Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KIMIA MEDISINAL

HUBUNGAN STEREOKIMIA
DAN AKTIVITAS OBAT

Oleh:

KELOMPOK 2

HIKMAWATI H311 13 006

SAMRIANI H311 13 008

MARYA ULFA H311 13 010

VERONIKA BATTUNG H311 13 012

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhahu wa Ta’ala atas segala

limpahan nikmatnya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini

disusun sebagai tugas presentasi mata kuliah Kimia Medisinal yang berjudul

"Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis Obat".

Sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan, kami menyadari

bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna. Semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada rekan-rekan yang

telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, sekali lagi

penulis menyampaikan ucapan terima kasih.

Makassar, 7 November 2016

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis

obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan

aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.

Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi

reseptor dan sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan

oleh stereokimia molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran

penting dalam menentukan efisiensi interaksi obat reseptor. Oleh karena itu agar

berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis, molekul obat

harus mempunyai struktur dengan derajat kespesifikan tinggi.

Pada interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu

distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi

obat dan reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor

struktur yang penting, yaitu:

a. Stereokimia molekul obat

b. Jarak antar atom atau gugus

c. Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul

Perbedaan aktivitas farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan

oleh tiga faktor, yaitu:

a. Perbedaan dalam distribusi isomer dalam tubuh

b. Perbedaan dalam sifat-sifat interaksi obat-reseptor

c. Perbedaan dalam adsorpsi isomer-isomer pada permukaan reseptor yang

sesuai
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan

pengaruh isomer terhadap aktivitas biologis obat.


BAB II

ISI

2.1 Aspek Stereokimia Obat

Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek

samping atau toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu

dilakukan modifikasi struktur molekul obat. Ada dua aspek stereokimia obat

yakni:

A. Isosterisme

Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan

seleksi dari bagian sruktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat

kelarutannya, elektronik dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling

dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.

Langmuir (1919) mencoba mencari hubungan yang dapat menjelaskan

adanya persamaan. Sifat fisik dari olekul yang bukan isomer, dan memberikan

batasan bahwa isosteris adalah senyawa-senyawa, kelompok atom-atom, radikal

atau molekul yang mempunyai jumlah dan pengaturan elektron yang sama,

bersifat isoelektrik dan mempunyai kemiripan sifat-sifat fisik.

Contoh: molekul N2 dan CO masing-masing mempunyai total elektron = 14,

sama-sama tidak bermuatan ditunjukkan sifat fisik yang relatif sama, seperti

kekentalan, kerapatan, indeks refraksi, tetapan dielektrik dan kelarutan. Hal ini

berlaku pula untuk molekul-molekul N2O dan CO2, serta CH2N2 dan CH2 = CO.

Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul,

yang mempunyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan

ukuran, keelektronegatifan atau stereokimia.


Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi

elektronik sama adalah :

a. Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)

b. Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)

c. Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)

Gugus-gugus divalen eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-)

meskipun berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga

sering pula dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.

Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk:

a. Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas

biologis yang dikehendaki.

b. Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih selektif

c. Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal

metabolit (antimetabolit)

Friedman (1951) memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian

berkembang menjadi salah sau konsep dasar sebagai hipotesis untuk

perkembangan kimia medisinal. Idealnya, bioisosterisme melibatkan pergantian

gugus fungsi dalam struktur molekul yang spesifik aktif dengan gugus lain dan

pergantian tersebut akan menghasilkan senyawa baru dengan aktvitas biologis

yang lebih baik.

Burger (1970) menghasilkan bioisosterisme klasik, contohnya:

a. Atom atau gugus monovalen, contoh : R-X-Hn, di mana X adalah atom C,

N, O atau atom S, dan R-X, dimana X adalah atom F,Cl, Br, dan I

b. Atom atau gugus divalen, contoh : R-X-R', dimana X adalah O, S, CH2

atau NH.
c. Atom atau gugus trivalen, contoh : R-N=R', R-CH=R', R-P=R', R-As=R',

dan R-Sb=R'.

d. Atom atau gugus tetravalen, contoh : R=N+=R', R=C=R', R=P+=R',

R=As+=R' dan R=Sb+=R'

Pada modifikasi isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat

memperkirakan apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas

biologis. Meskipun demikian isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai

dasar rancangan obat dan modifikasi molekul dalam rangka menentukan obat

baru.

Contoh modifikasi isosterisme:

CNS DEPRESANT ANTI DEPRESI

N N
R R R = -CH2CH2CH2N(CH3)2

Promazin Imipramin
(cincin fenotiazin) (cincin dihidrodibenzazepin)

HC R HC R R = -CH 2CH 2N(CH 3)2


Klorprotixen Amitriptilin
(cincin tioxanten) (cincin dibenzosikloheptadien)

Penggantian gugus sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin

tioxanten, dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin

dihidrodibenzazepin, dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.

Contoh :

1). Gugus S pada promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem saraf

pusat (tranquilizer), bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imipramin dan

amitriptilin yang berkhasiat sebagai perangsangan sistem saraf pusat (antidepresi).


2). Turunan dialkiletilamin

R – X – CH2 – CH2 - N – (R’)2

X = O, NH, CH2, S : senyawa antihistamin

X = COO, CONH, COS : senyawa pemblok adrenergik

3). Turunan E ster etiltrimetilamonium

R-COO-CH2-CH2-N+(CH3)3

CH3 Asetilkolin : masa kerja muskarinik singkat

NH2 Karbamikolin : masa kerja muskarinik panjang

Penggantian gugus CH3 dengan gugus NH2 yang bersifat penarik elektron dapat

meningkatkan kestabilan ester terhadap proses metabolime sehingga

karbamilkolin, mempunyai masa kerja muskarinik lebih panjang disbanding

asetilkolin.

4) Obat antid iabetes turunan sulfonamide

R R' t1/2 (jam)


O
NH 2 n-C 4H9 : Karbutamid 0,5
R SO2NH C NH R'
CH 3 n-C 4H9 : Tolbutamid 5,7
Cl n-C 3H7 : Klorpropamid 33

Tolbutamid dan klorpropamid mempunyai waktu paruh biologis (t1/2)

lebih panjang dan toksisitas yang lebih rendah dibanding karbutamid karena

gugus tolbutamid merupakan gugus yang relatif labil dibanding gugus NH2, dan

pada in vivo mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat (t1/2 = 5,7 jam). Gugus

Cl pada klorpropamid lebih tahan terhadap proses oksidasi sehingga masa kerja

obat lebih panjang (t1/2 lebih besar dari 33 jam).

5. Prokain dan prokainamid

H2N C X CH2CH2N(C2H5)2
Gugus dipol C=O mempunyai peran spesifik dalam konduksi saraf.

bila X diganti dengan:

O  Prokain : anestesi setempat

NH  Prokainamid : antiaritmia

Resonansi dari gugus amida prokainamid akan kekuatan dipol gugus C=O,

sehingga prokainamid mempunyai aktivasi anestesi setempat lebih rendah

dibanding prokain. Struktur prokainamid lebih stabil dibanding prokain karena

lebih tahan terhadap hidrolisis oleh enzim esterase sehingga secara oral dapat

digunakan untuk pengobatan aritmia jantung karena mempunyai masa kerja yang

lebih panjang.

6. Antimetabolit purin

Adenin dan hipoxantin merupakan metabolit normal dalam tubuh.

Gugus NH2 dan OH pada C6 memegang peranan penting pada interaksi yang

melibatkan ikatan hydrogen dari kedua basa, pada proses replikasi asam nukleat

dalam biosintesis protein sel. Penggantian gugus-gugus tersebut dengan gugus

SH, contoh : 6-merkaptopurin, akan memperlemah ikatan hidrogen, terjadi

hambatan sebagian dari proses interaksi di atas sehingga kecepatan sintesissel

menurun dan senyawa berfungsi sebagai antimetabolit (antikanker).

Selain gugus isosterik dan bioisosterik dikenal pula gugus haptoforik dan

gugus farmakoforik. Gugus haptoforik adalah gugus yang membantu pengikatan

obat-reseptor, sedang farmakoforik adalah gugus yang bertanggung-jawab

terhadap respons biologis..

Contoh gugus haptoforik adalah gugus-gugus besar seperti difenilmetil

yang terdapat pada difenhidramin (antihistamin), metadon (analgesik narkotika)


dan DDT (insektisida), atau gugus fenotiazin, seperti yang terdapat pada

prometazin (antihistamin) dan klorpromazin (tranquilizer).

H COCH2CH3 Cl H
C C C
OCH2CH2N(CH3)2 CH2CH(CH3)N(CH3)2 Cl CCl3

Difenhidramin Metadon Cl DDT

S N CH2 CH N(CH3)2 S N CH2CH2CH2N(CH3)2


CH3

Prometazin Klorpromazin

Contoh gugus farmakoforik adalah gugus sulfonilurea (antidiabetes),

sulfonamida (antibakteri), dan gugus sulfon (penghambat karbonik anhidrase).

2.2 Isomer dan Aktivitas Biologis Obat

Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada

umumnya mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini

disebabkan oleh orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang

sama. Dari gambaran sterik dikenal beberapa macam struktur isometri, antara lain
adalah isomer geometrik, isomer konformasi, diastereoisometri dan isomer optik.

Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat.

1). Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis

1. Isomer geometrik dan aktivitas biologis

Isomer geometri atau isomer cis trans adalah isomer yang disebabkan

adanya atom-atom atau gugus-gugus yang terikaat secara langsung pada suatu

ikatan rangkap atau dalam suatu sistem alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem

alisiklik membatasi gerakan atom dalam mencapai kedudukan yang stabil

sehingga terbantuk isomer cis-trans dan isomer cis-trans cenderung menahan

gugus-gugus dalam molekul pada ruang yang relatif berbeda dan perbedaan letak

gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan perbedaan kimia fisika. Akibatnya,

distribusi isomer dalam media biologis juga berbeda, dan berbeda pula

kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.

A A A C
C == C C == C
B C B A
X

X
A' A' A' A'
R e s e pt o r C' B' R e s e pt o r C'
B'

Gugus B dan C dalam bentuk Gugus B dan C dalam bentuk


isomer cis, interaksi serasi isomer trans, interaksi kurang serasi

2. Isomer konfirmasi dan aktivitas biologis

Isomer konfirmasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan

pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat.

Isomer konfirmasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik. Contoh
sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan

melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk

konfirmasi perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan

cenderung ditahan pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih

muda terpengaruh oleh efek sterik.

Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama

lain sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada

kedudukan ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non

aromatik, atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau

aksial atau kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama

atau berbeda. Contoh ,

H H
H3C
+
N CH3 7 kkal/mol O
H
H
C
H5C2 O CH3 + CH3
CH3 N
H H3C
O H H H
C O
H5C2 H H

Bentuk equatorial-fenil trimeperidin Bentuk aksial-fenil trimeperidin

Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur

molekulnya bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi

pada gugus fenil dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam

bidang cincin pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial

dibutuhkan energi lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari

trimeperidin mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh

bentuk isomer konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.

Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat

menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang


rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem

kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin

atau sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.

Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan

gugus fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari

molekul.

Contoh :

1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding

analog jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan

kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan

planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang

tidak planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.

2. Aktivitas pemblok adrenergik dari - haloalkilamin tergantung pada

koplanaritas substituen pada cincin benzen.

Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari

satu efek biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur

sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda.

Contoh
1. Asetil kolin

Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu

a. bentuk konfirmasi tertutup

Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O

dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk

struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor

nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.

b. bentuk konfirmasi memanjang penuh

pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O

sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat

berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik

dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,

2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodide

I- I-
H3C O
H3C
+ CH3 + CH3
N O C
N H H3C
H3C CH3
CH3 H
H H O C H H
O
H H

trans-2-Asetoksisiklopropil cis-2-Asetoksisiklopropil
trimetilamonium iodida trimetilamonium iodida

Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan

terpisah dari atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi

memanjang seperti asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih

besar dari asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah

anjing 5 kali lebih besar dari asetilkolin.


Bentuk isomer (+) trans juga mudah dihidrolisis oleh enzim esterase

dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans,

(+)cis, dan (-) cis, aktivitas muskariniknya sangat rendah.

3. Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis

Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang

mempunyai dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional

sama dan memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus

substitusi terletak pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer

mempunyai sifat fisik, kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda

pula. Perbedaan sifat-sifat di atas berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme

dan interaksi isomer dengan reseptor.

Perbedaan interaksi dengan reseptor dari senyawa-senyawa

diastereoisomer dapat dilihat pada gambar berikut.

(cis) Diastereoisomer (trans)

B Contoh :
BC
log P (cis) > log P (trans)
A C
A
membran biologis

B BC

A C A

B' B'
Reseptor
A' C' A' C'

Interaksi serasi Interaksi kurang serasi


aktivitas lebih besar aktivitas kecil
Keterangan :

Nilai koefisien partisi lemak/air isomer cis tidak sama dengan isomer trans atau

log P (cis) > log P (trans).

A,B, dan C : gugus-gugus pada Isomer

A’,B’,dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor

Diasterioisomer kemungkinan juga mempunyai aktifitas optis.

Contoh: efedrin, mempunyai 2 atom C asimetrik dengan 4 bentuk aktif optis,

dapat membentuk diasterioisomer (+-) eritro dan (+-) itreo, yang dapat dilihat

pada gambar berikut:

Efedrin (eritro) Pseudoefedrin (treo)

(-)S,R (+)S,S (-)R,R


(+)R,S

 H C OH HO C H H C OH HO C H
 H C NHCH3 H3CHN C H H3CHN C H H C NHCH3
CH3 CH3 CH3 CH3

Aktifitas presor relative (APR) isomer-isomer efedrin dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel. Hubungan isomer-isomer efedrin dan aktivitas presor relative (APR)

Isomer APR

D (-) Eferdrin 36

L (+) Efedrin 11

D(-) Pseudoefedrin 7

L(+) Pseudoefedrin 1

DL(+-) Efedrin 26

DL(+-) Pseudoefedrin 4
Dari gambar dan tabel terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai bila pusat Cα

berada pada kedudukan (S) dan pusat Cβ pada kedudukan (R). Jadi hanya bentuk

D(-) efedrin yang secara nyata dapt memblok reseptor β-adrenergik dan

menurunkan tekanan darah.

4. Isomer Optik dan Aktivitas Biologis

Isomer Optik adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang

mempunyai atom C asimetrik. Isomer optic mempunyai sifat kimia Fisika sama

dan hanya berbeda pada kemampuan dalam memutar bidang cahaya terpolarisasi

atau berbeda rotasi optiknya. Masing-masing isomer hanya dapat memutar bidang

cahaya terpolarisasi ke kiri atau ke kanan saja dengan sudut pemutaran yang sama.

Isomer optic kadang-kadang mempunyai aktivitas biologis yang berbeda karena

ada perbedaan dalam interaksi isomer-isomer dengan reseptor biologis.

Menurut Beckett, perbedaan interaksi isomer-isomer optic dengan reseptor

biologis diilustrasikan seperti pada gambar berikut:

(+) Isomer Optik (-)

Contoh :
A C A C log P ( + ) = log P ( - )
B B

membran biologis

A C A C
B B

A' C' Reseptor A' C'


B' B'

Interaksi serasi Interaksi kurang serasi


aktivitas lebih besar aktivitas kecil
Keterangan :

Nilai koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)

A, B, dan C : gugus-gugus pada isomer

A’, B’, dan C’ : tempat yang sesuai pada reseptor

Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic dengan aktivitas

biologis berbeda :

1. (-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding

isomer (+)

2. D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding

isomer (+)

3. (-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)

4. (-)-α-Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak

menimbulkan efek antihipertensi

5. D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+)

eritro efeknya negative

6. (+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding

isomer (-)

7. (+)-α-Propoksifen mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-)

mempunyai efek antibatuk

8. L-(+)-Asam askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya

negarif

9. S-(+)-Indometasin mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya

negative

10. Isomer (-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini

berarti bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas

biologis kliekuin
Perbedaan aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan beberapa

perkiriraan sebagai berikut :

1. Ada perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang

perbedaan kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic

diseleksi terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor

spesifiknya.

Contoh :

a. Isomer optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan tubuh,

missal protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi perbedaan

absorbs, distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.

b. Salah satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang bersifat

stereospesifik.

c. Salah satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang

stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu

2. Menurut Cushny , perbedaan aktivitas tersebut disebabkan karena isomer optic

berinteraksi denga sisi reseptor yang aktif optis, menghasilkan diasterioisomer

dengan sifat kimia fisika berbeda sehingga terjadi perbedaan dalam distribusi

dan interaksi dengan reseptor spesifik.

3. Menurut Easson dan Stedman, struktur isomer optic secara teoritis dapat

menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam hal

pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat berinteraksi dengan

reseptor hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat berinteraksi.


Interaksi reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar

A A

B' D' B D D B
'
C C C

Reseptor hipotetis Isomer 1 Isomer 2


Letak persis sesuai Letak kurang sesuai
dengan reseptor hipotetis dengan reseptor hipotetis
Senyawa aktif Senyawa tidak aktif

Easson-Stedman juga memberikan postulat bahwa isomer optic dari

epinefrin, suatu obat adenergik, dapat menimbulkan aktivitas presor yang berbeda

karena mempunyai perbedaan dalam interaksi dengan permukaan reseptor.

Perbedaaan interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor

dijelaskan pada gambar

N Kationik Cincin aromatik N Kationik Cincin aromatik


H3C H2 H2
C H H3C OH
C
+ +
H N C H N C
H H
OH H

- daerah datar daerah datar


-
tempat anionik tempat anionik
R e s e pto r
tempat hidroksil tempat hidroksil tidak diduduki
(-) Epinefrin (+) Epinefrin
Interaksi serasi, lebih aktif Interaksi kurang serasi, kurang aktif

Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat secara

serasi pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang jauh

lebih besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang

terikat pada permukaan reseptor. Hilangnya gugus hidroksil pada struktur (-)
epinefrin (deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor

yang serupa dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat

permukaan reseptor.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis

obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan

aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.

Ada dua aspek stereokimia obat yakni

1. Isosterisme menggambarkan seleksi bagian struktur yang karena

karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya, memungkinkan

saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat

2. Isomer yang terdiri dari adalah isomer geometrik, isomer konformasi,

diastereoisometri dan isomer optik.


DAFTAR PUSTAKA

Siswandono, 2011, Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis


Obat, https://id.scribd.com/doc/72541587/4-Stereokimia.

Tristanti, I., 2013, Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis
Obat http://pharmaciststreet.blogspot.co.id/2013/01/hubungan-struktur-
aspek-stereokimia-dan.html

Anda mungkin juga menyukai