Anda di halaman 1dari 12

GOENAWAN MOHAMAD: PENA PENYAIR PENA JURNALIS

1. Pengantar
Sebuah sajak ditulis dengan berbagai alasan, terutama karena dengan sajak seseorang bisa
mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya sekaligus juga menyembunyikan
sesuatu di dalamnya. Sajak adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, yang dalam
dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan sesuatu.
Menulis sajak merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus menyenangkan bagi
penulisnya sebab di situ terjadi pergolakan, pertentangan, kerja keras intelektual, dan tentu
saja bukan merupakan hal main-main. Conrad Aiken lewat Damono mengatakan bahwa sajak
adalah potret manusia dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraha di hati, dengan
gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, keyakinan-keyakinannya dan keragu-
raguannya.
1

Jika memang seperti yang ditulis Conrad Aiken, maka dalam sajak akan ditemukan
kemuraman, ketegangan yang terus-menerus, kegelisahn yang tak henti-henti, dan
perjuangan yang sungguh berat. Menulis puisi dengan demikian bukanlah kerja
sembarangan, bukanlah pekerjaan yang tanpa pekerjaan sebab menulis puisi adalah
menciptakan dunia seperti yang pernah dilontarkan Chairil Anwar, Sebuah sajak yang
menjadi adalah suatu dunia.
2
Artinya, sebuah sajak adalah sebuah dunia tersendiri yang
merupakan hasil kreativitas penyair dengan segala kekuatan dan kerja kerasnya yang tidak
tanggung-tanggung.
Menulis memang dunia yang penuh dengan perjuangan, seperti halnya petani yang mandi
peluh ketika mengayunkan cangkulnya, nelayan yang berjuang dengan gigih di keluasan laut
melawan badai, pedagang yang penuh beban di punggungnya yang berkeliling menawarkan
dagangannya, juga seperti nabi yang menjajakan cahaya ke setiap ruang gelap hati manusia.
Menulis mempunyai karakterisasi yang berbeda-beda. Menulis novel berbeda dengan
menulis sajak, menulis esai berbeda dengan menulis drama, menulis sastra berbeda dengan
menulis karya ilmiah, dll. Sungguh jarang yang bisa sekaligus melakukan dua hal dengan
kualitas yang sama-sama penuh terjaga, misalnya menulis puisi sama bagusnya dengan
menulis novel. Ada dua nuansa yang berbeda dari sebuah kesamaan, dan ini rumit juga penuh
godaan.
Dalam dunia sastra Indonesia siapa yang tidak mengenal penyair Goenawan Mohamad.
Tidak itu saja, dalam dunia jurnalistik nama Goenawan Mohamad tercatat tercatat sebagai
tokoh papan atas kewartawanan Indonesia, Goenawan tercatat sebagai penulis esai terbaik
Indonesia bahkan nama Goenawan tercatat sebagai tokoh yang mendunia, baik di bidang
kepenyairan maupun di bidang kewartawanan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai
penghargaan yang diterimanya baik di dalam maupun luar negeri. Nyatalah dari hal tersebut
bahwa Goenawan Mohamad sebagai penyair dan sebagai intelektual adalah dua pekerjaan
yang sama-sama melambungkan namanya karena kualitas karyanya. Sampai sekarang dirinya
masih aktif sebagai penulis kolom di majalah Tempo (Catatan Pinggir), aktif sebagai redaksi
jurnal Kalam, aktif sebagai penyair, dan segala aktivitas lainnya terutama yang berhubungan
dengan sastra dan budaya.

1
Puisi dan Pikiran Manusia sebuah esai Conrad Aiken yang diterjemahkan Sapardi Djoko Damono
2
Dalam sebuah Sajak yang Menjadi, pengantar untuk antologi sajak Radhar Panca Dahana oleh Goenawan
Mohamad, tahun 1994.
Kedua pekerjaan di atas, yakni sebagai penyair dan jurnalis adalah sama-sama bergelut
dengan aksara. Di sini aksara menjadi sarana untuk tujuan yang berbeda-beda, seperti juga
perbedaan antara aksara seorang penyair dan aksara seorang wartawan. Ignas Kleiden
merumuskan perbedaan ini dengan sangat cemerlang namun cukup sederhana, menurutnya
penyair bergelut dengan dunia dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia luar. Yang
pertama menggarap makna, yang kedua memperjuangkan fakta.
3
Dengan demikian, kapasitas
wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair
sanggup membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup
membuat pembacanya menghayati lebih intens. Wartawan pada dasarnya bukanlah penjual
gagasan, tetapi harus menyajikan fakta. Penyair pada dasarnya tidak bekerja dengan ide,
tetapi dengan pengalaman. Hasil akhir analisis keduanya sama-sama bergulat dengan fakta;
pada yang satu fakta itu bersifat sosial pada yang lain fakta itu bersifat eksistensial.
Kecenderungan ini kemudian membawa akibat lain. Sejumlah besar pengetahuan tentang
informasi itu akan menghasilkan apa. Wartawan adalah penyampai informasi dan tidak boleh
berkehendak untuk mengolahnya dalam suatu analisis. Penyair bukanlah seorang pengamat
kehidupan, tetapi seorang yang berhadapan dengannya, menerima atau menolaknya.
Kehidupan bukanlah suatu objek tetapi suatu alter ego.
Melihat latar belakang di atas, dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seseorang yang
kuat latar belakang kepenyairannya ketika harus menerima dan mengerjakan tugas
kewartawanan. Dua hal yang sama namun mempunyai hakikat yang berbeda. Bagi
Goenawan Mohamad sendiri hal ini tampaknya bukan hal yang sulit. Dari tangannya lahir
tulisan jurnalistik yang cemerlang juga sajak-sajak yang hebat. Lalu bagaimana pengaruh
pekerjaan atau aktivitas Goenawan terhadap proses kreatif dalam melahirkan sajak-sajaknya.
Dalam penelitian ini kurang lebih akan dibahas tentang hubungan kedua hal tersebut, yakni
kewartawanan dan kepenyairan.

2. Pendekatan Ekspresif Terhadap Sajak-sajak Goenawan Mohamad
Abrams membagi kritik sastra ke dalam empat tipe
4
, yakni kritik mimetik, kritik
pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif. Kritik mimetik adalah kritik yang
menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Kritik pragmatik cenderung memandang
karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai audiens. Kritik objektif mendekati sastra
sebagai sesuatu yang berdiri bebas, kritik ini dijalankan berdasarkan intrinsiknya. Dan kritik
ekspresif akan diterangkan agak panjang seperti di bawah ini.
Kritik yang memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulisnya
sendiri. Dalam hal ini sastra dianggapnya sebagai kisah atau kejadian yang menimpa
pengarang. Kritik ini mendefinisikan sastra sebagai sebuah ekspresi atau curahan
perasaan pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan
perasaan-perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan
kemulusan, kesejatian atau kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual
penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering kritik itu melihat ke dalam karya
sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-penaglaman pengarang, yang
secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya. Pandangan
semacam ini diperkembangkan terutama oleh kritikus romantik, dan secara luas berlaku
di masa kini. (Pradopo, 2003:27)

3
Lihat buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Kleiden 2004.
4
Lihat Pradopo dalam prinsip-prinsip kritik sastra, 2003

Dengan demikian kritik ekspresif berupaya untuk mengupas karya sastra dengan
memperhatikan pengarangnya. Misalnya latar belakang sosial pengarang, latar belakang
pendidikannya, aktivitas yang dijalaninya, agama, kisah-kisah pribadinya, pandangan-
pandangannya, visi dan misinya dalam hidup, dll. Semua yang menyangkut diri pengarang
berusaha dihubungkan dengan karya yang dibuatnya. Tetapi dalam hal ini tetap diutamakan
adalah karya itu sendiri. Jadi, dalam merebut isi atau makna karya sastra itu
disangkutpautkan dengan keberadaan pengarangnya. Si pengarang seolah dijadiakn teks lain
yang mendukung penganalisisan karya. Artinya, bahwa setiap makna yang ada dalam karya
adalah tentang pengarang itu sendiri, pikiran pengarang itu sendiri, atau visi misi pengarang.
Goenawan Mohamad seperti yang saya tulis di atas adalah seorang penyair hebat, jurnalis
papan atas, juga esais nomer satu di Indonesia. Bebrapa penghargaan atas prestasinya telah
diraihnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Semua tulisan Goenawan Mohamad menurut
Kleiden (2005: 212) baik puisi, esai, studi kebudayaan yang lebih panjang, sebaik-baiknya
dipahami dan diapresiasi dari posisinya sebagai penyair, dan khususnya sebagai penyair lirik.
Artinya kata-kata bagi penyair mempunyai peranan yang berbeda jika dibandingkan dengan
pengguna lainnya. Dan Goenawan Mohamad dalam menggunakan kata-kata di tulisannya
nyaris seperti ketika menyusun sajak. Kata-kata bukanlah tanda atau penanda, melainkan
simbol. Ciri tanda adalah ketunggalan makna (denotasi) sedangkan ciri simbol adalah
kebergandaannya yang berupa polisemi atau ambivalensi.
Di antara kaum intelektual, Goenawan Mohamad sering disebut sebagai orang Barat yang
lahir di Batang
5
. Dikatakan demikian karena dirinya begitu akrab dengan wacana-wacana
barat seperti Brect, Derrida, Adorno, Habernas, Nietszhe, Camus, Benjamin dan banyak lagi
nama-nama penting di jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat.
Dia dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, pada 1941, dan sejak awal 1960-an menetap di
Jakarta. Setelah meninggalkan Fakultas Psikologi karena kekecewaannya, ia belajar ke
Belgia, ikut mendirikan berita mingguan Tempo (1971) dan dibredel tahun 1994, lalu terbit
lagi setelah reformasi tahun 1998. ia menerima World Press Reviews International Editor of
the Year Award (1999). Karyanya, Sajak-sajak Lengkap 19661-2001, mendapat Hadiah
Sastra Khatulistiwa (2001). Kumpulan esainya antara lain Potret Penyair Muda Sebagai Si
Malin Kundang (1969), Seks Sastra Kita(1981), eksotopi(2003), Kata, Waktu(2001), Catatan
Pinggir telah mencapai 5 jilid, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005), kumpulan puisinya,
Pariksit (1971), Asmarandana (1993), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Naskah libretonya,
Kali, dipentaskan di Lincoln Center, AS. Ia menerima berbagai penghargaan, antara lain
Hadiah Sastra A Teeuw (Belanda), dan Penghargaan Ahmad Bakri Award untuk
kesusastraan (2004). Selain terlibat dalam banyak organisasi di dalam dan luar negeri, ia
membangun Komunitas Utan Kayu, yang menjadi semacam pusat kegiatan kesenian
alternatif di Jakarta.
Sampai usia 19 tahun Goenawan tinggal di kota kecil Jawa Tengah dan kota di sekitarnya
karena sering berpindah-pindah sekolah. Karena itu ia akrab dengan budaya dan bentuk-
bentuk kesenian Jawa. Tradisi intelektualnya ditanamkan oleh ayahnya yang dokter juga
saudara-saudara lainnya yang lebih dulu bergaul dengan teks-teks barat, hal inilah yang
membuatnya semakin akrab dengan budaya Barat.

5
Lihat pengantar untuk tulisan Goenawan Mohamad dalam Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, 2005
Tahun 1960 Goenawan sekolah di UI Jakarta, tetapi tidak betah dengan alasan para
dosennya tidak becus. Semasa kuliah dia mulai menulis dan dimuat di majalah sastra yang
diasuh oleh H.B. Jassin. Dalam tahun 60-an inio Goenawan Mohamad bergaul akrab dengan
para seniman dan intelektual lainnya, and bersama-sama mereka mencetuskan Manifes
Kebudayaan. Sejak tahun 1971 sampai sekarang Goenawan Mohamad bergaul akrab dengan
para seniman dan intelektual lainnya, dan bersama-sama mereka mencetuskan Manifes
Kebudayaan. Sejak tahun 1971 sampai sekarang Goenawan mohamad masih aktif menulis di
majalah Tempo yang didirikannya. Seperti diketahui, namanya kemudian menjadi sinonim
majalah yang menjelma tonggak penting jurnalisme Indonesia, menjadikannya salah seorang
wartawan yang paling berpengaruh, dan barangkali pejuang kebebasan pers yang paling
dikenal di kancah internasional terutama sejak pembredelan Tempo.
Sekitar tahun 1993 bersama kawan-kawannya mendirikan jurnal kebudayaan Kalam, ia
mengembangkan kompleks Teater Utan kayu (TUK). Di sana, dalam masa perjuangan untuk
menggugat pemerintah yang telah membredel Tempo dia aktif dalam berbagai macam
aktifitas kebudayaan dan politik banyak berlangsung, mulai dari diskusi sastra, film,
pemutaran film, teater, puisi, seni alternatif, dll. Ia seolah mewujudkan apa yang kerap
disarankan kepada para wartawannya yang sering merasa pengap dengan pelbagai tekanan
atas kemerdekaan jurnalistik mereka: kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk. Sampai
sekarang ia menulis Catatan Pinggir sebuah sajian jurnalistik yang unik: muncul rutin
layaknya editorial, tapi isinya esai renungan pribadi penulisnya atas pelbagai peristiwa dan
masalah, terutama yang aktual. Catatan Pinggir adalah esai tetap tertua di Indonesia.
Hamid Basyaib (2005), memandang Goenawan Mohamad sebagai orang yang berpikir
dan cara pandang ala Barat karena bacaan yang luas dari Goenawan Mohamad yang
menonjol. Ketika Goenawan Mohamad harus menengok kembali khazanah budaya yang
melingkupinya di masa kecil, juga terhadap bacaan-bacaan tambahan atas budaya itu,
belakangan ia melihatnya dengan kaca mata barat. Ia akan berbeda dalam menafsirkan
wayang dengan para dalang yang kukuh dalam pakem. Ia akan berbeda menafsirkan sebuah
serat, sebuah sejarah, sebuah mitos dengan kebakuan yang telah ada di masyarakat.
Semuanya ditafsirkan dalam kerangka Barat yang dipadukan dalam sajak yang bernas.
Dalam menulis, Goenawan Mohamad sering kali mencampurkan antara yang fakta
dengan fiksional. Tokoh-tokoh fiksional diberlakukan sebagai simbol atau kacamata untuk
mengamati dan mengidentifikasi manusia-manusia faktual; peristiwa fiksional dijadikan
contoh kasus yang kadang diuniversalkan. Begitu juga sebaliknya ketika dirinya menulis
sastra, peristiwa faktual menjadi tenaga dorong yang begitu kuat dalam tulisannya, terutama
peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam sajaknya pun seringkali Goenawan Mohamad
menuliskan peristiwa fiksional. Fiksi dalam fiksi untuk mengungkapkan realitas kekinian
yang sedang berlangsung.
Demikianlah Goenawan Mohamad, dari sekitar seribu tulisannya bisa dilihat beragamnya
tema yang disentuhnya dengan topangan bacaan luas yang beragam pula. Ia menggelisahi
Marxisme, Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Modernisme, Nazi, Stalin, Mao,
Pembangunan, Birokrasi, P4, Tradisi, pendeknya segala bentuk perekayasaan sosial, karena
semuanya menekan menggilas pada keindividuan, eksistensi manusia. Dirinya sangat anti
terhadap individu lainnya. Tema-tema tersebut digarap dalam karya sastra juga dalam tulisan
jurnalistiknya. Sebagai penyair dan sebagai jurnalis tema-tema itu digarap sesuai dengan
kapasitas genrenya.
Bagaimana sebanarnya Goenawan Mohamad menyikapi puisi? Ketika membahas puisi
Subagio Sastrowardoyo dia menulis: puisi datang pertama kali kepada kita lewat
nadanyaSajak-sajak Subagio adalah sajak nada rendah. Puisinya seolah dicatat dari
gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tek memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras
serta kesibukan di luar dirinya
6
. Mari kita perhatikan sajak Goenawan Mohamad berikut ini,
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada
kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali
menampakan bimasakti, yang jauh. Tapi diantara mereka berdua, tidak ada yang berkata-
kata. (dari ASMARANDANA)
Potongan sajak diatas adalah imajinasi himpunan nada-nada yang mengantar kita pada
sebuah situasi bunyi yang penuh ragam. Mula-mula kepak sayap kelelawar. Seperti apakah
kepak sayap kelelawar bunyinya? Di kesunyian senja atau malam kepak sayap begitu halus
bahkan kita akan kesulitan mendapati suara-suara itu karena saking halusnya. Juga nada
guyur sisa hujan dari daun betapa lembut dan halusnya suara itu. Mungkinkah kita bisa
mendengar sesuatu jejak yang telah pergi. Suara resah kuda dan langkah pedati adalah juga
imajinasi bunyi yang dalam kenyataan betapa susah ditemui. Dan nada-nada itu lembut
belaka bahkan seperti kesunyian itu sendiri yang menambah sunyi sebuah situasi, semacam
ketegasan dari sebuah situasi. Dalam sunyi, suara-suara dari kesunyian bisa terdengar dengan
jelas, hal ini karena betapa situasi mempertegas situasi-situasi lain. Di sini Goenawan
memperlihatkan kepada kita bahwa sebuah sajak adalah sebuah nada-nada, suatu pilihan kata
yang memperhitungkan efek-efek bunyi.
Dengan demikian Goenawan mengabarkan kepada kita bahwa kedatangan sajak yang
pertama-tama adalah bunyinya, nadanya bukan pada ide atau gagasan. Jikapun ide atau
gagasan itu ada, hal itu diaktualisasikan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda,
keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi yang dirangsang oleh bunyi dan suara
7
.
Maka tidak mengherankan apabila sajak-sajak Goenawan Mohamad begitu sarat dengan
nada-nada, terutama nada itu kebanyakan lembut, halus, mengalun seperti ombak atau angin
gunung yang kecil saja, dengan bunyi-bunyi merdu. Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga
pelupukmu, Tapi//Tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmuSebuah
contoh dari bait yang mengandung pilihan kata halus dan lembut dan penuh nada sendu.
Pilihan nada ini sangat terasa dan sesuai dengan situasi yang dibangun oleh sajak itu. Situasi
perpisahan, entah perpisahan dengan kematian atau perpisahan yang hanyasekedar raga,
tetapi perpisahan tetap perpisahan yang didalamnya terkandung sekian kesedihan dan
kehilangan yang sangat.
Ketika Goenawan Mohamad membuat Interpretasi terhadap sajak-sajak Saini K.M
dikatakannya dengan nada setengah miring bahwa Saini sangat tertib dan lengkap sikap
platonisnya. Menurutnya Chairil atau Rendra tak akan diterima di Republik Plato, tetapi Saini

6
Goenawan Mohamad, dalam Subagio Sastrowardoyo: sebuah Interpretasi dimuat dalam setelah Revolusi Tak
Ada Lagi tahun 2001
7
Kleiden, Sastra indonesia dalam Enam Pertanyaan, 2005
pasti diterima sebab saini tidak ada kejalangan dan sensualitas. Sajak-sajaknya teduh di dunia
yang tentram dengan dirinya sendiri. Sebuah Mahameru yang dihuni ide-ide
8
.
Sikap atau pendapat di atas sesungguhnya sebuah ketidaksukaan Goenawan pada bentuk
dan isi sajak-sajak yang dibuat Saini. Bagi Goenawan sajak itu bukanlah sebuah keteduhan
dan ketentraman bagi dirinya sendiri, tetapi sajak harus liar, jalang dalam memaknai dunia.
Tuhan yang meresap di ruang kayu,//di gereja dusun,// di lembah yang kosong itu,//
kusisipkan namamu. Sajak, seperti kutipan tadi, harus mempunyai keberpihakan yang bukan
untuk menentramkan bagi tapi mengabarkan peristiwa dengan kedalaman dan masih
menyisakan gelisah. Harus mempunyai kebaruan, tafsir yang melingkupi perbedaan dalam
persamaan, juga metafor yang tidak lagi biasa ada dalam keseharian. Seperti dalam Tuhan
yang meresap di ruang kayu, adalah suatu penciptaan kembali dengan roh yang berbeda
dengan tubuh yang sama tapi bentuk tubuh yang berbeda. Inilah mungkin sebuah tabiat
seorang jurnalis, adanya proses pengabaran sebuah peristiwa, meski dalam cara yang
berbeda. Dan tetap mempertahankan kedalaman sebagaimana tabiat para penyair yang
hendak masuk menyelam ke palung peristiwa yang paling dalam.
Goenawan Mohamad yang oirang Jawa, yang masa kecil hingga awal dewasanya tinggal
di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata tidak melupakan tanah budaya asalnya,
bahkan demikian lekat dan terdapat jejak yang dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam
pilihan tema, tetapi yang terasa dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang
lembut menghanyutkan, seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di
satu sisi nadanya adalah keriuhan kota-0kota dan ingar dan menusuk. Mperpaduan antara
kelambanan, kelembutan Jawa denagn keriuhan kota-kota besar adalah seperti yang terasa
dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. Kita bisa merasakan betapa kuat suasana Jawa yang
tenang dan kelembutannya pada potongan sajak ini.
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi. Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari.
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba. Kudengar angin mendesak ke arah kita. (Di
Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi: Goenawan Mohamad)
Berikut adalah tema-tema yang diambil dari sejarah atau mitos Jawa. Ada enam sajak
penting yang saya catat disini: Pariksit, Dongeng Sebelum Tidur, Asmarandana, Gatoloco,
Menjelang Pembakaran Sita, dan Persetubuhan Kunthi. Keenam sajak itu mengabarkan
sebuah kisah yang diambil dari kisah-kisah lain yang mungkin fiksional atau faktual. Di sini
terjadi transformasi yang digarap ke dalam bentuk sajak yang selain indah juga menyimpan
kedalaman yang menyentuh hati. Di tangan Goenawan Mohamad peristiwa itu tidak saja
sebagai sebuah berita tetapi telah pula dibentuk ke dalam rangkaian yang sanggup
mengoyak-ngoyak perasaan selain tentunya suatu pengetahuan. Inilah perpaduan kerja
Jurnalistik dan sastra; berita dan kedalaman.
Sajak Pariksit adalah sajak yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri
Amarta yakni Pariksit anaknya Arjuna. Raja ini mati atas kutukan Crenggi melalui tangan
Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena ayahnya (Dorna) terbunuh
oleh pihak Pandawa daalm peperangan dengan Korawa. Dalam transformasinya, Goenawan

8
Goenawan Mohamad dalam Saini dan Puisi Platonis, dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi,
seperti berposisi sebagai seorang jurnalis yang memberikan sebuah realitas kepada
pembacanya. Namun realitas yang ada dalam sajak Goenawan adalah realitas yang telah
mengalami pendalaman, dalam arti dia telah memilih salah satu sudut pandang tertentu yang
lebih menukik ke sasaran tema yang dikehendakinya. Di sini, berita sudah menjadi tidak
sekedar berita yang hanya mengabarkan permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah
perenungan yang dalam tentang sebuah nasib yang tidak bisa ditolak kehadirannya.
Meskipun dalam kapasitas raja sekalipun, Pariksit yang penuh pengawalan ketat prajurit dan
rakyatnya, jika nasib telah menggariskan dirinya harus mati maka pembunuh itu bisa lolos
dari pengawalan dengan leluasa dan mencabut nyawa sang raja. Dalam sajak ini Goenawan
mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal rakyatnya
berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri dan tak dipengaruhi
oleh kekuatan pembimbingan raja. Mereka yang mendoa, sementara// aku tiada berdoa.
Mereka yang kini mempunyai angin-angin// sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita
yang//sendiri. Mereka tak tahu kita tak bisa berbagi. Bagi Goenawan raja adalah sebuah
kelengkapan kesombongan dan ajaibnya rakyat selalau memuja dan mengharapkan
keselamatannya. Seperti juga ketika datang sebuah penderitaan atau siksa terhadap raja,
Goenawan menganggapnya sebagai siksa yang dirasakan rakyat sedangkan raja adalah
sebuah kelemahan yang tersembunyi dari rakyat. Seperti yang diucapkan Pariksit bahwa
siksa ini adalah siksa mereka diatas kelemahan tangan kekuasaannya. Bentuk tafsir ini tentu
saja berbeda dengan para dalang yang biasa memainkan cerita sesuai pakem. Goenawan telah
memandang kejawaan dengan keluasan intelektualnya yang barat. Kisah Pariksit tidak
sekedar sebuah cerita yang mengungkapkan matinya raja terakhir kaum Pandawa, tetapi
Goenawan berhasil mengungkapkan sisi lain yang jauh dan dalam, yang menukik ke dasar
kalbu kemanusiaan. Goenawan tampak mempunyai keberpihakan kepada rakyat dan
ketidaksukaannya pada kekuasaan sebab baginya kekuasaan adalah kesombongan yang
selalu membuat rakyat menderita. Hal ini akan ditemui juga dalam esai-esainya bahwa
kekuasaan seringkali membuat manusia menjadi tidak sadar akan kemanusiaannya. Dalam
sajak-sajak yang lebih kini Goenawan banyak menyoroti sebuah situasi politik tertentu,
misalnya dia membuat sajak Aungsang Suuky. Sajak ini berisi sebuah kisah perjuangan
kebebasan dari kesemena-menaan penguasa. Sajak ini memang sangat berbau politik tetapi di
tangan Goenawan bau politiknya menjadi seolah-olah lenyap sebab terbungkus oleh unsur
musikal yang ditimbulkan metafor ciptaannya. Tetapi bahwa Goenawan sangat menghitung
unsur musikal tidak sekalipun meninggalkan keberpihakannya pada seseorang yang
kemanusiaannya di injak-injak, kebebasannya dipatok di ruang yang sempit dan gelap. Pada
sajak ini beratnya jalan ke kebebasan ditumbuhkan melalui korespondensi yang tak gampang,
penuh warna dan peristiwa genting yang nyaris muskil untuk diraba konsekuensinya, antara
kemungkinan Seseorang akan bebas dan ujung yang akan Sehijau kemarau, sehitam
asam musim hujan, lari atau letih dan langit akan sedikit dan bintang berdalih. Di sini
kebebasan tampak mahal sekali harganya, sampai-sampai langit pun akan sedikit dan bintang
beralih ketika kebebasan itu diperjuangkan dan mungkin tercapai. Dalam pencapaian
kebebasan itu Goenawan membuat logika pensejajaran seseorang akan bebas dan sorga
akan tak ada. Jadi sesungguhnya ketika dalam keterhimpitan, dalam ruang yang serba
dibatasi kebebasan adalah surga, semacam harapan yang terus menerus akan terbayangkan.
Jadi, ketika kebebasan itu ada dan konkrit maka sorga seolah lenyap, tak ada lagi sebab
harapan akan surga itu telah hilang dari angan-angan. Namun bila kebebasan itu kelak benar-
benar datang (barangkali), puisi ini dengan bijak mengingatkan bahwa buah yang sangat
mahal hanya senilai dengan bebas memandangi tandan yang terjulai di pohon saputangan,
di tebing jalan Mandalay. Jelas, sajak Goenawan mengungkapkan keberpihakan pada
penderitaan seseorang yang digerus kebebasan berpolitiknya. Seperti juga sajak-sajak lain
yang mempunyai keberpihakan bahkan bernada kritis terhadap kesewenangan penguasa juga
rasa ikut sependeritaan dengan orang yang dijatuhi nasib jelek yang dilecehkan dan
dihinakan kekuasaan. Hal ini terlihat pada Cerita Buat Yap Thiam Hien, Perempuan Itu
Menggerus Garam, Doa Persembunyian ( di Sebuah Gereja Rumania, Zagreb, dll. Sajak-
sajak itu seperti dalam Aungsang Suu Ky memperlihatkan nada musikal yang menyentuh dan
kisah itu bukan saja membuat pembaca tahu tetapi menjadi seolah ikut merasakannya.
Sebagai seorang jurnalis dia berhasil dan sebagai penyair dia lebih berhasil lagi telah
mengoyak-ngoyak hati pembaca.
Sajak Aungsang Suu Ky sangat bagus untuk menggambarkan betapa makna, hubungan
kausalitas antar makna dan unsur-unsur musikal bersinergi dengan efektif mewujudkan
keindahan paripurna sebuah sajak. Dengan adanya semacam takrif yang membatasi ruang
gerak permainan imajinasi, efek psikis yang ditimbulkan oleh bunyi reppetitifnya bukan
hipnose, melainkan justru sebaliknya: kesadaran, Pembebasan.
Unsur bunyi atau efek musikal yang berhasil dihidupkan oleh Goenawan selalu membanguyn
mutu estetik yang bukan hanya menyentuh, tapi juga menggugah. Teeuw pernah
menyebutkan bahwa kecenderungan Goenawan memanfaatkan sebanyak mungkin kata dasar
dan menghindari kata panjang dengan berbagai imbuhan kompleks yang demikian populer
dalam bahasa surat kabar dan birokrasi
9
. Jadinya sajak-sajak Goenawan seperti kalimat-
kalimat yang mengandung pengertian akan menjadi kurang lancar, bahkan terasa terbata-bata
(barangkali Goenawan akan menyebutnya sebagai elemen kebisuan
10
. Masih ada potensi
lain ketika sajak disangkutkan dalam komposisi bunyi: potensi mengaburnya makna,
konstruksi ide-ide, sesuatu yang justru dalam sajak Goenawan menjadi kekuatannya yang
terbesar. Bahkan apa yang pernah diperjuangkan Goenawan dalam sastra Pasemon menjadi
mrah kepada sajak suasana. Misalnya kita baca dalam Pada Sebuah Pulau.
Badai hanya pulau gema, di sini, seperti ratap pulau
Dari karang-karang kambria
Yang gelap

Pantai mengengekan rahang, menelan waktu
Yang datang bertubuhkan
Gelombang


9
Dalam sebauh tinjauannya terhadap Asmarandana
10
Lihat Prasetyo dalam Epifenomenon. Telaah Sastra Terpilih.
Membaca sajak di atas mungkin pembaca akan merasakan sebuah haru biru oleh perasaan
takjub pada lanskap. Perasaan mabuk yang berarak-arak ketika mendengar gema badai,
ratapan pulau karang purba, menyaksikan kegelapan, bentuk pantai yang serupa rahang
menganag, gelombang laut yang berdatangan. Semuanya serba konkrit. Kata waktu yang
sebenarnya abstrak itupun, karena diberi tubuh, bukan hadir sebagai konsep melainkan
materi, sehingga fungsinya tidak lebih daripada sekedar properti yang memberi aksen pada
panorama lanskap keseluruhan.
Dalam Dongeng Sebelum Tidur, Asmarandana, Gatoloco, Menjelang Pembakaran Sita
cerita yang telah berkembang luas di masyarakat itu di tangan Goenawan tidak sekedar
menjadi cerita, tetapi telah mengalami pengayaan yang lain, yang menurut Chairil Anwar
telah menjadi dunianya sendiri, dan yang menarik kisah kisah itu dijungkir balikan dari
pakemnya, sehingga misalnya dalam kisah Shita telah rela ditiduri lelaki yang bukan Rama,
yang adalah tipuan dari Rahwana yang menjelma lelaki lain. Tentu saja ini sebuah
kontroversi, perlawanan terhadap pakem yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan
tahun di masyarakat.
Jika berbicara tentang perempuan, yang ada dalam sajak-sajak Goenawan adalah
perempuan yang selalu kehilangan kebahagiaan. Ini adalah sebentuk sikap, sebuah
pemikahan kepada seseorang yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Memang muncul
berbagai kenikmatan yang dirasakan perempuan atas hubungannya dengan laki-laki, tetapi
kenikmatan itu hanyalah awal dari penderitaan, dari kehilangan. Misalnya dalam kisah Shita,
Kunti, Anjasmara, perempuan penggerus garam, dll. Perempuan dilihat sebagai manusia
yang posisinya dibawah kekuasaan laki-laki. Perempuan oleh Goenawan diungkapkan pula
sebagai suatu perlawanan terhadap kekuasaan, baik kekuasaan laki-laki atau kekuasaan pada
umumnya. Karena itu tidak heran jika Shita ditangannya menjadi Shita yang berani
menerima telah disetubuhi oleh lelaki selain Rama. Juga ketika seorang ibu dalam
Perempuan yang Menggerus Garam, memperlihatkan rasa pedihnya karena ditinggal anak
lelaki terkasihnya yang dibantai semena-mena oleh penguasa yang zalim. Di sini Goenawan
memunculkan penderitaan sekaligus mengabarkan atau mengobarkan perlawanan terhadap
kesemenaan itu. Dengan demikian dalam sajak Goenawan terjadi transposisi pikiran menjadi
pengalaman dan suasanan, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi intuisi, dan
intuisi menjadi visiun tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun
rapi menjadi imaji liar yang berkejar-kejaran.
Tentang kekuasaan, pembantaian, propaganda, pembungkaman sistematis, teror,
paranoia. Pembantaian penyembelihan dengan bedil atau parang atau pedang. Semuanya
dalam skala besar-besaran. Atas nama yang Maha Dasar. Dasar yang Tuhan pun bukan
Tuhan. Demi apa yang bernama kepatuhan, kestabilan. Goenawan menulis Nuh sebagai
berikut:
Nuh
Pada hari ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan tak lagi deras, meskipun angkasa
masih ungu, dan hari gusar. Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan
tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit terakhir, yakni teriak seorang
anak.
ia jatuh kata laporan yang disampaikan Nakhoda, dari sebuah atap bongkah. Air bah
menyeretnya. Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun tenggelam, seperti
yang lain-lain: neneknya , ibu bapaknya, saudar-saudaranya sekandung. Juga seluruh
kota.
Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu kepada Nuh yang
sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera. Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun
dan berjalan ke buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah selesai
membunuh.
Memang: banjir itu takl lagi ganas, seakan-akan naga yang kenyang bangkai.
Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung, hampir hitam, beribu-ribu,
seperti menantikan sesuatu. Ia lihat gagak dan burung-burung marabu, bertengger di atas
perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan air itu bahkan hutan-hutan
takluk dan senja seakan terbalik, seperti pagi. Nuh pun berbisik, Kota dalam najis Ia
menghela napas, kembali ke anjungan. Bau bacin menyusup dari cuaca, bahkan sampai
ke ruang doa, dan ia merasa kota itu akan segera jadi payau. Maka tatkala langit teduh,
Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke dataran tinggi yang masih utuh di utara.
Ia berkata, Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan. Dan ia mendarat lepas
dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya Syukur. Lalu segera disuruhnya
persiapan korban hewan di kaki Bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan
membuat surga berabahagia. Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang bisa keluar, begitulah
sembah yang diucapkan, ketika hari jadi terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang
akan datang, yang kukuh, patuh.
Kota-kota Nuh.
1998
Goenawan pernah berkata, makna itu seakan-akan sesuatu yang hanya bisa muncul
dalam suatu onteks, dalam suatu perbandingan dengan suatu keadaan, termasuk keadaan diri
kita, atau dengan suatu ekspresi yang lain yang pernah ada. Atau dengan kata lain sebuah
Allusion yang dalam istilah Goenawan Pasemon. Dan berhubungan dengan sajak di atas bisa
dilihat bahwa sajak itu bukan semata-mata atau memang bukan sebuah kisah keagamaan. Ini
adalah sebuah kisah kekuasaan, sebuah pemaksaan atas nama Tuhan. Bahkan sejak lama,
nama Tuhan sering dijadikan alibi untuk penaklukan terhadap yang lain, yang bukan
sealirannya, yang bukan anggota jemaatnya, dll yang berbeda dengan dirinya. Seperti dulu
pernah dilakukan orang-orang kulit putih yang memburu emas, tahta dan Tuhan merupakan
sebuah paket yang mensyahkan setiap pembunuhan terhadap manusia lain yang mempunyai
kulit berwarna. Mereka mengajak untuk hidup dalam agamanya dalam Tuhannya yang
mereka anggap itu syah. Seperti juga ketika di negeri kita tahun-tahun pasca 1965, sermua
yang tidak seirama dianggap berdosa dan harus dilenyapkan, dan bergununglah bangkai-
bangkai manusia itu mati dalam kematian yang mengenaskan.
Sajak Nuh adalah sebuah kias yang diambil dari akhir sebuah kisah keagamaan yang
sudah demikian akrab di telinga orang kebanyakan di Indonesia atau di negara-negara Islam.
Hal ini berbeda dengan apa yang didengar dari guru-guru ngaji di surau atau di madrasah.
Orang yang terakhir kedapatan mati dalam banjir bukanlah anak lelaki Nuh. Hal ini jelas dari
laporan yang disampaikan kepada Nakhoda dalam puisi, bahwa nenek, ibu, bapak, dan
saudara-saudara kandung anak ini mati semua tenggelam. Dalam sajak ini tak pernah ada
terdengar sebuah teriakan dari seorang bapak yang meminta anaknya untuk bertaubat dan
turun dari atap ke bahtera. Segala emosional telah terpisah, tak ada lagi bapak, anak, saudara.
Yang ada adalah kami dan mereka yang berbeda dalam keyakinan.
Adegan-adegan dalam sajak ini digambarkan dalam suasana yang dramatis, mencekam,
dan tentunya mengerikan, justru ketika bencana itu hampir berakhir, ketika curah hujan tak
lagi deras, meskipun angkasa masih ungu dan hari ngusar. Tumpasnya seluruh kota oleh air
bah kiriman Tuhan dilukiskan dengan begitu detail dan realistis menyerbu indera. Rumah-
rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan Tamsya mati bunyi, kecuali gemuruh air
dengan beribu-ribu mayat yang terapung, menggelembung, hampir hitam, dan burung-
burung gagak dan marabu bertengger di atas para perempuan tua yang terserak busuk, juga
hutan-hutan takluk bahkan senja seakan terbalik seperti pagi dan bau bacin menyusup dari
cuaca sampai ke ruang doa dalam bahtera. Sebuah kengerian yang sungguh berbeda dengan
penggambaran yang ada dalam terjemahan-terjemahan kitab suci Alquran.
Goenawan seperti yang pernah saya singgung di atas adalah seseorang yang alergi
terhadap kekuasaan yang semena-mena. Dalam sajak ini pun, bahkan untuk sebuah kisah
keagamaan Goenawan telah menjungkirbalikannya, telah mentransformasinya ke dalam
bentuk dan dunia yang berbeda. Namun perbedaan itu masih merupakan sebuah kesamaan
atau tidak meninggalkan hakikat dari kisah itu. Dalam sajak ini, Nuh tampak tidak terbersit
sedikit pun padahal kengerian yang terhampar begitu dahsyat. Bahkan Nuh seperti belum
puas, dia masih sempat menyumpahi onggokan bangkai yang ada di depannya: Kaum yang
musyrik, yang tak dikehendaki. Sebagai nabi sebenarnya Nuh tampak gagal. Bukankah
bangkai-bangkai itu adalah bukti yang tak tersangkalkan! Jika Tuhan telah memutuskan
untuk menenggelamkan kota dan orang-orang yang tidak mengikuti jalan Nuh, setidaknya
sebagai yang berhati nabi, Nuh bisa menunjukan rasa iba dan bukan malah mensyukurinya,
bikin pesta daging bakar, dan berkoar bahwa Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan
Tuhan.
Sajak ini jelas, sebuah pasemon yang dikiaskan untuk sebuah situasi yang ada lebih kini.
Pembantaian yang terus-menerus dengan mengatasnamakan kebaikan, keagamaan,
kemanusiaan yang ntah dari sisi mananya. Sebab pembantaian tetap sebagai pembantaian
yang banyak menghilangkan nyawa orang juga masa depan sekian banyak orang yang
mungkin tak punya atau tak tahu apa-apa tentang sebuah kehendak kekuasaan.
Penghilangan nyawa orang yang patut dipertanyakan muasalnya ini senantiasa
dipertanyakan Goenawan, baik dalam sajak maupun dalam esai-esainya. Ada sebuah kisah
dalam Catatan Pinggir, yakni matinya Sukardal yang bunuh diri dengan menggantung diri di
sebuah dahan pohon. Sukardal adalah orang kecil yang miskin, becaknya disita dan sejak itu
dia tak mampu memberi penghidupan kepada keluarganya, karena itu dia menggantung diri
sebagai sikap protes terhadap penguasa. Dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya
dalam menyelesaikan sebuah persoalan yang berhubungan dengan penguasa yang zalim,
yang tak melihat rakyatnya begitu kecil dan miskin. Bagi negara yang penting adalah
membereskan kesemrawutan dan tidak menyodorkan solusi yang bermartabat kemanusiaan.
Inilah yang seringkali ditentang oleh Goenawan, yakni kesemenaan kekuasaan.
3. Simpulan
Hampir semuasajak Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, sejarah dan
dongeng, berita dan kedalaman, susunan nada-nada yang menurut Prasetyo
11
seperti sebuah
jazz. Dalam kapasiatsnya sebagai jurnalis, intelektual, dan penyair, Kleiden mengungkapkan
tentang Goenawan terutama tentang sajak-sajaknya sebagai berikut: maka sajak merupakan
penerobosan makna kata-kata, sedangkan intelektual publik menerobos peran dan tanggung
jawab. Sajak menjaditempat konfrontasi antara kata yang terbatas dan makna yang tak
terbatas, sedangkan intelektual publik menghadapkan peran dan tanggung jawab yang
terbatas kepada moralitas yang tak terbatas.
Dengan demikian sajak-sajak Goenawan adalah sebuah ungkapan intelektual yang
mempunyai keberpihakan pada sesuatu yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Sajak-sajak
Goenawan merupakan bebunyian yang betul-betul mempunyai makna yang dalam, sehingga
bukan saja berita yang didapat pembaca tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang
ujung-ujungnya melahirkan pula semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita atau
realitas yang dikabarkan sajak-sajak itu.
***
DAFTAR PUSTAKA
1. Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Indonesia Tera. Magelang
2. Kleiden, Ignas. 2005. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Esai-esai Sastra
dan Budaya. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta
3. Mohamad, Goenawan. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Pustaka Alfabet. Jakarta
4. Mohamad, Goenawan. 2004. Goenawan Mohamad: Selected Poems. Ikrar
Mandriabadi. Jakarta
5. Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
6. Prasetyo, Arif Bagus. 2005. Epifenomenon. Grasindo. Jakarta

11
Lihat Efinomenon. Telaah Sastra Terpilih,2005

Anda mungkin juga menyukai