Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kualitas hidup adalah suatu istilah yang membatasi suatu keburukan

(Zega dan Siregar, 2013). Preedy dan Watson mendefinisikan kualitas hidup

sebagai kepuasan pribadi dalam berbagai aspek kehidupan (Fayers,

2007).Kualitas hidup lebih sering menekankan kepada komponen kebahagiaan

dan kepuasan dalam kehidupan.Tapi sebenarnya, tidak ada definisi tentang

kualitas hidup yang diterima secara universal atau secara umum (Zega dan

Siregar, 2013).

Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah faktor

lingkungan dan faktor pribadi, dimana faktor lingkungan meliputi lingkungan

makro dan lingkungan sekitar, sedangkan faktor pribadi meliputi faktor biologis

dan faktor psikologis.

Kanker payudara merupakan jenis tumor ganas yang dapat berasal dari

kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara (Sjamsuhidajat & de

Jong, 2005).

Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang jaringan

payudara, Kanker payudara merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh kaum

wanita, meskipun berdasarkan penemuan terakhir kaum pria pun bisa terkena

payudara ini, walaupun sangat jarang terjadi (Mangan, 2009). Jaringan payudara

terdiri dari kelenjar susu (kelenjar pembuat air susu), saluran kelenjar (saluran

air susu), dan jaringan penunjang payudara. Oleh Word Health Organization

1
2

(WHO) penyakit ini dimasukkan ke dalam International Classification of

Disease (ICD) dengan kode 174-175.Kanker payudara merupakan kanker yang

berasal dari kelenjar, saluran, dan jaringan penunjang payudara tetapi tidak

termasuk kulit payudara (Purwoastuti, 2008).

Pada tahun 2010, lebih dari 100.000 kanker invasit payudara-payudara

wanita didiagnosis di Amerika Serikat, dan sekitar 40.000 wanita meninggal

karena penyakit ini, merupakan penyebab kematian kedua setelah kamatian

karena kanker paru pada wania.Risiko selama hidup untuk menderita kanker

payudara iadalah 1 diatara 8 wanita di Amerika Serikat. Selama tiga decade

terakhir, mortalitas pada wanita dengan kanker payudara menurun dari 30%

menjadi 20% berkat upaya penapisan yang membaik dan terapi (Kumar, 2007).

Kanker payudara sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan

diberbagai negara baik dinegara maju maupun negara berkembang.Walaupun

angka mortalitas menurun pada beberapa negara, kanker payudara tetap berperan

sebagai penyebab kematian pada wanita umur 35-55 tahun.Kanker payudara

diperkirakan dijumpai 35.000 kasus baru tiap tahunnya (Baum M 2005).Di India

kanker payudara terus meningkat, dengan perkiraan jumlah kasus baru yang

terdiagnosa sejumlah 80.000 setiap tahunnya (Anderson SR dkk, 2003).Di

Malaysia kanker payudara menjadi penyebab kematian yang pertama pada

wanita. Angka kematian spesifik per 100.000 penduduk meningkat dari 3,7%

(1982) menjadi 5.8% (1990). Prevalensi kanker payudara di Malaysia 86,2 per

100.000 wanita pada tahun 1996, dan pada tahun 2002 kanker payudara

mencapai 30,4% dari seluruh kanker pada wanita (Norsa’adah dkk, 2005)
3

Sedangkan di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker dengan

insidens tertinggi kedua setelah kanker leher Rahim atau kanker Serviks dengan

insidens reletif sebesar 12,6% menurut data dari Pathology-Based Cancer

Registries, dengan ASCAR (Age Standarized Cancer Ratio) sebesar 17,46%

(Tjahjadi G 1996) dan diperkirakan di Indonesia akan di jumpai minimal 20.000

kasus baru tiap tahunnya dimana kira-kira 50% kasusberada pada kondisi

penyakit yang telah lanjut (Ramli M 1997, PERABOI 2003).

Di Indonesia, jumlah kanker yang datang mengunjungi Yayasan Kanker

Indonesia diRumah Sakit Dharmais Jakarta tercatat sebanyak 115 orang, namun

selama pertengahan tahun2011 dimana 100 orang telah terdiagnosa tumor jinak

fibroadenoma mammae dan 15 orang lainnya positif terdiagnosa kanker

payudara. MenurutMasalah utama dalam penanganan kanker adalah kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang kanker dan kesadaran masyarakat untuk

melakukan perilaku hidup yang sehat untuk mengurangi risiko kanker serta

melakukan deteksi dini kanker.Akibatnya sebagian besar kanker ditemukan pada

stadium lanjut dan sulit untuk ditanggulangi, sehingga memberikan beban yang

besar bagi pasien kanker dan keluarganya (Yayasan Kanker Indonesia, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Azri (2010) di Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan, terdapat 312 kasus kanker payudara termasuk

diantaranya berusia 13-25 tahun sebanyak 13 orang. Berdasarkan hasil penelitian

Fransiskus di Hope Clinik Medan, Terdapat 78 penderita kanker payudara

terdapat diantaranya berusia 15- 25 tahun sebanyak 6 orang.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi

tumor/kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk, dan kanker


4

merupakan penyebab kematian nomor 7 (5,7%). Menurut statistik rumah sakit

dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara

menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh Rumah Sakit di

Indonesia (16,85%).

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi

kanker payudara didaerah Lampung sekitar 0,3% (Kemenkes, 2013).

Berdasarkan data kesakitan dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung bulan

Februari tahun 2013,beberapa puskesmas ditemukan kasus kanker payudara

yang dirujuk ke RS Abdoel Moeloek.Diperoleh hasil bahwa Puskesmas Rawat

Inap Kedaton memiliki angka kasus kanker payudara tertinggi yaitu 16 kasus

lama dan 8 kasus baru pada rentang usia 20-69 tahun dibanding puskesmas lain

(Dinkes Kota Bandar Lampung, 2013).

Insiden kanker payudara diberbagai Negara meningkat 1-2% setiap

tahunnya. Kurva insidensi berdasarkan usia bergerak naik terus dari usia 30

tahun. Kanker payudara jarang ditemukan pada wanita dibawah usia 20 tahun.

Meskipun ada perbaikan diagnosis dan terapibagi penderita kanker payudara,

tetapi kematian karena penyakit ini terus meningkat (Narti & Budiyani,

2009).Intervensi yang dilakukan kepada penderita kanker payudara dapat

dilakukan dengan cara mengeliminasi kankernya yaitu dengan kemotrapi,

radiasi, dan operasi (mastektomi). Keputusan untuk memberikan terapi kepada

pasien tidak hanya mempertimbangkan data kekambuhan, survival, efek

toksisitas akut yang akan dialami pasien, namun juga mempertimbangkan

implikasinya terhadap kualitas hidup pasien (Ganz, et all., 2002).


5

Operasi pengangkatan payudara atau mastektomi meninggalkan kesan

bagian tubuh manjadi tidak sempurna dan meninggalkan kesan buruk,

sedangkan kemotrapi memiliki efek samping kemotrapi jangka pendek seperti

mual, muntah, lemas, rambut rontok, mudah mengalami infeksi, dan ada juga

pasien yang mengalami efek jangka panjang dari kemotrapi infertilitas,

osteoporosis, penurunan fungsi mental, gangguan konsentrasi dan memori

sampai depresi. Efek samping ini akan menghilang setelah selesai kemotrapi.

Semua efek samping tersebut dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien

(Cancer Reference Information, 2007).

Kemajuan terapi kanker payudara juga secara jelas menunjukkan

keunggulan terapi gabungan berbagai bidang mulai dari terapi bedah,

radioterapi, kemoterapi, hormonal dan lainnya (Ramli, 2015).Sebuah

metaanalisis dari 22 percobaan acak menegaskan bahwa PMRT(Posmastectomy

radiotherapy) dapat mengurangi kekambuhan lokoregional, kekambuhan secara

keseluruhan, dan mortalitas kanker payudara pada pasien dengan LNs positif

(Kim et al., 2017).

Terapi pembedahan merupakan terapi utama berdampingan dengan

terapi lainnya sebagai terapi penting dalam manajemen kanker payudara. Prinsip

dan target pada pembedahan kanker payudara adalah mengurangi penderitaan

pasien, memperbaiki fungsi organ pasien setelah operasi dan meningkatkan

kualitas hidup pasien. Modified radical mastectomy (MRM) telah menerapkan

prinsip ini.Terapi ini meminimalkan bagian yang dioperasi, mempercepat

pemulihan luka bekas operasi, menjaga bentuk rongga dada pasien, mencegah
6

disfungsi lengan atas dan kondusif untuk pemulihan fungsi motorik lengan atas

(Modern Cancer Hospital Guangzhou, 2012).

Walaupun dari penelitian didapatkan bahwa MRM secara keseluruhan

adalah terapi yang aman dan efektif, terapi ini tetap mempunyai efek

samping.Pasien dapat mengalami lymphedem pada salah satu lengannya dimulai

dari pergelangan tangan dan akhirnya mencapai bahu pada lengan yang terlibat,

yang membutuhkan lymphatic drainage (Jacob et al., 2016).

Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan pada kanker

secara sistemik yang sering dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium

lanjut, local maupun metastatis. Kemoterapi sangat penting dan dirasakan besar

manfaatnya karena bersifat sistemik mematikan/membunuh sel-sel kanker

dengan cara pemberian melalui infuse, dan sering menjadi pilihan metode efektif

dalam mengatasi kanker terutama kanker stadium lanjut local (Desen, 2008).

Teknik pemberian kemoterapi ditentukan dari jenis keganasan dan jenis obat

yang diperlukan (Adiwijono,2006).

Obat kemoterapi umumnya berupa kombinasi dari beberapa obat yang

diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah ditentukan .Selain

membunuh sel kanker, obat kemoterapi juga berefek pada sel-sel sehat yang

normal, terutama yang cepat membelah atau cepat tumbuh seperti rambut,

lapisan mukosa usus dan sumsum tulang. Beberapa efek samping yang terjadi

pada kemoterapi, gangguan mual dan muntah adalah efek samping frekuensi

terbesar (Yusuf, 2007).


7

Kanker berhubungan dengan penurunan kualitas hidup (Perwitasari,

2009).Perubahan kualitas hidup adalah dampak utama yang terlihat pada

penanganan kanker.Terdapat tiga domain kualitas hidup yang saling tumpang

tindih diantaranya fisik, psikologis dan sosial.Lymphedem terjadi pada

kebanyakan pasien kanker payudara yang nantinya akan memengaruhi kualitas

hidup. Morbiditas sekunder berasal dari domain fisik dan psikologis berupa

infeksi, perubahan warna kulit, nyeri dan lainnya (Ahmed et al., 2008).

Pengobatan kanker pada stadium lanjut sangat sulit dan hasilnya kurang

memuaskan (Manuba, 2008).Pada stadium lanjut pasien tidak hanya mengalami

berbagai masalah fisik, tetapi juga masalah psikologis, spiritual yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian Hendarnejad et al (2009)

mengenai kualitas hidup penderita pasca kemotrapi pada 200 pasien kanker

didapatkan 22 (11%) pasien kualitas hidupnya baik 132 (66%) kualitas hidupnya

sedang, dan 46 (23%) kualitas hidupnya buruk, oleh sebab itu kebutuhan pasien

bukan hanya pada pemenuhan pengobatan gejala fisik saja, namun juga

pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, social dan spiritual dengan

pendekatan interdisiplin (Menkes RI, 2007)

Seseorang yang telah divonis mengidap kanker payudara mengalami

perubahan dalam hidupnya.Menurut karyono, Dewi dan Lela (2008) menyatakan

bahwa penyakit kanker berhubungan dengan kualitas hidup yang terdiri dari

beberapa dimensi yaitu kesejahteraan fisik, psikologis, fungsional dan

social.Penderita kanker payudara umumnya mengalami gejala kecemasan dan

depresi yang mengganggu fisik, kualitas kesehatan dan kualitas seksualnya

(kayser, Fieldman et al., 2010).


8

Data dari RSUP Dr. Sardjito jumlah penderita baru kanker payudara

tahun 2008 sebanyak 363 penderita.Menurut beberapa dokter di instalasi Kanker

Tulip Terpadu menyatakan bahwa penilaian kualitas hidup bagi penderita kanker

penting untuk menevaluasi kualitas hidup penderita dan mengevaluasi hasil

pengobatan. Di kabupaten Rejang Lebong berdasarkan survey di Rumah Sakit

Umum Daerah Curup dilaporkan bahwa tahun 2007 terdapat 32 kasus tumor

payudara, 6 kasus (18,75%) terjadi pada usia 15-24 tahun, 19 kasus (59,37%)

terjadi pada usia 25-44 tahun, dan 7 kasus (21,87%) terjadi pada usia 45-59

tahun, 3 orang diantaranya meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 sampai

dengan bulan Desember, terdapat 8 kasus tumor payudara dimana 3 kasus

(37,5%) diantaranya terjadi pada usia 15-24 tahun, 2 kasus (25%) terjadi pada

usia 25-44 tahun dan 3 kasus (37,5%) terjadi pada usia 45-59 tahun dan empat

orang diantaranya meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 sampai dengan bulan

Desember, terdapat 8 kasus tumor payudara dimana 3 kasus (37,5%) diantaranya

terjadi pada usia 15-44 tahun, 2 kasus (25%) terjadi pada usia 15-44 tahun, 2

kasus (25%) terjadi pada usia 25-44 tahun dan 3 kasus (37,5%) terjadi pada usia

45-59 tahun, dan empat orang diantaranya meninggal karena kanker payudara

(RSUD Curup, 2012). Tingginya angka prevalensi kanker payudara pada wanita

berusia reproduksi atau belum mengalami menopause dibandingkan dengan

wanita yang telah menopause juga berpengaruh terhadap kualitas hidup dan

pengalaman spiritual yang dialami oleh penderita.

Tujuan penelitian untuk mengetahui Angka Harapan Hidup pasien

Kanker Payudara pasca mastektomi dan kemotrapi di RSUD Hj. Abdul Moelok

Bandar Lampung tahun 2018.


9

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti membuat

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas hidup pada pasien kanker payudara yang

telah dilakukan mastektomi dan kemotrapi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kualitas hidup pasien kanker payudara yang telah

dilakukan mastektomi dan kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik data

demografi pada pasien kanker payudara yang telah dilakukan operasi

mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar

Lampung tahun 2018

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Kualitas Hidup pasien Kanker

payudara yang telah dilakukan operasi mastektomi dan kemoterapi di

RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2018.

3. Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi Kualitas hidup

pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan

kemotrapi berdasarkan kuisioner EORTC QLQ-C 30.


10

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, yaitu :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan

wawasan pengetahuan terkait dengan kesehatan masyarakat khususnya

mengenai angka harapan hidup pasien kanker payudarayang telah dilakukan

mastektomi dan kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok tahun 2018.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

1. Bagi Peneliti :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan dalam penelitian tentang kualitas hidup pasien kanker

payudara yan telah dilakukan mastektomi dan kemotrapi di RSUD Dr.H

Abdul Moelok tahun 2018

2. Bagi Masyarakat :

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kualitas

hidup pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan

kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok tahun 2018.

3. Bagi Institusi Pendidikan :

Sebagai bahan referensi dan kepustakaan khususnya bagi

mahasiswa/i Kedokteran Universitas Malahayati tentang kualitas harapan

hidup pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan

kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok tahun 2018


11

4. Bagi Peneliti Selanjutnya :

Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dilanjutkan untuk

bahan penelitian selanjutnya yang sejenis atau penelitian lain yang

memakai penelitian ini sebagai bahan acuannya.

5. Bagi Institusi Kesehatan :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber bacaan dan

sebagai informasi bagi institusi kesehatan.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di poli Bedah RSUD Dr.H Abdul

Moelok Bandar Lampung.

1.5.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian akan dilakukan di RSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar

Lampung pada bulan November 2018.

1.5.3 Ruang Lingkup Subjek

Subjek penelitian ini adalah semua pasien kanker payudara yang telah

dilakukan operasi mastektomi dan kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok

Bandar Lampung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kualitas Hidup

2.1.1 Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah suatu istilah yang membatasi suatu keburukan

(Zega dan Siregar, 2013).Preedy dan Watson mendefinisikan kualitas hidup

sebagai kepuasan dalam berbagai aspek kehidupan (Fayers, 2007). Kualitas

hidup memang lebih sering menekankan kepada komponen kebahagiaan dan

kepuasan dalam kehidupan. Tapi sebenarnya, tidak ada definisi tentang kualitas

hidup yang diterima secara universal (Zega dan Siregar, 2013).

Kualitas hidup (QOL) adalah sebuah konsep multidimensi yang luas

biasanya meliputi evaluasi subjektif dari kedua aspek positif dan negatif

kehidupan (Prastiwi, 2012). Kualitas hidup memiliki makna yang berbeda untuk

setiap orang dan setiap disiplin akademik, individu dan kelompok (Division of

Population Health of National Center for Chronic Disease Prevention and Health

Promotion, 2016).

Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)

kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap posisinya

dan berhubungan dengan tujuan, harapan, standar dan minat. Definisi ini

merupakan konsep yang sangat luas, menggabungkan kesehatan fisik seseorang,

status psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, kepercayaan personal,

dan hubungannya dengan lingkungan (Division of Population Health of National

Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2016).

12
13

Pendapat lainnya menyebutkan bahwa kualitas hidup adalah tingkat

dimana seseorang menikmati hal-hal penting yang mungkin terjadi dalam

hidupnya, masing-masing orang memiliki kesempatan dan keterbatasan dalam

hidupnya yang merefleksikan interaksinya dan lingkungan, sedangkan

kenikmatan itu sendiri terdiri dari dua komponen yaitupengalaman dari

kepuasan dan kepemilikan atau prestasi.

2.1.2 Dimensi Kualitas Hidup

Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL),

terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi:

1. Dimensi kesehatan fisik

Mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan terhadap obat-

obatan, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan,

tidur dan istirahat serta kapasitas kerja.

2. Dimensi kesejahteraan psikologis

Mencakup bodily image appearance, perasaan negatif,

perasaanpositif,selfesteem, spiritual/agama/keyakinan pribadi,

berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

3. Dimensi hubungan sosial

Mencakup relasi personal, dukungan sosial, dan aktivitas seksual

4. Dimensi dengan lingkungan

Mencakup sumber finansial, kebebasan, keamanan dan keselamatan

fisik, perawatan kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan

kualitas, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru

maupun keterampilan, partisipasi dan mendapat kesempatan untuk


14

melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu

luang.

2.1.3 Domain Kualitas Hidup

Menurut European Organization for Research and Treatment of Cancer

Quality of Life Questionnaire-C30 (EORTC-C30) terdapat tujuh domain

kualitas hidup meliputi :

1. Fungsi fisik, mencakup kegiatan berat, berjalan kaki dalam jarak

jauh, berjalan kaki dalam jarak dekat, berbaring di tempat

tidur/duduk di kursi, memerlukan bantuan orang lain saat makan,

berpakaian dan buang air.

2. Fungsi peran, mencakup keterbatasan saat bekerja dan keterbatasan

saat melakukan kegiatan santai atau hobi.

3. Fungsi emosi, mencakup perasaan tegang, perasaan khawatir,

tersinggung dan depresi.

4. Fungsi kognitif, mencakup konsentrasi dan memori.

5. Fungsi sosial, mencakup kehidupan keluarga dan kehidupan sosial.

6. Kondisi kesehatan secara keseluruhan

7. Domain gejala, mencakup kelelahan, kurangnya istirahat, badan

lemah, lelah, mual, muntah, nyeri, sesak nafas, sulit tidur, kehilangan

nafsu makan, konstipasi, diare dan kesulitan keuangan.


15

2.1.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup

Menurut Brown, faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

seseorang adalah:

1. Faktor Lingkungan, terdiri dari:

1. Lingkungan makro : Lingkungan ini meliputi lingkungan

biospheric, ekonomi, sosial, budaya, politik dan kebangsaan.

2. Lingkungan sekitar : Lingkungan ini meliputi lingkungan

keluarga, tetangga, pekerjaan, sekolah, dan sosial.

2. Faktor pribadi, terdiri dari:

1. Faktor biologis, meliputi keadaan tubuh, struktur otak, dan

tingkah laku.

2. Faktor psikologis, meliputi kebiasaan, kognitif, emosi,

persepsi, dan pengalaman yang merupakan karakterisitik

individu untuk menyesuaikan diri dengan dunianya (Hanafi,

2010).

2.2 Kanker Payudara

2.2.1 Definisi Kanker Payudara

Kanker adalah istilah lain dari tumor ganas(neoplasma ganas). Istilah

kanker berasal dari bahasa Latin yang artinya kepiting karena kanker sering

mempunyai bentuk yang tidak beraturan dan menyerupaihewan tersebut. Istilah

kanker khususnya mengacu kepada pertumbuhan sel baru yang mempunyai

kemampuan untuk menginvasi jaringan sekitarnya, bermetastasis (menyebar ke

organ lain) dan bahkan menyebabkan kematian jika tidak ditangani (Johns

Hopkins University, 2016).


16

Kanker payudara (KPD) merupakan keganasan pada jaringan payudara

yang dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya dan kemudian

menyebar ke jaringan lemak yang ada di payudara (Purwanti, 2008).Kebanyakan

tipe dari kanker payudara bermanifestasi klinis berupa benjolan di payudara

tetapi tidak semua tipe kanker payudara bermanifestasi demikian. Ini penting

untuk dipahami bahwa kebanyakan benjolan di payudara bukanlah kanker tetapi

tumor jinak.Tumor jinak payudara merupakan suatu pertumbuhan abnormal

yang tidak menyebar ke area sekitarnya dan tidak mengancam kehidupan, tetapi

ada beberapa yang beresiko menjadi ganas (American Cancer Society, 2017).

2.2.2 Etiologi Kanker Payudara

Etiologi kanker payudara masih belum jelas, tetapi data menunjukkan

terdapat kaitan erat dengan faktor berikut:

1. Riwayat keluarga dan gen terkait kanker payudara: Penelitian dilakukan

pada wanita dengan saudara primer menderita kanker payudara, probabilitas

terkena kanker payudara lebih tinggi 2-3 kali dibanding wanita tanpa riwayat

keluarga. Penelitian dewasa ini menunjukkan gen utama yang terkait dengan

timbulnya kanker payudara adalah BRCA-1 dan BRCA-2.

2. Reproduksi: Usia menarke, masa henti haid dan siklus haid merupakan

faktor risiko kanker payudara. Selain itu, wanita yang tidak menikah, partus

pertama berusia lebih dari 30 tahun dan setelah partus belum menyusui,

berinsiden relatif tinggi.

3. Kelainan kelenjer payudara: Penderita kistadenoma mamae hiperplastik

berat berinsiden lebih tinggi. Jika satu payudara sudah terkena kanker,

payudara kontralateral risikonya meningkat.


17

4. Penggunaan obat di masa lalu: Penggunaan jangka panjang hormon

insidennya lebih tinggi. Terdapat laporan penggunaan jangka panjang

reserpin, metildopa, analgesik trisiklik dll. dapat menyebabkan kadar

prolaktin meninggi, berisiko karsinogenik bagi payudara.

5. Radiasi pengion: Kelenjer payudara relatif peka terhadap radiasi pengion,

paparan berlebih menyebabkan peluang kanker lebih tinggi.

6. Diet dan gizi: Berbagai studi kasus-kelola menunjukkan diet tinggi lemak

dan kalori berkaitan langsung dengan timbulnya kanker payudara. Terdapat

laporan, bahwa minum bir dapat meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh,

wanita yang setiap hari minum bir lebih dari 3 gelas berisiko peningkatan

kanker payudara sebesar 50-70%. Penelitian lain menunjukkan diet tinggi

selulosa, vitamin A, dan protein kedelai dapat menurunkan insiden kanker

payudara (Desen, 2013).

2.2.3 Patogenesis Kanker Payudara

1. Ekspresi Gen pada Kanker Payudara

Terdapat 2 jenis reseptor estrogen yaitu alfa (α) dan beta (β) (masing

masing Erα dan Erβ). Erα terdapat di payudara, ovarium dan endometrium,

sedangkan Erβ terdapat di ginjal, otak, paru-paru dan beberapa organ tubuh

lainnya. Peran Erβ pada karsinogenesis masih kontroversial sedangkan,

kontribusi yang jelas dari protein Erα telah dibuktikan.

Kedua subtipe ER membawa domain untuk pengikatan DNA dan berada

di nukleus dan sitosol. Ketika estrogen memasuki sel, ia mengikat ER dan

kompleks tersebut bermigrasi ke dalam nukleus dan memicu terjadinya

transkripsi protein yang merangsang perubahan dalam sel. Oleh karena sifat
18

proliferasi reseptor estrogen, maka stimulasi selularnya dapat menyebabkan

konsekuensi negatif terdapatnya sejumlah besar reseptor intraseluler.

2. Peran Estrogen pada Pertumbuhan dan Perkembangan Kanker

Payudara

Dua hipotesis utama yang mencoba menjelaskan efek

tumorigenik estrogen:

1. Efek genotoksik metabolit estrogen melalui terbentuknya radikal

(inisiator).

2. Sifat hormonal estrogen merangsang proliferasi sel kanker serta sel

premalignan (promotor).

3. Peran Human Epidermal Growth Factor Receptor 2(HER2)

HER2 termasuk ke dalam Epidermal Growth Factor Receptor

(EGFR) yang merupakan kelompok protoonkogen dan saat ini tidak

memiliki ligan.Namun, protein tersebut telah terbukti membentuk cluster

di antara membran sel pada keganasan tumor payudara.Mekanisme

karsinogenesisnya sebagian besar masih belum diketahui, namun

peningkatan berlebihan pertumbuhan tumor, peningkatan kelangsungan

hidup, peningkatan risiko kekambuhan setelah operasi, dan respon yang

buruk terhadap agen kemoterapi konvensional (Wong, Marisa dan

Chaudhry, 2016).

2.2.4 Gambaran Klinis Kanker Payudara

1. gejala yang paling sering terjadi

a. Adanya massa (keras, irreguler dan tidak nyeri tekan) atau penebalan

pada payudara, atau daerah aksila.


19

b. Adanya cairan dari puting payudara unilateral, persisten, dan spontan

yang mempunyai karakter serosanguinosa, mengandung darah atau

encer.

c. Retraksi atau inversi puting susu.

d. Perubahan ukuran, bentuk atau tekstur payudara (asimetris).

e. Pengerutan atau pelekukan kulit di sekitarnya.

f. Kulit yang bersisik di sekeliling puting susu.

2. Gejala penyebaran lokal atau regional

a. Kemerahan, ulserasi, edema atau pelebaran vena.

b. Perubahan peau d’orange (seperti kulit jeruk).

c. Pembesaran kelenjar getah bening aksila.

3. Gejala Metastatis

a. Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula dan servikal.

b. Toraks abnormal dengan atau tanpa efusi pleura (Purwanti, 2008).

2.2.5 Diagnosa Kanker Payudara

1. Anamnesa

1. Keluhan Utama

1). Benjolan di payudara

2). Kecepatan tumbuh dengan/tanpa rasa sakit

3). Nipple discharge, retraksi puting susu, dan krusta

4). Kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi

5). Benjolan ketiak dan edema lengan


20

2. Keluhan Tambahan

1). Nyeri tulang (tulang belakang, tulang paha)

2). Sesak dan lain sebagainya.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status lokalis, regionalis, dan

sistemik.Biasanya pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai status generalis

(tanda vitalpemeriksaan menyeluruh tubuh) untuk mencari kemungkinan adanya

metastasis dan atau kelainan medis sekunder.Selanjutnya dilakukan pemeriksaan

untuk menilai status lokalis dan regionalis.Pemeriksaan ini dilakukan secara

sistematis, inspeksi dan palpasi. Status lokalis:

1. Payudara kanan atau kiri atau bilateral

2. Massa tumor: lokasi, konsistensi, permukaan, bentuk, mobilisasi,

dan ukuran.

3. Perubahan kulit: kemerahan, dimpling, edema/nodul satelit, peau de

orange, ulserasi.

4. Perubahan puting susu/nipple: tertarik, erosi, crusta, discharge.

5. Status kelenjar getah bening (Kgb):

a) Kelenjar getah bening aksila: Jumlah, ukuran, konsistensi,

terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitar.

b) Kelenjar getah bening infraklavikula: Jumlah, ukuran,

konsistensi, terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitar.

c) Kelenjar getah bening supraklavikula: Jumlah, ukuran,

konsistensi, terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitar.

6. Pemeriksaan pada daerah metastasis


21

a) Lokasi : tulang, hati, paru, otak.

b) Bentuk.

c) Keluhan (Purwanti, 2008).

3. Pemeriksaan Penunjang

1) Mamografi, Kelebihan mamografi adalah dapat menampilkan nodul yang

sulit dipalpasi atau terpalpasi atipikal menjadi gambar, dapat menemukan

lesi mamae yang tanpa nodul namun terdapat bercak mikrokalsifikasi, dapat

digunakan untuk analisis diagnostik dan rujukan tindak lanjut. Ketepatan

diagnosis sekitar 80%.

2) USG. Transducer frekuensi tinggi dan pemeriksaan dopler tidak hanya dapat

membedakan dengan sangat baik tumor kistik atau padat, tapi juga dapat

mengetahui pasokan darahnya serta kondisi jaringan sekitarnya, menjadi

dasar diagnosis yang sangat baik.

3) MRI mamae. Karena tumor mamae mengandung densitas mikrovaskular

(MVD= microvascular density) abnormal, MRI mamae dengan kontras

memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma

mamae stadium dini. Tapi pemeriksaan ini cukup mahal, sulit digunakan

secara luas sehingga hanya menjadi suatu pilihan dalam diagnosis banding

terhadap mikrotumor.

4) Pemeriksaan laboratorium. Dewasa ini belum ada penanda tumor spesifik

untuk kanker mamae. CEA memiliki nilai postif 20-70%, antibodi

monoklonal CA15-3 nilai positif 33-60%, semuanya dapat untuk dijadikan

referensi diagnosis dan tindak lanjut klinis.


22

5) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus. Metode ini sederhana, aman,

akurasi mencapai lebih dari 90%. Data menunjukkan pungsi aspirasi jarum

tidak memengaruhi hasil terapi.

6) Pemeriksaan histologik pungsi jarum mandrin. Pemeriksaan ini memiliki

kelebihan karena lebih sederhana dan aman. Pemeriksaan ini luas dipakai di

klinis, khususnya sesuai bagi pasien yang diberi kemoterapi neoadjuvan.

7) Pemeriksaan biopsi. Biopsi dapat dilakukan biopsi eksisi atau insisi, tapi

umumnya dengan biopsi eksisi (Desen, 2013).

2.2.6 Tatalaksana Kanker Payudara

Tatalaksana kanker payudara berdasarkan Komite Penanggulangan

Kanker Nasional (Purwanti, 2008)adalah sebagai berikut.

1. Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0M0)

Terapi definitif pada T0 bergantung pada pemeriksaan histopatologi.

Lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan radiologi.

2. Kanker payudara stadium dini/operabel (stadium I dan II)

I. Dilakukan tindakan operasi: Breast Conserving Therapy (BCT) (harus

memenuhi persyaratan tertentu). Indikasi BCT

a) Tumor tidak lebih dari 3 cm

b) Atas permintaan pasien

c) Memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak multipel dan/atau mikrokalsifikasi luas dan/atau terletak

sentral.
23

b. Ukuran T dan payudara seimbang untuk tindakan kosmetik. c.

Bukan Ductal Carcinoma In Situ(DCIS) atau Lobular Carcinoma

In Situ(LCIS).

i. Belum pernah diradiasi dibagian dada.

ii. Tidak ada Systemic Lupus Erythematosus(SLE) atau

skleroderma.

iii. Memiliki alat radiasi yang adekuat

II. Terapi adjuvan operasi

a) Kemoterapi adjuvan bila :

1. Grade III

2. TNBC

3. Ki 67 bertambah kuat

4. Usia muda

5. Emboli lymphatic dan vascular

6. KGB > 3

b) Radiasi bila :

1. Setelah tindakan operasi terbatas (BCT)

2. Tepi sayatan dekat/tidak bebas tumor

3. Tumor sentral/medial

4. KGB(+)>3 atau dengan ekstensi ekstrakapsuler

5. Radiasi eksterna diberikan dengan dosis awal 50 Gy.

Kemudian diberi booster; pada tumor bed 10-20 Gy dan kelenjar

10 Gy.

I. Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut)


24

a) Operable(III A)

1. Mastektomi simpel + radiasi dengan kemoterapi adjuvan

dengan/tanpa hormonal, dengan/tanpa terapi target

2. Mastektomi radikal modifikasi + radiasi dengan kemoterapi

adjuvan, dengan/tanpa hormonal, dengan/tanpa terapi target

3. Kemoradiasi preoperasi dilanjutkan dengan atau tanpa BCT

atau mastektomi simple, dengan/tanpa hormonal,

dengan/tanpa terapi target.

b) Inoperable(III B)

1. Radiasi preoperasi dengan/tanpa operasi + kemoterapi + terapi

hormonal.

2. Kemoterapi preoperasi/neoadjuvan dengan/tanpa operasi +

kemoterapi + radiasi + terapi hormonal + dengan/tanpa terapi target.

3. Kemoradiasi preoperasi/neoadjuvan dengan/tanpa operasi

dengan/tanpa radiasi adjuvan dengan/kemoterapi + dengan/tanpa

terapi target.

Radiasi eksterna pasca mastektomi diberikan dengan dosis awal 50

Gy.Kemudian diberi booster; pada tumor bed 10-20 Gy dan kelenjar

10 Gy.

4. Kanker payudara stadium lanjut Prinsip:

c) Sifat terapi paliatif

d) Terapi sistemik merupakan terapi primer (kemoterapi dan terapi

hormonal).

e) Terapi lokoregional (radiasi dan bedah) apabila diperlukan.


25

f) Hospice home care.

2.3 Modified radical mastectomy

Mastektomi adalah salah satu cara mengobati kanker payudara dengan

mengangkat seluruh payudara melalui operasi. Terapi ini sering dilakukan pada

pasien yang tidak dapat diobati dengan Breast Conserving Surgery

(lumpectomy) (American Cancer Society, 2016).

Mastektomi radikal pada tahun 1890 oleh Halsted pertama kali dirancang

dan dipopulerkan menjadi operasi radikal kanker mamae, lingkup reseksinya

mencakup kulit berjarak minimal 3 cm dari tumor, seluruh kelenjer mamae,

m.pektoralis mayor, m.pektoralis minor, jaringan limfatik dan lemak

subskapular, aksilar secara kontinu enblok direseksi (Gulli dan Mallory, 2017).

Beberapa ahli bedah memikirkan suatu kompromi antara mastektomi

radikal dan mastektomi simpleks. Lahirlah apa yang dinamakan mastektomi

radikal yang dimodifikasi, di mana muskulus pektoralis mayor dipertahankan,

sedangkan muskulus pektoralis minor dibuang, sedangkan kelenjar getah bening

aksida didiseksi keseluruhannya, metode ini menurut patey, sedangkan menurut

Auchincloss ada juga yang mempertahankan kedua muskulus pektoralis yaitu

mayor dan minor sedangkan kelenjar getah bening aksila tetap didiseksi

seluruhnya. Prosedur ini merupakan standar prosedur di Amerika Serikat sejak

tahun 1970.Selain hasil “survival”yang cukup tinggi (80-85%) metode ini

mempermudah mempermudah rekonstruksi kosmetik (Ramli et all, 2002)

Modified radical mastectomy memiliki 2 metode yaitu model yang

pertama tetap mempertahankan m. pectoralis major, mereseksi m. pectoralis

minor (model Patey) dapat menjaga bentuk dan fungsi rongga dada dan
26

mempermudah rekonstruksi payudara sedangkan model yang kedua

mempertahankan m. pectoralis mayor dan minor (model Auchincloss) dengan

kerusakan saraf yang lebih minimal daripada model Patey. Dewasa ini,modified

radical mastectomy disebut sebagai mastektomi radikal standar, luas digunakan

secara klinis (Desen, 2013).

Indikasi terapi modified radical mastectomy adalah ukuran tumor > 5

cm, tumor multisenter, masih ada sisa tumor setelah lumpektomi dan tumor

yang sulit dibedakan. Tiga struktur organ yang harus dipertahankan pada terapi

ini adalah axillary vein, long thoracic nerve dan cephalic vein (Harahap, 2015).

Setelah operasi kanker payudara, perempuan harus menjalani kontrol

rutin untuk mendeteksi dini kekambuhan kanker.Setelah perawatan juga

disarankan untuk psikoterapi karena mastektomi dapat menimbulkan trauma

emosional. Trauma ini menimbulkan rasa khawatir tentang penampilan,

hubungan dengan pasangan seksual, dan keterbatasan fisik pada beberapa

perempuan yang mengalaminya (Gulli dan Mallory, 2017).


27

2.4 kemotrapi

2.4.1 Definisi Kemotrapi

Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi

sel kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang diinfuskan ke pembuluh

darah. Jadi, obat kemoterapi menyebar ke seluruh jaringan tubuh, dapat membasmi sel-

sel kanker yang sudah menyebar luas di seluruh tubuh.Karena penyebaran obat

kemoterapi luas, maka daya bunuhnya luas, efek sampingnya biasanya lebih berat

dibandingkan dua modalitas pengobatan terdahulu.

Obat kemoterapi secara umum disebut sitostatika, berefek menghambat atau

membunuh semua sel yang sedang aktif membelah diri.Jadi, sel normal yang aktif

membelah atau berkembang biak juga terkena dampaknya, seperti sel akar rambut, sel

darah, sel selaput lendir mulut,dll.Sel tubuh tersebut adalah yang paling parah terkena

efek samping kemoterapi, sehingga dapat timbul kebotakan, kurang darah, sariawan,

dll.Oleh karena itu, pemberian obat sitostatik (berupa obat medis ataupun obat herbal)

harus dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman untuk mencegah timbulnya efek

samping yang serius, dan bila terjadi efek samping dapat segera diatasi/diobati.

Agar sel tubuh normal mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya,

maka pemberian kemoterapi biasanya harus diberi jedah (selang waktu) 2-3 minggu

sebelum dimulai lagi pemberian kemoterapi berikutnya (Hendry,dkk 2007).


28

2.4.2 Cara Pemberian Kemotrapi

a. Intravena

Pemberian Intravena untuk terapi sistemik, dimana obat setelah melalui jantung

dan hati baru sampai ke tumor primer.Cara intavena ini yang paling banyak

digunakan untuk kemotrapi.Dalam pemberian intravena usahakan jangan ada

ekstravasasi obat.

b. Intra Arteri

Pemberian Intra arteri adalah terapi regional melalui arteri yang memasok darah

ke daerah tumor dengan cara INFUSI INTRA ARTERI menggunakan catheter

dan pompa arteri. Infuse intra arteri itu untuk memberikan obat selama beberapa

jam atau hari. Setelah melalui tumor obat keluar melalui vena ke sirkulasi

umum.

c. Perfusi Regional

Perfusi regional adalah cara untuk memberikan obat dengan dosis tinggi

langsung kedaerah tumor tanpa menimbulkan toksisitas pada sirkulasi umum

dengan cara sirkulasi ekstra corporal menggunakan mesin jantung-paru.

d. Intra Tumoral

Obat langsung disuntikan ke dalam tumor. Cara ini tidak dianjurkan karena

dapat melepaskan sel kanker dari tumor induknya dan ada cara lain yang lebih

efektif, yaitu operasi (eksisi, debulking, elektrokoagulasi), atau radioterapi.

e. Intracavitair

Obat disuntikkan atau diinstalisasi ke dalam rongga tubuh, seperti intra: pleura,

peritoneum, pericardial, vesikal atau tekal.


29

f. Topikal

Pemberian salep Fluorouracil pada kanker kulit (Sukardja, 2000)

2.4.3 Prinsip Kerja

Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan meracuni

atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan

menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar, atau untuk mengurangi

gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker.Kemoterapi kadang-kadang

merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker. Kemoterapi bersifat

sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat,

karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin suddah

menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap pasien, kadang-

kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau

setelah operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbedabeda

tergantung jenis kankernya.(Iskandar,2007)

Dua atau lebih obat sering digunakan sebagai suatu kombinasi. Alasan

dilakukannya terapi kombinasi adalah untuk menggunakan obat yang bekerja

pada bagian yang berbeda dari proses metabolisme sel, sehingga akan

meningkatkan kemungkinan dihancurkannya jumlah sel-sel kanker. Selain itu,

efek samping yang berbahaya dari kemoterapi dapat dikurangi jika obat dengan

efek beracun yang berbeda digabungkan, masing-masing dalam dosis yang lebih

rendah dari pada dosis yang diperlukan jika obat itu digunakan tersendiri.
30

Obat-obat dengan sifat yang berbeda digabungkan, misalnya obat yang

membunuh sel-sel tumor dikombinasikan dengan obat yang merangsang system

kekebalan terhadap kanker.(Iskandar, 2007). Antikanker merupakan obat yang

indeks terapinya sempit.Pada umumnya anti kanker menekan pertumbuhan atau

proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel

normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel germinativum,

mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit (Nafrialdi dan

Sulistia, 2007).

Kerusakan pada membran mukosa menyebabkan nyeri pada mulut, diare

dan stimulasi zona pemicu kemotaksis yang menimbulkan mual dan

muntah.Semua kemoterapi bersifat teratogenik.Beberapa obat menyebabkan

toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal (cisplatin) dan saraf

(vinkristin).Perawatan 13 suportif dengan antagonis 5-HT3, 5 Hidroksitriptamin

(serotonin) dan steroid lebih mengatasi rasa mual (Davey, 2006).

Penyakit sistemik banyak yang disertai mual dan muntah. Pada penderita

kanker, mual dan muntah merupakan keluhan yang sering dijumpai, baik itu

disebabkan oleh pemberian kemoterapi, radioterapi, maupun akibat perluasan

dari kankernya

2.4.4 Mual dan Muntah

Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot

perut yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong untuk keluar

melalui mulut baik dengan maupun tanpa disertai mual terlebih dahulu.Mual dan

muntah sering muncul bersama dalam berbagai kondisi, termasuk menjadi efek
31

samping yang umum terjadi pada penggunaan obat anti neoplastik.Mual dan

muntah yang terjadi setelah dilakukan kemoterapi dikenal sebagai

Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV). (Pazdur,2003)

Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi terapi

pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi serta

menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker.Selain itu mual muntah yang

tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan

elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi. Muntah yang bekepanjangan

dapat menyebabkan esophageal, kerusakan gastric dan pendarahan

(Pazdur,2003).

Demikian pula pada penderita kanker dapat disertai mual dan muntah

yang pada umumnya disebabkan efek samping dari pengobatan yang diberikan,

seperti pemberian sitostatika, analgetika opiate dan radiasi.Mual dan muntah

yang terjadi pada penderita yang mendapt sitostatika umumnya terjadi 1-2 jam

setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung selama 24 jam.

Keadaan ini disebut reaksi akut, namun demikian dapat juga terjadi

reaksi lambat, yaitu mual dan muntah terjadi beberapa hari setelah pemberian

sitostatika dan akan berlangsung beberapa hari. Penderita yang mual tidak selalu

disertai dengan muntah.

Mual dan muntah adalah efek samping yang seringkali dialami oleh

banyak orang yang menerima kemoterapi.Beberapa jenis obat juga seringkali

menimbulkan efek samping seperti ini. Ada beberapa obat antimual (antiemetik)

yang sudah tersedia untuk membantu mengurangi gejala ini, namun demikian

efek samping semacam ini adalah masalah yang harus dicarikan solusinya agar
32

proses kemoterapi dapat dijalani dengan lebih lancar bagi para pasien. Orang

yang mengalami gejala ini tentu saja harus berusaha untuk tetap makan dan

sebaiknya pasien mendapatkan semua dukungan dan pertolongan yang bisa

diberikan sebisa mungkin untuk meningkatkan nafsu makannya. Pada

kemoterapi yang dilakukan dalam siklus 21 hari, muntah dan mual akan terjadi

selama beberapa hari setelah menerima obat, tapi biasanya gejala itu akan hilang

dalam waktu seminggu setelah menerima obat.(Indrawati,2009)

Mual dan muntah adalah manifestasi dini yang sering ditemukan dari

toksisitas obat kemoterapi.Etiologi mual dan muntah dari banyak masalah yang

berbeda, oleh karena itu pengatasannya juga berbeda, bisa sederhana atau bisa

juga kompleks (DiPiro and Thomas, 2005).Pengontrolan mual dan muntah

dibutuhkan sebagai salah satu pertimbangan penting pada pengobatan kanker

dan terapi suportif (Pazdur, 2001).

Mual berhubungan dengan pergerakan lambung, yaitu pergerakan yang

sulit pada rongga perut dan otot-otot di rongga dada. Muntah adalah pengeluaran

paksa isi dalam perut dengan kekuatan penuh, disebabkan oleh gerakan

peristaltik kembali Gastro Intestinal, gerakan ini memerlukan koordinasi

kontraksi dari otot perut, pylorus dan antrum, kenaikan cardiagastric,

menurunkan tekanan dan dilatasi esophageal (DiPiro dan Taylor, 2005). Selain

disebabkan oleh kemoterapi kanker, mual dan muntah dapat disebabkan oleh

obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, uremia, obat (digitalis,

opium) dan metastase otak (Anonim, 2007).


33

Refleks yang menyebabkan muntah disebabkan oleh stimulasi dari

reseptor pada CNS dan atau gastrointestinal.Area reseptor ini mengirim pesan 14

pada pusat muntah pada medulla, yang kemudian berkoordinasi dengan aksi

muntah (Pazdur, 2001).Muntah yang diinduksi oleh berbagai zat kimia, obat

sitostatik dan radiasi diperantai melalui CTZ (Schein, 1997). Chemoreceptors

trigger zone (CTZ) juga berlokasi di medulla, berperan sebagai chemosensor dan

diarahkan pada darah dan CSF. Area ini kaya akan berbagai reseptor

neurotransmitter (Pazdur, 2001). Contoh dari reseptor-reseptor tersebut antara

lain reseptor kolinergik dan histamin, dopaminergik, opiate, serotonin,

neurokinin dan benzodiazepine. Agen kemoterapi, metabolitnya, atau komponen

emetik lain menyebabkan proses muntah melalui salah satu atau lebih dari

reseptor tersebut. (DiPiro dan Taylor, 2005). Mual dan muntah terjadi akibat

adanya kerusakan pada kantong kemih dan ginjal sehingga kotoran-kotoran

kimia sel kanker yang mati oleh obat kemoterapui atau radiasi tidak dapat

dikeluarkan.maka, penting untuk memastikan konsumsi air minum atau cairan

yang banyak setelah tindakan kemoterapi dilakukan.

2.4.5 Tipe Mual dan Muntah

Tipe mual dan muntah: 1) Mual muntah akut, biasanya terjadi saat

pemberian sitostatika tanpa pengobatan antiemetik. 2) Mual muntah tertunda

menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat penggunaan terapi

sitostatika cisplatin. Terjadi 2-6 hari setelah terapi. 3) Mual muntah yang

berkelanjutan, biasanya untuk obat sitostatika emetogenik sedang, dapat

menyebabkan mual muntah selama 2-3 hari. 4) Antisipator mual muntah, terjadi
34

pada pasien yang merasa mual atau rasa tidak enak diperut dan cemas, padahal

obat sitostatika belum diberikan. (Jeffery dkk., 1998)

2.4.6 Karakteristik Mual dan Muntah

Karakteristik pasien dan emesis

a. Riwayat emesis tidak terkontrolEmesis yang sulit dikontrol sebelum penggunaan

kemoterapi akan menyebabkanpasien lebih sulit untuk mengontrol emesisnya

saat dilakukan kemoterapi walaupunsudah diberikan antiemesis, terutama untuk

emesis yang bersifat akut..

b. Pernah mengonsumsi alkoholEmesis akan lebih mudah muncul pada pasien

yang biasa menggunakan alkoholdalam dosis tinggi (>100 g/ hari). Semakin

banyak alkohol yang dikonsumsi makanrisiko kejadian emesis akan semakin

tinggi.

c. Usia Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol emesis

padapasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda biasanya ada

kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik akut.

d. Jenis kelaminLebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari pada laki–

laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan frekuensi

pemberiannya.

e. Motion sickness

Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah mengalami mual

muntah akibat kemoterapi.(Solimando,2003).


35

2.4.7 Hasil Kemotrapi

Hasil atau respon kemotrapi dapat berupa :

a. Subjektif

Mengukur hasil subjektif/hasil terapi kanker sukar tetapi sebagai pegangan dapat

dipakai parameter:

1) Berat badan

2) Status penampilan

b. Objektif

Hasil objektif ada yang dapat dan yang tidak dapat diukur serta dapat diperiksa

secara klinik, radiologi, biokimia atau pemeriksaan stadium klinik-patologi.

1) Respon Komplit = (complete response = CR)

Semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu.

2) Respon Partial = (Partial response = PR)

Semua tumor mengecil sedikitnya 50% dan tidak ada tumor baru yang

timbul untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu.

3) Tidak berubah = (No Change = NC)

Tumor mengicil kurang dari 50% atau membesar kurang dari 25%

4) Penyakit Progresif = (Progresive disease = PD)

Tumor membesar 25% atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak

diketahui adanya (Sukardja, 2000).


36

2.5 Pengaruh Kemoterapi dan Mastektomi terhadap Kualitas Hidup

Operasi pengangkatan payudara meninggalkan kesan bagian tubuh

menjadi tidak sempurna dan meninggalkan kesan buruk, sedangkan kemoterapi

memiliki efek samping, kemoterapi jangka pendek seperti mual, muntah, lemas,

rambut rontok, mudah mengalami infeksi, ada juga pasien yang mengalami efek

jangka panjang dari kemoterapi yaitu infertilitas, osteoporosis, penurunan fungsi

mental, gangguan konsenterasi dan memori sampai depresi. Efek samping ini

akan menghilang setelah selesainya kemoterapi. Semua efek samping tersebut

dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien (cancer reference information,

2007).

Pengobatan kanker pada stadium lanut sangat sulit dan hasilnya kurang

memuaskan (Manuba,2008). Pada stadium lanjut pasien tidak hanya mengalami

berbagai masalah fisik, tetapi juga masalah psikologis, spiritual yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian Hendarnejad et al (2009)

mengenai kualitas hidup penderita pasca kemoterapi pada 200 pasien kanker

didapatkan 22 (11%) pasien kualitas hidupnya baik, 132 (66%) kualitas

hidupnya sedang, dan 46 (23%) kualitas hidupnya buruk, oleh sebab itu

kebutuhan pasien bukan hanya pada pemenuhan pangobatan gejala fisik saja,

namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, social, dan

spiritual dengan pendekatan interdisiplin (Menkes RI, 2007).

Seseorang yang telah divonis mengidap kanker payudara mengalami

perubahan dalam hidupnya. Menurut Karyono, Dewi dan Lela

(2008).menyatakan bahwa penyakit kanker berhubungan dengan kualitas hidup

yang terdiri dari beberapa dimensi yaitu kesejahteraan fisik, psikologis,


37

fungsional dan social.Penderita kanker payudara umumnya mengalami gejala

kecemasan dan depresi yang mengganggu fisik, kualitas kesehatan dan kualitas

seksualnya (kayser, Fieldman et al., 2010).

Data dari RSUP Dr. Sardjito jumlah penderita baru kanker payudara

tahun 2008 sebanyak 363 penderita.Menurut beberapa dokter di instalasi Kanker

Tulip Terpadu menyatakan bahwa penilaian kualitas hidup bagi penderita kanker

penting untuk menevaluasi kualitas hidup penderita dan mengevaluasi hasil

pengobatan. Di kabupaten Rejang Lebong berdasarkan survey di Rumah Sakit

Umum Daerah Curup dilaporkan bahwa tahun 2007 terdapat 32 kasus tumor

payudara, 6 kasus (18,75%) terjadi pada usia 15-24 tahun, 19 kasus (59,37%)

terjadi pada usia 25-44 tahun, dan 7 kasus (21,87%) terjadi pada usia 45-59

tahun, 3 orang diantaranya meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 sampai

dengan bulan Desember, terdapat 8 kasus tumor payudara dimana 3 kasus

(37,5%) diantaranya terjadi pada usia 15-24 tahun, 2 kasus (25%) terjadi pada

usia 25-44 tahun dan 3 kasus (37,5%) terjadi pada usia 45-59 tahun dan empat

orang diantaranya meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 sampai dengan bulan

Desember, terdapat 8 kasus tumor payudara dimana 3 kasus (37,5%) diantaranya

terjadi pada usia 15-44 tahun, 2 kasus (25%) terjadi pada usia 15-44 tahun, 2

kasus (25%) terjadi pada usia 25-44 tahun dan 3 kasus (37,5%) terjadi pada usia

45-59 tahun, dan empat orang diantaranya meninggal karena kanker payudara

(RSUD Curup, 2012). Tingginya angka prevalensi kanker payudara pada wanita

berusia reproduksi atau belum mengalami menopause dibandingkan dengan

wanita yang telah menopause juga berpengaruh terhadap kualitas hidup dan

pengalaman spiritual yang dialami oleh penderita.


38

2.6 Kerangka Teori

Modified Anamnesa, pemeriksaan fisik,


Radical Kemotrapi:
dan pemeriksaan penunjang pemberian obat
Mastectomy:
mempertahanka antikanter
n musculus (Sitostatika)
pectoralis mayor melalui oral
Keganasan pada jaringan maupun
dan minor atau
payudara yang dapat berasal intravena untuk
mempertahanka
dari epitel duktus maupun mengurangi atau
n musculus
lobulusnya. membunuh sel
pectoralis
major, kanker.
mereseksi
musculus
pectoralis
Kanker Payudara

Kualitas hidup sebagai kepuasan


dalam berbagai aspek kehidupan.

Keterangan :

= Tidak Diteliti

= Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka teori (Waltrin, 2017)


39

2.7 Kerangka konsep

Kerangka konsep dalam suatu penelitian adalah kerangka yang

berhubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti atau diukur melalui

penelitian yang akan dilakukan.

Variabel Independen Variabel Dependen

Kemotrapi
Kualitas Hidup
Mastektomi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional deskriptif

dengan desain cross sectional study.Penelitian ini menggambarkan kualitas

hidup pasien kanker payudara yang telah dilakukan operasi mastektomi dan

kemotrapi di RSUD DR.H. Abdul Moelok Bandar lampung yang dilakukan di

poli bedah RSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar Lampung dan dengan teknik total

sampling dengan Pengambilan data dengan menggunakan data primer dan data

sekunder yaitu wawancara dan rekam medis di RSUD DR. H. Abdoel Moelok

Provinsi Lampung tahun 2018.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

3.2.1 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan november 2019 sampai dengan selesai.

3.2.2 Ruang Lingkup Tempat

Tempat dan lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah di RSUD

Dr. H Abdul Moelok Bandar Lampung.

3.2.3 Ruang Lingkup Keilmuan

Instalasi Bedah Onkologi dan Ruang Raflesia

40
41

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien dengan diagnosis kanker

payudara yang telah menjalani operasi mastektomi dan kemotrapi di instalasi

bedah onkologi dan ruang raflesia RSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar Lampung

periode Januari sampai Desember 2018.

3.3.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling.

Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama

dengan populasi (Aminudin, 2013).

Sampel adalah bagian dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan di

anggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel pada penelitian

ini adalah wanita yang terkena kanker payudara yang telah dilakukan operasi

mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moeloek.

Kriteria Inklusi

1. Kriteria inklusi dari penelitian adalah seluruh perempuan yang

didiagnosis dengan kanker payudara yang telah dilakukan

Operasi mastektomi dan kemotrapi di Instalasi Bedah diRSUD

Dr.H Abdul Moelok Bandar Lampung selama periode januari

sampai Desember 2018.

2. Penderita kanker payudara yang datang berobat dan atau dirawat

di RSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar Lampung yang tercatat di

catatan medik RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung

pada tahun 2018


42

3. Bersedia menjadi responden penelitian

3.4. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2005). variabel penelitian ini terdiri :

3.4.1 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen (Notoatmodjo, 2005). pada penelitian ini yang menjadi variabel

dependen adalah Kualitas Hidup

3.4.2 Variabel Independen

Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel

dependen (Notoatmodjo, 2005). pada penelitian ini yang menjadi variabel

independennya adalah Operasi mastektomi dan Kemotrapi

3.5 Definisi Operasional

Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi yang membatasi ruang lingkup

atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti.


43

Tabel 3.1 Definisi Operasional

VARIABEL DEFINISI CARA UKUR ALAT HASIL UKUR SKALA


OPERASIONAL UKUR
Kualitas Pencapaian kehidupan Wawancara Kuesioner Skor nilai 91- 120 = Ordinal
Hidup manusia yang ideal EORTC-C30 Baik
atau yang di inginkan Skor nilai 61- 90 =
setiap pribadi mulai Cukup
dari fungsi fisik, Skor nilai 30-60 =
peran, kognitif,emosi, Kurang
sosial, kesehatan
secara keseluruhan,
dan gejala serta
karakteristik
demografi, yang
diketahui dari
pengambilan
kuisioner
Kanker Seluruh perempuan Membaca hasil rekam Rekam Perempuan dengan Nominal
Payudara yang didiagnosis medis Medis Kanker Payudara
dengan kanker Pasca Mastektomi
payudara yang telah dan Kemoterapi
dilakukan Mastektomi
dan Kemotrapi. (Waltrin, 2017)

3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Cara pengumpulan data

Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Catatan medik yang meliputi Kanker Payudara

b. Kuesioner EORTC-C30 yang meliputi kualitas hidup pasien Ca mammae

yang telah dilakukan Operasi Mastektomi dan Kemotrapi.


44

3.6.2 Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan antara lain :

a. Data primer

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan

kuisioner EORTC-C30 yang berisikan 30 pertanyaan kepada pasien kanker

payudara yang telah dilakukan mastektomidan telah menjalani kemotrapi

diRSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar Lampung selama bulan Januari sampai

Desember 2018. Data primer tersebut kemudian dilakukan analisis sederhana

untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien kanker payudara.

b. Data sekunder

Data yang diperoleh dari catatan medik RSUD Dr.H Abdul Moelok

Bandar Lampung.

3.6.3 Uji Validitas Kuisioner EORTC-C30

Instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mampu mengukur

apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata

lain secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah instrumen dikatakan valid

apabila instrumen tersebut benar-benar dapat dijadikan alat untuk mengukur apa

yang akan diukur. Uji validitas instrumen ini tidak dilakukan karena instrumen

yang akan digunakan oleh peneliti adalah instrumen baku dari European

Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life

Questionnaire-C30 (EORTC-C30) dan telah diterjemahkan dalam bentuk bahasa

Indonesia serta pernah di gunakan di Indonesia dengan hasil validitas > 0.70

(Zega dan Siregar, 2013).


45

3.6.4 Uji Reliabilitas Kuisioner EORTC-C30

Reliabilitas instrumen adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila

pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang

berbeda.Uji realibilitas penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

derajat atau kemampuan alat ukur untuk dapat digunakan atau tidak.Pada

instrumen penelitian ini, uji realibilitas dilakukan sebelum pengumpulan data.

Uji realibilitas dilakukan terhadap 10 orang responden yang berbeda yang

memiliki karakteristik yang sama dengan respoden penelitian dan ditambah 20

orang dari dari data aktual, sehingga jumlah responden untuk uji realibilitas

sebanyak 30 orang responden. Uji realibilitas penelitian dilakukan di RSUD

Pirngadi Medan dengan menggunakan cronbach alpha . Suatu instrumen

dikatakan sudah reliabel bila koefisiennya lebih dari 0,7. Hasil realibilitas yang

telah dilakukan adalah 0,80 (Zega dan Siregar, 2013)

3.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dengan melalui langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Editing

Memeriksa data yang telah dikumpulkan untuk diteliti kelengkapan,

kejelasan data dan kesalahan dari data yang diperoleh.

2. Coding

Penulis memberikan kode tertentu pada setiap data sehingga

memudahkan penulis dalam melakukan analisa data.


46

3. Processing

Setelah data dikumpulkan dalam master tabel atau data base komputer

untuk selanjutnya diolah kedalam analisa data.

4. Cleaning

Data yang dikumpulkan diperiksa kembali kelengkapannya apakah ada

kesalahan, sehingga data siap dianalisa.

3.8 Analisis Data.

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap setiap variabel penelitian

untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dan presentase pada setiap variabel.

3.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menganalisa hubungan antara 2

(dua) variabel, yaitu pasien kanker payudara yang telah dilakukan Operasi

Mastektomi dan Kemotrapi dengan kualitas hidup menggunakan uji korelasi

spearmen.Seluruh analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS for

Windows. Data ditampilkan dalam bentuk tabel.

3.8.3 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini kuesioner yaitu alat

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar

pertanyaan yang berupa formulir. Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini

adalah kuesioner yang sudah dibakukan dari European Organization for

Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire-C30 (EORTC-

C30) dan pernah digunakan di Indonesia.Instrumen ini terdiri dari 30

pertanyaanyaitu: pertanyaan fungsi fisik sebanyak 5 buah (no.1-5), pertanyaan


47

fungsi peran sebanyak 2 buah (no. 6 dan 7), pertanyaan fungsi emosional

sebanyak 4 buah (no.21-24), pertanyaan fungsi kognitif sebanyak 2 buah (no.20

dan 25), pertanyaan fungsi sosial sebanyak 2 buah (no. 26-27), pertanyaan

kondisi kesehatan secara keseluruhan sebanyak 2 buah (no. 29-30), pertanyaan

kelelahan sebanyak 3 buah (no. 10, 12 dan 18), pertanyaan mual dan muntah

sebanyak 2 buah (no. 14-15), pertanyaan nyeri sebanyak 2 buah (no. 9 dan 19),

pertanyaan sesak nafas sebanyak 1 buah (no.8), pertanyaan sulit tidur sebanyak

1 buah (no.11), pertanyaan kehilangan nafsu makan sebanyak 1 buah (no, 13),

pertanyaan konstipasi sebanyak 1 buah (no.16), pertanyaan diare sebanyak 1

buah (no.17), pertanyaan kesulitan keuangan sebanyak 1 buah (no. 28).

Penilaian menggunakan skala likert dengan 4 pilihan jawaban yaitu

“Tidak, Sedikit, Sering dan Sangat Sering”. Untuk jawaban “Tidak” nilainya 4,

untuk jawaban ‘Sedikit” nilainya 3, untuk jawaban “Sering” nilainya 2 dan

untuk jawaban “Sangat sering” nilainya 1. Nilai terendah yang mungkin dicapai

adalah 30 dan nilai tertinggi adalah 120. Rentang kelas pada kuesioner ini adalah

12030 ( nilai tertinggi – nilai terendah ) = 90. Banyak kelas akan dikategorikan

menjadi 3 sehingga panjang kelas diperoleh 30. Dengan nilai terendah 30 dan

panjang kelas 30 maka kualitas hidup dapat dibagi menjadi:

30-60 : Kualitas hidup Kurang

61-90 : Kualitas hidup cukup

91-120 : Kualitas hidup Baik (Zega dan Siregar, 2013).

Setiap ukuran skala dan single-item diubah ke dalam bentuk angka dengan

rentang berkisar dari 0 sampai 100. Skala dengan skor tinggi menggambarkan

tingkat respons yang lebih tinggi.


48

1. Dengan demikian skor tinggi untuk skala fungsional menyatakan tingginya

level fungsional kesehatan.

2. Skor tinggi untuk status kesehatan global/kualitas hidup menyatakan kualitas

hidup yang tinggi. 3. Tetapi tingginya skor gejala menyatakan tingginya

simptomatologi/masalah (EORTC, 2001).

Prinsip untuk menilai skala ini adalah sama dalam semua kasus:

1. Perkiraan rata-rata dari item-item yang berkontribusi terhadap masing-

masing skala; itu adalah skor mentah.

2. Gunakan transformasi linear untuk menstandardisasikan skor mentah,

sehingga skor berkisar dari 0 sampai 100; Sebuah skor yang lebih tinggi

menyatakan tingkat fungsional yang lebih baik, atau tingginya tingkat

perburukan (Aaronson et al., 1993).

Secara praktis, jika item-item I1, I2, I3, I4, I5 ...In termasuk ke dalam suatu skala,

prosedur perhitungan sebagai berikut:

Skor Mentah

Perhitungan skor mentah

Skor mentah = SM = (I1 + I2 + I3 + I4 ...+In)/n

Transformasi Linear Terapkan transformasi linear menjadi 0 -100 untuk mendapatkan

skor S,

Skala fungsional: S = {1 −(𝑆𝑀−1) }


𝑟𝑎𝑛𝑔𝑒× 100
Skala gejala: S = {(𝑆𝑀−1) }
𝑟𝑎𝑛𝑔𝑒× 100
Status kesehatan global: S = {(𝑆𝑀−1) }
𝑟𝑎𝑛𝑔e× 100
49

Range adalah perbedaan antara nilai maksimum dan minimum SM. QLQ-C30

telah dirancang sedemikian rupa sehingga semua item dalam skala apapun mempunyai

kisaran nilai yang sama. Oleh karena itu, range SM sama dengan range dari nilai-nilai

item. Secara keseluruhan item diberi skor 1 sampai 4, sehingga range = 3 (Aaronson et

al., 1993).

Skor dapat dibandingkan dengan data yang dipublikasikan, misalnya dengan

menggunakan data kelompok pasien yang diterbitkan dalam nilai referensi EORTC

QLQ-C30 untuk dibandingkan (FAYERS et al., 1998). Pada nilai referensi manual, data

yang ditampilkan untuk bagian kanker utama dibagi sesuai stadium penyakit. Data

populasi umum berdasarkan pada sampel yang dipilih secara acak dari populasi umum

di Norwegia, Swedia dan Denmark (Aaronson et al., 1993).

Tabel 3.2 Skoring QLQ-C30 versi 3.0 EORTC-C30 (Aaronson et al., 1993).

SKALA NOMOR RENTANG NOMOR SKALA


ITEM ITEM ITEM VERSI FUNGSI
3.0
Status Kesehatan
global /QoL
Status Kesehatan QL2 2 3 29,30
Global (direvisi)†

Skala Fungsional
Fungsi Fisik PF2 5 3 1-5 F
Fungsi Peran RF2 2 3 6,7 F
Fungsi Emosi EF 4 3 21-24 F
Fungsi Kognitif CF 2 3 20,25 F
Fungsi Sosial SF 2 3 26,27 F

Item/Skala gejala
Lelah FA 3 3 10,12,18
Mual dan Muntah NV 2 3 14,15
Nyeri PA 2 3 9,19
Dipsnea DY 1 3 8
Insomnia SL 1 3 11
Hilang nafsu makan AP 1 3 13
Sembelit CO 1 3 16
Diare DI 1 3 17
Kesulitan keuangan FI 1 3 28
50

Tabel 3.3 Nilai Referensi QLQ-C30, Breast Cancer: All Stages EORTC-C30 (Scott et

al., 2008).

SKALA RATA- (STANDAR MEDIAN [IQR]


RATA DEVIASI)

Status Kesehatan Global QL 61.8 (24.6) 66.7 [50-83.3]


(direvisi)†

Fungsi Fisik PF 78.4 (21.3) 86.7 [66.7-93.3]


Fungsi Peran RF 70.9 (29.9) 83.3 [50-100]
Fungsi Emosi EF 68.6 (23.8) 75 [50-83.3]
Fungsi Kognitif CF 81.5 (21.8) 83.3 [66.7-100]
Fungsi Sosial SF 77.0 (27.1) 83.3 [66.7-100]

Lelah FA 33.3 (26.2) 33.3 [11.1-44.4]


Mual dan Muntah NV 7.7 (17.3) 0 [0-0]
Nyeri PA 28.7 (28.7) 16.7 [0-50]
Dipsnea DY 18.1 (26.8) 0 [0-33.3]
Insomnia SL 29.8 (31.6) 33.3 [0-33.3]
Hilang nafsu makan AP 18.5 (28.9) 0 [0-33.3]
Sembelit CO 17.4 (27.2) 0 [0-33.3]
Diare DI 5.9 (15.4) 0 [0-0]
Kesulitan keuangan FI 18.3 (27.8) 0 [0-33.3]
51

3.9 Alur penelitian

Penderita Ca Mammae yang telah dilakukan Operasi Mastektomi


dan Kemotrapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok Bandar
Lampungyang memenuhi kriteria inklusi

Wawancara, pencatatan data


penderita dari catatan medik

Pengolahan data

Analisis data

Penyusunan laporan

Gambar 3.1 Alur Penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

Pengumpulan data telah dilakukan selama 12 hari yaitu dari tanggal 27

Februari sampai dengan tanggal 10 Maret 2020. Penelitian ini dilaksanakan di

RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung, Jenis penelitian ini

menggunakan metode penelitian observasional deskriptif dengan desain cross

sectional study menggunakan total sampling, dengan jumlah responden

sebanyak 58 sampel, merupakan pasien rawat jalan ataupun rawat inap yang

telah dilakukan mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moeloek

Bandar Lampung. Data diperoleh dari data rekam medik dan pengisian kuisioner

melalui via telepon oleh responden.

Penyajian analisa data dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan data

demografi dan kualitas hidup (fisik, peran, emosi, kognitif, sosial, status

kesehatan secara keseluruhan dan domain gejala) pasien kanker payudara yang

telah dilakukan mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moelok

Bandar Lampung.

4.1.1 Profil RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H Abdul Moeloek (RSUDAM) adalah

Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi Lampung yang didirikan sejak tahun

1914 sebagai Unit Pelayanan Teknis Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.HK.03.05/I/2603/08 ditetapkan menjadi Rumah Sakit kelas B Pendidikan.

52
53

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek memiliki luas tanah 81.846 m² dengan

tenaga seluruhnya sebanyak 1.257 orang, dengan jumlah terbesar adalah tenaga

paramedic perawatan sebanyak 555 orang dan tenaga medis sebanyak 133

orang. RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dipimpin oleh seorang Direktur Rumah

Sakit yang bertanggung jawab sesuai peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2009

oleh Direktur Utama membawahi: Direktur Pelayanan, Direktur Diklat dan

SDM serta Direktur Umum dan Keuangan beserta sub bagiannya masing-

masing. (Profil RSUDAM tahun 2016).

4.2 Data Demografi

Tabel 4.1 menunjukkan kelompok umur 39 - 55 tahun merupakan

kelompok umur terbanyak yaitu 42 orang (72,4%). Mayoritas status perkawinan

responden yaitu menikah sebanyak 53 orang (91,4%). Islam adalah agama

mayoritas responden yaitu 57 orang (98,3%). Suku terbanyak adalah Jawa yaitu

37 orang (63,8%). Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas jika

digabung menempati tingkat pendidikan terbanyak pada responden sebanyak 30

orang (51,7%). Ibu rumah tangga pada penelitian ini merupakan pekerjaan

terbanyak dibandingkan pekerjaan lainnya yaitu 38 orang (65,5%) dan mayoritas

penghasilan perbulan responden yaitu kurang dari Rp500.000,00 sebanyak 29

orang (50%). Seluruh responden telah menjalani mastektomi, dan kemoterapi.


54

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi dan persentasi berdasarkan data demografi


responden di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Data Demografi Frekuensi Persentase (%)
Usia ( Tahun )
>39 7 (12,1%)
39 – 55 42 (72,4%)
56 – 72 9 (15,5%)
Status Perkawinan
Menikah 53 (91,4%)
Janda 2 (3,4%)
Lain-lain 3 (5,2%)

Agama
Islam 57 (98.3%)
Protestan 1 (1,7%)

Suku Bangsa
Lampung 17 (29,3%)
Jawa 37 (63,8%)
Sunda 3 (5,2%)
Batak 1 (1,7%)
Pendidikan Terakhir
SD 24 (41,4%)
SMP 14 (24,1%)
SMA 16 (27,6%)
Sarjana 2 (3,4%)
Lainnya 2 (3,4%)

Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Pedagang / Wiraswasta 38 (65,5%)
Pegawai swasta 4 (6,9%)
Petani 3 (5,2%)
PNS 5 (8,6%)
Lainnya 3 (5,2%)
5 (8,6%)
Penghasilan Perbulan
(Rp)
<500.000 29 (50%)
500.000 - 1.000.000 16 (27,6%)
1.000.000-2.000.000 7 (12,1%)
>2.000.000 6 (10,3%)
55

Data yang didapat dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

mayoritas pasien kanker payudara yang telah dilakukan Mastektomi dan

Kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung berada pada

kelompok usia 39 - 55 tahun sebanyak 42 orang (72,4%). Hal ini didukung oleh

data dari WHO (World Health Organization) menunjukkan bahwa 78% kanker

payudara terjadi pada wanita usia 50 tahun ke atas sedangkan 6% diantaranya

kurang dari 40 tahun. Usia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat

meningkatkan terjadinya kanker payudara, dimana wanita yang telah menopause

dan berusia lebih dari 50 tahun dapat meningkatkan risiko mengalami kanker

payudara (Smeltzer dan Barre, 2001).

Menurut hasil penelitian dari (Beiyan, 2013) usia rata-rata saat di

diagnosis yaitu >50 tahun dengan hasil (p = 0,001) Kualitas hidup dipengaruhi

oleh usia menurut hasil penelitian Isa & Baiyewu (2006) bahwa sosial demografi

(umur) mempengaruhi kualitas hidup penderita kanker payudara. Semakin tua

usia seseorang kualitas hidup yang dimiliki semakin berkurang.

Sedangkan penelitian ini juga sejalan dengan teori yang di kemukakan

oleh Naviri tahun 2016 bahwa ditemukan penyakit kanker payudara usia 18

tahun namun kenyataan nya pada penelitian ini di dapatkan bahwa ada 1

responden yang berusia 16 tahun terkena kanker paudara. Namun satu faktor

resiko tidak hanya membuat seseorang pasti menderita suatu penyakit. Memiliki

satu atau beberapa faktor resiko tidak berarti kita akan mendapatkan penyakit

tersebut.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karima (2013) di Jakarta dimana

rentang usia responden yang dominan adalah 35 – 54 tahun dan pada rentang ini
56

lebih berisiko terkena kanker payudara dibanding usia < 35 Tahun. Jika dulu

penderita kanker payudara rata-rata berada di usia 50 tahun ke atas, akan tetapi

pada masa sekarang kebanyakan penderita kanker payudara berada direntang

usia 35 – 50 tahun, pergeseran ini dikarenakan salah pola makan, gaya hidup

yang tak sehat serta malas berolahraga (Savitri, 2015).

Data penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Mahmudin, 2019) menunjukkan bahwa dari 47 responden ketahui bahwa

rentang usia 46 – 55 tahun sebanyak 25 orang (52,3%), kemudian rentang usia

36 – 45 tahun berada di urutan kedua sebanyak 11 orang (23,4%) sedangkan

usia dengan rentang 56 sampai 65 tahun berjumlah 7 orang (14,9%) berada di

urutan berikutnya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan data yang ditemukan di bagian bedah

RSCM Jakarta yang menyebutkan hampir 70% kasus kanker payudara

ditemukan pada usia sebelum 50 tahun. Penelitian yang juga pernah dilakukan

oleh Nourman (2010) di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2007 – 2008

didapatkan hasil usia penderita kanker payudara terbanyak yaitu > 40 tahun

(76,4%). Penelitian lain oleh Atira (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan

didapatkan hasil dari 65 sampel penelitian, 29 penderita (44,6%) pada usia diatas

45 tahun, diikuti oleh kelompok umur 35 – 44 tahun sebanyak 23 penderita

(35,4%). Dan kelompok umur 25 – 34 tahun sebanyak 13 penderita (20%).

Menurut asumsi peneliti bahwa rantan usia antara 39 – 55 tahun

memiliki resiko lebih tinggi terkenanya kanker payudara dikarenakan memiliki

gaya hidup yang tak sehat serta malas berolahraga dan konsumsi makanan yang
57

tak sehat (Savitri, 2015). Seperti yang telah disebutkan oleh para ahli perubahan

gaya hidup yang menjadi faktor terjadinya kanker payudara misalnya menunda

perkawinan dan kehamilan sampai diatas usia 35 tahun, tidak menyusui bayinya,

merokok, pola makan tidak sehat ( banyak mengkonsumsi makanan yang

berlemak, sedikit mengkonsumsi makanan yang berserat). Selain itu adanya

riwayat kanker payudara pada keluarga memberi peluang datangnya kanker

payudara. Faktor yang dapat meningkatkan resiko penyakit ini antara lain

memiliki ibu atau keluarga dekat yang menderita kanker payudara, mutasi yang

diwariskan dalam gen BRCA1 atau BRCA2. Pubertas awal dan tidak memiliki

anak ( Anonimus, 2011).

Hasil pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden

menikah (91,4%) dengan jumlah responden sebanyak 53 orang dan mayoritas

ibu rumah tangga (65,5%) dengan jumlah responden sebanyak 38 orang. Hasil

penelitian ini sesuaian dengan pasien kanker payudara di Rumah Sakit Kanker

Dharmais Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas pasien kanker payudara adalah

wanita yang telah menikah (93,9%) dan mayoritas ibu rumah tangga (61,1%).

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Safaee (2008)

mengatakan bahwa mayoritas pasien kanker payudara yang menjalani

kemoterapi menikah (73,9%) dan mayoritas ibu rumah tangga (82,4%).

Menurut asumsi peneliti bahwa dukungan pasangan dalam menjalani

pengobatan kemoterapi juga berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita, hal

ini bisa terIihat melalui karakteristik responden pada penelitian ini dengan status
58

pernikahan menikah sebesar 91,4% (53 orang). Status pernikahan merupakan

salah satu faktor dari beberapa faktor yang mampu mempengaruhi kuaIitas

hidup indvidu.

Berdasarkan agama responden penelitian ini, paling banyak menganut

agama Islam dengan persentase (98,3%), Jawa adalah suku sebagian dari

responden pada penelitian ini. Tabel 4.1 menjelaskan bahwa RSUD Dr.H Abdul

Moeloek sebagai rumah sakit rujukan memiliki tingkat keragaman yang tinggi

dari sisi sosial didasari karena keragaman agama dan suku karena pasien datang

dari berbagai daerah di Lampung dan sekitarnya.

Tabel 4.1 menunjukkan jika pendidikan SMP dan SMA menjadi kategori

gabungan maka pasien kanker payudara yang berpendidikan terakhir SMP dan

SMA (51,7%) memiliki persentase lebih besar dibandingkan SD (41,4%),

Sarjana (3,4%) dan Lainnya (3,4%). Hal tersebut mungkin menjadi salah satu

potensi mayoritas responden adalah ibu rumah tangga (65,5%) dengan

penghasilan kurang dari Rp 500.000,00 (50%).

Faktor tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas

hidup karena pendidikan rendah akan mempengaruhi kebiasaan fisik yang

kurang baik. Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam

menerima informasi (Yusra, 2011).

Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang

ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan

dengan kata lain promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu,


59

kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan

dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Rendah nya pengetahuan di duga merupakan faktor yang menyebabkan

wanita tidak melakukan deteksi dini. Oleh karena itu perlu adanya peran kerja

pemerintah untuk menggencarkan sosialisasi promosi pentingnya pencegahan

kanker payudara sedini mungkin melalui Sadari (Maulida 2011).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hoffman

(2000) diketahui ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan stadium kanker

payudara. Wanita yang berpendidikan tinggi, cenderung terdiagnosis stadium

dini kanker payudara. Sebaliknya, wanita yang berpendidikan rendah cenderung

terdiagnosis stadium lanjut kanker payudara (Hoffman, 2000).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Nanik

(2009) Adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan

wanita mengenai kanker payudara tersebut terlihat bahwa wanita yang

pendidikan formalnya menengah dan tinggi, tingkat pengetahuannya adalah baik

dan cukup, dan tidak ada yang kurang. Sedangkan wanita dengan tingkat

pendidikan dasar masih ada yang tingkat pengetahuannya kurang yaitu sebanyak

3 orang (4,9%). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan semakin baik tingkat pengetahuannya (Nanik, 2009).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Silvia (2013) tentang

analisis hubungan tingkat pendidikan pasien kanker payudara stadium dini di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Ciptomangkusumo Jakarta yang mengatakan


60

bahwa berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat dengan kategori

tingkat pendidikan tinggi yaitu lulusan perguruan tinggi (Silvia, 2013).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Ratna

(2010) bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan

pengetahuan wanita tentang faktor resiko kanker payudara. Karena menurut

lukman (2006) Selain tingkat pendidikan terdapat faktor lain yang

mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya pekerjaan dan media

informasi (Ratna, 2010). Sama halnya dengan Penelitian sebelumnya oleh

Nurhasanah, dkk (2009) menemukan hasil yang sama bahwa hubungan antara

faktor pendidikan memiliki hubungan yang sangat lemah (r=0,003) dan kurang

baik dalam menjelaskan kualitas hidup (R2 =0,000). Hasil uji statistik yang

dilakukan adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor pendidikan

dengan kualitas hidup (p=0,931).

Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan pada karakteristik

responden penelitian penelitian di Jakarta tahun 2013 dimana penderita kanker

yang hanya lulus SD sebesar 22,7% (27 orang), tamat SMP sebesar 16,8% (20

orang) dan yang tidak lulus SD sebanyak 7 orang (5,9%). Pada stadium awal

kanker yang kebanyakan menyerang pada wanita ini memiliki tanda dan gejala,

akan tetapi sering kali tidak dihiraukan karena kurangnya faktor pengetahuan

terhadap tanda gejala tersebut sehingga ketika kondisi fisik sudah mulai

menurun dan berada pada stadium lanjut barulah memeriksakan diri ke

pelayanan kesehatan (Ariani, 2015).

Hasil ini dijelaskan oleh Rasjidi (2009) bahwa rendahnya pengetahuan

membuat pasien kanker kurang memahami tingkat keparahan penyakit yang


61

diderita. Kondisi tersebut membuka kemungkinan bahwa pasien kanker dengan

pengetahuan rendah tentang penyakitnya tidak mengetahui tingkat stadium yang

diderita dan pengaruhnya terhadap perkembangan kanker.

Hal ini sejalan dengan penelitian di RSUD Dr. H Abdul Moeloek,

Menurut asumsi peneliti bahwa yang berpendidikan rendah lebih berisiko

menderita kanker payudara, hal ini menunjukkan penderita kanker payudara

yang datang berobat ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung paling

banyak lulusan SD sehingga informasi tentang kanker payudara kurang di

ketahui. Ini sejalan dengan teori yang di kemukan oleh Notoatmodjo tahun 2010

bahwa pendidikan kesehatan sangat penting karena mempunyai pengaruh positif

terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Kurang nya pengetahuan

responden tentang deteksi awal, gejala dan ciri – ciri terjadinya kanker payudara

membuat sebagian pasien datang ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek sedah berada

pada stadium lanjut.

Pada penelitian ini didapatkan pekerjaan terbanyak mayoritas responden

adalah ibu rumah tangga (65,5%), Petani adalah pekerjaan kedua terbanyak

responden penelitian yakni sebesar (8,6%). Pekerjaan responden lainnya 6,9%

untuk wiraswasta atau pedagang, 5,2% untuk Pegawai Swasta dan PNS.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh

Sumanta S (2008) dimana pekerjaan penderita kanker payudara terbanyak

adalah Ibu Rumah Tangga 11 kasus (32,4%), PNS 10 kasus (29,4%), buruh 3

kasus (8,8%), swasta 2 kasus (5,9%), pensiunan 2 kasus (5,9%), petani 1 kasus

(2,9%) dan wiraswasta 2 kasus (5,9%).


62

Status sosial ekonomi, walaupun tidak secara langsung berhubungan

dengan terjadinya kanker payudara namun dapat mempengaruhi penderita

kanker payudara, karena berdasarkan tinjauan pustaka dan studi epidemiologi

status sosial ekonomi menengah ke atas merupakan salah satu faktor resiko

untuk terjadi nya insiden kanker payudara (Price, 2006). Angka kejadian kanker

payudara di negara – negara maju memang jauh lebih tinggi dari pada di negara

– negara berkembang. Banyak peneliti dunia yakin bahwa berubahnya gaya

hidup dan kondisi sosial ekonomi di negara – negara maju ada hubungannya

dengan peningkatan resiko kanker payudara. Resiko kanker payudara juga

meningkat seiring bertambah nya usia (Savitri, 2016).

Tingkat penghasilan juga menentukan jenis pangan yang akan di beli

dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar juga

presentase dari penghasilan tersebut di pergunakan untuk membeli buah, sayur

mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan

faktor penting bagi kualitas dan kuantitas. Antara penghasilan dan resiko

kejadian kanker payudara. Jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh

peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain

yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal

(Sediaoetama, 2004 dalam Yulianti, 2010).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Yulianti

(2010) Dari hasil penelitian dan pengolahan data diperoleh bahwa dari 50

responden dengan pendapatan berisiko terkena kanker payudara berjumlah 19

orang (38 %), sedangkan responden yang tidak beresiko pada penelitian ini

berjumlah 31 orang (62 %) yang berarti bahwa hubungan yang dibentuk antara
63

pendapatan terhadap kejadian kanker payudara cukup kuat, hal ini secara teoritik

dapat diterangkan bahwa pendapatan merupakan komponen yang sangat penting

(Yulianti, 2010).

Sedangkan pendapatan terbanyak pada penelitian ini yaitu sebesar <

500.000 dengan mayoritas pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, Penelitian ini

sama seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (BeiYan, 2013) dengan

hasil penelitian yang menunjukan bahwa Pekerjaan akan berpengaruh terhadap

kualitas hidup. Pekerjaan akan membuat seseorang mendapatkan upah atau gaji

untuk biaya pengobatan. Kualitas hidup meningkat seiring dengan adanya

pekerjaan yang dimiliki seseorang (Tamara, 2014). ini didukung dengan

pekerjaan terbanyak yaitu sebagai ibu rumah tangga.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh (BeiYan, 2013) yaitu status ekonomi yang lebih tinggi mempengaruhi

kualitas hidup penderita kanker payudara banyak aspek perawatan pasien yang

lebih baik sehingga meningkatkan kualitas hidup penderita kanker payudara.

Tingkat pendapatan yang rendah sangat bepengaruh terhadap kualitas hidup

pasien kanker payudara karena pendapatan akan menentukan kemampuan dalam

pengobatannya.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Desy

(2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan responden yang memiliki

penghasilan 0-1 juta 62 orang (66%) untuk responden berpenghasilan 1-2 juta 28

orang (30%) dan responden yang berpenghasilan >2 juta berjumlah 4 orang

(4%) (Rustam, 2017).


64

Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh

Nurhasanah, dkk (2009) menemukan hasil bahwa hubungan antara faktor

pendapatan memiliki hubungan yang sangat lemah (r=0,092) dan kurang baik

dalam menjelaskan kualitas hidup (R2 =0,008). Hasil uji statistik yang dilakukan

adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor pendapatan dengan

kualitas hidup (p=0,079)

Menurut asumsi peneliti Penghasilan menjadi salah satu faktor penting

dalam menentukan pengeluaran, termasuk pola konsumsi pangan dan

pengobatan, apabila pendapatan meningkat, pola konsumsi akan lebih beragam

sehingga konsumsi pangan yang bernilai gizi tinggi juga akan meningkat.

Kerena makanan bergizi mempengaruhi kesehatan payudara, sedangkan

pengobatan yang dijalannkan untuk aspek keperawatannya juga lebih baik untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien.

4.3 Kualitas hidup pasien kanker payudara di RSUD Dr.H Abdul Moeloek

Bandar Lampung

Kualitas hidup saat ini telah menjadi suatu parameter yang sama

pentingnya dengan karakteristik kesuksesan pengobatan. Kualitas hidup bersifat

subjektif dan hanya dapat diukur oleh pasien. Studi terhadap 163 pasien kanker

yang membandingkan penilaian kualitas hidup pasien berdasarkan penilaian


65

klinisi dan pasien menemukan hanya 54% dari penilaian dokter berhubungan

dengan penilaian pasien. Karena itu penggunaan kuisioner laporan pasien telah

menjadi standar praktis dalam penilaian kualitas hidup pasien (Sutrisno,

Dharmayuda dan Rena., 2010). Salah satu alat yang banyak digunakan untuk

menilai kualitas hidup pasien kanker adalah kuisioner yang dikeluarkan oleh

EORTC. Kuisioner ini telah digunakan secara luas pada uji klinik kanker oleh

sekelompok besar kelompok-kelompok penelitian dan juga telah digunakan pada

studi-studi non uji klinik. Hasil penelitian pada tabel 4.2 dari 58 orang pasien

kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan telah menjalani

kemoterapi di Ruang Raflesia dan badah onkologi RSUD Dr.H Abdul Moeloek

Bandar lampung dengan menggunakan kuisioner EORTC QLQ-C30 diperoleh

kualitas hidup kurang sebanyak 34 responden (58,6 %), kualitas hidup cukup

sebanyak 22 responden (37,9%) dan kualitas hidup baik sebanyak 2 responden

(3,4%).

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara di


Instalasi Bedah Onkologi dan ruang raflesia di RSUD Dr.H Abdul Moeloek
Bandar Lampung.

Kualitas Hidup Frekuensi Presentase


Kurang 34 58,6%
Cukup 22 37,9%
Baik 2 3,4%
Total 58 100%
66

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kualitas hidup pasien kanker payudara yang telah menjalani operasi mastektomi

dan kemoterapi di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung termasuk

kategori kualitas hidup kurang (58,6%) dengan jumlah responden 34 orang.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dehkordi, dkk (2011) mengatakan bahwa pasien kanker yang menjalani

kemoterapi memiliki kualitas hidup cukup (66%).

Hasi penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Suryani, 2013) di RSUD H. Adam Malik Medan termasuk kategori

kualitas hidup cukup (57,6%) dengan jumlah responden 19 orang.

Menurut asumsi peneliti, mungkin berbedanya jumlah responden, selisih

waktu penelitian yang terlampau lama, dan penambahan variable yang telah

dilakukan operasi mastektomi serta pengisian kuisioner menggunakan via telpon

mempengaruhi hasil akhir dari kualitas hidup responden pada pasien kanker

payudara yang telah melakukan operasi mastektomi dan kemoterapi di RSUD

Dr. H Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2018.

Kualitas hidup pasien kanker payudara berada pada kategori kurang

karena hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa rendahnya

jawaban yang diberikan pasien pada subvariabel gejala atau simtom, dimana

diperoleh bahwa pasien kanker payudara mengalami kelelahan, mual muntah

dan nyeri setelah menjalani kemoterapi dengan kata lain bahwa efek kemoterapi

masih dirasakan pasien setelah pemberian kemoterapi sehingga akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.


67

Menurut penelitian yang dilakukan Perwitasari (2009) mengatakan

bahwa pasien kanker setelah menjalani kemoterapi akan mengalami penurunan

pada domain gejala atau simtom (23%), dimana pasien mengalami penurunan

nafsu makan sehingga merasakan kelelahan dan juga merasakan nyeri.

Sedangkan subvariabel lain seperti fungsi fisik, fungsi peran, fungsi kognitif,

fungsi emosi, fungsi sosial dan kesehatan secara keseluruhan memiliki jawaban

yang tinggi. Tingginya jawaban pada subvariabel tersebut, sesuai dengan data

demografi yang didapat pada penelitian bahwa mayoritas pasien kanker

payudara sudah menikah (91,4%) dan mayoritas berpenghasilan < Rp.500.000

(50%). Pemberian dukungan psikologis dan keuangan terhadap wanita yang

mengalami kanker payudara mungkin meningkatkan kualitas hidup (Safaee,

2008). Demikian juga dengan pemberian pelayanan pendukung pada pasien

kanker misalnya dengan pembinaan spiritual atau pemberian obat-obatan yang

bersifat simtomatis dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Perwitasari,

2009).

Kualitas hidup bisa didefinisikan sebagai sebuah tingkat dimana individu

mampu merasakan kepuasan didalam kehidupan yang dijalaninya, oleh karena

itu individu tersebut harus menjaga kesehatan fisik, pikiran serta jiwa untuk

mencapai tingkat kepuasan tersebut. Hingga pada akhirnnya individu tersebut

mampu melaksanakan berbagai aktivitas tanpa adanya gangguan (Ventegodt,

2011)

Cella-Tulsky berpendapat bahwa kualitas hidup terdiri dari dua

komponen yaitu subjektif dan multidimensional. Subjektif merujuk pada fakta

bahwa kualitas hidup dapat dimengerti hanya dari perspektif pasien.


68

Multidimensional merujuk pada fakta bahwa kualitas hidup mencakup dimensi

yang luas yang dapat dikelompokkan menjadi satu dari empat area yang berbeda

yakni keadaan fisik, fungsional, emosional dan sosial. Jadi, kualitas hidup

dihubungkan dengan gejala, fungsional, psikologi dan kesejahteraan sosial

(Saatci et al., 2007). Karakteristik item kuisioner EORTC QLQ-C30 (Tabel 4.3)

menunjukkan bahwa fungsi fisik mempunyai nilai rerata tertinggi. Dipsnea dan

sembelit adalah sub item domain gejala dengan nilai rerata terendah. Fungsi

fisik, kognitif, sosial dan status kesehatan secara global mempunyai prediket

baik sedangkan Fungsi peran, emosi, sosial mempunyai prediket buruk. Subitem

dari domain gejala yang dominan pada pasien kanker payudara adalah mual dan

muntah, nyeri, dipsnea, insomnia, hilang nafsu makan, sembelit dan diare.

Fungsi fisik memiliki simpangan deviasi terbesar dan memiliki interpretasi baik

pada pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan telah

menjalani kemoterapi. Sembelit memiliki simpangan deviasi terkecil dan sering

terjadi pada pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi dan

kemoterapi di responden penelitian ini.

Tabel 4.3 Karakteristik item kuisioner EORTC QLQ-C30

Item N Minᵃ Maxᵇ Rerata Interpretasi ͨ SD


Fungsi Fisik 58 7 20 17 Baik 3.3
Fungsi Peran 58 2 8 7 Buruk 1.7
Fungsi Emosi 58 4 16 14 Buruk 3.2
Fungsi Kognitif 58 2 8 4 Baik 1.8
Fungsi Sosial 58 2 8 7 Buruk 1.7
Status Kesehatan Global 58 2 8 6 Baik 1.4
Lelah 58 7 12 11 Minor 1.6
Mual dan Muntah 58 2 8 6 Mayor 1.9
Nyeri 58 3 8 7 Mayor 1.2
Dipsnea 58 1 4 2 Mayor 1.2
Insomnia 58 1 4 3 Mayor 1.2
69

Hilang Nafsu Makan 58 1 4 3 Mayor 1.3


Sembelit 58 1 4 2 Mayor 1.1
Diare 58 1 4 3 Mayor 1.2
Kesulitan Keuangan 58 1 4 3 Minor 1.2

ᵃNilai Minimal skor per item. ᵇNilai Maksimal skor per item. ͨHasil perhitungansetiap
jawaban di kuisioner EORTC QLQ-C30 berupa skor yang didapatkan dari setiap item
dibandingkan dengan skor dari nilai referensi QLQ-C30 subbagian breast cancer:all
stages.

4.4 Kualitas hidup pasien kanker payudara yang telah dilakukan mastektomi

unilateral dan bilateral di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung

Tabel 4.4 Kualitas hidup pasien mastektomi unilateral dan bilateral

Operasi Mastektomi Jumlah Presentase (%)


Unilateral 56 96,6%
Bilateral 2 3,4%
Total 58 100%

Mastektomi yang dilakukan di RSUD Dr.H Abdul Moeloek tahun 2018

yaitu sebanyak 56 responden yang dilakukan unilateral dan 2 responden yang

dilakukan bilateral.
70

Kualitas hidup yang dilakukan mastektomi bilateral mungkin lebih

mempengaruhi atau cenderung kualitas hidupnya kurang, dimana dijelaskan

pada teori jika operasi mastektomi ini mempunyai satu kelemahan yaitu pasien-

pasien yang diambil otot-otot pektoralis dan semua kulit di atasnya

menyebabkan suatu deformitas estetika yang nyata dan sukar untuk

direkonstruksi kembali. Gangguan pada pergerakan lengan dan limfedema

kronik ditemukan pada 25% sampai 53% pada wanita-wanita yang dilakukan

radikal mastektomi dan ini jelas mengurangi kualitas hidup dari pasien. Suatu

kelemahan lain dari radikal mastektomi adalah gagalnya operasi ini untuk

memperpanjang kesempatan hidup dari pasien.

Penelitian dari Memorial Sloan Kettering Cancer Center menyatakan

setelah diikuti selama 30 tahun dari 1.458 wanita yang dilakukan radikal

mastektomi ternyata hanya 13% yang bebas dari gejala-gejala penyakit. Hal ini

terjadi karena diperkirakan tidak semua kelenjar getah bening yang

berhubungan dengan payudara diambil, karena seperempat dari aliran getah

bening dari payudara keluar melalui kelenjar getah bening mamaria interna.

Oleh karena itu Urban mengusulkan operasi radikal mastektomi yang diperluas

(extended radical mastectomy), di mana kelenjar getah bening mamaria interna

ikut diambil. Urban melaporkan kelangsungan hidup setelah 10 tahun operasi

radikal mastektomi yang diperluas adalah 35,5%.

Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Veronesi et al dan beberapa

penelitian lain tidak dapat membuktikan bahwa operasi radikal mastektomi

yang diperluas hasilnya lebih baik dari radikal mastektomi standard. Sejak itu

radikal mastektomi yang diperluas tidak lagi dilakukan dan selanjutnya menjadi
71

pertanyaan apakah benar suatu operasi yang lebih radikal dapat memperbaiki

kesempatan hidup pasien. Untuk mengatasi gangguan dari pergerakan lengan

dan tangan akibat diangkatnya otot-otot pektoralis, Auchincloss melakukan

operasi radikal mastektomi yang dimodifikasi di mana otot-otot pektoralis tidak

diambil dan kelenjar getah bening aksila hanya diambil sampai setinggi

prosesus korakoideus.

Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil

kelangsungan hidup yang bermakna antara operasi radikal mastektomi standard

dan radikal mastektomi yang dimodifikasi. Alabama breast cancer project juga

membuktikan bahwa setelah 10 tahun antara operasi radikal mastektomi dan

radikal mastektomi yang dimodifikasi tidak ditemukan perbedaan kelangsungan

hidup pasien yang bermakna.

Hasil-hasil penelitian ini telah mengukuhkan operasi radikal mastektomi

yang dimodifikasi sebagai operasi pilihan terhadap tumor ganas payudara

stadium I dan II sampai tahun 1970-an.

Menurut asumsi peneliti, bahwa dilakukannya mastektomi bilateral dapat

lebih mempengaruhi kualitas hidup dari pasien kanker payudara tersebut, karna

berdasarkan data yang sudah dijelaskan diatas bahwa mastektomi memiliki

kelemahan yaitu dari efek estetika dan gagalnya untuk memperpanjang hidup

penderita kanker, maka kualitas hidup dari mastektomi bilateral lebih memiliki

kualitas hidup kurang daripada pasien yang dilakukannya operasi mastektomi

unilateral.
72

4.5 Gambaran item kualitas hidup pasien kanker payudara di Instalasi

Onkologidan ruang raflesia Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H Abdul

Moeloek Bandar Lampung

Pengukuran kualitas hidup dengan kuisioner EORTC QLQ-C30 di

samping hasil akhir didapatkan derajat kualitas hidup pasien kanker secara

umum, kita juga dapat melihat dan membandingkan beberapa aspek yang

memengaruhi kualitas hidup di antaranya fungsi fisik, peran, emosi, kognitif,

sosial, domain gejala dan masalah finansial.

Rendahnya kualitas hidup pada penderita kanker juga dapat dipengaruhi

oleh faktor yang beranekaragam, seperti gejala, jenis perawatan yang diperoleh

pasien, status penampilan pasien, depresi, dan keyakinan spiritual (Kreitler

et al, dalam Pradana, 2013).

Tabel 4.4 menunjukkan item fungsi fisik pasien kanker payudara baik

dominan memiliki kualitas hidup cukup. Hal demikian juga terdapat pada item

fungsi peran, emosi, dan kesehatan secara keseluruhan, sedangkan item fungsi

kognitif dan sosial pada pasien kanker payudara baik dominan memiliki kualitas

hidup kurang. Domain gejala seperti mual dan muntah, nyeri, insomnia, hilang

nafsu makan dan diare yang lebih dominan dialami pasien kanker payudara

dengan kualitas hidup cukup. Domain gejala dipsnea dan sembelit yang juga

dominan dialami pasien kanker payudara memiliki kualitas hidup kurang.

Sedangkan lelah dan kesulitan keuangan yang lebih sedikit dialami oleh pasien

kanker payudara juga menunjukkan kualitas hidup cukup.

Kualitas hidup pasien kanker payudara berada pada kategori kurang

kemungkinan dikarenakan besarnya pengaruh terhadap beberapa subitem gejala


73

(mual dan muntah, nyeri, dipsnea, insomnia, kehilangan nafsu makan, sembelit

dan diare) yang dominan pada responden terhadap item lainnya yang

menunjukkan hasil dengan kategori baik seperti status kesehatan keseluruhan

dan beberapa skala fungsional seperti fungsi fisik, dan kognitif. Dominasi

beberapa subitem gejala pada pasien kanker payudara yang telah menjalani

mastektomi dan kemoterapi diakibatkan karena pengambilan data dilakukan

pada beberapa waktu setelah dilakukannya kemoterapi sehingga mengakibatkan

pasien tidak terlalu mengingat hal yang buruk terhadap kesehatannya saat

setelah menjalani terapi tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas

hidup pasien.

Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dilakukan pada seluruh item dan

subitem Kualitas hidup didapatkan data berdistribusi tidak normal (p<0,05),

sehingga dilakukan Uji korelasi Spearman yang didapatkan adanya korelasi

antara kualitas hidup pasien kanker payudara dengan fungsi fisik (p = 0,000; r =

0,468), fungsi emosi (p = 0,020; r = 0,305), kesehatan secara keseluruhan (p =

0,028; r = 0,289) subitem lelah (p = 0,000; r = 0,491) mual dan muntah (p =

0,007; r = 0,348) nyeri (p = 0,007; r = 0,348) insomnia (p = 0,008; r = 0,346)

hilang nafsu makan (p = 0,006; r = 0,357) sembelit (p = 0,015; r = 317) diare (p

= 0,001; r = 0,413).

Kualitas hidup pasien kanker payudara tidak berkorelasi dengan fungsi

peran (p = 0,084; r = 0,229) fungsi kognitif (p = 0,324; r = 0,127) fungsi sosial

(p = 0,228; r = 0,161) subitem dipsnea (p = 0,107; r = 0,214), dan kesulitan

keuangan (p = 0,265; r = 0,149).


74

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi item kualitas hidup pasien kanker payudara di Instalasi
Onkologi dan ruang raflesia di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar Lampung

Item Kualitas Hidup N QOL P R


Kurang Cukup Baik
Fungsi Fisik - 468
Baik 30(51,7) 11(36,7) 17(56,7) 2(6,7)
Buruk 28(48,3) 23(82,1) 5(17,9) 0
Fungsi Peran 084 229
Baik 15(25,9) 6(40,0) 8(53,3) 1(6,7)
Buruk 43(74,1) 28(65,1) 14(32,6) 1(2,3)
Fungsi Emosi 020 305
Baik 22(37,9) 9(40,9) 11(50,0) 2(9,1)
Buruk 36(62,1) 25(69,4) 11(30,6) 0
Fungsi Kognitif 342 127
Baik 35(60,3) 19(54,3) 14(40,0) 2(5,7)
Buruk 23(39,7) 15(65,2) 8(34,8) 0
Fungsi Sosial 228 161
Baik 20(34,5) 10(50,0) 8(40,0) 2(10,0)
Buruk 38(65,5) 24(63,2) 14(36,8) 0
Kesehatan secara 028 289
keseluruhan
Baik 33(56,9) 15(45,5) 17(51,5) 1(3,0)
Buruk 25(43,1) 19(76,0) 5(20,0) 1(4,0)
Lelah - 491
Mayor 15(25,9) 3(20,0) 10(66,7) 2(13,3)
Minor 43(74,1) 31(72,1) 12(17,9) 0
Mual dan Muntah 007 348
Mayor 37(63,8) 17(45,9) 18(48,6) 2(5,4)
Minor 21(36,2) 17(81,0) 4(19,0) 0
Nyeri 007 348
Mayor 37(63,8) 17(45,9) 18(48,6) 2(5,4)
Minor 21(36,2) 17(81,0) 4(19,0) 0
Dipsnea 107 214
Mayor 42(74,4) 22(52,4) 18(42,9) 2(4,8)
Minor 16(27,6) 12(75,0) 4(25,0) 0
Insomnia 008 246
Mayor 32(55,2) 14(43,8) 16(50,0) 2(6,3)
Minor 26(44,8) 20(76,9) 6(23,1) 0
Hilang Nafsu Makan 006 357
Mayor 33(56,9) 14(42,4) 18(54,5) 1(3,0)
Minor 25(43,1) 20(80,0) 4(16,0) 1(4,0)
Sembelit 015 317
Mayor 47(81,0) 24(51,5) 21(44,7) 2(4,3)
Minor 11(19,0) 10(90,9) 1(9,1) 0
Diare 001 413
Mayor 36(62,1) 15(41,7) 20(55,6) 1(2,8)
Minor 22(37,9) 19(86,4) 2(9,1) 1(4,5)
75

Kesulitan Keuangan 265 149


Mayor 13(22,4) 6(46,2) 6(46,2) 1(7,7)
Minor 45(77,6) 28(62,2) 16(35,6) 1(2,2)

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi fisik p = 0,000 < 0,05 adanya korelasi yang mempunyai arti ada

hubungan yang signifikan antara fungsi fisik dengan kualitas hidup penderita

kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,468 dengan arah hubungan

positif dan kekuatan korelasi cukup, yang artinya semakin baik fungsi fisik pada

penderita kanker payudara maka kualitas hidup penderita kanker payudara

semakin baik. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian (Waltrin, 2017)

dengan hasil p = 0,347 dan koefisien korelasi (r) -0,210 yang artinya korelasi

negatif terhadap kualitas hidup dimana makin tergolong baik fungsi fisik

pasiennya makin rendah kualitas hidupnya, Menurut asumsi peneliti berbeda

mungkin karena jumlah responden dan uji yang digunakan berbeda yaitu

menggunkan uji korelasi pearson atau data berdistribusi normal.

Namun hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu

terminology yang menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi

seseorang serta kemampuannya untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Menurut

asumsi peneliti berbeda mungkin karena jumlah responden dan uji yang

digunakan berbeda yaitu menggunkan uji korelasi pearson atau data berdistribusi

normal.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Rina dan Ade di medan yang

menyatakan sebagian besar pasien kanker payudara yang memiliki kualitas

hidup rendah ditunjukkan dengan rendahnya kesehatan fisik, kesejahteraan


76

psikologis, serta hubungan dengan lingkungan bagi para wanita dewasa awal

penderita kanker payudara tersebut.

Uji korelasi antara kualitas hidup pasien kanker payudara dengan fungsi

peran p = 0,084 > 0,05 tidak adanya korelasi yang mempunyai arti tidak ada

hubungan yang signifikan antara fungsi peran dengan kualitas hidup penderita

kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,229 dengan arah hubungan

positif dan kekuatan korelasi cukup, hasil ini sejalan dengan teori yang

dikemukakan oleh Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan kualitas hidup

merupakan suatu terminology yang menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial

dan emosi seseorang serta kemampuannya untuk melaksanakan tugas sehari-

hari.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi Emosi p = 0,020 < 0,05 adanya korelasi yang mempunyai arti ada

hubungan yang signifikan antara fungsi emosi dengan kualitas hidup penderita

kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,305 dengan arah hubungan

positif dan kekuatan korelasi cukup, yang artinya semakin baik fungsi emosi

maka kualitas hidup penderita kanker payudara semakin baik. Dimana menurut

asumsi peneliti emosi seorang pasien mampu mempengaruhi kualitas hidupnya.

Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Donald (dalam Urifah,

2012) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu terminology yang

menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta

kemampuannya untuk melaksanakan tugas sehari-hari.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi kognitif p = 0,342 > 0,05 tidak adanya korelasi, yang mempunyai
77

arti tidak adanya hubungan yang signifikan antara fungsi kognitif dengan

kualitas hidup penderita kanker payudara, dengan koefisien korelasi (r) 0,127

dengan arah hubungan positif dan kekuatan korelasi lemah. Hal ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan

kualitas hidup merupakan suatu terminology yang menunjukkan tentang

kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemampuannya untuk

melaksanakan tugas sehari-hari.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan fungsi sosial p = 0,228 < 0,05 tidak adanya korelasi yang mempunyai

arti tidak ada hubungan yang signifikan antara fungsi sosial dengan kualitas

hidup penderita kanker payudara dengan koefisien korelasi (r) 0,161 dengan

arah hubungan positif dan kekuatan korelasi lemah. Hasil ini tidak sejalan

dengan teori yang dikemukakan oleh Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan

kualitas hidup merupakan suatu terminology yang menunjukkan tentang

kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemampuannya untuk

melaksanakan tugas sehari-hari.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nurachmah (1999), dimana penderita kanker payudara mengekspresikan

ketidakberdayaan, merasa tidak sempurna lagi, malu dengan bentuk

payudara, tidak bahagia, merasa tidak menarik lagi, perasaan kurang diterima

oleh orang lain, merasa terisolasi, takut, berduka, berlama-lama di tempat

tidur, ketidakmampuan fungsional, gagal memenuhi kebutuhan keluarga,

kurang tidur, sulit berkonsentrasi, kecemasan dan depresi, dimana dapat

memicu penurunan kualitas hidupnya. Kroenke et al (dalam Avis et al,


78

2004) juga menemukan bahwa wanita dibawah 40 tahun dengan kanker

payudara mengalami penurunan signifikan lebih besar pada peran fisik,

nyeri tubuh, fungsi sosial, dan kesehatan mental.

Havighurst (dalam Hurlock, 2012) menjelaskan usia dewasa madya

memiliki tuntutan peran sosial yang tinggi. Jika pada masa tersebut seseorang

mengalami kondisi kronis, maka akan membatasi produktivitas mereka.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan kesehatan secara keseluruhan p = 0,028 < 0,05 adanya korelasi yang

mempunyai arti ada hubungan yang signifikan antara kesehatan secara

keseluruhan dengan kualitas hidup penderita kanker payudara dengan koefisien

korelasi (r) 0,289 dengan arah hubungan positif dan kekuatan korelasi cukup,

yang artinya semakin baik kesehatan pada penderita kanker payudara maka

kualitas hidup penderita kanker payudara semakin baik. Hasil tersebut tidak

sejalan dengan penelitian (Waltrin, 2017) di medan yakni hasil analisa data

dalam penelitian ini diperoleh dengan hasil p = 0,013 dan koefisien korelasi (r)

-0,546 sehingga ada hubungan yang bermakna antara kesehatan keseluruhan

dengan kualitas hidup perempuan dengan kanker payudara dengan korelasi

negatif yang artinya dimana makin tergolong sehat secara keseluruhan pasiennya

makin rendah kualitas hidupnya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

oleh Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan kualitas hidup merupakan suatu

terminology yang menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi

seseorang serta kemampuannya untuk melaksanakan tugas sehari-hari.

Uji korelasi spearmen antara kualitas hidup pasien kanker payudara

dengan sub Item gejala lelah, mual dan muntah, nyeri, insomnia, hilang nafsu
79

makan, sembelit dan diare memiliki korelasi yang mempunyai arti ada hubungan

yang signifikan antara subitem gejala lelah, mual dan muntah, nyeri, insomnia,

hilang nafsu makan, sembelit dan diare dengan kualitas hidup penderita kanker

payudara dengan koefisien korelasi arah hubungan positif dan kekuatan korelasi

cukup.

Sedangkan untuk uji korelasi spearmen antara kualitas hidup dengan sub

item gejala dipsnea dan kesulitan keuangan tidak adanya korelasi yang artinya

tidak ada hubungan yang signifikan antara sub item gejala dengan kualitas

hidup, dengan koefisien korelasi arah positif dan kekuatan korelasi lemah.

Studi yang telah dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar memperlihatkan

penurunan kualitas hidup pasien kanker disebabkan karena adanya keluhan rasa

nyeri, sesak, insomnia, kehilangan nafsu makan dan mengalami diare yang

dominan (Sutrisno, Dharmayuda dan Rena, 2010). Hasil penelitian ini

memperlihatkan sub item gejala yang sesuai dengan penelitian Sutrisno,

Dharmayuda dan Rena tentang Kalitas hidup yang menurun ketika dilakukannya

kemoterapi pada pasien kanker.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup Pasien Kanker

Payudara yang telah dilakukan Operasi Mastektomi dan Kemoterapi di RSUD Dr.

H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2018, di peroleh Kesimpulan sebagai

berikut :
80

1. Berdasarkan karakteristik demografi responden, usia mayoritas responden

berada pada rentang usia 39-55 tahun, status perkawinan responden mayoritas

sudah menikah, mayoritas responden beragama islam, mayoritas bersuku Jawa,

kategori gabungan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas

menempati tingkat pendidikan terbanyak pada responden, ibu rumah tangga

merupakan pekerjaan terbanyak dibandingkan pekerjaan lainnya, mayoritas

penghasilan perbulan responden yaitu kurang dari Rp500.000,00.

2. Hasil pengukuran kualitas hidup dengan kuisioner EORTC QLQ-C30

menunjukkan dari 30 pertanyaan yang memuat tujuh item kualitas hidup

didapatkan kualitas hidup kurang sebanyak 34 responden (58,6 %), kualitas

hidup cukup sebanyak 22 responden (37,9%) dan kualitas hidup baik sebanyak 2

responden (3,4).

3. Hasil pengukuran tujuh domain kualitas hidup dengan menggunakan kuisioner

EORTC QLQ-C30, secara keseluruhan pasien kanker payudara yang telah

dilakukan mastektomi dan kemoterapi di RSUD Dr.H Abdul Moeloek Bandar

Lampung didapatkan kualitas hidup kurang kemungkinan dikarenakan besarnya

pengaruh beberapa subitem gejala (mual dan muntah, nyeri, insomnia,

kehilangan nafsu makan, sembelit, dan diare) yang dominan pada responden.

Fungsi fisik, kognitif, dan status kesehatan global adalah baik, Sedangkan fungsi

peran, emosi, dan social adalah buruk. Kejadian beberapa subitem gejala yang

lain seperti lelah dan kesulitan keuangan tidak mendominasi pada responden

penelitian ini. Setelah dilakukan uji korelasi Spearman menunjukkan adanya

korelasi antara kualitas hidup dengan item kesehatan secara keseluruhan, fungsi
81

fisik, fungsi emosi dan subitem gejala yaitu lelah, mual dan muntah, nyeri,

insomnia, hilang nafsu makan, sembelit, diare, dan kesulitan keuangan.

5.2 SARAN

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi tim pelayanan

kesehatan dalam memberikan intervensi yang tepat kepada pasien kanker

payudara sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan

pengatahuan terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara serta adanya

pengaruh lingkungan sosial seperti dukungan psikologis dan pembinaan spiritual

selain intervensi medis yang diberikan kepada pasien kanker payudara yang

dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan

sampel yang jumlahnya lebih banyak, metode yang lebih kuat (kohort) dan

adanya interval pengumpulan data dan jadwal kemoterapi terakhir untuk melihat

hubungan atau korelasi antara kualitas hidup pasien kanker payudara.

4. Bagi Universitas
82

Dapat dijadikan referensi untuk perpustakaan universitas malahayati yang

menfaatnya nanti dapat dirasakan oleh mahasiswa/i nya.

Anda mungkin juga menyukai