Anda di halaman 1dari 15

Kepada Yth :

Rencana Baca : Kamis, 12 November 2020


Tempat : RSP Gedung A lantai 4 TUGAS PENDAHULUAN

FISIOLOGI SUMSUM TULANG


St. Sandra Karyati Serel, Moonika Todingan, Rachmawati A. Muhiddin
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar

1. PENDAHULUAN
Sumsum tulang adalah struktur utama dalam hematopoiesis, yaitu
proses pembentukan sel-sel darah. Sumsum tulang terletak di dalam kavitas tulang-
tulang aksial dan tulang panjang, sekitar 85% kavitas tulang ditempati oleh sumsum
tulang, sementara sisanya ditempati oleh jaringan tulang meduler.1 Secara
fungsional, sumsum tulang memainkan dua peran utama, yaitu sebagai jaringan
hematopoietik primer dan sebagai organ retikuloendotelial utama. Proses
hematopoiesis pada orang dewasa normal akan melepaskan sekitar 2,5 miliar sel
darah merah; 2,5 miliar trombosit; dan 1,0 miliar granulosit per kilogram berat
badan per hari yang dihasilkan oleh sumsum tulang. Jumlah tersebut bergantung
pada kebutuhan tubuh, dan apabila tubuh mengalami stres akibat berbagai faktor
(misal paparan radiasi, kemoterapi, infeksi, dan lain-lain) yang dapat memicu
hemolisis, maka produksi rata-rata akan ditingkatkan hingga sekitar 5 sampai10 kali
lipat. Dinamika sel hematopoetik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya radiasi secara langsung, agen kimiawi, serta kondisi patologis
lainnya.2,3 Penilaian terhadap sumsum tulang merupakan prosedur yang hingga saat
ini rutin dilakukan terhadap sejumlah gangguan darah.1-3

2. ANATOMI SUMSUM TULANG


2.1. Jenis sumsum tulang
Sumsum tulang dikategorikan menjadi dua jenis yang bervariasi
komposisi dan fungsinya, yaitu sumsum tulang merah dan kuning. Sumsum
tulang merah berperan dalam proses hematopoietik yang bekerja aktif,
sedangkan sumsum kuning merupakan jaringan lemak dan sifatnya tidak
aktif. Warna merah pada sumsum hematopoietik akibat adanya hemoglobin
pada sel eritrosit dan progenitornya yang secara bersama-sama dengan
leukosit dan trombosit memiliki proporsi 60%, dan sisanya tersusun dari sel
lemak. Sumsum kuning dibentuk dari hampir seluruhnya lemak (sekitar 95%)
dengan elemen hematopoietik yang sangat sedikit dan warna kuning
disebabkan oleh pigmen karotenoid yang ditemukan pada sel lemak.4

2.2. Vaskularisasi
Suplai arteri ke sumsum tulang secara garis besar diperoleh dari arteri
nutrisia. Arteri ini berjalan ke tengah dari kavum medularis, yang kemudian
terbagi menjadi cabang ascending dan descending yang berjalan paralel
terhadap tulang panjang. Selanjutnya kapiler yang berasal dari arteri nutrisia
tersebut memasuki kanalis haversian di korteks, melakukan anastomose
dengan kapiler intrakortikal, dan memasuki kavum osseum untuk membentuk
sinusoid. Pasa sumsum tulang merah, pembuluh darah lebih banyak
ditemukan dibandingkan sumsum tulang kuning. Sumsum tulang terdapat
diantara arteri radial dari cabang arteri nutrisia dan cabang dari arteri periosteal.
Terdapat juga sinusoid yang terbentuk dari cabang-cabang tersebut. Hematopetik
terjadi didalam ruang jaringan intersinusoidal (Gambar 1).4

Gambar 1. Vaskularisasi sumsum tulang


(Moulopoulos LA, Koutoulidis V. Bone Marrow MRI: A Pattern-Based Approach. Milan:
Springer;2014)
2.3. Innervasi dan regulasi sumsum tulang

Saraf otonom yang mempersarafi tulang juga akan melakukan


penetrasi ke sumsum tulang sampai ke regio yang terlibat dalam aktivitas
hematopoetik. Jika stres terjadi (seperti, cedera radiasi, kemoterapi, atau
infeksi) sel punca hematopetik akan teraktivasi untuk mempertahankan
homeostasis. Pada kondisi tersebut sistem saraf simpatik memainkan peran
sebagai komponen regulator yang penting terhadap lingkungan mikro
sumsum tulang yang sangat penting untuk mempertahankan aktivitas sel
punca hematopoetik selama homeostasis maupun kondisi stres. Peranan
sistem saraf parasimpatik hingga saat ini dikaitkan dengan proses remodelling
tulang dan sangat sedikit yang diketahui mengenai efek sinyal kolinergik
terhadap sel punca hematopoetik atau lingkungan mikro sel tersebut.5

3. FISIOLOGI SUMSUM TULANG


3.1. Produksi eritrosit
Pada minggu pertama kehidupan embrio, eritrosit primitif yang berinti
diproduksi di yolk sac. Selama pertengahan trimester masa gestasi, hepar
dianggap sebagai organ utama untuk memproduksi sel-sel darah merah,
namun terdapat juga sel-sel darah merah dalam jumlah cukup banyak yang
diproduksi di limpa dan kelenjar limfe. Setelah bulan terakhir kehamilan dan
sesudah lahir, eritrosit hanya diproduksi di sumsum tulang.2,4
Pada dasarnya sumsum tulang dari semua tulang memproduksi eritrosit
sampai seseorang berusia 5 tahun; tetapi sumsum tulang panjang, kecuali
bagian proksimal humerus dan tibia, yang mengandung sel lemak yang
sangat tinggi sehingga tidak memproduksi eritrosit hingga berusia sekitar 20
tahun. Kebanyakan eritrosit diproduksi dalam sumsum tulang membranosa
setelah usia 20 tahun, seperti vertebra, sternum, costae, dan ileum (Gambar
2).2
Gambar 2. Karakteristik produksi sel darah pada sejumlah tulang.
Pada gambar, terlihat bahwa sumsum tulang dari tulang tibia dan
femur memproduksi eritrosit hanya sampai umur 5 tahun. Namun
setelah 5 tahun, kebanyakan eritrosit diproduksi oleh sumsum tulang
membranosa, seperti vertebra, sternum, costa, dan ileum sampai usia
70 tahun ke atas
(Hall JE. Guyton and Hall : Tectbook of Medical Physiology. 11th Ed. Philadeplhia : Elsevier;
2016)

3.2. Perkembangan Sel Stem


Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu
tipe sel yang disebut sel stem hematopoetik pluripoten, yang merupakan asal
dari semua sel dalam sirkulasi darah. Sel-sel pluripotent ini melakukan
pembelahan untuk membentuk berbagai sel darah sirkulasi. Ketika sel-sel
darah ini melakukan proses produksi, terdapat sejumlah kecil dari sel-sel ini
yang bertahan persis seperti sel-sel pluripoten asalnya dan disimpan dalam
sumsum tulang untuk mempertahankan suplai sel-sel darah tersebut,
meskipun jumlahnya berkurang seiring dengan pertambahan usia (Gambar
3).2
Gambar 3. Pembentukan berbagai sel darah yang berbeda-beda dari
pluripotent hematopoeietic stem cell (PHSC) dalam sumsum tulang.
(Hall JE. Guyton and Hall : Tectbook of Medical Physiology. 11th Ed. Philadeplhia : Elsevier;
2016)

Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh berbagai


macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Terdapat empat
protein penginduksi pertumbuhan yang utama dan masing-masing memiliki
karakteristik tersendiri. Salah satunya adalah interleukin (IL)-3.3,4 Proses
diferensiasi juga akan dipicu oleh sejumlah protein yang diklasifikasikan
menjadi protein penginduksi diferensiasi.2
Pembentukan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi
dikendalikan oleh faktor-faktor di luar sumsum tulang. Contohnya, pada
eritrosit, paparan darah dengan oksigen yang rendah dalam waktu yang lama
akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan produksi eritrosit
dalam jumlah yang sangat banyak. Pada leukosit, penyakit infeksi akan
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi, dan pembentukan sel darah putih
tipe tertentu yang diperlukan untuk menangani setiap infeksi (Gambar 4).1,2,4

Gambar 4. Struktur sumsum tulang: skema seluler


(Moulopoulos LA, Koutoulidis V. Bone Marrow MRI: A Pattern-Based Approach. Milan:
Springer;2014)

3.2.1. Eritropoiesis
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen oleh
hemoglobin. Terdapat dua bentuk sel progenitor awal pada
eritropoiesis. Burst-forming unit-erythroid (BFU-E) adalah yang lebih
primitif dan mengandung eritropetik dengan konsentrasi tinggi. Sel
progenitor tersebut menghasilkan sel dewasa yang lebih kecil, colony
forming unit-erythroid (CFU-E).2

Proses eritropesis dimulai pertama kali pada yolk sac,


kemudian akan berpindah ke hepar fetus pada bulan kedua gestasi.
Setelah bayi dilahirkan, eritropoiesis akan terjadi pada sumsum tulang.
Jika kebutuhan terhadap eritropoiesis meningkat, proses dapat terjadi
secara ekstramedular (di hepar dan lien). Kondisi ini terjadi pada awal
kehidupan, akibat keterbatasan sumsum tulang. Hal ini tidak ditemukan
pada orang dewasa karena sumsum tulang telah tersedia lebih banyak,
yang cukup untuk peningkatan eritropoesis.
BFU-E, burst forming unit-erythroid, adalah suatu prekursor
eritrosit awal yang dikarakteristikkan dengan adanya kapasitas
proliferatif yang signifikan. CFU-E, colony forming unit-erythroid,
merupakan suatu prekursor eritrosit lanjutan yang dikarakteristikkan
dengan kapasitas proliferatif yang lebih sedikit dan lebih
terdiferensiasi; Eritrosit secara morfologi merupakan tahap akhir dari
perkembangan eritrosit, tahap-tahap tersebut diantaranya proeritroblas,
eritroblas basofilik, eritroblas polikromatik, eritroblas ortokromatik,
dan retikulosit. Sejumlah reseptor eritropoetin (erythropetik
receptors/EpoR) secara bertahap meningkatkan hingga sel progenitor
matur dan jumlahnya mencapai kadar tertinggi di tahap CFU-E, EpoR
berkurang secara signifikan pada awal eritroblas dan menghilang pada
tahap akhir eritroblas (Gambar 5 dan 6).6

Gambar 5. Regulasi eritropoesis


(Beckman B, Silberstein P, Aldoss IT. Erythropoiesis. In: Enna SJ, Bylund DB
(eds.). xPharm : The Comprehensive Pharmacology Reference. New York :
Elsevier;2008)
Gambar 6. Proses maturasi eritrosit. Eritrosit secara morfologi
merupakan tahap akhir dari perkembangan eritrosit, tahap-
tahap tersebut diantaranya proeritroblas, eritroblas basofilik,
eritroblas polikromatik, eritroblas ortokromatik, dan retikulosit
(Beckman B, Silberstein P, Aldoss IT. Erythropoiesis. In: Enna SJ, Bylund DB
(eds.). xPharm : The Comprehensive Pharmacology Reference. New York :
Elsevier;2008)

Jumlah oksigen dalam udara pada dataran tinggi sangat


rendah sehingga oksigen dalam jumlah yang tidak cukup tersebut
diangkut ke jaringan dan memicu peningkatan produksi eritrosit. Pada
proses ini, bukan konsentrasi eritrosit dalam darah yang mengatur
produksi sel, melainkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan
dalam hubungannya dengan kebutuhan jaringan akan oksigen.2
3.2.2. Granulopoiesis

Granulosit yang bersifat motil dan fagositik merupakan


pertahanan utama tubuh melawan infeksi bakteri. Produksi dan
maturasinya terjadi di sumsum tulang dari Colony Forming Units –
Granulocytes, Erythrocytes, Monocytes, Megacaryocytes (CFU-
GEMM) progenitor. Enam tahap granulopoiesis, yaitu mieloblas,
promielosit, mielosit, metamielosit, dan mature polymorphonuclear
granulocyte (PMN). Ketika sel mencapai tahap metamielosit, sel
tersebut tidak lagi mampu melakukan mitosis tetapi melanjutkan
pematangannya. Proses maturasi netrofil dapat dilihat pada gambar 7
di bawah ini.7

Gambar 7. Maturasi neutrophil. Enam tahap granulopoiesis,


yaitu mieloblas, promielosit, mielosit, metamielosit, dan
mature polymorphonuclear granulocyte (PMN)
(Khanna-Gupta A, Berliner N. Granulocytopoiesis and Monocytopoiesis. In:
Hoffman R, Benz EJ (eds). Hematology: Basic Principles and Practice. 7th Ed. New
York: Elsevier; 2018)

Granulopoesis diregulasi oleh sejumlah faktor-faktor


pertumbuhan, seperti granulocyte-colony stimulating factors (G-CSF),
granulocyte-monocyte colony stimulating factors (GM-CSF),
Interleukin-1 (IL-1), monocyte-colony stimulating factors (M-CSF),
dan tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor ini disintesis oleh
sejumlah sel, diantaranya fibroblas dan sel endothelial yang bekerja
secara simultan dengan molekul regulator lainnya, seperti sitokin, yang
berfungsi mengatur hematopoesis. Faktor pertumbuhan hematopoetik
seperti IL-3, GM-CSF, dan G-CSF berikatan dengan sel target melalui
reseptor yang spesifik dan penting terhadap sistem hematopoetik untuk
merespon secara dini terhadap adanya infeksi atau inflamasi dengan
cara meningkatkan produksi leukosit secara signifikan.7

3.2.3. Monositopoesis
Monosit berasal dari promonosit di dalam sumsum tulang,
yang menyusun sekitar 3% dari seluruh sel di dalam sumsum tulang
yang normal. Proses diferensiasi terjadi secara cepat, dengan waktu
maturasi berkisar 50 – 60 jam. Namun, kondisi stres dapat melepaskan
sel ini dalam kondisi prematur dari lokasi proliferasinya. Masa hidup
sel monosit singkat, sel tersebut dapat berkembang menjadi makrofag
dan bertahan lebih lama hingga berkisar 2 – 3 bulan. Tahapan
diferensiasi dari progenitor monosit disertai dengan sitokin yang
meregulasi (Gambar 8).8-10

Gambar 8.
(Naeim F, Rao N, Song SX, Phan RT. Atlas of Hematopathology. 2nd Ed. Los
Angeles : Elsevier;2018)
Efek dari colony-stimulating factor 1 (CSF-1) juga dikenal
dengan M-CSF, regulator utama terhadap produksi fagosit
mononuklear, dimediasi oleh suatu reseptor yang disebut dengan
colony-stimulating factor 1 Receptor (CSF-1R). Sinyal melalui CSF-
1R sangat penting terhadap perkembangan makrofag. Namun hanya
sedikit yang diketahui mengenai aktivitas yang menyebabkan adanya
stimulasi terhadap gen yang menghasilkan monosit atau makrofag. IL-
3, G-CSF, dan TNF telah menunjukkan efek yang bersinergi dengan
M-CSF dalam proliferasi makrofag. Monosit matur diketahui dengan
tingginya kadar ekspresi cluster of differentiation molecule 11b
(CD11b) / CD18b ataupun CD14. CD14 merupakan suatu protein
fungsional yang berada di permukaan monosit. CD14 merupakan
reseptor terhadap lipopolisakarida, yang menyebabkan monosit atau
makrofag teraktivasi.8

3.2.4. Limfopoiesis
Limfopoiesis mulai berlangsung di sumsum tulang pada sel
stem commited limfoid. Langkah pertama dari diferensiasi sel tersebut
berbeda antara sel progenitor non-B (sel T dan natural killer (NK)
cell) dan yang terjadi pada sel progenitor B. Tahapan ini dianggap
sebagai suatu proses yang independen terhadap antigen.
Perkembangan sel progenitor B dpengaruhi oleh sejumlah sitokin
regulator, seperti IL-1, IL-2, IL-4, IL-10, dan interferon gamma
(Gambar 8).9

Limfosit T berasal dari prekursor sel limfoid di dalam


sumsum tulang dalam pengaruh sejumlah sitokin, seperti IL-1, IL-2,
IL-19, dan selanjutnya bermigrasi ke timus untuk proses maturasi
lanjutan. Subkelompok dari limfosit bergranula besar, sel NK,
memiliki kesamaan sel progenitor dengan sel T di sumsum tulang. Sel
NK memiliki human leucocyte antigen (HLA)-nonrestricted
cyctotoxicity dan melepaskan sejumlah sitokin regulator, seperti IL-1,
IL-2, IL-4, dan interferon.9-11

Berikut adalah proses perkembangan sel limfosit dan monosit


yang diterangkan pada gambar 9.8-11

Gambar 9. Maturasi limfosit dan monosit.


(Khanna-Gupta A, Berliner N. Granulocytopoiesis and Monocytopoiesis. In:
Hoffman R, Benz EJ (eds). Hematology: Basic Principles and Practice. 7th Ed. New
York: Elsevier; 2018)

3.2.5. Trombopoiesis
Trombopoiesis mulai terjadi seiring dengan maturasi
colony forming unit-granulocyte, erythrocyte, monocyte,
magakaryocyte (CFU-GEMM). Menjadi bentuk colony-forming unti
dengan respon proliferasi yang tinggi terhadap sitokin (misalnya IL-1,
IL-3, dan IL-6), yang disebut juga sebagai agen proliferatif colony-
forming unit-megakaryocyte yang potensial. Tahapan selanjutnya
adalah pembetukan burst forming unit (BFU-MK) yang mampu
memproduksi sejumlah megakaryocytic colony-forming units (CFU-
Meg). Maturasi CFU-Meg akan menyababkan pembentukan
megakarioblas, megakariosit, dan pada akhirnya trombosit.
Megakariosit secara umum berada pada sekitar sinus. Pada lokasi ini,
sejumlah sitoplasmanya akan memasuki ruang sinusoid untuk
melepaskan trombosit.9

Gambar 10. Proses maturasi trombosit.


Naeim F, Rao N, Song SX, Phan RT. Atlas of Hematopathology. 2nd Ed. Los
Angeles : Elsevier;2018)
4. RINGKASAN
Sumsum tulang atau dalam bahasa latin dikenal dengan medulla ostium
merupakan suatu struktur kompleks. Struktur ini terdiri dari prekursor
hematopoietik dan kompleks lingkungan mikro yang mendukung pengaturan
sel stem hematopoietik dan mendukung diferensiasi serta maturasi dari
progenitornya. Seluruh sel hematopoetik yang terdiferensiasi, diantaranya
limfosit, eritrosit, granulosit, makrofag, dan trombosit diturunkan dari sel
stem hematopoetik. Selain itu, sumsum tulang belakang memiliki fungsi
retikuloendotelial yang terlibat dalam proses antigen, reaksi imun seluler,
sintesis antibodi, dan proses pengenalan dan pengeluaran sel yang abnormal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Travlos GS. Normal Structure, Function, and Histology of the Bone Marrow.
Toxicologic Pathology. 2006;34:548-9
2. Hall JE. Guyton and Hall : Tectbook of Medical Physiology. 11th Ed.
Philadeplhia : Elsevier; 2016.
3. Fliedner TM, Graessle D, Paulsen C, Reimers K. Structure and Function of
Bone Marrow Hemopoiesis: Mechanisms of Response to Ionizing Radiation
Exposure. Cancer Biotherapy & Radiopharmaceuticals. 2002;17(4):406-10
4. Moulopoulos LA, Koutoulidis V. Bone Marrow MRI: A Pattern-Based
Approach. Milan: Springer;2014.
5. Maryanovich M, Takeishi S, Frenette PS. Neural Regulation of Bone and
Bone Marrow. Cold Spring Harb Perspect Med. 2018;8(9):6-8
6. Beckman B, Silberstein P, Aldoss IT. Erythropoiesis. In: Enna SJ, Bylund DB
(eds.). xPharm : The Comprehensive Pharmacology Reference. New York :
Elsevier;2008. p.1-2
7. Glogauer M. Disorders of Phagocyte Function. In: Goldman L, Schafer AI
(eds.). Goldman’s Cecil Medicine. 24th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.
p.1111-2
8. Khanna-Gupta A, Berliner N. Granulocytopoiesis and Monocytopoiesis. In:
Hoffman R, Benz EJ (eds). Hematology: Basic Principles and Practice. 7th
Ed. New York: Elsevier; 2018. p.321-2
9. Naeim F, Rao N, Song SX, Phan RT. Atlas of Hematopathology. 2nd Ed. Los
Angeles : Elsevier;2018.
10. Clarke B. Normal Bone Anatomy and Physiology. Clin J Am Soc Nephrol.
2008;3:131-4
11. Hays K. Physiology of normal bone marrow. Semin Oncol Nurs. 1990; 6(1):
3-8.

Anda mungkin juga menyukai