Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah gagasan yang

menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak

pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi

keuangannya saja (Daniri, 2008). Kesadaran atas pentingnya CSR dilandasi

pemikiran bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomi dan legal

kepada pemegang saham (shareholder), tapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak

lain yang berkepentingan (stakeholder). CSR menunjukkan bahwa tanggung jawab

perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu tanggung jawab perusahaan

pada aspek sosial, lingkungan, dan keuangan (Rustiarini, 2011).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki dominasi

kepemilikan saham oleh keluarga pada perusahaannya. Menurut data Indonesian Institute for

Corporate Directorship (IICD, 2016), lebih dari 95% bisnis di Indonesia merupakan

perusahaan yang dimiliki maupun dikendalikan oleh keluarga. Terdapat perbedaan

kebijakan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia antara perusahaan

keluarga dan non keluarga yang memberikan titik terang baru mengenai masalah

CSR, khususnya konflik agensi tipe I dan tipe II di perusahaan keluarga.

Friedman (1970) mengatakan bahwa setiap individu umumnya menghabiskan

uang pribadinya untuk keperluan pribadinya, bergitupun dengan manajer yang


ditunjuk menjalankan perusahaan keluarga, maka tugasnya adalah menggunakan

uang perusahaan untuk melakukan investasi yang dapat memaksimalkan nilai

shareholder. Perusahaan yang dijalankan oleh manajer ini, memunculkan pertanyaan

mengenai investasi yang dilakukan oleh perusahaan dalam aktivitas CSR yang

meningkatkan nilai atau tidak. Fernando, et al (2017) melakukan penelitian mengenai

investasi sosial perusahaan yang menciptakan nilai bagi pemegang saham. Hasil

penelitian Fernando, et al (2017) menunjukkan bahwa perusahaan lebih melakukan

pengeluaran dibidang lingkungan, dibandingkan pengeluaran dibidang sosial yang

dinilai tidak memberikan pengaruh bagi peningkatan nilai shareholder.

Penemuan yang dilakukan oleh Fernando, et al (2017) tidak menemukan

perbedaan antara aktivitas CSR yang menguntungkan bagi shareholder dan CSR

yang membentuk nilai bagi shareholder. Penelitian ini telah diteliti dengan

menggunakan analisis cross section dan penagturan eksperimental dengan

menggunakan perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga dengan kepemilikaan

tunggal jika dibandingkan dengan non keluarga, masyarakat umunya lebih

mengharapkan pengeluaran mereka lebih banyak dibidang sosial. Pengerluaran sosial

ini memberikan manfaat non ekonomi bagi perusahaan keluarga, tetapi tidak bagi

shareholder, sehingga perusahaan keluarga lebih fokus terhadap keuntungan finansial

mereka dibandingkan dengan non keluarga karena saham besar yang tidak diwarisi

oleh perusahaan non keluarga yang menjadikan sedikit pengeluaran sosial yang tidak

memberikan nilai bagi shareholder.


Mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Fernando, et al (2017), penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan indeks KLD (Kinder,Lydenberg and Domini)

untuk menunjukkan nilai investasi CSR dengan menggunakan ratting environment.

Pada umumnya pengeluaran dari investasi lingkungan lebih memunculkan

konsekuensi keuangan jika dibandingkan dengan investasi sosial lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa kinerja lingkungan merupakan bagian investasi yang paling

terlihat dari CSR. KLD menyediakan satu set indikator variabel binary yang

menunjukkan kekuatan (strength) dan konsentrasi (concern) lingkungan. Pada

beberapa perusahaan, KLD memiliki lima sub indikator untuk strength dan tujuh sub

indikator untuk concern. Sub indikator strength ini menggambarkan aspek keramahan

lingkungan dan concern menggambarkan aspek yang berkaitan dengan risiko

lingkungan. KLD ini memberikan nilai satu jika perusahaan memenuhi kategori sub

indikator yang ditentukan dan nilai nol jika tidak memenuhi.

Kruger (2015) menunjukkan hasil negatif antara perusahaan keluarga dengan

environmental strength. Hasilnya signifikan secara ekonomi, dimana skor

environmental strength nilainya 21% lebih rendah dari sampel environmental

(strength dan concern). Penemuan ini menjelaskan perusahaan keluarga lebih respon

terhadap shareholder dibandingkan non keluarga. Penemuan ini dari segi

environmental concerns menunjukkan lemahnya respon shareholder dalam

mengurangi risiko lingkungan. Analisis univariate menemukan jika perusahaan

keluarga memiliki nilai signifikan rendah terhadap environmental strength dan


concerns yang memberikan level yang tinggi antara environmental strength dan

concerns dan memberikan implikasi bahwa perusahaan keluarga lebih konsisten

untuk memaksimalkan kekayaan shareholder.

Selanjutnya, peneliti menginvestigasikan dampak hubungan antara

environmental strength dan concern terhadap perusahaan keluarga. Temuan mengenai

adanya perusahaan keluarga yang memiliki CEO berasal dari pendiri atau

keturunannya, memiliki environmental strength yang lebih rendah jika dibandingkan

dengan non keluarga. Perusahaan yang memiliki kontrol keluarga didalamnya

menurunkan environmental strength dibandingkankan dengan non keluarga. Siapapun

CEOnya, tidak terdapat perbedaan antara keluarga dan non keluarga dari segi

environmental concerns. Sebagai pengganti dari family dummy, kita melihat

bagaimana hubungan enviroementak strength dengan menggunakan derajat kontrol

keluarga.

Reputasi keluarga merupakan utilitas non ekonomi untuk perusahaan

keluarga, peneliti juga mencari tahu apakah reputasi berpengaruh terhadap kinerja

lingkungan di perusahaan keluarga. Proksi yang digunakan untuk melihat interaksi

antara firm dummy dan indikator dummy dengan menggunakan nama atau porsi

kepemilikan dari nama perusahaan tersebut. Kita menemukan bahwa reputasi

perusahaan tidak memiliki dampak pada environmental strength tapi memiliki

pengaruh bagi environmental concern.


Krisis keuagan memberikan dampak bagi kinerja lingkungan, dimana

perusahaan keluarga memiliki pengaruh yang rendah terhadap environmental strength

dan menariknya selama krisis perusahaan keluarga juga memberikan pengaruh yang

lebih rendah daripada non keluarga.

Penelitian ini memberikan kotribusi mengenai kinerja CSR dan perusahaan

keluarga. Ghoul (2016) melihat kinerja CSR di sembilan negara asia timur

menggunakan ASSET4 database dan menemukan perusahaan keluarga memiliki

kinerja CSR yang rendah diantara CSR lingkungan dan CSR sosial. Borrone (2010)

menunjukkan sampel dari negara Amerika Serikat dimana perusahaan keluarga

memiliki level emisi toxic yang rendah, sementara Dyer dan Whetten (2006)

menunjukkan perusahaan keluarga memiliki sosial concern dibandingkan dengan

perusahaan non keluarga. Block and Wagner (2014) menunjukkan bahwa perusahaan

keluarga bekerja lebih baik dibandingkan dengan perusahaan non keluarga di

beberapa dimensi CSR. Fernando, et al (2017) menunjukkan aktivitas CSR sangat

konsisten dengan kepentingan shareholder, sementara aktivitas CSR yang lain

antitethical terhadap kepentingan pemegang saham.

Penelitian terdahulu searah dengan tujuan penelitian ini yang memberikan

kontribusi dengan menunjukkan kinerja CSR, perusahaan keluarga lebih bertanggung

jawab kepada pemegang saham dibandingkan dengan perusahaan non keluarga.

Kepentingan shareholder dan kepentingan sosial disatukan, perusahaan keluarga

bekerja lebih baik dibandingkan dengan perusahaan non keluarga dalam melindungi
kepentingan shareholder. Penemuan ini memberikan studi mengenai corporate

governance diperusahaan keluarga yang ditunjukkan dari perusahaan keluarga yang

lebih responsible jika dibandingkan dengan non keluarga. Ketika membahas lebih

detail mengenai CSR, penelitian ini memberikan penjelasan bahwa perusahaan

keluarga lebih konsisten terhadap kepentingan shareholder yang didukung dengan

argumen konflik agensi tipe I karena perusahaan keluarga meluruskan aktivitas CSR

dengan memaksimal kekayaan shareholder.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang dambil adalah :

1. Apakah Kepemilikan keluarga dan Corporate Governance berpengaruh

terhadap Corporate Social Responsibility dari dimensi environment strength?

2. Apakah Kepemilikan keluarga dan Corporate Governance berpengaruh

terhadap Corporate Social Responsibility dari dimensi environment concerns?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah disebutkan, tujuan penelitian yang dapat

diambil adalah :

1. Untuk menguji pengaruh Kepemilikan keluarga dan Corporate Governance

terhadap Corporate Social Responsibility dari dimensi enivronment strength

2. Untuk menguji pengaruh Kepemilikan keluarga Corporate Governance

terhadap Corportae Social Responsibility dari dimensi environment concerns


1.4 Manfaat Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, manfaat yang ingin diberikan oleh

peneliti adalah :

1. Perusahaan

Memberikan pengetahuan bagi perusahaan terkait pengaruh corporate

governance terhadap corporate social performance. Sehingga perusahaan

memiliki motivasi untuk menghasilkan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan

yang baik dan juga diharapkan akan memberikan dampak positif untuk seluruh

pemangku kepentingan perusahaan serta perusahaan itu sendiri.

2 Regulator

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran untuk perumusaan

regulasi yang dilakukan oleh para regulator sehingga tercipta regulasi yang tepat

untuk mendukung meningkatnya corporate social responsibility.

3 Pihak lain

Memberikan informasi tambahan untuk digunakan sebagai bahan masukan

berbagai pihak yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dan memberikan

informasi bagi masyarakat umum tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap

keputusan investasi perusahaan

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika dari penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah yang diangkat

dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

penelitian.
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tetang landasan teori, hipotesis penelitian, kerangka

berpikirm dan model analisis yang digunakan dalam penelitian.


BAB 3 : METODELOGI PENELITIAN
Bab ini menejlaskan tentang pendekatan penelitian, identifikasi variabelm

definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, prosedur penentuan sampel,

prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian.
BAB 4 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum objek penelitian, analisis

deskriptif, analisis model dan pengujian hipotesis, dan pembahasan dari hasil

penelitian.
BAB 5 : SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan tentang simpulan , implikasi penelitian, serta

keterbatasan dan saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Agency


Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agency sebagai suatu

kontrak dibawah satu atau lebih (principal) yang melibatkan orang lain (agent) untuk

melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melibatkan pendelegasian

wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Berle dan Means (1932)

menyatakan bahwa dalam teori agensi yang memiliki saham sepenuhnya adalah

pemilik (pemegang saham), dan manajer diminta untuk memaksimalkan tingkat

pengembalian pemegang saham. Baik principal maupun agent diasumsikan sebagai

orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi.

Eisendhart (1989) mengemukakan beberapa teori yang melandasi teori

agensi.Teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga jenis asumsi yaitu asumsi tentang

sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia

menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan dirinya sendiri (self

interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan tidak menyukai

resiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian menekankan bahwa adanya konflik

antar anggota organisasi dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent.

Sedangkan asumsi informasi menekankan bahwa informasi sebagai barang komoditi

yang bisa diperjualbelikan. Jadi yang dimaksud dengan teori keagenan yaitu

membahas tentang hubungan keagenan antara principal dan agent.

Konflik kepentingan antara agent dan principal dalam mencapai kemakmuran

yang dikehendakinya disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Masalah

keagenan tersebut dapat terjadi akibat adanya asimetri informasi antara pemilik dan
manajer. Asimetri informasi ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal

perusahaan yang relatif lebih banyak dan mendapatkan informasi relatif lebih cepat

dibanding pihak eksternal, seperti investor dan kreditor.

2.1.2 Teori Stakeholder

Freeman (1994) mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai sebuah

kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh

hasil tujuan perusahaan.

Teori pemangku kepentingan mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas

yang hanya beroperasi untuk kepetingan sendiri namun harus memberikan manfaat

kepada pemangku kepentingannya. Fokus dari teori pemangku kepentingan

diartikulasikan kedalam dua inti (Freeman 1994). Pertama apa tujuan dari

perusahaan? hal ini yang mendorong manajer untuk mengartikulasikan dibuat

perusahaan dan membawanya bersama dengan kepentingan pemangku kepentingan.

Perusahaan didorong kedepan untuk menghasilkan kinerja yang baik melalui

penetapan tujuan perusahaan dan metrik pasar keuangan (Freeman 2004). Inti yang

kedua adalah apa yang harus manajemen lakukan kepada para pemangku

kepentingannya? Hal ini memaksa manajer untuk mengartikulasikan bagaimana

melakukan bisnis yang mereka inginkan dan tetap menjaga hubungan dengan

pemangku kepentingannya dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan (Freeman ,

2004).
Dua inti dari teori pemangku kepentingan tersebut menyimpulkan bahwa

keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan

pemangku kepentingan kepada perusahaan (Ghozali dan Chariri, 2007). Oleh karena

itu perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial kepada para pemangku

kepentingannya disamping usaha perusahaan untuk memaksimalkan laba. Hal ini

sejalan dengan penelitian Roberts (1992) dalam Anggraini (2006) yang menyatakan

bahwa teori pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu stakeholder power, strategic

posture, dan kinerja ekonomi mempunyai hubungan dengan pengungkapan tanggung

jawab sosial. Pemangku kepentingan itu sendiri terdiri dari stockholders, creditors,

employees, customers, suppliers, public interest groups,dan govermental bodies

(Roberts (1992) dalam Anggarini (2006)).

2.1.3 Teori Corporate Governance

Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development),

corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan

mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak

dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti

dewan direksi, para manajer, para pemegang saham dan pemangku kepentingan

lainnya.

Terdapat beberapa teori yang relevan dengan corporate governance, di

antaranya adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory,


merupakan teori yang dibangun berdasarkan asumsi filosofis mengenai sifat manusia

yang pada hakikatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung

jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Bila asumsi stewardship

theory ini diterapkan dalam manajemen perusahaan, maka stewardship theory

memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak

sebaikbaiknya bagi kepentingan publik maupun para pemegang saham (shareholders).

Menurut agency theory, perusahaan yang berbentuk perseroan biasanya telah

dilakukan pemisahan antara pemilik perusahaan dengan manajer perusahaan. Pemilik

atau pemegang saham adalah pihak yang menyertakan modal ke dalam perusahaan,

sedangkan manajer adalah pihak yang ditunjuk pemilik dan diberi kewenangan

mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan, dengan harapan manajemen

bertindak sesuai kepentingan pemilik. Karena adanya pemisahan fungsi tersebut,

tidak bisa dihindari adanya kemungkinan perbedaan kepentingan. Para manajer dapat

bertindak untuk kepentingannya sendiri dalam mengelola perusahaan dan

mengabaikan kepentingan pemilik perusahaan. Agar pihak manajemen bertindak

sejalan dengan kepentingan pemilik perusahaan, maka dapat dilakukan upaya dengan

memberikan insentif yang memadai atau dapat juga dilakukan monitoring dengan

mengaudit laporan keuangan perusahaan secara periodik, penunjukan komisaris

independen dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pihak manajemen dalam

mengelola perusahaan dilakukan dengan bertanggungjawab dan transparan.

2.1.3.1 Prinsip dasar corporate governance


Terdapat beberapa prinsip dalam implementassi good corporate governance

(GCG). Menurut pedoman umum good corporate governance Indonesia, terdapat lima

prinsip utama yang terkandung dalam good corporate governance yaitu transparency,

accountability, responsibility, independency serta fairness yang akan dijabarkan

sebagai berikut :

1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam

melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam

mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan,

termasuk tentang kegiatan CSR .


2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan

pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan

terlaksana secara efektif.


3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan

perusahaan dengan prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan

yang berlaku.
4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan di mana perusahaan

dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau

tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.


5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di

dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian

serta peraturan perundangan yang berlaku.

2.1.4 Teori Struktur Kepemilikan


Menurut Sugiarto (2009) struktur kepemilikan adalah struktur kepemilikan

saham, yaitu perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insider)

dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. Dapat dikatakan pula struktur

kepemilikan saham adalah proporsi kepemilikan institusional dan kepemilikan

manajemen dalam kepemilikan saham perusahaan. Dalam menjalankan kegiatannya

suatu perusahaan diwakili oleh direksi (agents) yang ditunjuk oleh pemegang saham

(principals).

Menurut I Made Sudana (2011) menyatakan struktur kepemilikan adalah

pemisahan antara pemilik perusahaan dan manajer perusahaan. Pemilik atau

pemegang saham adalah pihak yang menyertakan modal kedalam perusahaan,

sedangkan manajer adalah pihak yang ditunjuk pemilik dan diberi kewengangan

mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan, dengan harapan manajer

bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Semakin besar sebuah perusahaan

maka, pemilik perusahaan tidak mungkin untuk melaksanakan seluruh kegiatan

pengelolaan perusahaan tersebut sendirian. Pemilik perusahaan akan menunjuk agen-

agen profesional yang telah terlebih dahulu dipilih melalui seleksi yang kemudian

akan melaksanakan tugasnya untuk mengelola perusahaan yang pada akhirnya

dituntut untuk dapat memaksimalkan nilai perusahaan. Namun dalam proses

maksimalisasi nilai perusahaan tersebut pemilik juga ikut berperan yaitu dengan

melakukan kontrol terhadap manajemennya. Hal ini dilakukan agar manajemen


perusahaan tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapa merugikan pemilik

perusahaan dikemudian hari

2.1.5 Corporate Social Responsibility

Corporate social responsibility (CSR) mulai menjadi perbincangan dan

perhatian sejak abad ke-19. Penerapan CSR juga semakin dituntut oleh pihak

masyarakat dan stakeholders dalam hal value, norma, dan pertanggungjawaban secara

etis serta sosial yang tidak terlindungi oleh hukum (Steyn dan Nieman, 2011). Oleh

sebab itu perusahaan harus berperan aktif dalam menunjang kesejahteraan masyarakat

luas. Perusahaan telah mengambil keuntungan atau manfaat atas masyarakat dan

lingkungan yang tidak jarang proses pengambilan manfaat dari lingkungan tersebut

mengakibatkan kerusakan lingkungan atau dampak sosial lainnya yang sifatnya

merugikan. Hal ini memicu perusahaan selayaknya memperhatikan timbal balik

kepada masyarakat dan lingkungan. Secara sederhana dapat dikatakan CSR

merupakan hubungan dua arah antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan.

Caroll (1991) membagi Tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam empat

bagian, yaitu :

1. Tanggung jawab ekonomi, untuk menghasilkan keuntungan, menyediakan

lapangan kerja, dan menciptakan produk yang diinginkan konsumen.


2. Tanggung jawab hukum, untuk mematuhi hukum lokal, hukum negara

bagian, hukum federal, dan hukum internasional yang relevan.


3. Tanggung jawab etis, untuk memenuhi harapan sosial lainnya, tidak ditulis

sebagai suatu hukum (misalnya menghindari kerugian atau cedera sosial,

menghormati hak moral masyarakat, melakukan apa yang benar dan adil)
4. Tanggung jawab diskresioner, untuk memenuhi perilaku tambahan dan

kegiatan yang diinginkan sehingga masyarakat dapat mendapatkan

keinginannya (misalnya memberikan kontribusi sumber daya untuk berbagai

jenis usaha sosial atau budaya, imbalan kerja seperti pelatihan dan gaji lebih

baik).

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa CSR

merupakan bentuk usaha yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk

pertanggungjawaban kepada masyarakat dan lingkungan karena tidak dapat

dipungkiri bahwa kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan disertai dengan

dukungan lingkungan. Tujuan CSR bukan hanya untuk kepentingan perusahaan atau

kepentingan para pemiliki saham semata, namun kepada seluruh stakeholders

perusahaan yang di dalamnya termasuk masyarakat dan lingkungan.

2.1.5.1 Manfaat Pelaksanaan Corporate Social Responsibility

Pentingnya program – program terkait masalah lingkungan, sosial, dan tata

kelola sudah terdengar dalam beberapa tahun terakhir ini seperti para eksekutif,

investor, and regulator yang sudah mulai sadar akan pentingnya program tersebut

untuk dapat mengurangi krisis perusahaan dan membangun reputasi (McKinsey,

2009). Menurut Galbreath (2010), terdapat tiga manfaat potensial dari menunjukkan

atau melaksanakan CSR :


1. Mengurangi turnover pegawai. Turnover pegawai penting karena kehilangan

pegawai dalam perusahaan memiliki efek dramatis dalam keunggulan

kompetitif.
2. Meningkatkan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan critical point karena

mendatangkan level loyalitas pelanggan.


3. Meningkatkan reputasi. Perusahaan memperhatikan reputasinya untuk

merefleksikan bagaimana perusahaan dibandingkan dengan kompetitornya.

Perusahaan menjadikan pengungkapan CSR sebagai strategi perusahaan

dalam membangun komunikasi dengan para stakeholdersnya untuk melaksanakan

CSR. Perusahaan akan mendapatkan sukses kesinambungan dalam bisnis dan di

dunia masyarakat. Stategic direction mengatakan lebih banyak lagi keuntungan

diantaranya reputasi meningkat, loyalitas karyawan dan pelanggan, memperpanjang

life cycle dari produk, perbaikan inovasi, dan kesempatan yang lebih baik untuk

mendapatkan keuntungan. Banyaknya manfaat yang akan diperoleh perusahaan atas

pelaksanaan CSR menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya

perhatian perusahaan atas pelaksanaan CSR dan menjadikan pelaksanaan CSR

sebagai salah satu strategi bisnis perusahaan.

2.1.5.2 Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia

Menurut Waagstein (2011) hanya sejak 10 tahun terakhir ini saja,

permasalahan mengenai bisnis dan hak manusia atau CSR menjadi isu utama untuk di

Indonesia. Beberapa NGO mulai bekerja sama dengan perusahaan dengan

mengadopsi berbagai panduan terkait CSR. Namun tak jarang juga perusahaan yang

mengambil sikap oposisi terhadap praktik CSR dengan mengerahkan tekanan


pelaksanaan CSR yang makin berkembang melalui opini publik yang diciptakan

perusahaan sendiri. Sangat sedikit dari perusahaan perusahaan di Indonesia yang

menggunakan CSR sebagai konsep strategi pembelaan atas pelaksanaan bisnis

perusahaan ditengah-tengan masyarakat dan lingkungan.

Menurut Darwin (2006) hanya sekitar 10% dari perusahaan publik di

Indonesia yang mengungkapkan informasi lingkungan dan sosial dalam laporan

tahunan tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut Ikatan Akuntan Indonesia

Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM) bekerja sama dengan Indonesian

Netherland Association (INA) untuk memberikan penghargaan berupa Indonesia

Sustainability Reporting Awards (ISRA) sejak tahun 2005 untuk meningkatkan

kesadaran CSR bagi perusahaan. Event CSR berupa ISRA ini diharapkan dapat pula

memberikan benefit bagi perusahaan. Menurut Waagstein (2011) penerimaan yang

lamban mengenai CSR di Indonesia berhubungan dengan dua isu berikut:

1. Pengetahuan yang kurang mengenai CSR.


Pengertiannya di Indonesia masih sedikit dan tidak konsisten. CSR

masih dirasakan sebagai “konsep barat” yang terkait dengan aksi

kedermawanan, penyebab terkait pemasaran, atau relasi publik. Persepsi yang

salah secara umum mengakibatkan CSR akhirnya merepresentasikan biaya

bersih, yang ditentang untuk investasi. Hal ini masih sangat sering dan ini

pada saatnya akan mengecilkan semangat perusahaan untuk mengadopsi

kebijakan CSR. Pengetahuan yang kurang tentang CSR ini akan membuat
pemerintah dan masyarakat secara umum memiliki penerimaan yang lambat

terkait CSR.
2. Masalah sosial dan hukum di Indonesia.
Pelaksanaan hukum yang lemah, korupsi dan tumpang tindih yang

berlebihan untuk berbagai hukum di Indonesia menjadi masalah utama di

semua sektor terutama bisnis. Selain itu, ada juga masalah terkait lemahnya

standar operasi untuk perusahaan dan pengembangan bisnis atau tata kelola

perusahaan termasuk pertanggungjawaban sosial.

Namun di zaman yang semakin berkembang dan kritis, penerapan

CSR di Indonesia semakinn meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas.

Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya keragaman aktivitas pengelolaan

CSR berikut dengan kontribusi finansial terkait CSR yang juga semakin besar.

Penelitian PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di

Indonesia mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11.5 juta dolar

AS dari 180 perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang

terekam oleh media masa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika

dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Serikat (Saidi dan Abidin, 2004).

2.1.5.3 Corporate Social Performance

Carroll (1979) menyatakan bahwa semua perusahaan memiliki tanggung

jawab sosial yang sama, walaupun tidak semua perusahaan mendemonstrasikan

tanggung jawab sosial dengan sama. Selain itu, regulasi di Indonesia juga

menyatakan banyaknya manfaat atas pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan

atau CSR yang bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk perusahaan yang
melaksanakannya. Regulasi tersebut diatur dalam Undang- Undang No.40 Tahun

2007 Pasal satu (1) ayat tiga (3) yang berbunyi “Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan

ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang

bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat

pada umumnya.”

Jo dan Harjoto (2011) menjelaskan bahwa keterlibatan CSR secara positif

dapat mempengaruhi nilai perusahaan yang diperoleh dari internal social

enhancement (diversity dan relasi antar karyawan) dan external social enhancement

(seperti aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan masalah masyarakat dan

lingkungan). Dengan kata lain, bagaimana kinerja perusahaan terkait pelaksanaan

CSR akan mempengaruhi nilai perusahaan.

Pengukuran performance dari CSR dapat dilakukan dengan pemeringkatan

aktivitas CSR yang dungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan berdasarkan

standar-standar yang berlaku. Mattingly & Berman (2006) menyatakan bahwa

beberapa pengukuran CSP seperti the Kinder Lydenburg Domini (KLD) Social

Ratings Data atau Clarkson’s (1995) RDAP scale, merupakan indikator dari praktik

tanggung jawab sosial yang terarah kepada pemangku kepentingan dibandingkan

dengan apa yang menjadi hasil atau keuntungan dari performance CSR itu sendiri.

Itulah sebabnya banyak penelitian mengenai corporate social responsibility dan

corporate social performance yang menggunakan dimensi KLD untuk melakukan

penilaian CSP (Greening dan Turban, 2000; Huang, 2010; Lioui dan Sharma, 2012).
Terdapat dua kelompok dimensi pengukuran corporate social performance

yaitu internal stakeholders dan external stakeholders. Berikut merupakan dimensi

yang terkait dengan external stakeholders yang digunakan dalam penelitian ini,

diantaranya :

1. Dimensi Environment (Lingkungan)


Secara khusus aktifitas perusahaan terkait CSR dimensi lingkungan

semakin meningkat seiring bertambahnya pengawasan dan penelitian dari

masyarakat dan komunitas akademisi (Lioui dan Sharma, 2012). Hampir di

seluruh standar CSR terdapat standar dimensi lingkungan. Ini menunjukkan

bahwa lingkungan merupakan salah satu dimensi utama terkait praktik CSR.

Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya bergantung dengan lingkungan

karena itulah perusahaan sebaiknya memberikan feedback yang baik .


Menurut Rios et al. (2006), kebijakan-kebijakan yang ramah

lingkungan dapat menghasilkan reputasi yang baik bagi perusahaan. Menurut

Greening dan Turban (2000), pengukuran CSP dimensi environment meliputi

aktifitas yang menunjukkan bahwa perusahaan memiliki perhatian terhadap

lingkungan, menjaga aset tetap dan peralatannya dengan kinerja lingkungan di

atas rata-rata, meminimalkan penggunaan bahan-bahan beracun dalam

produksi. Selain itu, perusahaan tidak membayar denda karena merusak

lingkungan selama satu tahun terakhir, tidak menjadi emittor racun dalam

industri yang dijalani perusahaan dan tidak menjadi perusahaan yang emisinya

berperan besar dalam pembentukan hujan asam.


2. Dimensi Product Quality (Kulitas Produk)
Menurut Teraji (2009), konsumen (customer) merupakan grup

pemangku kepentingan yang sensitif dengan CSP, persepsi konsumen

mengenai perusahaan dengan orientasi sosial diasosiasikan dengan tingat

kepercayaan yang lebih tinggi terhadap perusahaan dan produk yang

dihasilkannya. Menurut Greening dan Turban (2000), suatu perusahaan

memiliki kinerja CSR yang baik untuk dimensi product quality dapat

ditunjukkan dengan beberapa hal yaitu : memiliki reputasi yang baik untuk

produk dan jasa yang dikeluarkan perusahaan, mampu menciptakan

pengembangan produk baru, tidak terlibat dengan kasus hukum apapun

pelanggaran peraturan yang menuduh bahwa produk perusahaan mengancam

kehidupan, tidak terlibat konflik dengan agen hukum manapun akibat praktik

dan pemasaran yang dipertanyakan kebenarannya.


3. Dimensi Community Relations (Hubungan Masyarakat)

Brammer et al. (2006), menyatakan bahwa dimensi masyarakat

(community) dalam CSR memiliki dampak positif walaupun tidak signifikan

terhadap stock return. Dapat dikatakan hubungan yang baik dengan

masyarakat, akan memberikan return yang baik juga untuk perusahaan.

Menurut Korhonen (2002), kerja sama antara pemangku kepentingan

perusahaan, dan kerja sama antara perusahaan dengan pelaku komunitas

lainnya merupakan hal penting untuk CSR sehingga menghasilkan

manajemen lingkungan dan penentuan visi perusahaan yang tujuannya bukan


hanya kepada manajemen internal atau pemegang saham dan investor tetapi

juga kepada pemangku kepentingan lainnya dan komunitas sosial .

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan corporate social responsibility telah

banyak dilakukan sebelumnya, sehingga beberapa poin dari hasil penelitian

sebelumnya dijadikan bahan untuk penelitian ini. Berikut ini akan diuraikan beberapa

penelitian terdahulu mengenai investasi perusahaan, antara lain :

Penelitian pertama kali yang menguji struktur kepemilikan dengan CSR

adalah Dyer dan Whatten (2006), menggunakan dataset KLD, perusahaan keluarga

lebih memiliki inisiatif terhadap tanggung jawab sosial jika dibandingkan dengan non

keluarga.

Pengembangan penelitian dari struktur kepemilikan dilakukan oleh Block dan

Wagner (2014)menggunakan data S&P 500 tahun 1993-2003 menggunakan analisis

bayessian, dimana variabel independennya adalah family ownership dan variabel

dependennya adalah CSR dari dimensi lingkungan, produk, dan komunitas. Hasilnya

adalah kepemilikan keluarga berpengaruh negative terhadap kinerja CSR dimensi

sosial dan lainnya positif.

Pengembangan lain dari penelitian stuktur kepemilikan dikaitkan dengan

corporate governance dilakukan oleh Ghoul (2016) menggunakan data ASSET4 di

sembilan negara di Asia Tenggara, dimana variabel independennya struktur


kepemilikan dan corporate governance dan variabel dependennya adalah CSR dari

dimensi lingkungan dan sosial. Hasilnya adalah kepemilikan keluarga berpengaruh

positif terhadap kinerja CSR.

2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Keluarga terhaap Corporate Social Responsibility

Chua et al. (1999) mendefinisikan perusahaan keluarga adalah perusahaan

yang diatur dan dikelola oleh sebuah keluarga untuk mengejar visi bisnis dan dapat

berkelanjutan lintas generasi atau turun-temurun. Banyak pendapat yang menyatakan

bahwa perusahaan keluarga merupakan suatu bentuk bisnis yang hanya mengejar

kepentingan dan kekayaan satu keluarga dengan kepemilikan dan kontrol lebih dalam

perusahaan tersebut sehingga cenderung tidak memperhatikan kepentingan pemangku

kepentingan lainnya. Menurut Kashmiri dan Mahajan (2010), Wal-Mart Stores Inc.,

Nike Inc., Ford Motor Company, Dell Inc., Walgreen Co., FedEx Co., Marriot

International Inc., dan Gap Inc., merupakan beberapa perusahaan yang paling

terkenal dan sukses di Amerika Serikat dan memiliki peran penting dalam

perekonomian, yang menarik perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan

keluarga bahkan perusahaan keluarga yang menggunakan nama keluarga dari salah

satu pendirinya dalam nama perusahaan itu sendiri. Begitupun di di pasar Asia dan

Timur Tengah, perusahaan keluarga juga menjadi pemain bisnis utama yaitu

keberadaannya mencapai 95% dari total seluruh perusahaan (Kashmiri dan Mahajan,

2010). Sama halnya dengan Indonesia, perusahaan keluarga masih memiliki dominasi

bentuk bisnis di negara ini (La Porta et al., 1998).


Manajemen dalam perusahaan keluarga yang masih terkait dengan keluarga

pengendali perusahaan itu sendiri menyadari bahwa perusahaan merupakan cerminan

dirinya sendiri karena itu akan lebih memperhatikan tanggung jawab sosial yang

positif (Kashmiri dan Mahajan, 2010).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tanzler (2010) bahwa perusahaan

dengan pengaruh keluarga yang kuat akan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih

demi menjaga reputasi perusahaan yang baik, artinya perusahaan yang dimiliki dan

dikendalikan oleh keluarga akan menjaga reputasinya dengan menjaga hubungan baik

dengan seluruh pemangku kepentingan terutama dengan pemangku kepentingan

eksternal yaitu lingkungan, masyarakat sekitar dan konsumen karena pihak luar dari

perusahaan memiliki peran besar dalam membentuk citra perusahaan. Dengan begitu,

perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga akan memperhatikan CSR

2.2.2 Pengaruh Proporsi Dewan Komisaaris terhadap Corporate Social

Responsibility

Fernando et al (2017) mendefinisikan dewan komisaris independen sebagai

komisaris yang berasal dari luar emiten atau perusahaan yang tidak memiliki saham

baik secara langsung maupun tidak langsung dengan emiten atau perusahaan, tidak

memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan dan tidak memiliki hubungan usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Muntoro (2006), komisaris independen diperlukan untuk

meningkatkan interdependensi dewan komisaris independen terhadap kepentingan


pemegang saham dan benar-benar menempatkan kepentingan perusahaan diantas

kepentingan lainnya. Sehingga, semakin banyak jumlah ukuran dewan komisaris

independen, maka kemampuan dewan komisaris untuk mengambil keputusan dalam

rangka melindungi kepentingan dan mengutamakan perusahaan akan semakin

objektif.

2.2.3 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Corporate Social

Responsibility

Dewan komisaris dalam urutan manajemen merupakan tingkatan tertinggi

setelah pemegang saham. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi kinerja

direksi, selain itu dewan komisaris bertugas untuk memberikan petunjuk kepada

direksi (Kruger, 2015)

Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Coller dan Gregory (1999)

menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan

semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan

semakin efektif. Monitoring ini jika dikaitkan dengan tanggung jawab sosial akan

mengakibatkan tekanan terhadap manajemen perusahaan, sehingga pelaksanaan

tanggung jawab sosial akan semakin besar.

2.2.4 Pengaruh Kepemimpinan Keluarga terhadap Corporate Social

Responsibility
Salah satu yang melekat dalam perusahaan keluarga adalah keinginan agar

kepemimpinan perusahaan dipegang oleh anggota keluarga. Keluarga lebih menyukai

perusahaan yang dimilikinya dipimpin oleh anggota keluarganya, karena rasa percaya

yang tinggi. Perusahaan yang dipimpin oleh keluarga dapat mengurangi masalah

keagenan. Pemimpin biasanya bekerja keras untuk mensejahterahkan pemegang

sahamnya, dimana pemegang sahamnya adalah keluarganya sendiri.

Keberadaan CEO dan manajemen yang berasal dari pihak keluarga

memudahkan keluarga dalam mengontrol perusahaan agar sesuai dengan kepentingan

pemilik. Penelitian yang dilakukan oleh Andres (2008), menyatakan bahwa keluarga

yang bertindak sebagai pemegang saham dan tidak aktif dalam pengelolaan

perusahaan, maka akan mempengaruhi kinerja CSR perusahaan. Namun jika

berpartisipasi akan menghasilkan sebaliknya.

2.2.5 Pengertian dan Pengukuran Variabel Kontrol

Leverage merupakan risiko keuangan perusahaan yang menggambarkan

hubungan total hutang hutang yang dimiliki perusahaan terhadap total aktiva

(Fernando, 2017). Semakin tinggi leverage suatu perusahaan, maka perusahaan

memiliki kecenderungan risiko keuangan yang lebih tinggi. Leverage dalam

penelitian ini menggunakan alat ukur Debt to Equity Ratio (DER). DER merupakan

rasio total hutang terhadap total aktiva perusahaan yang dituliskan dengan persamaan

sebagai berikut :
Profitabilitas menunjukkan perbandingan antaa laba dengan aktiva, modal

ataupun tingkat penjualan bersih yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut

(Fernando, 2017). Profitabilitas dapat mengukur kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan laba selama periode tertentu. Penelitian ini ROA yang merupakan rasio

untuk mengukur laba bersih sesudah pajak yang dituliskan dengan persamaan sebagai

berikut :

Nilai Perusahaan adalah adalah perbandingan antara market value of equity

ditambah debt dengan book market value ditambah dengan hutang (debt). Menurut

Denies dan Reny, (2012) menyebutkan bahwa nilai Tobin’s Q dapat dituliskan

persamaan sebagai berikut:

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka

konseptual yang menjadi dasar dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian

Dari penjelasan latar belakang, penelitian terdahulu, tinjauan pustaka yang

telah diuraikan, maka hipotesis penelitian yang diambil adalah sebagai berikut:

Model 1 :

H1 : Kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap environmental strength

H2 : Board size berpengaruh positif terhadap environmental strength

H3 : Board Independence berpengaruh positif terhadap environmental strength

H4 : Kepemimpinan keluarga berpengaruh positif terhadap environmental strength


Model 2 :

H1 : Kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap environmental concerns

H2 : Board size berpengaruh positif terhadap environmental concerns

H3 : Board Independence berpengaruh positif terhadap environmental concerns

H4 : Kepemimpinan keluarga berpengaruh positif terhadap environmental concerns

2.5 Model Penelitian

Tesis ini akan melakukan penelitian untuk mencari pengaruh antara kebijakan

moneter dengan investasi perusahaan dengan menggunakan leverage dan firm size

sebagai variabel kontrol dan menggunakan cash holding sebagai variabel moderasi.

Berdasarkan pemaparan teori beserta hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya,

maka model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Model 1 :

...........

2.

Model 2
...........

2.

Dimana :

: Environmental strength

: Environemntal concerns

: Dummy kepemilikan keluarga, jika 1 perusahaan keluarga, 0 bukan

perusahaan keluarga

: Board Size perusahaan i pada peiode t

: Board Independet perusahaan i pada periode t

: Dummy kepemimpinan keluarga, jika 1 CEO berasal dari keluarga, 0

bukan dari keluarga

: Leverage perusahaan i pada periode t


: Kinerja perusahaan i pada periode t

: ROA perusahaan i pada periode t

: error

BAB 3

METODELOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dan model yang telah disusun,

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada pengujian

hipotesis yang menggunakan data terukur dan menghasilkan kesimpulan yang diuji

dengan menggunakan uji statistik.

3.2 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Berdasarkan hipotesis yang telah dibentuk, maka variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah corporate social performance

(environment strength dan environment concerns)


2. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Family Firms, Board Size,

Board Independence, dan Family CEO

Berikut adalah definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini :

1. Environment Strength adalah penjumlahan dari sub-indikator KLD untuk

kekuatan lingkungan suatu perusahaan. Sub-indikator strength menunjukkan

apakah perusahaan memiliki produk yang bermanfaat bagi lingkungan dan

layanan, menggunakan energi bersih, melakukan daur ulang yang ekstensif,

upaya untuk mencegah polusi dan memiliki kekuatan lingkungan lainnya. Jika
perusahaan memenuhi ambang batas KLD di setiap area, diberi nilai 1 dan 0

sebaliknya
2. Environment Concerns adalah jumlah sub-indikator KLD untuk masalah

lingkungan dari suatu perusahaan. Sub-indikator masalah lingkungan

menunjukkan apakah perusahaan melepaskan limbah berbahaya, bahan kimia

pertanian atau bahan kimia perusak lapisan ozon; memiliki masalah regulasi,

memiliki substansial emisi, berkontribusi terhadap perubahan iklim; memiliki

masalah lingkungan lainnya. Jika perusahaan bertemu ambang batas KLD di

setiap area, diberi nilai 1 dan 0 sebaliknya.


3. Family Firm adalah Perusahaan keluarga, merupakan perusahaan dengan

kepemilikan saham yang terbesar adalah keluarga pendiri atau kelompok yang

dimiliki oleh keluarga pendiri dan memegang lebih dari 20% saham, serta

CEO atau dewan direksi perusahaan berasal dari anggota keluarga sendiri.

Perusahaan keluarga merupakan variabel dummy yang bernilai 1 jika

perusahaan adalah kepemilikan keluarga dan 0 jika bukan perusahaan

keluarga.
4. Board size adalah banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu

perusahaan,
5. Board Independence adalah proporsi jumlah komisaris independen

dibandingkan dengan komisaris yang ada diperusahaan. Komisaris

independen ini tidak berhubungan langsung dengan pemegang saham

mayoritas.
6. Ukuran perusahaan adalah suatu ukuran perusahaan yang biasanya tercermin

dari total asset yang mereka miliki.


7. Kebijakan hutang adalah suatu kebijakan yang diukur dengan menggunakan

debt to equity ratio. Debt equity ratio ini mencerminkan sejauh mana modal

perusahaan dapat menutupi atau membayar hutang kepada kreditur.


8. Profitabilitas perusahaan adalah suatu net income setelah pajak yang

dikumpulkan oleh perusahaan setiap tahunnya.


3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan didalam penelitian ini adalah data

sekunder berupa laporan keuangan dan data makroekonomi di Indonesia.Data

makroekonomi diperoleh dari badan pusat statistik yang diakses melalui

www.bps.go.id. Data laporan keuangan diperoleh dari Bursa Efek Indonesia yang

diakses melalui website www.idx.co.id dan website resmi perusahaan tersebut dengan

periode penelitian dari tahun 2011-2016.

3.4 Prosedur Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar

dalam Bursa Efek Indonesia. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan ditentukan

melalui metode purposive sampling, dengan penentuan kriteria sebgai berikut :

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-

2016
2. Perusahaan manufaktur yang memiliki laporan keuangan tahunan selama

periode 2011-2016
3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, antara

lain sebagai berikut :

1. Mengkaji berbagai literatur pustaka seperti jurnal, makalah, dan sumber-

sumber lainnya
2. Mengumpulkan dokumen-dokumen atau data sekunder yang diperlukan,

kemudian dilakukan seleksi dan digolongkan dalam masing-masing sub sektor

dan ditabulasikan untuk keperluan analisis


3.6 Teknik Analisis

Untuk menjelaskan kekuatan dan arah beberapavariabel bebas atau variabel

penjelas (independent/eksplanatory variabel) terhadap satu variabel terikat (dependent

variabel), teknik analisis data dalam penelitian ini mengguanankan model regresi

berganda. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisa adalah sebagai berikut :

1. Melakukan perhitungan pada masing-masing variabel penelitian yaitu

kebijakan moneter, investasi, cash holding, ukuran perusahaan, hutang, dam

profitabilitas di setiap sampel perusahaan selama periode penelitian.


2. Melakukan analisis regresi berganda dengan software STATA.
3. Melakukan uji gejala penyimpangan asumsi klasik yang terdapat dalam model

regresi dan menanggulanginya jika terdapat penyimpangan .Uji asumsi klasik

ini digunakan untuk melihat apakah model regresi layak atau tidak dalam

penelitian. Menurut Hair et al (2010:71) dan Santoso (2011:342), model

regresi yang layak untuk memenuhi BLUE (Blue Linear Unbiased Estimator)

terdiri dari :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui data terdistribusi normal

atau tidak. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan grafik normal

plot, dimana jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti

arah garis diagonal, maka model tersebut memenuhi aumsi normalitas.


b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji adanya korelasi diantara

variabel bebas pada model regresi. Gejala multikolinearitas merupakan

gejala baru atau kolinearitas baru antara variabel. Uji ini dilakukan dengan

cara melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Uji multikolinearitas

dinyatakan bebas apabila nilai VIF>10 dan niai tolerance <0.10.


c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui terdapat gangguan antara

variabel pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu

pada periode sebelumnya. Model regresi yang baik adalah model regresi

yang diharapkan tidak terjadi autokorelasi. Menurut Sarwono (2013:16)

untuk mendeteksi autokorelasi dengan menggunakan patokan:


 D-W dibawah -2 : Terdapat autokorelasi positif
 D-W diantara -2 sampai + 2 : Tidak terdapat autokorelasi
 D-W diatas +2 : Terdapat autokorelasi negative
d. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji adanya ketidaksamaan

varians dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari satu

pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas,

jika berbeda dinamakan heteroskedastisitas. Model dinyatakan bebas dari

heteroskedastisitas apabila semakin menyebar residual antar observasi

pada grafik plot normal.


4. Melakukan Uji t, uji ini merupakan uji parametrik yang bertujuan untuk

mengetahui pengaruh variabel independen terhadap dependen secara parsial.

Langkah-langkah dalam melakukan uji hipotesis adalah sebagai berikut :


a. Membuat rumusan hipotesis
Hipotesis 1 :
: , berarti Family firms tidak berpengaruh terhadap

environmental strength
: , berarti Family firms berpengaruh terhadap environmental

strength
Hipotesis 2 :
: , berarti Board size tidak berpengaruh terhadap environmental

strength
: , berarti Board Independence berpengaruh terhadap

environmental strength

Hipotesis 3 :

: , berarti Board Independence tidak berpengaruh terhadap

environmental strength
: , berarti Board Independence berpengaruh terhadap

environmental strength
Hipotesis 4 :
: , berarti Board Size tidak berpengaruh terhadap

environmental strength
: , berarti Board Size berpengaruh terhadap environmental

strength
Hipotesis 5 :
: , berarti Family firms tidak berpengaruh terhadap

environmental concerns
: , berarti Family firms berpengaruh terhadap environmental

concerns
Hipotesis 6 :
: , berarti Board size tidak berpengaruh terhadap environmental

concerns
: , berarti Board Independence berpengaruh terhadap

environmental concerns

Hipotesis 7 :

: , berarti Board Independence tidak berpengaruh terhadap

environmental concerns
: , berarti Board Independence berpengaruh terhadap

environmental concerns
Hipotesis 8 :
: , berarti Board Size tidak berpengaruh terhadap

environmental concerns
: , berarti Board Size berpengaruh terhadap environmental

concerns
Menentukan tingkat signifikansi ( pada level 5% dan 1%
b. Menetapkan pengambilan keputusan diterima atau ditolaknya hipotesis

melalui p-value dengan ketentuan apabila diterima jika nilai

signifikansi lebih dari 5% dan ditolak jika nilai signifikansi kurang dari

5%.
5. Koefisien Determinasi (
Koefisien determinasi mencerminkan seberapa besar perubahan atau variasi

dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independennya.

Nilai = 0, artinya variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel

independen dan apabila nilai =1, artinya variabel dependen dapat

dijelaskan secara keseluruhan oleh variabel independennya. Semakin

mendekati 1, maka semakin baik model regresi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai