Inisiasi 6 Kriminologi
Inisiasi 6 Kriminologi
Para ahli yang berkutat dengan tradisi disorganisasi sosial sudah sejak
lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu
kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman (Shaw&
Mckay 1942). Para peneliti saat ini sudah memperluas daftar dari aspek
korelatif tadi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga
single-parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural (Bursik, 1986; Bursik &
Grasmick, 1993; Sampson 1985; Sampson & Groves, 1989). Kekuatan
korelatif ini penting untuk dipikirkan bagi upaya menunjukkan kejahatan yang
mungkin timbul karena adanya peningkatan disorganisasi sosial karena
perkembangan perilaku dari pelaku yang potensial, yang memang berada pada
lingkaran kondisi seperti yang dijelaskan oleh faktor korelatif tersebut. Mereka
mengurangi pengintegrasian sosial, mengurangi peningkatan isolasi atau
pengasingan diri dan anonimitas, serta mengurangi pengawasan atau kontrol
sosial informal.
Kemajuan dalam teori disorganisasi sosial sudah membantu membaharui
pemahaman kita di mana wilayah perkotaan sudah berubah dibanding dengan
awal perkembangannya dari gagasan ini pada tahun 40-an. Studi lain (Bursik&
Grasmick 1993; Sampson & Groves 1989; Roundtree & Warner 1999;
Sampson, Raudenbush & Earles 1997; Morenoff, 2001) sudah mencoba untuk
menetapkan faktor mediasi dari disorganisasi. Sebagai suatu bidang ilmu, teori
disorganisasi sosial mempunyai suatu warisan konseptual yang empiris dan
kaya, dan suatu literatur yang mendalam dan komprehensif telah
dikembangkan terkait dengan sumber disorganisasi sosial.
Baru-Baru ini, Rose dan Clear (1998), mengajukan hipotesa mereka
bahwa konsentrasi incarceration yang tinggi boleh jadi merupakan faktor
disorganisasi sosial lain. Mereka mengajukan gagasan di mana incarceration,
terutama pada tingkat tarip tinggi (hi-cost) bisa mengganggu jaringan sosial
dengan merusak sumber-sumber kekeluargaan, ekonomis, dan politis dari
pengawasan atau kontrol sosial informal. Konsekuensi dari kerusakan ini,
mereka berteori, akan menciptakan tingkat kejahatan yang tinggi. Tinjauan
ulang mereka terhadap teori itu, menurut Rose dan Clear (1988) menunjukkan
bagaimana tingkat incarceration (penahanan) yang tinggi dan mungkin dapat
merusak jaringan sosial yang memang rentan dan merupakan basis
pengawasan atau kontrol sosial informal. Mereka juga berpendapat bahwa
pelepasan narapidana itu, di mana banyak dari mereka itu mempunyai suatu
orientasi kriminal, akan memperburuk permasalahan heterogenitas dari norma
yang ada. Dengan menggunakan rumusan ulang teori disorganisasi sosial yang
sistemik dari Bursik dan Grasmick (1993) sebagai kerangka, mereka
menguraikan suatu model yang tidak berulang yang menyangkut efek
incarceration (penahanan).
Dalam konteks bahasan di atas itulah suatu studi tentang pengawasan atau
kontrol sosial informal mempunyai dampak penting atas angka kejahatan pada
level lingkungan. Untuk menggambarkan hal tersebut, Bellair (1997) yang
menganalisis pengaruh frekuensi interaksi tetangga atas kejahatan di dalam 60
lingkungan berkenaan dengan kota, menemukan data bahwa “berkumpul
dengan tetangga” (misalnya bergosip) mempunyai dampak negatif pada
pencurian, perampokan, dan pencurian kendaraan bermotor. Suatu analisa
terkait (Bellair 2000) menemukan data bahwa pengawasan informal terhadap
hak milik orang lain oleh tetangga mempunyai dampak negatif bagi beberapa
bentuk kejahatan, meskipun bukan bagi kejahatan yang lain. Markowitz dan
kawan-kawan (2001) mengajukan data bahwa penurunan kohesi lingkungan
mengakibatkan kekacauan dan kejahatan yang lebih besar di lingkungan yang
bersangkutan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengawasan atau kontrol
sosial informal telah melahirkan suatu spesifikasi teoritis baru tentang
kejahatan di tingkat lingkungan ketetanggaan, misalnya mereka mengusulkan
suatu “kemanjuran kolektif,” yang dari berbagai fakta menunjukkan bahwa
kohesi sosial dan pengawasan atau kontrol sosial informal dapat mengurangi
kejahatan (Sampson, Raudenbush & Earles, 1997). Data dari Chicago
menyatakan bahwa pengawasan atau kontrol sosial informal, asosiasi
sukarelawan, kin/friend yaitu jaringan kekerabatan dan pergaulan, serta
organisasi lokal dapat menjadi sumber dari kemanjuran kolektif yang lebih
besar yang pada gilirannya mengurangi kejahatan (Morenoff, Sampson &
Raudenbush, 2000).
Di dalam klarifikasi penting mereka tentang sifat sistemik berbagai model
ekologis, Bursik dan Grasmick (1993) menunjuk bahwa teori disorganisasi
sosial mungkin ditetapkan sebagai teori, baik yang menyangkut pengawasan
atau kontrol sosial informal ataupun mengenai pengawasan atau kontrol sosial
formal. Menurut mereka, mekanisme disorganisasi sosial itulah yang
manyatukan kapasitas keduanya, yaitu kontrol sosial informal dan kontrol
sosial formal, di mana hal itu dapat berperan untuk memunculkan kejahatan.
Sementara itu, ada bukti yang mendukung pernyataan yang sebaliknya
dari argumentasi di atas, seperti yang dikemukakan oleh Velez (2001), bahwa
lingkungan yang lemah atau miskin yang terikat secara kuat dengan
pemerintah lokal karena terkait dengan pengawasan dan memiliki hubungan
yang baik dengan polisi, akan menderita lebih sedikit kejahatan dibanding
lingkungan yang kekurangan akses ke sumber daya pengawasan atau kontrol
sosial publik. Tetapi hubungan antara pengawasan atau kontrol sosial dan
kejahatan di tingkatan lingkungan belum banyak di jelaskan oleh studi
sebelumnya.
Menurut Felson (1987), cara yang lebih efektif dalam hal mencegah
kejahatan adalah "mengatur penurunan dan penyaluran hasrat manusiawi
sehingga pelaku kejahatan dan target kejahatan" jarang bertemu di daerah
yang tidak ada penjagaan atau pengawasan.