Anda di halaman 1dari 3

PANDANGAN NEGATIF KEDAERAHAN

Kebudayaan Daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan
secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup
daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir
dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka
dengan penduduk–penduduk yang lain. Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia
pada zaman kerajaan–kerajaan terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial
yang dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama lain.

Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya sifat kedaerahan dalam
masyarakat yang dapat memecah belah bangsa. berikut adalah contoh pandangan negatif tentang
kedaerahan

Sikap fanatisme kedaerahan

Harus diakui bahwa kedaerahan adalah pernyataan hidup yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini
tidak hanya sekedar berarti berbagai provinsi berbeda, tapi juga adat istiadat, pengalaman hidup
dan 700 diaken bahasa. Wajar bila daerah cenderung membuat kita tertutup dan subyektif yang
kadang-kadang dipertajam lagi dengan perbedaan agama. Sikap di atas, dalam kehidupan sehari-
hari muncul dalam fanatisme kedaerahan. Fanatisme ini, terwujud dalam banyak bentuk, pada
berbagai tingkat kehidupan. Dalam skala kecil dan spontan, fanatisme kedaerahan teramati di
setiap perbandingan olahraga. Fanatisme ini biasanya lebih disebabkan oleh perasaan sayang,
kerinduan akan kampung halaman ataupun keterlibatan emosional sesaat. Tetapi fanatisme ini,
wajar-wajar saja bahkan dapat dipakai untuk memacu semangat berprestasi melalui perjuangan-
persaingan yang sportif.

Fanatisme mulai berbahaya bila diterapakan secara berlebihan dalam hidup berbangsa. Misalnya,
tuntutan untuk mendapat porsi terbesar dan didahulukan dalam pembangunan karena merasa
bahwa suku daerahnyalah yang paling berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Merasa bahwa
hanya orang-orang yang berasal dari suku–dearahnya saja yang mampu, berhak memimpin
bangsa ini. Sikap-sikap ini akan cepat menimbulkan rasa iri dan tindakan agresif, bila melihat
kemajuan orang kelompok yang berasal dari daerah lain, apalagi secara jumlah kecil.

Fanatisme kedaerahan akan lebih berbahaya lagi bila telah menjelma menjadi nepotisme dan klik
dalam kehidupan bisnis, politik dan pemerintahan. Dalam pemerintahan misalnya, seorang
pemimpin pemerintahan yang berasal dari daerah A, cenderung hanya mengangkat staff yang
berasal dari daerahnya. Sementara proyek-proyek-pembangunan seharusnya diatur rata,
kenyataannya cenderung disalurkan ke daerah kelahiran beliau. Demikian juga dalam bisnis,
kesempatan dan informasi tentang usaha atau pekerjaan, dijaga agar tidak bocor ke kelompok
suku daerah lain. Semua dilakukan dengan pertimbangan picik dan subjectif, terutama rasa takut
yang terlalu besar dan tidak beralasan. Sangat sulit berharap banyak dari system sepert itu.
Kebocoran dana pembangunan, korupsi, kolusi–monopoli-inefisiensi, keterlambatan dan ketidak-
imbangan pelayanan birokasi, ketidakadilan dan pelecahan hukum, dapat disebabkan oleh
fanatisme tadi.

Sikap Entrosentrisme

etnosentrisme sendiri menurut Matsumoto (1996) adalah kecenderungan untuk melihat dunia
hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Ada lagi pendapat yang menjelaskan bahwa
etnosentrisme merupakan suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya.

Sebagai contoh, (maaf) misalkan ada orang dari luar Jogja yang kebetulan bertamu di daerah
Jogja, lalu ia makan sambil ngomong dan berdiri atau jalan mondar-mandir. Orang Jogja yang
cenderung bersikap etnosentrisme berlebih-lebihan mungkin akan langsung menghujat tamu dari
luar daerah tadi yang dirasa berseberangan terhadap budaya masyarakat Jogja. Namun bagi
masyarakat yang memiliki sikap etnosentrisme yang fleksibel, tentu akan dengan mudah
memahami perbedaan budaya pada individu/kelompok/daerah lain.
Sikap etnosentrisme memang tidak salah, selama pas porsinya, tidak membabi-buta dan tidak
berlebih-lebihan. Sikap etnosentrisme justru amat diperlukan untuk menjaga kebutuhan dan
kestabilan budaya, mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta
memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan suatu bangsa. Namun tentu konteksnya
kebangsaan, bukan fanatisme kedaerahaan apalagi kelompok. Nah dalam hal ini apabila
etnosentrisme infleksibel dan fanatisme kedaerahan terus dibiarkan, tentu akan sangat
mengganggu proses integrasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya saja,
terjadinya tawuran antar kampung gara-gara masalah pribadi, tawuran antar kampus, konflik
antar kelompok agama, dan seterusnya.

Ada alternative pemikiran dari Daft (1999)tentang etnorelativisme yang dapat dijadikan solusi
dalam menyikapi pandangan negative kedaerahan , Yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok,
semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama. Dalam etnorelativisme, setiap etnik dinilai
memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Pemikiran Daft tentang
etnorelativisme ini mestinya mampu menyadarkan kita semua, bahwa jangan ada lagi fanatisme
kedaerahan ataupun etnosentrisme yang sempit dan berlebih-lebihan. Walau sebenarnya
pemikiran itu juga sudah terkandung secara umum dalam ideologi negara kita, Pancasila.

https://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo/5518577b81331100699de821/fanatisme-
kedaerahan-dan-etnosentrisme-ancaman-bagi-nkri

https://majalahdia.net/sudut-pandang/nasionalisme-vs-kedaerahan/amp/

Anda mungkin juga menyukai