Anda di halaman 1dari 15

Humanika, Vol.

16, Nomor 1, September 2016

IMPLEMENTASI NILAI SOSIAL UKHUWAH


ISLAMIAH DI PONDOK PESANTREN

Oleh:
Iqbal Arpannudin
Jurusan PKnH Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
arpannudin@uny.ac.id

Abstrak
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat dijadikan sebagai sebuah model
pengembangan konsep-konsep civics dalam rangka memenuhi life skill warga negara.
Sebagian besar aktifitas di pondok pesantren adalah membangun kehidupan santri insan
kamil yang mempunyai ketangguhan iman dan kemampuan beramal soleh yang membentuk
nilai-nilai perilaku (behavioural values). Pengembangan nilai-nilai perilaku dalam
pembentukan individu insan kamil sejalan dengan pengembangan struktur nilai dasar
spiritual sebagai pengakuan terhadap martabat manusia (human dignity) yang memunculkan
nilai tanggung jawab sosial sebagai bagian dari nilai sosial. Di dalam komunitas pesantren
tanggung jawab sosial didasari oleh nilai spiritual yang terkandung dalam konsep ukhuwah
islamiah.
Kata kunci: pesantren, nilai sosial, ukhuwah islamiyah.

PENDAHULUAN Kelemahan ini tidaklah disebabkan


Umat beragama dan lembaga karena sedikitnya jumlah umat Islam,
keagamaan di Indonesia merupakan melainkan rendahnya kualitas sumber daya
potensi besar dan modal dasar dalam manusianya. Salah satu penyebab
pembangunan mental spiritual bangsa serta rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di
merupakan potensi nasional untuk kalangan umat Islam adalah karena
pembangunan fisik materil bangsa rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai
Indonesia. Namun demikian salah satu Islam, rendahnya solidaritas antar sesama
masalah yang dihadap umat Islam di muslim, saling mencurigai satu sama lain,
Indonesia sekarang ini adalah rendahnya dan faktor luar yang tidak kalah kuat
rasa kesatuan dan persatuan sehingga merongrong keukhuwahan umat Islam ini.
kekuatan mereka menjadi lemah. Oleh karena itu maka perlu dipikirkan
Kelemahan umat Islam Indoensia ini kembali solusi untuk menyelesaikan
terjadi hampir di semua sektor kehidupan, permasalahan tersebut.
baik ekonomi, politik, sosial, maupun Melihat paparan di atas seyogyanya
budaya. pendidikan agama tidak dapat diabaikan
dalam penyelenggaraan pendidikan

1
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

nasional. Dengan pendidikan dan Keberadaan pesantren di Indonesia


pengajaran agama, warga negara akan dimulai sejak Islam masuk ke negeri ini
memperoleh pendidikan moral dan budi dengan mengadopsi sistem pendidikan
pekerti yang akan membentuk bangsa keagamaan yang sebenarnya telah lama
Indonesia menjadi warga negara yang berkembang sebelum kedatangan Islam.
bermoral, bertanggung jawab, dan tahu pesantren berkembang sebagai produk
nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi budaya Indonesia dalam pendidikan
oleh bangsa Indonesia (Usman, 2011: 19). keagamaan dan sebagai lembaga
Pendidikan dalam Islam memiliki pendidikan yang berandil besar terhadap
makna sentral yang berarti pencerdasan proses penyelenggaraan pendidikan bangsa
secara utuh untuk mencapai kebahagiaan Indonesia. Dalam proses pendidikan
dunia akhirat (Mas’ud, 2003: 21). pesantren berkembang sistem pendidikan
Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang berbentuk pendidikan
tradisional Islam untuk memahami, formal, non formal, dan informal yang
menghayati, dan mengamalkan ajaran senantiasa berkembang sesuai kebutuhan
agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan pendidikan masyarakat dengan mengikuti
menekankan pentingnya moral agama arus perkembangan jaman.
Islam sebagai pedoman hidup Pondok pesantren hadir menjawab
bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994: kebutuhan untuk meningkatkan kualitas
6). Pesantren sama halnya dengan sekolah manusia Indonesia yang tidak hanya dalam
umum sebagai lembaga pendidikan yang pemajuan ilmu pengetahun dan dan
mempersiapkan peserta didik. Pesantren teknologi, namun juga iman dan takwa. Itu
sebagai lembaga pendididikan merupakan semua diarahkan pada pencapaian kualitas
sarana utama setelah keluarga dalam hidup manusia agar memiliki kecakapan
pembentukan karakter santri / peserta hidup yang seimbang antara duniawi dan
didik. Hal ini senada dengan pendapat akhirat. Pesantren juga berperan sebagai
Crosnoe (2004: 267) tentang sekolah lembaga dan kaderisasi, untuk mencetak
bahwa “Families and schools are two dan melahirkan santri pilihan yang akan
primary sources of social capital in the meneruskan tugas dakwah para wali, da’i
early life course”, yang dapat diartikan dan ulama, serta bertujuan menciptakan
bahwa keluarga seperti halnya sekolah manusia yang berhidmat kepada
adalah dua sumber utama modal sosial masyarakat untuk menegakkan ajaran
dalam pelajaran hidup awal.

2
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

Islam di tengah-tengah masyarakat Interaksi pembelajaran di lingkungan


(Mastuhu, 1994: 87). pondok pesantren melibatkan konsep-
Sebagai lembaga pendidikan yang konsep Agama Islam terutama dalam
telah lama berkembang di negeri ini, pembentukan individu insan kamil yang
pondok pesantren diakui memiliki andil mempunyai ketangguhan iman dan
yang sangat besar terhadap perjalanan kemampuan beramal soleh ini menjadi hal
sejarah bangsa, terutama dalam yang perlu diseimbangkan dengan
penyelenggaraan pendidikan keagamaan pembentukan life skill warga negara yang
dengan berbagai bentuk pendidikan seperti, baik terutama warga negara yang
pendidikan formal, non formal, dan mengetahui hak dan kewajiban
informal. Pondok pesantren sebagai sebuah bermasyarakat dengan ukhuwah islamiah
komunitas pendidikan secara konsepsional sebagai acuan dasar bermasyarakat dalam
relatif dapat dijadikan sebuah model Islam.
pengembangan konsep-konsep civics Kualitas hidup manusia Indonesia
dalam rangka memenuhi life skill warga diharapkan dapat dipenuhi melalui proses
negara. pendidikan yang diarahkan untuk
Jika disandingkan dengan lembaga mencapai kecakapan hidup warga negara
pendidikan Islam di Indonesia, pondok (life skill) yang diantaranya seperti yang
pesantren mempunyai ciri-ciri tersendiri, digambarkan oleh World Health
dan tradisi keilmuan yang berbeda dengan Organization bahwa kecakapan hidup
tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. sebagai keterampilan atau kemampuan
Dengan demikian pesantren menjadi untuk dapat beradaptasi dan berperilaku
lembaga pendidikan yang unik, tidak saja positif, yang memungkinkan seseorang
karena keberadaannya yang sudah lama, mampu menghadapi berbagai tuntutan dan
tetapi juga karena kultur, metode dan tantangan kehidupan secara efektif
penyajian yang diterapkan oleh lembaga (Nurmalina, 2008: 65).
pendidikan agama ini yang khas. Dari segi Pesantren memiliki kemampuan
historis, menurut Nurcholis Madjid untuk meningkatkan kualitas hidup
(Masyhud, 2003: 1) pondok pesantren manusia Indonesia. Nilai nilai sosial di
tidak hanya identik dengan makna dalam pesantren dapat dijadikan pedoman,
keislaman, tetapi juga mengandung makna rujukan, dan penguatan karakter santri
keaslian Indonesia (indigenous). yang berakhlak mulia. Nilai merupakan
perwujudan dari domain afektif pada diri

3
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

seseorang sebagai kesatuan yang utuh yang keluarga, kelompok, dan manusia secara
menentukan perilaku dan kepribadian keseluruhan”. Hal-hal yang berguna dalam
seseorang (Dzahiri, 1985). Oleh karena itu pengertian amal soleh tersebut ditunjukan
pesantren memegang peranan yang sangat dalam bentuk nilai- nilai perilaku
penting untuk memberikan penguatan (behavioral values).
pilihan-pilihan nilai yang menentukan Amal soleh dalam pembelajaran
perilaku seseorang tersebut. Hal ini Agama Islam menjadi hal yang perlu
sebagaimana pendapat Sztompka bahwa pengkajian bersama pembentukan nilai-
nilai menjadi preference (pilihan) dari nilai perilaku dalam kehidupan asyarakat
perilaku seseorang yang menjadi ukuran Indonesia yang plural. Nilai-nilai yang
kepatutan atau kepantasan. Seseorang akan dimaksud merupakan petunjuk-petunjuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang terinternalisasi di dalam ekspresi
perbuatan tergantung pada sistem nilai perilaku yang ditampilkan seseorang
yang dipegangnya (Rudi & Haikal, 2014: (Mulyana, 2004: 26). Pengembangan nilai-
30). nilai perilaku tersebut dirumuskan dalam
Ketangguhan iman adalah nilai dasar tujuan utama pendidikan seperti yang
spiritual yang harus dimiliki warga negara dikemukakan oleh Mulyana (2004: 106)
di lingkungan pesantren. Nilai dasar ini bahwa tujuan utama pendidikan adalah
diarahkan untuk mampu menjangkau “menghasilkan kepribadian manusia yang
kesadaran supralogis yang membuat matang secara intelektual, emosional, dan
dirinya lebih dari sekedar “manusia” (man spiritual”. Karena itu, komponen esensial
more than man) perwujudan dimensi kepribadian manusia adalah nilai (values)
spiritual ini adalah keimanan, sedangkan dan kebajikan (virtues)”. Konsep nilai
semangat keimanan itu disebut spiritualitas (values) dan kebajikan (virtues) memiliki
(Mulyana, 2004: 108). Tenaga spritual kecenderungan sama dengan konsep
dapat menumbuhkan ketaatan berdasarkan ketangguhan iman dan kemampuan
kewajiban serta menjadi sebuah motivasi beramal soleh terutama dalam
untuk membangkitkan, mempertahankan, pembentukan martabat manusia yang
dan mengontrol minat-minat beramal paripurna atau insan kamil.
soleh. Muhammad Abduh (Dahlan, Martabat manusia (human dignity)
Yaswirman, Raya, & Ritonga, 2000: 94) dianggap sebagai nilai yang tertinggi
mendefinisikan amal soleh sebagai “segala dalam membangun pendidikan yang
perbuatan yang berguna bagi pribadi, efektif. Menurut UNESCO (Mulyana,

4
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

2004: 107) mengungkapkan bahwa merespon dan betindak di lingkungannya


penghargaan terhadap martabat manusia yang didasarkan kepada pendapat Gross
dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan Zeleny bahwa diperlukan tiga hal
dan dapat mendorong manusia untuk dalam hubungan antara warga negara dan
memilih nilai-nilai dasar yang berkisar lingkungannya antara lain kepekaan sosial
di sekelilingnya. Nilai dasar ini, menurut (socially senstive), tanggung jawab sosial
UNESCO, meliputi nilai kesehatan, (socially responsible), dan kecerdasan
nilai kebenaran, nilai kasih sayang, nilai sosial (socially intelegence) (Wahab &
tanggung jawab sosial, nilai efisiensi Sapriya, 2011: 31).
ekonomi, nilai solidaritas global, dan nilai Tanggung jawab sosial dalam
nasionalisme. komunitas pesantren berakar dari konsep
Penelitian ini hanya mengambil ukhuwah islamiah yang mengikat
satu subsistem nilai dasar yaitu tanggung komunitas tersebut. Dalam konteks
jawab sosial sebagai bagian dari nilai komunitas pesantren, tanggung jawab
sosial dengan alasan bahwa dalam sosial didasari oleh nilai spiritual yang
kehidupannya seorang peserta didik dapat terkandung dalam konsep ukhuwah
melepaskan diri dari lingkungan sosial. Ia islamiah. Konsep ukhuwah islamiah
melakukan interaksi secara individual setidaknya terdapat empat hal, yaitu: (1)
maupun kelompok. Interaksi yang ukhuwah ubudiyah, (2) ukhuwah insaniah,
dilakukan ditandai oleh adanya kepedulian (3) ukhuwah wathaniah, dan (4) ukhuwah
terhadap orang lain, kebaikan antar fid dinul Islam (Shihab, 1996: 489).
sesama, kasih sayang, kebebasan, Pendidikan dalam Islam memiliki
persamaan, dan penghargaan atas hak asasi makna yang sangat penting dan
sesamanya. Nilai sosial tersebut tergambar menyeluruh dan utuh untuk pembangunan
dalam rentang yang menurut Spranger manusia dalam mengarungi kehidupan
adalah kadar nilai yang bergerak pada dunia dan mempersiapkan kebahagiaan di
rentang antara kehidupan individualistik akhirat kelak. Pesantren berperan sebagai
dengan yang altruistik (Mulyana, 2004: lembaga dan kaderisasi, untuk mencetak
34). dan melahirkan santri pilihan yang akan
Pembentukan tanggung jawab sosial meneruskan tugas dakwah para wali, da’i
warga negara dalam lingkungan dan ulama, serta bertujuan menciptakan
pembelajaran didasarkan pada manusia yang berhidmat kepada
pembentukan warga negara dalam masyarakat untuk menegakkan ajaran

5
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

Islam di tengah-tengah masyarakat mengungkapkan tiga unsur utama dalam


(Mastuhu, 1994: 55–56). pesantren yaitu pelaku (kiai, ustadz, santri
Pesantren berawal dari pola dan pengurus), sarana (masjid, pondok,
pendidikan tradisional Islam telah kelas), dan prasarana (kurikulum, sumber
menguatkan jati dirinya untuk mengikuti belajar, cara belajar dan evaluasi belajar),
pola perkembangan kehidupan masyarakat. seperti di bawah ini:
Pondok pesantren sebagai pendidikan a. pelaku: Kiai, Ustadz, Santri, dan
Islam tradisional di Indonesia dan Pengurus;
keberadaan sistem “boarding school ini b. sarana perangkat keras: mesjid,
dapat dilacak pada abad ke-18 pondok, gedung sekolah;
(Srimulyani, 2007: 88) Namun hal c. Sarana perangkat lunak: tujuan,
tersebut, tidak lepas dari inti tugas kurikulum, sumber belajar, cara
utamanya yaitu mengamalkan ajaran belajar, dan evaluasi belajar.
agama Islam atau tafaqquhfiddin. Mastuhu
(1994: 6) mengungkapkan bahwa Tipologi pesantren sendiri terdiri dari
pesantren adalah lembaga pendidikan tiga bentuk yang ada, yaitu (1) salafi,
tradisional Islam untuk memahami, Pesantren yang tetap mempertahankan
menghayati, dan mengamalkan ajaran pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan
agama Islam dengan menekankan tanpa diberikan pengetahuan umum, dan
pentingnya moral agama Islam sebagai metodenya sebagaimana yang lazim
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. diterapkan dalam pesantren salaf yaitu
Tujuan pendidikan di pesantren adalah dengan metode sorogan, weton, dan
menciptakan dan mengembangkan bandongan (Masjkur, 2007: 26–27), (2)
kepribadian muslim, yaitu yang bertakwa khalafi yang menerapkan sistem
dan beriman, berakhlak mulia dan pengajaran klasikal (madrasi), memberikan
bermanfaat bagi masyarakat (Qomar, 2002: ilmu umum dan ilmu agama serta juga
6–7). memberikan pendidikan keterampilan
Proses pembelajaran di dalam (Hielmy, 1999: 35). Kedua bentuk ini
pesantren dipengaruhi unsur-unsur yang setidaknya menghasilkan lulusan yang
membangun pondok pesantren tersebut. sesuai dengan harapan santri dan orang
Unsur-unsur tersebut saling berkaitan tuanya yaitu berakhlakhul karimah,
dalam hal pengembangan pondok tafaqquh fi al-din dan menguasai IPTEK
pesantren. Mastuhu (1994: 58) (Mustari, 2010: 22)

6
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

Bila dilihat dalam konteks kehidupan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja
pesantren, di mana hubungan atau interaksi karena keberadaannya yang sudah lama,
antar kiai, ustadz dan santri terjalin dengan tetapi juga karena kultur, metode dan peny
erat. Hubungan yang terjalin erat itu bisa ajian yang diterapkan oleh lembaga
jadi, merupakan pengembangan dari tradisi pendidikan agama ini yang khas yang
dan nilai-nilai Islam yang ditanamkan oleh mengandung mengandung makna
penyebar Islam dan disandarkan pada kelokalan dalam konteks keindonesiaan.
ajaran Rasullullah SAW. Seperti halnya Karakteristik Islami ditampilkan oleh para
cara memandang kehidupan secara pemangku kepentingan di pesantren
keseluruhan sebagai ibadah, dan (boarding school), sebagaimana yang
keikhlasan atau ketulusan belajar dan diajarkan nabi Muhammad, yaitu Islam
bekerja untuk tujuan bersama-sama. Nilai- yang mengembangkan dan membangun
nilai tersebut dijadikan landasan pijakan intifah, tawassuth, musawah dan tawazun,
dan ruh dalam pengelolaan pesantren serta menjadi agen peradaban nilai-nilai,
dengan tetap berpegang pada moral agama norma dan pesan agama yang penuh
sebagai kunci sukses dalam hidup bersama, harmoni, persatuan dan perdamaian,
yang dalam hal ini adalah perilaku termasuk mempertahankan nilai-nilai dan
keagamaan yang memandang semua ketertiban keharmonisan sosial di
kegiatan sehari-hari sebagai ibadah kepada sekitarnya (Sirajuddin, 2010: 39).
Allah Swt (Rudi & Haikal, 2014). Mastuhu
menyatakan pula bahwa kiai adalah tokoh PEMBAHASAN
kunci yang menentukan corak kehidupan Kurikulum berimbang dan terpadu
pesantren (1994: 58). Namun, tidak yang dikembangkan pada pesantren khalafi
menutup kemungkinan bahwa dua unsur pada dasarnya mengedepankan prinsip
lainnya berpengaruh besar terhadap keseimbangan dalam pengembangan
perkembangan pesantren secara umum kurikulum antara kurikulum pesantren dan
serta kualitas santri secara khusus. kurikulum umum atau yang dikembangkan
Jika disandingkan dengan lembaga oleh kementerian pendidikan. Tujuan
pendidikan Islam di Indonesia, pondok prinsip keseimbangan dalam
pesantren mempunyai ciri-ciri tersendiri, pengembangan kurikulum adalah untuk
dan tradisi keilmuan yang berbeda dengan terjalinnya perpaduan yang lengkap dan
tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. menyeluruh yang satu sama lainnya saling
Dengan demikian pesantren menjadi memberikan sumbangan terhadap

7
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

pengembangan pribadi peserta didik kelas), dan prasarana (kurikulum, sumber


(Sagala, 2003). belajar, cara belajar dan evaluasi belajar).
Mata pelajaran yang dikembangkan Kiai adalah tokoh kunci yang menentukan
dibagi menjadi mata pelajaran agama dan corak kehidupan pesantren. Namun, tidak
umum. Hal tersebut bertujuan untuk menutup kemungkinan bahwa dua unsur
membentuk karakter yang handal dalam lainnya berpengaruh besar terhadap
bidang keilmuwan dan kemampuan perkembangan pesantren secara umum
interaksi sosial anak yang berlandaskan serta kualitas santri secara khusus.
agama dan akhlakul karimah. Jenis (Mastuhu, 1994).
pesantren khalafi menerapkan sistem Proses interaksi sosial
pengajaran klasikal (madrasi), memberikan kewarganegaraan santri dalam lingkup
ilmu umum dan ilmu agama serta juga poros kelas terikat oleh keharusan
memberikan pendidikan keterampilan pencapaian kurikulum sekolah termasuk
(Hielmy, 1999: 35). Oleh karena itu, hal bidang mata pelajaran umum Pendidikan
tersebut mengedepankan prinsip Kewarganegaraan. Bahan Pendidikan
keseimbangan untuk pola pendidikan Kewarganegaraan menurut Nu’man
pesantren yang berlandaskan pada nilai Somantri (Nurmalina, 2008) harus mampu
dasar spiritualitas berupa ketangguhan menumbuhkan berpikir kritis, analitis, dan
iman. Perwujudan dimensi spiritual adalah kreatif agar siswa dapat melatih diri dalam
keimanan akan menyertai minat beramal berpikir, bersikap, dan berbuat sesuai
soleh yang berupa behavioral values yang dengan perilaku demokratis terbawa juga
merupakan petunjuk-petunjuk yang dalam proses interaksi di ranah pesantren
terinternalisasi dalam ekspresi prilaku yang baik di masjid, kelas, dan asrama serta
ditempilkan seseorang (Mulyana, 2004). dalam organisasi siswa di lingkungan
Behavioral values ini dikembangakn santri pesantren tersebut
di pesantren setidaknya dalam tiga ranah Pesantren tidak hanya berfungsi
yaitu kelas, masjid dan asrama. Ranah atau sebagai lembaga pendidikan tetapi juga
unsur ini saling berkaitan dalam hal lembaga sosial dan penyiaran agama
pengembangan pondok pesantren. Lebih (Mastuhu, 1994: 111). Sistem pendidikan
luas lagi Mastuhu (1994: 58) pesantren didasari, digerakkan, dan
mengungkapkan tiga unsur utama dalam diarahkan oleh nilai-niai kehidupan yang
pesantren yaitu pelaku (kiai, ustadz, santri bersumber pada ajaran dasar Islam. Ajaran
dan pengurus), sarana (masjid, pondok, Islam ini menyatu dengan struktur

8
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

kontekstual atau realitas sosial yang tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain.


digumuli dalam hidup keseharian. Hal Dengan demikian pesantren menjadi
inilah yang mendasari konsep lembaga pendidikan yang unik, tidak saja
pembangunan dan peran kelembagaaan karena keberadaannya yang sudah lama,
pesantren (Malik, 2005: 4). tetapi juga karena kultur, metode dan
Oleh karena itu harapan besar bahwa penyajian yang diterapkan oleh lembaga
pesantren diharapkan mampu mencetak pendidikan agama ini yang khas yang
kader-kader agamawan (ulama) yang mengandung mengandung makna
mampu memainkan peran kenabiannya pada kelokalan dalam konteks keindonesiaan.
masyarakat secara umum. Oleh karena Karakteristik Islami ditampilkan oleh para
itu tujuan kaderisasi ulama di pondok pemangku kepentingan di pesantren
pesantren sesuai dengan tujuan pendidikan (boarding school), sebagaimana yang
pesantren secara umum yang diungkapkan diajarkan nabi Muhammad, yaitu Islam
Mastuhu (1994: 55–56) yaitu menjadi yang mengembangkan dan membangun
pelayan masyarakat sebagaimana intifah, tawassuth, musawah dan tawazun,
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti serta menjadi agen peradaban nilai-nilai,
sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, norma dan pesan agama yang penuh
dan teguh dalam kepribadian, harmoni, persatuan dan perdamaian,
menyebarkan agama atau menegakkan termasuk mempertahankan nilai-nilai dan
Islam dan kejayaan umat Islam di tengah- ketertiban keharmonisan sosial di
tengah masyarakat dan mencintai ilmu sekitarnya (Sirajuddin, 2010: 39). Oleh
dalam rangka mengembangkan karena itu melalui model pengembangan
kepribadian Indonesia. ini maka bermunculan sumber daya
Konsep boarding school sebagai manusia yang berkompetensi dalam ilmu
bentuk model pengembangan pondok pengetahuan dan akhlaqul karimah.
pesantren dalam lembaga pendidikan yang Pembelajaran model asrama
maju dan bersaing untuk mengembangkan (boarding school) semacam pesantren ini
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bisa jadi merupakan sebuah harapan
berbasis pada nilai-nilai dasar spiritual. ditengah situasi persekolahan sekarang ini
Jika disandingkan dengan lembaga yang kurang maksimal memberikan
pendidikan Islam di Indonesia, pondok layanan penuh karena dibatasi oleh jam
pesantren mempunyai ciri-ciri tersendiri, sekolah ditengah kesibukan keluarga yang
dan tradisi keilmuan yang berbeda dengan akhirnya mempercayakan penuh sekolah

9
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

untuk pendidikan anak-anaknya. Tak keutamaan hidup secara dinamis bagi


jarang terjadi hubungan antara guru dengan suluruh umat manusia (Nashir, 2015).
murid, antara anak dengan orang tua Proses perubahan dalam
bersifat impersonal, bagaikan hubungan pembelajaran dikembangkan dalam
pembeli dengan pelayan toko (Nurrohman, pembelajaran nilai dalam bentuk nilai
2003: 92). Dalam hubungan semacam itu perilaku (behavioural values) yang
hampir-hampir tidak ada keterikatan batin. ditampilkan dalam setiap individu-individu
Lain halnya kalau ada sekolah yang santri sebagai bagian dari lingkup
berbentuk atau memiliki asrama, atau masyarakat yang memiliki aturan baku
keluarga yang orang tua sangat intens berdasarkan ajaran Islam. Oleh karena itu
hubungannya dengan anak-anaknya, tentu pengalaman belajar mereka tidak hanya di
hubungan guru dan murid atau orang tua dalam kelas namun terpadu dalam lingkup
dan anak menjadi lebih bersifat personal. siklus kehidupan mereka sehari-hari di
Pembelajaran sistem boarding school pondok. Hal ini sebagaimana tawaran
menyatukan antara pembelajaran reguler Mead (Budimansyah & Suryadi, 2008)
dengan pembelajaran nilai pengabdian tentang pendekatan pembiasaan.
terhadap agama, masyarakat, dan negara Menurutnya dalam pendekatan ini
sebagai perwujudan ibadah kepada Allah. pengalaman anak yang sedang tumbuh
Kegiatan pembinaan santri oleh pembina menjadi fokus utama yang berarti sekolah
menjadi bagian utama dalam pembelajaran harus mampu mensinergiskan antara
nilai dengan proses utama pembentukan kehidupan riil siswa dengan pengalaman
kader ulama Muhammadiyah dengan belajat yang diperoleh di sekolah. Pondok
konsep islahiyah dan konsep tabsyiriah pesantren harus mendukung upaya
sebagai salah satu bentuk pembangunan pengembangan pembelajaran nilai sosial
karakter untuk membentuk jati diri para kewarganegaraan dengan mengedepankan
santri yang berakhlakul karimah dalam sarana-sarana pembelajara di lingkungan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. pondok pesantren sebagai miniatur
Sebagaimana muhammadiyah sebagai masyarakat. Oleh karena itu menurut
basis ideologi yang mendasari banyak Nurrohman (2003: 92) dalam kondisi
pesantren di Indonesia memandang Islam seperti terakhir inilah sosialisasi nilai
yang berkemajuan menyemaikan benih- kiranya baru akan efektif dan sungguh
benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, beralasan kalau banyak orang mengatakan
keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan bahwa sistem sekolah dewasa ini baru

10
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

berhasil menanamkan nilai dalam ranah itu ekstrakurikuler pengembangan diri,


kognitif, belum masuk wilayah afeksi, study club, olahraga dan bela diri.
psikomotor, ataupun living together Pengorganisasian santri untuk
(kesadaran hidup bersama). pembelajaran nilai sosial di poros kelas
Kegiatan ekstrakulikuler di dan mesjid bisa dilakukan dengan metode
lingkungan pondok pesantren khalafi tidak ceramah (tak’lim), diskusi (mujadalah),
berneda dengan sekolah pada umumnya. dan pemecahan masalah-masalah sosial
Sama halnya dengan keberadaan sekolah kewarganegaraan (problem solving)
sebagai lembaga pendidikan merupakan dengan banyak menggunakan model VCT
salah satu tempat mempersiapkan generasi (Value Clarification Technique). Selain itu
muda mendatang menjadi manusia dewasa dalam kegiatan pembinaan di poros asrama
dan berbudaya (Dzahiri, 1985). Hal ini metode bisa menggunakan model uswatun
mengandung pengertian bahwa perhatian hasanah dengan pembina sebagai role
sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak model yang ditiru santri dan motode
hanya menitikberatkan dalam aspek pembiasaan dengan keberadaan tata tertib
kognitif, tetapi aspek afektif dan sebagai model kontrak sosial dari model
psikomotoriknya. yang lebih luas dalam kontrak sosial
Aspek kognitif berhubungan dengan bermasyarakat dan bernegara. Pentingnya
perilaku berfikir, mengetahui dan pola role model ini bahwa karakteristik
pemecahan masalah. Aspek afektif Islam dikembangkan oleh stakeholder di
berhubungan dengan sikap, nilai-nilai, pesantren sebagaimana yang diajarkan
apresiasi dan termasuk penyesuaian Nabi Muhammad, yaitu Islam yang
peranan sosial kewarganegaraan yang mengembangkan dan membangun intifah,
berbasis ukhuwah islamiah. Disamping itu, tawassuth, musawah dan tawazun, serta
aspek psikomotor berhubungan dengan menjadi agen peradaban nilai-nilai, norma
keterampilan yang bersifat manual dan dan pesan agama yang penuh harmoni,
motorik. Oleh karena itu pencapaian tujuan persatuan dan perdamaian, termasuk
dalam rangka pengembangan pendidikan mempertahankan nilai-nilai dan ketertiban
bagi santri tidak hanya di dalam kelas saja keharmonisan sosial di sekitarnya
namun dalam proses yang lainnya seperti (Sirajuddin, 2010: 39).
kegiatan ekstrakurikuler yang dipilih oleh Ukhuwah Islamiah terbentuk karena
para santri yang bentuknya beragam, baik komponen pembelajaran yaitu individu
santri bersama komponen yang

11
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

membelajarakan yaitu ustad/ustadzah termanifestasikan dalam bentuk kasih


merasa pernah ada dalam satu kesatuan sayang kepada sesama manusia yang
proses belajar hal ini sebagaimana sangat tergantung pada interaksi umat
pandangan oleh Shihab (1996: 499) bahwa Islam terhadap ajarannya.
untuk memantapkan ukhuwah islamiah,
yang dibutuhkan bukan sekedar penjelasan SIMPULAN
segi-segi persamaan pandangan agama, Pendidikan dalam Islam memiliki
atau sekedar toleransi mengenai perbedaan makna yang sangat penting dan
pandangan, melainkan yang lebih penting menyeluruh dan utuh untuk pembangunan
lagi adalah langkah-langkah bersama yang manusia dalam mengarungi kehidupan
dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh dunia dan mempersiapkan kebahagiaan di
umat merasakan nikmatnya makna dari akhirat kelak. Pondok pesantren sebagai
ukhuwah islamiah dalam pembelajaran lembaga pendidikan dijadikan sebagai
nilai sosial yang dilakukan tidak hanya sebuah model pengembangan konsep-
dalam unsur pembelajar namun dari unsur konsep civics dalam rangka memenuhi life
yang membelajarkan baik dari pimpinan skill warga negara. Semua aspek kegiatan
pondok, pembina, atau ustad/ustadzah. pembelajaran santri dikembangkan dalam
Ukhuwah Islamiah merupakan seluruh lingkup kegiatan santri di
hubungan sesama muslim tanpa lingkungan pondok. Lingkup kegiatan
membedakan luas dan sempitnya kapasitas santri pada kenyataanya dapat dimisalkan
hubungan, mulai dari hubungan keluarga, seperti miniatur masyarakat luar pesantren.
masyarakat kecil sampai hubungan antar Proses perubahan dalam pembelajaran
bangsa, hubungan ini mempunyai bobot dikembangkan dalam pembelajaran nilai
religius (Hasan, 2003: 185). Dengan dalam bentuk nilai perilaku (behavioural
demikian pentingnya ukhuwah yang values) yang ditampilkan dalam setiap
merupakan perekat persaudaraan sesama individu-individu santri sebagai bagian
muslim yang harus senantiasa dipelihara dari lingkup masyarakat yang memiliki
melintasi batas-batas teritorial suku bangsa aturan baku berdasarkan ajaran Islam. Oleh
dan teritorial negara. Ukhuwah Islamiah karena itu pengalaman belajar mereka
merupakan menifestasi umat yang beriman tidak hanya di dalam kelas namun terpadu
dan bertakwa sebab ukhuwah Islamiyah dalam lingkup siklus kehidupan mereka
tidak akan lepas dari keduanya. sehari-hari di pondok.
Ketundukan dan kelembutan hati yang

12
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

Pondok pesantren harus mendukung Dzahiri, A. K. (1985). Strategi Pengajaran


upaya pengembangan pembelajaran nilai Afektif Nilai, Moral, VCT, dan Games
dalam VCT. Bandung: Jurusan
sosial kewarganegaraan dengan
Pendidikan Moral Pancasila Dan
mengedepankan sarana-sarana pembelajara Kewarganegaraan FPIPS IKIP
di lingkungan pondok pesantren sebagai Bandung.
Hasan, T. (2003). Prospek Islam Dalam
miniatur masyarakat. Pembelajaran di
Menghadapi Tatanan Zaman. Jakarta:
dalam pondok pesantren sangat penting Lantabora Press.
dengan alasan bahwa sistem sekolah Hielmy, I. (1999). Pesan Moral Dari
Pesantren. Bandung`: Nuansa.
dewasa ini baru berhasil menanamkan
Malik, J. (2005). Pemberdayaan
nilai dalam ranah kognitif, belum masuk Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
wilayah afeksi, psikomotor, ataupun Pesantren.
living together (kesadaran hidup bersama). Mas’ud, A. (2003). Menuju Paradigma
Islam Humanis. Yogyakarta: Gema
Proses perubahan bagi para santri Media.
yang tersusun secara sistematis dalam Masjkur, A. (2007). Integrasi Sekolah ke
sebuah visi misi pondok untuk mencapai Dalam Sistem Pendidikan Pesantren
(1st ed.). Surabaya: Diantama.
setiap tujuan-tujuan pembelajaran dibentuk
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem
dalam miniatur masyarakat luar tersebut. Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Nilai sosial ukhuwah islamiah tertanam Masyhud, S. (2003). Manajemen Pondok
Pesantren. Jakarta: Diva.
dalam diri santri yang ditempa dalam
Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan
proses pembelajaran dan dari tiga ranah Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
dalam lingkup pesantren selama mereka di Mustari, M. (2010). Pesantren Training in
pondok. Tasikmalaya Regency. International
Journal of Pesantren Studies, 4(1),
19–32.
DAFTAR PUSTAKA Nashir, H. (2015). Memahami Ideologi
Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Budimansyah, D., & Suryadi, K. (2008).
Nurmalina, K. S. (2008). Memahami
PKN dan Masyarakat Multikultural.
Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: Program Studi Pendidikan
Bandung: Laboratorium PKn
Kewarganegaraan Sekolah
Universitas Pendidikan Idonesia.
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Nurrohman. (2003). Sosialisasi Nilai Di
Indonesia.
Pesantren. Apa dan Bagaimana?
Dahlan, H. A. A., Yaswirman, Raya, A. T.,
Jurnal Kependidikan Islam, 1
& Ritonga, D. B. G. (2000).
Februari(1), 83–93.
Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta:
Qomar, M. (2002). Pesantren: dari
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
transformasi metodologi menuju

13
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

demokratisasi institusi. Jakarta:


Erlangga.
Rudi, L., & Haikal, H. (2014). Modal
Sosial Pondok Pesantren. Jurnal
Harmoni Sosial, 1, 27–42.
Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Quran.
Bandung: Mizan.
Sirajuddin, M. (2010). The Application of
Multicultural Education In Pesantren
(A Case Study in the Pesantren
Pancasila Bengkulu. International
Journal of Pesantren Studies, 4(1),
34–52.
Srimulyani, E. (2007). Muslim Women
and Education in Indonesia: The
pondok pesantren experience. Asia
Pacific Journal of Education, 27(1),
85–99.
http://doi.org/10.1080/021887906011
45564
Usman, M. I. (2011). Pesantren Sebagai
Lembaga Pendidikan Islam. Jurnal
Ilmiah Lembaga Pendidikan Islam
Pare-Pare Kediri.
Wahab, A. A., & Sapriya. (2011). Teori
dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung:
Alfabeta.

14
Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016

21

Anda mungkin juga menyukai