 10
Secara tegas, QS. al-Hajj [22]: 46 menyandingkan kata ‘aql dan qalb,
sebagaimana kata sam‘ dengan udhun, yang oleh Yûsuf Alî dipahami sebagai
kedekatan antara potensi fungsional dengan media instrumental. Setidaknya
ada dua hal menarik yang bisa didalami dalam konteks ini, yakni antara
kecerdasan emosional atau intuitif dan kecerdasan intelektual atau diskursif
pada satu sisi, dan hubungan antara ‘aql dan qalb itu sendiri pada sisi yang lain.
Tentang yang pertama, secara tak langsung Yûsuf „Alî menempatkan potensi
kecerdasan emosional setara dengan potensi kecerdasan intelektual. Indera
(faculties of understanding) merupakan salah satu pengantar (madkhûl) bagi ‘aql
dan qalb untuk meraih suatu pemahaman. Karena pemahaman tersebut tidak
diperoleh hanya secara diskursif semata, maka ia harus dirasakan secara
emosional agar bisa mengantarkan manusia pada pemahaman terjauh yang
bisa dicapai.

10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Darus Sunnah, 2002), 338.
Dengan pandangan demikian, ‘aql tampak tersusun dari dua potensi yang
berfungsi secara mutual komplementaris yang oleh Alî b. Abî Tâlib
digambarkan dalam bait-bait syairnya:
Al-‘aql ‘aqlân matbû‘ wa masmû‘
Wa lâ yanfa‘ masmû‘ idhâ lam yakun matbû‘
Kamâ lâ yanfa‘ daw‘ al-shams wa daw‘ al-‘ayn mamnû‘

Dengan bahasa yang khas pada masanya, Alî b. Abî Tâlib menyebut ‘aql
bagian pertama sebagi ‘aql matbû‘, yakni alamiah dan menjadi karakter atau
watak (nature) manusia, yang dalam filsafat dikenal sebagai potensi dasar
untuk menentukan yang benar (quwwat al-isâbah fîal-hukm), yang tidak
diperoleh melalui pengalaman maupun analogi.11 Al-Râzî (w. 313/924)
menyebut ‘aql jenis ini sebagai gharîzah yalzamuhâ al-‘ilm bi al-umûr al-
kullîyah wa al-badihîyah, yang antara lain berfungsi menjadi potensi dasar
untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Potensi natural (matbû‘) ini tidak lain
adalah kemampuan intuitif atau potensi kecerdasan emosional yang dimiliki
oleh setiap orang, yang kemampuannya akan semakin meningkat manakala
senantiasa dilatih, baik melalui perenungan, empati, maupun merasakan
berbagai gejala (phenomene) yang dijumpai, hingga akhirnya memahami dan
merasakan titik temu antara yang fisik dengan yang metafisik, antara
phenomena dengan nomena.

Sedangkan potensi yang kedua (masmû‘) lebih dekat dengan kecerdasan


intelektual, yakni pengamatan (yang direpresentasi dengan mendengarkan)
berbagai fenomena fisik, yang pada hakikatnya tidak akan memberikan nilai
tambah ketika tidak ditopang dengan kecerdasan emosional. Dengan ibarat
yang cerdas „Alî b. Abî Tâlib menganalogikan “benderang matahari”
(fenomena fisik) yang tidak akan memberi pengaruh apa pun, termasuk
tambahan pengetahuan dan pengenalan yang seutuhnya, bila ternyata mata
(potensi emosional) tertutup fenomena semesta (âyât) yang hadir secara fisik
dalam semesta, tapi tidak mampu menggugah kesadaran untuk mengenal

11
Salibâ, al-Mu‘jam al-Falsafî, Vol. 2, 86.
yang metafisik (mâ warâ’at tabî‘ah) untuk bisa mengenal Allah. Dengan
ungkapan lain, bahwa “tahu”, tidak sereta merta membuat setiap orang yang
mengetahui bisa merasakan dan lalu mengubah kesaksian, keyakinan,
pengakuan, dan tingkah lakunya.

Simbiosa antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional ini bisa


menghasilkan efek positif yang mampu mendorong manusia untuk kembali
kepada pengakuan atau perjanjian primordial, yakni respon pada pertanyaan
penegasan Allah, alast bi rabbikum?. Idealnya, manusia akan menyadari dan
mengakui adanya Tuhan, mematuhi ketentuan-Nya, dan berusaha untuk
kembali kepada-Nya dengan kualitas al-insân al-kâmil. Dalam konteks ini,
hubungan antara ‘aql dan qalb terlihat sangat tegas dan erat sekali.

Hubungan antara ‘aql dan qalb dapat digambarkan sebagai hubungan antara
instrumen dan potensi fungsional. Perbedaan antara keduanya dapat
dilakukan pada tataran analitis-teoretis, sedangkan secara faktual keduanya
bagaikan dua sisi mata uang yang berkaitan secara mutual komplementaris.12
Bahkan aktivitas indera yang lain - sebagaimana ‘aql - semua bermuara pada
qalb dengan melalui aktivitas ta‘aqqul, sebagaimana tersebut dalam QS. al-
Baqarah [2]: 171.

Dalam konteks ini menarik memperhatikan pernyataan yang dikemukakan


Harun Nasution bahwa pemahaman dan pemikiran tidak melalui al-qalb di
dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.13 Harun Nasution mencapai kesimpulan
ini dengan melacak pengertian ‘aql yang berkembang dalam tradisi filsafat
Islam yang sangat ketat dipengaruhi Hellenism, dan kata ‘aql disejajarkan
dengan nous, kosakata dari konsep Plotinus yang sangat kompleks. Nous
dalam term Aristoteles dikenal dengan active intellect, yang menurut Plotinus
secara transenden ada di bawah Prinsip Pertama (the First Principle) yang tidak
dapat dicapai baik dengan penalaran diskursif maupun intuitif. Nous adalah
emanasi dari Prinsip Pertama (al-As}l al-Awwal), kemudian secara hierarkis

12
‘Alî, ‘Abd Allâh Yûsuf. The Holy Quran: Text, Translation and Commentary. Lahore: Shaykh Muhammad Ashraf,
1938. hal 10
13
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986. hal. 8
terpancar soul, motion (principl of life and motion), matter. Berdasarkan penjelasan
Plotinus yang sangat kompleks, Nous (reason):

…sensory perception when the object of comprehension is


sensible, and rational apprehension ehrn the object of the
comprehension is supersensible. The Nous includes in itself
the world of ideas… It is Nous which is the rality behind the
world of phenomena; the things perceived are only the
shadows of the real ones… Nous, or the rational soul is
peculiar to man. It is independent of body and the
presumption is that is has its source not in the body.

Dari beberapa literatur, tidak ditemukan uraian secara jelas bahwa aktivitas
rasional (ta‘aqqul) berlangsung di kepala. Nous, dalam beberapa pengertian
sering disejajarkan dengan Akal Universal, Jiwa Universal, atau Akal Aktif,
atau al-‘Aql al-Fa‘âl, yang kemudian menjadi sumber emanasi (al-fayd})
semesta, merupakan bagian penting yang khas pada manusia. Nous
dihubungakan dengan manusia melalui roh yang kepadanya semua potensi
(al-quwwah) berhubungan. Oleh karena itu, pembagian antara kepala dan hati
sebagai domain aktivitas ta‘aqqul bukanlah pemisahan, tetapi lebih sebagai
pembagian partikular fungsional yang tetap debatable.

Tentang hubungan antara ‘aql dan qalb ini, seperti filosof Muslim lainnya, al-
Ghazâlî (w.1111) menyatakan; Inn fî qalb al-insân ‘aynân hâdhih sifah kamâlihâ wa
hiyâ al-latî yu‘abbar ‘anhâ târatan bi al-‘aql wa târatan bi al-rûh wa târatan bi al-nafs
al-insânî. Pandangan al-Ghazâlî ini - hingga tingkat tertentu - dapat
dibandingkan dengan penjelasan al-Tirmidhî tentang maqâmât potensi qalb
seperti telah dikemukakan sebelumnya. Maka ‘ayn al-qalb atau bas}îrah adalah
potensi intuitif (kecerdasan emosional) yang mendukung aktivitas diskursif
(kecerdasan intelektual),61 yang berlangsung dalam qalb.

Berkaitan dengan fungsi ta‘aqqul ini, al-Qur‟an sangat mencela mereka yang
tidak mampu meraih kebenaran primordial; mengakui, meyakini, dan
mengikuti ketentuan Allah, padahal âyât begitu banyak dipasang di kaki langit
dan dalam diri manusia. Mereka disamakan dengan binatang, bahkan lebih
sesat. Kecerdasan intelektual semata tidak akan bisa mengantarkan manusia
pada hakikat fenomena semesta, ia akan berhenti pada gejala itu saja, yang
pada hakikatnya hanyalah tanda-tanda Ilahi saja, dan tidak bergerak lebih jauh
darinya. Artinya, aktivitas intelektual idealnya didukung oleh aktivitas
emosional agar manusia mampu merasakan dan merenungkan berbagai
nomena yang ada di balik phenomena tersebut. Dengan cara demikian, harapan
untuk sampai pada Hakikat Tertinggi (al-Haqq al-Qas}wâ) bisa tercapai.

Al-‘Aql, sebagaimana makna generiknya, wa asl al-‘aql al-imsâk wa al-istimsâk ka


‘aql al-ba‘îr, dalam arti yang sesungguhnya akan mampu mengendalikan
manusia menjadi taqwâ dan menjadi al-insân al-kâmil. Tanpa kemampuan
mengendalikan, manusia yang berpengetahuan tidak bisa disebut berakal,
karena potensi ‘aql tidak sepenuhnya terwujud pada diri yang bersangkutan.14

B. Otak Menurut Neurosains


Akal dan pikiran adalah produk organ otak. Kadangkala kita mengatakan akal
pikiran, karena otak yang berpikir pertanda otaknya berfungsi dan
menunjukkan eksistensi akal atau pikiran, sebagaimana pernah dikatakan Plato
bahwa bepikir itu berpusat di kepala, begitu juga dengan Rene Descartes yang
mengatakan bahwa pusat jiwa ada di kelenjar pineal otak, maka cogito ergo sum
(aku berpikir, sebab itu aku ada). Sedangkan Michael Persinger dan Vilyanur
Ramachandran, ahli bedah otak dari Amerika pada dekade akhir abad 20 ini
dalam penelitiannya tentang otak menyimpulkan ada fenomena God Spot
dalam lobus temporalis otak (sekitar pelipis).
Otak kita secara jasmani/fisik tidak lebih besar dari seuntai anggur Australia,
jauh lebih kecil dari sebuah kol sayur yang tergeletak di pasar tradisional,
memiliki berat kurang dari 1,5 kg., namun kemampuannya berjuta kali lebih
hebat dari komputer manapun yang ada dan terhebat di dunia. Otak kita
bekerja mirip seperti CPU (Central Processing Unit) dalam sistem komputer.

14
M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. 1 (Weisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 120-125.
Jika seekor lalat buah memiliki 100.000 sel aktif, seekor tikus memiliki 5 juta
sel aktif, seekor kera 10 miliar sel aktif, maka manusia memiliki sekitar 100
miliar sel aktif sejak lahir. Dan sejak hari pertama kehidupan sel-sel tersebut
membentuk koneksi belajar (atau sinapsis) dengan kecepatan luar biasa ; 3
miliar perdetik.15
Neurosains adalah suatu bidang penelitian saintifik tentang sistem saraf,
utamanya otak. Neurosains merupakan penelitian tentang otak dan pikiran.
Studi tentang otak menjadi landasan dalam pemahaman tentang bagaimana
kita merasa dan berinteraksi dengan dunia luar dan khususnya apa yang
dialami manusia dan bagaimana manusia mempengaruhi yang lain.
Rakhmat mengungkapkan bahwa otak masing-masing yang beratnya hanya
tiga pon, mempunyai 100 miliar neuron, 16 kali lebih banyak dari jumlah
penduduk bumi, atau kira-kira sama banyaknya dengan jumlah bintang di
galaksi Bimasakti. Setiap neuron mempunyai cabang hingga 10 ribu cabang
dendrit, yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion koneksi
komunikasi. Jumlah yang dahsyat itu ternyata hanya setengah dari jumlah
neuron yang dibekalkan Tuhan kepada kita pada empat bulan pertama
kehamilan.
Masing-masing neuron memperoleh “jati dirinya” yaitu sebagai neuron visual
atau neuron pendengaran ketika neuron tersebut berhenti di suatu tempat
yang nantinya akan menjadi tempat datangnya informasi visual atau
pendengaran. Pada saat inilah, setiap neuron membangun dendrit dan akson
untuk berkomunikasi dengan dendrit dan akson lainnya. Akson dan dendrit
berkomunikasi dengan mengirimkan zat kimia, neurotransmiter, melalui
sinapsis. Setiap neuron dimungkinkan mampu berkomunikasi melalui 100.000
sinapsis. Zat-zat kimia disebut secara teknis sebagai faktor trofik yang
mengatur di mana dan bagaimana akson harus berhubungan serta membuat
koneksi-koneksi.
Rakhmat mengungkapkan bahwa selama perjalanan, neuron-neuron merayap
di atas sel-sel glial, yang menjadi penunjuk jalan, pelindung, dan

15
Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar, Bandung : Kaifa. 2000, h.113.
pemeliharanya. Terdapat dua macam sel glial: yang pertama mengontrol
metabolisme dan fungsi neuron, yang lainnya membungkus akson dengan zat
lemak yang disebut mielin. Mielin mengatur seberapa cepat akson
menyampaikan informasi. Setelah neuron mencapai tujuannnya, sel-sel glial
masih tetap tinggal, walaupun bentuk dan sifat-sifat molekulnya berubah.
Tempat dimana berhentinya suatu neuron, menentukan sikap-sikap kita dan
sikap kita.
Rakhmat mengungkapkan bahwa perjalanan neuron dari tempat asal ke
tempat tujuan tidak selalu berjalan mulus. Terdapat neuron yang berhenti di
tengah jalan, ada yang terus berjalan untuk menghidupkan atau mematikan
pengendalian genetis yang terdapat di dalamnya, serta ada juga neuron yang
mati karena pengaruh lingkungan. Banyak faktor yang mengganggu migrasi
neuron yang berasal dari lingkungan termasuk radiasi, mutasi genetis, obat-
obatan, dan stres.
Apabila tidak ada gangguan dalam lingkungan prenatal (sebelum kelahiran),
bayi lahir dengan bekal sebanyak 100 miliar neuron dengan koneksi-koneksi
awal, akan tetapi otak masih belum terbentuk secara sempurna. Otak neonatal
hanyalah sebuah lukisan berbentuk sketsa, yang sama sekali belum sempurna
dan lingkunganlah yang akan melengkapinya atau bahkan akan
mengabaikannya. Penyempurnaan otak ini memiliki batas waktu dan inilah
yang disebut jendela peluang. Proses penyempurnaan koneksi-koneksi dendrit
akan terhenti, begitu jendela peluang tertutup.
Waktu tiga tahun adalah waktu peluang bagi mata untuk memperkuat koneksi
dan jika waktu tiga tahun terlewati, maka “sketsa” sistem visual bayi akan
tetap menjadi sketsa. Setelah tiga tahun, jendela peluang akan tertutup. Sousa
mengungkapkan bahwa jendela peluang ini adalah periode ketika otak
memerlukan jenis-jenis masukan tertentu untuk menciptakan atau
menstabilkan struktur yang bertahan lama.
Rakhmat mengungkapkan bahwa jendela peluang tersebut bukan hanya
terdapat pada proses penglihatan, tetapi juga kemampuan linguistik, gerakan,
perasaan, musik, matematika, logika, dan sebagainya. Jendela peluang ini
adalah periode kritis dan masa terbukanya jendela-jendela peluang ini
berbeda-beda. Jendela peluang untuk belajar bahasa mulai terbuka pada usia
dua bulan. Bayi menguasai sekitar sepuluh kata per hari, sehingga ia
menguasai sekitar 900 kata pada usia tiga tahun, dan terus-menrus meningkat
sampai 3.000 kata pada usia lima tahun.
Rakhmat mengungkapkan bahwa jendela peluang untuk berbahasa tetap
terbuka sepanjang hidup kita. Tetapi beberapa komponen bahasa tertutup
lebih awal. Jendela bahasa tutur (spoken language) tertutup pada usia sepuluh
atau sebelas tahun. Walaupun terdapat jendela-jendela peluang yang
memberikan batasan pada kelenturan otak, proses belajar yang
menumbuhkan, melestarikan, dan mengembangkan sel-sel otak dapat
berlanjut sampai usia tua. Kapan saja otak kita mempelajari sesuatu yang
baru, atau menghadapi tantangan, atau membuat kebiasaan-kebiasaan baru,
maka otak akan menghasilkan cabang-cabang dendrit yang baru.16
Buzan menjelaskan bahwa otak manusia berevolusi dengan urutan sebagai
berikut:
1. Batang otak, mengendalikan fungsi-fungsi penyangga kehidupan,
misalnya pernafasan dan laju denyut jantung
2. Serebelum, atau otak kecil, mengendalikan gerakan tubuh dalam
ruang dan menyimpan ingatan untuk respon-respon dasar yang
dipelajari
3. Sistem limbik, yang posisinya sedikit lebih ke depan dan terdiri atas
thalamus dan ganglia basal atau otak tengah. Sistem limbik penting
bagi pembelajaran dan ingatan jangka pendek tetapi juga menjaga
homeostasis di dalam tubuh (tekanan darah, suhu tubuh, dan kadar
gula darah)

Serebrum, atau korteks serebral, membungkus seluruh otak dan posisinya


berada di depan. Serebrum adalah karya besar evolusi alam dan bertanggung

16
Jalaludin Rakhmat, 2005, Psikologi Komunikasi, edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal.
27-32
jawab atas berbagai keterampilan termasuk ingatan, komunikasi, pembuatan
keputusan, dan kreativitas.17

Secara anatomis, bongkahan otak dapat dibagi menjadi otak besar (cerebrum),
otak kecil (berebellum), batang otak (brain stem), dan sistem limbik. Otak
besar berhubungan dengan pembelajaran, otak kecil bertanggung jawab
dalam proses koordinasi dan keseimbangan, batang otak mengatur denyut
jantung serta proses pernapasan yang sangat penting bagi kehidupan, dan
simtem limbik lebih kepada pengaturan emosi dan memproses memori
emosional.

Secara fisik otak (neuroanatomi) terbelah menjadi dua, kiri dan kanan, tetapi
perbedaan kedua belahan fisik tersebut tidak sebesar perbedaan fungsinya
(neurofisiologi).Kontrol terhadap gerakan dan sensasi tubuh terbagi rata
diantara dua belahan otak, hanya saja dengan cara bersilangan. Artinya, otak
kiri mengontrol tubuh bagian kiri. Atas dasar inilah banyak orang
beranggapan bahwa kedua belahan otak mempunyai fungsi khusus
(spesialisasi) secara berbeda. Namum, anggapan ini dipatahkan oleh fakta
saintifik mutakhir bahwa orang kidal memahami melodi (yang seharusnya
diproses otak kanan) justru diproses secara baik melalui organ tubuh,
khususnya telinga bagian kanan. Artinya, orang kidal memproses musik
menggunakan otak kiri mereka. Dalam penelitian lebih lanjut, ternyata orang
yang tidak kidal, atau orang normal pada umumnya juga menggunakan telinga
kiri untuk memproses musik. Hal ini mematahakan argument mengenai
spesialisasi fungsi otak kiri dan otak kanan.18

C. Akal Dan Otak Menurut Alquraan Dan Neurosains.


Menurut Fuadi, intelek adalah alat pemikiran yang terkandung dalam
manusia, pikiran manusia berbeda dari makhluk lain karena akal hanya
diberikan pada manusia dan tidak diberikan kepada makhluk lain. Perbedaan
ini telah membuat manusia lebih unggul dan lebih pintar dalam mengatur

17 Buzan, Tony. (2005). Buku Pintar Mind Mapping: Jakarta: Gramedia Pustaka
18
Fuadi, Lukman Hakim. "Peran Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali". Jurnal Substantia 15, No.1 (2013): 81-90.
hidup mereka. Karena itu manusia dengan kecerdasan yang jelas akan
menemukan Tuhan sebagai hasil akhir dari kehidupan nyata.
Salah satu unsur terpenting bagi manusia adalah akal. Akal merupakan alat
untuk berpikir dan dia tidak bisa direalisasikan dalam bentuk konkritnya, akan
tetapi secara abstrak akal berupa ideal yang utama dari diri manusia. Adanya
akal telah mengangkat manusia lebih jauh sempurna dibandingkan dengan
makhluk lain. Akal sering diidentikkan dengan otak yang selalu siap menerima
segala rangsangan dari indra melalui rangsangan itulah kemudian lahir
berbagai rasa dan karsa. Rekayasa tersebut terlihat adanya unsur kebenaran
bila ditinjau dari segi peranannya, namun pada hakikatnya memiliki perbedaan
yang jauh. Otak mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sedangkan hakikat
otak itu sendiri merupakan sarana untuk memahami dan menanggapi
pengalaman, sementara akal sendiri bekerja lebih jauh lagi sesuai dengan
potensi dan daya yang ada padanya. Akal mendapat pengetahuan-
pengetahuan yang tidak terbatas dengan pengalaman indera, ia sanggup
memastikan lebih mendalam melalui pendayagunaannya.19
Dalam al-Qur‟an istilah otak tidak dikenal, untuk menggambarkan
kecerdasan digunakan istilah akal. Otak merupakan makna akal dalam
dimensi jasmani. Kata akal (dalam makna rasio/daya pikir) dalam al-Qur;an
dinyatakan dengan beberapa istilah, yaitu tafakkur, tadabbur, al-lub, al-hujjah,
al-hijr dan al-nuha. Shihab (2006:vol:15:178) berpendapat bahwa akal adalah
kekuatan yang menghalangi pemiliknya melakukan sesuatu yang tidak wajar.
Akal memikirkan, memahami, serta menimbang yang lahir dan dan yang batin
dari suatu persoalan. Akal mampu membedakan antara yang baik dan buruk,
kemampuan untuk melihat jauh kedepan, mengatur dan mengelola, akal
adalah pelita yang dengannya ditembus yang tersirat dari yang tersurat,
kermampuan menampung pengalaman, menghubugkan masa lalu dengan
masa kini serta menarik kesimpulan dan pelajaran dari kedua masa itu. Dalam
maknanya yang demikian akal merupakan manifestasi kecerdasan manusia.
Akal memiliki kemampuan berfikir dan memahami dari obyek yang nampak

19
Fuadi, Lukman Hakim. "Peran Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali". Jurnal Substantia 15, No.1 (2013): 81-90.
maupun yang abstrak seperti kehidupan pasca kematian semisal alam barzah,
surga dan neraka. Akal juga mampu mengarahkan tingkah laku individu
untuk berprilaku positif atau negatif.20

Kesimpulan
Makna ‘aql dalam al-Qur‟an adalah simbiosa potensi intuitif (kecerdsasan emosional)
dan potensi diskursif (kecersasan intelektual) dalam usaha mengetahui, memikirkan,
merenungkan, menyelami, memahami, dan merasakan berbagai fenomena fisik
maupun informasi metafisik. Dengan menggabungkan dua kecerdasan tersebut,
manusia diharapkan bisa sampai pada Hakikat Terakhir, Kebenaran Tertinggi, Asal
dari semua yang ada.

Akal adalah karunia yang paling besar, oleh sebab itu harus dijaga. Akal diberikan
oleh Allah kepada manusia sebagai makhluk yang tertinggi kedudukannya dimata
Allah. Dengan akal manusia mampu menjaga adabnya kepada Allah, dan juga mampu
menjaga adabnya kepada alam dunia.

Secara anatomis, bongkahan otak dapat dibagi menjadi otak besar (cerebrum), otak
kecil (berebellum), batang otak (brain stem), dan sistem limbik. Otak besar
berhubungan dengan pembelajaran, otak kecil bertanggung jawab dalam proses
koordinasi dan keseimbangan, batang otak mengatur denyut jantung serta proses
pernapasan yang sangat penting bagi kehidupan, dan simtem limbik lebih kepada
pengaturan emosi dan memproses memori emosional. Secara fisik otak
(neuroanatomi) terbelah menjadi dua, kiri dan kanan, tetapi perbedaan kedua belahan
fisik tersebut tidak sebesar perbedaan fungsinya (neurofisiologi). Kontrol terhadap
gerakan dan sensasi tubuh terbagi rata diantara dua belahan otak, hanya saja dengan
cara bersilangan.

'Aql dan Otak dalam Al-Qur'an dan Neurosains adalah alat pemikiran yang
terkandung dalam manusia, pikiran manusia berbeda dari makhluk lain karena akal
hanya diberikan pada manusia dan tidak diberikan kepada makhluk lain. Salah satu
unsur terpenting bagi manusia adalah akal. Akal merupakan alat untuk berpikir dan

20
Elfi Rimayati, "Memadukan Otak dan Hati dalam Bimbingan Belajar Islami", Majalah Ilmiah Pawiyatan, 20,
No. 2 (2013). hal 28.
dia tidak bisa direalisasikan dalam bentuk konkritnya, akan tetapi secara abstrak akal
berupa ideal yang utama dari diri manusia. Adanya akal telah mengangkat manusia
lebih jauh sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Akal sering diidentikkan
dengan otak yang selalu siap menerima segala rangsangan dari indra melalui
rangsangan itulah kemudian lahir berbagai rasa dan karsa. Rekayasa tersebut terlihat
adanya unsur kebenaran bila ditinjau dari segi peranannya, namun pada hakikatnya
memiliki perbedaan yang jauh. Otak mempunyai kelemahan dan keterbatasan,
sedangkan hakikat otak itu sendiri merupakan sarana untuk memahami dan
menanggapi pengalaman, sementara akal sendiri bekerja lebih jauh lagi sesuai dengan
potensi dan daya yang ada padanya. Akal mendapat pengetahuan-pengetahuan yang
tidak terbatas dengan pengalaman indera, ia sanggup memastikan lebih mendalam
melalui pendayagunaannya.

Daftar Pustaka

‘Alî, ‘Abd Allâh Yûsuf. The Holy Quran: Text, Translation and Commentary. Lahore:
Shaykh Muhammad Ashraf, 1938.

Buzan, Tony. (2005). Buku Pintar Mind Mapping: Jakarta: Gramedia Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Darus Sunnah, 2002)
Elfi Rimayati, "Memadukan Otak dan Hati dalam Bimbingan Belajar Islami", Majalah
Ilmiah Pawiyatan, 20, No. 2 (2013)
Endang Saifuddin Anshari, Op.cit.,

Fuadi, Lukman Hakim. "Peran Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali". Jurnal Substantia
15, No.1 (2013)

Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar, Bandung : Kaifa. (2000)

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta : UI Press, 1986, h.13. Dikutip
dalam Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al Quran, Bandung :
Penerbit PT.Mizan Pustaka, 2004, h.190.
Jalaludin Rakhmat, 2005, Psikologi Komunikasi, edisi revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. 1 (Weisbaden: Otto Harrassowitz,


(1963)

Muhammad Izzududdin Taufik, Dalil Anfus Al Qur an dan Embriologi, Solo : Tiga
Serangkai, 2006

Muhammad al-Tabâtabâ‟î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Vol. 15 (Beirut: Mu’assasat al-


A’lâ, t.th),

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al Quran, Bandung:


Penerbit PT.Mizan Pustaka, 2004.

Salibâ, al-Mu‘jam al-Falsafî, Vol. 2, 86.

Shihâb al-Dîn Mahmûd b. „Abd Allâh al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azîm wa al-Sab‘ al-Mathânî, Vol. 2 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâth al-„Arabî, t.th)al-
Baydâwî, Anwâr al-Tanzîl, Vol. 1

Taufiq Pasiak, Pendidikan Karakter Sebagai Pendidikan Otak, dalam Suyadi, Teori
Pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai