Anda di halaman 1dari 7

Teori

ANALISIS SWOT

(Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, Ancaman)


Analisa SWOT (SWOT Analysis) adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan

untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses),

Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan

dari kegiatan proyek/kegiatan usaha atau institusi/lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk

keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan

internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai

tujuan.

Walaupun terdapat beberapa metode penentuan faktor SWOT, secara umum terdapat

keseragaman bahwa penentuan tersebut akan tergantung dari faktor lingkungan yang berada

di luar institusi. Faktor lingkungan eksternal mendapatkan prioritas lebih dalam penentuan

strategi karena pada umumnya faktor-faktor ini berada di luar kendali institusi (exogen)

sementara faktor internal merupakan faktor-faktor yang lebih bisa dikendalikan.

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan-kelemahan peluang

dan ancaman.

 Kekuatan adalah faktor internal yang ada di dalam institusi yang bisa digunakan untuk

menggerakkan institusi ke depan. Suatu kekuatan / strenghth (distinctive competence) hanya

akan menjadi competitive advantage bagi suatu institusi apabila kekuatan tersebut terkait

dengan lingkungan sekitarnya, misalnya apakah kekuatan itu dibutuhkan atau bisa

mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Jika pada instutusi lain juga terdapat kekuatan yang

dan institusi tersebut memiliki core competence yang sama, maka kekuatan harus diukur dari

bagaimana kekuatan relatif suatu institusi dibandingkan dengan institusi yang lain. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak semua kekuatan yang dimiliki institusi harus dipaksa untuk
dikembangkan karena adakalanya kekuatan itu tidak terlalu penting jika dilihat dari

lingkungan yang lebih luas. Hal-hal yang menjadi opposite dari kekuatan adalah kelemahan.

Sehingga sama dengan kekuatan, tidak semua kelemahan dari institusi harus dipaksa untuk

diperbaiki terutama untuk hal-hal yang tidak berpengaruh pada lingkungan sekitar.

Weakness (kelemahan)
Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis
yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh
organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
 Opportunities (peluang)
Merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang
terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
 Threats (ancaman)
Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu
organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.

Akdon. 2007. Strategic Management For Educational Management (


Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan ). Bandung : Alfabeta.

ANALISIS SWOT
Silver Queen, Coklat Dari Indonesia

Tentang cokelat, mestinya produk dari negara Eropa jagonya. Sebab, masyarakatnya
memang memiliki tradisi membuat cokelat. Namun, tidak demikian di Indonesia. Silver
Queen (SQ) namanya berbau asing, tapi asli Bandung, Jawa Barat - justru paling menonjol di
antara merek-merek cokelat batangan ternama lain yang beredar pasaran. Menurut data AC
Nielsen, SQ berhasil mengalahkan produk-produk asing, seperti Dove, M&M, Lotte, Kit-Kat,
Toblerone ataupun Cadbury. Wow!

Padahal, di negara-negara seperti Australia, Malaysia, India dan Selandia Baru,


Cadbury, raksasa asal Inggris, selalu jadi jawara. Disusul M&M dari Australia yang menonjol
di Singapura, serta Dove yang memimpin pasar Cina. SQ? Jangankan dipilih, barangkali
dikenal pun tidak. Namun, terbukti SQ menjadi raja di kandangnya sendiri. Saat ini kami
dalam posisi diserang para pesaing global.” ungkap Ridwan C. Kidjo, Manajer Bisnis PT
Ceres, produsen SQ.
Menghadapi persaingan yang ketat itu, menurut Ridwan, pihaknya mencoba konsisten
memberi keunggulan kualitas produk dan tetap mempertahankan citarasa yang sudah diterima
pecinta cokelat di Indonesia. Diakuinya, hal ini tak mudah, dan Ceres harus melalui proses
belajar terus-menerus. Kemampuan ini memberikan keuntungan bagi Silver Queen dalam
bersaing dengan pemain global,? tandasnya.

Soal nama merek, diakuinya, memang termasuk elemen sukses yang tak bisa
dilupakan begitu saja. Pemakaian kata dalam bahasa Inggris, menurut Ridwan, tak lepas dari
cerita awal saat penetrasi. Waktu itu, tahun 1950-1960-an, cokelat masih merupakan produk
premium yang hanya dikenal di Barat. Cokelat bukan merupakan produk daerah di Indonesia,
melainkan makanan internasional. Sebab itu, sebagai pemain lokal pihaknya juga berpikir
membuat merek yang sekurang-kurangnya mencitrakan kualitas dan nama internasional.Ini
jalan satu-satunya yang dipilih.

Dengan memakai nama kebarat-baratan itu, menurut Jahja B. Soenarjo, CEO


Direxion Consulting, banyak sisi positif yang didapatkan SQ. Selain menciptakan persepsi
produk berkualitas dan memudahkan ketika masuk pasar global, hal ini juga pas dengan
segmen demografis yang dibidik, yakni anak-anak dan remaja. Apalagi, Jahja melanjutkan,
ketersediaan produk dan strategi harga SQ tepat.

Salah satu kunci kemenangan SQ, produsennya paham siapa pasar yang dibidik dan
tahu bagaimana mendekati mereka. Dari observasi SWA, SQ mudah didapatkan di mana saja,
dari toko besar sampai warung kecil. Kami memang sudah mendistribusikan Silver Queen
sampai ke kota-kota kecil” kata Ridwan yang menggunakan pola multidistributor untuk
penyebaran produknya. Untuk penyebaran di sejumlah daerah, Ceres menggandeng
distributor. Misalnya, di Aceh dan Medan, PT Kota Mas Permai; Palembang, Sinar Jaya;
Jawa Timur, PD Savoury; Sulawesi dan Maluku, PT Fajar Lestari Abadi; Bandung, PT
Sumber Utama Priangan dan PT Trijaya Makmur Lestari; Semarang, PT Intan Alam Indah;
dan Bali, PT Nirwana Lestari.

Kekuatan lain SQ adalah program komunikasinya. Produk ini kelihatan terus dijaga persepsi
dan citranya di hadapan konsumen dengan program-program edukasi yang konsisten. Lebih
dari itu, edukasi yang dilakukan tetap sesuai dengan positioning-nya sebagai cokelat yang
bertema 'santai’ serta dalam koridor target pasarnya, remaja. Kami menggunakan suasana
santai untuk menyampaikan pesan bahwa 'santai mereka belum lengkap tanpa Silver Queen’
lanjut Ridwan.

Dari tahun ke tahun SQ tak pernah absen beriklan, khususnya di TV, untuk menjaga
awareness dan loyalitas konsumen. Iklannya dari tahun ke tahun selalu ganti, dengan latar
berbeda-beda, tapi tetap bertema remaja. Belanja iklan per tahun tak pernah kurang dari Rp 5
miliar. Yang lebih menarik, manajemen Ceres cukup jeli melihat ikon-ikon remaja yang
dijadikan simbol untuk mendongkrak pamor SQ. Misalnya, iklan terbarunya yang berbasis
jingle. Melodi jingle itu mirip lagu yang sedang ngetop di Amerika Serikat dan dilantunkan
superstar Sheryl Crow, Soak Up The Sun, sehingga siapa pun mudah mengingat dan
mengikutinya.

Yang pasti, dengan komunikasi yang terus menampilkan tema remaja, citra
positioning SQ sebagai merek remaja bisa dipertahankan. Apalagi, hal ini juga ditambah
program-program komunikasi lain. Misalnya, program promosi yang bertujuan meningkatkan
penjualan secara langsung, seperti undian berhadiah mobil. Tak heran, Jahja menilai, sulit
bagi pemain lain menggoyang SQ. Apalagi, guna membentengi serbuan pesaing lokal, seperti
Mayora dan Dolphin, kini Ceres juga mengembangkan second brand, Fonnut. (Sudarmadi .
2003. Silver Queen: Tetap Menonjol di Antara Merek-merek Global. SWA Majalah.
http://202.59.162.82/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=1332)

Kelemahan Silver queen


Kelemahan Silver Quen adalah produk ini terlalu banyak kacangnya sehingga
mengurangi jumlah komposisi coklat yang ada dalam kemasannya. Selain itu, dari segi
harga, coklat ini masih belum bisa menjangkau masyarakat menengah kebawah. Selain itu,
dari segi kemasan dirasa juga kurang menarik. Meski dari segi nama brand sudah menarik,
yaitu Silver Quenn. Nama ini sudah menjual dan bisa diterima dihati konsumen.

Peluang Silver queen


Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat
cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat
seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat
itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan
cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat
adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya
sudah dibuat dengan tepat atau belum.

Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan
peluang bisnis cokelat batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan
menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab
belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim
tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan
cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang
yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya
diisi Chuang dengan mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-
cara moderen membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna.

Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia
tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga
menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada.
Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian
riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda,
belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak
1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek
itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van
Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat
lezat.

Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan
membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga
mengembangkan peluang bisnis berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer
Briko, Top, dan biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena
sifatnya yang tertutup, namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak
segan-segan turun langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang
membuat ia sangat dicintai oleh anak buahnya.

Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William
Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan
cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat
di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi
armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia
juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001.

John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan
Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai peluang bisnis
hulu kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao.
Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai
salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak
saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.”
Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat
memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang
dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.

Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C.
Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :mati dan
mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun,
bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun.
Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.

Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan
operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.

Ancaman Silver queen


Ancaman yang dihadapi oleh silver quenn tidak hanya dari dalam saja, terutama dari luar.
Silver Quenn sebgai produk dalam negeri harus menghadapi ancaman dari perusahaan asing
misalnya saja Nestle dengan produknya yaitu kitkat. Adalagi pesaing besar bagi Silver Quenn
yaitu Cadburry. Cadburry, cokelat yang berasal dari inggris ini juga banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Selain dari perusahaan asing, ada juga perusahaan dalam negeri yang bisa
menjadi ancaman bagi perusahaan Silver Quenn. Meskipun mendapatkan ancaman dari
perusahaan-perusahaan tersebut, Silver Quenn tetap bisa menjaga eksistensinya sebgai
leader cokelat batang di Indonesia.

Dibawah ini Terserah mau di pake apa tidak


CERES

KISAH DAN PENJELASANNYA

Kisah Ceres dimulai puluhan tahun lalu, saat tentara Jepang datang menduduki Indonesia di
tahun 1942. Ketika itu ribuan orang Belanda yang tak mau ditawan Jepang lari tunggang
langgang, tak terkecuali seorang Belanda pemilik pabrik cokelat bernama NV Ceres yang
menjual pabriknya dengan diskon besar kepada MC Chuang, orang Indonesia keturunan
Tionghoa.[1] Artikel ini menceritakan bagaimana Chuang dan keluarganya membangun
sebuah pabrik cokelat rumahan menjadi perusahaan cokelat terbesar ketiga di dunia, dan
terbesar di Asia.

Setelah Indonesia merdeka, Chuang mengganti nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri
Ceres. Chuang cukup beruntung karena di awal usahanya, ia mendapatkan order besar saat
konferensi Asia Afrika diadakan tahun 1955 di Bandung. Karena order ini pula ia
memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat
cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat
seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat
itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan
cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat
adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya
sudah dibuat dengan tepat atau belum.

Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan cokelat
batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan menjual cokelat dalam
bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab belum ada teknologi
untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang
panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang
mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya
justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya diisi Chuang dengan
mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-cara moderen
membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna.

Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia
tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga
menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada.
Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian
riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda,
belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak
1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek
itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van
Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat
lezat.

Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan
membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga
mengembangkan berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, dan
biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena sifatnya yang tertutup,
namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak segan-segan turun
langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang membuat ia sangat dicintai
oleh anak buahnya.

Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William
Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan
cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat
di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi
armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia
juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001.

John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan
Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai bisnis hulu
kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao.
Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai
salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak
saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.”
Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat
memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang
dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.[2] Di keluarga Chuang,
pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah
jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :

mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40
tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah
pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.

Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan
operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.[2]

Sayangnya Ceres kini sudah menjadi tamu di negerinya sendiri. Sejak krisis moneter tahun
1997, John dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia menjadi perusahaan
penanaman modal asing (PMA) dan mengalihkan pusat usahanya ke Singapura. Mereka juga
sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai pengolahan kakao utama, setelah memiliki
pabrik di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina.

Anda mungkin juga menyukai