Oleh:
Oleh:
Putri Chumairoh (121614153002)
Fatmawati (121614153005)
Nailul Ula Al Chumairah M. (121614153008)
Kurnia Angger Eka P. (121614153009)
Asri Furoidah (121614153011)
Farah Adnia (121614153024)
Latar Belakang
Bicara tentang selebriti tentu tidak terlepas dari para penggemarnya, atau yang
disebut “fandom” kelompok penggemar dipandang sebagai suatu kelompok yang
cenderung melakukan tingkah laku berlebihan dan mendekati kegilaan (Jenson, 1992: 9).
dari satu orang yang memiliki ketertarikan khusus pada suatu bentuk teks budaya,
kemudian menemukan individu lain yang memiliki ketertarikan serupa. Masing-masing
individu ini kemudian berkumpul menjadi satu kelompok yang disebut sebagai fandom.
Kelompok penggemar digambarkan sebagai salah satu dari liyan yang berbahaya dalam
kehidupan modern. Ada beberapa macam produk-produk penggemar, diantaranya
fanfiction dan fanzine. Di dalam komunitas, para penggemar menciptakan makna-makna
untuk berkomunikasi dengan para penggemar lain.
2
PEMBAHASAN
BUDAYA SELEBRITI
Pengertian Selebriti
Selebriti sebagai produk budaya dan proses ekonomi. Hal ini termasuk dalam
komodifikasi individu melalui promosi, publikasi, dan iklan. Daniel Boorstin dalam Turner
(2004:4) mengatakan, selebriti merupakan seorang yang terkenal atas ketenarannya. Selain
itu, juga dijelaskan bahwa, selebriti merupakan sebuah jenis representasi dan sebuah efek
yang diskursif. Hal ini merupakan sebuah komoditas yang dijual oleh para promotor,
publikasi, dan industri media yang menghasilkan beberapa representasi ini dan efek-
efeknya. Selain itu, hal ini juga merupakan sebuah bentuk budaya yang memiliki fungsi
sosial yang dapat kita pahami dengan lebih baik.
Leo Braudy menulis di The Frenxy of Renown (dalam Turner, 2004:10) bahwa
sebuah sejarah kepopuleran dimulai sejak awal jaman Roman dan ia berpendapat bahwa
hasrat kepopuleran telah menjadi komponen dasar dalam budaya barat sejak beberapa abad
yang lalu. Bagi Braudy sejarah kepopuleran memberikan kita pandangan bagaimana
menjadi seorang individu dan perubahan makna sosial dalam suatu pencapaian.
3
Kehidupan para selebriti dibentuk dari media. Hal ini seiring dengan perkembangan
selebriti yang berasal dari penyebaran media masa, khususnya yang berbasis visual.
Perkembangan industri promosi dan publikasi terjadi di awal abad 20. Selain dari media
visual, kehidupan para selebriti juga diketahui melalui media cetak yaitu surat kabar.
Setelah itu berkembang, pada awal 1920 majalah mulai meliput kehidupan pribadi selebriti
atau biografi selebriti. Hal ini ditunjukkan dari diantara 1901 hingga 1914 majalah memuat
topik tentang politik, bisnis dan profesi, namun setelah tahun 1922, terjadi perubahan
menjadi dunia hiburan. Ketika Walterr Winchell menulis surat kabar pertama dengan kolom
gosip. Ia menuliskan biografi Neal Gabler dan menunjukkan bahwa pada tahun 1925 pada
saat itu editor surat kabar paling enggan untuk mempublikasikan sesuatu yang bersifat
memberitahukan tentang kelahiran serta apa saja yang akan terjadi sehingga takut untuk
melintasi batas-batas. Winchell memperkenalkan revolusioner dengan membuat kolom
dimana seseorang gangster yang sedang sakit atau sekarat, yang menderita kesulitan
keuangan yang pasangannya selingkuh dan hendak bercerai sehingga Ia menjadi single dan
Winchell turut serta dalam membentuk adanya budaya massa yang baru selebriti.
Seorang ‘star’ atau bintang mempunyai sebuah pribadi dan ketertarikan yang
professional dalam mempromosikan diri mereka sendiri melalui media. Karena gambaran
secara pribadi mereka memberikan mereka jalan menjadi seorang bintang, sebuah promosi
yang bertingkat-tingkat, publikasi dan pengaturan image memasuki industri media (Turner,
2004: 15). Langer (dalam Turner, 2004) menawarkan beberapa perbedaan bahwa film dapat
menghasilkan seorang bintang sementara televisi menghasilkan kepribadian. Bintang
mengembangkan reputasi mereka melalui orang lain. Dalam hal ini penampilan mereka
dibentuk oleh identitas sosial dalam memainkan sebuah peran. Hal ini berbeda dengan
melalui media televisi, personalisasi terbentuk atas diri mereka sendiri sebagaimana para
penonton memandang mereka dan terlihat lebih baik karena menampilkan
keprofesionalitasan ketrampilan mereka (Turner, 2004: 17).
4
FUNGSI SOSIAL SELEBRITI
Selebriti merupakan sebuah industri yang membuat produk yang tampak dilihat
secara tinggi dimana kebanyakan dari kita mengonsumsinya dalam suatu waktu yang
memainkan sebuah bagian dalam kehidupan kita sehari-hari. Menurut Turner, publikasi
yang baik adalah melalui suatu hal yang tak tampak dan memiiki strategi promosi yang
baik yang dapat diangkat dalam halaman depan suatu surat kabar tidak melalui gosip atau
kolom ‘entertaiment’ atau hiburan (Turner, 2004: 29).
5
dapat meningkatkan projek usaha mereka karena mereka yakin para audien akan tertarik
dengan adanya hal ini.
Industri selebriti dibagi menjadi tiga bagian, yaitu agen, manajer, dan publikasi.
Agen diindustri hiburan bertugas untuk menemukan pekerjaan untuk para klien nya serta
membantu bernegoisasi masalah pekerjaan, memberi saran dan pelatihan pengembangan
skill. Manajer mempunyai jumlah klien yang lebih sedikit, dan memainkan strategi yang
lebih besar dalam pengembangan karir klien. Pelayanan dari manajer adalah mengatur
jadwal, menjawab e-mail, menginvestasikan uang, membeli apartemen, dan sebagainya.
Publik Relasi merupakan sebuah industri yang sudah ada hampir mencapai satu abad dan
mengatur reputasi seorang selebriti. (Turner, 2004:47)
Industri selebriti didukung oleh 8 sub industri yang turut mengkontribusi, yaitu
industri hiburan seperti teater, arena olahraga, hall musik, hall tari, dan studio musik.
Industri komunikasi, seoerti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Industri
publikasi, seperti wartawan, publik relasi, agen iklan dan marketing. Industri representasi,
yaitu industri yang mengantur para selebriti seperti agen, manajer pribadi, dan promotor.
Industri penampilan, yang mengatur image penampilan dari para selebriti seperti ahli
kostum, penata rambut, kosmetik dan konsultan penampilan. Industri pelatihan, seperti
pelatih tari, musik, cara berbicara, dan modeling. Industri dukungan, seperti sovenir, baju,
mainan. Industri bisnis seperti akutansi dan investasi.
PEMBENTUKAN SELEBRITI
A. Bakat (biasa)
Menjadi selebriti tidak perlu memiliki skill atau bakat yang luar biasa. Seseorang
tanpa bakat yang spesifik juga bisa menjadi artis terkenal. Hal yang mereka perlukan
adalah daya tarik yang dapat ‘menjual’. Seperti halnya industri musik lebih
mengapresiasi penampilan artisnya daripada kemampuan bernyanyinya. Sebagai contoh
booming Rock n Roll pada tahun 1950-an dan awal 1960-an yang memperlihatkan
bahwa ketampanan seseorang menjadi bahan pertimbangan utama menuju studio
rekaman meskipun dia tidak bisa menyanyi. Bukan hanya band rock saja, kemunculan
6
para boyband di luar maupun dalam negeri yang mewarnai kancah pertelevisian,
kemunculan boyband pertama kali adalah di negara Barat khususnya di Amerika Serikat
seperti Boyz II Men, Color Me Bad, and New Kids On The Block. Diikuti oleh
menjamurnya boyband asal Indonesia yang didominasi oleh pria berparas rupawan yang
sukses membuat para wanita terpesona, Boyband di Asia lebih menjual ketampanan
mereka daripada memperhatikan kualitas suara yang mereka miliki. Mereka lebih
menonjolkan paras yang rupawan, tubuh yang semampai, serta style pakaian yang
sedang trend daripada menonjolkan kualitas skill mereka.
Sejak tahun 1990-an muncul kebangkitan kembali atas campur tangan
kepentingan-kepentingan media dalam melahirkan selebriti. Beberapa media, seperti TV
swasta, meyakini bahwa mereka mampu menciptakan selebritinya sendiri. Sehingga
mereka merekrut orang biasa, tanpa kemampuan dan prestasi, menjadi talent dalam
program televisi. Yang mengejutkan, orang-orang ini umumnya tidak bercita-cita
menjadi penyanyi, artis, atau penari, melainkan hanya muncul di televisi.
Frances Bonner (dalam Turner, 2004:58) mengungkapkan fakta bahwa di negara-
negara seperti Inggris dan Australia, orang-orang akan memilih tampil di televisi baik
sebagai partisipan, kontestan atau hanya sebagai penonton daripada tidak sama sekali.
Menurutnya, televisi memperbolehkan siapa saja yang ingin tampil dalam programnya
berdasarkan pada penelitiannya terhadap ‘ordinary television’ seperti game show,
infotainment dan reality show. Bonner memperkirakan hampir seperempat juta orang
biasa muncul di televisi setiap tahunnya dan lebih dari 20.000 orang diantaranya
berperan aktif. Hal ini juga disebut Turner sebagai demotic turn, yaitu ketika adanya
partisipasi yang meningkat dari orang-orang biasa di media (Turner, 2004:6).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dipahami alasan dibalik
kesuksesan sebuah acara reality show. ‘Big Brother’ dan ‘Idol’ merupakan salah satu
contoh program reality yang menarik perhatian banyak penonton, baik nasional maupun
transnasional, dan mampu menciptakan karakter acara tersebut serta melahirkan seorang
bintang. Disadari atau tidak, seperti dalam acara Big Brother, media telah
mengendalikan perekonomian selebriti dengan mengubahnya sebagai produk dari
strategi pemrograman.
7
B. Real selebriti dan program realiti show
Hal apa yang membuat seseorang menjadi selebriti masih menjadi bahan
perdebatan. Bagi sebagian orang, mereka memang pantas karena memiliki talenta yang
diakui namun sebagian berpendapat bahwa itu merupakan sebuah keberuntungan
semata. Selebriti merupakan produk dari proses komersialisasi akan tetapi perlu diingat
bahwa publik juga memiliki kekuasaan yang sama. Sehingga antara industri komersial
dan keinginan publik harus sejalan.
Spice Girls tampaknya telah dibentuk, dari awal, sebagai sebuah brand daripada
sebuah band (Turner, 2004:60). Mereka adalah hasil dari rencana pemasaran bukan
bentukan fans yang sudah mengakar atau karena basic performance-nya. Kesuksesan
mereka apabila dibandingkan dengan band sejenisnya dikarenakan setiap personilnya
yang kemudian mampu membentuk identitas seorang selebriti pada dirinya.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian P. David Marshall terhadap kesuksesan
The Beatles. Menurut Marshall (dalam Turner, 2004:61), kesuksesan mereka merupakan
paduan antara bakat otentik yang luar biasa serta campur tangan industri hiburan.
Kredibilitas bermusik dari Lennon dan McCartney menunjukkan bahwa mereka
memang memiliki bakat yang otentik. Sedangkan penampilan mereka (seperti gaya
busana, potongan rambut) menunjukkan bahwa mereka sedang dipasarkan sebagai
sebuah produk. Berdasarkan kasus The Beatles, komodifikasi musisi tidak lagi terlihat
sebagai bentuk pengerusakan terhadap praktek artistik, melainkan telah menjadi bagian
dari proses artistik.
Branding terhadap grup musik muncul dengan format baru menjelang tahun
2000. Ajang pencarian bakat di televisi, Popstars, merupakan pelopor pembentukan grup
vokal yang kemudian merilis single dan menuai kesuksesan yang luar biasa. Akan tetapi
tidak ada satupun dari jebolan ajang ini yang mampu mengulangi kesuksesan single
pertama mereka. Popularitas mereka meredup seiring dengan absen mereka di layar
televisi. Program ini tidak semata-mata fokus pada musikalitas kontestan tapi juga
mengekspos kehidupan pribadi menjadi konsumsi publik. Hal-hal sentimentil kerap
muncul untuk menarik empati publik sehingga memperoleh rating tinggi. Joy Tobing
salah satu pemenang ajang pencarian bakat Indonesian Idol 2013 yang dahulu pernah
8
booming di ranah industri hiburan Indonesia, albumnya sempat menjadi idola yang di
industri musik. Namun seiring berjalannya waktu, pamor keartisan Joy Tobing mulai
meredup bahkan sudah tidak terdengar lagi namanya di industri hiburan tanah air. Ini
membuktikan bahwa selebriti hasil dari realiti show merupakan produk dari proses
komersialisasi, dan ketika selebriti tidak lagi dianggap “menjual” maka lambat laun dia
akan tersisih dengan sendirinya.
Hampir sama dengan Popstars, Big Brother memberikan penawaran bagi mereka
yang tidak memiliki bakat menjadi selebiritis. Persyaratannya adalah peserta harus
bersedia tinggal dalam sebuah rumah atau apartemen selama periode tertentu dengan
ketentuan setiap momen dalam kesehariannya akan terekam oleh kamera. Bukan hadiah
utama yang menjadi daya tarik program ini, hadiah sesungguhnya adalah kesempatan
untuk tampil di televisi selama berbulan-bulan. Para kontestan ingin tampil selama
mungkin di televisi agar menjadi terkenal.
9
Gamaliel, Audrey,Cantika) yang mengawali karir mereka melalui media digital youtube,
awal mulanya mereka hanya menyanyikan ulang lagu-lagu para penyanyi luar negri,dan
lambat laun mereka menjadi viral, hingga kini nama trio mereka booming. Bieber, GAC
merupakan salah satu contoh selebriti yang lahir dari Strategi yang dipakai mikro
selebriti meraih popularitas dunia maya sehingga dipromosikan di industri, kemudian
juga diadopsi oleh real selebriti untuk mempertahankan eksistensi keartisannya. Oleh
karena itu, sekarang banyak selebriti yang aktif di sosial media meskipun pada beberapa
kasus interaksi tersebut dilakukan oleh orang lain atau karyawannya. Mereka tidak
hanya berkomunikasi dengan fans, akan tetapi juga untuk mendapatkan kembali
kekuasaan mereka.
Sosial media telah mengubah budaya selebriti. Adanya situs berita selebriti, situs
fans, dan blog telah menyediakan jalan baru untuk menaikkan popularitas selebriti.
Sebelumnya managemen selebriti mengontrol penuh dan mengatur segala kehidupan
selebriti, akan tetapi saat ini mereka membiarkan selebriti berinteraksi dengan
penggemarnya. Perubahan ini mempengaruhi sifat dasar dalam hubungan parasosial
antara penggemar dan selebriti. Penggemar dapat terlibat langsung dan bertukar pikiran
dengan selebriti favoritnya via Twitter dan Facebook. Frekuensi interaksi langsung
melalui sosial media ini ditandai dengan meningkatnya level keakraban, keterbukaan,
daya tanggap dan mungkin juga ketulusan. Akan tetapi itu tidak lantas menyetarakan
status sosial mereka sebagai seorang selebriti dan penggemar.
10
kecantikan, majalah wanita semakin meningkatkan perhatian mereka pada budaya
selebriti.
Di akhir tahun 1980an dan awal 1990an pasar majalah di Inggris dengan segmen
wanita menjadi ajang kompetisi bagi berita artis tiap minggunya. Sedangkan di Belanda
tren ini telah berkembang jauh sebelumnya yaitu selama tahun 1970an dengan
berkembangnya ‘majalah gosip’ yang berisi tentang artikel mengenai selebriti, bintang
televisi dan keluarga kerajaan.
Majalah kemudian lebih mengkhususkan dirinya pada segmen pembaca apakah
itu ibu rumah tangga atau remaja. Sebagai contoh majalah terpopuler di kalangan remaja
Inggris Raya dan Australia, Sugar (yang beralih menggunakan website di tahun 2011)
dan Dolly (yang masih menerbitkan versi cetak) sepenuhnya berisi konten selebriti yang
ditujukan pada pembaca remaja.
Fungsi budaya selebriti adalah sebagai alat untuk memancing para konsumen untuk
membeli prodak oleh para industri, karna para selebriti diyakini mampu mempengaruhi
para konsumen, hal ini disebabkan para selebriti sebagai panutan yang bisa di contoh oleh
masyarakat.
Pada saat ini pemasaran berlomba-lomba mencari dan menggunakan figure seorang
selebriti untuk menjadi objek pemasarannya, yang kehadirannya di harapkan bisa
mendongkrak penjualan mereka, meskipun hanya sesaat. Bukan hanya itu kepopuleran
seorang selebriti juga sangat dibutuhkan untuk mengundang perhatian para konsumen.
Seperti contoh kematian Diana putri dari wales di jadikan ojek para industry chanel tv,
dalam penyajian yang berbeda-beda, contohnya tentang kematiannya, sebagai hiburan ,
ceita atau sebuah dongeng atau menjadi sbuah gossip. Dimana para indrustri akan
mengekspost kematian Diana yang kemudian ada manipulasi untuk dapat mendramatisir
tentang kematian Diana. Hal itu bertujuan untuk menarik perhatian para penonton dan
11
untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat umum setelah menonton mendengar atau
membabaca berita tersebut.
Konsumsi selebriti
1) Variasi mengakui perbedaan level dari media literasi yang tampak pada tanggapan
konsumen pada industry selebriti.
2) Kategori dari tipe penonton tradisional orde kedua dimana hanya ada sedikit
interpretasi dan atribusi dari realism yang lebih berkualitas.
3) Jenis penonton pasar dengan membaca cerita selebriti kurang lebih seperti fiksi dan
menciptakan tiruan dan menuntut evaluasi dan interpretasi.
4) Dan 5) pemain game: seorang penggosip dan pemain game: detektif.
12
Fungsi dari gossip berperan dapat menimbulkan jaringan sosial, mengevaluasi
prilaku, membentuk norma masyarakat dan sebagainya. Peran gossip sebagai praktik
konsumsi sedikit lebih jauh. Seperti contoh Lynn Spigel’s diskusi dari apa yang
menganggap berhubungan dengan phenomena: yang berfokus pada situasi komedi
keluarga. Banyak diantaranya bermigrasi ke radio.
Seperti yang kita ketahui, perluasan adanya selebriti secara online dan melalui
media sosial mengubah keduanya: produksi dan konsumsi selebriti selama dekade terakhir.
Saat ini sudah ada outlit untuk conten selebriti secara online-blog, papan buleti berita, dan
situs resmi selebriti, serta keberadaan online untuk media berita dari semua platform. ada
juga berbagai cara interaksi, di mana konsumsi selebriti dapat terjadi-pada titik yang
memungkinkan generasi baru, ganti rugi, konten selebriti yang pada gilirannya bermigrasi
ke situs resmi, twitter, feed, dan bahkan berita malam.
Dalam buku ini buku ini mencatat bahwa sistem yang digunakan untuk
menghasilkan selebriti dalam hiburan. Industri olahraga sangat mirip dengan mereka
sekarang digunakan untuk menghasilkan persona publik politisi, kebutuhan untuk sukses
13
membangun wajah politisi publik yang artinya bahwa konvensi selebriti harus
bersekongkol dengan orang-orang dari partai politik. seperti yang di katakan Gamson,
peraturan produksi di mana tokoh politik datang ke menirukan perhatian publik, dan
kadang-kadang meminjam teknik langsung dari, entertaiment selebriti,,, seperti penghibur,
politisi dilatih, ditangani, bangsal berjubah, dibuat, dengan teliti.
14
BUDAYA PENGGEMAR
Definisi Fandom
Penggemar adalah suatu bentuk hasil konsumsi pada teks kebudayaan, terutama
budaya populer. Kelompok penggemar atau fandom ini juga merupakan bagian dari
kelompok besar penikmat teks budaya. Berawal dari satu orang yang memiliki ketertarikan
khusus pada suatu bentuk teks budaya, kemudian menemukan individu lain yang memiliki
ketertarikan serupa. Masing-masing individu ini kemudian berkumpul menjadi satu
kelompok yang disebut sebagai fandom. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini tidak
sekedar mengkonsumsi teks tersebut, tapi juga menyukai dan menikmati teks tersebut
secara berlebihan. Hal ini lah yang menjadikan mereka tampak berbeda daripada
masyarakat konsumen pada umumnya.
Berangkat dari asal katanya, disini dapat diartikan bahwa kelompok penggemar
dipandang sebagai suatu kelompok yang cenderung melakukan tingkah laku berlebihan dan
mendekati kegilaan (Jenson, 1992: 9). Penggemar ditunjukkan oleh Jenson dalam dua
kelompok utama yakni individu yang terobsesi yang biasanya laki-laki dan kerumunan
histeris yang adalah perempuan. Kedua kelompok tersebut dihasilkan dari suatu bentuk
pembacaan tertentu dan kritik atas modernitas yang tidak diakui. Hal ini berhubungan
dengan pandangan pada kelompok penggemar sebagai suatu bentuk symptom psikologis
15
dari dugaan disfungsi sosial. Kelompok penggemar digambarkan sebagai salah satu dari
liyan yang berbahaya dalam kehidupan modern. Karena itulah dalam tulisannya Jenson
juga membuat penyebutan yang membedakan, yakni ‘mereka’ untuk kelompok penggemar
dan ‘kita’ untuk orang normal lainnya (1992: 9).
Tujuan dari pembedaan ini sangatlah jelas yakni untuk membedakan dan
memberikan jarak antara masyarakat umum dan kelompok penggemar ini. Dengan
pemahaman pada penggemar sebagai korban-korban pasif dan patologis media massa,
secara tak langsung juga memberikan sifat bahwa orang-orang yang tergolong dalam ‘kita’
adalah masyarakat normal yang bisa menciptakan jarak antara diri kita dan objek
kesenangan kita (Storey, 2010: 158). Hal ini lah yang tidak dapat dilakukan oleh para
penggemar dan juga yang menjadikan kita sebagai kelompok yang normal. Sebagaimana
wacana tentang ‘liyan’ yang membentuk ciri dari kelompok penggemar ini, menyatakan
bahwa penggemar adalah apa yang orang lain lakukan sedangkan kita orang normal selalu
mengejar banyak kepentingan, memamerkan selera dan preferensi (2010: 159). Stereotip ini
memandang penggemar dari sisi masyarakat dominan dan bukan dari sisi kelompok
penggemar itu sendiri.
Dengan stereotip semacam ini kelompok penggemar tak pernah dianggap sebagai
kelompok masyarakat normal pada umumnya. Kelompok penggemar yang disebut-sebut
melakukan aktivitas kultural khalayak pop diperkuat dengan adanya objek-objek
kekaguman. Jika budaya resmi atau dominan yang dilakukan oleh masyarakat umum
normal menghasilkan apresiasi estetik, maka fandom yang bersifat patologis hanya sesuai
untuk berbagai teks dan praktik budaya pop (Storey 2010: 159). Lebih daripada penjelasan
diatas, pembedaan antara kelompok penggemar dan masyarakat umum adalah perilaku
dalam mengagumi. Fandom dianggap selalu memamerkan kesenangan mereka secara
berlebihan hingga menimbulkan ekses emosional. Lain dengan masyarakat normal atau
khalayak budaya resmi dan dominan yang senantiasa mampu menjaga jarak dan kontrol
estetik yang terhormat (159).
16
Sehubungan dengan kajian tentang kelompok penggemar ini, adalah catatan Jenkins
yang mungkin dianggap paling menarik. Sumber teoretis utama Jenkins adalah seorang
teoretikus budaya Perancis, Michel de Certeau (1984). Certeau berusaha menguak arti kata
konsumen guna menemukan aktivitas yang tersembunyi di balik tindak konsumsi, yang
disebutnya sebagai produksi sekunder (Storey, 2010: 160). Certeau dalam Storey
menyatakan bahwa konsumsi itu berliku-liku dan tersebar, namun ia memperkanalkan
dirinya dimanapun dengan sangat halus dan hampir tak nampak. Konsumsi tidak
mewujudkan dirinya melalui produknya sendiri, tetapi sebaliknya melalui caranya
menggunakan produk-produk yang ditimpakan oleh tatanan ekonomi dominan. Hal yang
perlu diwaspadai oleh kritikus budaya adalah persamaan dan perbedaan antara tindak
konsumsi dan produksi sekunder, hal ini dikarenakan keduanya memiliki batasan yang
sangat tipis dan keberadaan produksi sekunder yang tersembunyi dalam konsumsi (2010:
161). Dalam hal ini kelompok peggemar bertindak sebagai konsumen yang mengkonsumsi
teks budaya, dimana teks budaya tersebut adalah selebritis. Namun kegiatan konsumsi ini
tidak semata-mata hanya sebuah proses konsumsi biasa. Di dalamnya terselip proses
produksi yang sangat halus bentuknya yang disebut sebagai produksi sekunder. Suatu hal
yang diproduksi dalam produksi sekunder ini adalah proses produksi makna yang dilakukan
oleh anggota kelompok penggemar dalam berkomunikasi dengan anggota kelompok yang
lainnya.
17
pembaca penggemar lainnya, da tidak seperti pembacaan popular yang dicirikannya sebagai
produksi makna berdurasi pendek (1992: 45).
Perbedaan lain yang dapat dilihat antara pembacaan popular de Certeau dan
aktivitas kelompok penggemar adalah bahwa di dalam kelompok penggemar tidak terdapat
pembedaan yang kaku antara pembaca dan penulis. Masing-masing penggemar adalah
seorang pembaca dan juga penulis, yang melakukan kegiatan konsumsi dan produksi
sekaligus (Storey, 2010: 162). Selain melakukan produksi makna dalam berkomunikasi
antar anggota kelompok, mereka juga mengkonsumsi teks seperti lagu, puisi, novel, dan
lain-lain.
Menurut Jenkins terdapat tiga ciri utama yang menandai pemberian makna budaya
penggemar dalam teks-teks media. Pertama, pembacaan penggemar dicirikan oleh sebuah
intensitas keterlibatan intelektual dan emosional. Dia menegaskan bahwa pembaca tidak
ditarik ke dalam dunia fiksi yang telah ditetapkan, melainkan ked lam dunia baru yang
dibentuk dari materi-materi tekstual. Satu hal yang perlu tetap diperhatikan disini adalah
bahwa perbedaan proses pembacaan pembaca awam dan kelompok penggemar adalah
pembaca awam membaca dalam konteks kepentingan/minat yang bergeser, sedangkan
penggemar membaca dalam ranah pengalaman hidup kelompok penggemar (Storey, 2010:
163).
18
kemompok penggemar. Tanpa penampilan publik dan sirkulasi makna ini, kelompok ini
tidak akan disebut sebagai kelompok penggemar (Storey, 2010: 164).
Produk-produk Fandom
Fan Fiction adalah sebuah cerita fiksi yang dibuat oleh penggemar berdasarkan
kisah, karakter atau setting yang sudah ada. Fanfic dibuat berdasarkan film, novel,
selebritis, atau komik. Beberapa fanfic menyertakan diri penulis sebagai bagian dari cerita,
beberapa tidak. Plot ceritanya sendiri murni merupakan hasil imajinasi para fans. Konsep
dasar yang digunakan oleh penulis fanfic adalah “Bagaimana jika.....” Dengan konsep ini
fans bebas berimajinasi menggunakan karakter yang dia sukai atau memproduksi ulang
cerita yang sudah ada untuk dirombak sesuai keinginan mereka.
19
pemeran utama kepada pemeran pembantu. (4.) penyetelan kembali moral. (5.) pergeseran
genre. (6.) persilangan tokoh: tokoh-tokoh dalam suatu cerita, tiba-tiba dimunculkan pada
cerita lain. (7.) keterlepasan tokoh: tokoh-tokoh ditempatkan pada cerita lain, dengan nama
dan identitas baru. (8.) personalisasi: penyisipan diri penulis kedalam cerita, (9.)
intensifikasi emosional: kisah tokoh-tokoh favorit lebih didramatisir. (10.) erotisasi: cerita-
cerita yang mengeksplorasi sisi erotis kehidupan tokoh (2010).
Berbicara mengenai hak cipta seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya,
bagaimana jika cerita yang ditulis oleh penggemar ini berbeda dari karya aslinya dan tokoh
yang semula adalah tokoh dalam fiksi asli dirubah. Maka fanfiction tersebut akan berubah
menjadi fiksi biasa yang dapat dikomersilkan. Sebagai contoh, sebuah novel yang berjudul
Fifty Shades of Grey. Novel ini ditulis oleh E. L James seorang fans berat novel fiksi
vampir milik Stephenie Meyer Twilight Saga. Fifty Shades of Grey sebelumnya adalah
fanfiction yang karakter utamanya ditulis berdasarkan tokoh dan penokohan utama Twilight
Saga, yakni Edward Cullen dan Bella Swan. Fanfiction ini lantas didistribusikan secara
gratis melalui sebuah situs, karena mendapatkan animo yang sangat tinggi dari sesama
penggemar serial Twilight, E. L. James kemudian memutuskan untuk menerbitkannya
menjadi sebuah novel. Tokoh utama yang awalnya adalah sosok Edward Cullen dirubah
20
menjadi tokoh Christian Grey, sedangkan sosok Bella Swan berubah menjadi Anastasia
Steele. Terlepas dari baik atau tidaknya Fifty Shades of Grey sebagai sebuah karya sastra,
toh novel ini kemudian laku keras di pasaran dan diadaptasi pula menjadi sebuah film.
2. Fanzine
Fanzine berasal dari kata dalam bahasa inggris, fan dan zine. Fan berarti penggemar.
Sedangkan zine menurut Stephen Duncombe dalam bukunya Notes from the Underground,
adalah majalah bersirkulasi kecil non komersil yang oleh pembuatnya dibuat, dicetak dan
didistribusikan secara indie (mandiri). Pada tahun 1930-an, Zine dibentuk di Amerika
sebagai media alternatif para penggemar fiksi-fiksi ilmiah dalam berbagi cerita-cerita fiksi
ilmiah, opini serta media berkomunikasi diantara mereka. Kemudian pada tahun 1970-an,
zine berkembang pesat kareana adanya pengaruh dari para fans musik beraliran punk rock
yang tidak puas dengan media musik mainstream saat itu, sehingga mereka membuat zine
yang sesuai dengan musik dan kultur mereka sendiri (1997). Sederhananya, fanzine adalah
majalah yang dibuat oleh penggemar yang berisi segala sesuatu tentang hal yang
digemarinya (artis, komik, acara televisi, dll) dan didistribusikan kepada penggemar yang
lain.
21
Gambar diatas adalah salah satu contoh fanzine yang diambil dari sebuah akun
tumblr bernama “stillunusual.” Londons Burning terbit pada tahun 1976, dibuat di London
oleh John Ingham, seorang peggemar musik beraliran Punk-Rock. Majalah ini berisi 14
lembar kertas A-4 yang dijepret secara sederhana menggunakan staples pada sisi atas
sebelah kiri. Sebagian besar isi majalah ini adalah lirik-lirik lagu band punk rock legendaris
‘The Clash,’ yang dicampur dengan foto band tersebut dan potongan-potongan teks yang
dipotong dan ditempel sembarangan yang didapatkan dari koran-koran dan majalah
mainstream. Judul majalah ini sendiri, Londons Burning, diambil dari judul lagu The Clash.
Dalam penulisannya pun banyak sekali ditemui kata-kata yang kurang barang satu atau dua
hurufnya, grammar yang buruk, dan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah jurnalistik. Tetapi
pada saat itu, fans tidak peduli dan tetap membelinya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Duncombe, Stephen. 1997. Notes from Underground: Zines and the Politics of Alternative
Culture. Bloomington: Microcosm Publishing
Storey, John. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan
Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra
23