Anda di halaman 1dari 7

IMUNOLOGI DAN PATOLOGI KLINIS

(ISPA)
A. KASUS
Seorang pasien An DH (11 tahun) mengeluhkan batuk, tenggorokan terasa sakit, pusing,
kesulitan bernapas, dan menggigil. Dari tanda vital diketahui bahwa HR: 105/menit, Suhu
39.1oC, RR 50/menit, TD 135/90mmHg. An DH sudah mengonsumsi obat batuk yang
beredar bebas selama 3 hari namun tidak ada perbaikan. Dokter mencurigai adanya ISPA
(infeksi saluran pernafasan akut).
Untuk menetapkan diagnosis tersebut, pemeriksaan apa saja yang diperlukan?
Jelaskan mengapa pemeriksaan tersebut dapat mendukung diagnosis dan pengobatan
pasien!Jelaskan pula patologi dari kasus di atas!

B. DEFINISI
Menurut Alsagaff, dkk (2005) ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus tanpa diserti radang parenkim.
Infeksi akut berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan dalam ISPA prosessnya
dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (Suryana A, 2005). Penyakit saluran pernafasan pada
masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana
ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic obstructive pulmonary disease
(WHO,2003). ISPA dapat menyebabkan demam , batuk, pilek, sesak nafas (Bidulh,2002).

C. ETIOLOGI
ISPA dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Virus pernafasan merupakan
penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA.
Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis
virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama (Amin dkk, 1989).
Sedangkan jenis yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut yaitu Genus
Streptococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordettalla dan Korinobakterium.

D. PATOLOGI
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga
dibutuhkan suatu sstem pertahanan yang efektif dan efisien dari system saluran pernafasan
ini. Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara
sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat,yaitu : utuhnya
epitel mukosa dangerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibody setempat. Infeksi saluran
pernafasan menjadi jalan masuk bagi virus. Hal ini dapat terjadi pada kondisi yang penuh
sesak. Setelah itu kuman memfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan inofoid
superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimor
fonuklear.jadi yang terjadi kerusakan adalah lapisan epitel dari saluran nafas sebagai akibat
dari radang.

E. KLASIFIKASI ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut memiliki berbagai macam jenisnya. Menurut letaknya
terbagi menjadi infeksi di saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah (terdiri dari
bronkus dan bronkiolus). Infeksi saluran pernafasan atas terdiri dari pilek (nasofaring),
faringitis, influenza. Infeksi saluran pernafasan bawah terdiri dari bronchitis pneumonia,
TBC, dan aspirasi substansi asing.
a. Infeksi saluran pernafasan atas
1. Batuk pilek
2. Sinusitis
3. Tonsillitis
4. Faringitis
5. Laryngitis
6. Otitis media
b. Infeksi saluran pernafasan bawah
1. Bronkhitis
2. Bronchiolitis
3. Pneumonia
4. Tuberculosis
5. Komplikasi
Berdasarkan program Pemberantasan ISPA (P2-ISPA) pengklasifikasian ISPA menjadi 2
kelompok umur yaitu golongan umur dibawah 2 bulan dengan klasifikasi penyakit
pneumonia berat dan bukan pneumonia dan golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun dengan
klasifikasi penyakit pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia. Klasifikasi ISPA
menurut DepkeS RI :
a. ISPA ringan : gejala batuk, pilek, dan sesak
b. ISPA sedang : gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39°C dan ketika bernafas
mengeluarkan suara seperti mengorok
c. ISPA berat : gejala kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan
menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sinosis) dan gelisah.

F. MACAM PEMERIKSAAN PENDUKUNG DIAGNOSIS


1. Tonsilitis
Pada pemeriksaan pada tonsil akan terlihat tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang
atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas. Terdapat detritus atau detritus baru tampak
jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini S, 2003). Ukuran tonsil pada tonsilitis
kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan
dalam ukuran T1-T4. Pembagian ukuran pembesaran tonsil menurut Cody dan Thane
(1993) adalah sebagai berikut:
 T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior-
uvula
 T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak
pilar anterior-uvula
 T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior-uvula
 T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan beberapa tes. Dasar dari tes-tes ini
adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan apabila tes dilakukan, terjadi
transportasi bakteri, toksin bakteri, protein jaringan fokal, material limfosit yang rusak
ke dalam aliran darah ataupun akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan
kenaikan pada jumlah leukosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah leukosit darah
berkisar antara 4000-10000/mm3 darah. Tes yang dapat dilakukan adalah:
1) Tes masase tonsil: salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5 menit
dengan kain kasa, jika 3 jam kemudian terjadi kenaikan leukosit lebih dari
1200/mm3 atau kenaikan laju endap darah (LED) lebih dari 10 mm dibandingkan
sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.
2) Penyinaran dengan UKG: tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4 jam
kemudian diperiksa jumlah leukosit dan LED. Jika terdapat kenaikan jumlah
leukosit lebih dari 2000/mm3 atau kenaikan LED lebih dari 10 mm dibandingkan
sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.
3) Tes hialuronidase: periksa terlebih dahulu jumlah leukosit, LED dan temperatur
oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah diinjeksi, jika
didapati kenaikan temperatur 0,3⁰C, kenaikan jumlah leukosit lebih dari
1000/mm3 serta kenaikan LED lebih dari 10 mm maka tes ini dianggap positif.
2. Faringitis
a. Pemeriksaan Fisik (Kemenkes RI, 2014)
 Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat
(virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat).
Pada Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.
 Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
 Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal
lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
 Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah
mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).
 Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh
lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
 Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada
mukosa faring dan laring.
 Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
1. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar
mandibular.

2. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang
menjalar ke arah laring.

3. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
b. Pemeriksaan Penunjang (Kemenkes RI, 2014)
1) Pemeriksaan darah lengkap.
2) Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
3) Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

3. Bronkhitis (Kemenkes RI, 2014)


a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:
 Pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter anteroposterior
dada meningkat).

 Fremitus taktil dada tidak ada atau berkurang.


 Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, tukak jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang dengan ekpirasi panjang, terdapat ronki basah kasar
yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk), wheezing dengan
berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak didapat leukosit
PMN dan mungkin pula bakteri.
 Foto thoraks pada bronkitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan
corakan paru yang bertambah.
 Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan napas yang reversibel
dengan menggunakan bronkodilator.

4. Bronkhiolitis

Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat (takipnea),


disertai adanya ekspirasi yang memanjang bahkan mengi. Pada kasus yang berat mengi
dapat terdengar tanpa stetoskop. Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
radiologis dijumpai gambaran hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas.
Bahkan ada kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran
radiologis. Berbeda dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat akan
menunjukkan gambaran kelainan radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis
gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat. Pada pemeriksaan laboratorium
(darah tepi) umumnya tidak memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai
dengan limfopenia.

5. Pneumonia

 Pemeriksaan fisik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Temuan


pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras,
pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.

 Pemeriksaan penunjang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003): Gambaran


radiologis : Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus.

 Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya


lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25 % penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.

6. TBC
Pemeriksaan Fisik
a. Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali), respirasi
meningkat, berat badan menurun (BMI pada umumnya <18,5). Pada auskultasi
terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di
apeks paru, tergantung luas lesi dan kondisi pasien.

b. Pemeriksaan Penunjang

1) Darah: limfositosis/monositosis, LED meningkat, Hb turun.

2) Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/ BTA) atau kultur


kuman dari specimen sputum/dahak sewaktu- pagi-sewaktu.

3) Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

4) Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini merupakan penunjang utama


untuk membantu menegakkan Diagnosis TB pada anak.

5) Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux


(intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur
diameter transversal. Uji tuberkulin dinyatakan positif yaitu;

a. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak dengan


riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya >10 mm.

b. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi buruk,


keganasan dan lainnya) diameter indurasinya >5 mm.

6) Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/top lordotik. Pada TB, umumnya di


apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak
jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang
dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis),
pleuritisn (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).

Anda mungkin juga menyukai