Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Rotator Cuff Injury: Diagnosis, Terapi dan Rehabilitasi

Dibuat Oleh:
Fildzah Fitriyani
1102014100

Disusun Oleh:
Fildzah Fitriyani
1102014100

Pembimbing:
dr. Sigit Wedhanto, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH


RS BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Extremitas superior merupakan bagian dari anggota gerak yang cukup


banyak di gunakan untuk menjalankan aktifitas sehari-hari seperti menulis,
mengangkat barang dan lain-lain, sehingga sangat rentan terjadi cedera. Beberapa
macam cedera yang dapat terjadi pada extremitas superior antara lain: cedera pada
bahu, cedera pada siku, cedera pada lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan.
Cedera ini biasanya disebabkan oleh kesalahan gerak atau kesalahan posisi,
penggunaan yang berlebihan, faktor pekerjaan dan trauma.4

Shoulder joint merupakan salah satu anggota gerak yang memiliki mobilitas
tinggi dan mudah mengalami cidera yang dapat menyebabkan keterbatasan gerak
hingga gangguan fungsi. Rotator Cuff Injury merupakan salah satu kasus yang
banyak terjadi pada regio bahu dan menyebabkan terganggunya stabilitas sendi
bahu akibat kerusakan atau lesi dari Rotator Cuff.4

Rotator Cuff merupakan jaringan ikat fibrosa yang mengelilingi bagian atas
tulang humerus yang berfungsi untuk menjaga stabilitas sendi glenohumeral dengan
menarik humerus ke arah skapula untuk gerakan-gerakan sendi glenohumeral
seperti abduksi-adduksi, rotasi dan fleksi-ekstensi.4

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi
Rotator Cuff adalah kompleks empat otot yang ber-origo dari skapula dan
memiliki insersi pada tuberositas humerus.
Rotator cuff terdiri dari :
1) M. Teres minor
2) M. Supraspinatus,
3) M. Infraspinatus dan
4) M. Subscapularis
Meskipun otot-otot ini secara superfisial saling terpisah, pada bagian dalam,
mereka saling bergabung satu sama lain bersama dengan kapsul di bawahnya dan
tendon biceps kaput longus.Pada gambar di bawah tampak empat otot rotator cuff
yaitu m. Subscapularis di anterior, m. Supraspinatus di superior, m. Infraspinatus
di posterior dan M. Teres minor.

3
Otot-otot rotator cuff saling berhubungan satu dengan lainnya, dan
dikarenakan oleh lokasinya yang unik, rotator cuff memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Memutar humerus sesuai dengan posisi skapula.
2. Memberikan stabilitas sendi glenohumeral dengan menekan caput humerus
terhadap fossa glenoid, menguncinya pada posisi yang aman sementara tetap
menjaga mobilitas sendi glenohumeral.
3. Memberikan keseimbangan otot. Otot rotator cuff bekerja secara sinergistik
dan antagonistik untuk menciptakan gerakan dengan satu arah tertentu. Untuk
fungsi ini juga rotator cuff bekerja sama dengan otot lain seperti m. Deltoid, m.
Latissimus dorsi, m. Pectoralis mayor, m. Pectoralis minor.
4. Berperan sebagai stabilisator dinamik sendi glenohumeral.

Persarafan otot-otot rotator cuff berasal dari :

1. n. Suprascapularis (untuk m. Supraspinatus dan m. Infraspinatus),


2. n. Axillaris (untuk m. Teres minor), dan
3. n. Subscapularis superior et inferior (untuk m. Subscapularis).

Vaskularisasi otot-otot rotator cuff berasal dari cabang-cabang a. dan v. Subclavia.

2.2 Diagnosis

Anamnesis

Robekan pada Rotator cuff menandakan bahwa proses patologi rotator cuff
sudah tahap lanjut. Rotator cuff yang sebelumnya hanya mengalami inflamasi
kemudian akan mengalami fibrosis progresif dan akan robek, dapat secara parsial
maupun total (partial-thickness atau fullthickness).

Pasien umumnya berusia di atas 45 tahun dan mengeluhkan nyeri bahu


berulang dengan intesitas nyeri yang progresif, disertai kekakuan bahu (Pavlou P &
Cole A, 2010). Robekan parsial (partial tears) dapat terjadi di dalam tendon atau
pada permukaan tendon. Robekan total (full thickness tears) dapat terjadi setelah
lama mengalami tendinitis kronik, namun dapat juga terjadi setelah mengalami

4
trauma pada bahu. Ada nyeri bahu akut dan pasien tidak dapat melakukan abduksi
bahu. Abduksi bahu dapat dilakukan secara pasif, namun terbatas nyeri. Jika
diagnosis masih meragukan, nyeri dapat dihilangkan dengan injeksi anestetik lokal
ke ruang subakromial. Jika abduksi aktif dapat dilakukan, robekan mungkin hanya
parsial, namun jika sama sekali abduksi aktif tidak dapat dilakukan, robekan adalah
total. Jika cedera terjadi setelah beberapa minggu, kedua tipe mudah untuk
dibedakan.

Pada robekan total, nyeri telah berkurang dan abduksi aktif tidak dapat
dilakukan sehingga pasien berusaha untuk mengangkat bahu dengan meninggikan
bahu (shrug). Namun abduksi pasif penuh dan ketika lengan telah diangkat, pasien
dapat menahannya di atas dengan menggunakan otot deltoid. Inilah disebut sebagai
“abduction paradox”. Ketika pasien menurunkan tangannya, maka tangannya
langsung jatuh (“drop arm sign”).

Pada kasus robekan rotator cuff yang lama, akan memicu osteoarthritis
sekunder dan semakin memperberat rentang gerakan bahu. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap lesi rotator cuff yaitu proses degeneratif yang dipicu trauma
berulang akan menyebabkan reaksi vaskuler yang pada akhirnya akan menjepit
tendon. Jepitan ini meningkatkan risiko robekan tendon. Robekan tendon
meningkatkan risiko osteoarthritis.

Pemeriksaan Fisik

Untuk mendiagnosis robekan rotator cuff, selain melakukan anamnesis seperti yang
telah dijelaskan di atas, perlu dilakukan pemeriksaan fisik, yaitu dengan inspeksi
(apakah ada atrofi, scar), palpasi (apakah ada nyeri tekan), pemeriksaan rentang
gerakan bahu (fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eksternal rotasi, internal rotasi)
dan sejumlah uji spesifik. Uji Spesifik yang umumnya dilakukan antara lain :

a. Supraspinatus – empty can test (Jobe test).


Pasien melakukan fleksi bahu ke depan tangan dengan posisi ibu jari
menghadap ke inferior. Adanya nyeri menandakan uji yang positif.

5
b. Infraspinatus – resisted external rotation.
Pasien berdiri dengan merapatkan kedua lengannya ke tubuh dan siku dalam
posisi fleksi 90 derajat. Pasien diinstruksikan untuk menalkukan eksternal
rotasi kedua lengan disertai tahanan oleh pemeriksa. Nyeri menandakan uji
yang positif.
c. Infraspinatus dan posterior cuff – the lag sign dan drop sign.
Untuk eksternal rotasi lag sign, lengan pasien diangkat sedikit menjauhi
tubuh dan ditempatkan pada posisi eksternal rotasi penuh. Uji positif yaitu
jika pasien tidak dapat mempertahankan posisi tersebut dan membiarkan
lengan jatuh ke posisi yang neutral. Hal ini menandakan robekan pada m.
infraspinatus dan m. supraspinatus.
Drop sign – pemeriksa mengangkat dan menempatkan lengan pada posisi
abduksi 90 derajat, siku pada 90 derajat dan lengan eksternal rotasi penuh;
ketika pemeriksa melepaskan lengannya, pasien biasanya dapat menahan
posisi tersebut, namun jika lengannya jatuh menandakan uji yang positif.
Uji hal ini tampak pada robekan infraspinatus dan teres minor.
d. Subscapularis – the lift off test.
Pasien diminta untuk berdiri dan menampatkan satu lengan dibelakang
punggung dengan punggung tangan merapat pada punggung bawah.
Pemeriksa kemudian mengangkat tangan ke belakang dan pemeriksa
menahannya. Ketidakmampuan dan nyeri untuk mengangkat tangan
menandakan uji yang positif. Hal ini digunakan untuk mendeteksi robekan
m. subscapularis.

6
7
Pemeriksaan Penunjang

Untuk menunjang diagnosis robekan rotator cuff, diperlukan pemeriksaan


radiologis sebagai berikut :

1. Pemeriksaan sinar-X bahu.


Pemeriksaan sinar-X bahu umumnya normal pada gangguan tahap awal,
namun pada tendinitis kronik dapat ditemukan sklerosis dan kista pada insersi
rotator cuff di tuberkulum mayor. Osteoarthritis sendi Akromioklavikular
banyak ditemukan pada orang tua. Kadang dapat juga dilihat kalsifikasi tendon
supraspinatus. Dapat juga ditemukan penyempitan jarak Akromion-Humerus
atau Migrasi superior dari kaput humerus (Keener J.D et al., 2009; Saupe et al.,
2006).
2. Magnetic resonance imaging (MRI).
MRI dapat secara efektif dan akurat memperlihatkan struktur pada bahu dan
memberikan informasi yang adekuat. Labrum, kapsul dan otot sekitar dapat
dilihat dengan jelas. Namun harus diingat bahwa hingga 1/3 individu
asimtomatik memiliki kelainan pada pemeriksaan MRI. Perubahan MRI harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan klinis (Pavlou P & Cole A, 2010). Robekan
rotator cuff terdeteksi pada pemeriksaan MRI bahu. (panah) menunjukkan
daerah robekan pada insersi m. supraspinatus.
3. Ultrasonografi (USG).
USG memiliki akurasi mendekati MRI untuk mendeteksi dan mengukur
robekan parsial atau total. Namun kerugiannya adalah tidak mampu
mendeteksi sisa robekan otot.

2.3 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan robekan rotator cuff dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: konservatif dan
operatif.

a. Penatalaksanaan konservatif
pada kasus dengan nyeri dan disabilitas ringan umumnya selflimiting dan
gejala hilang setelah aktivitas pencetus dihilangkan. Pasien harus diajari

8
cara menghindari posisi yang menjepit rotator cuff. Fisioterapi dapat
berguna untuk mengurangi gejala. Obat anti inflamasi non steroid dapat
mengurangi gejala sementara gejala berkurang juga melalui istirahat. Jika
metode-metode ini gagal maka diperlukan injeksi kortikosteroid ke dalam
ruang subakromial. Umumnya pasien memerlukan modifikasi aktivitas dan
pemantauan gejala selama 6 bulan sebelum kembali ke aktivitas penuh. 16
Pemberian beban yang terburu-buru akan mencetuskan serangan lainnya
(Pavlou P & Cole A, 2010).
b. Penatalaksanaan bedah
Indikasi untuk terapi bedah adalah nyeri yang tidak berkurang setelah 3
terapi konservatif 3 bulan, atau jika gejala kambuh secara menetap setelah
periode terapi. Hal ini ditujukan untuk mengurangi konsumsi obat-obatan
dan imobilisasi lama pada modalitas konservatif. Terutama jika memang
ditemukan robekan rotator cuff (parsial atau total) pada usia muda (Pavlou
P & Cole A, 2010). Terapi pembedahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Akromioplasti terbuka 2. Akromioplasti arthroskopik 3. Repair rotator
cuff terbuka 4. Repair rotator cuff arthroskopik.

Setelah cedera atau dilakukan operasi, program pengkondisian olahraga akan


membantu untuk mengembalikan aktivitas sehari-hari dan menikmati gaya hidup
yang lebih aktif dan sehat. Berikut adalah program pengkondisian umum yang
menyediakan berbagai macam latihan.

1. Pendulum
Otot yang bekerja: Deltoids, supraspinatus, infraspinatus, subscapularis
Petunjuk:
a. Condongkan tubuh ke depan dan letakkan satu tangan di atas meja.
Biarkan lengan yang lain menggantung bebas di samping.
b. Ayunkan lengan ke depan dan belakang dengan lembut. Ulangi latihan
dengan menggerakkan lengan dari sisi ke sisi, dan ulangi lagi dengan
gerakan memutar.

9
c. Ulangi seluruh urutan untuk lengan lainnya.

2. Passive Internal Rotation


Otot yang bekerja: subscapularis
Petunjuk langkah demi langkah
a. Pegang tongkat di belakang punggung Anda dengan satu tangan, dan
pegang ujung tongkat dengan pelan pada tangan lainnya.
b. Tarik tongkat secara horizontal seperti yang diperlihatkan sehingga bahu
Anda secara pasif merasakan tarikan tanpa rasa sakit.
c. Tahan selama 30 detik dan kemudian istirahat selama 30 detik.
d. Ulangi di sisi lain.

3. Passive External Rotation


Otot yang bekerja: infraspinatus dan teres minor

10
Petunjuk langkah demi langkah
a. Pegang tongkat dengan satu tangan dan pegang ujung tongkat lainnya
dengan tangan lainnya.
b. Pertahankan siku bahu merentang pada sisi tubuh Anda dan dorong
tongkat secara horizontal sampai merasakan tarikan tanpa rasa sakit.
c. Tahan selama 30 detik dan kemudian istirahat selama 30 detik.
d. Ulangi di sisi lain.

4. Sleeper Stretch
Otot yang bekerja: infraspinatus dan teres minor
Petunjuk langkah demi langkah
a. Berbaringlah miring di permukaan yang kencang dan rata dengan yang
terkena bahu di bawah Anda dan lengan Anda ditekuk, seperti yang
ditunjukkan. Anda bisa meletakkan kepala di atas bantal untuk
kenyamanan, jika perlu.
b. Gunakan lengan Anda yang tidak terpengaruh untuk mendorong lengan
lainnya ke bawah. Berhentilah menekan ketika Anda merasakan regangan
di belakang bahu Anda yang sakit.
c. Tahan posisi ini selama 30 detik, lalu rilekskan lengan Anda selama 30
detik.

11
12
BAB III

KESIMPULAN

Rotator Cuff adalah kompleks empat otot yang ber-origo dari skapula dan
memiliki insersi pada tuberositas humerus. Rotator cuff terdiri dari : 1) m. Teres
minor, 2) m. Supraspinatus, 3) m. Infraspinatus dan 4) m. Subscapularis.

Rotator cuff injury dapat terjadi pada pekerja yang sering mengangkat
beban berat atau pada atlet yang terlibat dalam olahraga seperti berenang, tenis atau
angkat besi. Diagnosis Cedera Rotator Cuff didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.

Pada anamnesis dapat ditanyakan keluhan pasien, riwayat pekerjaan pasien


maupun riwayat trauma. Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat apakah ada
pembengkakan, adanya bekas luka, dan simetris atau tidak pada tangan pasien, serta
dapat dilakukan uji spesifik pada gerakan bahu. Pada pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan beberapa pemeriksaan radiologis. Dalam penatalaksanaan cedera rotator
cuff dapat dilakukan tindakan konservatif maupun tindakan operatif.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Fongemie AE, Buss DD. Rolnick SJ Management of shoulder impingement


syndrome and rotator cuff tears Am Fam Physician. 1998 May 15;57(4): 667-
74, 680-2.

2. Ludewig, P.M, and J.D. Borstad."Effects of a Home Exercise Programme on


Shoulder Pain and Functional Status in Construction Workers. “Occupational
and Environmental Medicine 60 11 (2003). 841-849. National Center For
Biotechnology Information. National Library of Medicine.

3. Mercier, L.R."Rotator Cuff Syndrome." Ferri's Clinical Advisor 2009. Ed. Fred
Ferri. Philadelphia: Mosby, Inc., 2009.

4. Morrison, D.S., B.S. Greenbaum, and A. Einhorn."Shoulder Impingement. "


Orthopedic Clinics of North America 31 2 (2000): 285-293. National Center
For Biotechnology Information. National Library of Medicine.

5. Quintana, Eileen C., and Richard Sinert "Rotator Cuff Injuries.”, eMedicine.
Eds Joseph A. Salomone, et al. Medscape. <hnp://emedicine
com/emerg/topic512 htm>. Accessed 05 Mei 2019, 20:30.

6. Roy, Andre."Rotator Cuff Disease." eMedicine Eds. Robert E Windsor, et al.


Medscape.<htt:p//emedicine.com/pmr/topic l25.Html>. Accessed 04 Mei
2019, 10:15.

7. Rubin, B D., and W B. Kibler "Fundamental Principles of Shoulder


Rehabilitation Conservative to Postoperative Management Arthroscopy 189
Suppl 2 (2002) 29-39. National Center For Biotechnology Information.
National Library of Medicine.

14

Anda mungkin juga menyukai