Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Referat

Konstipasi pada Anak

Pembimbing :

dr. Susilorini, Sp.A

Disusun Oleh :

Stefanie Shelly Haryanto 112015119

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU

KUDUS

Periode 18 Juli s/d 24 September 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan referat berjudul “Konstipasi pada Anak” ini.

Tugas referat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Susilorini, Sp.A selaku dokter pembimbing.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu
Kesehatan Anak.

Kudus, 14 Agustus 2016

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat
menimbulkan masalah sosial maupun psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala
klinis dibanding sebagai suatu penyakit tersendiri. Salah satu kendala dalam mempelajari
konstipasi adalah sulitnya menentukan definisi kelainan ini. Terdapat tiga aspek penting
untuk menentukan adanya konstipasi, yaitu konsistensi tinja, frekuensi defekasi dan temuan
pada fisis. 1

Konstipasi ditemukan pada 3% anak usia prasekolah dan 1-2% anak usia sekolah.
Semasa usia prasekolah, angka kejadian konstipasi pada anak perempuan dan laki-laki
seimbang. Namun pada usia sekolah, konstipasi lebih sering ditemukan pada anak laki-laki.
Dari seluruh kasus anak yang dirujuk dengan konstipasi, 95% kasus merupakan konstipasi
fungsional. 1

Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian
konstipasi. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi
karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai keadaan penurunan nafsu makan
dan gangguan pertumbuhan. 2

Keluhan konstipasi sering menjadi alasan orang tua membawa anaknya berobat.
Keluhan yang berhubungan dengan konstipasi ditemukan pada 3% anak yang berobat ke
pusat layanan primer dan 25% berobat ke spesialis Gastroenterologi. Konstipasi tidak
dipengaruhi oleh status sosial, ekonomi dan jumlah anak. Konstipasi harus dianggap suatu
gejala, bukan diagnosis, keadaan ini merupakan manifestasi berbagai kelainan atau sebagai
akibat sekunder dari suatu pengobatan. 2

3
BAB II

PEMBAHASAN

Defekasi

Defekasi merupakan salah satu aktivitas manusia yang tidak mungkin terlewatkan di
dalam kehidupannya, baik pada anak maupun orang dewasa. Secara definisi, defekasi
merupakan suatu proses evakuasi tinja dari dalam rektum, yaitu bahan yang tidak digunakan
lagi dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh.3

Orang tua tidak jarang membawa anaknya ke dokter dengan keluhan buang air besar
yang terlalu sering atau tidak buang air besar dalam beberapa hari. Diperlukan kehati-hatian
dalam menentukan apakah seorang anak mengalami gangguan defekasi. 3

Fisiologi Defekasi

Proses defekasi melibatkan berbagai organ seperti kolon desenden, sigmoid, rektum,
sfingter ani interna dan eksterna, serta beberapa serabut saraf. Proses defekasi berawal dari
adanya mass movement dari kolon desenden yang mendorong feses ke dalam rektum. Mass
movement timbul lebih kurang 15 menit setelah makan dan hanya terjadi beberapa kali sehari.
Adanya tinja di dalam rektum menyebabkan peregangan rektum dan pendorongan tinja
kearah sfingter ani. Keadaan ini menimbulkan rasa ingin berdefekasi yang selanjutnya terjadi
defekasi. Proses defekasi dapat dicegah oleh kontraksi tonik dari sfingter ani internus dan
eksternus. Sfingter ani internus merupakan kumpulan otot polos sirkular yang terletak pada
anus bagian proksimal, sedangkan sfingter ani eksternus terdiri dari otot lurik yang terletak
pada bagian distal. Kerja kedua otot tersebut diatur oleh sistem saraf somatik. 3

Regangan pada rektum akan menimbulkan rangsangan pada serabut saraf sensoris
rektum. Impuls tersebut akan dihantarkan ke segmen sakrum medulla spinalis ` dan
selanjutnya secara reflex melalui serabut saraf parasimpatis nervus erigentes akan
dihantarkan ke kolon desenden, sigmoid, rektum dan anus. Isyarat serabut saraf parasimpatis
ini berlangsung secara sinergis sehingga menyebabkan gerakan peristaltik usus yang kuat,
mulai dari fleksura lienalis sampai ke anus, dan bermanfaat dalam pengosongan usus besar.

4
Selain itu, impuls aferen pada medula spinalis juga menyebabkan refleks lain, seperti
bernapas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot abdomen (otot kuadratus, rektus
abdominis, oblik eksternus dan internus). Refleks tersebut juga dapat mendorong feses yang
berada di daam usus ke arah distal. Pada saat yang bersamaan dasar pelvis akan terdorong ke
arah distal sehingga mempermudah pengeluaran feses. 3

Pada anak besar, sfingter ani eksternus dapat diatur sehingga proses defekasi dapat
ditunda sampai keadaan yang memungkinkan. Proses tersebut akan menghilang setelah
beberapa menit dan baru akan timbul kembali setelah ada masa feses tambahan yang masuk
ke dalam rektum. Bila keadaan ini berlangsung berulang kali atau akibat sensasi yang
menurun dapat menyebabkan rasa nyeri pada saat defekasi berlangsung yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gangguan defekasi seperti konstipasi. 3

Gambar 1. Fisiologi Defekasi pada Manusia.

Konstipasi

Konstipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “constipare” yang berarti berkerumun.
Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition
(NAPSGAN) 2006, Konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan dalam defekasi yang terjadi
dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat pasien menderita.2

5
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers
mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi
defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Muir menambahkan
bahwa kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak, sedangkan
Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi dan konsistensi
dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajar
lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya. Definisi lain adalah frekuensi
defekasi kurang dari tiga kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang
banyak dan keras. Penulis sendiri berpendapat bahwa konstipasi adalah ketidakmampuan
melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya
frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi
abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).4

Definisi konstipasi adalah kesulitan atau keterlambatan pasase tinja. Kesulitan untuk
buang air besar sering terjadi pada bayi dan anak; biasanya terjadi dalam waktu yang tidak
lama, dan akibat yang ditimbulkannya ringan saja; lebih banyak dapat membantu
memperbaiki keadaan. Konstipasi kronis jarang terjadi biasanya secara sekunder disebabkan
oleh kelainan anatomi atau patofisiologinya abnormal; kadang-kadang sebagai kelanjutan
dari penanganan konstipasi akut yang belum tuntas. Kesukaran buang air yang terus menerus
mengakibatkan tinja menjadi mengeras. Anak usia 1-4 tahun yang mendapat diet rendah serat
dengan frekuensi buang air besar mula-mula 1-2 kali sehari dapat berubah menjadi sekali
dalam 2 hari.5

Epidemiologi

Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak dan 10%-15% kasus yang ditangani ahli
gastroenterology anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90-95%)
konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5-10% yang mempunyai
penyebab organik.4

Pada penelitian di Bagian Anak RS Dr. Dardjito Yogyakarta, didapatkan anak laki-
laki sebanyak 51,16% dan perempuan 48,83%.7

Etiologi dan Patofisiologi

6
Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari sampai tiga kali per
minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada
awalnya lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati
usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari.
Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari. 4

Tabel 1 Frekuensi normal defekasi pada anak4

Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari


0-3 bulan
ASI 5-40 2.9
Formula 5-28 2.0
6-12 bulan 5-28 1.8
1-3 tahun 4-21 1.4
>3 tahun 3-14 1.0

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rectum. Regangan


tersebut menimbulkan reflex relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan
kontraksi sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai
individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus
puborektalis mengadakana relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan
rectum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian
dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rectum, akan
mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus-
rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi
ketiganya. Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari
ileum. Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (reflex
gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptide pada system saraf usus dan koneksi saraf
visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan
frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka tinja
(stool bulking), kurang minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor
penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar

7
akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila
mengkomsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8.5 jam.
Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30
sampai 48 jam. Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan
predisposisi konstipasi, misalnya keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan, atau gaya hidup
bermalas-malasan. Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi
defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan
toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.4
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman
nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu
adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya
menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja
(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rectum dan kemudian kolon sigmoid yang
menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami
reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan
sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal
anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus
berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorbsi air-
tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat dan seterusnya.4
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rectum, kolon sigmoid, dan
kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja)
tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang mendorong orangtua
membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja menyebabkan
menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya merupakan
panggilan atau rangsangan untuk berhajat.Temuan terbanyak pada pemeriksaan manometri
anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi rectum.
Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rectum dapat menjadi normal kembali. Namun
pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rectum tetap abnormal dan hal ini menjelaskan
mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh. Kontraksi puborektalis paradoksal
merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan manometri anorektum pada anak dengan
konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal didefinisikan sebagai kurangnya
kontraksi sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis selama upaya defekasi, bahkan
sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan kontraksi abnormal sfingter ani eksterna dan
muskulus puborektalis selama latihan defekasi (toilet training) juga mengalami kesulitan
8
mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering mengalami kegagalan
terapi. Pada sekitar 5-10% bayi dan anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis,
neurologis, atau penyebab lain.4

Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis

Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi menjadi
kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indicator terpercaya untuk
konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal proses,
yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan
terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan
distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat tinja
yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbaat saluran toilet.
Kecepirit diantara tinja yang keras sering salah diagnosis sebagai diare. Seorang anak yang
mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan,
yang akan mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat
disalahtafsirkan sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh,
menyilangkan kedua kaki, menarik kaki ke kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang
(seperti berdansa) merupakan maneuver menahan tinja dan kadangkala perilaku tersebut
menyerupai kejang. Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan
konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter
ditemukan pada anak dengan konstipasi kronis.4

Gejala konstipasi yang paling sering ditemukan adalah penurunan nafsu makan
(43%), diikuti nyeri perut (34,9%) dan nyeri defekasi (32,6%). Sedangkan gejala klinis yang
jarang ditemui adalah gangguan buang air kecil (4,6%) dan soiling (9,3%).7

Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal,
meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan
bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah
epigastrum. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada
konstipasi.4

9
Tabel 2. Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi4

Abdomen
-Distensi
-Hati dan limpa
-Massa tinja
Inspeksi anus
-Posisi
-Adanya tinja di sekitar anus atau celana
-Eritema sekitar anus
-Skin tags
-Fisura Ani
Colok Dubur
-Kedutan anus
-Tonus anus
-Massa tinja
-Adanya tinja
-Konsistensi
-Adakah masa lain
-Tinja menyemprot bila jari dicabut
-Darah dalam tinja
Punggung dan Spina
-Lesung
-Bekas rambut
Neurologi
-Tonus
-Kekuatan
-Refleks kremaster
-Refleks tendon

Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari
fungsional4

Gagal Tumbuh

10
Distensi Abdomen
Hilangnya lengkung lumbosacral
Pilonidal dimple covered by a tuft hair
Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosacral)
Agenesis sacrum
Bokong datar
Letak anus di depan
Patulous anus
Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen
Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur
Darah dalam tinja
Hilangnya kedutan anus
Hilangnya reflek kremaster
Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun
Hilang atau menurunya fase relaksasi reflex tendon ekstremitas bawah

Gambar 2. Macam-macam Jenis Feses menurut Bentuk.

11
Diagnosis

1. Anamnesis6
- Keluhan kesulitan buang air besar kurang dari 3 hari dalam satu minggu.
- Nyeri dan distensi abdomen menyertai retensi tinja dan menghilang sesudah
defekasi.
- Riwayat tinja yang keras atau tinja yang besar yang mungkin menyumbat saluran
toilet, kecipirit, diantara tinja yang keras (sering dianggap sebagai diare)
- Anoreksia dan berat badan sulit naik
- Upaya menahan tinja (sering disalah tafsir sebagai upaya mengejan untuk
defekasi) dengan menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri
bergantian kedepan dan ke belakang (seperti dansa)
- Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih sering kali berkaitan dengan
konstipasi pada anak
- Riwayat konsumsi obat-obatan (antasida, antikolinergik, antikonvulsan,
antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika, psikotropika)
- Pola diet yang berubah, kurang sayur dan buah, banyak minum susu
- Masalah dalam keluarga, pindah rumah, perubahan aktivitas rutin sehari-hari,
ketersediaan toilet, adanya kemungkinan child abuse
- Umur pada saat awitan gejala timbul, bila gejala timbul sejak lahir, kemungkinan
penyebab anatomis seperti Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala
timbul pada saat usia toilet training (> 2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya
fungsional
- Adanya demam, perut kembung, anoreksia, nausea, vomiting, penurunan berat
badan atau berat badan sulit naik mungkin merupakan gejala gangguan organik.
Diare berdarah pada bayi dengan riwayat konstipasi dapat merupakan indikasi dari
enterokolitis komplikasi dari penyakit Hirschsprung.6

2. Pemeriksaan Fisik6
- Distensi abdomen dengan bising usus normal, meningkat, atau berkurang
- Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah
suprapubis. Pada konstipasi berat massa tinja kadang dapat teraba di daerah
epigastrium.
- Fisura ani

12
- Pemeriksaan colok dubur: dirasakan tonus sfingter, ukuran rektum, jepitan
rektum, apakah teraba tinja yang mengeras di dalam rektum (skibala), adakah
massa lain, apakah terlihat adanya darah dan tinja pada sarung tangan, adakah
tinja menyemprot bila jari dicabut
- Punggung dilihat adakah spina bifida
- Neurologi: dilihat tonus, kekuatan, refleks kremaster, refleks tendon.6

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan


pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya
menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan
mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen
yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering
menggeliat, wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu
normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi.
Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi
dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting
sekali mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua
mengenai hal ini. Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan
apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan
berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih
dari 1 bulan.4

Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah fungsional, fisura ani, infeksi
virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan kelainan yang mengancam
kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme infantile. Penyebab tersering
konstipasi akut adalah infeksi virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan
berkurangnya frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak
cairan melalui saluran nafas dan demam. Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa
konstipasi akut, seperti antasida, antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika,
preparat besi, relaksan otot, narkotika dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus
mengantisipasi konstipasi sebagai efek samping. Beberapa sirup antasida dapat menimbulkan
konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan inkontinensia urin akibat
neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis seperti meningomiokel, adalah
oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek samping yang bermakna pada anak

13
yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang, dan sejumlah penyakit lain. Pada
sebagian kasus, terapi dapat dilanjutkan dengan menangani konstipasi yang terjadi dengan
pelunak tinja atau supositoria dan enema. Kecuali pada anak dengan diet ketogenik untuk
kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi mungkin dapat membantu.4

Tabel 4. Obat yang menyebabkan konstipasi4

Anestesi, analgesic narkotik, opiate


Antikolinergil dan simpatomimetik
Antikonvulsan dan diet ketogenik
Antimotilitas
Antipsikotik, antidepresan
Barium untuk pemeriksaan radiologis
Penghambat kanal kalsium (missal verapamil), antidisritmia
Mineral: alumunium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth
Antiinflamasi non-steroid

Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal ini
terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan
sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini, modifikasi diet
lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula pada bayi atau dari
formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat menimbulkan konstipasi
pada beberapa bayi/anak.4
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis
biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hisrschsprung karena
berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius. Petunjuk penting lain dalam diagnosis
banding adalah umur pada saat awitan gejala timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa
gejala timbul sejak lahir, kemungkinan penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung
harus dipikirkan. Bila awitan gejala timbul pada saat usia toilet training (> 2tahun)
kemungkinan besar penyebabnya fungsional. Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak
tergolong konstipasi fungsional, pada beberapa anak etiologinya mungkin multifactorial. Bila
terapi logis tidak efektif atau bila konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi

14
untuk mencari penyebab lain harus dilakukan. Meski awitan manifestasi berbagai penyebab
konstipasi dapat saling tumpah tindih.4

Tabel 5. Penyebab konstipasi berdasarkan umur4

Neonatus/bayi
 Meconium plug
 Penyakit Hirschsprung
 Fibrosis kistik
 Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforate, stenosis ani, anal band
 Chronic idiopatik intestinal pseudo-obstruction
 Endokrin: hipotiroid
 Alergi susu sapi
 Metabolik: diabetes inspidus, renal tubular asidosis
 Retensi Tinja
 Perubahan diet
Toddler dan umur 2-4 tahun
 Fisura ani, retensi tinja
 Toilet refusal
 Alergi susu sapi
 Penyakit Hirschsprung segmen pendek
 Penyakit saraf: sentral atau muscular dengan hipotoni
 Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord
Usia Sekolah
 Retensi tinja
 Ketersediaan toilet terbatas
 Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
 Preokupasi dengan kegiatan lain
 Tethered chord
Adolesen
 Irritabel bowel syndrome
 Jejas medula spinalis (kecelakaan, trauma)
 Diet

15
 Anoreksia
 Kehamilan
 Laxative Abuse
Segala usia
 Efek samping obat, perubahan diet, paska operasi
 Riwayat operasi anal-rektum
 Retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis
 Perubahan aktivitas fisik, dehidrasi
 Hipotiroid

Komplikasi

Nyeri perut atau rectum dan enkoporesis merupakan komplikasi primer4

Tabel 6. Komplikasi konstipasi kronis pada anak4

Nyeri: anus atau abdomen


Fisura ani
Enkoporesis
Enuresis
Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter
Prolaps rectum
Ulkus soliter
Sindrom stasis
 Bakteri tumbuh lampau
 Fermentasi karbohidrat, maldigesti
 Dekonjugasi asam empedu
 Steatorea

Enuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada
beberapa kasus, enuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan
kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon
distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi
ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan terjadinya
invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolapse rekti setelah defekasi. Prolaps kolon
16
ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa
rectum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir dan berdarah apapun
konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat
menyebabkan protein-losing enteropathy. Sindrom stasis terutama terlihat pada pseudo-
obstruksi. Stigma social yang berkaitan dengan sering kentut dan kecepirit yang
menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan
enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang masalah enkoporesisnya dan
bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena kecepirit.4

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga


mempunyai penyebab organik.

1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat caliber kolon dan massa tinja dalam
kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan
atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rectum oleh
massa tinja
2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus
Hirschsprung dan obstruksi usus.
3. Biopsi hisap rectum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rectum secara
histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung
4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon
5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,
ultrasonografi abdomen, MRI, dll.4

Tatalaksana Konstipasi Fungsional

Tatalaksana meliputi edukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi perilaku,
obat dan konsultasi.

1. Evakuasi Tinja (disimpaction)


Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi region
abdomen bawah, rectum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada

17
pemeriksaan colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada
foto abdomen. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi
tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya
dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna. Bila
menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (paraffin liquid) dengan
dosis 15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan
polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa
nasogastric selama 4 jam per hari. Evakuasi tinja dengan obat per rectum dapat
menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema),
enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan
supositoria/enema gliserin 2-5 ml.4
2. Terapi Rumatan
Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk
mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku
dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan
evakuasi tinja yang sempurna. Anak dianjurkan untuk banyak imun dan
mengkomsumsi karbohidrat dan serat. Buah-buahan seperti papaya, semangka,
bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan
untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune, pear
dan apel, sehingga dapat dikomsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi
defekasi dan melunakkan tinja. Komponen penting dalam terapi rumatan adalah
modifikasi perilaku dan toilet trainng.Segera setelah makan pagi dan malam, anak
dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan
membuat anak makin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15 menit bagi anak untuk
buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan reflek
gastrokolik pada anak. Dianjurkan untuk membuat catatan harian yang mencatat
kejadian defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan
bila anak berhasil melakukan defekasi. Bila dengan cara diatas tidak berhasil,
mungkin perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak.4
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa (larutan
70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian.
Sorbitol (larutan 70%) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral
oil (paraffin liquid) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 1 tahun. Larutan magnesium hidroksida (400mg/5ml) diberikan 1-3
18
ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi dan anak dengan gangguan ginjal. Bila
respon terapi belum memadai, mungkin perlu ditambahkan cisapride dengan dosis 0.2
mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali perhari selama 4-5 minggu. Terapi rumatan mungkin
diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat
dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan karena
karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak
yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.4

19
BAB III

KESIMPULAN

Konstipasi sering ditemukan pada anak-anak, baik yang akut maupun kronis.
Sebagian besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian
besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk
penatalaksanaan anak dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga
penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan
penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan
dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi kepada
orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan
kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak
dapat mengikuti program terapi dengan baik

20
Daftar Pustaka

1. Endyarni B, Syarif BH. Konstipasi fungsional. Sari Pediatri, September 2004, vol 6
(2),75-80.
2. Jurnalis YD, Sarmen S, Sayoeti Y. Konstipasi pada anak. CDK-200, VOL 40 NO 1
TH 2013 hal 27-31
3. Tehuteru ES, Hegar B, Firmansyah A. Pola defekasi pada anak. Sari Pediatri, vol 3,
no 3, desember 2001: 129-133.
4. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Jakarta
2012. h. 201-13
5. Soetjiningsih. Diit pada anak sakit. Jakarta: EGC; 1999. h. 71.
6. Juffrie M, Kadim M, Nenny SM, et al. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI;
2010. h. 175-6.
7. Kurniati D. Faktor risiko konstipasi pada anak. B.I. Ked. Vol. 35, No.4: 219-224,
2003.

21

Anda mungkin juga menyukai