Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi


hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi. Diagnosis
anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria,
thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing. Akupunktur dapat
menangani anemia, yaitu dengan menggunakan titik Zusanli (ST 36). Penelitian
menunjukkan titik Zusanli (ST 36) dapat meningkatkan kadar ferritin serum dan
mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity).

1
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi anemia gravis


Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel
darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia
kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell
anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia.
Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti
tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan
lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak
bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan
jantung-paru (Tramuz & Jereb, 2003).

2. Prevalensi anemia
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati
1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di
Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia

Kelompok Populasi Angka Pravalensi


Anak prasekolah (balita) 30-40%
Anak usia sekolah 23-35%
Wanita dewasa 30-40%
Wanita hamil 50-70%
Laki-laki dewasa 20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%
Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi

Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu


sebanyak 50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa
sebanyak 20-30%. Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan
karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya

2
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995
dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada
geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi
masyarakat. Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO
mencapai angka lebih dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).

A. Patofisiologi Anemia Gravis


a) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga
mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri,
2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal
yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan
dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk
eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat
dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah
anemia. (Rask, 2004).
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita
dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. (Modell & Darlison, 2008)
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis
rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi
berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai
gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin
yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini
sangat tidak stabil dan ketika terurai akan merusak sel darah merah
(hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk mengimbangi proses

3
hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang
sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi
transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009).
c) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat
disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang
ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti
interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya
disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri. (Gillespie,
2003)
d) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak
Bagan. Gangguan keseimbangan rantai globin
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi
yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya
pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam makanan,
meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah yang kronis
(Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada
kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet
dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada
negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya
diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih
(McPhee, 2006).
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan
yang dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat,
2006). Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik
yang disertai gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai
tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari
kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi

4
proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang ganas. Sel
yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan
kegagalan fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga
menimbulkan gejala anemia gravis. (Bakti & Made, 2006)
f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada
dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga
menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh
cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga penderita mengalami anemia (Gandahasuda, 2000).
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat
perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat
cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya
perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi
besi (Wijaya, 2007).
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan
terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein
sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3
protein, dan protein. Defek pada beberapa protein skeletal membran yang
berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua ini secara primer
atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin yaitu protein struktur
(meshwork) yang berkaitan dengan membran internal sel darah merah. Sel
darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki membran yang
tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya luas
permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut
berbentuk sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang
berkurang dan terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell
et al, 2008).
h) Anemia Aplastik

5
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak
adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan
penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit
dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006). Penurunan
sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang
dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala anemia (Chan et al,
2008).
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan
karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk
pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk
pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang
menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya
jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun (Segel
et al, 2011).

C. GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular
(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O 2
hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat
gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin
mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).

a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,
khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala.
Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina
pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan
penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat
berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006)
b) Tanda

6
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda
umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar
hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang
dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia,
nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada
apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada
orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan
dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi,
ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan
anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan
talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat (Lissaeur,
2007).

c) Gambar Darah Tepi


 Sickle cell anemia
Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal (Rask, 2004).
 Malaria

Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit yang


diinvasi P. falciparum (Pusarawati & Tantanular, 2005)
1.A Gambar skematik P. Falciparum bentuk cincin (ring
forms),double dots dan marginal (applique) (Jeffrey & Leach,
1975).
1.B Ring forms
1.C Double dots dan double infection

7
1.D Multiple infection
 Thalassemia Mayor

Gambar 3.
Abnormalitas (bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit
bermacam-macam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis
(ukuran eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit
berinti. (Hoffbrand et al, 2005)

 Anemia defisiensi besi

Gambar 4. Anisokromasia. Adanya peningkatan variabilitas warna dari


hipokrom dan normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang
(Wickramasinghe & Jones, 1992 dalam Renova, 2003)

 Leukemia

8
Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah limfosit dan
neutrofil yang lebih banyak dari jumlah normal (Simamora, 2009)
 Sferositosis Herediter

Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah eritrosit yang


berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit normal
(Sari & Ismail, 2009).

D. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia
dengan berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
 FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
 CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
 Fereous Sulfate
 Carbonyl Iron

9
 Iron Dextran Complex
 Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif
dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada
penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.
Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi
fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan
hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang
adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan
manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein
berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena
itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan
yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)

b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari
tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan
suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate

10
selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin
sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi
38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu
absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya
status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan
untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan
membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut
dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan
vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat
infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin
kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di
tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis
(Subagio HW, 2008).
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-
sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya
susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti
papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel. (Michael J et al,
2008)
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka
kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia
semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin C dapat
meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C
juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)

11
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya
buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran
hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi

Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai


faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang
disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat
besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi
tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut
oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh (Provan,
2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-
kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks heme-
protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi
yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,
2009).
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-
aminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber
makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum,
dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau.

Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan


DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan
penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast.
Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti
eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya
kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast)

12
(Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg
(Matizih, 2007).

6) Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan
bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari
1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu.
Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-
masing terikat pada cobal (Robert & Brown, 2003).
Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua
reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk
enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase
membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-
CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis
hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi
vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi
succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi
methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson, 2005).
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan
sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan
cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang
bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi
vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak
normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi
anemia (Carmel, 2006).
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari,
pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun

13
sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui
memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih, 2004).
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia
dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi
dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan
(misalnya anemia pernisiosa).

E. KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat
berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada
bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
pada perilaku dan fungsi intelektual anak (Lissauer, 2007). Anemia gravis
akibat defisiensi besi menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada
bayi dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi
telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada
hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku dan fungsi
neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan
psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang
diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ
(Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan
dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia
defisiensi besi (WHO, 2001).
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan
myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung

14
baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami
kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.
Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini
terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi
dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi
protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak
dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin
luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL
mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah
menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac
output dan distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu
konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer, 2003).
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan
hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin.
Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi
eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen
extraction. Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran
darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done & Foley, 2002)
Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain
terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik,
peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi
ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan
faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung

15
menyebabkan pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. (Bridges,
2008)
Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi
terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada
pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada
pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat,
bisa terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan
dapat terjadi murmur sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung
akan meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan
miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan
memperbesar stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling. (Brannon,
1945)

Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya
terjadi peningkatan tekanan dinding jantung yang mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi
yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric
hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi
jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung. (Zilberman, 2007)

3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik
lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada
sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang
diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen
dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen
fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran
kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan,
PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam

16
kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar
penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004)
Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi
jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang.
Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah
yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka Pa CO2 di dalam darah
vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada yang
seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004)
E. PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan
peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan
faktor penyerta lainnya.

 Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus


Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral.
Pasien dengan penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%.
Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis adalah lebih
dari 70%. (Gultom, 2003)
 Anemia akibat Ruptur Aorta
Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat
kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 2 minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki
prognosis yang buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah
yang segara pun masih memiliki tingakt kematian tinggi, seringkali lebih
dari 80%. (Maakaron, 2013)
 Sickle cell anemia
Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena
mereka cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan
heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya
mengalami keadaan kritis pada kondisi yang ekstrim. (Young et al, 2008)
 Thalasemia

17
Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia
mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan thalasemia
lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa tahun
terakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia, terutama
dengan terapi khelasi zat besi, yang memungkinkan pasien thalassemia
untuk hidup sehat sampai dewasa. (Stefano et al, 2004)
 Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan produksi
RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang lainnya tidak
merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki prognosis buruk.
Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi
nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12, asam folat atau zat
besi mengarah pada penyembuhan anemia jika etiologi yang tepat
ditetapkan. Obat-obatan bekerja sebagai antagonis antifolic atau inhibitor
sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang sama.
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat
merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun lebih
sering tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di sumsum
tulang, mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di mitokondria
untuk sintesis heme (Pignatti, 2004).
Pasien tertentu dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia refrakter
bertahun-tahun, namun beberapa kelompok akhirnya berkembang menjadi
leukimia myelogenous akut (Young et al, 2008).
 Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia karena
chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika kemungkinan
etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau anti-insektisida.
Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa pengobatan
tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis. Tingkat kematian
untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi
sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif (Young, 2006).
 Sferosidosis Herediter

18
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat drastic,
memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk mempertahankan
tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher, 2008).

19
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States: blacks
at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX;
2004.p. 496 – 499.
Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149–154.

Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:
Mc Graw-Hill
Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,
Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke-
10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial or
not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35.

20
Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases cerebral
oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid hemorrhage. Stroke.
Sep 2009;40(9):3039-44.
Fleischman G. 2006. Healthcare solution with acupuncture. Bloomington: iUniverse

21

Anda mungkin juga menyukai