Anda di halaman 1dari 11

Inisiasi 6

Inisiasi ini disadur dari Modul 6


Teori Kriminologi (SOSI4302)

Teori Tempat Kejahatan dan


Teori Aktivitas Rutin

S haw dan McKay (1969), memusatkan perhatiannya pada empat


kecenderungan yang menggambarkan karakteristik dari kehidupan
perkotaan, seperti kejahatan, kemiskinan, keanekaragaman etnis atau suku
bangsa, serta mobilitas warga atau penghuni. Berbagai kecenderungan tersebut
dapat membawa akibat "penggerogotan" pada organisasi sosial dari komunitas
perkotaan yang bersangkutan (Bursik, 1988; Ferdinand, 1987; Shaw and
McKay, 1969).
Mempelajari kemerosotan dari norma-norma sosial ini, Shaw dan Mc Kay
(1969), melakukan beberapa studi tentang delinkuensi (kenakalan remaja) di
Chicago selama kurang lebih 30 tahun. Studi mereka kemudian menghasilkan
kesimpulan yang senada dan mendukung temuan dari studi yang pernah
dilakukan oleh Park, yang menunjukkan bahwa kenakalan remaja lebih banyak
terjadi dalam zona transisi.
Beberapa temuan dari studi yang dilakukan oleh Shaw dan McKay (1969),
antara lain:
1. Komunitas yang (semakin) stabil, mantap, dan mapan cenderung
mempunyai tingkat delinkuensi yang semakin rendah.
2. Komunitas dengan tingkat delinkuensi yang lebih tinggi mempunyai nilai-
nilai sosial yang berbeda dengan komunitas yang mempunyai tingkat
delinkuensi yang lebih rendah.
3. Daerah yang mempunyai tingkat penghasilan lebih rendah dengan tingkat
frustrasi dan depriviasi lebih tinggi mempunyai tingkat delinkuensi yang
lebih tinggi.
4. Kondisi sosial dalam suatu komunitas (seperti kondisi kepadatan tinggi)
sangat berkaitan langsung dengan tingkat delinkuensi.
5. Di daerah pemukiman golongan masyarakat kelas rendah, di mana
kemapanan keseragaman nilai sosial di dalam masyarakat sangat stabil,
delinkuensi cenderung dilihat sebagai alternatif yang disetujui oleh para
pelakunya sebagai alternatif perilaku walaupun merupakan pelanggaran
hukum.

TEORI TEMPAT KEJAHATAN

Dalam teori tentang Tempat Kejahatan, Rodney Stark (1987) sebenarnya


melakukan penambahan dan penyempurnaan atas hal-hal yang telah dilakukan
oleh para pendahulunya yang tergabung dalam kelompok Chicago school.

Stark mengajukan pertanyaan, bagaimana masyarakat ketetanggaan dapat


tetap berada pada tempat di mana tingkat kejahatannya tinggi walaupun
memang di antara mereka terjadi pergantian dalam populasinya?

Kesimpulannya bahwa terdapat kondisi yang unik tentang tempat tertentu


yang memunculkan kejahatan. Dalam konteks ini, Stark (1987)
memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat
kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian
fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak
terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya,
yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan
kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang
meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.
Menurut Stark (1987), sifat dari ekologi komunitas ketetanggaan
menentukan tingkat kejahatan. Walaupun di daerah yang berpenghasilan
rendah, tingkat kejahatannya dapat saja lebih rendah jika komunitas tersebut
tidak terlalu padat, atau jika penduduk banyak tetapi jarak antarrumah tidak
terlalu rapat, atau jika mayoritas penduduk masih memegang nilai moral, atau
jika polisi di sekitar komunitas tersebut mempunyai derajat toleransi yang
rendah terhadap kejahatan.
Merujuk pada uraian di atas, secara lebih rinci kita dapat memberi batasan
tentang tempat kejahatan sebagai suatu daerah atau tempat di mana banyak
terdapat pelaku kejahatan (termasuk juga mereka yang potensial sebagai
pelaku kejahatan) serta banyaknya peristiwa kejahatan yang terjadi di tempat
atau daerah tersebut atau besarnya kemungkinan dilakukannya beberapa jenis
kejahatan di tempat tersebut.
Untuk mengetahui tempat atau daerah mana yang banyak terdapat pelaku
kejahatan atau orang-orang yang secara potensial sebagai pelaku kejahatan
adalah sulit. Dalam menentukan seseorang yang berkumpul atau berada dalam
suatu tempat tertentu sebagai penjahat, kita akan berhadapan dengan kepastian
hukum (ingat kegiatan belajar tentang: siapakah yang disebut sebagai
penjahat). Apalagi menentukan seseorang adalah potensial sebagai pelaku
kejahatan. Prasangka yang gegabah akan menghantarkan kita pada kesalahan
pengamatan dan ketidakadilan dalam memandang seorang individu.
Berbeda dengan jika kita batasi tempat atau daerah kejahatan sebagai
tempat atau daerah yang banyak terjadi peristiwa kejahatan, data atau
informasi yang menghantarkan kita untuk menentukan bahwa daerah tertentu
adalah daerah yang banyak terjadi peristiwa kejahatan adalah relatif mudah.
Kita dapat, salah satu di antaranya, menggunakan metode statistik kriminal
yang dapat menunjukkan daerah tertentu yang banyak terjadi peristiwa
kejahatan.
Sementara itu, Schmid (1960), mengemukakan beberapa karakteristik dari
suatu daerah di mana kejahatan sering dilakukan. Beberapa karakteristik itu
adalah:
1. rendahnya tingkat pergaulan sosial;
2. kurangnya rasa kekeluargaan;
3. rendahnya tingkat sosial dan ekonomi;
4. kondisi fisik yang buruk;
5. tingginya tingkat mobilitas penduduk;
6. menurunnya moral penduduk.

Karakteristik di atas merupakan kondisi yang menunjukkan daerah


tersebut sebagai daerah kejahatan yang berhubungan erat dengan tingginya
angka kejahatan yang terjadi di daerah tersebut. Faktor ini mempunyai
pengaruh yang cukup berarti dan bersifat kausal terhadap individu yang tinggal
di dalamnya dan terutama mempengaruhi norma masyarakat yang berlaku di
dalam di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kondisi demikian akan
mengingatkan kita pada delinquent area, seperti yang pernah dijelaskan oleh
Shaw (1969) dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Tingkah laku di dalam daerah tersebut cenderung melanggar norma . Jadi,
apa yang biasa disebut criminal behaviour itu dianggap sebagai suatu hal
yang biasa.
2. Kondisi-kondisi fisik daerah itu buruk, misalnya perumahan yang buruk,
jalan-jalan yang buruk, kebersihannya buruk, dan sebagainya.
3. Penduduknya rapat atau padat.
4. Mobilitas penduduknya tinggi.
5. Terletak di dekat aktivitas perdagangan dan industri.
6. Kontrol sosial sangat kurang.
7. Standar hidup penduduknya rendah.
8. Standar pendidikan penduduknya rendah.
9. Tingkat keberadaan penjahat dewasa tinggi.
10. Disorganized neighbourhood, yaitu lingkungan yang tidak baik dan kacau
di mana di tempat tersebut anak-anak tidak cukup mendapatkan
pendidikan dan pengetahuan tentang nilai-nilai yang biasa dijunjung
tinggi oleh masyarakat, seperti nilai hak milik orang lain, nilai pendidikan,
nilai moral, dan sebagainya.

Para ahli yang berkutat dengan tradisi disorganisasi sosial sudah sejak
lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu
kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman (Shaw&
Mckay 1942). Para peneliti saat ini sudah memperluas daftar dari aspek
korelatif tadi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga
single-parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural (Bursik, 1986; Bursik &
Grasmick, 1993; Sampson 1985; Sampson & Groves, 1989). Kekuatan
korelatif ini penting untuk dipikirkan bagi upaya menunjukkan kejahatan yang
mungkin timbul karena adanya peningkatan disorganisasi sosial karena
perkembangan perilaku dari pelaku yang potensial, yang memang berada pada
lingkaran kondisi seperti yang dijelaskan oleh faktor korelatif tersebut. Mereka
mengurangi pengintegrasian sosial, mengurangi peningkatan isolasi atau
pengasingan diri dan anonimitas, serta mengurangi pengawasan atau kontrol
sosial informal.
Kemajuan dalam teori disorganisasi sosial sudah membantu membaharui
pemahaman kita di mana wilayah perkotaan sudah berubah dibanding dengan
awal perkembangannya dari gagasan ini pada tahun 40-an. Studi lain (Bursik&
Grasmick 1993; Sampson & Groves 1989; Roundtree & Warner 1999;
Sampson, Raudenbush & Earles 1997; Morenoff, 2001) sudah mencoba untuk
menetapkan faktor mediasi dari disorganisasi. Sebagai suatu bidang ilmu, teori
disorganisasi sosial mempunyai suatu warisan konseptual yang empiris dan
kaya, dan suatu literatur yang mendalam dan komprehensif telah
dikembangkan terkait dengan sumber disorganisasi sosial.
Baru-Baru ini, Rose dan Clear (1998), mengajukan hipotesa mereka
bahwa konsentrasi incarceration yang tinggi boleh jadi merupakan faktor
disorganisasi sosial lain. Mereka mengajukan gagasan di mana incarceration,
terutama pada tingkat tarip tinggi (hi-cost) bisa mengganggu jaringan sosial
dengan merusak sumber-sumber kekeluargaan, ekonomis, dan politis dari
pengawasan atau kontrol sosial informal. Konsekuensi dari kerusakan ini,
mereka berteori, akan menciptakan tingkat kejahatan yang tinggi. Tinjauan
ulang mereka terhadap teori itu, menurut Rose dan Clear (1988) menunjukkan
bagaimana tingkat incarceration (penahanan) yang tinggi dan mungkin dapat
merusak jaringan sosial yang memang rentan dan merupakan basis
pengawasan atau kontrol sosial informal. Mereka juga berpendapat bahwa
pelepasan narapidana itu, di mana banyak dari mereka itu mempunyai suatu
orientasi kriminal, akan memperburuk permasalahan heterogenitas dari norma
yang ada. Dengan menggunakan rumusan ulang teori disorganisasi sosial yang
sistemik dari Bursik dan Grasmick (1993) sebagai kerangka, mereka
menguraikan suatu model yang tidak berulang yang menyangkut efek
incarceration (penahanan).
Dalam konteks bahasan di atas itulah suatu studi tentang pengawasan atau
kontrol sosial informal mempunyai dampak penting atas angka kejahatan pada
level lingkungan. Untuk menggambarkan hal tersebut, Bellair (1997) yang
menganalisis pengaruh frekuensi interaksi tetangga atas kejahatan di dalam 60
lingkungan berkenaan dengan kota, menemukan data bahwa “berkumpul
dengan tetangga” (misalnya bergosip) mempunyai dampak negatif pada
pencurian, perampokan, dan pencurian kendaraan bermotor. Suatu analisa
terkait (Bellair 2000) menemukan data bahwa pengawasan informal terhadap
hak milik orang lain oleh tetangga mempunyai dampak negatif bagi beberapa
bentuk kejahatan, meskipun bukan bagi kejahatan yang lain. Markowitz dan
kawan-kawan (2001) mengajukan data bahwa penurunan kohesi lingkungan
mengakibatkan kekacauan dan kejahatan yang lebih besar di lingkungan yang
bersangkutan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengawasan atau kontrol
sosial informal telah melahirkan suatu spesifikasi teoritis baru tentang
kejahatan di tingkat lingkungan ketetanggaan, misalnya mereka mengusulkan
suatu “kemanjuran kolektif,” yang dari berbagai fakta menunjukkan bahwa
kohesi sosial dan pengawasan atau kontrol sosial informal dapat mengurangi
kejahatan (Sampson, Raudenbush & Earles, 1997). Data dari Chicago
menyatakan bahwa pengawasan atau kontrol sosial informal, asosiasi
sukarelawan, kin/friend yaitu jaringan kekerabatan dan pergaulan, serta
organisasi lokal dapat menjadi sumber dari kemanjuran kolektif yang lebih
besar yang pada gilirannya mengurangi kejahatan (Morenoff, Sampson &
Raudenbush, 2000).
Di dalam klarifikasi penting mereka tentang sifat sistemik berbagai model
ekologis, Bursik dan Grasmick (1993) menunjuk bahwa teori disorganisasi
sosial mungkin ditetapkan sebagai teori, baik yang menyangkut pengawasan
atau kontrol sosial informal ataupun mengenai pengawasan atau kontrol sosial
formal. Menurut mereka, mekanisme disorganisasi sosial itulah yang
manyatukan kapasitas keduanya, yaitu kontrol sosial informal dan kontrol
sosial formal, di mana hal itu dapat berperan untuk memunculkan kejahatan.
Sementara itu, ada bukti yang mendukung pernyataan yang sebaliknya
dari argumentasi di atas, seperti yang dikemukakan oleh Velez (2001), bahwa
lingkungan yang lemah atau miskin yang terikat secara kuat dengan
pemerintah lokal karena terkait dengan pengawasan dan memiliki hubungan
yang baik dengan polisi, akan menderita lebih sedikit kejahatan dibanding
lingkungan yang kekurangan akses ke sumber daya pengawasan atau kontrol
sosial publik. Tetapi hubungan antara pengawasan atau kontrol sosial dan
kejahatan di tingkatan lingkungan belum banyak di jelaskan oleh studi
sebelumnya.

TEORI AKTIVITAS RUTIN

Teori Aktivitas rutin menunjukkan bahwa jika kita akan mempelajari


kejahatan maka kita harus mempertimbangkan tiga elemen yang dapat akan
berpengaruh terhadap kemudahan munculnya kejahatan, yakni:
a. pelaku yang memang mempunyai motivasi untuk melakukan kejahatan,
b. adanya sasaran yang cocok, dan
c. ketidakhadiran sistem penjagaan yang cakap dan canggih, seperti
masyarakat ketetanggaan yang siap siaga, dan sistem alarm untuk
mencegah kejahatan.
Segi Tiga Kejahatan Menurut Teori Aktivitas Rutin. Premis dari teori ini
adalah bahwa berbagai aktivitas rutin keseharian dari warga masyarakat
dapat menjelaskan pola-pola viktimisasi.

Menurut Felson (1987), cara yang lebih efektif dalam hal mencegah
kejahatan adalah "mengatur penurunan dan penyaluran hasrat manusiawi
sehingga pelaku kejahatan dan target kejahatan" jarang bertemu di daerah
yang tidak ada penjagaan atau pengawasan.

Aktivitas rutin adalah pergerakan yang berlangsung secara terus-menerus


dan dilakukan secara wajar atau rutin, seperti aktivitas pekerjaan rutin dan
aktivitas yang dilakukan pada waktu luang. Kegiatan atau aktivitas itu
dilakukan karena termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Kebanyakan dari aktivitas seperti ini muncul dan dilakukan di luar rumah,
tempat di mana para pelaku kegiatan itu mempunyai peluang yang besar untuk
berinteraksi dengan pelaku kejahatan.
Faktor yang terkait erat dengan Teori Aktivitas Rutin adalah pendekatan
gaya hidup (Hindelang, Gottfredson, dan Garofalo, 1978). Teori ini berasumsi
bahwa kelompok sosial dengan karakteristik umum (seperti kelompok muda
usia, laki-laki, orang miskin, bujangan, atau kelompok etnis minoritas)
mempunyai role expectations tertentu yang dapat meningkatkan
kecenderungan mereka mengalami viktimisasi. Perbedaan dalam gaya hidup
dapat juga menyebabkan distribusi yang tidak sama dalam tingkat viktimisasi.
Sebagai contoh, menghabiskan waktu di tempat-tempat umum, khususnya
pada malam hari, berhubungan dengan viktimisasi, dan orang-orang dengan
gaya hidup yang sama sangat mungkin bertemu pada tempat dan waktu yang
sama. Dengan demikian, kemungkinan viktimisasi selalu terkait dengan
tingkat di mana korban dan pelaku kejahatan membagi bersama karakteristik
demografis mereka.
Mari kita ambil contoh atau ilustrasi atas uraian teori di atas yang
menekankan bahwa perbedaan dalam gaya hidup dapat juga menyebabkan
distribusi yang tidak sama terkait dengan tingkat viktimisasi. Beberapa anak
muda yang suka menghabiskan waktunya untuk kumpul-kumpul malam di
diskotik (kini dikenal dengan istilah dugem), tentunya secara tidak langsung
bersentuhan dengan gaya hidup yang terkait dengan aktivitas mereka tersebut.
Bersenang-senang hingga malam, berjoget dan bercengkrama mengharuskan
mereka untuk memiliki stamina yang bagus, tidak mudah lelah atau
mengantuk. Keharusan yang demikian kemudian menjadikan mereka rentan
dengan penggunaan minuman keras dan atau obat-obatan, ekstasi misalnya,
yang memang marak tersedia di tempat tersebut. Demikianlah, suatu gaya
hidup tertentu memang menjadikan penganut gaya hidup tersebut menjadi
rentan sebagai korban (viktimisasi) dari segala perilaku jahat atau
penyimpangan tertentu pula.
Asumsi lainnya dari Teori Aktivitas Rutin dan Teori Gaya Hidup, adalah
bahwa individu yang menghabiskan waktunya lebih banyak di luar rumah
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kejahatan. Cohen
dan Felson (1979) menunjukkan bahwa dilakukannya aktivitas yang jauh dari
rumah sangat terkait dengan bertambahnya tingkat kejahatan seperti
pembunuhan, perkosaan, penyerangan atau penganiayaan, penodongan dan
pencurian. Dari salah satu penelitian tentang korelasi antara frekuensi berada
di luar rumah dengan viktimisasi terungkap bahwa para bujangan (laki-laki
yang belum menikah) lebih banyak menjadi korban kejahatan dibandingkan
dengan laki-laki yang sudah menikah. Mengapa demikian? Ternyata bagi laki-
laki yang sudah menikah akan cenderung lebih cepat pulang ke rumah karena
ditunggu oleh isteri dan anak-anak mereka. Sedangkan bagi laki-laki yang
belum menikah akan merasa mempunyai kebebasan untuk tidak cepat-cepat
pulang ke rumah sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Lebih
lama berada di jalanan atau di luar rumah itulah yang menyebabkan mereka
lebih rentan mengalami viktimisasi atas kejahatan tertentu, misalnya
penodongan, pencopetan, atau penganiayaan.
Teori Aktivitas Rutin menunjukkan suatu pengertian yang mendalam dan
sederhana mengenai penyebab permasalahan kejahatan. Intinya adalah bahwa
tidak adanya kendali atau pengawasan yang efektif, pelanggar akan mencoba
menangkap target yang menarik bagi dirinya. Untuk melakukan suatu
kejahatan, seorang pelanggar yang termotivasi harus datang pada tempat yang
sama dengan dengan target menarik. Bagi kejahatan terhadap harta benda atau
kepemilikan, target adalah suatu hal atau suatu obyek. Bagi kejahatan personal,
targetnya adalah orang. Jika suatu target yang menarik tidak pernah ada di
dalam tempat yang sama sebagai hal yang memotivasi pelanggar, maka target
tersebut tidak akan diambil, dirusak, atau diserang. Hal ini juga akan terjadi
jika ada petugas atau pihak lain yang mengawasi hadir karena mereka akan
dapat mencegah kejahatan. Jika pengontrol tidak ada, atau ada tetapi tidak
berdaya cegah maka kejahatan akan mungkin terjadi.
Dalam konteks kontrol sosial ini, pertama harus mempertimbangkan
orang yang berpengaruh di dalam hidup pelanggar potensial. Di dalam kasus
pelaku potensial muda usia, orang tua, famili atau keluarga dekat, saudara
kandung, kelompok panutan, para guru, pelatih, dan individu lainnya yang
ditempatkan dengan cara yang sama. Di dalam kasus pelaku potensial dewasa,
orang-orang yang berpengaruh ini dapat meliputi teman atau mitra karib,
sahabat karib, famili atau keluarga, dan kadang-kadang anak-anak mereka.
Orang-orang tersebut disebut “handlers” di dalam teori aktivitas rutin.
Kejahatan akan berlangsung jika ”handlers ” tidak ada, lemah, atau jahat.
Berikutnya, mempertimbangkan target atau korban. Penjaga atau
pengawas yang berusaha untuk melindungi target dari pencurian dan
kerusakan dan korban potensial dari serangan dan sergapan. Penjaga atau
pengawas formal meliputi polisi, petugas keamanan, dan orang yang lain yang
pekerjaannya memang akan melindungi hak milik dan orang dari kejahatan.
Penjaga atau pengawas informal meliputi tetangga, para teman, dan orang yang
lain yang secara kebetulan di dalam tempat yang sama dengan target yang
menarik itu. Orang tua, para guru, panutan, dan orang lain yang dekat dengan
korban potensial adalah juga penjaga atau pengawas yang potensial. Suatu
target dengan suatu penjaga atau pengawas yang efektif adalah lebih kecil
kemungkinannya akan diserang oleh pelanggar potensial dibanding suatu
target tanpa penjaga atau pengawas. Jika penjaga atau pengawas tidak ada,
lemah, atau tidak jujur maka target tidak akan terlindungi dengan baik.
Akhirnya, dengan mempertimbangkan tempat, seseorang sebenarnya
memiliki tiap-tiap penempatannya dan kepemilikannya dan menganugerahkan
hak-hak tertentu untuk mengatur akses kepada lokasi dan perilaku orang yang
menggunakan lokasi itu. Pemilik dan bagian dari pemilik (misalnya karyawan)
memelihara tempat dan orang-orang yang menggunakan tempat itu. Pemilik
dan karyawan mereka disebut para manajer tempat. Manajer tempat
mengendalikan perilaku dari pelanggar dan korban potensial. Contoh manajer
tempat meliputi pedagang, pengawal renang, penjaga arena parkir, para
pekerja rekreasi dan taman, portir, dan pengelola motel. Di hadapan suatu
manajer tempat yang efektif, kejahatan mungkin lebih kecil terjadi
dibandingkan jika manajer tersebut tidak ada, lemah atau jahat.
Semua orang, menurut teori ini, menggunakan perkakas untuk membantu
memenuhi kejahatannya atau pengendalian sasaran hasil kejahatannya.
Perkakas yang digunakan oleh anggota geng bisa saja mencakup kaleng, cat
yang percikan, senjata, dan mobil. Pelanggar tanpa akses ke perkakas tersebut
nampaknya akan lebih sukar untuk melepaskan diri dari “handlers”, lalu
memasuki tempat yang tidak sah, dan memperdaya korban, atau penjaga
maupun pengawas, serta para manajer tempat/lokasi yang bersangkutan.
Penjaga atau pengawas dapat menggunakan cahaya atau penerangan untuk
meningkatkan pengawasan, mengukir alat untuk menandai hak milik, dan alat
lain untuk membantu mengurangi kesempatan penipuan. Para manajer
tempat/lokasi dapat menggunakan gerbang, pagar, tanda dan perkakas lain
untuk mengatur perilaku orang-orang. Dengan perkakas yang efektif,
handlers, korban, penjaga atau pengawas, dan para manajer akan mempunyai
kesempatan mencegah kejahatan agar tidak terjadi.
Pendapat lain tentang alasan yang mendasari teori aktivitas rutin adalah
bahwa terdapat berbagai macam perbedaan sosial di dalam masyarakat
konvensional yang menyebabkan meningkatnya peluang terjadinya kejahatan.
Kita ambil contoh, pencuri akan lebih suka mencuri barang-barang yang
ringan, mudah di angkat dan mudah pula dijual (misalnya uang, perhiasan, dan
peralatan elektronik tertentu) daripada mencuri barang-barang yang berat dan
tidak mudah diangkat (misalnya AC, mesin cuci, atau m esin foto copy,
misalnya). Pencuri akan tahu bahwa hampir setiap rumah mempunyai AC dan
mesin cuci (dalam pengertian bahwa rumah yang akan menjadi target
pencurian adalah rumah dari keluarga kelas menengah ke atas), tetapi tidak
semua rumah dari keluarga kelas menengah ke atas tersebut juga memiliki
perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak. Para pencuri
kemudian akan lebih suka mentargetkan rumah dari keluarga menengah ke atas
yang memiliki perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak.
Perbedaan pemilikan perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak
yang tersimpan di rumah adalah suatu bukti adanya perbedaan sosial, paling
tidak perbedaan cara mengkonsumsi barang dan cara penyimpanan uang di
antara keluarga dalam kelas menengah ke atas.
Dengan mencermati berbagai perbedaan sosial di dalam aktivitas rutin
maka Cohen dan Felson (1979) lebih menitikberatkan pada pentingnya
mempelajari perbedaan sosial yang terkait dengan status dan aktivitas keluarga
dalam hubungannya dengan peluang terjadinya kejahatan (Maisener, 1987).
Ada beberapa hal yang terkait dengan status dan aktivitas keluarga yang
diasumsikan oleh mereka dapat meningkatkan peluang terjadinya kejahatan
yang menimpa para keluarga tersebut. Pertama, keluarga tunggal (keluarga
yang hanya terdiri dari satu orang saja, misalnya seorang kakek atau nenek
yang hidup sendiri) akan lebih rentan menjadi korban kejahatan tertentu,
misalnya pencurian atau perampokan. Kedua, para keluarga yang seringkali
membutuhkan dan kemudian membeli barang-barang berharga sehingga
memiliki daya tarik untuk dicuri atau dirampok. Ketiga, keluarga di mana
aktivitas anggotanya meningkat di luar aktivitas keluarga dan ini akan
menurunkan tingkat perlindungan diri sehingga rentan menjadi korban
kejahatan tertentu. Keempat, extended family menjadikan keluarga tersebut
mempunyai perlindungan diri yang lebih besar dibanding nuclear family,
karena anggota lebih banyak dan saling menjaga satu sama lainnya.

Anda mungkin juga menyukai