Anda di halaman 1dari 12

PENENTUAN JUMLAH ERITROSIT DAN LEUKOSIT PADA HEWAN

COBA MENCIT (Mus musculus L. )

Pelaksanaan : Kamis, 14 Maret 2019


Dosen : Dr. Raharjo M. Si.
Dra. Nur Kuswanti, M.Sc.St.
Nur Qomariyah, S.Pd. M.Si.
Erlix R. Purnama, M.Si.

Kelompok : 4, Kelas : PBA 2017

Zulfiana (17030204010)
Rafio Ryzkyta Putra (17030204012)
Retno Setya Pratiwi (17030204018)
Anisah (17030204027)
Dyah Novira D.J (17030204041)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
2019
1. Judul :
Penentuan Jumlah Eritrosit Dan Leukosit Pada Hewan Coba (Mus
muskulus L.)

2. Tujuan :
Mempelajari dan memahami prinsip kerja bilik hitung improved Neubauer
yang digunakan dalam perhitungan jumlah eritrosit/leukosit.

3. Dasar Teori
3.1 Mencit (Mus musculus L.)
Mencit (Mus musculus L.) merupakan hewan mamalia hasil
domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan
percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar 40%-80%. Banyak keunggulan
yang dimiliki oleh mencit sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan
fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per
kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan
(Moriwaki et al., 1994). Mencit merupakan hewan poliestrus, yaitu hewan
yang mengalami estrus lebih daripada dua kali dalam setahun.
Petter (1961) menjelaskan bahwa mencit (Mus musculus L.)
merupakan omnivora alami, sehat, kuat, prolifik, kecil, dan jinak. Mencit
laboratorium memiliki berat badan yang bervariasi antara 18-20 g pada umur
empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit memiliki bulu
yang pendek halus dan berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan
ukuran lebih panjang dari badan dan kepalanya.

3.2 Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang terdapat dalam jantung dan
pembuluh darah. Darah terdiri atas dua bagian yang penting, yaitu plasma
darah dan sel darah. Di dalam plasma darah terdapat air dengan elektrolit
terlarut serta protein darah (albumin, globulin dan fibrinogen) sedangkan
komponen sel darah yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Ketiga sel tersebut
terbentuk dari stem cell yang sama yaitu sel induk pluripotent, pada mamalia
dan unggas, pembentukan sel darah pertama kali terjadi dalam yolk sac.
Sekitar pertengahan kehamilan, pembentukan sel darah terjadi didalam
beberapa jaringan tubuh, misalnya sumsum tulang, hati, limfa, timus dan
nodus limpatikus, menjelang masa kelahiran sampai dewasa, sumsum tulang
pipih berperan uatama dalam hematopoeiesis tersebut (Raharjo dkk, 2017).
Komponen darah terdiri dari dua komponen utama yaitu plasma darah
yang merupakan bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah dan butir-butir darah (blood corpuscles), yang
terdiri dari komponen-komponen sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit) dan trombosit (Frandson, 1986). Sel darah merah atau eritrosit
selama hidupnya tetap berada dalam darah. Sel-sel ini mampu mengangkut
oksigen secara efektif tanpa meninggalkan pembuluh darah serta cabang-
cabangnya. Leukosit melaksanakan fungsinya di dalam jaringan, sedangkan
keberadaannya dalam darah hanya melintas saja. Trombosit melakukan
fungsinya pada dinding pembuluh darah, sedangkan trombosit yang ada dalam
sirkulasi tidak mempunyai fungsi khusus (Atulmetha dan Hoffbrand, 2006).

3.2.1 Eritosit
Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel
yang terdapat dalam darah. Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks,
membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel
merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa
hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut
(Williams, 2007).
Eritrosit berbentuk cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya,
sehingga dilihat dari samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling
bertolak belakang. Dalam setiap mm3 darah terdapat 5.000.000 sel darah. Bila
dilihat satu per satu warnanya kuning pucat, tetapi dalam jumlah besar
kelihatan merah dan memberi warna pada darah. Strukturnya terdiri atas
pembungkus luar atau stroma dan berisi masa hemoglobin. Sel darah merah
terbentuk di dalam sumsum tulang (Pearce, 2002).
Proses pembentukan eritrosit disebut sebagai eritropoiesis.
Eritropoeiesis diawali oleh adanya sel hemositoblast. Hemositoblast akan
segera membentuk proetroblast yang mempunyai sitolasma berwarna biru tua,
nukleus ditengah dan nukleoli sedikit mengelompok tetapi sel ini belum
mengandung Hb. Sel proeritroblast kemudian berubah menjadi eritroblast
yang mengandung kromatin dalam nucleus dan Hb. Selanjutnya sel berukuran
kecil dengan sitoplasma kebiruan karena terdapat RNA dan kromatin
mengalami kondensasi, pada saat ini sel disebut basofilik eritroblast. Sel
berubah menjadi polikromatik eritroblast yang ditandai dengan mengandung
Hb, nukleus mengecil dan RE direabsorbsi dan selanjutnya beurbah lagi
menjadi eritroblast. Pada tahap ini, nukleus mengalami fragmentasi dan
autolysis, sitoplasma banyak mengandung Hb dan berwarna merah. Pada
tahap akhir akan terbentuk sel retikulosit sebab eritrosit sudah tanpa inti,
menghasilkan Hb terus menerus dalam julah kecil selama 3 hari dan akhirnya
membentuk eritosit matang setelah berada diluar sumsum tulang berbentuk
pipih dan bikonkaf (Raharjo dkk, 2017).
Fungsi eritosit atau sel darah merah adalah mengikat oksigen dari
paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon
dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru (Guyton,
1995). Pengikatan oksigen dan karbon dioksida ini dikerjakan oleh
hemoglobin yang telah bersenyawa dengan oksigen yang disebut
oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-oksigen) jadi oksigen diangkut dari
seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin yang nantinya setelah tiba di jaringan
akan dilepaskan: Hb-oksigen Hb + oksigen, dan seterusnya. Hb tadi akan
bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut karbon dioksida hemoglobin
(Hb + karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang mana karbon dioksida
tersebut akan dikeluarkan di paru-paru.
Jumlah eritrosit sangat bervariasi antara individu yang satu dengan
yang lainnya. Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, kondisi
tubuh, variasi harian, dan keadaan stress. Banyaknya jumlah eritrosit juga
disebabkan oleh ukuran sel darah itu sendiri (Schmidt dan Nelson, 1990).
Dallman dan Brown (1987) menyatakan bahwa, hewan yang memiliki sel
darah kecil, jumlahnya banyak. Sebaliknya yang ukurannya lebih besar akan
mempunyai jumlah yang lebih sedikit. Jumlah sel darah merah yang banyak,
juga menunjukkan besarnya aktivitas hewan tersebut. Hewan yang aktif
bergerak/beraktivitas akan memiliki eritrosit dalam jumlah yang banyak pula,
karena hewan yang aktif akan mengkonsumsi banyak oksigen, dimana eritrosit
sendiri mempunyai fungsi sebagai transport oksigen dalam darah (Guyton,
1995).
Jumlah eritrosit pada ikan adalah 50.000-3.000.000 sel/mm 3. Jumlah
eritrosit ayam betina adalah 2.720.000 sel/mm3, jumlah eritrosit ayam jantan
adalah 3.230.000 sel/mm3, jumlah eritrosit mencit normal adalah berkisar
4.000.000 - 6.000.000 sel/mm3 (Ramesh, 2008).
Untuk menghitung jumlah eritrosit dalam darah dapat menggunakan
reagen berupa larutan hayem. Larutan hayem adalah larutan isotonis yang
digunakan sebagai pengenceran eritrosit dalam pipet eritrosit. Apabila sampel
darah dicampur dengan larutan Hayem maka sel darah putih akan hancur,
sehingga yang tinggal hanya sel darah merah saja (Hidayati, 2006). Komposisi
dari larutan Hayem adalah terdiri dari 5 gr Na-sulfat, 1 gr NaCl, 0,5 gr HgCl2
dan 100 ml aquades. Larutan Hayem terdiri dari Natrium Sulfat yang
merupakan zat anti koagulan yang akan mencegah terjadinya aglutinasi. Selain
itu Natrium Sulfat 5 gr berfungsi untuk melisiskan leukosit dan trombosit
sehingga yang dapat diamati eritrosit saja. Larutan Natrium clorit 1 gr bersifat
isotonis pada eritrosit (Syaifuddin, 1997). Fungsi dari larutan hayem menurut
Syaifuddin (1997) antara lain adalah :
- Isotonis pada eritrosit
- Untuk pengencer eritrosit
- Merintangi pembekuan
- Memperjelas bentuk eritrosit
- Mempertahankan bentuk diskoid eritrosit dan tidak menyebabkan
aglutinasi

3.2.2 Leukosit
Leukosit merupakan sel darah putih yang memiliki ukuran lebih besar
daripada eritrosit atau sel darah merah akan tetapi jumlahnya lebih sedikit.
Pada umumnya leukosit berwarna bening, atau tidak berwarna. Leukosit tidak
mengandung hemoglobin, memiliki nukleus dan pada dasarnya dijumpai
dalam keadaan tidak berwarna (Kimball, 1996).
Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan
tubuh. Luekosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan
monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan
sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju
berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah
putih ialah bahwa kebanyakan ditranspor secara khusus ke daerah yang
terinfeksi dan mengalami peradangan serius, jadi, menyediakan pertahanan
yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada
(Guyton, 1995).
Ada 2 macam tipe leukosit yaitu granular dan agranular. Granulosit
adalah leukosit sirkular dan memiliki granule pada sitoplasmanya. Sedangkan
agranulosit tidak memiliki granule pada sitoplasmanya. Granulosit terdiri atas
3 tipe yaitu Sel Metrofil, dimana paling banyak dijumpai, mewarnai dirinya
dengan pewarna netral atau campuran pewarna asam basa dan tampak
berwarna ungu; Sel Eusinofil, dimana sel ini sedikit dijumpai, penyerap warna
yang bersifat asam atau eosin dan kelihatan merah; Sel Basofil yang menyerap
pewarna basa dan menjadi biru. Sedangkan agranulosit terdiri atas monosit,
yang berfungsi untuk menutup daerah luka, membungkus dan memfagosit
setelah netrofil dan basofil (Pearce, 2002).
Leukosit dalam darah jumlahnya lebih sedikit daripada eritrosit
dengan rasio 1:700 (Frandson, 1992). Leukosit adalah bagian dari sel darah
yang berinti, disebut juga sel darah putih. Di dalam darah normal didapati
jumlah leukosit rata-rata 4.000-11.000 sel/cc. Jika jumlahnya lebih dari 11.000
sel/mm3 maka keadaan ini disebut leukositosis dan bila jumlah kurang dari
4.000 sel/mm3 maka disebut leucopenia. Jumlah normal leukosit pada
mamalia adalah rata-rata 4.000-11.000 sel/mm3, jumlah leukosit pada ayam
berkisar antara 16.000-40.000 sel/mm3dan jumlah leukosit ikan adalah 20.000-
150.000 sel/mm3. Sedangkan untuk jumlah leukosit tikus putih normal adalah
16.000 – 40.000 sel / mm3 (Guyton, 1995). Berbeda dengan hewan mencit,
Menurut Arrington (1972), jumlah butir darah putih normal pada mencit
berkisar 6.000 – 12600 sel/mm3.
Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi
tertentu seperti stres, umur, aktifitas fisiologis dan lainnya. Leukosit berperan
penting dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap benda-
benda asing. Jumlah leukosit lebih banyak diproduksi jika kondisi tubuh
sedang sakit apabila dalam sirkulasi darah jumlah leukositnya lebih sedikit
dibanding dengan eritrositnya (Pearce, 2002). Sel darah putih berperan dalam
melawan infeksi (Kimball,1996).
Hewan yang terinfeksi akan mempunyai jumlah leukosit yang banyak,
karena leukosit berfungsi melindungi tubuh dari infeksi. Penurunan jumlah
leukosit dapat terjadi karena infeksi usus, keracunan bakteri, septicoemia,
kehamilan, dan partus. Jumlah leukosit dipengaruhi oleh kondisi tubuh, stress,
kurang makan atau disebabkan oleh faktor lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah eritrosit dan leukosit yaitu tergantung pada spesies dan
kondisi pakannya, selain itu juga bahan organik yang terkandung seperti
glukosa, lemak, urea, asam urat, dan lainnya. Umur, kondisi lingkungan dan
musim juga sangat mempengaruhi jumlah eritrosit dan leukosit (Pearce,
2002).
Untuk menghitung jumlah leukosit dalam darah dapat menggunakan
reagen berupa larutan turk. Larutan Turk adalah larutan yang sejenis dengan
larutan Hayem, hanya saja fungsi dan komposisinya yang berbeda. Larutan ini
digunakan untuk pengencer darah pada saat penghitungan sel darah putih.
Komposisi larutan turk terdiri dari larutan gentian violet 1% dalam 1 mL air,
asam asetat glacial 1 mL, dan 100 mL aquades. Asam asetat glacial 1 mL
berfungsi untuk melisiskan trombosit dan eritrosit sehingga hanya leukosit
yang bisa diamati dan gention violet 1 % yang memberikan warna ungu muda
pada inti dan sitoplasma granula leukosit sehingga jelas dibawah mikroskop
dan memudahkan perhitungan. Untuk pengenceran leukosit, darah yang keluar
dari luka dihisap hingga skala 0.5 lalu dihisap larutan Turk hingga skala 11
yang berarti dalam praktikum ini digunakan pengenceran 20 kali.
Larutan turk ini menurut Syaifuddin (1997) berfungsi sebagai :
- Memberi warna putih pada inti dangranula eritrosit
- Memecah eritrosit dan granula tetapi tidak memecah leukosit

4. Bahan dan Alat


4.1 Bahan
 Mencit jantan dan betina
 EDTA
 Ether Absolute
 Larutan Hayem
 Larutan Turk
 Alkohol 70% dan kapas

4.2 Alat
 Papan sesi dan alat bedah
 Botol vial
 Botol larutan Hayem dan Turk
 Kertas tisu
 Bilik hitung Improved Neubauer
 Pipet pencampur 1-101
 Pipet pencampur 1-11
 Mikroskop cahaya
 Squit 1 mL
 Jarum pentul

5. Cara Kerja
Keluarkan darah melalui intra cardiac ± 1 ml dari hewan coba tikus
putih atau mencit, kemudian letakkan darah dalam botol penampung yang
sudah diberi sedikit EDTA.

5.1 Penentuan Jumlah Leukosit


a. Darah dihisap sampai angka menunjukkan 1,0 pada mikropipet dan
ujungnya dibersihkan dengan kertas hisap
b. Hisaplah larutan Turk (yang dituangkan terlebih dahulu ke dalam
tabung) sampai menunjukkan angka 11
c. Lepaskan pipet karet dari mikropipet, tutuplah kedua ujung mikropipet
dengan jari dan kocoklah selama 2 menit
d. Buanglah 2-3 tetes cairan pada ujung mikropipet, selanjutnya letakkan
ujung mikropipet ke Improved Neubauer dan tuangkan cairan darah
yang ada. Letakkan dibawah permukaan mikroskop (dengan
perbesaran lemah carilah bilik hitung Improved Neubauer, kemudian
dengan perbesaran kuat) dan hitunglah semua jumlah leukosit yang
terdapat di dalam bujur sangkar pojok.
e. Jadi jumlah bujur sangkar yang dihitung sebanyak 4 x 16 = 64 kotak
dengan volume 1/160 mm3
f. Cara perhitungan (diamati pada perbesaran mikroskop 10 x 10):
Jumlah bujur sangkar yang dihitung = 64 kali
Volume setiap bujur sangkar = 1/160 mm3
Darah yang diencerkan = 10 kali
Jumlah eritrosit yang terhitung =L
Maka jumlah eritrosit per mm3 = L/64 x 160 x 10

5.2 Penentuan Jumlah Eritrosit


a. Darah dihisap sampai angka menunjukkan 1,0 pada mikropipet dan
ujungnya dibersihkan dengan kertas hisap
b. Hisaplah larutan Hayem (yang dituangkan terlebih dahulu ke dalam
tabung) sampai menunjukkan angka 101
c. Lepaskan pipet karet dari mikropipet, tutuplah kedua ujung mikropipet
dengan jari dan kocoklah selama 2 menit
d. Buanglah 2-3 tetes cairan pada ujung mikropipet, selanjutnya letakkan
ujung mikropipet ke Improved Neubauer dan tuangkan cairan darah
yang ada. Letakkan dibawah permukaan mikroskop (dengan
perbesaran lemah carilah bilik hitung Improved Neubauer, kemudian
dengan perbesaran kuat) dan hitunglah semua jumlah eritrosit yang
terdapat di dalam bujur sangkar kecil
e. Eritrosit yang dihitung adalah sel yang terdapat di dalam bujur sangkar
kecil sebanyak 5 x 16 = 80 kotak dengan sisi 1/20 mm atau volume
setiap bujur sangkar 1/4000 mm3
f. Cara perhitungan (diamati pada perbesaran mikroskop 10 x 40):
Jumlah bujur sangkar yang dihitung = 80 kali
Volume setiap bujur sangkar = 1/4000 mm3
Darah yang diencerkan = 100 kali
Jumlah eritrosit yang terhitung =E
Maka jumlah eritrosit per mm3 = E/80 x 4000 x 100

6. Hasil dan Pembahasan

7. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal Science, the Breeding,


Care and Management of Experimental Animal. The Interstate Printers and
Publisers, Inc. Denville.
Atulmetha dan Hoffbrand. 2006. Hematologi. Edisi kedua. Jakarta : EGC.
Dallman, H. D dan E. M Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner I. Jakarta:
UI Press.
Frandson, R. D. 1986. Anatomy and physiology of Farm Animals.
Philadelphia.:Lea and Febiger.
Guyton. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
Hidayati, Dewi. 2006. Modul Ajar Fisiologi Hewan. Surabaya: Program Studi
Biologi FMIPA- ITS.
Kimball, John W,1996. Biologi Edisi Kelima jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Moriwaki, K, T. Shiroishi, H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its
Aplication to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Sosieties
Press. Karger.
Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia.
Petter, W.L. 1961. Provision of Laboratory Animal for Research. Elsevier
Publishing Company, London.
Raharjo, dkk. 2017. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Ramesh, M. et al, 2008. Haematological and Biochemical Response in a
Freshwater Fish Cyprinus carpio Exposed to Chorlpyrifos. International
journal of Integrative Biology. India.
Schmidt, W. and Nelson, B. 1990. Animal Physiology. New York: Harper Collins
Publisher.
Smith, B. J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia.
Jakarta. Hlm. 228-233.
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Williams, 2007. Eritrosit dan Hemoglobin. Online at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37522/4/Chapter
%20II.pdf. Diakses pada 16 Maret 2019 jam 10:49 WIB.

Anda mungkin juga menyukai