S3 2017 357452 Introduction PDF
S3 2017 357452 Introduction PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut data di dunia jumlah penderita Leukemia (umur 0-74 tahun) di negara maju
adalah 9,1 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 4,8 per 100.000
penduduk. Di negara berkembang angka kematian penderita Leukemia adalah 4,5 per
100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 3,7 per 100.000 penduduk (Jemal, 2011).
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer WHO pada tahun 2008
insidensi leukemia di dunia adalah 5 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 3,6 per
Menurut statistik rumah sakit dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2007, leukemia (7,42%) menempati urutan kelima setelah kanker payudara (16,85%),
kanker leher rahim (11,78%), kanker hati dan saluran empedu intrahepatik (9,69%)
(Kementrian Kesehatan RI, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh RSCM,
leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada anak dengan umur
di bawah 15 tahun (30-40%) (Simanjorang et al., 2013). Menurut penelitian Supriyadi et al.
dalam Kaiser et al (2010) di RSUP Dr Sardjito, insiden rata-rata tahunan leukemia akut pada
anak kurang lebih 46,2 per juta per tahun. Insidensi pada tahun 2009 menjadi 70 per juta
per tahun. Pada bulan Januari 2000 hingga Desember 2009 di RSUP Dr Sardjito prosentase
Leukemia (LMA) sebanyak 13,9%. Menurut Roboz (2011), Acute Myeloblastic leukemia
(AML) atau Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) mayoritas baru terdiagnosis pada pasien
dengan usia lebih dari 60 tahun. Sekitar 70-80% pasien kurang dari 60 tahun sembuh tetapi
1
2
sebagian besar kambuh dan umumnya bertahan hanya sampai 40-50% selama 5 tahun.
Diantara pasien yang berusia >60 tahun 40-50% dengan status yang baik dapat sembuh
tetapi masih diobati < 10% dan bertahan < 1 tahun. Harapan hidup pasien lansia LMA ini
tidak berubah dalam tiga dekade ini dengan variasi sitogenetika dan atau status kesehatan
yang jelek. Selain pada usia tua, kasus LMA terdapat pada usia anak-anak, umumnya terjadi
pada anak kurang dari 15 tahun (Belson et al., 2007). Umumnya LMA pada anak
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LLA . Keberhasilan LLA dengan
kemoterapi yang cukup dapat mencapai >80%, sedangkan pada LMA masih kurang dari
separuhnya (Meshinchi & Arececi, 2007). Di Eropa keberhasilan terapi LMA mencapai
>65%, sedangkan berdasarkan hasil workshop Diagnosis & Managment of Childhood AML
onkologi anak di Indonesia masih di bawah 20% (Kaspers & Zwaan, 2007; Nurmalasari et
al., 2012). Data dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM ditemukan kasus leukemia
pada 93 anak selama Januari 2007 – Desember 2010. Kasus LMA mencapai 21,8% dari
seluruh keganasan pada anak atau menempati urutan kedua setelah leukemia limfoblastik
akut (Data Registrasi kanker IKA FKUI RSCM, 2011). Dari keseluruhan kasus leukemia,
78% diantaranya merupakan kasus leukemia akut dengan prevalensi usia di bawah 15 tahun.
Secara global angka harapan hidup pasien dengan leukemia akut 66,6% untuk LLA dan
23,8% untuk LMA, sedangkan di Indonesia, ditemukan bahwa angka harapan hidup untuk
5 tahun pasien dengan leukemia akut masih rendah yaitu 4,6% untuk LMA dan 28,9 untuk
kronik yang berkaitan dengan translokasi kromosom resiprok lengan panjang kromosom 22
(CML) atau LMK merupakan keganasan hematologi paling umum di Asia, walaupun
3
insiden dan umur rata-rata kemungkinan lebih rendah daripada yang diamati di Ameriksa
Serikat (Au, 2009). Menurut penelitian Reksodiputro et al. (2011) di RSUPN Cipto
Mangunksumo pada 20 pasien Leukemia Mielositik Kronik (LMK) yang memiliki BCR-
ABL positif berada pada usia antara 13-62 tahun. Insidensi LMK sebagian besar terjadi pada
dewasa, sedangkan pada anak-anak hanya 3% dari kasus leukemia anak (Patel et al., 2013).
secara cepat. Namun demikian sejumlah bagian tubuh yang normal, selain sel kanker juga
membelah secara cepat dan dirusak oleh kemoterapi (Ge et al., 2009).
banyak ditemukan antikanker yang selektif terhadap target sel kanker. Masalah lain dalam
kemoterapi adalah timbulnya resistensi sel kanker terhadap berbagai antikanker (Multidrug
Resistant/ MDR) yang membuat antikanker tersebut tidak sensitif (Tsuruo, 2003).
Multidrug resisten (MDR) menyebabkan kegagalan penanganan pasien kanker (Ge et al.,
2009). Selain itu pengobatan dengan kemoterapi membutuhkan biaya yang tidak sedikit
sehingga menjadi beban berat bagi penderita maupun keluarganya. Menurut penelitian
Safitri (2015) biaya kemoterapi kanker payudara di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
biaya tertinggi pada biaya obat. Menurut penelitian Fajar (2014) pada kanker payudara di
RSUP Dr Sardjito Yogyakarta rata-rata total biaya pasien per siklus kemoterapi sebesar Rp
5.670.996,92 ± 5.866.675,99. Komponen biaya obat dan barang medis memiliki persentase
terbesar terhadap rata-rata total biaya terapi (69,30%). Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) membiayai semua biaya perawatan penderita kanker Rp 4 juta – 15 juta per
4
pasien. Biaya kemoterapi BPJS biasanya menjamin biaya sekitar Rp 700.000 sampai Rp.5
juta per kemoterapi. Biaya paling murah adalah kemoterapi leukemia akut BPJS menjamin
sebesar Rp. 734.900 sementara tertinggi BPJS menjamin sebesar Rp. 5.490.300 untuk
kemoterapi kanker kulit. Tanggungan penuh kepada peserrta BPJS penderita kanker
aktivitas lebih spesifik dan sensitif. Beberapa strategi untuk menemukan obat antikanker
baru telah dilakukan diantaranya adalah mengisolasi senyawa aktif dari kandungan bahan
alam, mencari senyawa antimetabolit untuk menghambat pertumbuhan sel kanker yang
lebih spesifik dan sensitif dan mensintesis senyawa organik yang dikenal mempunyai
aktivitas antikanker. Salah satu senyawa aktif yang berasal dari alam adalah senyawa
flavonoid. Aktivitas farmakologi flavonoid telah diteliti secara intensif diantaranya adalah
kalkon.
tersebar luas dalam tanaman dapat menjadi agen antikanker yang menjanjikan. Kalkon
pertama kali diisolasi dari Glycyrrhizae inflata (licorice atau akar manis) (Yerra et al.,
2004). Kalkon mempunyai spektrum aktivitas farmakologi yang luas. Kalkon dilaporkan
mempunyai aktivitas antiparasit (Cheng, et al., 2000; Lunardi et al., 2003; Motta et al.,
2006; Lim et al., 2007; Awasthi et al., 2009; Begum et al., 2011), antimikroba (Yayli et al.,
2006; Lahtchev et al., 2008; Bhatia et al., 2009; Bag et al., 2009; Hamdi et al., 2011), anti
inflamasi (Yadav et al., 2011; Zhang et al., 2010) antikonvulsan (Kaushik et al., 2010),
antioksidan (Vogel et al., 2008; Vasil’ev et al., 2010; Sivakumar et al., 2011),
penghambatan enzim alfa amilase (Najafian et al., 2011), cyclo-oxygenase (COX) (Zarghi
et al., 2006) dan monoamine oxidase ( MAO) (Chimenti et al., 2009), dan antikanker
5
terhadap HCT116 colon carcinoma cells (Achanta et al., 2006), sel leukemia K562
(Romagnoli et al., 2008), sel kanker HepG2 hepatocellular carcinoma cells (Echeverria et
al., 2009), sel kanker prostat (Szliszka et al., 2009) dan terhadap sel kanker payudara
Kalkon yang stabil tidak dapat dipisahkan dari tanaman karena adanya enzim
chalcone sintetase (CSH) yang segera mengubah kalkon menjadi flavanon (Mandge et al.,
2007) sehingga sintesis merupakan alternatif utama untuk mendapatkan kalkon. Beberapa
bahan sebagai agen sintetik menunjukkan dapat menyebabkan apoptosis terhadap sel kanker
(Gordaliza et al., 2007; Wang et al., 2003; Sirion et al., 2012), Beberapa senyawa sintetik
turunan kalkon ditemukan lebih aktif daripada senyawa asalnya (Sirion, et al., 2012; Anand
et al., 2007).
Pada penelitian ini digunakan senyawa turunan kalkon (senyawa 1-7) yang telah
disintesis oleh Suwito (2015) di Lab Kimia Organik FMIPA UNAIR dan Laboratorium
Kimia organik FMIPA UGM. Senyawa yang baru disintesis ini belum pernah dilakukan
penelitian aktivitasnya terhadap sel kanker Leukemia HL-60 dan K562. Struktur kimia
tujuh senyawa turunan kalkon ini berbeda dengan senyawa turunan kalkon yang telah diteliti
Pada penelitian ini dipakai sel lini mieloid leukemia yaitu HL-60 (Acute
Promyelositic Leukemia atau Leukemia Mielositik Akut) dan K562 (Chronic Myelocytic
Leukemia atau Leukemia Mielositik Kronik/LMK). Penderita LMK pada usia muda
perkembangan penyakitnya akan lebih progresif (Fadjari, 2006). Sebagian besar LMK
terdiagnosis pada fase kronik, dimana sepertiga dari fase ini tidak menunjukkan gejala,
tetapi dalam jangka waktu tertentu dapat berubah ke fase selanjutnya yang lebih agresif.
Respon terapi pada fase yang lebih lanjut (fase akselerasi dan fase krisis blast) kurang
memuaskan sehingga tujuan utama dari pengobatan LMK ini adalah agar tidak berkembang
6
ke fase tersebut (Ross & Hughes, 1994). Sedangkan jenis leukemia mieloid yang kedua
adalah Leukemia Mielositik Akut atau Leukemia Promielositik Akut (AML-M3 atau APL)
yaitu suatu subtipe leukemia mielositik akut yang ditandai dengan translokasi resiprokal
kromosom 15 dan 17. Leukemia ini yang paling sering dihubungkan dengan perdarahan
yang mengancam jiwa (Falanga & Barbui, 2001). Pada leukemia Promielositik Akut
hampir 30% kematian dini diakibatkan oleh komplikasi perdarahan (Kwaan et al., 2002).
Komplikasi perdarahan mengakibatkan mortalitas 7-10% pada pasien leukemia akut yang
terjadi beberapa hari atau minggu pertama setelah diagnosis (Creutzig et al., 1987).
Sedangkan pada leukemia kronik, Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID) lebih sering
pada Leukemia Mielositik Kronik daripada Leukemia Limfositik Kronik (Jagasia &
Arrowsmith, 2004). Sehingga hal tersebut di atas salah satu menjadi alasan pengambilan
mempunyai struktur posisi metoksi yang berbeda, sehingga diujikan pengaruh struktur
posisi metoksi yang berbeda tersebut pada uji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel lini
leukemia HL-60 dan K562 untuk mendapatkan selektivitas senyawa turunan kalkon
tersebut terhadap sel leukemia HL-60 dan K562. Selanjutnya diperoleh senyawa turunan
kalkon terpilih yang paling potensial, yang kemudian dilakukan pengujian selanjutnya yaitu
Salah satu tahap penemuan dan pengembangan antikanker adalah identifikasi target
yang menjadi penyebab kanker. Menurut Hanahan & Weinberg terdapat sepuluh
genom yang tidak stabil dan mutasi; 9) penghambatan kematian sel; 10) deregulasi energetik
seluler (Hanahan & Weinberg, 2011). Beberapa target terapi antikanker yang menjadi
perhatian saat ini yaitu siklus sel dan kontrol checkpoint (Gibbs, 2000; Lapenna & Giordano,
2009) dan apoptosis (Ghobriel et al., 2005). Siklus sel merupakan kunci dalam kontrol
pertumbuhan dan proliferasi sel. Gangguan proses siklus sel akan menyebabkan
terhadap pembentukan sel kanker (Kastan & Bartek, 2004; Vitale-Cross, et al., 2004).
Berdasarkan hal tersebut siklus sel menjadi target bahan antikanker dalam menghentikan
proliferasi sel kanker yang tidak terkontrol dan menginisiasi sel kanker untuk melakukan
tidak diinginkan dan mempertahankan homeostasis jaringan sehat (Evan & Vousden, 2001).
Apoptosis dan gen yang mengontrolnya mempunyai efek yang besar pada fenotip
keganasan. Gangguan pada program apoptosis akan menyebabkan imortalitas sel (Lin et al.,
2003). Kegagalan menginduksi apoptosis berperan pada kejadian tumor dan resistensi
terhadap terapi kanker (Arceci, 1995) serta menjadi salah satu ciri sel kanker (Hanahan &
Weinberg, 2011). Kemampuan menginduksi apoptosis sel tumor merupakan sifat yang
penting (Frankfurt & Krishan, 2003) dan mekanisme aksi yang sangat diinginkan dari
berkelanjutan (menghambat siklus sel) dan pemacuan kematian sel secara apoptosis
terhadap sel lini leukemia HL-60 dan K562. Dalam penelitian ini dikaji mekanisme
penghambatan siklus sel melalui ekspresi protein siklus sel (Siklin D1) dan pemacuan
8
apoptosis melalui ekspresi protein kaspase 3, STAT3/ Signal Transducer & Activator of
kandidat antikanker senyawa turunan kalkon yang mempunyai potensi sebagai bahan
B. Rumusan Masalah
1. Apakah senyawa turunan kalkon mempunyai efek sitotoksik pada sel leukemia
2. Bagaimana selektivitas senyawa turunan kalkon terhadap sel leukemia HL-60 dan
K562 ?
HL 60 ( FLT3, Kaspase 3, STAT3, Siklin D1) dan K562 (AKT, Kaspase, STAT3,
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
kemampuan menghambat proliferasi sel kanker dan memacu apoptosis sel kanker
sehingga memberikan efek penyembuhan yang lebih baik bagi penderita leukemia.
9
2. Tujuan Khusus :
dan K562.
D. Manfaat Penelitian
dan pengembangan obat khususnya tentang antikanker yang berasal dari hasil sintesis
sumber obat antikanker dari senyawa turunan kalkon yang potensial dan spesifik pada
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan senyawa turunan kalkon telah banyak dilakukan
b. ‘3,4,5-trimetoksifenil-(5-p-
toliltiofen-2-il)-metanon
Pada penelitian ini dikaji aktivitas sitotoksik dan selektifitas senyawa turunan kalkon
(1-7) terhadap sel HL-60 dan K562. Senyawa yang terpilih dilanjutkan pengujian untuk
melihat aktivitas mekanisme molekuler terhadap penghambatan siklus sel (siklin D1) dan
pemacuan apoptosis (kaspase 3, STAT3, FLT3 untuk HL-60, AKT untuk K562). Pada
Gambar 1 adalah senyawa turunan kalkon yang digunakan berbeda dengan penelitian
senyawa kalkon sebelumnya yang terletak pada jumlah dan posisi gugus metoksi.
Senyawa 1: Senyawa 2 :
(E)-1-(4-aminofenil)-3-(2 metoksifenil) (E)-1-(4-aminofenil)-3-(3-metoksifenil)
prop-2-en-1-on prop-2-en-1-on
Senyawa 3 : Senyawa 4
(E)-1-(4-aminofenil)-3-(4 metoksifenil) (E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)
prop-2-en-1-on prop-2-en-1-on
Senyawa 5 : Senyawa 6
(E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,4-dimetoksifenil) (E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,5-dimetoksifenil)
prop-2-en-1-on prop-2-en-1-on
Senyawa 7 :
(E)-1-(4-aminofenil)-3-fenilprop-2-en-1-on