Transient Tic Disorders
Transient Tic Disorders
I. PENDAHULUAN
Tic ialah gerakan sekelompok otot atau bagian badan yang relatif kecil yang
timbulnya berulang-ulang, cepat tidak dengan sengaja dan tidak bertujuan. Yang sering terjadi
ialah tic otot-otot muka dan leher. Hal ini dapat berupa gerakan kepala mengelakkan atau
menundukkan, mengerutkan dahi, kedua atau hanya satu mata berkedip-kedip, bola mata
diputar kencang kesalah satu jurusan, gerakan otot-otot sekitar mulut (mencucu), menelan,
atau mengangkat punduk (Maramis, 2005). Ciri khas terpenting yang membedakan tic
dengan gangguan motorik lainnya ialah gerakan yang mendadak, cepat, sekejap, dan
terbatasnya gerakan, tanpa bukti gangguan neurologis yang mendasari dan sifatnya berulang-
ulang, biasanya terhenti saat tidur dan muncul saat aktivitas (Maslim, 2003).
Tic dapat juga diartikan gerakan motorik atau vokalisasi involunter, tiba-tiba, rekuren,
dan tidak berirama. Tic motorik dan vokal dibagi menjadi tic yang sederhana dan kompleks.
Tic motorik sederhana adalah tic yang terdiri dari kontraksi cepat dan berulang dari kelompok
otot yang secara fungsional serupa, seperti kedipan mata, sentakan leher, mengangkat bahu,
dan seringai wajah. Tic vokal sederhana yang sering ada adalah batuk, membersihkan
tenggorokan, mendengkur, mengirup, mendengus dan menghardik. Tic motorik kompleks
yang sering adalah perilaku berdandan, membaui benda, meloncat, kebiasaan menyentuh,
ekopraksia ( meniru perilaku yang diamati ) dan kopropraksia ( menunjukkan gaya yang
cabul ). Tic vokal yang kompleks dapat berupa mengulang kata atau frasa diluar konteks,
koprolalia ( pemakaian kata atau frasa yang cabul ), palilalia ( pengulangan kata yang
diucapkan sendiri ) dan ekolalia ( pengulangan kata terakhir yang terdengar dari ucapan
orang lain ) (Sadock, 2010).
Transient tic disorders merupakan gangguan yang terdiri dari tic motorik dan tic
vokal tunggal atau multiple yang terjadi beberapa kali dalam sehari, hampir setiap hari yang
berlangsung singkat dan bersifat sementara berlangsung selama sekurang-kurangnya empat
minggu tetapi tidak lebih dari 12 bulan berturut-turut dan biasanya tidak berhubungan dengan
masalah tingkah laku khusus (Sadock, 2010).
Sebuah penelitian berbasis komunitas menemukan bahwa lebih dari 19% anak masa
sekolah memiliki gangguan tic. Sebanyak 1 dari 100 orang dapat mengalami beberapa bentuk
dari gangguan tic, biasanya sebelum onset dari pubertas. Tik ini secara tipikal adalah
transient, berlangsung kurang dari satu tahun. Beberapa pasien mendapatkan tik yang
berlangsung kronis, biasanya tik motor yang dapat bertahan bertahun-tahun (Sadock, 2005).
Page 2 of 24
Transient tic disorders bermula selama masa kanak-kanak dan dapat terjadi hingga
18% dari seluruh anak-anak. Tic pada anak-anak biasanya timbul karena gangguan emosi.
Seorang anak yang merasa aman dan bahagia biasanya tidak akan menunjukkan tic. Perlu
dicari penyebabnya dilingkungan anak, misalnya orang tua yang perfeksionistik atau gurunya
yang keras sifatnya. Sering terdapat hubungan antara hebatnya gerakan-gerakan itu dan
intensitas ketegangan emosi pada anak-anak (Maramis, 2005).
Transient Tic Disorders yang masih sederhana biasanya hilang selama periode bulan.
Sebagian besar orang dengan Transient Tic Disorders tidak berkembang menjadi Transient
Tic Cronic. Tic mereka menghilang secara permanen atau kambuh selama periode stres
khusus. Hanya sejumlah kecil yang menjadi gangguan tic motorik dan vokal kronis atau
gangguan Tourette (Sadock, 2010).
Page 3 of 24
II. ISI
A. Definisi
Transient tic disorders merupakan gangguan yang terdiri dari tic motorik dan tic
vokal tunggal atau multiple yang terjadi beberapa kali dalam sehari, hampir setiap hari
yang berlangsung singkat dan bersifat sementara berlangsung selama sekurang-
kurangnya empat minggu tetapi tidak lebih dari 12 bulan berturut-turut dan biasanya
tidak berhubungan dengan masalah tingkah laku khusus (Sadock, 2010).
B. Etiologi
Transient tic disorders kemungkinan memiliki asal organik atau psikogenik, dan
beberapa tic mengkombinasikan elemen keduanya. Tic organik kemungkinan
berkembang menjadi gangguan Tourette dan memiliki riwayat keluarga tic, sedangkan
tic psikogenik kemungkinan menghilang dengan spontan. Tic yang berkembang menjadi
gangguan tic motorik dan tic vokal kemungkinan besar memiliki komponen keduanya
yaitu organik dan psikogenik. Tic dalam semua bentuknya dikaitkan dengan stres dan
kecemasan, tetapi tidak ada bukti yang membuktikan bahwa tic disebabkan oleh stres
atau kecemasan (Sadock, 2010).
Faktor organik :
1. Genetik atau idiopatik diduga akibat kegagalan fungsi inhibisi jaras frontal
subkortikal yang memodulasi gerakan volunter.
2. Sekunder : infeksi, obat (stimulant, L dopa, Karbamazepin, phenitoin, fenobarbital,
antipsikotik, kokain, kafein), racun (karbonmonoksida), gangguan perkembangan
(ensepalopati, retardasi mental, kelainan kromosom, lain lain), trauma kapitis,
stroke, sindroma neurokutaneus, kelainan kromosom, skizofrenia, dan kelainan
degeneratif.
Faktor Psikogenik :
1. Stres
2. Kecemasan
3. Emosi
C. Faktor resiko
Page 4 of 24
Predisposisi genetik cukup penting, namun faktor lingkungan mempengaruhi resiko dan
tingkat keparahan dari gangguan tersebut (Swain, et al, 2007).
1. Gangguan neurologis yang dapat menyebabkan tik.
a. Didapat
1. Trauma kepala
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala merupakan
penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan
proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan lalu lintas. Resiko utama klien
yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial ( Rauda, Jasmis 1997 ).
2. Encephalitis
Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe
dari encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling
sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga
disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak
( Sunaryo, 2008).
3. Stroke
Stroke termasuk penyakit cerebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan
oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya
pembuluh darah (Silalahi, 2002).
4. Sydenham's chorea
Merupakan gerakan diluar kesadaran yang cepat,menyentak ,pendek
dan berulang-ulang yang dimulai satu bagian tubuh dan bergerak dengan tiba-
tiba dan terus –menerus sampai bagian tubuh lainnya ( Rauda , 1997)
5. Jakob disease
Penyakit akibat kelainan genetik dimana seseorang kelebihan
kromosom "Y"dalam tubuh dan merupakan gangguan saraf degeneratif dengan
prognosis buruk (Rauda, 1997).
6. Neurosyphilis
Merupakan infeksi otak atau sumsum tulang belakang yang terjadi
akibat penyakit sifilis yang tidak diobati selama bertahun-tahun
( Sunaryo,2008).
7. Hypoglycemia
Page 5 of 24
3. Duchenne's disease
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular
progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit
itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-
laki.Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya
mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.Perubahan patologi
pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan
Page 6 of 24
oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer
( Greydanus, 2005).
4. Tuberous sclerosis
Multi-system penyakit genetik yang menyebabkan tumor jinak untuk
tumbuh di otak dan organ-organ vital lainnya seperti ginjal, hati, paru-paru,
kulit dan mata. Kombinasi gejala mungkin termasuk kejang, keterlambatan
perkembangan, masalah perilaku, kelainan kulit, penyakit paru-paru dan
ginjal. TSC disebabkan oleh mutasi pada salah satu dari dua gen, TSC1 dan
TSC2, yang menyandikan untuk protein hamartin dan tuberin masing-masing.
Protein ini bertindak sebagai suppressors pertumbuhan tumor, agen yang
mengatur proliferasi sel dan diferensiasi ( Silalahi, 2002).
5. Chromosomal disorders
Chromosomal disorder adalah jenis penyakit genetik yang timbul
disebabkan kerusakan pada kromosom. Pada kedua jenis penyakit genetik ini
faktor lingkungan dan pola hidup tidaklah memberi pengaruh signifikan (
Rauda, 1997).
6. Down syndrome
Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom
untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan ( Silalahi, 2002).
7. Klinefelter's syndrome
Sindrom Klinefelter adalah kelainan genetik pada laki-laki yang
diakibatkan oleh kelebihan kromosom X. Laki-laki normal memiliki
kromosom seks berupa XY, namun penderita sindrom klinefelter umumnya
memiliki kromosom seks XXY. Penderita sindrom klinefelter akan mengalami
infertilitas, keterbelakangan mental, dan gangguan perkembangan ciri-ciri
fisik yang diantaranya berupa ginekomastia (perbesaran kelenjar susu dan
berefek pada perbesaran payudara) (Markam, 2002).
8. XYY karyotype
Klinefelter’s syndrome (KS) adalah suatu penyakit dimana seorang
laki-laki kelebihan X kromosom, sehingga kromosomnya menjadi XXY atau
XXXY atau yang lebih parah XXXXY. Pada laki-laki normal, sex
kromosomnya adalah XY. Sedangkan wanita adalah XX. Jumah kromosom
manusia ada 23 pasang atau 46 buah ( 23 x 2). Tetapi pada penderita
Klinefelter’s syndrome, ada tambahan X kromosom satu (atau 2 bahkan
Page 7 of 24
b. Asperger's syndrome/autism
Asperger syndrome merupakan penyakit dengan gangguan fungsi bahasa dan
perilaku yang terlihat serupa pada anak-anak dengan autism. Orang-orang dengan
sindrom asperger ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan
isyarat non verbal seperti gerak tubuh dan bahasa tubuh untuk interaksi sosial.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penyebab asperger sindrom adalah kelainan
otak. Selain itu, faktor genetik juga merupakan salah satu penyebab asperger
sindrom yang sangat kuat. (Winter, 2011)
c. Retardasi mental
Retardasi mental dapat didefinisikan sebagai penurunan secara signifikan dari
fungsi intelektual umum yang terjadi bersamaan dengan gangguan perilaku
Page 8 of 24
2. Tic Vokal
a. Tic Vokal Sederhana
Batuk
Membersihkan tenggorokan
Mendengkur
Mengirup
Mendengus
Menghardik
b. Tic Vokal Kompleks
Pemakaian kata atau frasa yang cabul ( Koprolalia)
Pengulangan kata yang diucapkan sendiri (Palilalia)
Pengulangan kata terakhir yang terdengar daru ucapan orang lain (Ekolali)
(Sadock, 2010).
Ekolali ( latah )
Menurut PPDGJ-1 latah adalah suatu keadaan yang umumnya timbul pada wanita
muda atau setengah tua yang biasanya berasal dari kalangan rendah dengan kehidupan
dan cara berpikir sederhana dan pendidikan yang rendah pula. Seringkali wanita tersebut
tidak bersuami. Dalam wawancara biasanya diperoleh keterangan, bahwa keadaan
tersebut sering diawali dengan mimpi tentang alat kelamin laki-laki (pria, hewan, dan
sebagainya) atau sesuatu yang melambangkan alat kelamin yang berjumlah banyak
seolah-olah semuanya terletak dalam keranjang atau bergantungan pada dinding atau
dikamar tidurnya dan dapat bergerak. Menurut penelitian dari sembilan orang wanita
dengan latah menceritakan bahwa pada malam sebelum mereka menjadi latah, ,mereka
bermimpi tentang sebuah keranjang yang berisi ikan belut, penis kuda, ular besar, ulat
kecil yang gemuk-gemuk, sebuah panci yang penuh dengan benda-benda berbentuk
kerucut dan pada waktu dilihat mereka sangat terkejut karena isinya penis. Esok harinya
mereka menjadi latah (Maramis, 2005).
Pendapat lain mengatakan penyebab munculnya latah yaitu kepercayaan akan
pengaruh roh-roh pada manusia. Penderita latah jarang untuk berobat kepada dokter.
Mereka masih bisa bekerja dengan baik dan latah tidak dianggap sebagai penyakit oleh
masyarakat (Maramis,2005).
E. Penegakan diagnosis
Page 12 of 24
Penegakkan diagnosis dari Transient Tic Disorder menurut kriteria Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) sebagai berikut :
1. Tic vokal dan/atau motorik tunggal atau multiple ( yaitu, gerakan motorik atau
vokalisasi yang tiba-tiba, cepat, rekuren, nonritmik, stereotipik)
2. Tic terjadi berulang kali dalam sehari, hampir setiap hari selama sekurangnya empat
minggu tetapi tidak lebih lama dari 12 bulan berturut-turut.
3. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau gangguan bermakna dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
4. Onset sebelum usia 18 tahun.
5. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dar suatu zat (misalnya, stimultan)
atau kondisi medis umum (misalnya, penyakit Huntington atau ensefalitis pasca
infeksi virus).
6. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan Tourette atau gangguan tic motorik
atau vokal kronis (Sadock, 2010).
Sindroma Tourette :
a. Tic motorik multiple
b. Pemakaian kata atau frasa yang cabul (Koprolalia)
c. Pengulangan kata terakhir yang terdengar dari ucapan orang lain (Ekolalia)
(Sadock, 2010)
rumit dan bervariasi daripada gejala “tic”. Gerakan Obsesif – Kompulsif sering
menyerupai “tic” yang kompleks namun berbeda karena bentuknya ditentukan oleh
tujuannya(misalnya menyentuh atau memutar benda secara berulang) daripada oleh
sekelompok otot yang terlibat; walaupun demikian acapkali sulit untuk
membedakannya.
3. “tic”seringkali terjadi sebagai fenomena tunggal namun tidak jarang disertai variasi
gangguan emosional yang luas, khususnya, fenomena obsesi dan hipokondrik. Namun
ada pula beberapa hambatan perkembangan khas disertai “tic”. Tidak terdapat garis
pemisah yang khas antara gangguan “tic” dengan berbagai gangguan emosional dan
gangguan emosional disertai “tic”. Diagnosisnya mencerminkan gangguan utamanya.
4. Gangguan ini tidak lebih dari 12 bulan.
5. Bentuk ini paling sering terjadi pada anak – anak usia 4-5 tahun; biasanya berupa .
kedipan mata, muka menyeringai, atau kedutan kepala, pada beberapa kasus hanya
berupa episode tunggal, namun pada beberapa kasus lain hilang timbul selama
beberapa bulan (Maslim, 2003).
F. Diagnosis Banding
1. Sindroma Gilles de la Tourette
Penderita memperlihatkan banyak macam “tic” (multiple tics), yaitu gerakan-
gerakan involunter yang hebat pada muka, kepala, ekstrimitas dan badan. Kadang-
kadang juga dikeluarkan suara-suara yang tak berbentuk atau kata-kata “kotor”
(koprolalia). Penyakit ini biasanya mulai pada anak-anak sebelum pubertas.
Diagnosis :
a. Tic motorik multiple dengan satu atau beberapa Tic vocal, yang harustimbul secara
serentak dan dalam riwayatnya hilang timbul
b. Onset hampir selalu pada masa kanaka tau remaja, lazimnya ada riwayattic motorik
sebelum timbulnya tic vocal. Sendrom ini sering memburuk pada usia remaja dan
lazim pula menetap sampai usia dewasa.
c. Tic vocal sering bersifat multiple dengan letupan vokalisasi yang berulang-ulan,
seperti suara mendehem, bunyi ngorok, dan ada kalanyadiucapkan kata-kata atau
kalimat cabul. Ada kalanya diiringi gerakanisyarat ekopraksia, yang dapat juga
bersifat cabul (copropraxia). Seperti juga pada tic motorik, tic vocal mungkin di
tekan dengan kemauan untuk jangka waktu singkat, bertambah parah karena
stress, dan berhenti saattidur (Maslim, 2003).
2. Chronic Motor Or Vokal Tic Disorder
Page 14 of 24
Penyakit ini meliputi satu atau banyak motor atau vokal tetapi keduanya tidak muncul
secara bersamaan, berlangsung selama lebih 1 tahun, muncul sebelum usia 18 tahun,
selama periode ini tidak ada periode bebas tic lebih dari tiga bulan berturut-turut.
Ada 2 tipe Tics Motorik dan Vokal:
a. Simple Motor Tics : kedipan mata, angkat bahu
b. Simple Vokal Tics : mendekur, mendengus
c. Complex Motor Tics : gerakan-gerakan wajah
d. Complex Vokal Tics : latah (Maslim, 2003).
G. Patofisiologi
Patofisiologi pada penyakit ini masih bersifat hipotesis. Hipotesis tersebut
mengatakan bahwa gangguan tic hasil dari adanya gangguan pada ganglia basal, yang
menyebabkan disinhibisi dari sistem motorik dan sistem limbik. Hipotesis ini
didukung oleh MRI yang menunjukkan bahwa patofisiologi sindrom tourette
melibatkan proyeksi dari korteks primer, sekunder, dan somatosensori ke ganglia
basal. Beberapa studi volumetrik MRI menemukan bahwa pasien dengan tics parah
sering disertai dengan penipisan korteks sensorimotor. Gangguan tic sering hadir di
beberapa anggota keluarga, menunjukkan dasar genetik untuk gangguan ini. Studi
korelasi telah menemukan beberapa area kromosom yang berbeda bertanggung jawab,
termasuk kromosom 14q31.1 untuk sindrom Tourette. Gen lain yang sedang diselidiki
termasuk gen SLITRK1 dan gen HDC, yang mengkode untuk L-histidin
dekarboksilase. Banyak peneliti merasa bahwa sindrom tourette kemungkinan besar
tidak memiliki genetik Mendel monogenik, melainkan hasil dari interaksi beberapa
gen. Mekanisme imunologi juga menjadi hipotesis yang berperan dalam patofisiologi
gangguan tic. Grup A streptokokus eksposur, yang diindikasikan oleh peningkatan O
antistreptolysin (ASO) titer, telah dikaitkan dengan gangguan tic. Ini gangguan
kontroversial ini ditandai dengan gangguan tic atau obsesif-kompulsif (OCD) dan
merupakan gangguan neuropsikiatri terkait dengan infeksi streptokokus ( Harris K,
Singer HS , 2006 ).
H. Penatalaksanaan
1. Terapi Lama
Page 16 of 24
Pasien diminta untuk sengaja melakukan gerakan tic untuk periode waktu tertentu
diselingi dengan periode istirahat singkat. Pasien telah menunjukkan beberapa penurunan
frekuensi tic, tetapi keuntungan jangka panjang dari latihan Massed Negative tidak jelas
(O’connor et al, 2001).
Manajemen kontingensi merupakan suatu terapi perilaku. Hal ini didasarkan pada
penguatan positif, biasanya diberikan oleh orang tua.Penggunaan manajemen kontingensi
tampaknya terbatas di luar rangkaian yang dikontrol seperti sekolah atau lembaga.
Pembalikan kebiasaan adalah teknik yang paling umum digunakan untuk
menggabungkan latihan relaksasi, pelatihan kesadaran dan manajemen kontingensi untuk
penguatan positif. Metode ini menunjukkan tingkat keberhasilan antara 64%-100%
(Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
c. Terapi Farmakologi
Obat adalah terapi utama untuk tic motor dan tic vokal. Obat ini diberikan bila
TIC Disoreder sudah mencapai stadium kronik atau yang dikenal dengan tourette’s
syndrome dan apabila memang diperlukan. Pasien dan keluargnya, harus dievaluasi
sepenuhnya dan menggunakan metode pengobatan lain bersamaan dengan obat. Karena
gejala gangguan tic tumpang tindih dengan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dan
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), penting untuk menentukan gejalanya
dan mengobati pasien sesuai dengan kategori diagnostik tunggal yang paling sesuai
baginya, apakah itu sebuah tic gangguan, OCD, atau ADHD (Bagheri, Kerbeshian,
Burd,1999).
Obat yang diresepkan untuk pasien dengan gangguan tic meliputi:
1. Obat neuroleptik atau obat antipsikotik,
Antipsikotik atau neuroleptik adalah obat psikotropika yang bekerja mengatasi gejala-
gejala gangguan psikotik. Mekanisme Kerja Obat Neuroleptika secara umum adalah
menghambat reseptor dopamin dalam otak dan perifer dan serotonin dalam otak.
Penggolangan obat antipsikotik yaitu;
a. Golongan Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik generasi pertama, konvensional,
dopamine receptor ontagonist (DA).
Antipsikotik tipikal berpotensi rendah (afinitas terhadap reseptor dopamine rendah),
contoh:
Klorpromazin
Page 18 of 24
Tioridazin
Sulpirid
Antipsikotik tipikal berpotensi tinggi, contoh:
Golongan butirofenon: Haloperidol
Perfenazin
Flufenazin
Trifluoperazin
Pimozid
b. Golongan Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal disebut juga antipsikotik generasi kedua, novel antipsychotics,
serotonine-dopamine receptor ontagonist (SDA).
Clozapine
Golongan benzisoksazol: Risperidone
Olanzapine
Quetiapine
Aripiprazole
Neuroleptik memiliki efek samping yang signifikan, yang meliputi gangguan
konsentrasi, gangguan kognitif, dan kadang tardive dyskinesia (gangguan gerakan yang
terdiri dari bibir, mulut, dan gerakan lidah). Efek samping haloperidol,seperti kekakuan,
rigiditas, tremor, sedasi, dan depresi yang umum tapi efek samping ini kurang begitu ada
di pimozide (Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
Antipsikotik atipikal dan agen lain yang memblokir reseptor dopamin termasuk
risperidone dan clozapine. Tetrabenazine adalah obat baru yang menjanjikan dengan efek
samping yang lebih sedikit daripada neuroleptik khas lainnya. Hal ini dapat digunakan
dalam kombinasi dengan obat antipsikotik yang lebih lama. (Gleason, Boris, Dalton,
2007).
sering dapat dikontrol melalui penyesuaian dosis. Parafenotiazin dapat digunakan ketika
haloperidol atau pimozide telah terbukti tidak efektif (Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
3. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
Yang termasuk obat golongan SSRI adalah Fluoksetin, Fluvoksamin, Nefazodon,
Paroksetin, Sertralin, Trazodon, Venlafaksin, Dapat digunakan untuk mengobati obsesif-
kompulsif perilaku yang terkait dengan gangguan Tourette. SSRI merupakan
Antidepresan baru, sehingga penggunaannya harus hati - hati, karena efek jangka
panjangnya belum diketahui (Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
Mekanisme kerjanya menghambat ambilan neurotransmiter, menghambat
ambilan norepinefrin dan serotonin neuron masuk ke terminal saraf pra sinaps, dengan
menghambat jalan utama pengeluaran neurotransmiter , meningkatkan konsentrasi
monoamin dalam celah sinaps, menimbulkan efek antidepresan. tetapi lebih selektif
menghambat ambilan neurotransmitter serotonin dibanding yang lain (dopamin). Indikasi
SSRI Untuk depresi (lebih unggul dari golongan TCA), penderita Bulimia nevrosa,
anoreksia nevrosa, gangguan panik, nyeri neuropati diabetik, dan sindrom premenstrual .
SSRI dapat menyebabkan gangguan lambung dan mual (Bagheri, Kerbeshian,
Burd,1999).
4. Benzodiazepines
Benzodiazepines digunakan dalam beberapa kasus untuk menurunkan tingkat kecemasan
pasien, tapi sering dihindari karena dapat menyebabkan ketergantungan dan toleransi
(Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
5. Permen karet nikotin
Permen karet ini digunakan untuk mengurangi tic. Penggunaannya ditambahkan ke
pengobatan yang berkelanjutan dengan haloperidol, tetapi membutuhkan studi lebih
lanjut (Bagheri, Kerbeshian, Burd,1999).
d. Alternatif terapi
Dengan merubah pola makan dan memberi suplemen gizi dapat mencegah dan
mengelola gejala gangguan tic, meskipun studi formal belum dilakukan di daerah
ini. Beberapa teori telah mengungkapkan bahwa kekurangan nutrisi dapat mempengaruhi
pengembangan dan pemeliharaan gangguan tic. Alternatif terapi dapat dilakukan dengan
makan makanan organik dan menghindari pestisida, meningkatkan asupan asam folat dan
vitamin B, makan makanan tinggi zat besi dan magnesium, mengurangi kafein dan
menghindari pemanis buatan dan zat warna (Leckman and Donald, 1999)
e. Psikofarmakologi
Page 20 of 24
Pendekatan terapi yang pertama dilakukan pada Transient Tic Disorders adalah
dengan memberikan edukasi dan demistifikasi gejala. Orang sering berinteraksi dan
kontak dengan penderita harus diberitahu tentang apa itu tic, fluktuasi dan kemungkinan
adanya pengaruh komorbiditas dari penyakit lain. Penting untuk menekankan bahwa
meminta anak untuk mengontrol gejala tic dengan sendiri adalah tindakan yang tidak
berguna dan sia-sia. Tujuan dari psikoterapi adalah menciptakan pengertiandari orang
terdekat pasien bisa keluarga atau teman pasien sehingga orang terdekat tersebut
memiliki toleransi terhadap gejala tic, dan menghindari situasi bahwa adanya gejala tic
pada pasien akan menjadi hal yang memalukan. Setelah evaluasi lengkap, pengobatan tic
dan komorbiditas harus diprioritaskan karena beberapa studi menjelaskan bahwa gejala
tics muncul sebagian besar karena ada penyakit berat lain seperti sindrom obsesif
kompulsif, defisit konsentrasi dan gangguan hiperaktif, kecemasan dan depresi,
gangguan perilaku dan kesulitan tidur. Dokter dalam mempertimbangkan farmakologis
harus menyadari perjalanan dari komorbiditas penyakit tersebut dan efek terhadap gejala
Transient Tic Disorders (Srour, et al, 2008).
2. Terapi baru
a. Toksin Botulinum
Metode penatalaksanaan terbaru untuk Transient Tic Disorders adalah dengan
penggunaan toksin botulinum. Toksin botulinum diberikan ketika pemberian obat oral
gagal untuk mengatasi gejala tic. Cara kerja toksin botulinum adalah dengan merelaksasi
otot-otot terlibat dalam tic fokal tanpa menyebabkan efek samping sistemik yang tidak
diinginkan. Toksin botulinum diperoleh dari Clostridium botulinum dan merupakan obat
yang terdiri dari campuran neurotoksin botulinum dan protein non toksin. Neurotoksin
botulinum terdiri dari asam amino rantai panjang dan asam amino terang sedangkan
protein non toksin merupakan gabungan dari protein hemaglutinin dan protein non
hemaglutinin. Cara pemberian toksin botulinum pada pasien dengan gangguang tic
dengan cara injeksi pada otot yang mengalami gejala tic (Truong, et al, 2009).
Vokal tic yang berulang-ulang akan lebih efektif diobati dengan botulinum toksin
(BONT) daripada gejala tic dengan gerakan kompleks karena akan
memerlukan suntikan di beberapa otot. Beberapa studi menunjukan injeksi toksin
botulinum tipe A menunjukkan penurunan frekuensi dan intensitas
tics dystonic pada 10 pasien (Jankovic, 1994, dalam Truong, et al, 2009).
Efek samping penggunakan toksin botulinum adalah kekeringan pada mulut, iritasi
kornea, gangguan akomomodasi, iritasi pada hidung atau mukosa organ genital, selain itu
Page 21 of 24
belum banyak studi dan penelitian yang membahas tentang keparahan dan dosis yang
tetap untuk penggunaan toksin botulinum sebagai alternatif terapi baru pada pasien
sindrom transien tic (Truong, et al, 2009).
I. Komplikasi
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan
dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat
menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya
sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya
menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi
urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik (Markam, 2002). Transient
Tic Disorder dapat berkembang menjadi chronic motor or vocal tic disorder (Gleason,
2007).
J. Prognosis
Transient Tic Disorders yang masih sederhana biasanya hilang selama periode bulan.
Sebagian besar orang dengan Transient Tic Disorders tidak berkembang menjadi
Transient Tic Cronic. Tic mereka menghilang secara permanen atau kambuh selama
periode stres khusus. Hanya sejumlah kecil yang menjadi gangguan tic motorik dan
vokal kronis atau gangguan Tourette. Prognosis untuk gangguan sementara tic sangat
baik, dengan jangka waktu kurang dari 1 tahun. Saat ini ada beberapa pengobatan untuk
terapi Transient Tic Disorders , tetapi belum bisa membuktikan bahwa pengobatan dapat
mengubah prognosis awal. Ketika saat melakukan evaluasi pertama pada penderita tic,
sulit untuk menentukan apakah pasien tersebut menderita sindrom tic kronis atau
transient, ringan atau berat (Sadock,2010).
III. KESIMPULAN
Page 22 of 24
1. Transient tic disorders adalah kondisi sementara di mana seseorang membuat singkat
satu atau banyak, berulang, sulit untuk mengontrol gerakan atau suara (tics) yang dapat
disebabkan faktor genetik dan faktor sekunder.
2. Penegakkan diagnosis dari Transient Tic Disorder ini bisa dilakukan langsung tanpa
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan seperti imaging photo.
3. Penatalaksaan transient tic disorders terdiri dari terapi lama dan terapi baru. Terapi lama
meliputi pendektatan holistik, terapi perilaku dan kognitif-perilaku, farmakologi,
alternatif lain. Terapi baru terdiri dari suntik toksin botulinum dan terapi
psikofarmakologi.
4. Prognosis transient tic disorders adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
Page 23 of 24
Bagheri, Mohammed M., Kerbeshian, Jacob AndBurd, Larry. 1999. Recognition and
Management of Tourette's Syndrome and Tic Disorders. University of North Dakota
School of Medicine and Health Sciences, Grand Forks, North Dakota. American
Family Physician, vol. 59(8):2263-2272.
Castle, D.J., 2000, Epidemiology of women and schizophrenia, in Women and Schizophrenia,
Edited by Castle DJ, McGrath J, Kulkarni J. Cambridge, UK, Cambridge University
Press.
Challman TD, Lipsky JJ. 2005. Methylphenidate : its pharmacology and uses. Mato Clin
Proc. 75:711-121
Cornish KM, Turk J, Wilding J. 2004. Deconstructing the attention deficit in fragile X
syndrome: a developmental neuropsychological approach. J Child Psychiatry.45 (6): 1042-
53.
Gleason MM, Boris NW, Dalton R. 2007. Habit and tic disorders. In: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.
Greydanus DE, Pratt HD. 2005. Syndromes and disorders associated with mental retardation.
Indian J Pediatri 72;859-864
Hughes, Mark. 2010. Supporting Students with Asperger’s Syndrome. Published by the
Higher Education Academy UK Physical Sciences Centre
Kaplan Harold MD et al. 2000. Gangguan berhubungan dengan kokain. Sinopsis Psikiatri.
Edisi 7 jilid satu. Hal 638-41
Leckman, James. F., and Donald J. Cohen. 1999. Tourette's Syndrome Tics, Obsessions,
Compulsions: Developmental Psychopathology and Clinical Care. New York: John
Wiley and Sons, Inc.
Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-
III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atmajaya
Page 24 of 24
Miyamoto S., La Mantia A.S., Duncan E.E., et al. 2003. Recent Advances in The
neurobiology of Schizophrenia: Molecular Intervention. 3:27-39.
Rahmawati, Ade. 2010. Motor Skills and Tic Disorder. From URL :
http://ocw.usu.ac.id/course/download/127-PSIKOLOGI-ABNORMAL-
ANAK/psikologi_abnormal_a_slide_motor_skills_and_tic_disorders.pdf. Diakses pada
tanggal 3 Mei 2012
Ratcliffe, SG. 2002. The Sexual Development of Boys with the chromosome constitution
47,XXY (Klinefelter syndrome). Clin Endocrinology & Metabolism 11: 703-716
Rampello, L, A. Alvano, G. Battaglia, V. Bruno, R. Raffaele, et al. 2006. Tic Disorders: From
Pathophysiology to Treatment. J. Neurol, vol. 253 : 1-15.
Sadock BJ, Sadock VA. Pocket Handbook of Clinical Psichiatry. 4th Edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins, 2005. 771-781.
Swain JE, Scahill L, Lombroso PJ, et al. 2007. Tourette syndrome and tic disorders: a decade
of progress. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry, vol. 46:947–968.
Truong, Daniel., Dirk Dressler, Mark Hallett. 2009. Manual of Botulinum Toxin Therapy.
New York: Cambridge University Press.
Wibowo, S., Gofir, A.2001. Farmakoterapi dalam Neurologi. Edisi pertama. Jakarta:
Salemba Medika.
Winter, Matt. 2011. Asperger Syndrome : What Teachers Need to Know. USA : Jessica
Kingsley Publisher.