Anda di halaman 1dari 18

ABSTRAK

Kegiatan Ekonomi tidak lepas dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup


manusia. Banyak permasalahan yang ditimbulkan dari ekonomi itu sendiri.
Ekonomi islam tampil sebagai jawaban dari masalah ekonomi yang terjadi pada
sistem ekonomi sebelumnya. Masalah ekonomi yang terjadi membuat para pakar
Muslim membuat alternatif baru, yaitu ekonomi islam. Salah satu dari Ekonom
Muslim yang akan kami bahas adalah Ibnu Hazm. Ia terlahir dari keluarga yang
kaya raya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan
wazir administrasi. Ia belajar dari usia remaja yang disukung dan diarahkan oleh
orang tuanya. Ia memiliki karya-karya besar yang patut dibanggakan. Guru-guru
yang mengajarinya pun merupakan faktor keberhasilannya tersebut. Banyak
bidang ilmu yang menjadi pokok bahasannya, termasuk dalam bidang ekonomi.
NIzam al-Mulk adalah seorang wazir Persia, Wazir Saljuk, dan ahli
administrasi yang sangat terkenal. Dia tumbuh dan belajar ilmu Nahwu, menulis
dan membuat syair. Dia mengabdi di Ghaznah dan seiring dengan berubahnya
zaman, dia diangkat menjadi menteri pada masa pemerintahan Sultan Alp Arsalan
dan putranya Malik Syah. Dia mengatur jalannya pemerintahan Malik Syah
dengan sebaik mungkin. Nizam al-Mulk merupakan pejabat yang bijaksana dan
patut diteladani. Pada masanya peradaban Islam mencapai puncak kejayaan,
penggabungan antara kebudayaan Arab dan Persia berhasil dilakukannya.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan
diskusi tentang ekonomi isi Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan
pandangan tentang isu-isu ekonomi oleh sahabat Nabi dan generasi yang
mengikuti mereka, tidak sedikit di antara mereka adalah ahli hukum dari
eminensia.
Pentingnya tugas yang akan membuang banyak cahaya yang
diperlukan pada bagaimana pikiran Islam menanggapi perubahan kondisi
ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia Islam. Kami sangat
membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui sejarah.
Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan
meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.

1
Maka dari itu, pada makalah ini saya akan membahas tentang
pemikiran ekonomi Ibnu Hazm dan Nizam. serta seluk beluk riwayat
hidup beliau.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana biografi perjalanan kehidupan Ibnu Hazm dan Nizam al-
Mulk?
b. Apa pemikiran ekonomi Islam menurut Ibnu Hazm dan Nizam al-
Mulk?

B. PEMBAHASAN
1. Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Ibnu Hazm (994 H / 1604 M)
a. Biografi Ibnu Hazm (994 H / 1604 M)
Ibnu Hazm bernama lengkap Abu Muhammad Ali ibn Abu
Umar Ahmad ibn Sa`id ibn Hazm al-Qurthubi al-Andalusy, lahir pada
akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M).1 Ia berasal dari sebuah keluarga
bangsawan dan ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan
Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-
Mansur Abu Amie Muhammad bin Abu Amir al-Qanthani (192 H) dan
Najib Abd al-Malik al-Mudzaffar (399 H / 1009 M).
Ia belajar hadits untuk pertama kalinya kepada Amit al-Jasur
ketika berusia 16 tahun.Pada saat itu, hadits dan fiqih merupakan dua
bidang ilmu yang berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa Ibnu
Hazm juga mempelajari fiqih secara bersamaan.
Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut Mazhab Maliki yang
ketika itu mazhab mayoritas di kawasan Andalusia dan Maghribi pada
umumnya. Mazhab Ini tidak hanya menjadi panutan masyarakat dan
ulama setempat, akan tetapi juga menjadi mazhab resmi Negara.
Disamping itu Ia juga menerima pelajaran dari ulama Maliki, seperti

1
Abul Hasan M, dan Aidit Ghazali, Reading in Islamic Economic Thought (Malaysia :
Longman, 1992), hal 166

2
Abdullah bin Dahun dan Ahmad bin Jasur, dengan mempelajari kitab
karangan Imam Malik, al-Muwatha. Dengan mempelajari kitab
tersebut, Ibnu Hazm sekaligus mempelajari hadits dan fiqih mazhab
ini.2
Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah
menempatkan qiyas dan istishan sebagai alat bagi timbulnya kolusi
antara sebagian fuqaha dengan penguasa dalam memberikan berbagai
fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm memilih jalur untuk
mengkaji hukum Islam mulai dari awal, dengan kebebasan berijtihad
dan menolak taqlid. Menurutnya Ijtihad adalah kembali kepada al-
Qur`an dan Hadits. Oleh karena itu, aktivitas intelektualnya, terutama
dalam bidang fiqih merupakan upaya untuk mengubah aspek
pemikiran menjadi dasar berbagai penyelewengan hukum yang terjadi,
untuk seterusnya dikembalikan kepada sumbernya yaitu Al-Qur`an dan
Hadits
Menurut anaknya, Abu Rafi`, Ibnu Hazm memilik 400 karya
yang terdiri dari 80.000 lembar. Karyanya meliputi bidang hukum,
logika, sejarah, etika, perbandingan agama, dan teologi.

b. Pemikiran Ekonomi Menurut Ibnu Hazm


1) Sewa Tanah dan Pemerataan Kesempatan
Sejalan dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm
mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha dibidang
ekonomi yang cenderung kepada prinsip – prinsip ekonomi social
Islami. Konsep ini mengarah pada kesejahteraan masyarakat
banyak namun tetap berlandaskan keadilan social dan
keseimbangan sesuai dengan petunjuk al-Qur`an dan Hadits.

2
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 258

3
Karena itulah sebagian penulis kontemporer menyatakan beliau
sebagai perintis ekonomi sosialis yang Islami.
Berkaitan dengan itu, pemikiran Ibnu Hazm tentang sewa
tanah sangat menarik untuk dicermati. Menurut beliau;
“menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk
bercocok tanam, perkebunan mendirikan bangunan, ataupu segala
sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa
batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham.
Bila hal ini terjadi, hukum sewa – menyewa batal selamanya.
Kecuali mengikuti sistem berikut ini: “tidak boleh dilakukan
kecuali muzara`ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil
produksinya atau mugharasah (kerja sama penanaman). Jika
terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan
itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak
masuk dalam penyewaan sama sekali”.3
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga
alternative penggunaan tanah, yaitu pertama, tanah tersebut
dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri. Kedua, si pemilik
mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa meminta sewa.
Ketiga, si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk
menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal
dari dirinya, kemudian si peilik memperoleh bagian dari hasilnya
dengan presentase tertentu esuai kesepakatan. Hal ini pernah
dilakukan Rasulullah saw dengan kaum Yahudi terhadap kaum
Khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penggarap
tidak dibebani tanggung jawab tertentu.
Pandangan tersebut disadari pemahaman zahiriahnya
terhadap nash – nash berikut: dari Rafi` bin Khudaij r.a., ia
berkata:”Rasulullah saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat
Bukhari).

3
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 257.

4
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau
memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah
tanah tersebut.” (Riwayat Muslim).
Agaknya pandangan Ibnu Hazm tersebut bertitik tolak dari
status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil`ah ghair
istikhlaqiyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi
manusia yang menonjol. Yang tampak ialah tanah itu ciptaan Allah
SWT dimana manusia tinggal memanfaatkannya, mengklaim
kepemilikanya, dan penguasaannya. Dengan demikian,
kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relative selama ia
memanfaatkannya.4
Jika tidak memanfaatkannya, ia harus memberika
kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai
dengan atas kepemilikan umum bahwa tanah adalah ciptaan Allah
SWT. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa
disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata
merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya,
sehingga dapat disewakan.
Disamping itu, larangan penyewaan tanah dan alternative
bagi hasil, menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang lebih baik
bagi orang – orang yang tidak mampu dengan resiko kecil dalam
menanggung kerugian akibat bencana alam atau penyakit, sehingga
gagal panen. Dengan demikian, keuntungan akan dinikmati
bersama, dan begitu pula sebaliknya, resiko kerugian dan
kegagalan panen dipikul bersama.
Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda dengan jumhur
fuqaha yang secara umum memperbolehkan penyewaan tanah,
sebagaimana bolehnya melakukan muzara`ah dan muraghasah.
Termasuk diantara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Abu Yusuf,

4
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 261

5
Zufar, Muhammad ibn-Hasan al-Syaibani, al-Syafi`I, dan Abu
Sulaiman. Agaknya pendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan
tanah secara mutlak. Si pemilik berhak sepenuhnya sendiri atau
pemanfaatannya dalam jangka waktu tertentu ia alihkan kepada
orang lain dengan ganti rugi berupa sewa yang dibayarkan kepada
pemilik tanah itu sesuai dengan kesepakatan.

2) Jaminan Sosial Bagi Orang Yang Tidak Mampu


a) Pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs) dan pengentasan
kemiskinan.
Ibnu Hazm menebutkan empat kebutuhan pokok yang
memenuhi standar kebutuhan manusia, yaitu makanan,
minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan
minuman harus memenuhi kesehatan dan energy. Pakaian
harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorang dari
udara panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat
melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga
memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.5
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup
kewajiban social lain diluar zakat yang wajib dipenuhi oleh
orang kaya. Ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung
jawab social mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan
orang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm
yang menarik dalam masalah ini dapat dilihat:
“Orang – orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib
menanggung kehidupan orang – orang fakir iskin diantara
mereka. Pemerintah ini harus memaksa hal ini terhadap mereka
jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al – mal) tidak cukup

5
Abul Hasan M, dan Aidit Ghazali, Reading in Islamic Economic Thought, (Malaysia :
Longman, 1992), hlm. 166

6
untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi
makanan dari bahan makan semestinya, pakaian untuk musim
dingin dan musim panas yang layak, dan tempat tinggal yang
layak bagi mereka, dari hujan, panas, matahari, dan pandangan
orang – orang yang lalu lalang.”
Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada
firman Allah SWT:

َّ ‫ت ذَا ْالقُ ْر َبى َحقَّهُ َو ْال ِم ْس ِكينَ َوا ْبنَ ال‬


ً ‫س ِبي ِل َولَ ت ُ َبذ ِْر ت َ ْبذِيرا‬ ِ ‫َوآ‬
﴾٢٦﴿
“Dan berikanlah kepada keluarga – keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur –
hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Israa: 26)
Hak – hak yang diperintahkan Allah SWT untuk
dipenuhi orang kaya, dipahami Ibnu Hazm sebagai suatu
kewajiban. Hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang menjadi tanggung jawab sosialsecara bersama –
sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan social
bagi seluruh umat manusia.6
b) Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat.
Persoalan mengenai adanya kewajiban harta selain zakat
merupakan persoalan yang diselisihkan oleh para fuqaha.
Sebagian ada yang setuju diantaranya yang senada dikalangan
para sahabat antara lain Umar ibn al-Khatab, Ali bin Abi
Thalib, dan banyak lagi. Selain itu diantara golongan tabi`in
yang berpendapat senada adalah Sya`bi, Mujahid, dan Thawus.
Pendapat tersebut bukan erupakan sesuatu yang baru dalam fiqh
islam dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat
demikian.

6
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), hlm. 154

7
Sebagian fuqaha yang lain menyatakan tidak ada
kewajiban harta yang lain selain zakat. Harta yang dikeluarkan
selain zakat adalah sedekah atau santunan yang disunahkan.
Pendapat yang kedua ini masyhur dikalangan fuqaha
mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dikenal pendapat yang lain.
Dalil yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini di antaranya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan
lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata:
“Seorang sahabat laki- laki dari penduduk Najd dengan
rambut tergerai datang mengadap Rosulullah saw. Suaranya
terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap.
Setelah mendekati Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam.
Kemudian Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam
sehari semalam”. Ia bertanya, “Apakah selain itu ada yang
wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu
shalat sunnah.” Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia
bertanya, “Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku?”
Rasul menjawab, Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia bertanya, “Apakah ada
kewajiban selain zakat?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali
kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya
berkata, “Aku tudak akan menambahi ataupun menguranginya”.
Rasulullah Saw bersabda, “Dia beruntung jika jujur” atau “Dia
masuk surga jika jujur”.7
Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta
selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus dipahami dalam
konteks kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai
suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab
kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri

7
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Kediri: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 257

8
dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa
memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini
merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuh oleh
seseorang yang memilki harta tertentu yang mencapai satu
nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal,
ia tidak dituntut lebih daripada itu. Sebenarnya perbedaan dari
kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali.
Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban kifai, dan
kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat
dianjurkan.8

3) Urgensi Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu
kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya
memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai
pengumpul zakat memberikan sangsi kepada orang yang tidak mau
engeluarkannya baik secara sukarela maupun terpaksa. Jika ada
yang tidak mau maka dianggap murtad. Karena seseorang harus
mengeluarkan zakat selama hidupnya dan apabila tidak terpenuhi
maka seseorang tersebut memiliki hutang dengan Allah SWT,
dikarenakan kewajiban zakat tidak akan hilang. Lain halnya
dengan pajak dalam pandangan konvensional jika tidak dibayarkan
berarti tidak ada pemasukan bagi kas Negara dalam periode waktu
tertentu.9

4) Persoalan Pajak
Ibnu Hazm konsen terhadap sistem pengumpulan pajak
secara alami. Menurutnya, sikap kasar dan eksploitatif dalam
pengumpulan pajak juga tidak boleh melampau batas
ketentuan syari`ah. Menurutnya pendapatan pajak potensial

8
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 260.
9
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 261.

9
mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan
para petugas pajak.
Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6
atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah. Praktek pengumpulan zakat
sejenis ini telah dilakukan oleh para amir (gubernur) masa dinasti
bani Umayyah dan terus berlanjut pada setelahnya dengan nilai
yang sepadan ataupun dengan uang tunai. Pajak tanah
dikumpulkan dengan nilai yang sepadan dilakukan pada periode
Hakam I sejumlah 4700 mud gandum dan 7.747 mud barley. Ali
ibnu mahmud (1009-1018 M) mewajibkan orang membayar pajak
tanah dalam bentuk uang tunai sebesar 6 dinar untuk 1 mud
gandum dan 3 dinar untuk 1 mud barley. untuk orang muslim,
diwajibkan membayar zakat 2,5% dari kekayaannya dan seorang
yang baru masuk islam berkewajiban membayar jizyah secara
bervariasi dari 12-48 dirham setahun. Saat itu, terdapat kantor-
kantor pajak di kota besar dan kecil, pusat perdagangan dan
pelabuhan. Idris menyatakan bahwa terdapat kantor pajak di lorca
da Himyari. Senjata, kuda perang, buku-buku, dan alat-alat
perkawinan bebas bea impor.
Paparan di atas bukan merupakan struktur administrasi
pajak yang meliputi berbagai elemen yang disampaikan Ibnu
Hazm, tetapi merupakan berbagai cara pengumpulan pajak tertentu
yang pada saat itu berjalan meskipun keadilan bagi pemabayar
pajak tidak diperoleh saat membayar sejumlah pajak yang
ditentukan. Hal ini tidak adil dalam pandangan Ibnu Hazm.
Ketiadaan etika dapat menghancurkan sistem administrasi dan
struktur yang baik karena di akhir analisisnya ia menilai bahwa
sistem ini masih dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki etika
yang sesuai dengan sistem administrasi yang baik.10

10
Yusuf al-Qhardhawi, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993) jilid II, hlm.
964

10
5) Ibnu Hazm Bukan Liberalis, Bukan Sosialis.
Pengikut sosialis dan kapitalis selalu memberikan label
pada parapenganut ideologynya. Dalam hal ini, Ibnu Hazm
dianggap sebagai seorang sosialis musllim oleh kelompok sosialis.
Hal ini perlu diluruskan karena menyangkut beberapa hal berikut:
a) Memperjuangkan kesejahteraan social.
b) Menyertakan pajak pada orang kaya sehingga mereka berperan
dalam memberantas kemiskinan.
c) Mendukung adanya intervensi pemerintah terutama dalam hal
pajak.
d) Ibnu Hazm cenderung pada kepentingan sosialis meskipun
dirinya berasal dari kalangan bangsawan dan Ia sendiri pernah
menjabat sebagai wazir selama beberapa periode.11
Sulit dibuktikan alasan utama Ibnu Hazm dikatakan sebagai
seorang sosialis berdasarkan empat alasan tersebut. Masing – masing
alasan menempatkan Ibnu Hazm pada posisi dimana kelas orang
miskin dihadapkan secara berlawanan dengan orang kaya (adanya
perbedaan kelas).
Sementara itu, untuk tuduhan kalau Ibnu Haz liberalis juga
harus dibantah. Hal yang naïf bila kelompok pemikir liberal
mengklaim bahwa Ibnu Hazm penganut ideology mereka berdasarkan
pada aslasan berikut:
a) Perlawanan terhadap pajak (kenyataannya adalah banyak pajak
yang tidak sesuai syari`ah dalam pandangannya.
b) Perlawanana terhadap berbagai bentuk eksploitasi pengumpulan
pajak.
c) Kecendrungan bahwa berbagai pajak yang tidak sesuai dengan
syari`ah berakibat hilangnya barang produksi, kewirausahaan, dan
perdagangan.

11
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, (Jakarta: Khalifa, 2002), hlm. 5

11
d) Penolakannya terhadap barang pajak barang dagangan yang
dianggapnya dapat mempengaruhi nilai penjualan dan
menimbulkan berbagai efek lain yang terkait dengan aktivitas
ekonomi.12
Atas beberapa alasan yang sudah disebutkan diatas dapat
disimpulkan bahwa Ibnu Hazm menolak berbagai pajak yang tidak
sesuai dengan kriteria syari`ah, bukan pula karena Ia lebih cenderung
dengan pendapat liberalism atau kapitalisme. Lebih dari itu, Ibnu
Hazm lebih menjunjung kesejahteraan bersam dan memberantas
kesenjangan antara sikaya dan simiskin.

2. Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Nizam Al-Mulk (485H/1093 M)


a. Biografi Nizam Al – Mulk
Dilihat dari tahun kelahiran dan wafatnya, Nizam al-Mulk al-Tusi
hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari khalifah al-Qadir
(381H/991M) sampai khalifah al-Muqtadi (467H/1075M), yait seorang
tokoh yang sangat dikenal dalam sejarah kekhalifahan ketika Turki Saljuk
berhasil menegaskan kesultanan atas nama khalifah Abbasiyah di
Baghdad.
Ia dilahirkan pada tahun 308H/1017M, di sebuah kota kecil
Radhkan atau Nuqan yang terletak di Pedalaman Tus, sekitar 50mil ke
utara Mashad di Persia. Ia merupakan anggota keluarga pemilik kelas
menengah, ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah Gaznawi dan
pada hari Gaznawinds ditunjuk sebagai pemungut pajak dari Tus oleh
Gubernur Khurasan, Abu al-Fadhl Suri.13
Pendidikan dasarnya adalah mempelajari hadits dan fiqih, atas
kehendak ayahnya yang ingin menjadikan dia sebagai seorang yang
berprofesi hukum, yang semula dibawah bimbingan Abd All-Samad

12
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, hlm. 7.
13
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, hlm. 9.

12
Funduraji, seorang ahli hukum terkenal, kemudian dia belajar lagi dengan
seorang alim syafi`I bernama Imam Muwaffae dari Nishapur.
Walaupun seorang Persia, Nizam al-Mulk secara perlahan
menguasai administrasi dari kekaisaran saljuk turki. Nizam al-Mulk
bepergian ke Bukhara dan Merv dan beberapa kota Transoxiana,
kebanyakan untuk mendapatkan posisi. Setelah tahun 441H/1094M Ia
pergi ke Ghaznah menjadi pegawai Ghaznawinds. Dengan kata lain Ia
memperoleh kesempatan mengenal administrasi mereka.
Pada sekitar tahun 1063, Pangeran Alp Arsalan naik tahta dan menjadi
Sultan Dinasti Seljuk. Dia mengangkat Nizam Al-Mulk sebagai perdana
menteri Dinasti tersebut. Namun pada faktanya, Nizam sebagai perdana
menteri menjadi satu-satunya penggerak dalam Dinasti Seljuk, sedangkan
keberadaan Sultan Alp Arsalan hanya memainkan peran seremonial.
Sehingga hal ini memberinya kebebasan penuh untuk mereformasi
struktur-struktur sipil dan administrasi kerajaan. Di bawah
pengawasannya, Dinasti Saljuk menjadi salah satunya dinasti yang paling
kuat, makmur, dan berbudaya lebih maju pada masanya.
Sebagai politisi yang bijak, Nizam Al-Mulk mempromosikan
pembelajaran dan pendidikan di seluruh kerajaan. Bahkan, dia
mengubahnya menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, seni Islam, serta
perdagangan. Karena kebenciannya pada buta huruf, dia menawarkan
pendidikan gratis di seluruh kerajaan. Dia juga mendorong orang-orang
untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, serta melakukan
penelitian dan memperluas cakrawala intelektual mereka.14
Untuk mendukung kebijakan yang dibuatnya, maka Nizam Al-
Mulk mendirikan lembaga pendidikan yang berada di seluruh Dinasti
Seljuk, termasuk Nisyapur, Baghdad, dan Damaskus. Lembaga pendidikan
yang didirikannya tidak hanya menjadi perguruan tinggi pertama pada
masanya, tetapi juga sekaligus menjadi perguruan tinggi terbaik dalam
sejarah Islam di dunia. Lembaga pendidikan tersebut dikenal dengan

14
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, hlm. 13.

13
sebutan Madrasah Nizamiyah (Lembaga Pendidikan Nizamiyah), yang
kemudian sistem pendidikannya diadopsi oleh University of Oxford,
Inggris. Madrasah Nizamiyah juga setara dengan Harvard pada masanya.
Untuk kemajuan lembaga tersebut, Nizam Al-Mulk merekrut ilmuwan
tercerdas di dunia Islam untuk menjadi pengajar di sana, seperti Imam Al-
Haramayn Abu Ma’ali Abdul Malik al-Juwaini – lebih dikenal dengan
sebutan Cahaya Agama- Imam Al-Ghazali juga mengajar sebagai Guru
Besar Pemikiran Islam di lembaga Nizamiyah. Sehingga tidak heran,
lembaga pendidikan ini menghasilkan sejumlah pemikir paling terkenal
dan tersohor di dunia Islam. Kurikulum yang digunakan di madrasah
Nizamiyah ini terdapat perimbangan yang proporsional antara disiplin
keagamaan berupa tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan lainnya; serta disiplin
ilmu aqliyah berupa filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan lainnya.
Bahkan saat itu kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi
institusi pendidikan lainnya.15

b. Pemikiran Ekonomi Menurut Nizam Al-Mulk


1) Prinsip Maslahah Dalam Administrasi
Prinsip maslahah dalam Islam memainkan peran penting
dalam maslahah ini, dan Nizam menggunakan maslahah dalam
mengambil keputusan. Nizam al-Mulk menyadari sepenuhnya
mengenai tiga arah factor – factor kemakmuran, produktivitas, dan
efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meninkatkan lebih
besar produktivitas yang diharapkan dan tingkat efisiensi. Ia
mendemonstrasikan melalui kejadian dibawah ini:
Bahwa pada saat persoalan (affairs) Ray telah
mengkhawatirkan Nizam al-Mulk, ia di beritahukan oleh spies
bahwa Quthlumus telah meninggalkan Fortress dari Kurd mulai
Plundering negeri dan negeri Ray harus di serang, Alp Arslan juga
mulai menuju Nishapur dan ia dengan tentaranya mencapai

15
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, hlm. 13.

14
Damghan. Dengan rasa persaudaraan, Alp Arslan mengirimkan
sebuah pesan Quthlumus memintanya untuk kembali. Namun
Quthlumush memenuhi tidak menaruh perhatian dan mulai
melakukan gangguan ke wilayah sekitar Ray. Quutlumush
memenuhi lembaga al-Mith dengan air agar kiriman ke Ray tidak
sampai. Situasi ini mengkhawatirkan Alp Arslan. Nizam al Mulk
berkata kepadanya “ sama sekali jangan khawatir, saya telah
merekrut serdadu yang tembakannya tidak pernah mleset dar
target. Saya telah mengamankan kesetiaan dari kitab suci Al
Qur’an, ulama, dan sufi dari khurasan, kepadanya telah saya
perlakukan dengan kasih sayang. Mereka semua datang
mendoakan untuk kemenangan Sultan. Tentara anda ini adalah
pendukung andayang paling baik”.
Setelah mengatakan ini, ia meletakkan senjata dan
memberikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa
membagikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa kudanya
ke air dan menyebrangi dengan selamat beserta angkatan daratnya.
Quthlumush terbunuh. Ketika Sultan kembali ke Ray pada tahun
456 H/ 1063 M, Admid al-Mulk menyambutnya dengan
kehormatan militer penuh. Atas kemenangannya ini Alp Aslan
sangat berterima kasih kepada Nizam al-Mulk.16

2) Pemuas Kebutuhan Pokok Dan Stabilitas Nasional


Stabilitas nasional dapat dicapai denganmemastikan bahwa
kebutuhan pokok masyarakat diamankan dipenuhi secukupnya.
Peningkatan selalu dapat dipastikan mengurangi kemungkinan
ratapan rakyat terhadap penguasa.

16
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 53.

15
3) Kesempatan Kerja dan Keamanan Nasional
Optimalisasi kesempatan kerja buruh tidak terbatas pada
pertimbangan variable ekonomi saja. Variable non ekonomi juga
penting bahkan lebih. Karena itu kebijakan dan upaya harus dilihat
sebagai pertimbangan dalam suatu kerangka kerja yang
komprehensif, salah satunya keamanan nasional sebagaimana
digambarkan oleh Nizam al-Mulk.
Diceritakan oleh S.Rizwan Ali Rizvi, bahwa pengadaan pos
dan pejabat tidak perlu hanya akan membebani belanja Negara dan
bekerja bertentangan dengan efisiensi. Jika beberapa orang
mengerjakan pekerjaan yang sama, peluangnya adalah bahwa
mereka akan bersekongkol terhadap satu sama lain dan
menciptakan komplikasi dan kesulitan. Akan lebih berguna untuk
memperpendekmasa jabatan dan alih tugas pemegangnya sehingga
mereka tidak menjadi begitu berurat berakar yang kemudian
bersekongkol menentan kerejaan dan menciptakan kesulitan lain.17

4) Persamaan Hak Dalam Sosio Ekonomi


Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa persamaan hak dalam
kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan awal
untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai
tujuan ini mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan
pondok dan rumah untuk rakyat miskin, dan tersedianya lapangan
kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan imbalannya.

5) Sistem Pajak yang Adil


Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa
sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat.
Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat
bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional.

17
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 53.

16
6) Kebijaksanaan Pertahanan
Terkait dengan persoalan pajak tanah, Nizamal-Mulk
merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh
tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah
hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka tidak
mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal
tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam
Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan
tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih berkuasa.18

7) Peranan dan Kriteria Muhtasib


Nizam al-Mulk juga memusatkan perhatian pada ekonomi
pasar, dimana Ia menuliskan buku tentang muhtasib, yaitu sebutan
bagi orang yang bertugas sebagai pelaksana pada lembaga hisbah.
Tugas utama lembaga ini adalah menyelesaikan kasus pelanggaran
terhadap prinsip dasar amar ma’ruf nahi munkar.
Pada prinsipnya, al-muhtasib bisa berbentuk perorangan
dan sukarela (al-muttawwi`) serta beerbentuk lembaga yang
ditunjuk pemerintah. Al-Muhasib Muttawwi lebih mirip dengan
juru dakwah, ajarannya tidak mengikat dan tidak memberikan
sanksi. Sedangkan al-muhtasib petugas pemerintah berwenang
menjatuhkan sanksi.19

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban
dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas
kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai pengumpul zakat

18
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 54.
19
Nur Chamid, Jejak Langkah., hlm. 55.

17
memberikan sangsi kepada orang yang tidak mau engeluarkannya baik
secara sukarela maupun terpaksa. Jika ada yang tidak mau maka dianggap
murtad. Lain halnya dengan pajak dalam pandangan konvensional jika
tidak dibayarkan berarti tidak ada pemasukan bagi kas Negara dalam
periode waktu tertentu.
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-
faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi. Menurut Nizam Al-Mulk,
stabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan
pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Nizam Al-Mulk menegaskan
bahwa persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi
adalah persyaratan awal untuk mencapai persamaan sosial.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abul Hasan M, dan Aidit Ghazali, Reading in Islamic Economic Thought


Malaysia : Longman, 1992
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonosia, 2004
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Jakarta: Khalifa, 2002
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
Yusuf al-Qhardhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993

18

Anda mungkin juga menyukai