Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada perkecambahan tumbuhan tidak memulai kehidupan akan tetapi
meneruskan pertumbuhan dan perkembangan yang secara temporer dihentikan
ketika biji menjadi dewasa dan embrionya menjadi tidak aktif. Biji yang bersifat
dorman tidak akan berkecambah, meskipun disemaikan dalam tempat yang
menguntungkan sampai petunujuk lingkungan tertentu menyebabkan bij
mengakhiri keadaan dormansi tersebut (Campbell, 2002).
Dormansi yaitu keadaan terbungkusnya lembaga biji oleh lapisan kulit atau
senyawa tertentu. Dormansi merupakan cara embrio mempertahankan diri dari
keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, tetapi berakibat pada lambatnya
proses perkecambahan . Lama waktu dimana biji dorman masih hidup dan mampu
berkecamabah bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa dekad atau bahkan
lebih lama lagi, bergantung pada spesies dan kondisi lingkungan (Campbell,
2002).
Dormansi dapat dibedakan menjadi beberapa macam menurut Aldrich
dormansi dibedakan menjadi dormansi primer dan dormansi sekunder. Dormansi
primer merupakan dormansi yang paling umum, yaitu dormansi pada benih yang
terjadi sejak benih masih berada pada tanaman induk, setelah embrio berkembang
penuh (Copeland, 2001). Dormansi sekunder merupakan benih non dorman yang
dapat mengalami kondisi yang menyebabkannya menjadi dorman (Soejadidan,
2002).
Sedangkan menurut (Soejadidan,2002) dormansi dibedakan menjadi dormansi
fisik dan dormansi fisiologis.Dormansi fisik disebabkan oleh pembatasan
struktural terhadap perkecambahan biji, sepert kulit biji yang keras dan kedap
sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas-gas ke
dalam biji.Sedangkan dormansi fisiologis dapat disebabkan oleh sejumlah
mekanisme, tetapi pada umumnya disebabkan oleh zat pengatur tumbuh, baik
yang berupa penghambat maupun perangsang tumbuh.
Pada praktikum dormansi digunakan biji tanaman saga (Abrus precatorius)yang
bertujuan untuk mengetahui dan mematahkan dormansi biji berkulit keras dengan
tiga perlakuan berbeda yaitu kontrol, fisik dengan stratifikasi dan kimia
menggunakan asam sulfat.

B. Rumusan Masalah
Pada praktikum ini, rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
Bagaimanakah pengaruh berbagai macam perlakuan terhadap pemecahan
dormansi biji saga (Abrus precatorius)?

C. Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan pada praktikum ini sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengaruh berbagai macam perlakuan terhadap
pemecahan dormansi biji saga (Abrus precatorius).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Dormansi
Peristiwa dormansi sendiri merupakan suatu keadaan dimana
pertumbuhan tidak terjadi walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk
terjadinya perkecambahan. Dormansi biji terjadi akibat terbentuknya senyawa-
senyawa kimia inhibitor (penghambat) pada permukaan biji, kurangnya zat-zat
perangsang penting dalam proses pemecahan dormansi disebabkan oleh adanya
kulit biji yang keras sehingga air dan oksigen sebagai pemacu perkecambahan
tidak dapat masuk (Elisa, 2012).
Benih dikatakan dormansi bila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi
berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap
telah memenuhi syarat bagi suatu perkecambahan. Dormansi merupakan
terhambatnya proses metabolisme dalam biji. Dormansi dapat berlangsung
dalam waktu yang sangat bervariasi (harian-tahunan) tergantung oleh jenis
tanaman dan pengaruh lingkungannya. Dormansi pada benih dapat disebabkan
oleh keadaan fisik dari kulit, keadaan fisiologis dari embrio, atau kombinasi
dari kedua keadaan tersebut. Namun demikian, dormansi bukan berarti benih
tersebut mati atau tidak dapat tumbuh kembali, disini hanya terjadi masa
istirahat dari pada benih itu sendiri. Masa ini dapat dipecahkan dengan
berbagai cara, seperti cara mekanis atau kimiawi. Cara mekanis dengan
menggunakan sumber daya alat atau bahan mekanis yang ada seperti amplas,
jarum, pisau, alat penggoncang dan sebagainya. Sedangkan cara kimiawi
dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti asam sulfat pekat dan HNO3
pekat. Pada intinya cara-cara tersebut supaya terdapat celah agar air dan gas
udara untuk perkecambahan dapat masuk ke dalam benih (Sutopo, 2002).
Dormansi merupakan kondisi fisik dan fisiologis pada biji yang mencegah
perkecambahan pada waktu yang tidak tepat atau tidak sesuai. Dormansi
membantu biji mempertahankan diri terhadap kondisi yang tidak sesuai seperti
kondisi lingkungan yang panas, dingin, kekeringan dan lain-lain. Sehingga
dapat dikatakan bahwa dormansi merupakan mekanisme biologis untuk
menjamin perkecambahan biji berlangsung pada kondisi dan waktu yang tepat
untuk mendukung pertumbuhan yang tepat. Dormansi bisa diakibatkan karena
ketidakmampuan sumbu embrio untuk mengarendatasi hambatan.
Dormansi pada benih berlangsung selama beberapa hari, semusim, bahkan
sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari
dormansinya (Sutopo, 2002).
2. Mekanisme Dormansi
Dormansi primer merupakan bentuk dormansi yang paling umum dan
terdiri atas dua macam yaitu dormansi eksogen dan dormansi endogen.
Dormansi eksogen adalah kondisi dimana persyaratan penting untuk
perkecambahan (air, cahaya, suhu) tidak tersedia bagi benih sehingga gagal
berkecambah. Tipe dormansi ini biasanya berkaitan dengan sifat fisik kulit
benih (seed coat ). Tetapi kondisi cahaya ideal dan stimuluslingkungan lainnya
untuk perkecambahanmungkin tidak tersedia. Dormansi Sekunder dimana
benih non dorman dapat mengalami kondisi yang menyebabkannya
menjadidorman. Penyebabnya kemungkinan benihterekspos kondisi yang ideal
untuk terjadinyaperkecambahan kecuali satu yang tidak terpenuhi. (Salisbury
dan Ross, 1995).
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal
pada benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat
terjadinya perkecambahan benih yang seragam. Skarifikasi (pelukaan kulit
benih) adalah cara untuk memberikan kondisi benih yang impermeabel
menjadi permeabel melalui penusukan; pembakaran, pemecahan, pengikiran,
dan penggoresan dengan bantuan pisau, jarum, pemotong kuku, kertas, amplas,
dan alat lainnya. Kulit benih yang permeabel memungkinkan air dan gas dapat
masuk ke dalam benih sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Benih yang
diskarifikasi akan menghasilkan proses imbibisi yang semakin baik. Air dan
gas akan lebih cepat masuk ke dalam benih karena kulit benih yang permeabel.
Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan proses metabolisme dalam benih
berjalan lebih cepat akibatnya perkecambahan yang dihasilkan akan semakin
baik (Juhanda, 2013).
Pemecahan dormansi dan penciptaan lingkungan yang cocok sangat perlu
untuk memenuhi proses perkecambahan. Benih yang mempunyai kulit biji
tidak permeabledapat dirangsang dengan mengubah kulit biji untuk
membuat permeable terhadap gas–gas dan air. Perkecambahan benih
dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor dari dalam (faktor genetic) berupa
tingkat pemasakan benih dan kulit benih dari luar (faktor lingkungan) yaitu
pengaruh suhu, cahaya, air dan media tumbuh (Haryuni, 2007).
Selama perkecambahan terlihat adanya berbagai proses yaitu imbibisi air,
hidrasi organel subseluler, perubahan-perubahan organisasi subseluler dari
embrio dan endosperm atau ketik dan, perubahan aktivitas fitokroma,
pengaktifan auxin, sintesis enzim denova, persediaan bahan makanan,
translokasi molekul-molekul organik terlarut ke embrio, sintesis protein dan
penyusunan sel lainnya, kenaikan pengambilan oksigen dan aktifitas respirasi,
pembesaran sel, pembelahan sel, sintesis dan pengaktifan zat-zat tumbuh,
differensiasi sel, redistribusi metabolit dalam embrio, perubahan tingkat
oksigen dan karbon dioksida (Haryuni, 2007).
Menurut Dwidjoseputro (1985), variasi umur benih suatu tanaman
sangatlah beragam, namun juga bukan berarti bahwa benih yang telah masak
akan hidup selamanya. Seperti, kondisi penyimpanan selalu mempengaruhi
daya hidup benih. Meningkatnya kelembaban biasanya mempercepat hilangnya
daya hidup, walaupun beberapa biji dapat hidup lebih lama dalam air.
Penyimpanan dalam botol atau di udara terbuka pada suhu sedang sampai
tinggi menyebabkan biji kehilangan air dan sel akan pecah apabila biji diberi
air. Pecahnya sel melukai embrio dan melepaskan hara yang merupakan bahan
yang baik bagi pertumbuhan pathogen penyakit. Tingkat oksigen normal
umumnya mempengaruhi dan merugikan masa hidup biji. Kehilangan daya
hidup terbesar bila benih disimpan dalam udara lembab dengan suhu 35°C atau
lebih. Adapun tipe dormansi adalah sebagai berikut :
1. Dormansi fisik : yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap
perkecambahan. Seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanisme terhadap masuknya air dan gas pada beberapa
jenis tanaman.
2. Dormansi fisiologi : dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme,
umumnya dapat disebabkan oleh pengatur tumbuh baik penghambat atau
perangsang tumbuh, dapat juga oleh faktor-faktor dalam seperti
ketidaksamaan embrio dan sebab-sebab fisiologi lainnya.
3. Pematahan dormansi
a) Secara mekanik
1) Dengan goncangan, kulit biji yang keras menghalangi penyerapan
oksigen dan air. Kulit biji yang keras itu biasanya terdapat pada
anggota family Fabaceae (Leguminosae) pengecualian untuk buncis
dan kapri.
2) Diberi perlakuan panas, sumpal strofiolar yang terdapat pada biji
dapat lepas jika diberi panas.
3) Skarifikasi atau penggoresan, biasanya menggunakan pisau, kikir
atau kertas amplas. Di alam goresan tersebut mungkin terjadi akibat
kerja mikroba, ketika biji melewati alat pencernaan pada burung atau
hewan lain, biji terpajan pada suhu yang berubah-ubah, atau terbawa
air melintasi pasir atau cadas.
4) Tumbuhnya fungi di kulit biji, merekahkan kulit itu sehingga
perkecambahan dapat berlangsung.

b) Secara kimia
1) Merendam dengan alcohol, pelarut lemak lainnya, atau asam pekat,
bertujuan untuk menghilangkan bahan berlilin yang menghalangi
masuknya air.
2) Tiourea, nitrat dan nitrit sebagai pemacu perkecambahan terutama
biji spesies rerumputan.
c) Secara fisika
1) Pendinginan awal (Prechilling), selama pendinginan awal, embrio
beberapa spesies tumbuh sangat cepat. Perlakuan pendinginan
sebelum perkecambahan yang diperlukan oleh biji-bijian untuk
mnghilangkan dormansinya disebut stratifikasi. Selama stratifikasi,
beberapa perubahan terjadi terhadap hormon-hormon. ABA yang
mula-mula sangat tinggi akan menurun dengan cepat, sedangkan
sitokinin akan meningkat dan kemudian menurun kembali apabila
giberelin meningkat. Pada saat perkecambahan, semua hormon turun
pada kadar yang rendah.
2) Cahaya, jumlah klorofil yang terdapat pada embrio saat biji masak
sangat penting untuk menentukan apakah biji spesies tertentu akan
bersifat fotodorman (membutuhkan cahaya untuk
perkecambahannya) atau tidak. Bila biji yang perkecambahannya
terpacu oleh cahaya terkena cahaya maka akan berkecambah dan
mampu berfotosintesis. Bagi biji yang perkecambahannya terhambat
oleh cahaya, perkecambahannya itu tak akan terjadi sampai biji
tertutup seluruhnya oleh sampah, yaitu saat mendapatkan air yang
cukup untuk tumbuh (Sasmitamihardja, 1996).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi dormansi biji
a) Faktor eksternal
1) Cahaya
Cahaya mempengaruhi dormansi dengan tiga cara, yaitu dengan
intensitas (kuantitas) cahaya, kualitas cahaya (panjang gelombang) dan
fotoperiodisitas (panjang hari). Jika dari segi kuantitas cahaya,
dormansi ini terjadi karena pengaruh dari intensitas cahaya yang
diberikan kepada biji. Dari segi kualitas cahaya dormansi disebabkan
oleh panjang gelombang tertentu. Yang menyebabkan terjadinya
perkecambahan adalah daerah merah dari spektrum (red; 650 nm),
sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm) menghambat
perkecambahan. Efek dari kedua daerah di spektrum ini adalah
mutually antagonistic (sama sekali bertentangan). Jika diberikan
bergantian, maka efek yang terjadi kemudian dipengaruhi oleh
spektrum yang terakhir kali diberikan. Dalam hal ini, biji mempunyai 2
pigmen yang photoreversible (dapat berada dalam 2 kondisi alternatif),
yaitu:
 P650 : mengabsorbir di daerah merah
 P730 : mengabsorbir di daerah infra merah
Jika biji dikenai sinar merah (red; 650 nm), maka pigmen P650
diubah menjadi P730. P730 inilah yang menghasilkan sederetan aksi-
aksi yang menyebabkan terjadinya perkecambahan. Sebaliknya jika
P730 dikenai sinar infra merah (far-red; 730 nm), maka pigmen berubah
kembali menjadi P650 dan terhambatlah proses perkecambahan dan
terjadi dormansi (Dwidjoseputro, 1985).
2) Suhu
Perlakuan suhu rendah pada waktu sebelum memasuki musim
dingin pada daerah beriklim sedang dapat menyebabkan peningkatan
dormansi, misalnya pada tanaman aprikot (Prunus armeniaca). Kondisi
udara yang lebih hangat pada musim gugur dapat menunda dormansi,
tetapi tidak menghentikan terjadinya dormansi tunas pada tanaman
buah-buahan di daerah beriklim sedang. Perlakuan suhu rendah untuk
memecahkan dormansi pada tunas akan lebih efektif jika setelah
dormansi dipecahkan segera diikuti dengan perlakuan suhu yang
optimal untuk memacu pertumbuhan.
3) Kurangnya air
Proses penyerapan air oleh benih terhadap perbedaan potensi air
yang sangat nyata antara sel-sel yang telah menyerap air dengan sel-sel
yang belum menyerap air. Terdapat batas-batas tegas antara bagian
benih yang telah meningkat kadar airnya dengan bagian yang belum
terpengaruh kadar airnya. Sel-sel yang telah menyerap air akan
membesar, ukuran benih meningkat dua kali lipat setelah proses
imbibisi berlangsung (Lakitan, 2000).
b) Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh benih itu sendiri
seperti:
1) Kulit Biji
Kulit biji dapat berperan sebagai penghambat untuk terjadinya
perkecambahan, sehingga biji tersebut digolongkan sebagai biji tersebut
digolongkan sebagai biji yang berada dalam keadaan dorman.
Hambatan kulit biji tersebut mungkin disebabkan karena :
a. Kulit biji mengandung senyawa penghambat tumbuh
b. Kulit menghambat difusi oksigen dan/atau air masuk ke dalam biji
c. Kulit biji memiliki resistensi mekanis yang besar radikel tidak
mampu untuk tumbuh menembusnya.
2) Kematangan embrio
Terjadinya dormansi disebabkan oleh belum matangnya atau belum
sempurnanya pembentukan embrio. Pada saat terjadi absisi atau
gugurnya buah dari daun, biji belum menyelesaikan perkembangannya.
Sehingga biji terdiferensiasi sempurna, sehingga biji membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk berkecambah karena mempersiapkan
kebutuhannya. Dalam hal ini, berarti biji melakukan penundaan untuk
tidak berkecambah dan melakukan dorman.
3) Adanya Inhibitor (penghambat)
Perkecambahan biji adalah kulminasi dari serangkaian kompleks
proses-proses metabolik, yang masing-masing harus berlangsung tanpa
gangguan. Tiap substansi yang menghambat salah satu proses akan
berakibat pada terhambatnya seluruh rangkaian proses perkecambahan.
Beberapa zat penghambat dalam biji yang telah berhasil diisolir adalah
soumarin dan lacton tidak jenuh, namun lokasi penghambatannya sukar
ditentukan karena daerah kerjanya berbeda dengan tempat di mana zat
tersebut diisolir. Zat penghambat dapat berada dalam embrio,
endosperm, kulit biji maupun daging buah.
4) Rendahnya zat perangsang tumbuh
Walaupun terdapat banyak jenis senyawa yang dapat berperan
menghambat (Kamil, 1984)
Hipotesis
Ha : Ada pengaruh berbagai macam perlakuan terhadap pemecahan dormansi
biji saga (Abrus precatorius).
Ho : Tidak ada pengaruh berbagai macam perlakuan terhadap pemecahan
dormansi biji saga (Abrus precatorius).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian
eksperimental yang dilakukan dengan menciptakan fenomena pada kondisi
terkendali. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan sebab-akibat
dan pengaruh faktor-faktor pada kondisi tertentu.
B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 6 oktober 2016 pukul 15.30 WIB
di laboratorium fisiologi gedung C10 FMIPA UNESA.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel manipulasi : Pemberian perlakuan yakni direndam dalam larutan
H2SO4, digosok (diamplas), dicuci dengan air.
2. Variabel kontrol :

a. Jenis biji yaitu biji saga (Abrus precatorius).


b. Jumlah biji yaitu 10 biji.
c. Pot.
d. Perbandingan media tanamnya (tanah:pasir =1:1).
e. Kondisi penanaman biji.
3. Variabel respon : Pematahan (pemecahan dormansi) pada biji
berkulit keras yaitu biji saga (Abrus precatorius).
D. Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pot (bekas aqua gelas),
gelas kimia, amplas dan media tanam. Sedangkan bahan yang digunakan
ialah biji sagah sebanyak 30 biji, asam sulfat pekat dan air.
E. Rancangan Percobaan
Biji saga (Abrus precatorius)

Diamplas Direndam H2SO4 Dicuci dengan air

Diamplas Direndam H2SO4 Dicuci dengan air

Ditanam pada polybag. Di tempatkan pada tempat yang sama. Diamati setiap hari selama 2 minggu

Gambar 1. Rancangan percobaan uji pengaruh berbagai macam perlakuan


terhadap pemecahan dormansi biji saga (Abrus precatorius).
F. Langkah Kerja
1. Siapkan bahan dan alat yang diperlukan
2. Sediakan 30 biji saga dan bagi menjadi 3 kelompok :
 10 biji rendam dalam asam sulfat pekat selama 5 menit,
kemudian cuci dengan air.
 10 biji yang lain hilangkan bagian yang tidak ada lembaganya
dengan menggunakan kertas amplas dan kemudian cuci
dengan air.
 Ambil 10 biji yang lain kemudian cuci dengan air
3. Tanam ketiga kelompok biji tersebut pada pot yang bermedia tanam
tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1. Usahakan kondisi
penanaman biji dalam keadaan sama untuk ketiga pot.
4. Amati perkecambahan untuk ketiga pot tersebut setiap hari selama 14
hari. Bila tanahnya kering lakukan penyiraman.
5. Buatlah tabel pengamatan kecepatan perkecambahan dari hasil
pengamatan saudara.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Analisis
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat diperoleh hasil
seperti pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Pengaruh Berbagai Macam Perlakuan Terhadap Pemecahan
Dormansi Biji Saga (Abrus precatorius).
Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total
H2SO4 - 1 2 3 1 3 - - - - - - - - 10
Amplas - 5 2 2 1 - - - - - - - - - 10
Akuades - - - - - - - - - - - 1 - - 1

Dari hasil yang telah diperoleh pada tabel maka dapat disajikan grafik sebagai
berikut :

12

10
Jumlah Biji Berkecambah

0
H2SO4 Amplas Akuades
Jenis Perlakuan

Grafik 1. Pengaruh Berbagai Macam Perlakuan Terhadap Pemecahan


Dormansi Biji Saga (Abrus precatorius).

Berdasarkan data dan grafik hasil pengamatan diatas dapat diketahui


bahwa berbagai macam perlakuan (diamplas, direndam dengan H2SO4 pekat,
dan dicuci dengan air) berpengaruh terhadap pemecahan dormansi biji saga
(Abrus precatorius). Hal ini terlihat dari biji yang diberi perlakuan diamplas
dan direndam dengan H2SO4 memiliki kecepatan pemecahan dormansi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan biji yang hanya dicuci dengan air (kontrol).
Perlakuan yang pertama yakni biji saga (Abrus precatorius) direndam
dalam larutan H2SO4 pekat berkecambah pada hari ke 2, dengan total biji yang
berkecambah yakni 1 biji dari 10 biji yang ditanam. Perlakuan kedua yakni biji
saga (Abrus precatorius) yang diberi perlakuan diamplas berkecambah pada
hari ke 2 dengan total biji yang berkecambah adalah 5 biji dari 10 biji yang
ditanam. Perlakuan yang ketiga yakni biji saga (Abrus precatorius) dicuci
dengan air (kontrol) berkecambah pada hari ke 12 sebanyak 1 biji dari 10 biji
yang ditanam.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan pada biji saga (Abrus
precatorius) dengan cara fisika (diamplas) dan cara kimia (direndam dalam
H2SO4 pekat) memiliki kecepatan pemecahan dormansi yang lebih cepat
dibandingkan dengan biji yang hanya dicuci dengan air (kontrol). Hal ini dapat
terlihat pada kecepatan biji saga yang direndam dalam H2SO4 pekat mulai
berkecambah pada hari ke 2 dengan total biji yang berkecambah sebanyak 1
biji dari 10 biji yang ditanam dan pada biji yang diamplas mulai berkecambah
pada hari ke 2 dengan total biji yang berkecambah sebanyak 5 biji dari 10 biji
yang ditanam.
B. Pembahasan
Berdasarkan analisis data di atas dapat diketahui bahwa perlakuan pada
biji saga dengan cara fisika (diamplas) dan cara kimia (direndam dalam H2SO4
pekat) memiliki kecepatan pemecahan dormansi yang lebih cepat
dibandingkan dengan biji yang hanya dicuci dengan air (kontrol).
Peristiwa dormansi sendiri merupakan suatu keadaan dimana pertumbuhan
tidak terjadi walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya
perkecambahan. Dormansi biji terjadi akibat terbentuknya senyawa-senyawa
kimia inhibitor (penghambat) pada permukaan biji, kurangnya zat-zat
perangsang penting dalam proses pemecahan dormansi disebabkan oleh
adanya kulit biji yang keras sehingga air dan oksigen sebagai pemacu
perkecambahan tidak dapat masuk (Elisa, 2012).
Pematahan dormansi biji saga (Abrus precatorius) dalam percobaan ini
dilakukan dengan berbagai macam yaitu pada perlakuan pertama dengan cara
fisika (mekanik) yaitu mengamplas biji saga. Pengamplasan atau skarifikasi
mekanik merupakan salah satu proses yang dapat mematahkan dormansi pada
benih keras karena meningkatkan imbibisi benih. Skarifikasi merupakan salah
satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada benih yang ditujukan untuk
mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya perkecambahan benih yang
seragam. Skarifikasi (pelukaan kulit benih) adalah cara untuk memberikan
kondisi benih yang impermeabel menjadi permeabel melalui penusukan;
pembakaran, pemecahan, pengikiran, dan penggoresan dengan bantuan pisau,
jarum, pemotong kuku, kertas, amplas, dan alat lainnya. Kulit benih yang
permeabel memungkinkan air dan gas dapat masuk ke dalam benih sehingga
proses imbibisi dapat terjadi. Benih yang diskarifikasi akan menghasilkan
proses imbibisi yang semakin baik. Air dan gas akan lebih cepat masuk ke
dalam benih karena kulit benih yang permeabel. Air yang masuk ke dalam
benih menyebabkan proses metabolisme dalam benih berjalan lebih cepat
akibatnya perkecambahan yang dihasilkan akan semakin baik (Juhanda, 2013).
Skarifikasi mekanik dilakukan dengancara melukai benih sehingga
terdapat celah tempat keluar masuknya air dan oksigen. Skarifikasi mekanik
memungkinkan air masuk ke dalam benih unstuck memulai berlangsungnya
perkecambahan. Skarifikasi mekanik mengakibatkan hambatan mekanis kulit
benih untuk berimbibisi berkurang sehingga peningkatan kadar air dapat terjadi
lebih cepat sehingga benih cepat berkecambah (Widyawati et al., 2009).
Pelaksanakan teknik skarifikasi mekanik harus hati-hati dan tepat pada
posisi embrio berada. Posisi embrio benih aren kadang-kadang berbeda seperti
terletak pada bagian punggung sebelah kanan atau kiri, dan terkadang terletak
di bagian tengah benih (Rofik dan Murniati, 2008)
Pada perlakuan kedua yaitu pematahan dormansi dengan perlakuan kimia
dengan merendam biji saga dalam H2SO4 pekat selama 5 menit. Larutan asam
sulfat pekat (H2SO4) menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat
diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya perlakuan larutan asam
harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji atau pericarp dapat diretakkan
untuk memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio.
Perendaman selama 1 – 10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan
dormansi, sedangkan perendaman selama 60 menit atau lebih dapat
menyebabkan kerusakan (Schimdt, 2000 dalam Winarni , 2009).
Menurut Sutopo (2004) dalam Winarni (2009), larutan asam kuat seperti
H2SO4 sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi sampai pekat
tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak.
Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh
cendawan atau bakteri yang dapat membuat benih dorman. Penelitian pada
benih mindi menunjukkan bahwa perkecambahannormal tercepat tercapai
setelah mendapat perlakuan perendaman benihdalam 12 N H2SO4 selama 10
menit (Soeherlin, 1996 dalam Silomba 2006).
Pematahan dormansi dengan perlakuan dicuci dengan air berlangsung
lama. Hal ini disebabkan air dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam biji
karena kulit biji keras sehingga tidak permeabel terhadap air dan oksigen.
Tidak adanya proses imbibisi ini menyebabkan biji tidak aktif dan metabolisme
tidak berjalan sehingga biji akan berkecambah dalam wakru yang lebih lama.
Pada perlakuan biji saga yang dicuci dengan aquades tidak mengalami
perkecambahan karena merupakan variabel respon sehingga memungkinkan
biji tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama lagi untuk pematah
dormansi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada pengaruh berbagai macam perlakuan terhadap
pemecahan dormansi biji saga (Abrus precatorius). Pada perlakuan dengan
mengamplas bagian yang tidak ada lembaganya dengan kertas amplas
dapat mempercepat perkecambahan biji saga (Abrus precatorius).

B. Saran
1. Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan praktikum agar hasil yang
di peroleh sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan meningkatkan
kerjasama antara sesama anggota kelompok.
2. Sebaiknya kakak asisten membimbing sepenuh hati, dengan memberikan
penjalasan-penjelas yang berhubungan dengan kegiatan praktikum,
menjelaskan langkah-langkah praktikum yang salah sehingga perlu
diperbaiki, guna memperoleh data praktikum sesuai yang diinginkan.
3. Sebaiknya laboran memperbarui alat-alat praktikum, misalnya mikroskop
atau alatbedah, karena sudah banyak yang rusak (tak layak pakai) serta
menambah alat-alat praktikum lainnya, guna kelancaran kegiatan
praktikum.
Daftar Pustaka
Aldrich, R. J. 1984. Weed Crop Ecology Principles in Weed Management. Wa
dsworth, Inc., Belmont, California, USA. p : 92-126; 210-244.
Campbell, et al. Biolologi jilid 2. Jakarta. Erlangga. 2002.
Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology,
4th edition. London: Kluwer Academic Publishers.
Dwidjoseputro. 1985. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Elisa. 2012. Klasifikasi Dormansi Biji, (Online), http://wikipedia/Klasifikasi
Dormansi Biji/sains.com. Diakses pada tanggal 15 Mei 2016
Haryuni dan Harjanto. 2007. Pengaruh Skarifikasi Sistem Oven Terhadap
Perkecambahan dan Pertumbuhan Awal Benih Tanaman Jati
(Tectonagrandis L.F). ISSN: 0854-2813 VOL. 7 NO. 1 JANUARI 2007.
Juhanda, Yayuk Nurmiaty dan Ermawati . 2013. Pengaruh Skarifikasi pada Pola
Imbibisi dan Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.).
Jurnal Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Vol. 1, No. 1: 45 – 49, Januari
2013. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Kamil, J., 1984. Teknologi Benih. Bandung: Angkasa Raya.
Lakitan, Benyamin. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Rofik, A. dan E. Murniati. 2008. Pengaruh perlakuan deoperkulasi dan media
perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren(Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr.). Buletin Agronomi 36 (1) 33 – 40.
Salisbury dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: ITB.
Sastamidharja, Dardjat dan Arbayah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Silomba, S, D, A. 2006. Pengaruh Lama Perendaman dan PemanasanTerhadap
Viabilitas Benih Kelapa Sawit. Skripsi. Institut PertanianBogor.
Soejadidan US Nugraha. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya
berkecambah padi. Bogor. IPB. 2002.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Widyawati, N., Tohari, P. Yudono, dan I. Soemardi. 2009. Permeabilitas
danperkecambahan benih aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.).
JurnaAgronomi Indonesia 37 (2) : 152 – 158.
Winarni, T, B. 2009. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih Terhadap
Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.). Skripsi.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN

Gambar 1. Perlakuan pada biji Gambar 2.Penanaman Biji saga


saga

Gambar 3.Perkecambahan biji Gambar 4. Perkecambahan biji Gambar 4. Perkecambahan biji


saga yang diamplas saga yang direndam saga yang direndam
H2SO4 akuades

Anda mungkin juga menyukai