Anda di halaman 1dari 331

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA An. A DENGAN GANGGUAN SISTEM


PENCERNAAN : APENDIKSITIS AKUT
DIRAWAT INAP BEDAH RSUD
KOTA PADANG PANJANG
TAHUN 2017

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


SIKLUS KIAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

MASYA YUNIS, S.Kep


NIM : 1614901083

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
INCLUDEPICTURE

"https://vakia.files.wordpress.com/2011/08/bismillahirrahmanirrahim-

2.jpg" \* MERGEFORMATINET

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan karya ilmiah akhir ini.

Judul karya ilmiah akhir ini “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Pada

An.A Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Apendiksitis Akut di Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Padang Panjang tahun 2017” yang merupakan salah satu

syarat untuk menyelesaikan Program Profesi Ners STIKes Fort De Kock

Bukittinggi.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapatkan

bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini

perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu DR. Ns. Hj. Evi

Hasnita, S.Pd, M.Kes selaku pembimbing Akademik yang telah banyak

membimbing dengan kesabarannya dan telah memberikan pengarahan serta

motivasinya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Selain itu penulis juga

ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Nurhayati,S.ST, M.Biomed ketua STIKes Fort De Kock Bukittinggi,

yang telah memberikan fasilitas dan sarana kepada penulis selama

menyelesaikan program profesi ners ini.


2. Ibu Ns. Wenny Lazdia, S.Kep, MAN selaku ketua program studi Profesi Ners

STIKes Fort De Kock Bukittinggi.


3. Bapak dr.Ardoni selaku direktur RSUD Kota Padang Panjang beserta staf

yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pengambilan data untuk

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.


4. Seluruh staf dan dosen pengajar STIKes Fort De Kock Bukittinggi yang telah

banyak memberikan ilmu kepada peneliti.

5. Kepada kedua orang tua tercinta T.Dt.Rangkayo Basa (Alm) dan Rakiyah

(Almh) yang telah bersusah payah semasa hidupnya demi penulis sehingga

penulis bisa sampai seperti sekarang.

6. Istri tercinta Kardina Rozawati dan kedua buah hati tersayang Afif Aulia

Yusro, Vilanda Warassaty yang tidak bosan-bosannya memberikan doa dan

kasih sayang serta dorongan moril maupun materil kepada penulis untuk

menyelesaikan KIAN ini.

7. Teman-teman kuliah dari Padang Panjang “TEMPROF” serta teman-teman

jalur khusus Profesi Ners STIKes Fort De Kock Bukittinggi yang selalu

dalam kebersamaan dan keceriaan.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah akhir ini masih belum sempurna.

Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk perbaikan dan kesempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bukittinggi, Juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGEGESAHAN
LEMBER PERSETUJUAN
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
iii
Daftar Gambar ……………………………………………………………..
iv
Daftar Lampiran
v

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

1
B. Tujuan

4
1. Tujuan Umum
.............................................................................................
.............................................................................................
4
2. Tujuan Khusus
.............................................................................................
.............................................................................................
5
C. Manfaat Penulisan

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar……………………………………...

7
1. Pengertian
.............................................................................................
.............................................................................................
7
2. Klasifikasi
.............................................................................................
.............................................................................................
8
3. Etiologi
.............................................................................................
.............................................................................................
12
4. Patofisiologi
.............................................................................................
.............................................................................................
13
5. Tanda dan Gejala
.............................................................................................
.............................................................................................
14
6. Pemeriksaan Penunjang
.............................................................................................
.............................................................................................
15
7. Penatalaksanaan
.............................................................................................
.............................................................................................
16
8. Komplikasi
.............................................................................................
.............................................................................................
17
B. Asuhan Keperawatan Teoritis

19
1. Pengkajian
.............................................................................................
.............................................................................................
19
2. Diagnosa Keperawatan
.............................................................................................
.............................................................................................
27
3. Rencana Asuhan Keperawatan
.............................................................................................
.............................................................................................
28
4. WOC
.............................................................................................
.............................................................................................
33

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


34

BAB IV CRITICALREVIEW EVIDANCE BASED


A. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson

101
B. Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus

106
C. Kompres Air Hangat Pada Dahi Ddan Aksila

109
D. Pengaruh Mobilisasi Dini

111

BAB V PEMBAHASAN

117

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan

131
B. Saran

133

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1................................................................................ 8
2. Gambar 12................................................................................. 12
3. Gambar 1.3................................................................................ 14
4. WOC.......................................................................................... 33
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembaran Asli Jurnal Terkait


2. SAP Penyuluhan dan Leafleat
3. Lembar Konsul Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2000).

Apendik adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat

pada sekum tepat dibawah katup ileocecal (Brunner dan Sudarth, 2002).

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari

satu tahun jarang dilaporkan karena apendiks pada bayi berbentuk

kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini

menyebab- kan rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut.


Setiap tahun rata-rata 300.000 orang menjalani apendektomi di Amerika

Serikat, dengan perkiraan lifetime incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan

jenis kelamin, harapan hidup dan ketepatan konfirmasi diagnosis. Perforasi

lebih sering pada bayi dan pasien lanjut usia, yaitu dengan periode

angka kematian paling tinggi. Insidens pada perempuan dan laki-laki

umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada

laki-laki lebih tinggi.

Berdasarkan data yang didapatkan menurut DEPKES RI, jumlah

pasien yang menderita penyakit apendiksitis di Indonesia berjumlah sekitar

27% dari jumlah penduduk di Indonesia, di Kalimantan Timur bcrjumlah

sekitar 26% dari jumlah penduduk di Kalimantan Timur, sedangkan dari data

yang ada pada rekam medik RS Islam Samarinda untuk bulan Januari sampai

Juni 2009, tercatat penderita yang dirawat dengan apendiksitis sebanyak 153

orang dengan rincian 57 pasien wanita dan 104 pasien pria. Hal ini

membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis.

Sebagian besar kasus apendiksitis di rumah sakit Islam Samarinda diatasi

dengan pembedahan. Berdasarkan penelitian secara deskriptif retrospektif di

Bagian Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada

periode Oktober 2012 – September2015 didapatkan 650 pasien apendisitis

(Tomas,A.G at all).

Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian apendikitis di sebagian

besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah

pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari

jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan

salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk

dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di

Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen

lainya (Depkes 2008). Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus apendikitis

dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyababkan kematian.

Jumlah penderita apendikitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970

orang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada

masyarakat modern (Dinkes Jateng, 2009).

Di RSUD Padang Panjang pada tahun 2016 kasus apendikitis

merupakan kasus tertinggi di ruang bedah dengan jumlah kasus 334 per

tahun. Pada bulan Januari s/d Juni 2017 angka kejadian appendicitis 131

kasus.

Radang usus buntu (Apendisitis) umumnya disebabkan adanya

sumbatan pada pangkal usus buntu dan hal ini dapat diakibatkan kelainan

pada sekum (tempat usus buntu bermuara) yang menyebabkan penyempitan

dari muara usus buntu, kelainan usus halus bagian ujung (ileu terminal) yang

akan berakhir pada sekum, kelainan pada dinding usus buntu terutama pada

pangkalnya yang membuat salurannya menyempit atau tersumbat. Kelainan-

kelainan pada organ di atas dapat berupa radang, infeksi maupun tumor yang

pada akhirnya menyebabkan penyempitan pangkal apendik. Penyebab lain

dari sumbatan apendik, adanya sisa makanan yang masuk ke dalam apendik

yang banyak dan memadat sehingga sulit keluar dari pangkal apendik dan

menimbulkan sumbatan. Pada umumnya, appendisitis disebabkan oleh kedua


faktor penyebab sumbatan di atas yang membuat apendik teregang, melebar

dan tegang dengan dinding makin tipis (health.detik.com).

Penyebab apendiksitis adalah kurangnya mengkonsumsi serat dan

gaya hidup yang tidak sehat. Hingga tidak dapat dihindari, penyakit

apendiksitis menjadi kasus tersering yang diderita oleh klien dengan nyeri

abdomen akut. Insiden ini lebih tinggi terjadi pada laki-laki dari pada

perempuan dan ditemukan pada setiap umur, oleh karena itu, tetaplah

mengangkat diagnosa dini sangat dibutuhkan. Komplikasi yang mungkin

terjadi dapat dicegah dengan penyebab dan perawatan yang optimal.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan

penyebab yang dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya

apendisitis. Kuman-kuman yang merupakan flora normal pada usus dapat

berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman terbanyak penyebab

apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli. Beberapa

gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis;

merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain

adalah salah cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti

alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik.

Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri

yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam

keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan

mengakibatkan pendarahan pada lambung. Gangguan lain pada lambung


adalah gastritis atau peradangan pada lambung. Dapat pula apendiks

terinfeksi sehingga terjadi peradangan yang disebut apendisitis.

Di dalam karya tulis ini penulis akan membahas seputar gangguan

pencernaan pada apendiks atau biasa dikenal dengan apendisitis yang

meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan,

diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasinya. Ketertarikan penulis sebagai

peneliti adalah karena banyaknya ditemui kasus apendiksitis di RSUD Kota

Padang Panjang.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu mengaplikasikan ilmu tentang pelaksaan asuhan keperawatan pada

klien dengan appendicitis.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu memahami definisi dari appendicitis.

b. Mampu melakukan pengkajian pada pasien appendicitis.

c. Mampu mengakkan diagnosa pada pasien appendicitis.

d. Mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan klien.

e. Mampu mengevaluasi dari asuhan keperawatan yang telah diberikan

kepada klien.

C. Manfaat

1. Bagi Mahasiswa, untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan khususnya

dalam bidang Keperawatan Medikal Bedah.


2. Bagi Institusi, asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Pre dan

Post Op Appendiktis dapat menambah bahan–bahan referensi

diperpustakaan institusi.
3. Bagi Penulis, asuhan keperawatan pada klien yang mengalami pre dan

Post Op Appendiktis dari kebutuhan tubuh dapat dijadikan pengalaman

dan latihan bagi penulis dalam menyusun asuhan keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Apendik adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira

10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal.

Apendik berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam

sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, apendik

cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan

Sudarth, 2002).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat

mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih


sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,

Arief,dkk, 2007).

Apendisitis adalah infeksi pada apendik karena tersumbatnya

lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing

usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi

membran mukosa apendik dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba

histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf,

2006).

Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena

struktur yang terpuntir, apendik merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk

berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)

Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi

tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau

akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

Gambar 1.1

2. Klasifikasi

a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis

akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan

diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.

1) Penyebab obstruksi dapat berupa :

2) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.

3) Fekalit

4) Benda asing

5) Tumor

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang

diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin

meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan

intra mukosa juga semakin tinggi.

Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding

apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/

nanah pada dinding apendiks.

Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran

infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke

apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendik dan

menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema

pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke

dalam dinding apendik menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa


menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendik dan

mesoapendik terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat

eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal

seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan

nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat

terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua

syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang

kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan

menghilang satelah apendektomi.

Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh

dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya

jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi

kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.

d. Apendissitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri

berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan

hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila

serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,

apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis

dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50


persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi

yang diperiksa secara patologik.

Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena

sering penderita datang dalam serangan akut.

e. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin

akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa

jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa

infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu

kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.

Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di

perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka

kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.

Pengobatannya adalah apendiktomi.

f. Tumor Apendiks

Adenokarsinoma apendiks, penyakit ini jarang ditemukan, biasa

ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis

akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan

hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh

lebih baik dibanding hanya apendektomi.

g. Karsinoid Apendiks

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang

didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada

pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis


prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan

kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus,

dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid

perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala

tersebut di atas.

Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa

memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai

radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan

pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal

atau hemikolektomi kanan.

Gambar 1.2

3. Etiologi

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada

factor prediposisi yaitu:

a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi

ini terjadi karena:

1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

2) Adanya faekolit dalam lumen apendik


3) Adanya benda asing seperti biji-bijian

4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan

Streptococcus

c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30

tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan

jaringan limpoid pada masa tersebut.

d. Tergantung pada bentuk apendiks:

1) Appendik yang terlalu panjang

2) Massa apendik yang pendek

3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen apendik

4) Kelainan katup di pangkal apendik (Nuzulul, 2009)

4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat

tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,

diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.


Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan

bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan

mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah

kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding

apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan

terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa

lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut

dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum

lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.

Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi

mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,

2007) .

5. Tanda dan Gejala


Gambar 1.3

a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam

ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.


b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila apendik melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila apendik berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung apendik berada di dekat kandung kemih atau

ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung apendik berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang

secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.


j.Apabila apendik sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen

terjadi akibat ileus paralitik.


k. Pada pasien lansia tanda dan gejala apendik sangat bervariasi. Pasien

mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur apendik.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan


pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah

satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah

terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis

serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan

90%.

b. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed

Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan

bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendik,

sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang

menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendik yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%

dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%,

sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan

kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut

bawah.

d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa

peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk

memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.


f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.

Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan

awal untuk kemungkinan karsinoma colon.

g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti

Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan

Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis

meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

a. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang

tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian

antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada

penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian

cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

b. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka

tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang apendik

(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik

dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendik dilakukan

drainage (mengeluarkan nanah).

c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya

komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.

Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila

diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam

fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan

intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan

dengan besar infeksi intra-abdomen.

8. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.

Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor

penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis

meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke

rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini

menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi

komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang

tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%

pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan

orang tua. Anak-anak memiliki dinding apendik yang masih tipis,

omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan

terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh

darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:

a. Abses
Abses merupakan peradangan apendik yang berisi pus. Teraba massa

lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula

berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung

pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi

oleh omentum

b. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya apendik yang berisi pus sehingga bakteri

menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam

pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.

Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran

klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari

38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis

terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi

bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

c. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi

berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila

infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan

timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai

timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit

mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri

abdomen, demam, dan leukositosis.

B. Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian

Hal penting dalam riwayat keperawatan pre operatif:

a. Umur

b. Alergi terhadap obat, makanan

c. Pengalaman pembedahan

d. Pengalaman anestesi

e. Riwayat pemakaian tembakau, alcohol, obat-obatan

f. Lingkungan

g. Kemampuan self care

h. Support system

Pemeriksaan Fisik

Pengkajian dasar pre operatif dilakukan untuk:

a. Menentukan data dasar

b. Masalah pengobatan yang tersembunyi

c. Potensial komplikasi berhubungan dengan anestesi

d. Potensial komplikasi post operasi

e. Fokus: Riwayat dan sitem tubuh yang mempengaruhi prosedur

pembedahan. System kardiovaskuler Untuk menentukan kekuatan

jantung dan kemampuan untuk mentoleransi pembedahan dan anestesi.

39 % kematian perioperatif. Perubahan jantung Sistem pernapasan

resiko atelektasis, kolap jaringan paru. Lansia, perokok, PPOM

Mencegah pertukaran oksigen/CO2. Intoleransi karena perubahan

dalam dada dan paru. Efisiensi ekskresi paru terhadap anestesi

menurun. Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru.


f. Psikososial assessment

Tujuan: menentukan kemampuan coping Informasi

Support

g. Laboratorium

h. Analisa:

1) Pengetahuan kurang berhubungan dengan pengalaman pre operasi

2) Kecemasan berhubungan dengan pengalaman pre operasi

Hal penting dalam riwayat keperawatan post operatif:

a. Identitas Pasien

Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor

register.

b. Riwayat Kesehatan

c. Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi

apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan

leukosit.

d. Riwayat Kesehatan masa lalu

Pola Kebiasaan Sehari –hari

1) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


Data subjektif: Mewawancarai klien tentang bagaimana klien

menganggap kebersihan terhadap dirinya terutama keadaan

lingkungan dan terhadap makanan, menanyakan riwayat kesehatan

dalam keluarga, apa upaya yang dilakukan untuk mempertahankan

kebersihan dan pencegahan penyakit.

Data objektif: Mengkaji kebersihan seluruh tubuh

2) Pola nutrisi metabolic

Data subjektif: Mewawancarai klien tentang kebiasaan makanan

dan minuman sehari-hari dan menanyakan bagaimana kenaikan

berat badan.

Data objektif: Mengkaji gambaran nutrisi tubuh atau berat badan,

kebiasaan makan, nilai kebersihan badan sendiri.

3) Eliminasi

Data subjektif :Mengkaji kebiasaan BAB / BAK sebelum sakit,

menanyakan riwayat penyakit kelamin yang pernah ada.

Data objektif :Mengkaji pola BAB/BAK

4) Pola tidur dan istirahat

Data subjektif :Mengkaji kebiasaan tidur sehari-hari (lama tidur

malam, tidur siang) apakah ada gangguan tidur dan kebiasaan

sebelum tidur.

Data objektif :Mengkaji tingkat kemampuan observasi mata dan

ekspresi wajah.

5) Pola persepsi kognitif


Data subjektif :Mengidentifikasi tingkat interval secara umum

kemampuan mengungkapkan perasaan nyaman atau nyeri dan

kemampuan berfikir, penginderaan, pengecapan serta penggunaan

alat bantu.

Data objektif :Mengobservasi kemampuan pendengaran,

penginderaan, pengecapan serta penggunaan alat bantu

6) Pola persepsi kognitif

Data subjektif :Mengidentifikasi bagaimana anggapan klien

terhadap perubahan berhubungan dengan penyakit yang

mengganggu citra tubuhnya, apakah klien ada putus asa atau

merasa rendah diri.

Data objektif : Mengkaji kemampuan dan keamanan atau

partisipasi klien dalam tindakan keperawatan.

7) Pola peran dan hubungan dengan masyarakat

Data subjektif :Mengidentifikasi hubungan klien dengan sesama,

saudara atau keluarga, cara klien untuk mengungkapkan masalah

pada teman atau keluarga serta dukungan dalam menghadapi

penyakit.

Data objektif :Klien berhubungan dengan keluarga dan

saudaranya.

8) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress

Data subjektif :Mengidentifikasi respon emosi klien pada saat

klien menghadapi masalah atau stres klien dan bagaimana klien

mengungkapkan atau melampiaskannya.


Data objektif :Mengkaji ekspresi wajah klien.

9) Pola sistem kepercayaan

Data subjektif :Bagaimana kepercayaan dan kegiatan klien

beribadah pada kepercayaan, apakah klien rajin berdoa selama

sakit.

e. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu

lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan

suhu aksilar dan rektal sampai 1 °C.

1) Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk

dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi

perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat

pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut

kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2) Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda

peritonitis lokal yaitu:

a) Nyeri tekan di Mc. Burney

b) Nyeri lepas

c) Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya

rangsangan peritoneum parietal.

d) Pada apendik letak retroperitoneal, defans muscular mungkin

tidak ada, yang ada nyeri pinggang.


3) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus

paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan.

Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan

pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha

kanan. (A. Mansjoer, dkk. 2000)

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha

pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah

kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut

(tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (A. Mansjoer,

dkk. 2000)

Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan Apendikitis:

Pre Appendiktomi

1) Aktivitas

Gejala : Malaise

2) Sirkulasi

Tanda: Tachicardia

3) Eliminasi

Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)

Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan

penurunan/ tidak ada bising usus

4) Makanan/ cairan

Gejala : Anoreksia, mual/muntah


5) Nyeri/ kenyamanan

Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang

meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak

antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala

klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul

yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar

umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di

abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan

lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila

terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh

nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W. De Jong, R.

Sjamsuhidajat, 2004)

Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang

dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah

karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.

6) Keamanan

Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada

komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas.

Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

7) Pernafasan

Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal

8) Penyuluhan/ pembelajaran

Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen

contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia
Post Appendiktomi

1) Sirkulasi

Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler

perifer.

2) Integritas ego

Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.

Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang,

stimulasi simpatis

3) Makanan/ cairan

Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang

kering

4) Pernafasan

Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok

5) Keamanan

Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi

malignan/reaksi anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi

darah

Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam

2. Diagnosa Keperawatan

Pre op
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunana
peristaltik
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah
d. Cemas berhubungan dengan akan dilaksankannya operasi
Post op
a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appendiktomi)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
nutrisi inadekut b/d faktor biologis ( mual, muntah, puasa)
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan)
d. Defisit self care berhubungan dengan nyeri
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.

3. Rencana Asuhan Keperawatan

TUJUAN &
No DIAGNOSA INTERVENSI
KRITERIA HASIL
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
berhubungan asuhan keperawatan,  Kaji nyeri secara
dengan agen diharapkan nyeri klien komprehensif termasuk
injuri biologi berkurang dengan lokasi, karakteristik, durasi,
(distensi kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan faktor
jaringan  Klien mampu presipitasi.
intestinal oleh mengontrol nyeri  Observasi reaksi nonverbal
inflamasi) (tahu penyebab dari ketidak nyamanan.
nyeri, mampu  Gunakan teknik komunikasi
menggunakan tehnik terapeutik untuk mengetahui
nonfarmakologi pengalaman nyeri klien
untuk mengurangi sebelumnya.
nyeri, mencari  Berikan lingkungan yang
bantuan) tenang
 Melaporkan bahwa  Ajarkan teknik non
nyeri berkurang farmakologis (relaksasi,
dengan distraksi dll) untuk mengetasi
menggunakan nyeri.
manajemen nyeri  Berikan analgetik untuk
 Tanda vital dalam mengurangi nyeri.
rentang normal  Evaluasi tindakan pengurang
 TD (systole 110- nyeri/kontrol nyeri.
130mmHg, diastole  Monitor penerimaan klien
70-90mmHg), tentang manajemen nyeri.
HR(60-100x/menit),
RR (16-24x/menit), Administrasi analgetik:.
suhu (36,5-37,50C)  Cek program pemberian
 Klien tampak rileks analogetik; jenis, dosis, dan
mampu frekuensi.
tidur/istirahat  Cek riwayat alergi.
 Monitor V/S
 Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek
samping.
2 Perubahan Setelah dilakukan  Pastikan kebiasaan defekasi
pola eliminasi asuhan keperawatan, klien dan gaya hidup
(konstipasi) diharapkan konstipasi sebelumnya.
berhubungan klien teratasi dengan  Auskultasi bising usus
dengan kriteria hasil:  Tinjau ulang pola diet dan
penurunan  BAB 1-2 kali/hari jumlah / tipe masukan
peritaltik.  Feses lunak cairan.
 Bising usus  Berikan makanan tinggi
5-30 kali/menit serat.
 Berikan obat sesuai
indikasi, contoh : pelunak
feses

3 Cemas Setelah dilakukan  Evaluasi tingkat ansietas,


berhubungan asuhan keperawatan, catat verbal dan non verbal
dengan akan diharapkan kecemasab pasien.
dilaksanakan klien berkurang  Jelaskan dan persiapkan
operasi. dengan kriteria hasil: untuk tindakan prosedur
 Melaporkan ansietas sebelum dilakukan
menurun sampai  Jadwalkan istirahat adekuat
tingkat teratasi dan periode menghentikan
 Tampak rileks tidur.

 Anjurkan keluarga untuk


menemani disamping klien.

No DIAGNOSA TUJUAN & INTERVENSI


KRITERIA HASIL
1 Nyeri Akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
agen injuri askep …. jam tingkat  Kaji nyeri secara
fisik kenyamanan klien komprehensif termasuk
meningkat, nyeri lokasi, karakteristik, durasi,
terkontrol dengan frekuensi, kualitas dan faktor
KH: presipitasi.
o klien melaporkan  Observasi reaksi nonverbal
nyeri berkurang, dari ketidak nyamanan.
skala nyeri 2-3  Gunakan teknik komunikasi
o Ekspresi wajah terapeutik untuk mengetahui
tenang & dapat pengalaman nyeri klien
istirahat, tidur. sebelumnya.
o v/s dbn (TD  Berikan lingkungan yang
120/80 mmHg, N: tenang
60-100 x/mnt, RR:  Ajarkan teknik non
16-20x/mnt). farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri.
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
 Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik:.
 Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Monitor V/S
 Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek
samping.

2 Ketidakseimba Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


ngan nutrisi askep selama ….. jam  kaji pola makan klien
kurang dari klien menunjukan  Kaji adanya alergi makanan.
kebutuhan status nutrisi  Kaji makanan yang disukai
tubuh b.d adekuat dibuktikan oleh klien.
intake nutrisi dengan BB stabil  Kolaborasi dg ahli gizi untuk
inadekut b/d tidak terjadi mal penyediaan nutrisi terpilih
faktor biologis nutrisi, tingkat energi sesuai dengan kebutuhan
( mual, adekuat, masukan
muntah, puasa) nutrisi adekuat klien.
 Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
 Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
 Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.
 Kolaborasi dg ahli gizi
tentang dietnya jika perlu

Monitor Nutrisi
 Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
 Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
 Monitor lingkungan selama
makan.
 Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
 Monitor adanya mual
muntah.
 Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
 Monitor intake nutrisi dan
kalori.

3 Risiko infeksi Setelah dilakukan Kontrol infeksi :


b/d adanya askep …. jam tidak  Bersihkan lingkungan setelah
luka operasi, terdapat faktor risiko dipakai pasien lain.
imunitas tubuh infeksi dg KH:  Batasi pengunjung bila perlu
menurun,  bebas dari gejala dan anjurkan u/ istirahat yang
prosedur infeksi, cukup
invasive  angka lekosit normal  Anjurkan keluarga untuk cuci
(4-11.000) tangan sebelum dan setelah
 V/S dbn kontak dengan klien.
 Gunakan sabun anti microba
untuk mencuci tangan.
 Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan.
 Gunakan baju dan sarung
tangan sebagai alat
pelindung.
 Pertahankan lingkungan yang
aseptik selama pemasangan
alat.
 Lakukan perawatan luka dan
dresing infus,DC setiap hari.
 Tingkatkan intake nutrisi.
Dan cairan yang adekuat
 berikan antibiotik sesuai
program.

Proteksi terhadap infeksi


 Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal.
 Monitor hitung granulosit
dan WBC.
 Monitor kerentanan terhadap
infeksi.
 Pertahankan teknik aseptik
untuk setiap tindakan.
 Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
 Inspeksi keadaan luka dan
sekitarnya
 Monitor perubahan tingkat
energi.
 Dorong klien untuk
meningkatkan mobilitas dan
latihan.
 Instruksikan klien untuk
minum antibiotik sesuai
program.
 Ajarkan keluarga/klien
tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan
kecurigaan infeksi.
WOC APENDISITIS

Etiologi

Obstruksi lumen apendiks oleh: Infeksi kuman dari colon (E.


- Fecalith (massa feses yang keras)
Coli)
- Hiperplasia dari folikel limfoid
- Benda asing (seperti biji cabai, biji jeruk)
- Tumor apendiks
- Pelekukan/terpuntirnya apendiks
- Oklusi eksternal usus oleh perlekatan

Fecalith, benda asing, tumor, Infeksi kuman E.coli


dll

Reaksi antigen
Obstruksi lumen apendiks
dengan Ig A

Peningkatan tekanan
intra lumen

Iskemia jaringan
Ig A tidak dapat
melawan antigen
kuman
Penekanan
Kematianpembuluh
sel darah
lumen
(nekrosis)/kerusakan
jaringan

Inflamasi apendiks

APENDISITIS

Pre Op

Respon peradangan Reaksi inflamasi


B1 B2

Pelepasan mediator nyeri Merangsang sintesa dan Iritasi jaras N. Vagus Iritasi jaras N. Vagus
(histamin, bradikinin, pelepasan zat pirogen
prostaglandin, serotonin) oleh leukosit pada
jaringan yang meradang Bronkokontriksi Penurunan kecepatan
dan kekuatan kerja
Merangsang nosiseptor pada jantung
ujung saraf bebas
serabut tipe C
Menstimulasi pusat Penurunan ratio ventilasi
termoregulator di
hypothalamus Kapasitas difusi menurun CO menurun

Pengiriman impuls nyeri ke B5


medulla spinaslis (N. Peningkatan suhu Suplai oksigen menurun Insufisiensi pengisian
Thorakalis X) tubuh sistem arteri
Respon inflamasi
Kerja napas meningkat
MK : Gg.
Nyeri Rasa
difus di Hiperthermi MK : Pola nafas tidak Penurunan aliran
nyaman nyeri
epigastrium efektif Peningkatan vaskularisasi darah sistemik
Dyspnea
MK : Ketidakseimbangan suhu
Nyeri menjalar ke RLQ tubuh (Hiperthermi) Permeabilitas pembuluh MK : gg. Perfusi jaringan
abdomen darah meningkat
B3 B4
Kebocoran cairan
Reaksi inflamasi Peningkatan intravaskuler ke
akumulasi pus di intertisiel
apendiks
Merangsang hipothalamus
Oedema
Perforasi apendiks
Siklus bangun dan
tidur terganggu Peningkatan tekanan
Infeksi meluas ke intra abdominal
vesica urinaria
Somnolen
Penekanan gaster
Sistitis
Penurunan kesadaran Mual, muntah

Nyeri saat
MK : mikturisi
Penurunan sintesis
Resiko Cidera MK : gg. Eliminasi Anoreksia MK : Kekurangan volume
faktor VIII lama
Trombin dan IX Berkurangnya koordinasi Fungsi
Gg. hati belum
Pembentukan
Fibrin tidak
Pemanjangan
Faktor
FaktorXgenetik
tidakAPTT
teraktivasi Kejang Defisiensi trombin
urine
otot Gg. Pembentukan faktor II, cairan
VII, IX sempurna
faktor II
sempurna
terbentuk
Intake tidak
adekuat

MK :

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan

B6 - Tindakan invasif :
(Apendiktomi)
- Perubahan status
Metabolisme meningkat Distensi abdomen
kesehatan
akibat adanya radang

Spasme abdomen - Ketidaktahuan


Aktivitas seluler
- Koping individu tidak
meningkat
efektif
Nyeri
Pemecahan
karbohidrat, lemak, MK :
protein lebih banyak Mobilisasi terbatas
- Ansietas
- Kurang pengetahuan
Malaise MK : Hambatan
mobilitas fisik

MK : Intoleransi
aktivitas

Penimbunan
Pemecahan asam
glukosa
Kelemahan
laktat fisik
Post Op

Pembatasan cairan pasca Terputusnya jaringan Luka


operasi (puasa)

Terputusnya pembuluh Pemajanan MO


Intake cairan menurun darah

MK : Resiko infeksi
MK : Resiko kekurangan volume Perdarahan
cairan

MK : Resiko syok
hipovolemik

Sumber Desty, 2013 https://id.scribd.com/doc/99585819/woc-apendisitis


CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Pre Op

Shift
Hari / Diagnosa
/ Implementasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan Paraf
Tanggal Keperawatan
Jam
1 2 3 4 5 6
Hari Jum’at, Nyeri akut b.d 1. Mengkaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi S: klien mengatakan perut
1 14 Juli distensi perut kanan bawah, karakteristik, durasi, frekuensi, kanan bawahnya masih
Pagi 2017 jaringan usus kualitas dan faktor presipitasi. nyeri
13.30 oleh inflamasi 2. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidak
WIB nyamanan. O:
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
TD : 130/70
mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
mmHg
4. Memberikan lingkungan yang tenang dengan
 N : 82 x/i
membatasi kunjungan
5. Mengajarkan teknik non farmakologis relaksasi, untuk  RR : 18 x/i
mengetasi nyeri dengan mengajarkan teknik nafas  S : 37,8oC
dalam dengan cara tarik nafas dalam melalui hidung  skala nyeri 5, klien
kemudian hembuskan secara perlahan melalui mulut tampak masih
6. Melakukan kolaborasi tentang pemberian analgetik meringis
untuk mengurangi nyeri. A: masalah belum teratasi
7. Mengevaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri. P: - intervensi dilanjutkan
8. Memonitor penerimaan klien tentang manajemen
nyeri. - Klien disiapkan
9. Mengecek program pemberian analogetik : jenis, untuk operasi
dosis, dan frekuensi.
10. Mengecek riwayat alergi.
11. Memonitor vital sign.
1 2 3 4 5 6
Hari Jum’at, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
1 14 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit Klien mengatakan
Pagi 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
13.30 4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
WIB 5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan
6. Melakukan kompres hangat pasien pada Axila, dan sudah minum air putih
lipat paha O:
7. Kolaborasi : Paracetamol - Tampak wajah klien
kemerahan
- S : 37,80C setelah
dilakukan kompres
hangat dan diberi PCT
- Tidak tampak
penurunan kesadaran
pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi
P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan
-
1 2 3 4 5 6
Pagi Jum’at, Ansietas b.d 1. Mengkaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga S:
13.30 14 Juli akan tentang proses penyakit - klien mengatakan
WIB 2017 dilakukannya 2. Menjelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan cemasnya mulai
tindakan gejala serta penyebab yang mungkin. berkurang untuk
operasi 3. Memberika informasi tentang kondisi klien. menghadapi operasi
4. Menyiapkan/ berikan keluarga atau orang-orang yang O: klien tampak gelisah,
berarti dengan informasi tentang perkembangan klien TD 130/80 mmHg
5. Menyediakan/ berikan informasi tentang diagnosa
klien A: masalah belum teratasi
6. Mendiskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin P: intervensi dilanjutkan
diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau kontrol proses penyakit
7. Mendiskusikan tentang pilihan tentang terapi atau
pengobatan
8. Menjelaskan alasan dilaksanakan tindakan atau terapi.
9. Mendorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau
memperoleh alternatif pilihan.
10. Mengambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
11. Menganjurkan klien untuk mencegah efek samping
dari penyakit
12. Menggali sumber-sumber atau dukungan yang ada
13. Menganjurkan klien untuk melaporkan tanda dan
gejala yang muncul pada petugas kesehatan.
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Post Op

Shift / Hari / Diagnosa Implementasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan Paraf


Jam Tanggal Keperawatan
1 2 3 4 5 6
SORE Jum’at, Nyeri akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
16.00 14 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi - Klien mengatakan takut
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari untuk bergerak
ketidaknyamanan O:
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk Klien tampak meringis saat
mengetahui pengalaman nyeri pasien. bergerak
5. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi - Skala nyeri 4-5
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan - Skala nyeri sedang
kebisingan - Frekuensi nyeri 1 kali
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi untuk dalam 5 menit
mengurangi nyeri yaitu dengan cara tekhnik - Durasi nyeri 20 detik
relaksasi nafas dalam - TD : 110/70 mmHg
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - N : 84 x/i
kemampuan - RR : 20 x/i
8. Kolaborasi : IVFD RL drip ketorolac 30 mg 20 tts/i - S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan
1 2 3 4 5 6
SORE Jum’at, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S
16.00 14 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada Axila, dan minum air putih
lipat paha O:
7. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan dan - Tampak wajah klien
nutrisi kemerahan
8. Kolaborasi : Paracetamol - S : 37,60C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi
P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SORE Jum’at, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S
b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
14 Juli inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
16.00 2017 4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
WIB kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada Axila, dan minum air putih
lipat paha
7. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan dan O :
nutrisi - Tampak wajah klien
8. Kolaborasi : Paracetamol kemerahan
- S : 37,60C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi
P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SORE Jum’at, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
b.d tindakan lain.
16 Juli invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
16.00 2017 istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
WIB dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O:
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tidak ada tampak tanda
tindakan keperawatan. kemerahan pada sekitar
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat luka operasi
pelindung. - Tampak pasien pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama posisi tidur terlentang,
pemasangan alat. pasien imobilisisasi
8. Meningkatkan intake nutrisi. Dan cairan yang - Tidak ada tampak
adekuat pengeluaran cairan pada
9. Memberikan antibiotik sesuai program. daerah luka operasi
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan - Tidak ada tampak tanda
lokal. dan gejala infeksi pada
11. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. daerah luka operasi.
12. Mempertahankan teknik aseptik untuk setiap A:
tindakan. - Masalah Infeksi tidak
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya terjadi
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan P:
latihan.
15. Memberikan injeksi cefazolin 2x1 gram IV. Intervensi 1,2.3,4,5
16. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala dilanjutkan
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
MALAM Jum’at, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
19.00 14 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 20 17 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien O:
5. Mengontrol lingkungan yang dapat - Klien tampak meringis
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, saat
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri 3-4
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Skala nyeri sedang
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara - Frekuensi nyeri 1 kali
tekhnik relaksasi nafas dalam. dalam 5 menit
7. Melanjutkan pemberian analgetik : ketorolak 2 x1 - Durasi nyeri 20 detik
ampul IV. - TD : 110/70 mmHg
- N : 84 x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Jum’at, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
19.30 14 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 20 17 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila
7. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake O:
cairan dan nutrisi - Tampak wajah klien
8. Kolaborasi : Paracetamol 1 tab kemerahan
- S : 37,4 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan
1 2 3 4 5 6
MALAM Jum’at, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
20.00 14 Juli b.d tindakan lain.
WIB 20 17 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan - Klien mengatakan tidak
sebelum dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O :
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai - Tidak ada tampak tanda
alat pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A :
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang - Masalah kerusakan
adekuat integritas kulit belum
9. Memberikan antibiotik cefazolin 2 x 1 gram IV. teratasi
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan P :
lokal.
11. Memonitor WBC. - Intervensi 1,2.3,4,5
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. dilanjutkan
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas
dan latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan
gejala infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi

1 2 3 4 5 6
HARI 2 Sabtu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
PAGI 15 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
09.00 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
WIB kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O :
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 20 detik
7. Melanjutkan pemberian analgetik : ketorolak 2 x1 - TD : 110/70 mmHg
ampul. - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
PAGI Sabtu, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
09.30 b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 15 Juli inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
2017 4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih 2 gelas
axila
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan O:
dan nutrisi - Tampak wajah klien
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab kemerahan
- S : 37,30C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 100 / 70 mmHg
- N :82 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
PAGI Sabtu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
09.30 15 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup. tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O:
tangan. - Tanpak luka bekas operasi
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan masih tertutup verban
keperawatan. - Tidak ada tampak tanda
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat dan gejala infeksi pada
pelindung. daerah luka bekas operasi
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama A:
pemasangan alat. - Masalah kerusakan
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat integritas kulit belum
9. Memberikan antibiotik cefazolin 2x 1 gram IV. teratasi
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan P:
lokal. Intervensi 1,2.3,4,5
11. Memonitor WBC. dilanjutkan
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
SIANG Sabtu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
15.00 15 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri - Skala nyeri 3-4
6. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - Skala nyeri sedang
kemampuan - Frekuensi nyeri 1 kali
dalam 10 menit
- Durasi nyeri 20 detik
- TD : 110/70 mmHg
- N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan.

1 2 3 4 5 6
SIANG Sabtu, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
15.30 15 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan O:
dan nutrisi - Tampak wajah klien
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab kemerahan
- S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SIANG Sabtu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
16.00 15 Juli b.d tindakan lain.
WIB 2017 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O :
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat - Tidak ada tampak tanda
pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A :
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat - Masalah kerusakan
9. Memberikan antibiotik cefazolin 2x 1 gram iv integritas kulit belum
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan teratasi
lokal. P:
11. Memonitor WBC.
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. - Intervensi 1,2.3,4,5
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya dilanjutkan
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Menganjurkan keluarga/klien untuk melaporkan
kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
MALAM Sabtu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
19.00 15 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 20 detik
7. Menganjurkan pasien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
dengan kemampuan. - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan.

1 2 3 4 5 6
MALAM Sabtu, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
19.30 15 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila.
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan O:
dan nutrisi - Tampak wajah klien
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab. kemerahan
- S : 37,3 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Sabtu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
20.00 15 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O :
tangan. - Tanpak luka bekas operasi
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan masih tertutup verban
keperawatan. - Tidak ada tampak tanda
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat dan gejala infeksi pada
pelindung. daerah luka bekas operasi
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama A :
pemasangan alat. - Masalah kerusakan
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat integritas kulit belum
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV teratasi
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan P :
lokal. - Intervensi 1,2.3,4,5
11. Memonitor WBC. dilanjutkan.
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Menganjurkan keluarga/klien untuk melaporkan
kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
HARI 3 Minggu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
16 Juli termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
PAGI 2017 fisik kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari
09.00 ketidaknyamanan - Klien mengatakan takut
WIB 4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk bergerak
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien O:
5. Mengontrol lingkungan yang dapat - Klien tampak meringis
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, saat
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri 3-4
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Skala nyeri sedang
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara - Frekuensi nyeri 1 kali
tekhnik relaksasi nafas dalam dalam 10 menit
7. Menganjurkan pasien untuk mobilisasi sesuai - Durasi nyeri 20 detik
kemampuan. - TD : 110/70 mmHg
- N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan
-

1 2 3 4 5 6
PAGI Minggu, Hipertermia 1.Memonitor suhu sesering mungkin S:
09.30 16 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan - Tampak wajah klien
dan nutrisi kemerahan
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab - S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi
P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
PAGI Minggu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
09.30 16 Juli b.d tindakan lain.
WIB 2017 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O :
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat - Tidak ada tampak tanda
pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A :
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang - Masalah kerusakan
adekuat integritas kulit belum
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x 1 gram teratasi
iv P:
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal. - Intervensi 1,2.3,4,5
11. Memonitor WBC. dilanjutkan
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas
dan latihan.
15. Menganjurkan keluarga/klien untuk melaporkan
kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
SIANG Minggu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
14.30 16 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O :
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 20 detik
7. Menganjurkan pasien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
dengan kemampuan . - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SIANG Minggu, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
15.00 16 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan O:
dan nutrisi - Tampak wajah klien
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab kemerahan
- S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i
A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi
P:
Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SIANG Minggu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
15.30 16 Juli b.d tindakan lain.
WIB 2017 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O:
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat - Tidak ada tampak tanda
pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A:
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat - Masalah kerusakan
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x 1 gram iv integritas kulit belum
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan teratasi
lokal. P:
11. Memonitor WBC.
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. Intervensi 1,2.3,4,5
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya dilanjutkan
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
MALAM Minggu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
19.00 16 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 20 detik
7. Menganjurkan pasien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
kemampuan - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Minggu, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
19.30 16 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan - Tampak wajah klien
dan nutrisi kemerahan
8. Melanjutkan pemberian Paracetamol 3x1 tab - S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Minggu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
20.00 16 Juli b.d tindakan lain.
WIB 2017 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O :
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat - Tidak ada tampak tanda
pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A :
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat - Masalah kerusakan
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV integritas kulit belum
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan teratasi
lokal. P:
11. Memonitor WBC.
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. Intervensi 1,2.3,4,5
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya dilanjutkan
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
HARI 4 Senin Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
PAGI 17 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan
09.00 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, badannya terasa sedikit
WIB kualitas dan faktor presipitasi masih panas
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan
ketidaknyamanan perutnya terasa mual
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik - Klien mengatakan muntah
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 1 kali pada pagi ini
5. Mengontrol lingkungan yang dapat - Klien mengatakan sudah
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, makan (setengah porsi)
pencahayaan, dan kebisingan dan minum air putih ± 2
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi gelas
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara O:
tekhnik relaksasi nafas dalam - Tampak wajah klien
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai masih kemerahan
kemampuan - S : 36,90C sore ini setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :78 x/i
- RR : 20 x/i
A:
- Masalah hipertermia
teratasi
P:
- Intervensi dihentikan

1 2 3 4 5 6
PAGI Senin Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
09.30 17 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake - Tampak wajah klien
cairan dan nutrisi kemerahan
8. Memberikan Paracetamol infus 500 mg - S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
PAGI Senin Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
09.30 17 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup - Klien mengatakan tidak
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum tahu keadaan lukanya
dan setelah kontak dengan klien. - Klien mengatakan tidak
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci ada menyentuh lukanya
tangan. O:
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan. - Tanpak luka bekas operasi
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat masih tertutup verban
pelindung. - Tidak ada tampak tanda
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama dan gejala infeksi pada
pemasangan alat. daerah luka bekas operasi
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat A:
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV - Masalah kerusakan
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan integritas kulit belum
lokal. teratasi
11. Memonitor WBC. P:
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya Intervensi 1,2.3,4,5
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan dilanjutkan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
SIANG Senin Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
14.30 17 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 20 detik
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
kemampuan - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan.

1 2 3 4 5 6
SIANG Senin Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
15.00 17 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake - Tampak wajah klien
cairan dan nutrisi kemerahan
8. Memberikan Paracetamol infus 500 mg - S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
SIANG Senin Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
15.30 17 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup - Klien mengatakan tidak
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum tahu keadaan lukanya
dan setelah kontak dengan klien. - Klien mengatakan tidak
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci ada menyentuh lukanya
tangan. O:
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan. - Tanpak luka bekas operasi
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat masih tertutup verban
pelindung. - Tidak ada tampak tanda
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama dan gejala infeksi pada
pemasangan alat. daerah luka bekas operasi
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat A :
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV - Masalah kerusakan
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan integritas kulit belum
lokal. teratasi
11. Memonitor WBC. P:
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya Intervensi 1,2.3,4,5
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan dilanjutkan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
MALAM Senin Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien :
19.00 17 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3-4
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri sedang
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri 1 kali
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara dalam 10 menit
tekhnik relaksasi nafas dalam. - Durasi nyeri 20 detik
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
kemampuan - N : 82x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37,3 oC
A:
- Masalah nyeri akut belum
mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan.

1 2 3 4 5 6
MALAM Senin Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
19.30 17 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake - Tampak wajah klien
cairan dan nutrisi kemerahan
8. Memberikan Paracetamol infus 500 mg - S : 37,2 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
belum teratasi

P:
- Intervensi 1,2,3,4,6,8
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Senin Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
20.00 17 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O:
tangan. - Tanpak luka bekas operasi
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan masih tertutup verban
keperawatan. - Tidak ada tampak tanda
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat dan gejala infeksi pada
pelindung. daerah luka bekas operasi
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama A:
pemasangan alat. - Masalah kerusakan
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat integritas kulit belum
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV teratasi
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan P:
lokal. Intervensi 1,2.3,4,5
11. Memonitor WBC. dilanjutkan
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
HARI 5 Selasa, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
PAGI 18 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
09.00 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
WIB kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidak - Klien mengatakan takut
nyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri Ringan
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri saat
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara beraktifitas
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 10 detik
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
kemampuan - N : 80 x/i
- RR : 20 x/i
- S : 37 oC
A:
- Masalah nyeri akut sudah
mulai mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
PAGI Selasa, Hipertermia 1. Memonitor suhu sesering mungkin S:
09.30 18 Juli b.d proses 2. Memonitor warna dan suhu kulit - Klien mengatakan
WIB 2017 inflamasi 3. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR badannya terasa panas
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Klien mengatakan
5. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya perutnya terasa mual
kehangatan tubuh - Klien mengatakan sudah
6. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan minum air putih
axila O:
7. Menjurkan klien untuk meningkatkan intake - Tampak wajah klien
cairan dan nutrisi kemerahan
8. Memberikan Paracetamol infus 500 mg - S : 36,6 0C setelah
dilakukan kompres hangat
dan diberi PCT
- Tidak tampak penurunan
kesadaran pada pasien
- Tampak klien sudah
diselimuti
- TD : 110 / 70 mmHg
- N :84 x/i
- RR : 20x/i

A:
- Masalah hipertermia
sudah teratasi

P:
Intervensi dihentikan

1 2 3 4 5 6
PAGI Selasa, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
10.00 18 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup - Klien mengatakan tidak
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum tahu keadaan lukanya
dan setelah kontak dengan klien. - Klien mengatakan tidak
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci ada menyentuh lukanya
tangan. O:
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan. - Tanpak luka bekas operasi
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat masih tertutup verban
pelindung. - Tidak ada tampak tanda
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama dan gejala infeksi pada
pemasangan alat. daerah luka bekas operasi
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat A:
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV - Masalah kerusakan
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan integritas kulit belum
lokal. teratasi
11. Memonitor WBC. P:
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya Intervensi 1,2.3,4,5
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan dilanjutkan
latihan.
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
SIANG Selasa, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
14.00 18 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
WIB 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan takut
ketidaknyamanan untuk bergerak
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik O:
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak meringis
5. Mengontrol lingkungan yang dapat saat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, - Skala nyeri 3
pencahayaan, dan kebisingan - Skala nyeri Ringan
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Frekuensi nyeri saat
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara beraktifitas
tekhnik relaksasi nafas dalam - Durasi nyeri 10 detik
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - TD : 110/70 mmHg
kemampuan - N : 80 x/i
- RR : 20 x/i
- S : 36,6 oC
A:
- Masalah nyeri akut sudah
mulai mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan.

1 2 3 4 5 6
MALAM Selasa, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
18 Juli termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
19.00 2017 fisik kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari
WIB ketidaknyamanan - Klien mengatakan takut
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk bergerak
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien O:
5. Mengontrol lingkungan yang dapat - Klien tampak meringis
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, saat bergerak
penachayaan, dan kebisingan - Skala nyeri 3
6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi - Skala nyeri Ringan
untuk mengurangi nyeri yaitu dengan cara - Frekuensi nyeri saat
tekhnik relaksasi nafas dalam beraktifitas
7. Menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai - Durasi nyeri 10 detik
kemampuan - TD : 110/70 mmHg
- N : 80 x/i
- RR : 20 x/i
- S : 36,6 oC
A:
- Masalah nyeri akut sudah
mulai mulai teratasi
P:
- Intervensi 1,2,5,6,7
dilanjutkan

1 2 3 4 5 6
MALAM Selasa, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain. S :
20.00 18 Juli b.d tindakan 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/
WIB 2017 invasif istirahat yang cukup - Klien mengatakan tidak
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum tahu keadaan lukanya
dan setelah kontak dengan klien. - Klien mengatakan tidak
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci ada menyentuh lukanya
tangan. O:
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan. - Tanpak luka bekas operasi
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat masih tertutup verban
pelindung. - Tidak ada tampak tanda
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama dan gejala infeksi pada
pemasangan alat. daerah luka bekas operasi
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat A:
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x1 gram IV - Masalah kerusakan
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal. integritas kulit belum
11. Memonitor WBC. teratasi
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi. P:
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan Intervensi 1,2.3,4,5
latihan. dilanjutkan
15. Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala
infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

1 2 3 4 5 6
HARI 6 Rabu, Nyeri Akut b.d 1. Mengukur TTV klien S:
Pagi 19 Juli agen cedera 2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif - Klien mengatakan nyeri
09.00 2017 fisik termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, pada daerah bekas operasi
WIB kualitas dan faktor presipitasi
3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari - Klien mengatakan sudah
ketidaknyamanan bisa beraktifitas ringan
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk O:
mengetahui pengalaman nyeri pasien - Klien tampak sedikit
5. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi berhati-hati saat bergerak
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan - Skala nyeri 1
kebisingan - Skala nyeri Ringan
6. Mengingatkan tentang tekhnik non farmakologi untuk - Frekuensi nyeri saat
mengurangi nyeri yaitu dengan cara tekhnik relaksasi beraktifitas
nafas dalam,
- TD : 110/70 mmHg
- N : 80 x/i
- RR : 20 x/i
- S : 36,6 oC
A:
- Masalah nyeri akut sudah
mulai mulai teratasi,
pasien sudah dibolehkan
pulang
P:
- Intervensi dihetikan

1 2 3 4 5 6
Pagi Rabu, Resiko Infeksi 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien S :
09.00 19 Juli b.d tindakan lain.
WIB 2017 invasif 2. Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ - Klien mengatakan tidak
istirahat yang cukup tahu keadaan lukanya
3. Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum - Klien mengatakan tidak
dan setelah kontak dengan klien. ada menyentuh lukanya
4. Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci O:
tangan.
5. Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah - Tanpak luka bekas operasi
tindakan keperawatan. masih tertutup verban
6. Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat - Tidak ada tampak tanda
pelindung. dan gejala infeksi pada
7. Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama daerah luka bekas operasi
pemasangan alat. A:
8. Meningkatkan intake nutrisi dan cairan yang - Masalah infeksi tidak
adekuat terjadi
9. Memberikan antibiotik sesuai cefazolin 2x 1 gram P:
iv
10. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan Intervensi dihentikan, klien
lokal. dibolehkan pulang.
11. Memonitor WBC.
12. Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
13. Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
14. Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan
latihan.
BAB IV
CRITICAL REVIEW EVIDANCE BASED

A. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Skala Nyeri Pada Pasien Post

Operasi.

Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan nyeri yang bertujuan untuk meringankan atau

mengurangi rasa nyeri sampai tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh klien. Ada dua cara

pelaksanaan nyeri yaitu terapi farmakologis dan non-farmakologis. Tindakan perawat

untuk menghilangkan nyeri selain mengubah posisi, meditasi, makan dan membeuat klien

nyaman yaitu mengajarkan teknik relaksasi (Potter& Perry,2005).

Relaksasi Benson merupakan relaksasi menggunakan teknik pernapasan yang baisa

digunakan dirumah sakit pada pasien yang sedang mengalami nyeri atau mengalami

kecemasan. Pada relaksasi benson ada penambahan unsur keyakinan dalam bentuk kata-

kata yang merupakan rasa cemas yang sedang dialami. Kelebihan dari latihan teknik

relaksasi dibandingkan teknik lainnnya adalah lebih mudah dilakukan dan tidak ada efek

samping apapun (sholehati & Kosasih, 2015). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Wallace, Benson, dan Wilson (1971) diperoleh hasil, bahwa dengan meditasi dan relaksasi

terjadi penurunan kosumsi oksigen, output CO2, ventilasi seluler, frekuensi nafas dan

kadar laktar sebagai indikasi penurunan tingkat stress, selain itu ditemukan bahwa PO2

atau konsentrasi oksigen dalam darah tetap konstan, bahkan meningkat sedikit.

Benson (2000) mengatakan jika individu mulai merasa cemas, maka akan merangsang

saraf simpatis sehingga akan memperburuk gejala-gejala kecemasan sebelumnya.

Kemudian daur kecemasan dan nyeri dimulai lagi dengan dampak negatif semakin besar

terhadap pikiran dan tubuh (Solehati & Kosasih, 2015). Dari hasil penelitian yang

dilakukan Roykulcharoen (2004) yang berjudul the effeck of systemic relaxation technique
on postoperative pain in thailand menyatakan bahwa pengurangan substansial dalam

sensasi dan kesusahan sakit ditemukan saat pasien pasca operasi dengan menggunakan

relaksasi yang sistematis termasuk relaksasi Benson (Rasubala,G at all, 2017).

Teknik relaksasi menyebabkan peningkatan gelombang otak lambat di EEG dengan

mengurangi konsumsi oksigen, tekanan darah, jumlah pernapasan dan jumlah denyut nadi.

Oleh karena itu, dinyatakan bahwa sensitivitas yang dikembangkan terhadap rasa sakit

harus dicegah dengan menggunakan teknik ini (Karagöz, 2006).

Teknik yang digunakan dalam memberikan relaksasi spiritual dan fisik dirangkum di

bawah ini:

- Respirasi memberikan relaksasi: Disediakan untuk fokus pada respirasi dan menghindari

pikiran yang mengganggu dengan menarik napas dalam-dalam melalui hidung dan

mengembalikannya dalam waktu lama melalui mulut. Teknik ini bisa diaplikasikan selama

5-10 menit per hari (Nordin 2002).

- Perawatan relaksasi otot yang canggih: Hal ini bertujuan untuk mengurangi kontraksi

yang tidak diinginkan dengan menentukannya melalui pembuatan kontrak pasien dan

rilekskan kelompok otot tertentu ke tubuhnya (Nordin 2002).

Dalam sebuah survei perawat oleh Brolinson, Price, Ditmyer, dan Reis (2001)

tentang terapi komplementer atau alternatif, perawat diminta untuk menanggapi

keselamatan terapi dan juga penggunaannya. Tujuh puluh sembilan persen perawat dalam

penelitian ini menganggap pendidikan profesional mereka di bidang terapi komplementer

atau alternatif agar adil atau buruk. Perawat yang menyelesaikan survei merekomendasikan

agar terapi pelengkap dan alternatif disertakan dalam kurikulum pendidikan keperawatan

dasar sarjana muda. Perawat ini merasakannya Biofeedback, chiropractic, dan meditasi /

relaksasi adalah tiga terapi nonpharmacological yang paling efektif. Terapi komplementer

dan alternatif dapat digunakan untuk berbagai masalah kesehatan tidak hanya rasa sakit;
Namun, ada beberapa yang digunakan untuk membantu mengobati rasa sakit dan bisa

diimplementasikan oleh perawat.

Manajemen nyeri nonfarmakologis adalah satu pendekatan terhadap metode penghilang

rasa sakit yang komprehensif. Mereka tidak menggantikan metode penanganan nyeri

farmakologis dan dapat digunakan bersamaan dengan praktik nyeri farmakologis untuk

meningkatkan rasa sakit pada pasien. Terapi manajemen nyeri nonfarmakologis dapat

dikelompokkan menjadi tiga kategori. Ada strategi kognitif atau perilaku, termasuk

gangguan, relaksasi, citra, dan teknik pernapasan. Kategori kedua adalah strategi fisik atau

kutaneous, yang meliputi panas / dingin, getaran, pijatan, perubahan posisi, dan stimulasi

saraf trans-listrik (TENS). Akhirnya, ada strategi lingkungan atau emosional seperti

sentuhan, kepastian, atau dekorasi interior ruangan (Polkki, Vehvilainen-Julkunen &

Pietila, 2001).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Grece Frida Rasubala at all ,2017 di

RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dan RS TK III R.W. Mongosidi Telling Manado

ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada teknik relaksasi Benson terhadap

skala nyeri pada pasien post operasi apendiksitis dan beberapa jurnal diatas, maka penulis

juga melakukan intervensi yang sama kepada An. A dengan tujuan untuk mengetahui

apakah ada kesamaan hasil ataukah ada perbedaan hasil antara jurnal dengan tindakan

nyata yang dilakukan oleh penulis. Setelah membaca dan menganalisa jurnal, penulis

akhirnya melakukan intervensi kepada An. A yang mengalami Apendiksitis Akut di Rawat

Inap bedah RSUD Kota Padang Panjang. Penulis memilih untuk melakukan terapi relaksasi

Benson untuk mengurangi nyeri apendiksitis akut.


An. Amengeluhkan nyeri pada bagian perut kanan bawah dengan skala 5 – 6 (nyeri

sedang). Penulis kemudian melakukan intervesi terapi relaksasi Benson pada Tn A

.Intervensi ini dilakukan penulis pada tanggal 14 - 19 Juli 2017. Penulis mengajarkan
kepada pasien untuk bernapas dengan lambat dan dalam. Frekuensi napas pasien diatur

untuk tidak lebih dari 10 kali permenit dengan fase inhalasi (menarik napas) yang panjang

selama 30 menit. Setelah intervensi relaksasi Benson dilakukan, skala nyeri klien

kemudian diukur kembali dan didapatkan skala nyeri klien berubah menjadi 3-4 (nyeri

ringan). Pada saat dilakukan terapi latihan relaksasi Benson , An. A sebelumnya sudah

mendapatkan terapi analgetik, hal ini berarti terapi analgetik yang dikombinasi dengan

latihan terapi relaksasi Benson efektif menurunkan nyeri akibat apendiksitis akut.
Dari intervensi yang telah dilakukan kepada An. A maka didapatkan hasil yaitu ada

pengaruh latihan terapi relaksasi Benson terhadap intensitas nyeri perut kanan bawah

akibat apendiksitis akut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Grece Frida

Rasubala et al (2017), dimana ada pengaruh latihan terapi relaksasi Benson terhadap

intensitas nyeri kepala akut pada pasien apendiksitis akut.

Menurut Yurdanur Demir, 2012 menyatakan bahwa Perawatan panas menggerakkan busur

refleks yang menghambat rasa sakit dengan menggunakan reseptor panas dan mengurangi

rasa sakit dengan efek vasodilatasi. Ini murah dan mudah digunakan dan memiliki efek

samping minimal bila digunakan secara teratur. Hal ini dapat diterapkan secara mendalam

atau pada permukaan. Aplikasi ke permukaan meliputi kompres panas, pemandian air

hangat dan penggunaan paraphine. Aplikasi dalam seperti ultrasound dapat meningkatkan

suhu jaringan yang sedalam tiga sampai lima sentimeter (Arslan & Çelebioğlu, 2004).

B. Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Motiitas Usus Pada Pasien Apendiktomi


Pemberian kompres hangat akan memberikan impuls hangat yang diterima reseptor suhu

dibawah kulit abdomen dihantarkan kesistem saraf pusat oleh serabut saraf tipe C.

Hipotalamus mengatur kerja sistem saraf otonom. Saraf parasimpatis pada neuron
prostanglion yang teransang akan melepaskan asetilkolin. Asetilkolin yang dilepaskan akan

diterima oleh reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal, sehingga plksus ini

akan terangsang. Salah satu efek dari rangsangan pleksus mienterikus yaitu terjadi

peningkatan konduksi gelombang eksitatorik disepanjang dinding usus, menyebabkan

pergerakan usus lebih cepat (Sasmito, 2011). Mekanisme ini dibuktikan pada penelitian ini

bahwa sebagian besar responden mengalami peningkatan motilitas usus setelah diberikan

kompres hangat selama 30 menit.

Pada kelompok kontrol pada penilaian pre-test didapatkan rata-rata nilai motilitas usus

sebesar 2,08 dan pada penilaian post- test nilai motilitas usus pasien sebesar 2,33 dengan

rata-rata selisih nilai tersebut sebesar 0,25. Hasil uji statistik yang dilakukan menggunakan

uji t-test Paired didapatkan hasil bahwa nilai signifikansi (2-tailed) adalah 0,339 yang

berarti p>0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada perbedaan yang signifikan

antara nilai motilitas usus pre-test dan post-test pada kelompok kontrol yang tidak

diberikan kompres hangat. Hal ini dikarenakan tidak dilakukan permberian kompres

hangat seperti yang dilakukan pada kelompok kontrol. Selain itu motilitas usus pasien

apendiktomi dapat dipengaruhi oleh manipulasi pada usus secara langsung dan efek agen

anestesi yang digunakan pada saat pembedahan seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya.

Pada penilitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara

selisih nilai motilitas usus antara kelompok perlakuan dan kontrol dengan nilai p<α

(0,000 < 0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka Ho ditolak, yang artinya terdapat

pengaruh kompres hangat terhadap motilitas usus pada pasien apendiktomi di ruang

Bougenville BRSU Tabanan. Berdasarkan dari perbedaan yang signifikan tersebut,

kompres hangat dapat digunakan sebagai suatu intervensi keperawatan dalam perawatan

pasien apendiktomi yang mengalami penurunan motilitas usus. Penurunan motilitas terjadi
karena efek dari anestesi dan manipulasi yang dilakukan pada saat proses

pembedahan.

Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hypothalamus

melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas

dihypotalamus dirangsang, system effektor mengeluarkan sinyal yang memulai

berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh

pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh

hypotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Akibat dari vasodilatasi

pembuluh darah akan meningkatkan aliran darah splanknik (Pembuluh darah sistem

gastrointestinal). Peningkatan aliran darah tersebut sesuai teori yang di kemukakan

Sherwood (2011) akan membawa hormon-hormon yang telah dikeluarkan sel-sel kelenjar

endokrin seperti gastrin dan motilin dalam darah kemudian diedarkan. Hormon-hormon

ini akan menimbulkan efek eksitatorik disepanjang dinding usus dan otot polos, maka

akan terjadi motilitas usus (Widastra. at al, 2014).

Intervensi kutaneous seperti kerja panas atau dingin sesuai dengan teori kontrol gerbang

transmisi nyeri. Stimulasi kulit mengaktifkan serabut saraf berdiameter besar dan

mencegah serabut saraf berdiameter pendek dari mentransmisikan rasa sakit ke otak (Titler

& Rakel, 2001). Rangsangan kutaneous bisa diaplikasikan ke tempat nyeri atau distal atau

proksimal pada nyeri. Menurut Mccaffery (1990), penggunaan dingin hampir selalu lebih

efektif daripada panas, dan bolak dingin dan panas bahkan lebih efektif daripada

menggunakan satu metode termal saja (Titler & Rakel, 2001). Panas dan dingin

menyebabkan penurunan kepekaan terhadap rasa sakit atau mengurangi kejang otot dan

mungkin itulah sebabnya mereka bekerja untuk menghilangkan rasa sakit (Titler & Rakel,

2001).
Berdasarkan jurnal diatas penulis melaksakan intervensi pemberian kompres hangat pada

perut sebelah kiri (kuadran IV) An. A dengan waktu pemberian selama 30 menit. Sebelum

dilakukan pemberian kompres hangat penulis menemukan peristalktik usus dalam 1 menit

hanya 1 kali dan terdengar agak halus, setelah pemberian kompres hangat dengan rentang

waktu pemeriksaan selama 30 menit, peristaltik usus menjadi 2 kali permenit. Hal ini

sudah mulai mendekati normal ( 3 kali permenit). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Widastra. at al, 2014.

C. Kompres Air Hangat Pada Daerah Aksila dan Dahi Terhadap Penurunan Suhu

Tubuh

Suhu tubuh yang meningkat lebih dari normal atau demam merupakan suatu pertanda

adanya gangguan kesehatan dan disebut sebagai keluhan yang dirasakan oleh seseorang

tetapi bukan merupakan suatu diagnosis. Suhu tubuh pada kondisi demam dapat digunakan

sebagai salah satu ukuran mengenai membaik atau memburuknya kondisi pasien.

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi atau

peradangan sebagai respon terhadap invasi mikroba, sel-sel darah putih tertentu

mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen yang memiliki banyak

efek untuk melawan infeksi.

Demam adalah keadaan dimana terjadi kenaikan suhu hingga 38° C atau lebih. Ada

juga yang mengambil batasan lebih dari 37,8°C, sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 40°C

disebut demam tinggi/ hiperpireksia. Demam dapat membahayakan apabila timbul dalam

suhu yang tinggi. Demam tinggi adalah demam yang mencapai 41,1°C (106°F) atau lebih.

Pada demam tinggi dapat terjadi alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, kerusakan hati,

kelainan EKG, dan berkurangnya aliran darah otak. Selain itu dampak yang dapat

ditimbulkan jika demam tidak ditangani maka akan dapat menyebabkan kerusakan otak,
hiperpireksia yang akan menyebabkan syok, epilepsy, retardasi mental atau

ketidakmampuan belajar.

Demam atau suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan berbagai cara. Cara yang

paling sering digunakan adalah meminum obat penurun demam seperti Paracetamol

ataupun Ibuprofen. Selain itu adalah dengan mengobati penyebab demam, dan apabila

ternyata demamnya karena infeksi oleh bakteri maka diberikan antibiotik untuk

membunuh bakteri. Tetapi obat- obatan saja tidak cukup, sehingga perlu dilakukan

kompres untuk membantu menurunkan suhu tubuh saat demam.

Kompres hangat merupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh. Pemberian kompres

hangat pada daerah aksila (ketiak) lebih efektif karena pada daerah tersebut banyak terdapat

pembuluh darah besar dan banyak terdapat kelenjar keringat apokrin yang mempunyai

banyak vaskuler sehingga akan memperluas daerah yang mengalami vasodilatasi yang

akan memungkinkan percepatan perpindahan panas dari dalam tubuh ke kulit hingga

delapan kali lipat lebih banyak. Lingkungan luar yang hangat akan membuat tubuh

menginterpretasikan bahwa suhu di luar cukup panas sehingga akan menurunkan kontrol

pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh lagi, juga akan

membuat pori-pori kulit terbuka sehingga mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.

Berdasarkan jurnal diatas penulis melaksakan intervensi pemberian kompres hangat pada

dahi dan axila. Setelah dilakukan kompres hangat dengan menggunakan handuk kecil

pada dahi dan axila terjadinya penurunan suhu tubuh pada An. A dari 37,8 0 C menjadi

37,6 0 C, hal ini membuktikan terjadinya penurunan suhu tubuh 0,2 0 C.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tamsuri yang

menyatakan daerah ketiak terdapat vena besar yang memiliki kemampuan proses

vasodilatasi yang sangat baik dalam menurunkan suhu tubuh dan sangat dekat dengan otak
yang merupakan tempat terdapatnya sensor pengatur suhu tubuh yaitu hypothalamus. Hasil

penelitian ini mendukung hasil penelitian Juwariyah bahwa kompres air hangat lebih

efektif 74,6% untuk menurunkan suhu pada pasien anak dengan demam dari pada kompres

plester. Hasil penelitian didukung hasil penelitian Sukmawati yang menunjukkan kompres

di ketiak memberikan efektivitas tinggi bila dibandingkan kompres di dahi dengan derajat

penurunan suhu masing 0,234 0 C dan 0,145 0 C.

D. Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri

Hasil Penelitian Rr. Caecilia Yudistika P at al menunjukan bahwa :

Tingkat Nyeri Sebelum Dilakukan Mobilisasi Dini

Nilai mean atau rata-rata skala nyeri yang dialami responden sebelum dilakukan mobilisasi

dini adalah 7,75 atau termasuk dalam kategori skala nyeri berat menurut Mac Caffery dan

Beebe. Penelitian yang dilakukan Dian Novita pada tahun 2012, menunjukkan bahwa

skala nyeri yang mayoritas dialami oleh klien post operasi adalah kategori skala nyeri

berat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, skala nyeri responden sebelum

dilakukan mobilisasi dini walaupun mayoritas ada di skala 10 yakni kategori nyeri berat,

namun terdapat 2 responden yang juga mengalami nyeri dan berada pada skala nyeri

sedang. Nyeri merupakan sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.

Hasil penelitian menununjukkan bahwa tidak ada responden yang tidak mengalami

nyeri. Hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam Smeltzer & Bare, dimana nyeri yang

dialami klien post operasi muncul disebabkan oleh rangsangan mekanik luka yang

menyebabkan tubuh menghasilkan mediator- mediator kimia nyeri, sehingga muncul

nyeri pada setiap klien post operasi. Intensitas nyeri post operasi bervariasi mulai dari
nyeri ringan sampai berat, namun menurun sejalan dengan proses penyembuhan.

Perbedaan nyeri tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor.

Faktor yang mempengaruhi nyeri post operasi abdomen diantaranya adalah faktor

usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman

sebelumnya, gaya koping, dukungan keluarga dan sosial. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh I Putu Artha Wijaya dalam jurnal yang berjudul Analisis Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasien Pasca Bedah Abdomen dalam Kontek

Asuhan Keperawatan di RSUD Badung Bali mengemukakan bahwa, faktor-faktor yang

mempengaruhi nyeri post operasi abdomen diantaranya adalah usia, jenis kelamin,

spiritualitas, budaya, tingkat pendidikan, pengalaman nyeri sebelumnya, sikap dan

keyakinan, tingkat kecemasan, dan letak insisi.

Hasil penelitian pada klien post operasi apendektomi sebelum dilakukan mobilisasi dini ini

menununjukkan bahwa klien post operasi apendektomi masih merasakan nyeri yang berat

meskipun diberikan terapi farmakologis. Oleh karena itu diperlukan terapi nonfarmakologis

yang digunakan untuk mendampingi terapi farmakologis, sehingga dapat membantu untuk

mengurangi nyeri. Apabila nyeri post operasi tidak dikontrol, maka dapat

menyebabkan proses rehabilitasi klien tertunda dan hospitalisasi menjadi lebih lama. Hal

ini karena klien memfokuskan semua perhatiannya pada nyeri yang dirasakan.

Tingkat Nyeri Setelah Dilakukan Mobilisasi Dini

Hasil rata-rata skala atau nilai mean dari skala nyeri klien setelah dilakukan mobilisasi

dini adalah 5,62 (kategori nyeri sedang) dengan standar deviasi ± 1,99, dalam penelitian ini

tidak ada responden yang mengalami kategori tidak nyeri post operasi apendektomi

setelah dilakukan mobilisasi dini. Skala nyeri sebelum dan setelah dilakukan mobilisasi

dini terjadi penurunan, dari rerata 7,75 yang termasuk kategori skala nyeri berat menjadi
5,62 yang termasuk kategori skala nyeri sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai

skala nyeri responden sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi dini secara keseluruhan

mengalami penurunan.

Hasil uji statistik dependent t-test, didapatkan hasil uji bivariat dependent t-test atau

paired t-test dengan p value = 0,000 yang artinya terdapat perbedaan bermakna antara skala

nyeri sebelum dilakukan mobilisasi dini dengan skala nyeri setelah dilakukan mobilisasi

dini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, nilai skala nyeri responden setelah

dilakukan mobilisasi dini didapatkan hasil bahwa 100% responden mengalami penurunan

nilai skala nyeri dan hasil rerata penurunan skala nyeri klien sebelum dan setelah

dilakukan mobilisasi dini adalah dari rerata 7,75 yang termasuk kategori skala nyeri berat

menjadi 5,62 yang termasuk kategori skala nyeri sedang.

Penurunan skala nyeri tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya pengalihan pemusatan

perhatian klien, yang sebelumnya berfokus pada nyeri yang dialami, namun saat dilakukan

mobilisasi dini, pemusatan perhatian terhadap nyeri dialihkan pada kegiatan mobilisasi

dini. nyeri yang terjadi pada seseorang akibat adanya rangsang tertentu seperti tindakan

operasi, dapat diblok ketika terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan stimulus pada serabut

yang mengirimkan sensasi tidak nyeri diblok pada sirkuit gerbang penghambat.

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi

pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini.

Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah

terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari

rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus,

kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan

pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih (Carpenito, 2000). Namun, bila
terlalu dini dilakukan dengan teknik yang salah, mobilisasi dapat mengakibatkan proses

penyembuhan luka menjadi tidak efektif. Oleh karena itulah, mobilisasi harus dilakukan

secara teratur dan bertahap, diikuti dengan latihan Range of Motion (ROM) aktif dan pasif

(Roper, 2002).

Setelah dilakukan penelitian tentang “Efektivitas mobilisasi dini terhadap penyembuhan

luka post operasi apendisitis” maka didapatkan karakteristik responden dimana untuk

usia kelompok eksperimen memiliki rata- rata usia responden yakni 27,53 dengan standar

deviasi yakni 5,069 dan untuk usia kelompok kontrol memiliki rata-rata usia responden

yakni

28,53 dengan standar deviasi 6,26. Sedangkan untuk pendidikan kelompok eksperimen

didapatkan rata-rata yakni 1,87 dengan standar deviasi yakni 0,915 dan untuk pendidikan

kelompok kontrol didapatkan rata-rata yakni 1,80 dengan standar deviasi yakni

0,941. Hasil uji statistik mann-whitney didapatkan nilai p= 0,028 berarti p value < α

(0,05) maka Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan proses penyembuhan luka antara klien yang dengan pemberian mobilisasi dini

dengan tanpa pemberian mobilisasi dini, sehingga pemberian mobilisasi dini dirasakan

lebih efektif dibandingkan dengan tanpa pemberian mobilisasi dini.

Berdasarkan jurnal diatas penulis melaksanakan intervensi terhadap An. A dengan

menganjurkan untuk mobilisasi sesuai dengan kemampuan pasien. Dalam hal ini penulis

menemukan bahwa disamping pemberian analgetik, mobilisasi dini juga berpengaruh

terhadap tingkat nyeri klien post operasi apendiktomy. Sebelum mobilisasi skala nyeri

pasien 4-5, setelah 3 hari perawatan skala nyeri pasien berubah menjadi 3, pada hari ke 4

dan ke 5 rawatan skala nyeri pasien menjadi 1-2 (nyeri ringan). Pada hari ke 6 pasien

dibolehkan pulang oleh dokter yang merawat.


BAB V
PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan suatu proses

yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Potter dan perry, 2005).
Pada saat mengkaji riwayat kesehatan klien, keluarga cukup kooperatif dalam

memberikan berbagai informasi yang di butuhkan untuk menegakan diagnosa.

Disamping itu dukungan dari perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang

Panjang dikatakan baik dalam memberikan perawatan kepada An. A.


Pada saat pengkajian tanggal 14 Juli 2017, keluarga An.A mengatakan bahwa

klien mengeluhkan sakit perut sebelah kanan bawah, kadang-kadang sakit keseluruh

bagian perut,terasa mual. Klien sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik, yang

artinya GCS klien 15 dan tidak ada mengalami penurunan kesadaran. Klien

mengatakan mengalami kejadian sakit perut sejak 15 hari yang lalu sebelum masuk

rumah sakit. Ayah klien juga mengatakan anaknya menderita sakit perut sejak 15 hari

yang lalu dan ayah pasien mengatakan anaknya kemungkinan anaknya sakit maag dan

diberikan obat antasida. Namun setelah dilakukan pemeriksaan saat dirawat di rumah

sakit anaknya ternyata di diagnosa menderita apendiksitis akut.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau

potensial pasien terhadap masalah kesehatan dan perawat mempunyai izin dan

berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial pasien didapatkan dari
data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis pasien di masa

lalu yang dikumpulkan selama pengkajian (Potter dan Perry, 2005).

Berdasarkan teori dari tinjauan teoritis terdapat beberapa masalah keperawatan

pada pasien dengan apendiksitis akut sperti yang dibawah ini :

Pre op

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan intestinal

oleh inflamasi)
f. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunana

peristaltik
g. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah
h. Ansietas berhubungan dengan akan dilaksankannya operasi

Post op

f. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi

appendiktomi)
g. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi

inadekut b/d faktor biologis ( mual, muntah, puasa)


h. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan)
i. Defisit self care berhubungan dengan nyeri
j. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang informasi.

Dari sekian banyak diagnosa keperawatan yang ada di teoritis tidak seluruhnya

dialami oleh klien. Sesuai dengan data objektif dan data subjektif klien maka

dirumuskan 6 diagnosa keperawatan yang sesuai dengan keadaan klien saat ini yaitu :

1. Pre Op
a. Nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi
b. Hipertermi b.d proses inflamasi
c. Ansietas b.d akan dilakukannya tindakan operasi
2. Post Op
a. Nyeri Akut b.d luka insisi post op
b. Hipertermi b.d proses inflamasi
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan)
Dengan diangkatnya diagnosa keperawatan utama diatas, diharapkan dapat

mengatasi masalah keperawatan pada klien Apendiksitis. Penulis juga merencanakan

pemberian penyuluhan-penyuluhan yang akan meningkatkan pengetahuan pasien dan

mempercepat proses penyembuhan pasien.


Berdasarkan diagnosa yang penulis temukan pada kasus An.A, penulis

menemukan kesamaan dengan diagnosa teori, namun ada beberapa diagnosa yang ada

pada teori namun tidak ditemukan pada kasus.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi (perencanaan) adalah kategori dalam perilaku keperawatan dimana

tujuan yang terpusat pada pasien dan hasil yang diperkirakan dan ditetapkan sehingga

perencanaan keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter dan Perry,

2005).
Selama perencanaan, dibuat prioritas pemecahan masalah terhadap intervensi

kepada An. A selain berkolaborasi dengan keluarga, penulis juga melibatkan dokter,

perawat, dan ahli gizi di ruangan rawat inap bedah RSUD Kota Padang Panjang. Hasil

yang diharapkan dirumuskan berdasarkan Nanda, NIC dan NOC dengan sasaran

spesifik masing-masing diagnosa dan perencanaan tujuan, dengan membuat

implementasi berdasarkan intevensi.

Diagnosa yang sesuai dengan teori adalah sebagai berikut :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan intestinal

oleh inflamasi)
Diagnosa ini penulis temukan pada An. A, karena pada saat pengkajian

didapatkan data peningkatan jumlah leukosit dari normal yaitu 20.850 u/L (5000-

10.000 u/L). Nyeri tekan dan nyeri lepas pada Mc. Burnney, mual, suhu 37,8 oC,

klien tanpak memegang perutnya sebelah kanan bawah dan klien mengatakan nyeri

pada perut kanan bawah. Untuk mengatasi permasalahan keperawatan yang dialami
klien yaitu nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis penulis melakukan

intervensi keperawatan teknik relaksasi benson yang penulis ambil dari jurnal “

Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Skala Nyeri”. Namun setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 1 kali nyeri tidak sepenuhnya teratasi

berhubung proses inflamasi masih berlangsung. Selanjutnya penulis melakukan

kolaborasi dengan perawat ruangan dan dokter penanggung jawab pasien untuk

therapi selanjutnya. Setelah kolaborasi dilakukan, pasien disiapkan untuk tindakan

operasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Untuk diagnosa keperawatan hipertemia berhubungan dengan proses

inflamasi, klien mengeluhkan badannya terasa panas, klien mengeluhkan mual ,

klien juga mengeluhkan kepalanya pusing, setelah diukur suhu klien 37,8 oC,

leukosit 20.850 u/L. Untuk mengatasi demam pada klien maka sesuai dengan

jurnal, penulis melakukan intervensi kompres hangat untuk penatalaksanaan

demamnya. Untuk kompres hangat dibutuhkan air hangat dengan suhu 43 oC,

kemudain handuk kecil dimasukkan ke air hangat dan diperas kemudian diletakkan

di dahi dan axila. Setelah dilakukan implementasi selama 2 jam diagnosa

keperawatan hipertermia belum teratasi. Selanjutnya penulis melakukan kolaborasi

dengan perawat ruangan dan dokter penanggung jawab klien untuk therapi

selanjutnya. Selesai melakukan kolaborasi dilakukan, pasien disiapkan untuk

tindakan operasi. Setelah klien menjalani operasi dan kembali keruagan menjalani

rawat inap selama 6 hari. Intervensi keperawatan tentang hipertermi dihentikan

setelah 5 hari pelaksanaan disebabkan karena suhu tubuh klien normal yaitu 36,6oC.

3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi


Diagnosa ini penulis temukan pada An. A, diagnosa ini diangkat karena An. A

dan keluarga merasa cemas dalam menghadapi operasi. Berdasarkan permasalahan


keperawatan Ansietas penulis melakukan intervensi keperawatan membina

hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga, melakukan komunikasi

terapeutik dan menjelaskan kepada klien tentang penyakit dan prosedur

pembedahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 kali pertemuan klien

merasa sudah siap untuk menjalani operasi apendiktomy.


4. Nyeri Akut berhubungan dengan luka insisi post op
Untuk diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post

op, agen cedera fisik, klien mengeluhkan nyeri pada luka bekas operasi dengan

skala 4-5 serta mengeluhkan kepalanya pusing. Untuk mengatasi nyeri pada bagian

bekas operasi penulis menganjurkan klien untuk mobilisasi sesuai dengan

kemampuan klien beraktifitas yang dapat memperberat kondisi nyeri.


Untuk mengatasi nyeri pada daerah bekas operasi penulis melakukan

intervensi yang didapatkan oleh penulis melalui jurnal yaitu melakukan latihan

teknik relaksasi Benson dimana latihan ini merupakan tekhnik relaksasi pernapasan

dengan melibatkan keyakinan yaitu klien membaca Al fatihah selama melakukan

relaksasi dan tetap menutup mata selama 2 menit lalu membukanya dengan

perlahan. Latihan ini dilakukan dengan frekuensi 1 kali sehari selama 10 menit.

Setelah dilakukan latihan teknik relaksasi Benson, nyeri klien berkurang pada skala

1-2 (nyeri ringan). Implementasi dilakukan selama 6 hari maka diagnosa

keperawatan nyeri akut dapat teratasi dan klien sudah diperbolehkan pulang.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan)
Untuk diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif, klien

mengeluh demam dengan suhu 37,8oC, daerah sekitar luka operasi terasa nyeri dan

terasa panas. Untuk mengatasi resiko terjadinya infeksi intervensi keperawatan yang

penulis lakukan adalah dengan melakukan teknik aseptik setiap melaksanakan

tindakan, melakukan kebersihan tangan sebelum dengan cara mencuci tangan

dengan handsrub, memakai peralatan yang steril, mengobservasi kondisi kulit di area
luka bekas operasi sepeti tanda-tanda calor, rubor, dolor, tumor dan functio laesa

serta memberikan antibiotik sesuai dengan hasil kolaborasi yaitu ceptrison 2 x 2

gram. Setelah klien menjalani perawatan selama 6 hari, tanda-tanda infeksi tidak

ditemukan dengan kesimpulan resiko infeksi tidak terjadi, intervensi dihentikan dan

klien dibolehkan pulang. Persiapan pasien pulang penulis menginstruksikan klien dan

keluarga untuk tetap menjaga personal higiene.


B. Diagnosa Keperawatan teori yang tidak ditemukan pada kasus
1. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunana

peristaltic.
Klien An. A tidak ada mengalami kontipasi sehingga penulis tidak menegakkan

diagnosa ini pada An. A. Hal ini disebabkan peristaltic usus klien cepat kembali

normal setelah dilakukan kompres hangat pada perut klien bagian kiri. Intervensi

ini penulis ambil dari jurnal “ Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus Pada

Pasien Apendiktomi”.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah
Klien An. A tidak ada mengalami kekurangan volume cairan berhubung karena

An. A tidak mengalami muntah setelah menjalani perawatan, yang ditandai

dengan turgor b]kulit baik, intake dan out put seimbang.


3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi

inadekut b/d faktor biologis ( mual, muntah, puasa).


Klien An. A tidak ada mengalami intake nutrisi inadekuat berhubung karena

klien An. A tidak ada mengalami muntah selama menjalani perawatan, sehingga

pemenuhan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi secara baik.


4. Defisit self care berhubungan dengan nyeri
Defisit self care klien tidak terjadi, hal ini disebabkan karena pengaruh

mobilisasi dini yang dilakukan klien sehingga tingkat nyeri klien berkurang.

Disamping itu dukungan yang diberikan keluarga klien sangat baik, keluarga

mampu menjaga kebrsihan diri klien. Hal ini sesuai dengan jurnal yang penulis
ambil yaitu “ Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Perubahan Tingkat Nyeri Klien

Post Operasi Apendiktomi”.


5. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang informasi.


Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis tidak bisa penulis tegakan karena

orang tua klien yang berlatar belakang pendidikan perawat juga memahi tentang

prognosis dan kebutuhan pengobatan post apendiktomi.


D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk

membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang

lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.


Berdasarkan dari perencanaan keperawatan dilakukan beberapa aktifitas dari

masing-masing diagnosa, penulis melakukan komunikasi setiap tindakan dan kegiatan

yang dilakukan, konseling, dan penyuluhan.


Komunikasi yang digunakan adalah komunikasi terapeutik kepada klien dan

keluarga, dimana penulis dan klien menjalin hubungan saling percaya, sehingga klien

nyaman saat dilakukan tindakan. Asuhan keperawatan berupa tindakan telah dilakukan

kepada klien dengan diagnosa sebagai berikut :


A. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan

intestinal oleh inflamasi)


1. Mengkaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi perut kanan bawah,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.


2. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri

klien sebelumnya.
4. Memberikan lingkungan yang tenang dengan membatasi kunjungan
5. Mengajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi

nyeri dengan mengajarkan teknik nafas dalam dengan cara tarik nafas dalam

melalui hidung kemudian hembuskan secara perlahan melalui mulut


6. Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
7. Mengevaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
8. Memonitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik:
9. Mengecek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
10. Mengecek riwayat alergi.
11. Memonitor V/S
12. Memberikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
13. Mengevaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

B. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


8. Memonitor suhu sesering mungkin
9. Memonitor warna dan suhu kulit
10. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
11. Memonitor penurunan tingkat kesadaran
12. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
13. Melakukan kompres hangat pasien pada dahi dan axila
14. Kolaborasi : Paracetamol .

C. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi


1. Mengkaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
2. Menjelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebab

yang mungkin.
3. Menyediakan/ berikan informasi tentang kondisi klien
4. Menyiapkan/ berikan keluarga atau orang-orang yang berarti dengan informasi

tentang perkembangan klien


5. Menyediakan/ berikan informasi tentang diagnosa klien
6. Mendiskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk

mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses

penyakit
7. Mendiskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
8. Menjelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
9. Mendorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif

pilihan
10. Mengambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
11. Menganjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
12. Menggali sumber-sumber atau dukungan yang ada
13. Menganjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada

petugas kesehatan.

D. Nyeri Akut berhubungan dengan luka insisi post op


1. Mengukur TTV klien
2. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi


3. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
4. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman

nyeri pasien
5. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan, dan kebisingan


6. Mengajarkan tentang tekhnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri yaitu

dengan cara tekhnik relaksasi nafas dalam


7. Menganjurkan pasien untuk istirahat
8. Kolaborasi : IVFD RL drip ketorolac 30 mg 20 tts/i

E. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan)


1) Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
2) Membatasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ istirahat yang cukup
3) Menganjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan

klien.
4) Menggunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
5) Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
6) Menggunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
7) Mempertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
8) Meningkatkan intake nutrisi. Dan cairan yang adekuat
9) Memberikan antibiotik sesuai program.
10) Proteksi terhadap infeksi
11) Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
12) Memonitor WBC.
13) Memonitor kerentanan terhadap infeksi.
14) Mempertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
15) Menginspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
16) Menginspeksi keadaan luka dan sekitarnya
17) Memonitor perubahan tingkat energi.
18) Mendorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan latihan.
19) Menginstruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program (Cefazoline 2 x

1 gr)
20) Mengajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.dan melaporkan

kecurigaan infeksi.

F. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan

pelaksanaan yang sudah berhasil dicapai. Dalam menjalankan asuhan keperawatan


semua diagnosa berjalan dengan baik dan masalah keperawatan dapat teratasi dan

pasien dibolehkan pulang oleh dokter pada hari ke 6 rawatan.


Berikut evaluasi keperawatan masing-masing diagnosa :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan intestinal

oleh inflamasi)
Masalah teratasi setelah dilaksanakan tindakan operasi, intervensi dihentikan
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Masalah keperawatan teratasi setelah 5 hari rawatan suhu tubuh klien kembali

normal, 36,6 oC, intervensi dihentikan.


3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
Masalah teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 kali pertemuan,

intervensi dihentikan.
4. Nyeri Akut berhubungan dengan luka insisi post op
Masalah teratasi setelah 5 hari rawatan dengan skala nyeri 1-2, intervensi

dihentikan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan)
Masalah teratasi setelah 6hari rawatan dengan skala nyeri 1-2, intervensi dihentikan

, klien dibolehkan pulang .

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada saat melakukan Asuhan Keperawatan pada An. A dengan pre Dan post

operasi apndiktomi di ruang rawat inap bedah RSUD Kota Padang Panjang, penulis

menggunakan tahap-tahap proses keperawatan yang antara lain : pengkajian, pola


funsional Gordon, pemeriksaan fisik, data fokus, analisa data, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi dan evaluasi.


Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 14 Juli 2017 jam 12.30 WIB

didapatkan diagnosa keperawatan pada An. A, yaitu :


1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi
Dengan didukung data subjektif: klien mengatakan nyeri pada luka operasi seperti

di ditusuk skala 5-6 dan nyeri dirasaakan saat bergerak dibagian perut. Data

objektifnya: klien terlihat meringis menahan nyeri dan dan memegang bagian perut

kanan bawah. Penulis melakukan implementasi dari tanggal 14 Juli sampai 19 Juli

2017 dengan evaluasi masalah teratasi sebagian dengan data klien mengatakan

nyeri skala 1-2 terasa ngilu pada bagian perut saat bergerak, klien terlihat sudah

rileks dan mampu berjalan mandiri ke kamar mandi, pada hari ke enam intervensi

dihentikan, klien sudah dibolehkan pulang.


2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
Dengan didukung data subjektif : Klien mengatakan badanya terasa panas, klien

mengatakan dia merasa demam . Data objektifnya: suhu tubuh 37,80C dan leukosit

20.850 u/L, TD 130/90 mmHg, nadi 84 x/menit, RR 20 x/menit, klien kelihatan

berkeringat. Penulis melakukan implementasi pada tanggal 14 Juli sampai 19 Juli

2017 dengan evaluasi hipertermi teratasi, nadi 82 x/menit, suhu 36,6 oC, RR 18

x/menit, TD 120/80 mmHg.


3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
Dengan didukung data subjektif : Klien mengatakan takut akan menjalani operasi,

klien mengatakan belum pernah menjalani operasi, klien menanyakan tentang

penyakitnya . Data objektifnya: Klien tanpak bertanya kepada petugas dan orang

tuanya, wajah klien kelihatan tegang, TD 130/90 mmHg, nadi 84 x/menit, RR 20

x/menit, klien kelihatan berkeringat. Penulis melakukan implementasi pada tanggal

14 Juli 2017 dengan evaluasi ansietas teratasi, klien tanpak tenang, wajah klien

kelihatan rilek, nadi 82 x/menit, , RR 18 x/menit, TD 120/80 mmHg.


4. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah.
Dengan didukung data subjektif: klien mengatakan nyeri pada luka operasi seperti

di ditusuk skala 4-5 dan nyeri dirasaakan saat bergerak dibagian perut. Data

objektifnya: klien terlihat meringis menahan nyeri dan ada luka bekas operasi di

bagian perut kanan bawah. Penulis melakukan implementasi dari tanggal 14 Juli

sampai 19 Juli 2017 dengan evaluasi masalah teratasi sebagian dengan data klien

mengatakan nyeri skala 1-2 terasa ngilu pada bagian perut saat bergerak, klien

terlihat sudah rileks dan mampu berjalan mandiri ke kamar mandi, pada hari ke

enam intervensi dihentikan, klien sudah dibolehkan pulang.

5. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan Tindakan Invasif


Dengan didukung data subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi.

Data objektifnya: terlihat luka bekas operasi dengan panjang 6 cm dibagian perut

kanan bawah, suhu tubuh 37,80C dan leukosit 20.850 u/L. Penulis melakukan

implementasi pada tanggal 14 Juli sampai 19 Juli 2017 dengan evaluasi infeksi

tidak terjadi dengan data klien mengatakan sudah baik, terlihat luka kering bersih

tidak ada pus, jahitan rapih dan tidak terjadi eritema, nadi 82 x/menit, suhu 36,6 oC,

RR 18 x/menit, TD 120/80 mmHg.

B. Saran

1. Perawat

a. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien pre dan post operasi

apendiktomi, hendaknya dilakukan pengkajian secara lengkap dan menyeluruh.

Penetapan diagnosa keperawatan harus berdasarkan pada data dan keluhan yang

dikeluhkan klien. Perencanaan keperawatan dilakukan dengan mempertahankan

konsep dan teori yang ada. Implementasi keperawatan harus sesuai dengan

perencanaan dengan memperhatikan kondisi klien dan kemampuan keluarga dan

evaluasi yang dilakukan harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
b. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien hendaknya menggunakan

pendekatan proses keperawatan secara komprehensif dengan melibatkan peran

serta keluarga dalam asuhan keperawatan sehingga tercapai sesuai tujuan.

c. Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga dengan

memberikan penyuluhan tentang perawatan klien post operasi apendiktomi di

rumah sebelum klien pulang.

2. Rumah Sakit

Agar membuatkan Standar Prosedur Operasional (SPO) terapi komplementer

tentang apendiksitis serta memberikan penyuluhan tentang apendiksitis. Dengan

terapi komplementer yang digunakan dapat mengurangi pemakaian obat dan

menekan cost dalam melakukan perawatan klien khususnya klien apendiksitis. Hal

ini sesuai dengan program pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu pengawasan

terhadap pemakaian antibiotik yang rasional.

3. Peneliti Lain

Memotivasi peneliti lain untuk menggali penemuan baru mengenai asuhan

keperawatan pada pasien yang dilakukan apendiktomi.


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk, 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta:
Medica Aesculpalus

Benson, H & Proctor, W. (2000). Keimanan yang Menyembuhkan: Dasar-dasar Respon


Relaksasi. Bandung: Kaifa.

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta


: EGC.

Corwin, Elizaberth. (2009). Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3 :Jakarta: EGC

Eni Inda Ayu, Winda dan Mulyati. 2015. Kompres Air Hangat Pada Daerah Aksila dan
Dahi Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pasien demam di PKU Muhammadiyah
Kutoarjo, JNKI, vol.3 No. 1 Tahun 20015, 10-14.

Erin Bicek, 2004. Nurses Attitudes, knowledge, and Use Of Nonpharmalogical Pain
Management Tecniques and Thearapies. Illionis Wesleyan University. 2004

Hesti, Basirun, Ning, 2010. Gambaran Penatalaksanaan Mobilisasi Dini Oleh Perawat
Pada Pasien Post Appendiktomy di RS Muhammadiyah Gombong. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, Volume 6, No.2 Juni 2010

https://health.detik.com/read/2009/07/07/152020/1160694/784/radang-usus-buntu-kronis

Nanda International 2012 Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2012, 2014 Jakarta : EGC

Made, Gede. 2015. Kompres Hangat Terhadap Motilitas usus Pada Pasien Apendiktomi.
poltekkes-denpasar.ac.id/files/.../Made%20Widastra.pdf

Mubarak, Husnul. 2008. Original Article "Acute Appendicitis" from Harrison's


Principle of Internal Medicine 17th Ed. http://cetrione.blogspot.co m/

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Nuzulul.(2009). Askep Appendicitis. Diakses


http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan Askep
%20Apendisitis.html
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Edisi 4). Jakarta :
EGC. Saryono. 2008. Metode Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra
Cendekia.
Rasubala,Lucky dan Mulyadi. 2017. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Skala
Nyeri Pada Pasien Post Aperasi. E-Journal Keperawatan (e-Kp) volume 5, no 1,
2017.

Rr, Murtaqib, Siswoyo, 20016.Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Perubahan Tingkat


Nyeri Klien Post Operasi Apendiktomi di Rumah Sakit Baladhika Husada
Kabupaten Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.4 (no.1), Januari, 2016

Solehati, T., Rustina, Y. (2008). The Reduction of Anxiety Level With Benson Relaxationat
Cibabat Cimahi Hospital. Bandung: Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran.

Sjamsuhidajat and Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. 2004

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta

Sutarno. 2005. Penyebab Terjadinya Appendicitis. http://www.balipost.co.id/


BaliPostcetak/2005/12/7/ k2.htm

Widastra, 2017 Kompres hangat Terhadap Motilitas Usus Pada Pasien Apendiktomy.
poltekkes-denpasar.ac.id/files/.../Made%20Widastra.pdf

WHO. 2005. Pedoman Keperawatan Pasien. Jakarta : EGC

Yurdanur,2012. Non-Pharmacological Therapies in Pain Management,


https://www.intechopen.com/.../pain-management.../non-pharmacological-therapies-
in-p...
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP )

Teknik Relaksasi Nafas Dalam

A. Pengertian

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang

dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam,

napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas

secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam

juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan

Bare, 2002).

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri

pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Rileks sempurna yang dapat mengurangi

ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri.

Ada tiga hal yang utama dalam teknik relaksasi :

1. Posisikan pasien dengan tepat


2. Pikiran beristirahat
3. Lingkungan yang tenang
B. Tujuan
Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam

adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah


atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun

emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Tujuan utama

teknik relaksasi napas dalam untuk menggurangi atau menghilangkan rasa nyeri.
C. Indikasi
Dilakukan untuk pasien yang mengalami nyeri kronis.
D. Prosedur pelaksanaan
Tahap prainteraksi
1. Menbaca status pasien
2. Mencuci tangan
3. Meyiapkan alat

Tahap orientasi

1. Memberikan salam teraupetik


2. Validasi kondisi pasien
3. Menjaga perivacy pasien
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga

Tahap kerja

1. Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya jika ada ynag kurang jelas.

2. Atur posisi pasien agar rileks tanpa beban fisik.

3. Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam sehingga rongga paru berisi udara.

4. Intruksikan pasien secara perlahan dan menghembuskan udara membiarkanya keluar

dari setiap bagian anggota tubuh, pada waktu bersamaan minta pasien untuk

memusatkan perhatian betapa nikmatnya rasanya.

5. Instruksikan pasien untuk bernafas dengan irama normal beberapa saat ( 1-2 menit ).

6. Instruksikan pasien untuk bernafas dalam, kemudian menghembuskan secara

perlahan dan merasakan saat ini udara mengalir dari tangan, kaki, menuju keparu-

paru kemudian udara dan rasakan udara mengalir keseluruh tubuh.

7. Minta pasien untuk memusatkan perhatian pada kaki dan tangan, udara yang

mengalir dan merasakan keluar dari ujung-ujung jari tangan dan kai dan rasakan

kehangatanya.
8. Instruksiakan pasien untuk mengulani teknik-teknik ini apa bial ras nyeri kembali

lagi.

9. Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk melakukan secara mandiri.

Tahap terminasi

1. Evaluasi hasil kegiatan


2. Lakukan kontrak untuk kegistsn selanjutnya
3. Akhiri kegiatan dengan baik
4. Cuci tangan

E. Dokumentasi

1. Catat waktu pelaksanaan tindakan


2. Catat respons pasien
3. Paraf dan nama perawat jaga

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer dan Bare. 2002. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8 Vol.1. Alih Bahasa: Agung

waluyo. Jakarta: EGC.


PENGARUH TEKNIK RELAKSASI BENSON TERHADAP SKALA
NYERI PADA PASIEN POST OPERASI DI RSUP. PROF. DR. R.D.
KANDOU DAN RS TK.III R.W. MONGISIDI TELING MANADO

Grece Frida Rasubala


Lucky Tommy Kumaat
Mulyadi

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Sam Ratulangi Manado
Email : grecerasubala@gmail.com

Abstract : Benson relaxation technique is a breathing technique commonly used in hospitals


nursing is experiencing pain and Benson relaxation disposals elements confidence hearts
form words. Purpose is to research effects of relaxation techniques to postoperative pain
scale in appendicitis patient at Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital and Tk. III R.W. Mongosidi
Teling Manado Hospital. Design Research use quasy experiment. Samples use the formula
designs with pre and post test without control sample with 16 people. Relaxation Benson
techniques done taxable income provision with analgesic duration of 30 minutes every day
for three days. And after before given relaxation techniques Benson carried measurement
scale with numeric pain rating scale. Results of Statistics Wilcoxon Sign Rank test with
confidence level of 95% (α = 0.05) and obtained p value 0.000 <0.05. Conclusion result of
this research there is effect of benson relaxation technique on a scale of postoperative pain
in patients with appendicitis at Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital and Tk. III R.W. Mongisidi
Teling Manado Hospital. Recommendation can be used as a consideration and improvement
of health promotion on granting relaxation techniques to decrease pain scale.

Keyword : Benson Relaxation Technique, Pain Scale, Postoperative Appendicitis.

Abstrak : Teknik relaksasi Benson merupakan teknik pernapasan yang biasa digunakan di
rumah sakit pada pasien yang sedang mengalami nyeri dan pada relaksasi Benson ada
penambahan unsur keyakinan dalam bentuk kata-kata. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh teknik relaksasi Benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi
apendiksitis di RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou dan RS Tk. III R.W. Mongonsidi Teling
Manado. Desain Penelitian ini mengunakan eksperimen semu (quasi eksperiment). Teknik
pengambilan Sampel menggunakan rumus untuk penelitian kuasi eksperimen dengan desain
pre and post test without control dengan jumlah sampel 16 orang. Teknik relaksasi Benson
dilakukan setelah pemberian analgesik dengan durasi 30 menit setiap hari selama tiga hari.
Sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi Benson dilakukan pengukuran skala nyeri
dengan Numeric Rating Scale. Hasil Uji Statistik Wilcoxon Sign Rank test dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan diperoleh p value 0,000 < 0,05. Kesimpulan yaitu terdapat
pengaruh teknik relaksasi Benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi apendiksitis
di RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou dan RS Tk. III R.W. Mongisidi Teling Manado. Saran
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan danpeningkatan pelayanan kesehatan
tentang pemberian teknik relaksasi untuk menurunkan skala nyeri.

Kata Kunci : Teknik Relaksasi Benson, Skala Nyeri, Post Operasi Apendiksitis
PENDAHULUAN nyeri perut di bagian kanan bawah
Apendisitis merupakan penyebab sebanyak 96,05 %.
yang paling umum dari inflamasi akut Menurut data dari Institute of
kuadran kanan bawah rongga abdomen Medicine of the National Academies.
dan penyebab yang paling umum dari (2011), lebih dari 100 ribu orang Amerika
pembedahan abdomen darurat. Pria lebih mengalami nyeri tiap minggu. Kemudian,
banyak terkena daripada wanita , remaja Agency for Health Care Policy and
lebih banyak dari orang dewasa, insiden Research melaporkan bahwa sampai 90%
tertinggi adalah mereka yang berusia 10 dari 8 juta penduduk Amerika, yang
sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, menderita kanker, mendapatkan
2000). penatalaksanaan nyeri dengan cara yang
Database medis dari rumah sakit relatif sederhana.
Universitas Ahmadu Bello, Zaria, Nigeria Nyeri dapat diatasi dengan
utara untuk dekade dari tahun 2001 ke penatalaksanaan nyeri yang bertujuan
2010. Hasil nya selama dekade, ada total untuk meringankan atau mengurangi rasa
dari 382 kasus dengan diagnosis nyeri sampai tingkat kenyamanan yang
intraoperatif apendisitis yang diagnosis dirasakan oleh klien. Ada dua cara
dikonfirmasi patologis di 373 kasus. penatalaksanaan nyeri yaitu terapi
Dengan penduduk setempat yang penyakit farmakologis dan non-farmakologis.
atau spesimen yang paling mungkin akan Tindakan perawat untuk menghilangkan
berakhir dalam departemen patologi rumah nyeri selain mengubah posisi, meditasi,
sakit diperkirakan 1.423.469 tingkat makan, dan membuat klien merasa
kejadian standar dari usus buntu adalah 2,6 nyaman yaitu mengajarkan teknik
per 100.000 per tahun. Dalam 354 (93%) relaksasi (Potter & Perry, 2005).
dari 382 spesimen, fekalit diidentifikasi Relaksasi Benson merupakan
dan dianggap kausal berkaitan dengan relaksasi menggunakan teknik pernapasan
penyakit dalam kasus individu (Ahmed yang biasa digunakan di rumah sakit pada
dkk, 2014). pasien yang sedang mengalami nyeri atau
Angka kejadian appendisitis di mengalami kecemasan. Dan, pada
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado relaksasi Benson ada penambahan unsur
periode oktober 2012 – september 2015, keyakinan dalam bentuk kata-kata yang
menunjukkan bahwa terdapat 650 pasien. merupakan rasa cemas yang sedang pasien
Jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis alami. Kelebihan dari latihan teknik
akut yaitu 412 pasien (63%) sedangkan relaksasi dibandingkan teknik lainnnya
apendisitis kronik sebanyak 38 pasien adalah lebih mudah dilakukan dan tidak
(6%). Dari 650 pasien, yang mengalami ada efek samping apapun (Solehati &
komplikasi sebanyak 200 pasien yang Kosasih, 2015). Pada penelitian yang
terdiri dari 193 pasien (30%) dengan dilakukan oleh Wallace, Benson, dan
komplikasi apendisitis perforasi dan 7 Wilson (1971) diperoleh hasil, bahwa
pasien (1%) dengan periapendikuler dengan meditasi dan relaksasi terjadi
infiltrate (Thomas, 2016). Di RS Tk. III penurunan konsumsi oksigen, output CO2,
R.W. Mongisidi Telling Manado angka ventilasi selular, frekuensi napas, dan
kejadian apendiksitis tahun 2016 yaitu 42 kadar laktat sebagai indikasi penurunan
pasien. tingkat stress, selain itu ditemukan bahwa
Dalam penelitian yang dilakukan PO2 atau konsentrasi oksigen dalam darah
Dani & Calista (2013) yang berjudul tetap konstan, bahkan meningkat sedikit.
karakteristik penderita apendisitis akut di Benson (2000) mengatakan, bahwa
Rumah Sakit Imanuel Bandung jika individu mulai merasa cemas, maka
menyatakan bahwa keluhan utama yang akan merangsang saraf simpatis sehingga
tersering dari 152 kasus apendisitis adalah akan memperburuk gejala-gejala
kecemasan sebelumnya. Kemudian, daur Hasil analisis pada tabel 5.1
kecemasan dan nyeri dimulai lagi dengan menunjukkan bahwa sebagian besar
dampak negatif semakin besar terhadap responden berjenis kelamin laki-laki
pikiran dan tubuh (Solehati & Kokasih, dengan jumlah 12 responden (75%) dan
2015). Dari hasil penelitian yang sebagian kecil responden berjenis kelamin
dilakukan Roykulcharoen (2004) yang perempuan dengan jumlah 4 responden
berjudul the effect of systemic relaxation (25%).
technique on postoperative pain in
Thailand menyatakan bahwa pengurangan b. Usia
substansial dalam sensasi dan kesusahan Tabel 5.2 Distribusi responden
sakit ditemukan saat pasien pascaoperasi berdasarkan usia responden post
dengan menggunakan relaksasi yang operasi apendiksitis di RSUP. Prof. Dr.
sistematis termasuk relaksasi Benson. R.D. Kandou Manado dan RS TK.
III R.W. Mongisidi Teling Manado
METODE PENELITIAN Responden
Desain penelitian yang digunakan Usia
n %
dalam penelitian ini adalah Quasi 10-20 7 43,8 %
Experiment dengan rancangan penelitian Tahun
pre and post test without control. 21-30 8 50,0 %
Penelitian ini dilakukan di RSUP Prof. Dr. Tahun
R.D. Kandou Manado pada tanggal 16 31-40 1 6,2 %
Desember 2016-5 Januari 2017dan RS TK. Tahun
III R.W Mongisidi Manado pada tanggal 1 Total 16 100%
Desember 2016-5 Januari 2017. Populasi Sumber : Data Primer 2017
dalam penelitian ini adalah pasien post
Hasil analisis pada tabel 5.2
operasi apendiksitis yang berada pada
menunjukkan bahwa sebagian besar
ruang rawat inap selama bulan Agustus-
responden berada pada rentang umur 21-
Oktober berjumlah 16 orang.
30 tahun dengan jumlah 8 responden (50,0
Penelitian ini menggunakan non
%), dan sebagian kecil responden berada
probability sampling yaitu purposive
pada rentang umur 31-40 tahun dengan
sampling. Menurut Supranto J (2000)
jumlah 1 responden (6,2 %).
perhitungan sampel untuk penelitian
eksperimental secara sederhana yaitu 15 c. Skala nyeri sebelum dilakukan teknik
orang dan drop out = 1 (Sujarweni, 2015). relaksasi benson
Tabel Tabel 5.3 Distribusi skala nyeri
HASIL PENELITIAN sebelum dilakukan teknik relaksasi
benson pada pasien post operasi
1. Analisis Univariat
apendiksitis di RSUP. Prof. Dr. R.D.
a. Jenis Kelamin
Kandou Manado dan RS TK. III
Tabel 5.1 Distribusi responden
R.W. Mongisidi Teling Manado
berdasarkan jenis kelamin post operasi Responden
Skala
apendiksitis di RSUP. Prof. Dr. R.D. Nyeri n %
Kandou dan RS TK. III R.W. Nyeri 8 50 %
Mongisidi Teling Manado sedang

Jenis Responden (4-6)


Kelamin n % Nyeri 8 50 %
Laki-laki 12 75 %
Perempuan
Sumber : Data Primer 42017 25 % berat
Sumber : Data Primer 2017
terkontrol
Total 16 100 % Total 16 100 %
Hasil analisis pada tabel 5.3 tek-
menunjukkan bahwa skala nyeri pada nik
tingkat nyeri sedang (4-6) berjumlah 8 relak-
sasi
responden (50%) sama halnya dengan Skala
tingkat nyeri berat terkontrol (7-9) nyeri
berjumlah 8 responden (50%). sete- 3,
lah 2,
d. Skala nyeri setelah dilakukan teknik 25
dila- 1 3, 2,00- 83-
±
relaksasi benson kukan 6 00 4,00 3,
0,
tek- 66
77
Tabel 5.4 Distribusi skala nyeri setelah nik
dilakukan teknik relaksasi benson pada relak-
sasi
pasien post operasi apendiksitis di Sumber : Data Primer 2017

dan RS TK. III R.W. Mongisidi Teling Hasil analisis pada tabel 5.5 diatas
Manado menunjukkan skala nyeri sebelum dan
sesudah dilakukan teknik relaksasi benson
Skala Responden
pada pasien post operasi apendiksitis yang
Nyeri n % diuji menggunakan uji statistik uji urutan
Nyeri 9 56,2 %
ringan
bertanda Wilcoxon dengan tingkat
(1-3) kemaknaan (α) = 0,05 menunjukkan hasil
Nyeri 7 43,8% p-value yaitu 0,00. Nilai p-value
sedan digunakan untuk menentukan apakah
(4-6) hipotesis diterima atau ditolak. Dengan p-
Total 16 100 %
value = 0,00 < α = 0,05 maka Ho ditolak.
Sumber : Data Primer 2017
Dapat disimpulkan bahwa terdapat
Hasil analisis pada tabel 5.4 pengaruh yang signifikan pada teknik
menunjukkan bahwa sebagian besar relaksasi Benson terhadap skala nyeri pada
responden berada pada tingkat nyeri ringan pasien post operasi apendiksitis di RSUP.
(1-3) dengan jumlah 9 responden (56,2 %), Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dan RS
dan sebagian kecil responden berada pada TK. III R.W. Mongosidi Telling Manado.
tingkat nyeri sedang (4-6) dengan jumlah 7
responden (43,8%). PEMBAHASAN
2. Analisis Bivariat 1. Analisa Univariat
a. Karakteristik responden berdasarkan
Tabel 5.5 Pengaruh Teknik Relaksasi jenis kelamin
Benson Terhadap Skala Nyeri Pada Dalam penelitian ini diperoleh
Pasien Post Operasi Apendiksitis di bahwa sebagian besar jenis kelamin
RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado responden yang melakukan operasi
dan RS TK. III R.W. Mongisidi Teling apendiksitis yaitu responden yang
Manado berjenis kelamin laki-laki dengan
jumlah 12 responden ( 75%).
Me 95 p
an Me Min- Wungouw dan Marunduh
n dia % val
n CI ue
SD lebih banyak ditemukan pada laki-
Skala laki dibandingkan dengan
6,
nyeri 6,
sebe- 1
62
6, 5,00- 15- 0,0
perempuan. Hal ini didukung oleh
± penelitian yang dilakukan Thomas
lum 6 50 8,00 7, 0
0,
dila-
88 09 (2016) yang berjudul angka kejadian
kukan apendisitis di RSUP. Prof. Dr.
R.D.Kandou Manado terdapat 363 Sehingga peneliti berasumsi
pasien apendiksitis yang berjenis bahwa apendiksitis lebih banyak
kelamin laki-laki dari 650 kasus terjadi pada usia 21-30 tahun
apendiksitis dan Indri (2014) yang disebabkan oleh gaya hidup yang
berjudul hubungan antara nyeri, kurang sehat.
kecemasan dan lingkungan dengan
kualitas tidur pada pasien post 2. Analisa Bivariat
operasi apendisitis memaparkan a. Skala nyeri sebelum dilakukan
presantase bahwa laki-laki lebih teknik relaksasi Benson
banyak mengalami apendiksitis Pada penelitian ini sebelum
dibandingkan perempuan. Selain itu, dilakukan intervensi berupa teknik
menurut penelitian yang dilakukan relaksasi Benson, terlebih dahulu
Sirma (2013) yang berjudul faktor diukur skala nyeri kemudian dicatat
risiko kejadian apendisitis di rumah pada lembar observasi. Hasil yang
sakit umum daerah kabupaten diperoleh dari pengukuran skala
Pangkep memaparkan bahwa laki- nyeri sebelum dilakukan teknik
laki lebih banyak diluar rumah untuk relaksasi Benson adalah 8
bekerja dan lebih cenderung responden yang mengalami nyeri
mengonsumsi makanan fast food. tingkat sedang (4-6) sama halnya
Sehingga peneliti berasumsi dengan tingkat nyeri berat terkontrol
bahwa apendiksitis lebih banyak (7-9) 8 responden. Nilai tengah
ditemukan pada laki-laki (median) sebelum dilakukan teknik
dibandingkan perempuan yang relaksasi benson menunjukkan 6,50.
disebabkan oleh gaya hidup yang Wungouw dan Marunduh
tidak sehat. (2014) menegaskan bahwa setiap
b. Karakteristik responden berdasarkan pasien apendiksitis memiliki gejala
usia yang sama untuk pertama kalinya
Dalam penelitian ini diperoleh berupa nyeri epigastrium yang
bahwa sebagian besar usia responden samar-samar, kadang kala sebagai
yang melakukan operasi apendiksitis sensasi kram. Dengan berlalunya
yaitu responden yang berusia 21-30 waktu, nyeri menjadi lebih
tahun dengan jumlah 8 responden ( terlokalisir dan berpindah ke area
50%). abdomen kanan bawah. Dan apabila
Wungouw dan Marunduh dilakukan terapi apendiksitis yaitu
(2014) memaparkan apendiksitis apendektomi, pasien akan
lebih banyak terjadi pada usia antara mengalami nyeri yang sama tetapi
pubertas hingga usia 25 tahun. Selain lebih jelas di kuadran kanan bawah
itu, Dani (2013) memaparkan bahwa yang diakibatkan karena luka
usia terbanyak yang mengalami operasi.
apendiksitis adalah usia 26-35 tahun. Hasil penelitian yang
Usia tersebut pada umumnya aktif dilakukan Lukman (2013) yang
dan mempunyai masalah kesehatan berjudul pengaruh teknik relaksasi
utama minimum. Namun gaya hidup benson terhadap intensitas nyeri
usia ini dapat memunculkan pada pasien postpartum caesarea
gangguan kesehatan. Kebiasan gaya menegaskan bahwa sebagian besar
hidup kurang olah raga dan hygiene nyeri sebelum diberikan teknik
personal yang buruk meningkatkan relaksasi pada pasien berada pada
risiko terjadinya berbagi macam tingkat nyeri hebat dengan angka 5
penyakit (Potter & Perry, 2005). yaitu 29 orang (74,36%) dari 39
responden.
Berdasarkan hasil wawancara intervensi lebih kecil dibandingkan
yang dilakukan oleh peneliti kepada dengan kelompok kontrol.
16 responden sebelum dilakukan Berdasarkan hasil wawancara
teknik relaksasi Benson terdapat 13 yang telah dilakukan oleh peneliti
responden diantaranya tidak kepada 16 responden sebelum
mengetahui penanganan nyeri secara dilakukan teknik relaksasi Benson
non-farmakologis seperti teknik terdapat 13 responden diantaranya
relaksasi benson dan terdapat 3 tidak mengetahui penanganan nyeri
responden yang hanya sekedar secara nonfarmakologis seperti
mengetahui penanganan non- teknik relaksasi Benson dan terdapat
farmakologis yaitu teknik nafas 3 responden yang hanya mengetahui
dalam. penanganan nonfarmakologis yaitu
b. Skala nyeri setelah dilakukkan nafas dalam.
teknik relaksasi Benson c. Pengaruh teknik relaksasi Benson
Pada penelitian ini setelah terhadap skala nyeri
dilakukan intervensi berupa teknik Pada akhir dari penelitian ini
relaksasi Benson, terlebih dahulu hasil yang diperoleh setelah
diukur skala nyeri kemudian dicatat dilakukan teknik relaksasi Benson,
pada lembar observasi. Hasil yang skala nyeri pada setiap responden
diperoleh dari pengukuran skala yaitu sebagian besar berada pada
nyeri setelah dilakukan teknik tingkat nyeri ringan (1-3) dengan
relaksasi Benson adalah 9 jumlah 9 responden (56,2%). Hal ini
responden yang mengalami nyeri menunjukkan terjadinya penurunan
tingkat ringan (1-3) 56,2%. Nilai skala nyeri yang dipertegas oleh
tengah (median) setelah dilakukan hasil nilai tengah (median) yang
teknik relaksasi Benson sebelumnya 6,50 menjadi 3,00 dan
menunjukkan 3,00. nilai rata-rata (mean) yang
Hasil penelitian yang sebelumnya 6,25 menjadi 3,25 serta
dilakukan Sunaryo (2014) yang interpretasi yang berubah dari nyeri
berjudul pengaruh teknik relaksasi sedang berubah menjadi nyeri
benson terhadap penurunan skala ringan.
nyeri dada kiri pada pasien acute Nyeri merupakan pengalaman
myocardial infark menjelaskan sensasi dan emosi yang tidak
bahwa didapatkan rata-rata nyeri menyenangkan, keadaan yang
dada kiri setelah diberikan intervensi memperlihatkan ketidaknyamanan
pada kelompok eksperimen adalah secara subjektif atau individual,
2,82 dengan penurunan nyeri sebesar menyakitkan tubuh dan kapan pun
2,71. Sama halnya dengan Datak individu mengatakannya adalah
(2008) yang berjudul efektifitas nyata. Reseptor nyeri terletak pada
relaksasi Benson terhadap nyeri semua saraf bebas yang terletak pada
pasca bedah pada pasien kulit, tulang, persendian, dinding
transurethral resection of the arteri, membran yang mengelilingi
prostate di Rumah Sakit Umum otak, dan usus (Solehati & Kokasih,
Pusat Fatmawati Jakarta 2015).
menjelaskan rata-rata kelompok Nosiseptor (reseptor nyeri)
control 9,50 lebih besar daripada akan aktif bila dirangsang oleh
kelompok intervensi 5,50 dan hal ini rangsangan kimia, mekanis dan
menunjukkan bahwa rasa nyeri pasca suhu. Bila sel-sel tersebut
bedah TUR prostat pada kelompok mengalami kerusakan maka zat-zat
tersebut akan keluar merangsang
reseptor nyeri sedangkan pada untuk tumbuh atau berhenti tumbuh.
mekanik umumnya karena spasme Pada permukaan sel terutama sel
otot dan kontraksi otot. Spasme otot saraf terdapat area yang menerima
akan menyebabkan penekanan pada endorphine. Ketika endorphine
pembuluh darah sehingga terjadi terpisah dari DNA, endorphine
iskemia pada jaringan, sedangkan membuat kehidupan dalam situasi
pada kontraksi otot terjadi normal menjadi tidak terasa
ketidakseimbangan antara kebutuhan menyakitkan. Endorphine
nutrisi dan suplai nutrisi sehingga mempengaruhi impuls nyeri dengan
jaringan kekurangan nutrisi dan cara menekan pelepasan
oksitosin yang mengakibatkan neurotransmitter di presinap atau
terjadinya mekanisme anaerob dan menghambat impuls nyeri
menghasilkan zat besi sisa, yaitu dipostsinap sehingga rangsangan
asam laktat yang berlebihan nyeri tidak dapat mencapai
kemudian asam laktat tersebut kesadaran dan sensorik nyeri tidak
merangsang serabut rasa nyeri. Salah dialami (Solehati & Kokasih, 2015).
satu penatalaksanaan yang dapat Hasil penelitian ini
dilakukan untuk meringankan atau mendukung hasil penelitian bahwa
menghilangkan rasa nyeri adalah relaksasi benson efektif untuk
terapi Benson (Solehati & Kokasih, mengurangi rasa nyeri pasca bedah
2015). dalam Roukulcharoen, 2003, The
Terapi Benson merupakan effect of systemic relaxation
teknik relaksasi pernafasan dengan technique on postoperative pain in
melibatkan keyakinan yang Thailand. Sama halnya penelitian
mengakibatkan penurunan terhadap yang dilakukan oleh Datak (2008)
konsumsi oksigen oleh tubuh dan mengenai efektifitas relaksasi
otot-otot tubuh menjadi rileks benson terhadap nyeri pascabedah
sehingga menimbulkan perasaan pasien TUR prostat juga
tenang dan nyaman. Apabila O2 membuktikan bahwa relaksasi
dalam otak tercukupi maka benson efektif mengatasi nyeri
manusiadalam kondisi seimbang. dibandingkan hanya menggunakan
Kondisi ini akan menimbulkan terapi analgetik saja dengan pvalue
keadaan rileks secara umum pada 0,019 < α (0,05). Relaksasi Benson
manusia. Perasaan rileks akan dikembangkan dari metode respons
diteruskan ke hipotalamus untuk relaksasi dengan melibatkan faktor
menghasilkan conticothropin keyakinan. Jumlah responden pada
releaxing factor (CRF). CRF akan penelitian ini 16 orang, 10 orang
merangsang kelenjar dibawah otak beragama Kristen dan 6 orang
untuk meningkatkan produksi beragama islam, sehingga
proopiod melanocorthin (POMC) penggunaan kata atau kalimat yang
sehingga produksi enkephalin oleh digunakan selama melakukan
medulla adrenal meningkat. Kelenjar relaksasi benson disesuaikan dengan
dibawah otak juga menghasilkan β keyakinan responden.
endorphine sebagai neurotransmitter Yusliana (2015) yang berjudul
(Yusliana, 2015). efektivitas relaksasi benson terhadap
Endorphine muncul dengan penurunan nyeri pada ibu post
cara memisahkan diri dari partum section caesarea dalam hasil
deyoxyribo nucleid acid (DNA) yaitu penelitian menunjukkan rata-rata
substansi yang mengatur kehidupan nyeri postpartumsectio caesarea
sel dan memberikan perintah bagi sel setelah diberikan intervensi pada
kelompok eksperimen adalah 2,86 pemberian teknik relaksasi untuk
dengan penurunan nyeri sebesar 1,53 menurunkan skala nyeri.
dan kelompok kontrol adalah 3,76 3. Bagi Penulis
dengan penurunan nyeri sebesar 0,30 Digunakan untuk menambah ilmu dan
dari data tersebut menunjukkan pengalaman dalam melakukan
penurunan nyeri pada kelompok penelitian tentang pengaruh teknik
eksperimen yang lebih besar relaksasi benson terhadap skala nyeri
dibandingkan dengan kelompok pada pasien apendiksitis.
kontrol. Uji t dependent pada
kelompok eksperimen menunjukkan DAFTAR PUSTAKA
nilai p value (0,000) < α (0,05) dan Ahmed S, Makama J, dkk. (2014).
pada kelompok kontrol Epidemiology of appendicitis
menunjukkan nilai pvalue (0,082) > in Northern Nigeria : A 10-
α (0,05). year preview.Diperoleh dari
Sehingga peneliti http://www.ssajm.org on
menyimpulkan bahwa teknik Tuesday, November 01, 2016.
relaksasi benson dapat menurunkan 02.45 Wita.
skala nyeri pada pasien post operasi
apendiksitis dari hasil penelitian dan Dani & Calista. (2013). Karakteristik
beberapa hasil penelitian yang telah Penderita Appendisitis Akut Di
dipaparkan diatas. Selain itu, teknik Rumah Sakit Imanuel Bandung
relaksasi benson dapat digunakan Periode 1 Januari 2013-30
dimana saja tanpa mengganggu Juni 2013. Diunduh pada
aktivitas yang lainnya. tanggal 2 November 2016,
00.48 Wita.
SIMPULAN Datak, G., Yetti, K & Hariyati, S.T. (2008)
1. Sebelum diberikan terapi relaksasi . Penurunan nyeri pascabedah
benson, sebagian besar pasien
pasien tur prostat melalui
apendiksitis mempunyai skala nyeri
relaksasi benson. Jurnal
sedang dan berat.
2. Setelah diberikan terapi relaksasi keperawatan Indonesia, vol 12
benson, sebagian besar skala nyeri no 3, 173- 178. Diperoleh dari
mengalami perubahan yang signifikan http://jki.ui.ac.id diunduh
dengan menurunnya skala nyeri tanggal 29 September 2016.
menjadi skala nyeri ringan. 23.50 Wita.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan
Datak, Gad. (2008). Efektivitas relaksasi
terhadap skala nilai sesudah diberikan
teknik relaksasi benson sebanyak 3 benson terhadap nyeri pada
kali selama 15-30 menit. pasca bedah pada pasien
Transurethal Resection Of The
SARAN Prostate. RSU Pusat
1. Bagi institusi pendidikan Fatmawati. Jakarta : FIK UI.
Digunakan sebagai bahan acuan atau
pedoman atau pembelajaran bagi Dharma K.K. (2011). Metodologi
mahasiswa keperawatan mengenai penelitian keperawatan
penanganan pasien apendiksitis. panduan melaksanakan dan
2. Bagi lokasi penelitian menerapkan hasil penelitian.
Digunakan sebagai bahan Trans Info Media. Jakarta
pertimbangan dan peningkatan
https://www.ihs.gov/telebehavioral/include
pelayanan kesehatan tentang
s/themes/newihstheme/display
_objects/documents/slides/pain keluhan nyeri punggung
andaddiction/newihsecho/epid bawah pada penjual jamu
emiologypain.pdf . Diunduh gendong.
tanggal 29 September 2016. http://www.ejournal.undip.ac.i
23.45 Wita d/index.php/jpki/article/viewFi
Indri V. W, Karim D, Elita V. (2014). le/2429/2147. Diperoleh
tanggal 29 Septermber 2016.
Hubungan antara nyeri,
23.01 Wita
kecemasan dan lingkungan
dengan kualitas tidur pada Price S, Wilson L. (2012). Patofisiologi
pasien post operasi konsep Klinis Proses-Proses
apendisitis. PSIK Universitas Penyakit. Ed.6. Jakarta; EGC.
Riau.
http://jom.unri.ac.id/index.php/ Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Sam Ratulangi.
JOMPSIK/article/download/33
(2013). Panduan penulisan
78/3275. Diunduh tanggal 10
tugas akhir & skripsi. Program
Januari 2017 04.33 WITA.
Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Sam Ratulangi.
Korompis, Grace E.C.(2014). Biostatistika
Manado
untuk keperawtan. Jakarta:
EGC Ratu Adrian, Adwan G. Made. (2013).
Penyakit Hati, Lambung, Usus,
Notoatmodjo S. (2012). Metodologi dan Ambeien. Yogyakarta:
penelitian kesehatan. Rineka Nuha Medika.
Cipta. Jakarta
Relieving Pain in America : A Blueprint
Novitasari, D., & Aryana, K.O. for Transforming Prevention,
(2013).Pengaruh tehnik Care, Education and
relaksasi benson terhadap Research. 2011
penurunan tingkat stres lansia
Rosdahl Caroline Bunker, Kowalski.
di unit rehabilitas sosial
(2014). Buku Ajar
wening wardoyo ungaran.
keperawatan
Jurnal keperawatan jiwa vol 1
Dasar.Jakarta;EGC.
no 2, 186- 195. Diperoleh
tanggal 29 Sepetember 2016 Sabri L, Hastono S.P. (2014). Statistik
dari http://jurnal.unimus.ac.id. kesehatan. Rajawali Pers.
23.45 Wita. Depok.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku
Setiadi. (2013). Konsep dan praktik
ajar fundamental: Konsep, penulisan riset keperawatan.
proses dan praktik. Ed. 4. Vol. Edisi 2. Graha
2. Jakarta: EGC Ilmu.Yogyakarta
Prasetyo Sigit Nian. (2010). Konsep dan Smeltzer & Susanne, C. (2002). Buku ajar
Proses Keperawatan Nyeri. keperawatan medical bedah
Yogyakarta: Graha Ilmu. Brunner and Suddart. Jakarta:
EGC
Pratiwi H Mayrika, dkk. (2009).
Beberapa factor yang Solehati Tetti, Kokasih Cecep Eli. (2015).
berpengaruh terhadap Konsep dan Aplikasi Relaksasi
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS
AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia

Kompres Air Hangat pada Daerah Aksila dan Dahi Terhadap Penurunan
Suhu Tubuh pada Pasien Demam di PKU Muhammadiyah Kutoarjo
Eny Inda Ayu1, Winda Irwanti2, Mulyanti3

1,2,3
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Abstrak
Demam adalah keadaan tubuh mengalami kenaikan suhu hingga 38°C atau lebih. Ada juga yang mengambil
batasan lebih dari 37,8° C, sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 40°C disebut demam tinggi/hiperpireksia.
Demam dapat membahayakan apabila timbul dalam suhu yang tinggi. Demam atau suhu tubuh yang tinggi
dapat diturunkan dengan berbagai cara. Kompres air hangat merupakan metode untuk menurunkan suhu
tubuh. Kenyataan yang ditemukan di tempat penelitian yaitu di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
pelaksanaan kompres sebagai salah satu tindakan mandiri untuk menangani demam masih sering diabaikan
oleh pasien dan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk diketahuinya perbedaan efektivitas pemberian
kompres air hangat di aksila dan dahi terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien demam di KRIPMD PKU
Muhammadiyah Kutoarjo. Desain penelitian menggunakan true eksperimen: two-group pre-post test design.
Jumlah populasi sebesar 40 dengan subyek sebanyak 38 orang dengan teknik consecutive sampling.
Pengukuran suhu dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan thermometer air raksa. Analisis
data menggunakan uji t. Hasil: Rerata derajat penurunan suhu tubuh sebelum dan sesudah dilakukan
kompres air hangat pada daerah aksila sebesar 0,247oC. Rerata derajat penurunan suhu tubuh sebelum dan
sesudah dilakukan kompres air hangat pada daerah sebesar 0,111oC. Analisis uji t menunjukkan teknik
pemberian kompres hangat pada daerah aksila lebih efektif terhadap penurunan suhu tubuh dibandingkan
dengan teknik pemberian kompres hangat pada dahi (t hitung=5,879 p=0,000). Simpulan: Teknik pemberian
kompres air hangat pada daerah aksila lebih efektif terhadap penurunan suhu tubuh.

Kata Kunci: daerah aksila, daerah dahi, kompres air hangat

Warm Compresses Axilla and Forehead in Lowering Body Temperature


among Patients with Fever at PKU Muhammadiyah Kutoarjo
Abstract
Fever is a condition when body temperature 38°C and more. There are also restrictions that took more than
37.8°C, whereas when the body temperature of over 40°C is called a high fever/hyperpyrexia. Fever may be
harmfull if you develop a high temperature. Fever or high body temperature can be derived in various ways.
Warm compresses a method to lower the body temperature. Found in the fact that research in KRIPMD PKU
Muhammadiyah Kutoarjo implementation compress as one independent action to deal with the fever is still
often overlooked by patients and families. The purpose of this research was to know the differences between
forehead and armpit compress in lowering body temperature among patients with fever at KRIPMD PKU
Muhammadiyah Kutoarjo. The Methode of this study used true experimental designs: a two-group pre-post
test design. The total population of patient were 40 respondents. The sampling technique was done by
consecutive which consisted of 38 respondents. Temperature was measured by thermometer. Data analysis
used the t test. T test analysis showed techniques giving a warm compress on the area of the axilla more
effective to reduce body temperature than technique of giving a warm compress on the forehead (t=5.879,
p=0.000). In conclusion, The technique giving a warm compress on the area of the axilla is more effective to
lowering body temperature.

10 Eny Inda Ayu, Winda


Kompres
Irwanti,
Air Hangat
Mulyanti,
pada 2015.
Daerah
JNKI,
Aksila
Vol. 3,
danNo.
Dahi
1, Tahun
Terhadap
2015,
Penurunan
10- Suhu Tubuh pada Pasien Demam
14 10
Keywords: warm compresses, the axillary, forehead area

Info Artikel:
Artikel dikirim pada 9 Januari 2015
Artikel diterima pada 9 Januari 2015

11 Eny Inda Ayu, Winda


Kompres
Irwanti,
Air Hangat
Mulyanti,
pada 2015.
Daerah
JNKI,
Aksila
Vol. 3,
danNo.
Dahi
1, Tahun
Terhadap
2015,
Penurunan
10- Suhu Tubuh pada Pasien Demam
14 11
PENDAHULUAN akan membuat pori-pori kulit terbuka sehingga
mempermudah pengeluaran panas dari tubuh(6).
Suhu tubuh yang meningkat lebih dari normal
Kenyataan yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu
atau demam merupakan suatu pertanda adanya
di Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar
gangguan kesehatan dan disebut sebagai keluhan
(KRIPMD) PKU Muhammadiyah Kutoarjo, dengan
yang dirasakan oleh seseorang tetapi bukan
jumlah rata- rata 40 pasien demam setiap bulan
merupakan suatu diagnosis. Suhu tubuh pada
dengan lama 3-4 hari perawatan, pelaksanaan
kondisi demam dapat digunakan sebagai salah satu
kompres sebagai salah satu tindakan mandiri untuk
ukuran mengenai membaik atau memburuknya
menangani demam masih sering diabaikan oleh
kondisi pasien. Demam mengacu pada
pasien dan keluarga. Selama ini pasien dan
peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi
keluarga lebih memilih untuk melakukan kompres
atau peradangan sebagai respon terhadap invasi
pada daerah dahi dengan alasan kompres pada
mikroba, sel-sel darah putih tertentu mengeluarkan
daerah dahi lebih mudah dilakukan dan tidak
suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
membasahi baju yang dipakai oleh pasien. Hingga
endogen yang memiliki banyak efek untuk melawan
saat ini, di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
infeksi(1).
belum pernah dilakukan penelitian untuk melihat
Demam adalah keadaan dimana terjadi
perbedaan efektivitas kompres pada daerah dahi
kenaikan suhu hingga 38° C atau lebih. Ada juga
dan aksila.
yang mengambil batasan lebih dari 37,8°C,
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 40°C disebut
perbedaan efektivitas pemberian kompres air
demam tinggi/ hiperpireksia. Demam dapat
hangat di aksila dan dahi terhadap penurunan suhu
membahayakan apabila timbul dalam suhu yang
tubuh pada pasien demam di KRIPMD PKU
tinggi. Demam tinggi adalah demam yang mencapai
Muhammadiyah Kutoarjo.
41,1°C (106°F) atau lebih. Pada demam tinggi dapat
terjadi alkalosis respiratorik, asidosis metabolik,
kerusakan hati, kelainan EKG, dan berkurangnya BAHAN DAN METODE
aliran darah otak. Selain itu dampak yang dapat Dalam penelitian ini, desain penelitian yang
ditimbulkan jika demam tidak ditangani maka akan digunakan adalah penelitian true eksperimen: two-
dapat menyebabkan kerusakan otak, hiperpireksia group pre-post test design. Penelitian ini dilakukan
yang akan menyebabkan syok, epilepsy, retardasi di Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar PKU
mental atau ketidakmampuan belajar(2). Muhammadiyah Kutoarjo. Penelitian ini dilakukan
Demam atau suhu tubuh yang tinggi dapat pada bulan November 2013. Populasi pada
diturunkan dengan berbagai cara. Cara yang paling penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di
sering digunakan adalah meminum obat penurun Ruang Rawat Inap KRIPMD PKU Muhammadiyah
demam seperti Paracetamol ataupun Ibuprofen. Kutoarjo yang mengalami demam dengan suhu
Selain itu adalah dengan mengobati penyebab tubuh aksila > 38ºC berjumlah 40 pasien dalam
demam, dan apabila ternyata demamnya karena satu bulan. Variabel independen dalam penelitian
infeksi oleh bakteri maka diberikan antibiotik untuk ini adalah pemberian kompres hangat pada daerah
membunuh bakteri. Tetapi obat- obatan saja tidak dahi atau daerah aksila. Variabel dependen dalam
cukup, sehingga perlu dilakukan kompres untuk penelitian ini adalah penurunan suhu tubuh pada
membantu menurunkan suhu tubuh saat demam(3). pasien demam. Subjek dibagi dua kelompok, yaitu
Kompres hangat merupakan metode untuk kelompok dengan kompres hangat pada dahi dan
menurunkan suhu tubuh(4). Pemberian kompres kompres hangat pada aksila selama 15-30 menit.
hangat pada daerah aksila (ketiak) lebih efektif Pengukuran dilakukan 2-3 menit sebelum perlakuan
karena pada daerah tersebut banyak terdapat kompres dengan menggunakan thermometer aksila.
pembuluh darah besar dan banyak terdapat kelenjar Analisis data menggunakan uji t.
keringat apokrin yang mempunyai banyak vaskuler
sehingga akan memperluas daerah yang
mengalami vasodilatasi yang akan memungkinkan HASIL DAN BAHASAN
percepatan perpindahan panas dari dalam tubuh Analisis Univariat
ke kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak(5).
Karakteristik Responden
Lingkungan luar yang hangat akan membuat
tubuh menginterpretasikan bahwa suhu di luar Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa demam
cukup panas sehingga akan menurunkan kontrol terbanyak terjadi pada pasien berumur antara 21-
pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan 30 tahun yaitu 28,9% (11 orang) dan paling sedikit
pengatur suhu tubuh lagi, juga terjadi
pada pasien umur 31-40 tahun yaitu 10,5% (4 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Pasien
orang). Demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
Hasil tersebut kemungkinan karena subjek
penelitian
pada pasien demam terlalu sedikit yaitu hanya 38 Pekerjaan f %
orang dan jumlah responden yang berumur antara Buruh/Tani 9 23,7
21-30 tahun lebih banyak. IRT 5 13,2
Swasta 8 21,1
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Pasien Demam di Pelajar/Mahasiswa 13 34,1
KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo Belum Sekolah 3 7,9
Umur f % Total 38 100,0
0-10 Tahun 8 21,1 Sumber: Data Primer 2013
11-20 Tahun 5 13,2
21-30 Tahun 11 28,9 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien
31-40 Tahun 4 10,5 Demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
> 40 Tahun 10 26,3
Total 38 100,0 Jenis Kelamin f %
Sumber: Data Primer 2013 Laki-Laki 18 47,4
Perempuan 20 52,6
Total 38 100,0
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori
Asmadi yang disebutkan bahwa salah satu faktor Sumber: Data Primer 2013
perubahan suhu tubuh dipengaruhi oleh umur.
Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa suhu pada Tabel 5. Distribusi Frekuensi Riwayat Penyakit
usia anak- anak sampai masa puber dan pada usia Pasien Demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah
lanjut cenderung lebih labil dibandingkan dengan Kutoarjo
usia dewasa(7). Riwayat Penyakit f %
Demam Thypoid 26 68,4
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pendidikan Pasien
Diare/ GE 12 31,6
Demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
Total 38 100,0
Pendidikan f % Sumber: Data Primer 2013
Belum Sekolah 3 7,9
SD 13 34,2
SMP 7 18,4 52,6% (20 orang) dan jumlah paling sedikit adalah
SMA 8 21,1 berjenis kelamin laki-laki yaitu 47,4% (18 orang).
Perguruan Tinggi 7 18,4 Hasil penelitian ini didukung oleh oleh Asmadi
Total 38 100,0 yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
Sumber: Data Primer 2013 mempengaruhi peningkatan suhu tubuh adalah
hormon(3). Wanita mengalami peningkatan hormon
Berdasarkan Tabel 2 diketahui pendidikan lebih banyak daripada pria. Pada wanita terjadi
pasien terbanyak adalah SD yaitu 34,2% (13 orang) peningkatan suhu antara 0,3-0,6o C di atas suhu
sedangkan jumlah paling sedikit termasuk kategori basal saat terjadi sekresi progesteron pada saat
belum sekolah yaitu 7,9% (3 orang). ovulasi berlangsung(9).
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pasien
frekuensi terbanyak pasien demam adalah demam terbanyak memiliki riwayat penyakit demam
pelajar/mahasiswa yaitu 34,1% (13 orang) dan thypoid yaitu 68,4% (26 orang) dan kejadian dengan
frekuensi paling sedikit adalah belum sekolah yaitu frekuensi lebih sedikit terjadi pada pasien dengan
7,9% (3 orang). Pelajar dan mahasiswa pada riwayat penyakit diare/GE yaitu 31,6% (12 orang).
jaman sekarang sebagian memiliki pola makan
yang tidak baik dengan pola gizi yang tidak Derajat Penurunan Suhu
seimbang sehingga lebih mudah terserang demam Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa rerata
sebagai awal gejala penyakit yang terjadi. penurunan suhu tubuh pada pasien demam yang
Penelitian Carolina menyebutkan bahwa pola diberikan perlakuan kompres air hangat pada
makan yang tidak sehat menyebabkan seseorang daerah aksila adalah 0,247oC dan rerata
lebih mudah terserang suatu penyakit(8). penurunan suhu tubuh pasien demam yang
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa pasien diberikan kompres air hangat pada daerah dahi
demam terbanyak berjenis kelamin perempuan adalah 0,111oC.
yaitu
Tabel 6. Statistik Deskriptif Penurunan Suhu pada
menunjukkan penurunan suhu yang signifikan jika
Pasien Demam yang diberikan Kompres Air Hangat
pada Daerah Aksila dan Daerah Dahi di KRIPMD PKU p<0,05.
Muhammadiyah Kutoarjo
Tabel 8. Uji Beda Rerata Suhu Badan sebelum
dan sesudah Perlakuan terhadap Pasien yang
Deskriptif daerah Aksila daerah Dahi
Sebelum dan
Mean 0,247 0,111 Lokasi t
Sesudah Deviasi hitung p-value
Deviation 0,077 0,066 Kompres
Perlakuan
Minimum 0,100 0,000 Daerah Sebelum 39,02
Maximum 0,400 0,200 0,247 13,961 0,000
Aksila Sesudah 38,77
Sumber: Data Primer 2013 Daerah Sebelum 38,68
0,111 7,234 0,000
Dahi Sesudah 38,57

Analisis Bivariat Sumber: Data Primer 2013

Uji Beda Rerata Suhu Tubuh pada Pasien


Demam Sebelum Perlakuan pada Pasien yang Berdasarkan hasil uji diperoleh penurunan
Dikompres pada Daerah Aksila dan Rerata Suhu suhu pada kedua kelompok lokasi kompres yaitu
pada Pasien yang Dikompres pada Daerah Dahi menunjukkan hasil yang signifikan. Pada kelompok
Analisis data dilakukan dengan pasien yang dikompres pada daerah aksila rerata
membandingkan rerata suhu tubuh sebelum suhu sebelum perlakuan adalah 39,02oC dengan
perlakuan pada pasien yang diberikan kompres air rerata penurunan suhu 0,247oC menjadi 38,77o C.
hangat pada daerah aksila dan rerata suhu tubuh Pada pasien yang dikompres pada daerah dahi
pada pasien demam yang diberikan kompres pada rerata suhu tubuh sebelum perlakuan adalah 38,68o
daerah dahi menggunakan independent sample t C mengalami penurunan sebesar 0,111 menjadi
test. 38,57oC sesudah perlakuan. Berdasarkan
perbandingan penurunan suhunya maka
Tabel 7. Uji Beda Rerata Suhu Sebelum Perlakuan pengompresan di daerah aksila dengan rerata
pada Pasien Demam yang dikompres pada Daerah penurunan suhu sebesar
Aksila dengan Pasien Demam yang Dikompres 0,247oC menunjukkan penurunan suhu yang lebih
pada Daerah Dahi di KRIPMD PKU Muhammadiyah besar dibandingkan pengompresan pada daerah
Kutoarjo
dahi dengan rerata penurunan suhu sebesar 0,111oC.
Lokasi Kompres Rerata (Mean) t p-value
hitung
Aksila 39,02 Uji Beda Rerata Penurunan Suhu Tubuh Pasien
Dahi 38,68 1,984 0,055
Demam yang Dikompres pada Daerah Aksila dan
Pasien Demam yang Dikompres pada Daerah
Berdasarkan Tabel 7 diketahui rerata suhu Dahi
tubuh pada pasien demam sebelum diberikan
kompres pada daerah aksila adalah 39,02 dan Tabel 9. Uji Beda Rerata Penurunan Suhu Badan
rerata suhu tubuh sebelum pada daerah dahi Pasien Demam yang Dikompres pada Daerah Aksila
sebesar dan Pasien Demam yang Dikompres pada Daerah
Dahi
38,68. Hasil uji beda diperoleh t hitung sebesar
1,984
dengan p=0,055. Karena p>0,05 menunjukkan tidak
ada perbedaan signifikan rerata suhu tubuh Rerata Penurunan thitung p-value
sebelum Lokasi Kompres suhu
dilakukan perlakuan pada pasien demam yang Daerah Aksila 0,247
dikompres pada daerah aksila dengan pasien yang 5,879 0,000
Daerah Dahi 0,111
dikompres pada daerah dahi.
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa rerata
Uji Beda Rerata Suhu Tubuh Sebelum dan
Sesudah Perlakuan pada Pasien yang penurunan suhu tubuh pada pasien demam yang
Dikompres pada Daerah Aksila dan Pasien yang dikompres pada daerah aksila adalah 0,247 dan
Dikompres pada Daerah Dahi rerata penurunan suhu tubuh pada pasien demam
Uji ini digunakan untuk membandingkan suhu yang dikompres pada daerah dahi adalah 0,111.
sebelum dan sesudah perlakuan baik pada pasien Setelah dilakukan uji perbandingan kedua rerata
demam yang dikompres dengan menggunakan air menggunakan uji t diperoleh t hitung sebesar 5,879
hangat pada daerah aksila maupun pasien demam dengan p=0,000. Karena p<0,05 maka Ho ditolak
yang diberikan kompres air hangat pada daerah dan Ha diterima, artinya ada perbedaan secara
dahi menunjukkan penurunan yang signifikan. Hasil signifikan pada rerata penurunan suhu pada pasien
yang diberikan kompres air hangat pada daerah aksila dan pasien yang diberikan kompres air
hangat pada daerah dahi. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemberian kompres air hangat
pada daerah aksila lebih efektif terhadap penurunan suhu tubuh dibandingkan dengan teknik
pemberian kompres air hangat pada daerah dahi pada pasien demam di Klinik Rawat Inap
Pelayanan Medik Dasar PKU Muhammadiyah Kutoarjo.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tamsuri yang
menyatakan daerah ketiak terdapat vena besar yang memiliki kemampuan proses vasodilatasi
yang sangat baik dalam menurunkan suhu tubuh dan sangat dekat dengan otak yang
merupakan tempat terdapatnya sensor pengatur suhu tubuh yaitu hypothalamus(10). Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian Juwariyah bahwa kompres air hangat lebih efektif
74,6% untuk menurunkan suhu pada pasien anak dengan demam daripada kompres plester(11).
Hasil penelitian didukung hasil penelitian Sukmawati yang menunjukkan kompres di ketiak
memberikan efektivitas tinggi bila dibandingkan kompres di dahi dengan derajat penurunan suhu
masing 0,234 oC dan 0,145oC(12). Hasil analisis menggunakan uji t diperoleh t hitung sebesar
5,673 dengan p=0,018. Serta penelitian Wening menyatakan bahwa pasien yang dikompres di
bagian ketiak memiliki penurunan suhu lebih besar daripada pasien yang dikompress pada
daerah dahi(13).

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
sebagai berikut bahwa rerata derajat penurunan suhu tubuh sebelum dan sesudah
dilakukan kompres hangat pada daerah aksila pada pasien demam di KRIPMD PKU
Muhammadiyah Kutoarjo sebesar
0,247 o C, rerata derajat penurunan suhu tubuh sebelum dan sesudah dilakukan kompres
hangat pada daerah dahi pada pasien demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo
sebesar 0,111 oC. Teknik pemberian kompres hangat pada daerah aksila lebih efektif terhadap
penurunan suhu tubuh dibandingkan dengan teknik pemberian kompres
hangat pada dahi pada pasien demam di KRIPMD PKU Muhammadiyah Kutoarjo. Saran bagi
pasien dan keluarga agar dapat meningkatkan cara kompres di daerah aksila karena lebih
efektif.

RUJUKAN
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
Jakarta: EGC; 2002.
2. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC;
2002.
3. Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC; 2008.
4. Hegner BR. Asisten Keperawata n Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: EGC; 2003.
5. Crowin. Buku Saku Patofisiolog. Jakarta: EGC;
2002.
6. Sunardi. Kontrol Persyarafan Terhadap Suhu Tubuh. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia; 2009.
7. Asmadi. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: EGC; 2008.
8. Carolina A. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Penyakit GE pada Remaja di
Puskesmas Rempoah. Purwokerto: Akper Muhammadiyah Purwokerto; 2011.
9. Effendy F, Makhfudli. Keperawatan Kesehatan
Komunitas. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
10. Tamsuri A. Tanda-tanda Vital: Suhu Tubuh.
Jakarta: EGC; 2006.
11. Juwariyah. Efektivitas Penurunan Suhu Tubuh Menggunakan Kompres Hangat dan
Kompres Plester pada Anak Demam [internet]. 2011 [cited
2013 Des 26]. Available from: http://repository. usu.id.
12. Sukmawati. Perbandingan Penurunan Suhu pada Pasien yang Dikompres Pada Daerah
Ketiak dengan Kompres Pada Dahi di RSI Ibnu Shina Magelang. Surakarta: Fakultas
Kesehatan UMM Surakarta; 2010.
13. Wening, Endang. Perbandingan Penurunan Suhu Pada Pasien yang Dikompres pada
Daerah Ketiak dengan Kompres pada Dahi di Ruang Rawat Inap Kelas III RS Hasan Sadikin
Bandung. Bandung: Akper Parahiyangan; 2011.
Pristahayuningtyas, et al, Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri
... Dalam Keperawatan Maternitas. Bandung: PT. Refika Aditama
Sunaryo, T, Lestari S. (2014). Pengaruh relaksasi benson terhadap penurunan skala nyeri pada dada
kiri pada pasien acute myocardial infarc di RS Dr Moewardi Surakarta. Diunduh pada
tanggal 15 Januari 2017
01.42 Wita.
Sylvia, P. A., & Wilson, L. M. (2012).
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit (edisi
6). Jakarta: EGC.
Tanto Chris. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Ed.4. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Thomas, Gloria A. ( 2016). Angka Kejadin Apendisitis di RSUP. Prof. Dr. R.D.Kandou Manado, Jurnal
e- clinic: UNSRAT.
Trullyen, V.L. 2013. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intensitas Nyeri pada
Pasien Post Operasi Sectio Caesaria. http://kim.ung.ac.id/indek.php/
KIMFIKK/article/view/2859/2
835. Di unduh pada tanggal 7
November 17.45 Wita.
Wungouw Herlina, Marunduh Sylvia. (2014). Mudah mempelajari patofisiologi. BinaRupa Aksara
Publisher. Tangerang Selatan.
Yusliana dkk. (2015). Efektivitas relaksasi benson terhadap penurunan nyeri pada ibu post
partum section caesarea. Diperoleh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=385031&val=6447&title=EFEKTIVIT 20RELAKSASI%20BENSON
%20TERHADAP%20PE
NURUNAN%20NYERI%20PADA%20IBU%20POSTPARTUMSECTIO
%20CAESAREA.30 September 2016. 00.10 Wita

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.4 (no.1), Januari, 102


2016 1021
Pristahayuningtyas, et al, Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri
...
Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri Klien
Post Operasi Apendektomi di Rumah Sakit Baladhika Husada
Kabupaten Jember
(The Effect of Early Mobilization on The Change of Pain Level in
Clients with Post Appendectomy Operation at Mawar Surgical
Room of Baladhika Husada Hospital
Jember Regency)
Rr. Caecilia Yudistika Pristahayuningtyas, Murtaqib, Siswoyo
Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember Telp/Fax. (0331) 323450
e-mail: rr.c.y.pristahayuningtyas@gmail.com

Abstract
Appendectomy is a procedure that can cause pain. The clients with post appendictomy
operation need the maximal treatment to return the body function quckly. One of non
pharmacological therapy that can be used to decrease the pain is early mobilization. Early
mobilization is useful to distract clients from the pain. The objective of this research was to
analyze the effect of early mobilization on the change of pain level in clients with post
appendectomy operation at Mawar Surgical Room of Baladhika Husada Hospital Jember
Regency. Independent variable of this research was early mobilization and dependent variable
was the change of pain level. This research used pre experimental: one group pretest posttest
design. The sampling collection technique used was consecutive sampling involving 8
individuals. Data analysis used t-dependent testing with the significance level of 95% (α=0,05).
Data analysis regarding dependent t-test showed that there was a significant difference
between pretest and posttest after early mobilization (p=0,000). The conclusion of this research
suggested that there is an effect of early mobilization on the change of pain level. The early
mobilization is expected to be applied as one of methods in providing nursing care to
clients with post appendectomy operation.

Keywords: early mobilization, appendectomy,


pain

Abstrak
Apendektomi adalah prosedur yang dapat menyebabkan nyeri. Nyeri merupakan pengalaman
yang diekspresikan berbeda oleh setiap orang. Klien post operasi apendektomi membutuhkan
perawatan yang maksimal yang dapat membantu pemulihan fungsi tubuh. Salah satu terapi
nonfarmakologis yang dapat mengurangi nyeri adalah mobilisasi dini. Mobilisasi dini berguna
untuk mengalihkan perhatian klien dari nyeri yang dirasakan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis pengaruh mobilisasi dini terhadap perubahan tingkat nyeri klien post
operasi apendektomi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian pre eksperimental: one
group pretest-postest. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling yang
melibatkan 8 orang tanpa kelompok kontrol. Analisis data yang digunakan adalah dependent
t- test dengan tingkat signifikansi 95% (α = 0,05). Analisis data menggunakan dependent-t test
didapatkan hasil p=0,000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
skala nyeri sebelum dan setelah dilakukan mobilisasi dini. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi
apendektomi. Mobilisasi dini ini diharapkan dapat diterapkan sebagai salah satu metode dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan post operasi apendektomi.

Kata kunci: mobilisasi dini, apendektomi, nyeri

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.4 (no.1), Januari, 103


2016 1031
Pristahayuningtyas, et al, Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Perubahan Tingkat Nyeri
...
Pendahuluan Metode Penelitian
Apendisitis adalah peradangan dari Penelitian ini menggunakan pre
apendik vermiformis, dan merupakan penyebab experimental design dengan metode
masalah abdomen yang paling sering [1]. pendekatan one group pretest-posttest. Populasi
insidens apendisitis di dunia tahun 2007 dalam penelitian ini adalah seluruh klien post
mencapai 7% dari keseluruhan jumlah operasi apendektomi pada Bulan Mei 2015 di
penduduk dunia. Angka kejadian apendisitis di Ruang Bedah Mawar Rumah Sakit Baladhika
negara maju lebih besar daripada di negara Husada Kabupaten Jember. Teknik
berkembang. Satu dari 15 orang pernah pengambilan sampel yang digunakan adalah
menderita apendisitis dalam hidupnya, yakni consecutive sampling. Sampel dalam penelitian
jumlah penderita appendisitis di Indonesia ini adalah klien post operasi apendektomi pada
mencapai 591.819 orang dan angka kejadian Bulan Mei 2015 di Ruang Bedah Mawar Rumah
apendisitis meningkat pada tahun 2009 sebesar Sakit Baladhika Husada Kabupaten Jember
596.132 orang. Data Depkes 2008 didapatkan sebanyak 8 responden.
bahwa insidens apendisitis di Indonesia Teknik pengumpulan data dengan
menempati urutan tertinggi di antara kasus menggunakan lembar observasi Numeric Rating
kegawatan abdomen lainya [2]. Scale (NRS). Mobilisasi dini dilakukan 1x24 jam
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di selama ± 45 menit, dalam 6-8 jam pertama post
Ruang Mawar Rumah Sakit Baladhika Husada operasi apendektomi yang terdiri dari dua
Kabupaten Jember, didapatkan data kasus langkah yakni langkah pertama menggerakkan
apendektomi yang terjadi pada tahun 2013 ekstremitas klien dengan menekuk dan
sebanyak 64 dan 2014 sebanyak 71 kasus. meluruskannya, masing-masing diulang 3 kali,
Menurut perawat di Ruang Bedah Mawar setiap pengulangan 8 kali hitungan, kemudian
Rumah Sakit Baladhika Husada, mobilisasi langkah kedua melakukan miring kanan dan
selalu dilakukan pada klien post operasi miring kiri, masing-masing selama 15 menit.
apendektomi dan biasa dilakukan setelah 24 Analisis data menggunakan analisis deskriptif
jam pertama post operasi apendektomi, namun dan analisis inferensial. Analisis deskriptif untuk
mobilisasi dini untuk klien post operasi menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik
apendektomi belum memiliki Standart responden. Analisis inferensial menggunakan uji
Operasional Prosedur (SOP) yang tetap. statistik paramaterik dependent-t test.
Prosedur apendektomi merupakan bagian
dari prosedur laparatomy. Pasien post Hasil Penelitian
laparatomy memerlukan perawatan yang Karakteristik Responden
maksimal untuk mempercepat pengembalian Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
fungsi tubuh [3]. Tindakan apendektomi Jenis Kelamin di Ruang Bedah
merupakan peristiwa kompleks sebagai Mawar Rumah Sakit Baladhika
ancaman potensial atau aktual pada integritas Husada Kabupaten Jember Periode
seseorang baik biopsikososial spiritual yang 4-27 Mei 2015 (n=8)
dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Rasa Jenis Kelamin Jumlah
Presentase (%)
nyeri tersebut biasanya timbul setelah operasi. Responden (Orang)
Salah satu dari perawatan klien post operasi Laki-Laki 3 37,5
untuk mengurangi nyeri adalah dengan Perempuan 5 62,5
dilakukannya mobilisasi dini [4].
Mobilisasi dini mempunyai peranan Total 8 100
penting dalam mengurangi rasa nyeri dengan
cara menghilangkan konsentrasi pasien pada
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan
lokasi nyeri atau daerah operasi, mengurangi
Usia di Ruang Bedah Mawar Rumah
aktivasi mediator kimiawi pada proses
Sakit Baladhika Husada Kabupaten
peradangan yang meningkatkan respon nyeri
Jember Periode 4-27 Mei 2015 (n=8)
serta meminimalkan transmisi saraf nyeri Min-
menuju saraf pusat [5]. Oleh karena itu peneliti Variabel Mean SD Modus
Maks
ingin mengetahui pengaruh mobilisasi terhadap
perubahan tingkat nyeri klien post operasi
Usia 25,12 9,55 19 18-44
apendektomi di Rumah Sakit Baladhika Husada
Kabupaten Jember.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.4 (no.1), Januari, 104


2016 1041
Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Mobilisasi penurunan skala nyeri yaitu sebanyak 8 orang.
Dini
Tabel 3. Distribusi Rerata Nilai Skala Nyeri Klien Tabel 6. Hasil Analisis Perbedaan Nilai Skala
Post Operasi Apendektomi Sebelum Nyeri pada Klien Post Operasi
Dilakukan Mobilisasi Dini Periode 4-27 Apendektomi Sebelum dan Setelah
Mei 2015 (n=8) Intervensi Mobilisasi Dini di Ruang
Min-
Variabel Mean SD Modus Bedah Mawar Rumah Sakit Baladhika
Maks
Husada Kabupaten Jember Periode 4-
Nyeri 7,75 2,37 10 4-10 27 Mei 2015 (n=8)
Sebelum P
Variabel Mean SD t
value
Skala Nyeri Setelah Dilakukan Mobilisasi Dini Sebelum
dan
Tabel 4. Distribusi Rerata Nilai Skala Nyeri Klien Setelah
-2,12 0,83 0,000 -7,20
Post Operasi Apendektomi Setelah Intervensi
Dilakukan Mobilisasi Dini Periode 4-27 Mobilisasi
Dini
Mei 2015 (n=8) Analisis dengan menggunakan uji
Variabel Min- parametrik dependent t-test didapatkan hasil
Mean SD Modus
Maks
nilai p value 0,000 (p value<0,05), maka dapat
Nyeri disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat nyeri
Setelah 5,62 1,996 7 3-8 klien post operasi apendektomi sebelum dan
setelah dilakukan mobilisasi dini di Ruang

Perbedaan Nilai Skala Nyeri Sebelum dan Bedah Mawar Rumah Sakit Baladhika Husada
Setelah dilakukan Mobilisasi Dini Kabupaten Jember.

Tabel 5. Perbedaan Nilai Skala Nyeri pada Klien Pembahasan


Post Operasi Apendektomi Sebelum Karakteristik Responden
dan Setelah Intervensi Mobilisasi Dini di Menurut Santacroce, perbandingan
Ruang Bedah Mawar Rumah Sakit kejadian apendisitis adalah 1,4 lebih banyak pria
Baladhika Husada Kabupaten Jember daripada wanita [3]. Insiden apendisitis
Periode 4-27 Mei 2015 (n=8) umumnya sebanding antara laki-laki dan
Sebelum Setelah
N dilakukan di Ruang Bedah Mawar Rumah Sakit
o Kategor Difference
∆ Baladhika Husada berkaitan dengan klien yang
Nilai Kategor Nilai i Skala
Nyeri
mengalami apendisitis dan menjalani prosedur
Skala i Skala Skala apendektomi didapatkan hasil yang berkaitan
Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Nyeri
1 10 -3 dengan data karakteristik responden khususnya
Berat 7 Berat
Nyeri Nyeri
jenis kelamin bahwa jenis kelamin responden
2 7 4 -3 mayoritas adalah perempuan dengan total
Berat Sedang
Nyeri Nyeri sebanyak 5 orang (62,5 %). Jumlah tersebut
3 7 6 -1
Berat Sedang dapat dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan
Nyeri Nyeri yang memiliki aturan bahwa seorang laki-laki
4 5 3 -2
Sedang Ringan tidak boleh menangis, sedangkan perempuan
Nyeri 3 Nyeri -1 boleh menangis dalam situasi yang sama,
Sedang Ringan sehingga dalam menginterpretasikan nyeri,
Nyeri 8 Nyeri -2 perempuan lebih terlihat [6].
Berat Berat
Apendisitis terjadi pada setiap orang
Nyeri 7 Nyeri -3 dengan berbagai variasi umur. Insiden
Berat Berat
tertingginya terdapat pada laki-laki usia 10-14
Nyeri 7 Nyeri -2
Berat Berat tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun.
Apendisitis banyak terjadi pada usia ±25 tahun
[2].
Data tersebut juga menjelaskan bahwa
terdapat perbedaan skala nyeri sebelum dan Kejadian apendisitis dapat terjadi pada semua
setelah dilakukan mobilisasi dini serta semua umur, namun lebih sering menyerang usia 10-30
responden dalam penelitian mengalami tahun [7]. Insiden tertinggi pada kelompok
penelitian yang dilakukan pada Mei 2015 Bedah Abdomen dalam Kontek Asuhan
menunjukkan bahwa rata-rata usia responden Keperawatan di RSUD Badung Bali
yang mengalami apendisitis dan dilakukan mengemukakan bahwa, faktor-faktor yang
prosedur apendektomi ±25 tahun. mempengaruhi nyeri post operasi abdomen
Rata-rata usia responden penelitian diantaranya adalah usia, jenis kelamin,
adalah 25 tahun yang termasuk dewasa awal spiritualitas, budaya, tingkat pendidikan,
[9]. Usia tersebut pada umumnya aktif dan pengalaman nyeri sebelumnya, sikap dan
mempunyai masalah kesehatan utama keyakinan, tingkat kecemasan, dan letak insisi
minimum. Namun gaya hidup usia ini dapat [13].
memunculkan gangguan kesehatan. Kebiasan Hasil penelitian pada klien post operasi
gaya hidup kurang olah raga dan higiene apendektomi sebelum dilakukan mobilisasi dini
personal yang buruk meningkatkan risiko ini menununjukkan bahwa klien post operasi
terjadinya berbagi macam penyakit [6]. apendektomi masih merasakan nyeri yang berat
meskipun diberikan terapi farmakologis. Oleh
Tingkat Nyeri Sebelum Dilakukan Mobilisasi karena itu diperlukan terapi nonfarmakologis
Dini yang digunakan untuk mendampingi terapi
Nilai mean atau rata-rata skala nyeri yang farmakologis, sehingga dapat membantu untuk
dialami responden sebelum dilakukan mobilisasi mengurangi nyeri. Apabila nyeri post operasi
dini adalah 7,75 atau termasuk dalam kategori tidak dikontrol, maka dapat menyebabkan
skala nyeri berat menurut Mac Caffery dan proses rehabilitasi klien tertunda dan
Beebe. Penelitian yang dilakukan Dian Novita hospitalisasi menjadi lebih lama. Hal ini karena
pada tahun 2012, menunjukkan bahwa skala klien memfokuskan semua perhatiannya pada
nyeri yang mayoritas dialami oleh klien post nyeri yang dirasakan [4].
operasi adalah kategori skala nyeri berat [10].
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Tingkat Nyeri Setelah Dilakukan Mobilisasi
skala nyeri responden sebelum dilakukan Dini
mobilisasi dini walaupun mayoritas ada di skala Hasil rata-rata skala atau nilai mean dari
10 yakni kategori nyeri berat, namun terdapat 2 skala nyeri klien setelah dilakukan mobilisasi
responden yang juga mengalami nyeri dan dini adalah 5,62 (kategori nyeri sedang) dengan
berada pada skala nyeri sedang. Nyeri standar deviasi ±1,99, dalam penelitian ini tidak
merupakan sensasi subjektif, rasa yang tidak ada responden yang mengalami kategori tidak
nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan nyeri post operasi apendektomi setelah
jaringan aktual atau potensial [11]. dilakukan mobilisasi dini. Skala nyeri sebelum
Hasil penelitian menununjukkan bahwa dan setelah dilakukan mobilisasi dini terjadi
tidak ada responden yang tidak mengalami penurunan, dari rerata 7,75 yang termasuk
nyeri. Hal ini sesuai dengan pernyataan di kategori skala nyeri berat menjadi 5,62 yang
dalam Smeltzer & Bare, dimana nyeri yang termasuk kategori skala nyeri sedang. Hal
dialami klien post operasi muncul disebabkan tersebut menunjukkan bahwa nilai skala nyeri
oleh rangsangan mekanik luka yang responden sebelum dan sesudah dilakukan
menyebabkan tubuh menghasilkan mediator- mobilisasi dini secara keseluruhan mengalami
mediator kimia nyeri, sehingga muncul nyeri penurunan.
pada setiap klien post operasi [4]. Intensitas Penurunan nilai skala nyeri yang berbeda-
nyeri post operasi bervariasi mulai dari nyeri beda antara satu individu yang satu dengan
ringan sampai berat, namun menurun sejalan yang lain dan perubahan nilai yang relatif kecil
dengan proses penyembuhan [12]. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai
nyeri tersebut dapat dipengaruhi beberapa macam faktor. Salah satunya karena nyeri
faktor. bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang
Faktor yang mempengaruhi nyeri post mengalami nyeri yang sama dan tidak ada dua
operasi abdomen diantaranya adalah faktor kejadian nyeri yang sama menghasilkan respon
usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, atau perasaan yang identik pada individu. Nyeri
perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman merupakan sumber frustasi, baik klien maupun
sebelumnya, gaya koping, dukungan keluarga tenaga kesehatan [12]. Faktor lain yang dapat
dan sosial [12]. Berdasarkan penelitian yang menyebabkan nilai nyeri berbeda-beda atau
dilakukan oleh I Putu Artha Wijaya dalam jurnal bervariasi dan menunjukkan perubahan yang
yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang relatif kecil, diantaranya adalah arti nyeri,
Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasien Pasca persepsi nyeri, toleransi nyeri, dan reaksi
terhadap nyeri [5]. sehingga dengan demikian fokus perhatian klien
Penurunan skala nyeri setelah dilakukan bukan pada nyeri, namun pada aktivitas atau
mobilisasi juga dipengaruhi karena mobilisasi gerakan yang dilakukan. Distraksi dapat berkisar
dini mempunyai peranan penting dalam dari pencegahan yang monoton hingga
mengurangi rasa nyeri dengan cara melakukan aktivitas fisik ataupun mental.
menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi Beberapa orang dapat meredakan nyeri melalui
nyeri atau daerah operasi, mengurangi aktivasi permainan dan aktivitas [4].
mediator kimiawi seperti histamin, bradikinin, Latihan mobilisasi dini dapat memusatkan
prostaglandin, asetilkolin, substansi P, perhatian klien pada gerakan yang dilakukan.
leukotrien, dan kalium pada proses peradangan Hal tersebut memicu pelepasan noreepinefrin
yang meningkatkan respon nyeri serta dan serotonin [15]. Pelepasan senyawa tersebut
meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju menstimulasi atau memodulasi sistem kontrol
saraf pusat. Pergerakan fisik bisa dilakukan desenden. Di dalam sistem kontrol desenden
diatas tempat tidur dengan menggerakkan terdapat dua hal, yang pertama terjadi
tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau pelepasan substansi P oleh neuron delta-A dan
diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam delta-C. Hal kedua yakni mekanoreseptor dan
keadaan statis maupun dinamis termasuk juga neuron beta-A melepaskan neurotransmiter
menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau penghambat opiat endogen seperti endorfin dan
ke kanan [4]. dinorfin. Hal tersebut menjadi lebih dominan
untuk menutup mekanisme pertahanan dengan
Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap menghambat substansi P. Terhambatnya
Perubahan Tingkat Nyeri substansi P menurunkankan transmisi saraf
Hasil uji statistik dependent t-test, menuju saraf pusat sehingga menurunkan
didapatkan hasil uji bivariat dependent t-test persepsi nyeri [4].
atau paired t-test dengan p value = 0,000 yang
artinya terdapat perbedaan bermakna antara Simpulan dan Saran
skala nyeri sebelum dilakukan mobilisasi dini
dengan skala nyeri setelah dilakukan mobilisasi Kesimpulan dari hasil penelitian adalah
dini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap
nilai skala nyeri responden setelah dilakukan perubahan tingkat nyeri klien post operasi
mobilisasi dini didapatkan hasil bahwa 100% apendektomi. Hasil ini menunjukkan bahwa
responden mengalami penurunan nilai skala mobilisasi dini dapat diberikan untuk
nyeri dan hasil rerata penurunan skala nyeri menurunkan skala nyeri klien pada klien post
klien sebelum dan setelah dilakukan mobilisasi operasi apendektomi.
dini adalah dari rerata 7,75 yang termasuk Penelitian ini diharapkan dapat semakin
kategori skala nyeri berat menjadi 5,62 yang meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
termasuk kategori skala nyeri sedang. dengan memberikan mobilisasi dini post operasi
Penurunan skala nyeri tersebut dapat khususnya apendektomi sehingga dapat
dipengaruhi oleh adanya pengalihan pemusatan menjadi salah satu intervensi untuk mengurangi
perhatian klien, yang sebelumnya berfokus pada nyeri non farmakologis. Selain itu, penelitian ini
nyeri yang dialami, namun saat dilakukan dapat dilanjutkan dengan penelitian lanjutan
mobilisasi dini, pemusatan perhatian terhadap yang dapat berupa penelitian eksperimen
nyeri dialihkan pada kegiatan mobilisasi dini. dengan tingkat estimasi yang lebih akurat,
nyeri yang terjadi pada seseorang akibat adanya melibatkan kelompok kontrol, dan menggunakan
rangsang tertentu seperti tindakan operasi, jumlah sampel yang lebih besar.
dapat diblok ketika terjadi interaksi antara
stimulus nyeri dan stimulus pada serabut yang Ucapan Terima Kasih
mengirimkan sensasi tidak nyeri diblok pada
Peneliti menyampaikan terima kasih
sirkuit gerbang penghambat [14].
kepada responden penelitian dan instansi
Terdapat penatalaksanaan farmakologis
Rumah Sakit Baladhika Husada Kabupaten
dan juga penatalaksanaan nonfarmakologis
Jember terutama Ruang Bedah Mawar yang
untuk nyeri. Penatalaksanaan nyeri
membantu peneliti dalam melaksanakan
nonfarmakologis diantaranya adalah distraksi
penelitian.
dan teknik relaksasi. Salah satu distraksi adalah
dengan cara mengajak klien yang mengalami
nyeri untuk bergerak dan melakukan aktivitas,
Daftar Pustaka
[1] Dermawan, Rahayuningsih. Keperawatan medikal bedah: sistem pencernaan. Yogyakarta: Gosyen
Publishing; 2010.
[2] Eylin. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis berdasarkan data
registrasi di departemen patologi anatomi fakultas kedokteran indonesia rsupn cipto
mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia [internet].
2009. [diakses tanggal 3 Oktober 2014]. dari:http://www.google.com/url?
q=http://lib.ui.ac.id/file%3Ffile
%3Ddigital/122559-09008fkKarakteristik
%2520pasien&ved.
[3] Muttaqin dan Sari. Asuhan keperawatan perioperatif. Jakarta: Salemba Medika;
2009.
[4] Smeltzer, Bare. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC;
2002
[5] Hidayat AAA. Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika;
2006.
[6] Potter PA, Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Jakarta:
EGC; 2005.
[7] Sjamsuhidajat dan Wim. Buku ajar ilmu bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC; 1997.
[8] Mansjoer. Kapita selekta kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta: Media Aeculapius; 2000.
[9] Republik Indonesia. Depkes RI. Profil kesehatan indonesia. Jakarta: Depertemen Republik
Indonesia; 2009.
[10] Novita. Pengaruh terapi musik pada nyeri post operasi open reduction and internal
fixation (orif) di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu
Perawatan Universitas Indonesia [internet]. 2012. [diakses tanggal 14 Maret
2015]. dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital /
20328120-T30673%20-%20Pengaruh%
20terapi.pdf.
[11] Siswati. Pengaruh masase kulit terhadap penurunan rasa nyeri pada pasien post
apendiktomi di rindu b2 RSUP H. Adam Malik Medan 2010. Skripsi. Surakarta: Stikes
Kusuma Husada. [internet]. 2010. [diakses tanggal 16 April 2015]. Dari:
http://digilib.stikeskusumahusada. ac.id/files/disk 1/ 10 /01- gdl- rafideviar-
473- 1- rafidev-n.pdf.
[12] Potter PA, Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. Jakarta: EGC; 2006.
[13] Wijaya IPA. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri pasien pasca bedah
abdomen dalam kontek asuhan keperawatan di rsud badung bali. Jurnal Dunia Kesehatan
Vol. 3 (1). [internet]. 2014. [diakses tanggal 9 Juni
2015]. dari: http://www.triatma- mapindo.ac.id/ojsstikes/index.php/JDK3/arti cle/view/35.
[14] Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran.
Edisi 22. Jakarta: EGC; 2008.
[15] Rospond RM. Pemeriksaan dan penilaian nyeri. [internet]. 2008. [diakses 14 Maret
2015]. dari:https://lyrawati.files.word press.com/2008/27/pemeriksaan-dan- penilaian-
nyeri.pdf.
KOMPRES HANGAT TERHADAP MOTILITAS USUS
PADA PASIEN APENDIKTOMI

I Made Widastra
I Gede Ardy Wiranata
I Made Oka Bagiarta
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: widastramade54@yahoo.com

Abstract: Warm Compress On Intestinal Motility of The Patients Appendictomy.


The purpose of this research was to find out the impact of warm compresses on
intestinal motility of the appendectomy patient at Bougenville room, BRSU Tabanan.
This research used nonequivalent control group design with 24 people who are
divided into 2 groups; they are control group and intervention group. Intestinal
motility value can be obtained from the examination in all four quadrants of the
abdomen using a stethoscope. Data were analysed useing t-test independent is p< α
(p = 0,000; α = 0.05) Which has a significant impact of warm compress on intestinal
motility among appendectomy patients.

Abstrak: Kompres Hangat Terhadap Motilitas Usus Pasien Apendiktomi.


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap
motilitas usus pasien apendiktomi di Ruang Bougenville BRSU Tabanan. Penelitian
ini menggunakan rancangan nonequivalent control group design dengan jumlah
sampel 24 orang dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. Nilai motilitas usus
diperoleh dengan melakukan pemeriksaan di keempat kuadran abdomen
menggunakan stetoskop. Hasil analisis uji menggunakan t-test independent
didapatkan nilai p < α (p = 0,000; α = 0,05) sehingga Ha diterima yang berarti ada
pengaruh yang signifikan antara kompres hangat dengan motilitas usus pada pasien
apendiktomi

Kata Kunci: kompres hangat; motilitas usus; apendiktomi


Apendisitis merupakan peradangan pada et.al., 2009). Menurut Depkes RI tahun
apendiks yang mengenai seluruh organ 2009, jumlah pasien yang menderita
tersebut (Price & Wilson, 2006). Apendisitis penyakit apendisitis di Indonesia berjumlah
juga merupakan penyakit bedah mayor yang sekitar 27% dari jumlah penduduk di
paling sering terjadi. Walaupun dapat terjadi Indonesia.
di setiap usia, namun insiden yang paling Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
sering terjadi adalah pada usia remaja dan Provinsi Bali pada tahun 2009 apendisitis
dewasa muda (Price & Wilson, 2006). sendiri menduduki peringkat 10 penyakit
Insiden terjadinya apendisitis akut di rawat inap RSUD se-Bali, tercatat 1156
Amerika Serikat pada tahun 2006 ditemukan kasus. Meningkat 87% pada tahun 2011
sekitar 250.000 kasus. Apendisitis akut menjadi 2162 kasus dan menduduki
terjadi 7% dari populasi Amerika Serikat, peringkat 5 penyakit rawat inap RSUD
dengan insiden 1,1 kasus tiap 1000 orang se-Bali. Di BRSU Tabanan pada 3 bulan
per tahun (Eylin, 2009). Kasus apendiktomi terakhir (Juli - September 2013) terdapat
di Valencia, Spanyol selama periode 10 135 kasus apendisitis akut. Apabila dirata-
tahun (1998-2007) teridentifikasi terjadi ratakan terdapat 45 kasus apendisitis akut
44.683 kasus untuk apendiktomi (Andreu dalam sebulan. Dari jumlah kasus sebanyak
135 orang, 69 orang pasien dilakukan Namun, studi terbaru menunjukkan selang
tindakan pembedahan atau apendiktomi dan (NGT) tidak harus secara rutin dipasang
dirawat di ruang Bougenville (Juli– setelah operasi abdomen karena pemasangan
September 2013). selang NGT akan meningkatkan insiden
Apabila diagnosis apendisitis sudah jelas komplikasi paru termasuk pneumonia,
tindakan yang paling tepat dilakukan adalah atelektasis dan demam (Kehlet, 2008).
pembedahan apendiks. Pembedahan Menanggapi hal ini, perlunya mencari jalan
merupakan suatu tindakan operatif dengan atau alternative lain untuk mempercepat
membuka dan menampilkan bagian tubuh proses dari pemulihan motilitas usus usus
yang akan di obati dengan cara invasive. pada pasien apendiktomi.
Pasien apendiktomi dapat mengalami Pada umumnya panas memiliki efek
penurunan motilitas usus, hal ini dapat
terapeutik, meningkatkan aliran darah ke
disebabkan oleh anestesi dan manipulasi
bagian tubuh yang mengalami cedera (Potter
yang dilakukan pada saat pembedahan.
Pasien yang belum pulih motilitas ususnya & Perry 2006). Menurut Sasmito (2011) dan
setelah pembiusan dapat menderita ileus Masanori (2003), kompres hangat dapat
obstruktif atau obstruksi intestinal bila memberikan efek berupa meningkatkan
dalam waktu tersebut diberikan asupan fungsi gastrointestinal, menurunkan tingkat
makanan (Potter & Perry 2006). Semakin kecemasan, depresi serta tingkat amarah
lama pemulihan peristaltik usus dari pasien pada pasien. Selain itu, kompres hangat juga
maka semakin lama juga pasien efektif digunakan untuk mengoptimalkan
mendapatkan asupan nutrisi dan itu dapat fungsi saraf, memperbaiki sirkulasi darah
menimbulkan dampak negatif bagi proses dan metabolisme tubuh serta merangsang
penyembuhan pasien pasca operasi. peningkatan sel darah putih.
Semakin lama length of stay pasien di rumah Dengan latar belakang diatas maka
sakit semakin buruk penilaian terhadap peneliti ingin mengetahui pengaruh kompres
rumah sakit tersebut. Hal itu dikarenakan hangat terhadap motilitas usus pada pasien
length of stay (LOS) merupakan salah satu apendiktomi di ruang Bougenville BRSU
indikator dari penilaian dalam akreditasi Tabanan.
sebuah rumah sakit. Semakin lama
pemulihan pasien pasca operasi, semakin
lama pula pasien dalam posisi tirah baring. METODE
Semakin lama pasien tirah baring akan Penelitian ini merupakan Quasi
meningkatkan terjadinya komplikasi seperti Eksperimen dengan rancangan Non
pembentukan thrombus sehingga aliran balik Equivalent Control Group Design.
vena mengalami hambatan (Windiarto, Populasi Penelitian ini adalah semua
2011). pasien apendiktomi yang berada di ruang
Intervensi yang biasanya dilakukan pada Bougenville BRSU Tabanan. Sampel yang
pasien pasca pembedahan untuk digunakan dalam penelitian ini adalah 24
mempercepat pemulihan motilitas usus orang (12 orang kelompok perlakuan dan 12
antara lain melakukan ambulasi dini pada kelompok kontrol). Pengambilan sampel
pasien. Namun, ambulasi dini memiliki dilakukan dengan cara Nonprobability
peran kecil hingga tidak berarti dalam Sampling dengan teknik Purposive
pemulihan Postoperative ileus, meskipun Sampling.
memiliki kegunaan dalam pencegahan Pengumpulan data dilakukan dengan
atelektasis, pneumonia, dan trombisis vena cara mengukur nilai motilitas usus pada
dalam (Bailey, 2010). Selain itu, empat kuadran abdomen pasien yang
penggunaan Nasogastric Tube (NGT) dilakukan selama 1 menit menggunakan
biasanya juga digunakan untuk stetoskop. Untuk tindakan kompres hangat
dilakukan dengan menggunakan buli-buli
mempercepat pemulihan motilitas usus. o
yang dilapisi kain katun dengan suhu 40 –
o
43 C selama 30 menit pada bagian Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata
abdomen kiri. nilai motilitas usus pre-test pada kelompok
Sampel yang terpilih dibagi menjadi dua perlakuan yaitu 1,58, sedangkan nilai rata-
kelompok yaitu kelompok perlakuan dan rata nilai motilitas usus post-test pada
kelompok kontrol. Responden yang telah kelompok perlakuan yang diberikan
dipilih sebagai kelompok perlakuan, pada kompres hangat yaitu 4,92. Untuk nilai
hari ke-0 motilitas akan dihitung selama 1 motilitas usus pre-test yang sering muncul
menit (pre-test). Setelah itu, akan dilakukan yaitu 1 dan nilai motilitas usus post-test
pemberian kompres hangat selama 30 menit yang sering muncul yaitu 5.
sesuai ketentuan. Setelah diberikan kompres
hangat, kemudian dilakukan kembali Tabel 2. Nilai motilitas usus sebelum dan
penghitungan motilitas usus selama 1 menit sesudah pada kelompok kontrol
(Post-test). Pada kelompok kontrol, yang tidak diberikan kompres
responden dihitung motilitas ususnya segera hangat
setelah masuk ruang perawatan.
Penghitungan nilai motilitas usus dilakukan
selama 1 menit (Pre-test), didapat hasilnya Motilitas Usus
kemudian pasien di biarkan istrahat. Setelah Kelompok Kontrol
30 menit pasien dihitung kembali motilitas Pre Post
ususnya selama 1 menit (Post-test). Valid 12 12
Data yang sudah terkumpul kemudian Missing 0 0
dilakukan analisis data. Sebelum dilakukan Mean 2,08 2,33
uji statistik di setiap kelompok dilakukan uji Median 2,00 2,00
normalitas data menggunakan uji Saphiro Mode 2 2
Wilk. Karena semua data berdistribusi Std. Deviation 0,900 0,888
normal maka dilanjutkan uji statistik Minimum 1 1
paramertik dengan uji t-test paired
Maximum 4 4
(Dependent t test) pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol. Untuk analisis
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa rata-rata
perbedaan antara nilai motilitas usus
kelompok kontrol dan perlakuan pasien nilai motilitas usus pre-test pada kelompok
apendiktomi dilakukan uji t-test control yaitu 2,08, sedangkan nilai rata-rata
independent, dengan derajat kemaknaan nilai motilitas usus post-test pada kelompok
p < 0,05. control yang tidak diberikan kompres hangat
yaitu 2,33. Untuk nilai motilitas usus pre-
HASIL DAN PEMBAHASAN test yang sering muncul yaitu 2 dan nilai
motilitas usus post-test yang sering muncul
Tabel 1. Nilai motilitas usus sebelum dan yaitu 2.
sesudah pada kelompok perlakuan Hasil dari analisis perbedaan nilai
yang diberikan kompres hangat motilitas usus pada kelompok perlakuan dan
Motilitas usus Kelompok kelompok kontrol menggunakan uji t-test
Independent didapatkan hasil Asymp Sig. (2
Pre Post tailed) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari
Valid 12 12
nilai  penelitian (0,05) yang berarti
Missing 0 0
Mean 1,58 4,92
hipotesis penelitian diterima, sehingga dapat
Median 1,00 5,00 dikatakan terdapat perbedaan yang
Mode 1 5 signifikan antara nilai motilitas usus
Std. Deviation 0,996 1,084 kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Minimum 0 3 Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat
Maximum 3 7 pengaruh kompres hangat terhadap motilitas
usus pada pasien apendiktomi di ruang
Bougenville BRSU Tabanan.
Pemberian kompres hangat akan terdapat pengaruh kompres hangat terhadap
memberikan impuls hangat yang diterima motilitas usus pada pasien apendiktomi di
reseptor suhu di bawah kulit abdomen ruang Bougenville BRSU Tabanan.
dihantarkan ke sistem saraf pusat oleh Berdasarkan dari perbedaan yang signifikan
serabut saraf tipe C. Hipotalamus mengatur tersebut, kompres hangat dapat digunakan
kerja sistem saraf autonom. Saraf sebagai suatu intervensi keperawatan dalam
parasimpatis pada neuron postganglion yang perawatan pasien apendiktomi yang
terangsang akan melepaskan asetilkolin. mengalami penurunan motilitas usus.
Asetilkolin yang dilepaskan akan diterima Penurunan motilitas terjadi karena efek dari
oleh reseptor muskarinik pada pleksus anestesi dan manipulasi yang dilakukan
mienterikus intestinal, sehingga pleksus ini pada saat proses pembedahan.
akan terangsang. Salah satu efek dari Pemberian kompres hangat pada daerah
rangsangan pleksus mienterikus yaitu terjadi tubuh akan memberikan sinyal ke
peningkatan kecepatan konduksi gelombang hypothalamus melalui sumsum tulang
eksitatorik disepanjang dinding usus, belakang. Ketika reseptor yang peka
menyebabkan pergerakan motilitas usus terhadap panas dihypotalamus dirangsang,
lebih capat (Sasmito, 2011). Mekanisme ini system effektor mengeluarkan sinyal yang
dibuktikan pada penelitian ini bahwa memulai berkeringat dan vasodilatasi
sebagian besar responden mengalami perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
peningkatan motilitas usus setelah diberikan diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
kompres hangat selama 30 menit. oblongata dari tangkai otak, dibawah
Pada kelompok kontrol pada penilaian pengaruh hypotalamik bagian anterior
pre-test didapatkan rata-rata nilai motilitas sehingga terjadi vasodilatasi. Akibat dari
usus sebesar 2,08 dan pada penilaian post- vasodilatasi pembuluh darah akan
test nilai motilitas usus pasien sebesar 2,33 meningkatkan aliran darah splanknik
dengan rata-rata selisih nilai tersebut sebesar (Pembuluh darah sistem gastrointestinal).
0,25. Peningkatan aliran darah tersebut sesuai
Hasil uji statistik yang dilakukan teori yang di kemukakan Sherwood (2011)
menggunakan uji t-test Paired didapatkan akan membawa hormon-hormon yang telah
hasil bahwa nilai signifikansi (2-tailed) dikeluarkan sel-sel kelenjar endokrin seperti
adalah 0,339 yang berarti p>0,05 sehingga gastrin dan motilin dalam darah kemudian
dapat ditarik kesimpulan tidak ada diedarkan. Hormon-hormon ini akan
perbedaan yang signifikan antara nilai menimbulkan efek eksitatorik disepanjang
motilitas usus pre-test dan post-test pada dinding usus dan otot polos, maka akan
kelompok kontrol yang tidak diberikan terjadi motilitas usus.
kompres hangat. Hal ini dikarenakan tidak
dilakukan permberian kompres hangat SIMPULAN
seperti yang dilakukan pada kelompok Berdasarkan hasil analisis dapat diambil
kontrol. Selain itu motilitas usus pasien kesimpulan bahwa hasil pengukuran nilai
apendiktomi dapat dipengaruhi oleh motilitas usus sebelum dan sesudah pada
manipulasi pada usus secara langsung dan kelompok perlakuan yang diberikan
efek agen anestesi yang digunakan pada saat kompres hangat didapatkan nilai minimal,
pembedahan seperti yang telah dipaparkan maksimal, dan rata-rata yang berbeda. Nilai
sebelumnya. minimal pada kelompok perlakuan setelah
Pada penilitian ini didapatkan hasil diberikan kompres hangat memiliki nilai
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna yang lebih tinggi dari pada sebelum
antara selisih nilai motilitas usus antara diberikan kompres hangat yaitu 0 dan 3,
kelompok perlakuan dan kontrol dengan pada nilai maksimal, nilai setelah diberikan
nilai p < α (0,000 < 0,05). Berdasarkan kompres hangat juga lebih tinggi
hasil tersebut maka Ho ditolak, yang artinya dibandingkan dengan sebelum diberikan
kompres hangat yaitu 7 dan 3, demikian pula stress operasi, kadar elektrolit serta
dengan nilai rata-rata terjadi peningkatan pengalaman operasi sehingga penelitian ini
dari 1,58 kali per menit menjadi 4,92 kali bias lebih baik.
per menit. Pada pengukuran nilai motilitas
usus sebelum dan sesudah pada kelompok DAFTAR RUJUKAN
Andreu, (2009). Epidemiology of
kontrol yang tidak diberikan kompres hangat Appendectomy and Appendicitis in
didapatkan nilai minimal dan maksimal the Valencian Community (Spain),
yang sama yaitu 1 kali per menit dan 4 kali 1998–2007. Dig Surg 26:406–412
per menit. Sedangkan rata-rata terjadi (DOI: 10.1159/000235956)
peningkatan dari 2,08 kali per menit menjadi Bailey, R. (2010). Colorectal Surgery,
2,33 kali per menit. Untuk perbedaan nilai (online),
motilitas usus kelompok perlakuan dan (http://www.expertconsultbook.com,
kontrol dengan uji statistik T-test diakses 23 Desember 2012)
Independent didapatkan hasil bahwa nilai Eylin. (2009). Karakteristik Pasien Dengan
signifikansi (2-tailed) adalah 0,000 yang Diagnosis Histologi Pada Kasus
berarti p<0,05 dengan taraf kepercayaan Apendisitis Berdasarkan Data
95%, maka hipotesis penelitian ini diterima Registrasi Di Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran
yaitu ada pengaruh yang signifikan kompres Universitas Indonesia Rumahsakit
hangat terhadap motilitas usus pada pasien Umum Pusat Nasional Cipto
apendiktomi. Mangunkusumo Pada Tahun 2003-
Pada penelitian ini ditemukan bukti 2007. FK UI.2009
bahwa terdapat pengaruh kompres hangat
terhadap motilitas usus pada pasien Kehlet, H. (2008). Postoperative ileus an
update on preventive techniques.
apendiktomi, sehingga diharapkan kepada Section of Surgical Pathophysiology,
rumah sakit penelitian ini sebagai acuan 4074 Rigshospitalet, Copenhagen
dalam memberikan intervensi untuk pasien University, Blegdamsvej 9, 2100
post operasi apendiktomi dalam melakukan Copenhagen, Denmark
metode pemulihan motilitas usus yang akan Masanori. (2003). Effect Lumbar Skin
digunakan dimana kompres hangat sebagai Warming on Gastric Motility and
metode baru untuk mempercepat pemulihan Blood Pressure in Humans. Japanese
motilitas usus. Untuk lebih lanjut dibuatkan Journal of Physiology, 53, 45-51,
Standard Operational Procedure (SPO) 2003
pemberian kompres hangat. Selain itu,
Potter, P. & Perry, A. (2006). Buku Ajar
pemberian kompres hangat ditambahkan di Fundamental Keperawatan Konsep,
Clinical Pathway untuk pasien apendiktomi. Proses, dan Praktik. Ed 4. Jakarta :
Kepada perawat dan petugas kesehatan ECG
lainnya agar dapat memberikan dan
menyarankan intervensi kompres hangat Price, S. & Wilson, L. (2006). Patofisiologi
sebagai perawatan pasien apendiktomi yang Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Ed.6. Jakarta : EGC
bertujuan untuk mempercepat pemulihan
motilitas usus pasca operasi. Kepada peneliti Sasmito, N. (2011). Pengaruh Kompres
selanjutnya yang tertarik melakukan Hangat Terhadap Motilitas Usus
penelitian serupa diharapakan untuk dapat Pasien Pasca Pembedahan Fraktur
menambahkan jumlah responden agar lebih Eksremitas Bawah Dengan Anestesi
Blok Subaraknoid Di Ruang Sadar
representatif. Selain itu untuk mengurangi Pulih Rsud Sidoarjo. (online),
terjadinya bias dalam penelitian diharapkan (http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedo
penelitian selanjutnya dapat mengendalikan wnload/keperawatan/Majalah%20na
faktor-faktor yang mempengaruhi motilitas nang%20Bagus%20Samito.pdf,
saluran cerna seperti kadar gastrin, diakses 15 Oktober 2013).
vasoactive intestinal peptide, substansi P, Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia
Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta :
EGC
Windiarto, N. (2011). Differences of
Recovery time of Intestinal
Peristaltic on Surgical Patients with
General Anesthesia Taken with Early
Ambulation of Active and Passive
ROM in Wira Bhakti Tamtama
Hospital Semarang. (online),
(http://eprints.undip.ac.id/10683/1/_
Artikel_.pdf, diakses 4 September
2013).
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 6, No. 2 Juni
2010
GAMBARAN PENATALAKSANAAN MOBILISASI DINI OLEH PERAWAT PADA
PASIEN POST APPENDIKTOMY DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

Hesti Marlitasari1, Basirun Al Ummah2, Ning Iswati3


1,2,3 Jurusan Keperawatan STiKes Muhammadiyah Gombong

ABSTRACT
Early mobilization is an important thing to do because it can swit the
blood flow, prevent post operation complication, prevent contracture and
accelerate the wound healing process. Commonly, the patients are still afraid of
doing early mobilization without the nurse companion and guidance. They
afraid of the effect that the wound from the surgery will damage by the
mobilization but in fact the ealy mobilization for post operation patients
theoretically is really good for vascularization and wound healing process.
The Objective of the research is to find out description of early
mobilization application system by nurses for appendectomy post operation
patients in PKU Muhammadiyah Gombong Hospital. It is a non experimental
research that used descriptive observational design with Cross sectional
approach.
The research finding showed description of early mobilization application
system by nurses for appendectomy post operation patients in PKU
Muhammadiyah Gombong Hospital 17 respondents (62,96%) were in good
category and 7 respondents (25,93%) were in good enough category. There were
19 nurses who had done good early mobilization for the appendectomy post
operation patients in PKU Muhammadiyah Gombong Hospital.

Keywords : appendectomy, the early mobilization


PENDAHULUAN paling sering dilakukan di Amerika
Penyakit radang usus buntu Serikat. Insiden appendiktis
ini umumnya disebabkan oleh puncaknya pada dekade pertama
infeksi bakteri, namun faktor dan kedua kehidupan, jarang terjadi
pencetusnya ada beberapa pada usia sangat muda atau tua.
kemungkinan yang sampai Namun, perforasi sering terjadi
sekarang belum dapat diketahui pada anak-anak dan umur lanjut,
secara pasti. Diantaranya faktor dimana periode ini merupakan
penyumbatan (obstruksi) pada angka tertinggi pada mortalitas. Pria
lapisan saluran (lumen) appendiks dan wanita sama-sama dapat
oleh timbunan tinja/feces yang terkena, kecuali pada umur antara
keras (fekalit), hyperplasia pubertas dan umur 25 tahun,
(pembesaran) jaringan limfoid, dimana pria dominan dengan rasio
penyakit cacing, parasit, benda 3 : 2. Insiden appendiktis cenderung
asing dalam tubuh, cancer primer stabil di Amerika Serikat selama 30
dan striktur (Arman, 2006). tahun terakhir, sementara insiden
Dengan lebih dari 250.000 appendicitis lebih rendah pada
appendiktomy dikerjakan tiap negara berkembang dan negara
tahunnya. Appendicitis merupakan terbelakang, terutama negara-
kedaruratan bedah abdomen yang negara Afrika, dan lebih jarang pada

48
48
kelompok sosioekonomi rendah. dengan istirahat adalah yang paling
Angka mortalitas di Amerika Serikat dianjurkan (Mochtar, 1998).
menurun delapan kali lipat antara RS PKU Muhammadiyah
tahun 1941 dan 1970 (Mubarak, Gombong merupakan salah satu
2008). Di Amerika Serikat ada rumah sakit di Kecamatan
penurunan jumlah kasus dari 100 Gombong, Kabupaten Kebumen.
kasus menjadi 52 kasus setiap Sesuai data yang diperoleh saat
100.000 penduduk dari tahun studi pendahuluan dan pengamatan
1975-1991. Terdapat 15-30% (30- yang dilakukan oleh peneliti pada
45% pada wanita) gambaran tanggal 4 Januari 2008, di RS ini
histopatologi yang normal pada terlaksana operasi appendiktomy
hasil appendiktomy.Appendiktomy sebanyak 17 kali operasi per 1
merupakan suatu tindakan November 2008-3 Januari 2009.
pembedahan membuang appendiks Namun mobilisasi dini post operasi
yang mengalami infeksi atau belum terlaksana secara efektif.
peradangan. Operasi ini dilakukan Standard operasional
dengan cara mencari dan perawat di RS PKU Muhammadiyah
mengeluarkan sekum (Syarifudin, Gombong belum bisa dikatakan
1997). efektif, dalam hal ini mengenai
Mobilisasi dini merupakan mobilisasi dini. Dari hasil
suatu aspek yang terpenting pada wawancara dengan petugas
fungsi fisiologis karena hal itu kesehatan, kebanyakkan mereka
essensial untuk mempertahankan hanya menganjurkan pasien untuk
kemandirian (Carpenito, mobilisasi dini secara mandiri,
2000).Mobilisasi dini merupakan misalnya miring kanan atau miring
suatu upaya mempertahankan kiri setiap 1 jam sekali tanpa
kemandirian sedini mungkin melatih langsung pasien dan
dengan cara membimbing penderita mengontrolnya. Pada kenyataannya
untuk mempertahankan fungsi pasien takut untuk melakukan
fisiologis. Konsep mobilisasi dini mobilisasi dini sendiri tanpa
mula-mula berasal dari ambulasi didampingi perawat. Selain itu,
dini yang merupakan pengembalian pasien juga takut jika luka atau
secara berangsur-angsur ke tahap jahitan akan terbuka, walaupun
mobilisasi sebelumnya untuk secara teori mobilisasi dini post
mencegah komplikasi (Roper, 1996). operasi sangat baik untuk
Mobilisasi dini menjadi hal penting memperlancar vaskularisasi dan
dilakukan karena dapat penyembuhan luka. Sehingga
memperlancar peredaran darah, anjuran yang diberikan perawat
mencegah komplikasi pasca operasi, kurang efektif bagi pasien. Dari hal
mencegah kontraktur, dan tersebut diatas yang menjadi alasan
mempercepat penyembuhan luka utama penulis tertarik untuk
(Hamilton, 1995). meneliti gambaran penatalaksanaan
Selanjutnya secara berturut- mobilisasi dini oleh perawat pada
turut, hari demi hari dianjurkan pasien post appendiktomy di RS
belajar duduk selama sehari, belajar PKU Muhammadiyah Gombong.
berjalan dan kemudian belajar Berdasarkan latar belakang
sendiri pada hari ke-3 sampai 5 tersebut diatas, maka dapat
pasca bedah. Jadi mobilisasi secara dirumuskan masalah penelitian
teratur dan bertahap serta diikuti yang akan dilakukan untuk
mengetahui “Bagaimana Gambaran karakteristik/sifat yang dimiliki oleh
Penatalaksanaan Mobilisasi Dini subyek/objek itu (Sugiyono, 2006).
Oleh Perawat Pada Pasien Post Populasi merupakan keseluruhan
Appendiktomy di RS PKU sumber data yang diperlukan dalam
Muhammadiyah Gombong?”. suatu penelitian. Penentuan sumber
data dalam suatu penelitian sangat
METODE PENELITIAN penting dan menentukan
Metode penelitian merupakan keakuratan hasil penelitian
keseluruhan proses pemikiran dari (Saryono, 2008).
penelitian matang tentang hal-hal Populasi dalam penelitian
yang akan dilakukan sebagai ini adalah perawat ruang rawat inap
landasan berpijak serta dapat pula (Inayah dan Barokah) RS PKU
dijadikan dasar penelitian baik Muhammadiyah Gombong sebanyak
untuk peneliti maupun orang lain 27 orang perawat. Sampel adalah
terhadap kegiatan penelitian sebagian dari populasi yang
(Arikunto, 2002).Jenis penelitian ini mewakili suatu populasi. Populasi
merupakan penelitian non yang diteliti terkadang sangat
eksperimental dengan melimpah. Adanya keterbatasan
menggunakan desain deskriptif waktu, tenaga, biaya, dan sebab
observasional (Sugiono, 2006). lain, penelitian hanya menggunakan
Dalam hal ini adalah untuk sebagian dari populasi sebagai
mengetahui gambaran sumber data (Saryono, 2008).
penatalaksanaan mobilisasi dini Metode yang digunakan dalam
pada pasien post appendiktomy di pengambilan sampel dalam
RS PKU Muhammadiyah Gombong. penelitian ini adalah dengan metode
Pendekatan yang digunakan totaly sampling yaitu semua jumlah
adalah Cross Sectional, yaitu populasi dijadikan sampel
penelitian berdasarkan data yang (Arikunto,2002). Sample yang
menunjukkan titik waktu tertentu digunakan adalah perawat ruang
atau pengumpulannya dilakukan rawat inap Inayah dan Barokah
dalam waktu yang bersamaan yang yang melakukan tindakan
bertujuan untuk menguji hubungan keperawatan yaitu mobilisasi dini
antar variabel, mencari, pada pasien post appendiktomy
menjelaskan, suatu hubungan, sebanyak 27 orang (bangsal Inayah
memperkenalkan dan menguji sebanyak 14 orang dan bangsal
berdasarkan teori yang ada Barokah sebanyak 13 orang) pada
(Arikunto, 2002). hari pertama poat operasi. Menurut
Populasi adalah wilayah Arikunto (2002) apabila subjeknya
generalisata yang terdiri atas : kurang dari 100 responden, lebih
objek/subjek yang mempunyai baik diambil semua sehingga
kuantitas dan karakteristik tertentu penelitiannya merupakan penelitian
yang ditetapkan oleh peneliti untuk populasi
dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Jadi populasi HASIL PENELITIAN DAN
bukan hanya orang, tetapi juga BAHASAN
benda-benda alam lain. Populasi Berdasarkan hasil penelitian
bukan sekedar jumlah yang ada yang dilakukan terhadap perawat di
pada objek/subjek yang dipelajari RS PKU Muhammadiyah Gombong
tetapi meliputi seluruh yang telah melakukan tindakan
keperawatan berupa mobilisasi dini adalah penderita merasa lebih sehat
pada pasien post appendiktomy dan kuat dengan ambulasi dini
didapatkan data sebagai berikut : (early ambulation). Dengan
Perencanaan Mobilisasi dini bergerak, otot-otot perut dan
Dari hasil penelitian panggul akan kembali normal
diketahui bahwa perencanaan sehingga otot perutnya menjadi
perawat tentang pentingnya kuat kembali dan dapat mengurangi
mobilisasi dini pada pasien post rasa sakit, mempercepat
appendiktomy di RS PKU kesembuhan. Faal usus dan
Muhammadiyah Gombong sebagian kandung kencing lebih baik.
besar mempunyai kategori Baik Dengan bergerak akan merangsang
yaitu 21 responden (77,8%). peristaltik usus kembali normal.
Mobilisasi dini yang dilakukan pada Aktifitas ini juga membantu
pasien post appendiktomy di RS mempercepat organ-organ tubuh
PKU Muhammadiyah Gombong bekerja seperti semula. Mencegah
adalah untuk membantu terjadinya trombosis dan
penyembuhan pada pasien post tromboemboli, dengan mobilisasi
appendiktomy. Kategori ini diperinci sirkulasi darah normal/lancar
dengan jawaban Ya = 90%, dan sehingga resiko terjadinya trombosis
Tidak = 10%. Hal ini dikarenakan dan tromboemboli dapat
pendidikan perawat sangat dihindarkan.
mendukung dalam hal memberikan Menurut Carpenito (2000),
pendidikan kesehatan. Rata-rata dalam mobilisasi terdapat tiga
pendidikan perawat di ruang rawat rentang gerak yaitu rentang gerak
inap adalah D3 keperawatan, pasif. Rentang gerak pasif ini
namun hal itu tidak menjadi berguna untuk menjaga kelenturan
masalah karena mereka dapat otot-otot dan persendian dengan
melaksanakan instruksi kerja yaitu menggerakkan otot orang lain
dalam memberikan asuhan secara pasif misalnya perawat
keperawatan maupun tindakan mengangkat dan menggerakkan
keperawatan khususnya mobilisasi kaki pasien. Rentang gerak aktif
dini dengan cukup baik. Tujuan untuk melatih kelenturan dan
dari adanya mobilisasi dini bagi kekuatan otot serta sendi dengan
pasien post appendiktomy adalah cara menggunakan otot-ototnya
untuk memperlancar peredaran secara aktif misalnya berbaring
darah, mencegah komplikasi pasca pasien menggerakkan kakinya.
operasi seperti ateletaksis, Rentang gerak fungsional berguna
pnemonia hipostatik, gangguan untuk memperkuat otot-otot dan
gastrointestinal, dan masalah sendi dengan melakukan aktifitas
sirkulasi (tromboplebitis, dekubitus). yang diperlukan.
Oleh karena itu diharapkan pasien- Pelaksanaan Mobilisasi dini
pasien post appendiktomy di RS Dari hasil penelitian
PKU Muhammadiyah Gombong diketahui bahwa pelaksanaan
dapat segera sembuh dengan tentang pentingnya mobilisasi dini
penerapan mobilisasi dini post oleh perawat pada pasien post
operasi oleh perawat. appendiktomy di RS PKU
Manfaat mobilisasi dini, Muhammadiyah Gombong sebagian
menurut Mochtar (1995), manfaat besar mempunyai kategori Cukup
mobilisasi bagi pasien post operasi sebanyak 12 orang (44,44%).
Kategori ini diperinci dengan seperti terjadinya dekubitus,
jawaban Ya = 60%, dan Tidak = kekakuan/penegangan otot-otot
40%. Hal ini disebabkan tidak seluruh tubuh dan sirkulasi darah
semua tindakan mobilisasi dini dan pernapasan terganggu, juga
dilakukan pasien. Perawat hanya adanya gangguan peristaltik
memberikan teknik mobilisasi maupun berkemih. Sering kali
berupa miring kanan miring kiri, dengan keluhan nyeri di daerah
menggerakkan ekstremitas atas dan operasi klien tidak mau melakukan
bawah secara bergantian, serta mobilisasi ataupun dengan alasan
menganjurkan pasien untuk duduk takut jahitan lepas klien tidak
semi fowler diatas tempat tidur. berani merubah posisi. Disinilah
Sehingga hanya sebagian saja peran perawat sebagai edukator dan
teknik mobilisasi dini yang motivator kepada klien sehingga
dilakukan pasien. Faktor klien tidak mengalami suatu
pendidikan pasien juga komplikasi yang tidak diinginkan
mempengaruhi dalm pelaksanaan (Roper 2000).
mobilisasi dini. Pasien tak banyak Evaluasi Penatalaksanaan
tahu tentang pentingnya mobilisasi Mobilisasi dini
dini post operasi. Kadang pasien Dari hasil penelitian
hanya menjawab saja tanpa diketahui bahwa perencanaan
melakukan mobilisasi dini sesuai evaluasi perawat tentang
anjuran perawat. Jadi dalam hal ini pentingnya mobilisasi dini pada
sulit untuk menyalahkan pihak- pasien post appendiktomy di RS
pihak yang terkait. PKU Muhammadiyah Gombong
Pelaksanaan mobilisasi dini sebagian besar mempunyai kategori
yang dilakukan perawat dalam Baik yaitu 19 responden (70,37%),
memberikan tindakan keperawatan dan yang mempunyai kategori
berupa latihan miring kanan miring Cukup yaitu 8 responden (29,63%).
kiri sejak 6-10 jam setelah pasien Pada evaluasi yang dilakukan
sadar, latihan menggerakkan perawat tidak ada yang mempunyai
ekstremitas atas dan bawah, latihan kategori Buruk (0%). Kategori ini
pernafasan yang dpat dilakukan diperinci dengan jawaban Ya = 80%,
pasien sambil tidur telentang, dan Tidak = 20%. Hal ini
latihan duduk selama 5 menit, dikarenakan semua langkah-
latihan nafas dalam dan batuk langkah mobilisasi dini dapat
efektif, dan mampu merubah posisi dilakukan pasien dengan baik. Baik
tidur telentang menjadi setengah perawat maupun pasien saling
duduk/semi fowler (Mochtar, 1995). bekerja sama dalam kegiatan
Mobilisasi dini merupakan mobilisasi dini ini. Perawat tak
faktor yang menonjol dalam henti-hentinya selalu mengingatkan
mempercepat pemulihan pasca pasien untuk melakukan mobilisasi
bedah dan dapat mencegah dini setelah pulih dari efek anestesi.
komplikasi pasca bedah. Banyak Respon pasien pun cukup bagus
keuntungan bisa diraih dari latihan dalam pelaksanaan mobilisasi dini,
ditempat tidur dan berjalan pada walaupun ada beberapa pasien yang
periode dini pasca bedah. Mobilisasi masih enggan untuk bermobilisasi
sangat penting dalam percepatan dengan alasan takut sakit atau
hari rawat dan mengurangi resiko- berbagai alasan lainnya.
resiko karena tirah baring lama
Kebanyakan dari pasien kerja sama antara perawat dan
masih mempunyai kekhawatiran pasien yang terjalin baik, ada
kalau tubuh digerakkan pada posisi faktor-faktor lain yang mendukung
tertentu pasca operasi akan terlaksananya mobilisasi dini yaitu
mempengaruhi luka operasi yang faktor pengetahuan perawat, sarana
masih belum sembuh yang baru dan prasarana rumah sakit, serta
saja selesai dikerjakan. Padahal tingkat kecemasan pasien dalam
tidak, sepenuhnya masalah ini melaksanakan mobilisasi dini.
perlu dikhawatirkan, bahkan justru Faktor-faktor tersebut tidak
hampir semua jenis operasi menghambat instruksi perawat
membutuhkan mobilisasi atau pada pasien untuk melaksanakan
pergerakan badan sedini mungkin. mobilisasi dini.
Asalkan rasa nyeri dapat ditahan Dengan bergerak, hal ini
dan keseimbangan tubuh tidak lagi akan mencegah kekakuan otot dan
menjadi gangguan, dengan sendi sehingga juga mengurangi
bergerak, masa pemulihan untuk nyeri, menjamin kelancaran
mencapai level kondisi seperti pra peredaran darah, memperbaiki
pembedahan dapat dipersingkat. pengaturan metabolisme tubuh,
Dan tentu ini akan mengurangi mengembalikan kerja fisiologis
waktu rawat di rumah sakit, organ-organ vital yang pada
menekan pembiayaan serta juga akhirnya justru akan mempercepat
dapat mengurangi stress psikis penyembuhan luka. Menggerakkan
(Mohctar, 1998). badan atau melatih kembali otot-
Gambaran tentang otot dan sendi pasca operasi di sisi
Penatalaksanaan Mobilisasi dini lain akan memperbugar pikiran dan
Dari hasil penelitian mengurangi dampak negatif dari
diketahui bahwa gambaran beban psikologis yang tentu saja
penatalaksanaan mobilisasi dini berpengaruh baik juga terhadap
pada pasien post appendiktomy oleh pemulihan fisik. Pengaruh latihan
perawat di RS PKU Muhammadiyah pasca pembedahan terhadap masa
Gombong sebagian besar pulih ini, juga telah dibuktikan
mempunyai kategori Baik yaitu 17 melalui penelitian penelitian ilmiah.
responden (62,96%), dan yang Mobilisasi sudah dapat dilakukan
mempunyai kategori Cukup yaitu 8 sejak 6-10 jam setelah
responden (29,62%). Kategori ini pembedahan, tentu setelah pasien
diperinci dengan jawaban Ya = 85%, sadar atau anggota gerak tubuh
dan Tidak = 15%. Dengan dapat digerakkan kembali setelah
diadakannya penelitian ini, dilakukan pembiusan regional
gambaran perawat tentang ataupun spinal.
pentingnya mobilisasi dini pada
pasien post operasi dapat dikatakan SIMPULAN DAN SARAN
cukup baik. Jadi secara garis besar Dari hasil penelitian yang dilakukan
perawat melakukan tindakan pada perawat yang melakukan
keperawatan mobilisasi dini pada tindakan keperawatan berupa
pasien post appendiktomy dengan mobilisasi dini di RS PKU
baik, dan juga pasien dapat bekerja Muhammadiyah Gombong bulan
sama dalam pemenuhan kebutuhan Mei sampai Juni 2009 dapat
mobilisasi dini sehingga kecemasan diambil kesimpulan 1. Identifikasi
pasien dapat teratasi. Selain bentuk perencanaan mobilisasi dini oleh
perawat dilakukan secara baik
sesuai dengan kriteria inklusi
dengan prosentase Baik 77,8%
(21 responden), Cukup 11,1% (3
responden), Kurang 11,1% (3
responden).
2. Identifikasi pelaksanaan
mobilisasi dini oleh perawat
dilakukan 8-10 jam setelah
pasien pulih sesuai kriteria
inklusi dengan prosentase Baik
18,52% (5 responden), Cukup
44,44% (12 responden), dan
Kurang 37,04% (10 responden).
3. Evaluasi perawat tentang
penatalaksanaan mobilisasi dini
pada pasien pasien
appendiktomy dilakukan secara
baik dengan prosentase Baik
70,37% (19 responden), Cukup
29,63% (8 responden), dan
Kurang 0% (0 responden).
4. Gambaran penatalaksanaan
mobilisasi dini oleh perawat pada
pasien post appendiktomy telah
dilakukan perawat sebanyak 19
responden dengan hasil yang
baik dengan prosentase 62,96%
(17 responden).
Berdasarkan kesimpulan
yang diperoleh pada penelitian ini,
peneliti memberikan saran untuk
meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan kepada :
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
edisi 8. Jakarta : EGC.
Dorland’s pocket. 1998. Medical
Dictionary. Jakarta : EGC. Engram, Barbara. 1998.
Rencana
Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah vol. 3.
Jakarta : EGC.
Gunter M. 1997. Comprehensive Maternity Nursing, Jones and
Bartlett Publishers, Boston.
Kozier dkk. 1991. Fudamental of Nursing. Adison Wesley. California.
Hamilton. 1995. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Mubarak, Husnul. 2008. Original Article "Acute Appendicitis" from
Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Ed.
http://cetrione.blogspot.co m/
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan
(Edisi 4). Jakarta : EGC. Saryono. 2008. Metode Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendekia.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Sutarno. 2005. Penyebab Terjadinya
Appendicitis. http://www.balipost.co.id/
BaliPostcetak/2005/12/7/ k2.htm
WHO. 2005. Pedoman Keperawatan
Pasien. Jakarta : EGC
23

Non-Pharmacological
Therapies in Pain Management
Yurdanur Demir
Abant İzzet Baysal University, Bolu Health Sciences High School,
Turkey

1. Introduction
Pain is an unpleasant feeling and emotional experience that is related to real or potential
tissue damage or a damage that is defined similarly. Pain is mostly subjective (Merskey,
Bogduk 1986). From many points of view, the pain is a common symptom intended for
seeking aid (Dickens et al. 2002). International Association for the Study of Pain (IASP)
defines the pain as “an unpleasant emotional situation which is originating from a certain
area, which is dependant or non-dependant on tissue damage and which is related to the
past experience of the person in question” (Merskey, IASP 1986).
Although there is an increase of knowledge and developments in technological resources
regarding the pain, many patients still experience pain (Nash et al. 1999). This situation
causes for reduction in living quality and functional situation of the patients, increase in the
fatigue levels (Kim et al. 2004) and impairments in daily life activities in working capacity
and social interactions (McMillan et al., 2000; Allard et al., 2001). Also this situation will
cause loss of workforce and will affect not only the patients but also his/her family
members in economical terms thus causing undesired problems in psychological and social
well being status (Uçan and Ovayolu 2007). All of these elements have directed both the
patients and caregivers to seek for different searches in pain management (Evans and
Rosner, 2005). For this reason in addition to the pharmacological treatment options for pain
management, today, non-pharmacological treatment options and complementary medical
attempts have started to be used (Kwekkeboom et al., 2003; Menefee and Monti, 2005). It is
stated that such kind of therapies can be useful in pain management (Uçan and Ovayolu
2007). In a study conducted with the participation of 31.044 adults in United States, Barnes
et al. (2004) determined that the usage rate of the complementary methods for the last year
has been 36% and back pain and lumbago come first with 16.8% and neck pain comes third
with 6.6% in terms of usage reasons of the complementary methods . Sherman et al. (2004)
have stated that 24% of the patients with chronic lumbago used massage therapy.
2. Non-pharmacological therapies in pain management
It is considered that these therapies help the standard pharmacological treatment in pain
management. While medical drugs are being used for treating the somatic (physiological
and emotional) dimension of the pain non-pharmacological therapies aim to treat the
affective, cognitive, behavioral and socio-cultural dimensions of the pain (Yavuz 2006).
486 Pain Management – Current Issues and Opinions

These therapies can treat the pain as adjuvant or complementary at middle level and severe
pain experiences as an adjuvant or complementary treatment. (Delaune & Ladner 2002).
Non-pharmacological methods,
 Increase the individual control feeling.
 Decrease the feeling of weakness.
 Improves the activity level and functional capacity.
 Reduces stress and anxiety.
 Reduces the pain behavior and focused pain level.
 Reduces the needed dosage of analgesic drugs thus decreasing the side effects of the
treatment (Yıldırım 2006).
Non-pharmacological methods used in pain management can be classified in different
ways. In general; they are stated as physical, cognitive, behavioral and other
complementary methods or as invasive or -non-invasive methods. Meditation, progressive
relaxation, dreaming, rhythmic respiration, biofeedback, therapeutic touching,
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), hypnosis, musical therapy,
acupressure and cold-hot treatments are non-invasive methods (Black & Matassarin
Jacobs, 1997). The most famous and common method among the invasive methods is
acupuncture (Menifee and Monti,
2005). It is considered that these methods control the gates that are vehicles for pain to be
transmitted to the brain and affect pain transmission or the release of natural opioids of
the body such as endorphin (Black & Matassarin Jacobs, 1997; Menefee & Monti, 2005;
Uçan & Ovayolu 2007).
Non-pharmacological methods used in pain management have been examined below in
three groups such as peripheral therapies (physical agents/skin stimulation methods),
cognitive-behavioral therapies and other therapies. Some of these methods require special
training (Turan et al. 2010).

2.1 Peripheral therapies (physical agents/skin stimulation)


Skin stimulation that provides analgesia is defined as stimulating the patient’s skin in a
harmless manner to treat the pain (Yıldırım 2006). Skin stimulation attempts (physical
therapies) can be classified as hot-cold treatments, exercise, positioning, movement
restriction-resting, acupuncture, hydrotherapy, TENS, massage and therapeutic touch. If
used in an appropriate manner these methods are effective on secondary pathologies such
as inflammation, edema, progressive tissue damage, muscle spasm and function loss which
takes part in acute pain. (Yıldırım 2006).

2.1.1 TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)


TENS has been defined by the American Physical Therapy Association as applying electrical
stimulation to the skin to manage the pain (Sluka & Walsh 2003). Usually, it may be used in
addition or instead of pharmacological agents to manage acute, chronic and post-operative
pain. It is an electro-analgesia method (Mucuk and Başer, 2009). That is to say, thick and
rapid transmitting nerve fibers are stimulated artificially with TENS and the pain
transmission is tried to be stopped or reduced. TENS, which functions in that way, has an
effect to reduce the narcotic drugs usage and pain level (Arslan & Çelebioğlu; Chen et al.
1998). TENS has various mechanisms of action regarding pain. Gate Control Theory is a
theory used to define how TENS affects the pain perception which also has a part in
improving TENS. Gate control theory regarding pain management is very commonly used
by TENS in defining the process to
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 487

Fig. 1. a) http://www.ib3health.com/products/TensandEMS/Literature/ApplicationChart.shtml
June/2011

Fig. 1. b) http://www.ib3health.com/products/TensandEMS/Literature/ApplicationChart.shtml
June/2011
488 Pain Management – Current Issues and Opinions

prevent the pain (Sluka & Walsh 2003; Johnson 2002). In a study that has been conducted, it
has been determined that the placebo group experienced 2-4 times less pain when TENS is
used with pharmacological methods in post-operative pain management (Rakel &
Frantz
2003), and in another study it has been determined that TENS usage in post-operative
pain management has helped reducing the pain level and dosage of using analgesics (Bjordal
et al.
2003). In addition to that, in some other studies it has been determined that first phase of
labor in TENS group has been shorter and TENS treatment has been effective in relieving the
pain (Kaplan et al. 1998; Simkin and Bolding 2004).
Points to Take into Consideration While Using Tens:
 TENS device should be used under the control of a health personnel.
 TENS devices should be used with caution in the areas where the pain could not be
defined exactly.
 Device should be turned off while placing the materials.
 Electrical stimulation should not be used in front parts of the neck.
 You should use the device after controlling machine or motor vehicle producing TENS.
 This device should not be used on metal prostheses or monitors.
 TENS should be kept at places where the children cannot reach.
 People who are using cardiac pacemaker should consult to their doctors about whether
TENS usage will be harmful for them or not.
 Electronic materials such as ECG monitors and ECG alarms may not work in full
capacity while using TENS.
 It can cause damages on skin. That can be prevented by changing the type of gel and
electrodes that are used.
 There are not reliable study results describing TENS usage during pregnancy (Yavuz
2006).

Dewit, S.C., (2009), Fundamental concepts and skills for nursing, 3rd Edition, W.B. Saunders Comp.
Philadelphia, p.603-614.
Fig. 2. TENS Usage
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 489

2.1.2 Hot-cold treatment


Hot treatment moves the reflex arcs that inhibit the pain by means of heat receptors and
reduces pain by vasodilatation effect. It is cheap and easy to use and it has a minimum
amount of side effects when used regularly. It can be applied deeply or on surfaces.
Application to the surface includes hot compresses, warm baths and paraphine usage. Deep
applications such as ultrasound may increase the temperature of the tissues which are three
to five centimeter deep (Arslan & Çelebioğlu, 2004).
On the other hand, cold treatment consists of applying a cooling material or device on any
part of the body. Cold treatment which is a simple and cheap treatment method has an
important place in non-drug therapies for pain management(Yavuz, 2006). Cold gel
packages and ice packages commonly used in the application should be used by placing a
tin towel/gauze between the skin and the package for being able to withstand extreme cold
feeling during the first contact of the package, for having a homogenous cooling and
providing hygiene. Cold treatment may be done for 15-30 minutes averagely until the
anesthesia is felt on the area of application. The cold ice packs should be applied for at least
20 minutes. As a matter of fact, the affect of cold treatment on the human skin reveals itself
in 4 stages. The patient will feel the cold within 1 to 3 minutes after the application, then feel
a burning and pain sensation within 2 to 7 minutes and the pain and lethargy will decrease
within 5 to 12 minutes, a breaking occurs for the pain-spasm vicious-circle and transmission
of the nerve fibers in the area will decrease. An increase will occur for the metabolism
within 12 to 15 minutes after cold treatment and a reflex vasodilatation occurs on the deep
tissue. Thus, the edema and the pain will reduce and the tissue will be nourished with
vasodilatation that will develop 15 minutes later (Karagözlüoğlu, 2001). Results of the
studies made in the area have shown that the cold treatment has increased the pain
threshold (Koç et al. 2006; Raynor et al. 2005; Sarifakioğlu & Sarifakioğlu 2004). So, the cold
treatments that are applied locally are used to reduce the edema and treat the pain by taking
the inflammation process under control (Saeki 2002; Sarifakioğlu & Sarifakioğlu 2004; Van
der Westhuijzen et al. 2005).
It has been stated that cold treatment over the area where surgical sutures are found after
lumbar disc surgery reduces both the pain during first 24 hours and the need for morphine
(Brandner et al. 1996). Also, it has been shown that fluoromethane spray applications are a
cheap method that are rapidly effective in managing the injection pain due to vaccination
(Mawhorter et al. 2004) and cold package and ice applications have reduced the pain due to
heparin injections (Kuzu ve Uçar 2001; Ross and Soltes 1995). In the study that they
conducted, Demir and Khorshid (2010) have stated that cold treatment that is applied to the
skin around the chest tube reduced the severity of the pain that is felt due to exclusion of
chest tube and it has extended the time between exclusion of chest tube and taking an
analgesic. It is stated that cold treatment is contraindicated for the situations such as
urticaria/hypersensitivity, hypertension, Reynaud's phenomenon and sickle cell anemia
which are related to cold (Mucuk & Başer, 2009).

2.1.3 Acupuncture and acupressure


Acupuncture which is one of the important components of traditional Chinese medicine has
become a largely complementary in the West together with the conventional medicine.
Acupuncture is accepted as a scientific treatment method that provides the body to restore
its balance by means of stimulating some special points on the body with needles (Taşçı &
Sevil 2007). Mechanism of action for the acupuncture could not be completely understood
490 Pain Management – Current Issues and Opinions

until now. Effect of the acupunctures is tried to be explained by Gate Control Theory.
According to this theory, effect of a sensory stimulant (for example lumbago) can be
suppressed with another stimulant (picking a needle) within a neural system. Another
theory that explains the effect of acupuncture is Raising Pain Threshold Theory. That is a
theory in which inhibitor effect of acupuncture is defined. In this theory, it is predicted to
stimulate the analgesia mechanisms of the body by causing various pains on the area where
an individual is feeling the pain to be treated. In addition to these, it has also been evidence
that the acupuncture stimulates the production of endorphin, serotonin and acetyl choline
within the central nerve system (Van Tulder et al. 2005). It has been shown in the studies
that have been conducted that the acupuncture had positive effects on post-traumatic
somatic pain, patella-femoral pain, rheumatoid arthritis and idiopathic head pain. (Snyder &
Wieland 2003). It is sated in the literature that the acupuncture is especially useful in
treating the lumbago but it is underlined that the patients should be informed in terms of
increasing or carrying on the activities (Öztekin, 2005). Although there are some strong
evidences showing the benefit of acupuncture in acute pain, the evidence regarding the
cancer pain is limited (Black & Matassarin Jacobs, 1997; Filshie & Thompson 2004; Menefee
& Monti, 2005). In spite of that, Alimi et al. (2003) stated that the acupuncture applied to
cancer patient has decreased the pain level.

Fig. 3. http://suphecimelek.wordpress.com/2010/10/31/akupunktur June/2011


Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 491

Acupressure is one of the traditional Chinese medicine approaches used for pain relief,
diseases and injuries. Acupressure is a therapy that is conducted by applying physical
pressure on various points on body surface by means of energy circulation and balance in
cases of pain symptoms. This therapy is similar to the acupuncture and it is conducted by
applying pressure on selected points of the body by fingers, hands, palms, wrists and knees
in order to provide internal flow of energy. Acupressure technique is a noninvasive, safe
and effective application (Hakverdioğlu, & Türk, 2006). It is suggested that acupressure
reduces back, head, osteoarthritis, musculoskeletal and neck pains, pre-operative and post-
operative pains, nausea-vomiting and sleeping problems (Tsay, Rong and Lin 2003; Tsay &
Chen 2003; Hakverdioğlu, & Türk 2006).

2.1.4 Exercise
Exercise includes active-passive movements, bed movements and ambulation. Exercise
increases the movement and provides continuity thus increasing the blood flow, preventing
spasm and contractures of the muscles and relieving the pain (Musclow et al., 2002).

2.1.5 Positioning
It is applied to help or support the patient. This application can be supported by pillows,
special beds and weight lifting. Position changes, which prevent the subsequent
development of pain and reducing the acute pain, also increase the blood flow and prevent
muscle contraction and spasms (Akdağ & Ovayolu, 2008). Positioning has been determined
as the most common post-operative non-pharmacological method (Carroll 1999).

2.1.6 Restriction of movement /resting


These are applied for the patients who need certain bed rest and which are in traction.
However, it should not be used alone for pain management. It can be used for fractures and
back surgeries. Restriction of movement can also decrease edema development (Arslan &
Çelebioğlu, 2004).

2.1.7 Massage
Massage is a manipulation applied on the soft tissue with various techniques (such as
friction, percussion, vibration and tapotement) for recovery and supporting health. It is
thought that the massage relieve the mind and muscles and increase the pain threshold
(Karagöz 2006). Peripheral receptors on the body are stimulated with massage and
stimulants reach the brain by means of spinal cord. In addition to pleasant feeling, a general
relief is provided here (Turan et al. 2010). It is underlined that especially therapeutic
massage is effective on chronic lumbago and that effect is stated to be a short term effect
(Hsieh et al. 2004). Melancon and Miller (2005) draw attention to the fact that pain
management in patient groups with lumbago that are treated with massage and
pharmacological therapies are similar and they recommend the sue of massage as an
alternative treatment option for the patients with lumbago within the framework of a
integrated care. Nixon et al (1997) has stated that massage played a role in reducing the
pain. In addition to that it is determined in some randomized controlled studies that
massage made during labor decreases pain and anxiety; it also improves the general well
being and progression of birth process and less reaction is given to the pain (Caton et.al
2002; Simkin & O’Hora 2002).
492 Pain Management – Current Issues and Opinions

2.1.8 Hydrotherapy (Balneotherapy)


Using water for treatment by means of thermal springs, potable water resources and other
methods is defined as "hydrotherapy" while using the water for therapy by means of
temperature effect is defined as "hydrothermal treatment". Effect of hydrotherapy is related
to its mechanical or thermal effect. Hot application stimulates the immune system, provides
hormones that are suppressing the stress to be released, stimulates the circulation and
digestion systems, increases the blood flow and provides muscle relaxation thus reducing
the sensitivity developed against the pain (Karagöz, 2006). It is stated in the literature that
hydrotherapy is effective while treating back and chronic lumbago (Balogh et al. 2005;
Hartel & Volger 2004).

2.2 Cognitive-behavioral therapies


Cognitive-behavioral therapies are a part of multimodal approach in pain management.
These attempts affect not only the pain level but also helps the patients to establish a
management feeling of theirselves while dealing with pain and develop management
behaviors and improved self-esteem. Cognitive-behavioral therapies can generally be
applied by all members of the pain team. Most of the special techniques can be learned and
applied by doctors, nurses, social service specialists and psychologists (Yıldırım 2006). These
therapies should be thought and applied as early as possible before the patient experiences
pain (Delaune & Ladner 2002).

2.2.1 Relaxation - respiration techniques and dreaming


Relaxation techniques cause an increase in slow brain waves in EEG by decreasing oxygen
consumption, blood pressure, respiration amount and the number of pulse. Therefore, it is
stated that the sensitivity developed against the pain should be prevented by means of these
techniques (Karagöz, 2006).
Techniques used in providing the spiritual and physical relaxation are summarized below:
- Respiration providing the relaxation: It is provided to focus on the respiration and avoid
disturbing thoughts by taking a deep breath slowly through the nose and giving it back
in a long time through the mouth. These techniques can be applied for 5-10 minutes per
day (Nordin 2002).
- Advanced muscle relaxation treatment: It is aimed to relax the unwanted contractions by
determining them through making the patient contract and relax certain muscle groups
on his body (Nordin 2002).
- Dreaming: After relaxation is provided, the patient is made to focus on a stimulant that
makes the patient happy (light, color, sound, pattern etc.) in order to get the patient far
away from his pain for a short period of time (Karagöz 2006). In a study made by
Lewandowski et al (2005) it has been stated that an effective pain management can be
obtained by directing the patients to dreaming for more than 4 days.

2.2.2 Distraction
Getting the attention away from the pain reduces its severity. The aim in using that
technique is to increases the tolerance for pain and decrease the sensitivity for pain. This
method includes listening to music, watching television, reading books and dreaming
(Arslan & Çelebioğlu, 2004). There are some sources which supports that distraction is a
method used in decreasing the pain (Seers & Carroll 1998; Petry 2002).
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 493

2.2.3 Praying
Most of the individuals with chronic pains use the praying method. It is indicated that
praying has positive results for decreasing the body pain in old people and relieving their
physical functional disorders and it is suggested to use the praying method in order to
reduce the depression and anxiety that is caused by chronic pain (Meisenhelder & Chandler,
2000; Karagöz, 2006).

2.2.4 Meditation
In the traditional meaning, meditation is generally focusing on the moment. Meditation; can
also be defined as focusing on the present. This act is realized with an individual focusing
on his own respiration, a word or picture. Duration of the meditation can last from a few
minutes to 30 minutes or take more (Snyder & Wieland, 2003; Gray, 2004). Considering the
fact that meditation helps relaxation, it is thought to be effective in relieving the pain (Gray,
2004). Carson et al (2005) have stated that an 8-week meditation is useful for relieving the
pain for patients with chronic lumbago.

2.2.5 Yoga
Yoga is providing relaxation by using respiration exercises and meditation with slow
movements. It is considered that it can be useful against musculoskeletal pain in terms of
using physical stretching moves and increasing strength (Dillard & Knapp, 2005).
Individuals that use yoga have stated that they believe in the benefit of this method and it is
a cost-effective method. It is stated in a study that applying yoga for 16 weeks has cured the
chronic lumbago (Williams et al. 2005). Also, in a study conducted by Williams et al (2005) it
has been stated that functional insufficiency experienced with chronic lumbago and use of
pain killers have been reduced by means of yoga.

2.2.6 Hypnosis
Hypnosis; it is the state of conscious change similar to sleep. Hypnosis requires the body to
relax and the patient to focus on an object, a stimulant or memory. Hypnosis is “the deep
physical relaxation state during which subconscious can be reached and important abilities are
suspended”. In this state, ability of people to be dominated increases (Taşçı & Sevil, 2007).
Besides mechanism of action of hypnosis over the pain is not known exactly and it is
mentioned that the pain is reduced with some physiological changes that occur as a result of
hypnosis. Hypnosis has been used in a positive manner in terms of cancer pain, pains in
head- neck region and phantom pain which is the sensations felt by amputees (Black &
Matassarin Jacobs, 1997). Jensens and Patterson (2006) has stated that
hypnotherapy/hypnosis is used for analgesia in various types of chronic pains and it has
been stated that hypnosis has been effective for neck pain. Also Liossi et al (2006) has made a
study with pediatric cancer patients in which it has been determined that hypnosis
application has decreased pain and anxiety level in patients (Liossi et al. 2006).

2.2.7 Bio-feedback
Biological feedback is based informing the patient in order to help relaxation or control a
physiological function. For example, in cases of tension type headache, it is provided for the
electrical activity received by means of head muscles and facial muscles to be perceived as
colors or sounds by the patient. Thus, observing the color changes or decreases in the sound,
494 Pain Management – Current Issues and Opinions

the patient understands whether the relaxation occurred or not (Uçan & Ovayolu 2007). Bio-
feedback is used for treatment in the cases of pain, migraine pain, spinal cord injuries and
movement disorders. It is aimed to control of physiological reactions such as muscle tension,
body temperature, heart rate, brain wave activity and other vital parameters. Efficiency of
the treatment depends on the desire that a patient shows for learning of how controlling of
these functions and participation of patient in the process. Biofeedback appliers train the
patient in terms of mental and physical exercises, visualization and deep breaths ( Eidelson,
2005). In many types of chronic pain the bio-feedback has been shown to be effective
(Moseikin 2003; Teyhen et al. 2005).

2.2.8 Behavioral therapy


Aim of this therapy is to increase the functional level of the patient decrease the maladaptive
behaviors and firstly reduce and then completely stop painkiller usage. The family is trained
by the treatment team; description of pain (grimacing, moaning, and remaining motionless)
is avoided and well-adaptive behaviors such as physical activities are reinforced (Brietbart
et al. 2004).

2.3 Other non-pharmacological therapies


2.3.1 Reflexology
Reflexology is a technique that is based on the principle that suggests there are reflex points
on our feet corresponding to all parts of our bodies , all organs and systems and these points
are the mirrors of the body anatomy. Pressure applied to these reflex points by special hand
and finger techniques provides the stress to be relieved and cause physiological changes and
a reduction in pain perception (Yıldırım, Fadıloğlu and Uyar, 2006). There are totally five
pressurizing techniques to make massage on reflex areas: Thumb move, finger move,
rubbing move, patting move and compressing move. These moves are applied to ears,
hands and feet similarly. The important thing here is to know how this technique will be
applied to whom. Physical structure of an individual, age and current health status are
taken into consideration. Treatment consists of applying pressure with the side of a thumb
or other fingers and turning it clockwise. This pressure is generally deep but it does not
have to be painful. A good reflexologist prefers repetition of short and painless seances to a
single but painful seances for the whole disease. Intensity of the pressure can be low at the
beginning and increased as the treatment progresses. Each seance takes from 10 minutes to
30 minutes and it is decided according to the situation of the person how many seance will
be necessary (Stephenson et al. 2000; Bolsoy 2008).
It is stated in the literature that reflexology is used especially for reducing migraine pain,
back pain, muscle pain, end stage cancer pain and side effects of chemotherapy and to
increase living quality (Long et al. 2001; McNeill et al. 2006; Mollart 2003; Quattrin et al.2006;
Wringht et al.2002) In spite of that, it is stated that it is unfavorable to use reflexology in
acute infections and fever situation, deep venous thrombosis, surgical situations and in
cases of open scars, malign melanoma and during first trimester of the pregnancy or with
the patients that has miscarriage or premature birth risks (Long et al. 2001; Lett 2002).

2.3.2 Herbal treatments


Herbal medicine is using the chemical materials obtained from inside, root, leave, seed and
flower parts of the herbs for treatment (Karagöz 2006). Today, most individuals use herbal
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 495

products in addition to their medical treatments with drugs without consulting to any
professional (Turan et al. 2010 ; Deng et al. 2005). It is stated in the literature that herbal
medicine has been commonly used to treat lumbago and back pains (Gray, 2004; Gagnier et
al. 2006; Hartel & Volger 2004).

2.3.3 Aromatherapy
Aromatherapy is using the essential oils that are obtained from flowers, herbs and trees to
improve health and well being. These oils are applied by being respired through oily gauze
that is placed under the nostrils of the patient or as massage oils being applied on skin. It
has been evidenced that the aroma oils reached the lymph system by means of blood
circulation and provided recovery by means of intercellular fluids (Turan et al. 2010). It is
thought that aromatherapy may be able to help reducing stress, treating cold, sniffles, skin
and menstruation problems and relieving pain (Karagöz, 2006; Jennings, 2004; Yıldırım et al.
2006; Deng et al. 2005). It is known that lavender oil is used in treating migraine pain,
osteoarthritis, rheumatoid arthritis and lumbago. It is also known that eucalyptus, black
pepper, ginger, daisy, licorice, rosemary and myrrh oils are used in relieving pain. But it is
stated that lavender oil can cause hypersomnia and using licorice for long time can cause
hypertension (Delaune & Ladner 2002). Although the usage of aromatherapy within health
system increases day by day it is seen that the researches in this meaning is quite
insufficient. Data regarding the efficiency of essential oils depend only on individual
experiences. For this reason, it is necessary to conduct studies with large samples and high
level of evidence to determine the efficiency of essential oils in pain management (Snyder &
Wieland 2003; Tseng 2005)

2.3.4 Chiropractics
Chiropractics is the neck-pulling movement used in treatment of the disorders in connective
tissues and musculoskeletal system which consists of muscles, joints, bones, tendon,
cartilage and ligaments. The main principle of this approach is the fact that to relieve the
pain and to improve health with the applications made on spine and joints which have had
a positive effect on neural system and natural defense mechanisms (Gray, 2004).
Chiropractics have focused on the connection between body structure and the functions of
the neural system and manipulation of bones and joints to regain the health. It is known that
the application that is taken, decreases the amount of burden on the neck and relives the
pain. However, the individuals who have serious disorders such as severe cervical disc
hernia, complaints due to rheumatoid arthritis , tumors and infection have to avoid from
these applications (Turan et al. 2010; Karagöz 2006; Deng et al. 2005).

2.3.5 Musical therapy


Many studies that have been conducted have sown that the music had positive effects on
pain and anxiety and increased the living quality of the patient or healthy individuals.
Music reduces heart rate, blood pressure, body temperature and respiration rate and it
distraction the attention of the patient to another point thus reducing the pain perception
and reducing especially the nausea due to chemotherapy so that increasing living quality of
patients in terminal period of cancer (Chase, 2003; Hilliard, 2003; Deng et al. 2005; Stefano et
al. 2004, Uçan & Ovayolu 2007). In a study that states listening to music stimulates the alpha
waves of brain which have been determined as a stimulator for the release of endorphin and
496 Pain Management – Current Issues and Opinions

creates a relaxation state and therefore music has played a role not only in relieving the pain
but also decreasing blood pressure, heartbeat rate and other physiological responses (Henry,
1995). A point to be taken into consideration here is to let the music type to be prefered by
the patient (Delaune & Ladner, 2002). New studies show that slow music creates a relaxing
effect. According to the literature musical therapy should not be used continuously to be an
effective method. Applying musical therapy form 25 to 90 minutes per day will provide
sufficient treatment period.

Attempt Advantage Disadvantage


 It may reduce the pain and anxiety
without having drug-related side effects.  The patients should be
 It can be used more likely as an adjuvant aware of using the
Relaxation therapy together with other methods. management strategies by
Bio-feedback It may increase the management feeling of theirselves.
Distraction the patient.  An appropriate time zone
 Most of them are not expensive, they do is needed to teach the
not require special equipment and they are attempts.
easily applicable.
 It may reduce the pain and anxiety of the
patients who have pains that are relatively
Psychotherapy, difficult to manage.  It requires an experienced
Hypnosis  It may increase the number of methods therapist.
that the patient uses to manage.
 Hot application can
 It may reduce muscle spasms, increase the bleeding or
inflammation and pain. edema after acute injuries.
Skin  It can be used more likely as an adjuvant
 Cold application is
Stimulation/Cutane therapy together with other methods.
contraindicate for the
ous Stimulation  It may increase the controlling ability of
situations such as
(superficial hot-cold pain feeling of the patient.
uritcaria/hypersensitivity,
application and  It is so easy to use.
hypertension, Reynaud's
massage)  It may be applied by the patients or phenomenon and sickle
families. cell anemia which are
 It is a cheap method. related to cold.
 It requires an experienced
 It reduces the pain without having any
therapist.
drug-related side effects.
Transcutaneous  There is a risk for bleeding
 It can be used more likely as an adjuvant
Electrical Nerve therapy together with other methods. and infection.
Stimulation (TENS)
 It gives the feeling of pain management to  There are no reliable
the patient. results for use in cases of
pregnant women.
 It may cause hypersomnia.
 It has an analgesic effect.  Some herbs should not be
Aromatherapy
 It has a sedative and relaxing effect. used with other anti-
depressants and alcohol.
 It may provide pain reduction without any
side effects.  It requires an experienced
Acupuncture  It can be used more likely as an adjuvant therapist.
therapy together with other methods.

Table 1. Advantages and Disadvantages of Some Non-pharmacological Methods


Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 497

In a study they conducted, Nilsson et al (2003) have stated that listening to music for one
hour in earl post-operative period may reduce post-operative pain and morphine
consumption of the patients. In a study conducted by Sahler and Hunter (2003) with the
patients who had bone marrow transplantation, the patients were made to listen music
which has a relaxing effect, at least twice a week for 45 minutes and it has been determined
that the group which was not included to music therapy has a higher pain score when
compared to the one that has received musical therapy. It has been stated that the musical
also has positive effects during labor period. In a study that is conducted by Browning (2000)
related to the mother's pain and anxiety levels to evaluate the effect of musical therapy
applied to primipar mothers before delivery, the mothers have stated that the musical
therapy relives their pain and it made them feel themselves more comfortable and calm.
Advantages and disadvantages of some non-pharmacological methods used in pain
management have been specified below (Table 1).

3. Conclusion
As a result, the pain can be managed in a more effective manner with the combination of
pharmacological and non-pharmacological therapies. Developments in pain management
may provide different opportunities to the patients and their families thus providing the
patients to carry on a more comfortable and productive life. Both health personnel and
caregivers need to have important responsibilities while following these developments. For
an effective care to be provided to patients, developments regarding pain management and
updated pharmacological and non-pharmacological approaches regarding pain
management and pain should be followed. Also these techniques may help reducing pain
and it must be encouraged as a part of the comprehensive pain management efforts. For this
reason, abilities and preferences of the patient regarding the use of non-pharmacological
methods should be taken into consideration; it should be underlined for the patients that
these are used together with medical and pharmacological treatments and the use of non-
pharmacological methods should be included to the care plan when patient is appropriate
and willing. From this point of view, it is recommended to use various non-pharmacological
methods for pain management but we need more study results that support the efficiency of
these methods. For this reason, it will provide the evidence-based results to be put forward
if randomized controlled experimental studies, which examine the efficiency of these
methods in taking the pain under control, are conducted.

4. References
Akdağ, R. G. & Ovayolu, N. (2008). Hemşirelerin Ağrı Yönetimi ile İlgili Bilgi, Tutum ve
Klinik Karar Verme Durumlarının Değerlendirilmesi. Gaziantep Üniversitesi Sağlık
Bilimleri Enstitüsü, Master's Thesis.
Alimi, D.; Rubino, C.; Pichard-Leandri, E.; Fernand, B.S.; Dubreuil-Lemaire, M.L. & et al.
(2003). Analgesic effect of auricular acupuncture for cancer pain: randomized,
blinded, controlled trial. Journal of Clinical Oncology, 15;21(22): 4120-4126; Nov 2003.
Allard, P.; Maunsell, E.; Labbe, J. & Dorval, M. (2001). Educational interventions to improve
cancer pain control: a systematic review . Journal of Palliative Medicine, Vol.4 , No:2 ,
pp.191-203.
498 Pain Management – Current Issues and Opinions

Arslan, S. & Çelebioğlu, A. (2004). Postoperatif Ağrı Yönetimi ve Alternatif Uygulamalar.


International Journal of Human Sciences, 1(1): 1-7.
Balogh, Z.; Ordogh, J.; Gasz, A.; Nemet, L. & Bender, T. (2005). Effectiveness of
balneotherapy
in chronic low back pain -- a randomized single-blind controlled follow-up study.
Forsch Komplementarmed Klass Naturheilkd, 12(4): 196-201; Aug 2005.
Barnes, P.; Griner, E.; Mcfann, K. & Nahin, R.L.(2004). Complementary and alternative
medicine use among adults: United States, 2002. Adv Data. , Vol.27, pp.1-19.
Bjordal, M.J.; Johnson, I.M. & Ljunggreen, A.E. (2003). Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation (TENS) Can Reduce Postoperative Analgesic Consumption: A Meta-
Analysis With Assesment Of Optimal Treatment Parameters For Postoperative
Pain. The European Journal Of Pain, 7(2): 181-188.
Black, J.M. & Matassarin Jacobs, E. (1997). Pain , In: Medical-Surgical Nursing: Clinical
Management for Continuity of Care. 5.th edition, J.M. Black, E.M. Jacobs & J.
Luckmann(Edts.) pp: 342-365, W.B. Saunders Co., ISBN: 978-0721663999.
Bolsoy, N. (2008). Perimenstrüel Distresin Hafifletilmesinde Refleksolojinin Etkinliğinin
İncelenmesi. Ege Üniversitesi Sağlık Bilimleri Enstitüsü, PhD Thesis.
Brandner, B.; Munro, B.; Bromby, L.M. & Hetreed, M. (1996). Evaluation of the Contribution
to Postoperative Analgesia by Local Cooling of the Wound. Anaesthesia, 51(11):
1021-1025; Nov 1995.
Brietbart, W.; Payne, D. & Passik, S.D. (2004). Psychological and psychiatric interventions in
pain control. In: Oxford Textbook of Palliative Medicine. 3rd ed. Doyle D, Hanks NC,
Calman K (eds), pp: 424-438 NY: Oxford University Pres, New York;
ISBN:9780198566984.
Browning, C.A. (2000) Using musiv during childbirth. Birth,27(4),272-276.
Carroll, C.et al.(1999). Pain Assessment and Management in Critically ill Postoperative and
Trauma Patients: A Multisite Study . American Journal of Critical Care. Vol.8
(2),March 1999..
Carson, J.W.; Keefe, F.J.; Lynch, T.R.; Carson, K.M.; Goli, V.; Fras, A.M. & et. al. (2005).
Loving-kindness meditation for chronic low back pain: results from a pilot trial.J.
Holist. Nurs., 23(3): 287-304; Sep 2005.
Caton, D.; Corry, M.P.; Frigoletto, F.D.; Hopkins, D.P.; Lieberman, E.; Mayberry, L.; Rooks,
J.P.; Rosenfield, A.; Sakala, C.; Simkin, P. & Young, D. (2002). The nature and
management of labor pain: executive summary. American Journal of Obstetrics And
Gynecology, 186(5 Suppl Nature):S1-15;May 2002.
Chase, K.M. (2003). Multicultural music therapy: A review of literature. Music Therapy
Perspectives, 21(2):84-88;ISSN : 0734-6875.
Chen, L.; Tang, J.; White, P. F.; Slonınsky, A.; Wender, R. H.; Naruse, R. & Kariger, R. (1998).
The Effect of Location of Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation on
Postoperative Opioid Analgesic Requirement: Acupoint Versus Nonacupoint
Stimulation. Anesth Analg, 87(5): 1129–34; Nov 1998.
Delaune, S.C.& Ladner, P.K. (Eds.) (2002). Fundamental of Nursing : Standard And Practice (
2nd Edition), pp.916-941,Newyork, Thomson Delmar Learning. ISBN: 978-
076824522.
Demir, Y. & Khorshıd, L. (2010). The Effect of Cold Application in Combination with
Standard Analgesic Administration on Pain and Anxiety During Chest Tube
Removal: A Single-Blinded, Randomized, Double-Controlled Study. Pain
Management Nursing, (11)3: 186-196; Sep 2010.
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 499

Deng, G. & Cassileth, B.R. (2005). Integrative oncology: complementary therapies for pain,
anxiety, and mood disturbance. CA: A Cancer Journal for Clinicians, 55(2):109-
116;May/April 2005.
Dewit, S.C. (2009). Fundamental concepts and skills for nursing, 3rd Edition, p.603-614, W.B.
Saunders Comp. Philadelphia,; ISBN : 978-1-4160-5228-9.
Dickens C, Jayson M, Creed F (2002) Psychological Correlates Of Pain Behavior in Patients
With Chronic Low Back Pain. Psychosomatics, 43:42–48;February 2002.
Dillard, J.N. & Knapp, S. (2005). Complementary and alternative pain therapy in the
emergency department. Emerg Med Clin North Am, 23(2): 529-549; May 2005.
Eidelson, S.G. (2005). Advanced Technologies to Treat Neck and Back Pain, A Patient's Guide;
Eidelson's book;
http://www.spineuniverse.com/displayarticle.php/article224.html; March 2005.
Evans, R. & Rosner, A. (2005). Alternative in cancer pain treatment: the application of
chiropractic care . Seminars in Oncology Nursing , Vol.21 , No:3 , pp.184-189.
Filshie, J. & Thompson, J.W. (2004). Acupuncture; In: Oxford Textbook of Palliative Medicine.
3rd ed, D. Doyle ; NC. Hanks & K. Calman (eds), pp: 410-424.. NY: Oxford
University Press, New York. ISBN-13: 978-0198510987
Gagnier, J.J.; Van Tulder, M.; Berman, B. & Bombardier, C. (2006). Herbal medicine for low
back pain. Cochrane Database Syst Rev,19( 2); CD004504 April 2006
Gray, D.P. (2004). Complementary and alternative therapies. In : Medical Surgical Nursing,
S.M., Lewis, ; L. Heitkemper, & S.R. Dirksen, (Eds). pp:94-109, St. Louis : Mosby
Inc; ISBN-13: 978-0323016100.
Hakverdioğlu G. & Türk, G. (2006). Acupressure. Journal of Hacettepe University School of
Nursing,43-47.
Hartel, U.; Volger, E. (2004). Use and acceptance of classical natural and alternative
medicine in Germany--findings of a representative population-based survey. Forsch
Komplementarmed Klass Naturheilkd, 11(6): 327-334; Dec 2004.
Henry, L.L. (1995). Music therapy: a nursing intervention for the control of pain and anxiety
in the ICU: a review of the research literature. Dimensions of Critical Care
Nursing, 14(6):295-304.
Hilliard, R.E. (2003). The effect of music therapy on the quality and length of life people
diagnosed with terminal cancer. Journal of Music Therapy, 40(2):113-117.
Hsieh, L.L.; Kuo, C.H.; Yen, M.F. & Chen, T.H.A. (2004). A Randomized controlled clinical
trial for low back pain treated by acupressure and physical therapy. Prev Med,
39(1): 168-176; Jul 2004.
http://suphecimelek.wordpress.com/2010/10/31/akupunktur-ise-yarar-mi; June/2011
http://www.ib3health.com/products/TensandEMS/Literature/ApplicationChart.shtml,
June 2011.
Jennings, W.M. (2004). Aromatherapy practice in nursing: literature review. Journal of
Advanced Nursing, 48 (1): 93–103.
Jensen, M. & Patterson, D. (2006). Hypnotic treatment of chronic pain. J. Behav. Med.,29(1):
95-124;Feb 2006.
Johnson MI. (2002). Transcutaneous Electrical Nevre Stimulation. In: Electrotherapy: Evidence-
Based Practice(11th edition), S. Kitchen.(Ed.), pp.:259-286; Edinburgh: Churchill
Livingstone, ISBN : 0443072167.
Kaplan, B.; Rabinerson, D.; Lurie, S.; Bar, J.; Krieser, U.R. & Neri, A. (1998). Transcutaneous
electrical nevre stimulation (TENS) for adjuvant pain-relief during labor and
delivery. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 60(3): 251-255; Mar 1998.
500 Pain Management – Current Issues and Opinions

Karagöz, G. (2006). Sırt, boyun, bel ağrıları olan ve ameliyat programına alınan nöroşürurji
hastalarının ağrı gidermede kullandıkları tamamlayıcı ve alternatif tedaviler.
İstanbul Üniversitesi Sağlık Bilimleri Enstitütüsü. İstanbul Master's Thesis.
Karagözoğlu, Ş.A. (2001). Intravenöz Sıvı Tedavısı Komplikasyonu Olarak Gelişen
Tromboflebitte Hemşirelik Bakımı Ve Sıcak - Soğuk Uygulamanın Yeri. C.Ü.
Hemşirelik Yüksekokulu Dergisi, 5(1):18-25.
Kim, J.E.; Dodd, M. & West, C. (2004). The PRO-SELF Pain control program improves
patients knowledge of cancer pain management. Oncology Nursing Forum, Vol. 31 ,
No:6 , pp.1137-1143.
Koç, M.; Tez, M.; Yoldaş, Ö.; Dizen, H. & Göçmen, E. (2006). Cooling for the Reduction of The
Postoperative Pain. Prospective-Randomized Study. Hernia, 10(2):184-186; Apr 2006.
Kuzu, N. & Uçar, H. (2001). The Effect of Cold on The Occurence of Bruising, Haematoma
and Pain at the Injection Site in Subcutaneous Low-Molecular Weight Heparin.
International Journal of Nursing Studies, 38(1):51-59; Feb 2001.
Kwekkeboom, K.; Kneip, J. & Pearson, L. (2003). A pilot study to predict success with guided
imagery for cancer paitent . Pain Management Nursing, Vol. 4 , No.3 , pp.112-123.
Lett, A. (2002). The Future of Reflexology. Complementary Therapy in Nursing & Midwifery,
8(2): 84-90; May 2002.
Lewandowski, W.; Good, M. & Draucker, C.B. (2005). Changes in the Meaning of pain with
the use of Guided Imagery. Pain Manag Nurs, 6(2): 58-67; Jun 2005.
Liossi, C.; White, P. & Hatira, P. (2006). Randomized clinical trial of local anesthetic versus a
combination of local anesthetic with self-hypnosis in the management of pediatric
procedure-related pain. Health Psychology, 25(3):307-315; May 2006.
Long, L.; Huntley, A.& Ernst, E. (2001) Which Complementary and Alternative Therapies
Benefit Which Conditions? A Survey of Opinions Of 223 Professional
Organizations. Complementary Therapy in Medicine, 9: 178-185.
Mawhorter, S.; Daugherty, L.; Ford, A.; Hughes, R.; Metzger, D. & Easley, K. (2004). Topical
Vapocoolant Quickly and Effectively Reduces Vaccine- Associated Pain: Results of
Randomized Single-Blinded, Placebo-Controlled Study. J. Travel Med, 11(5), 267-
272; Sep-Oct 2004.
McMillan, S.C.; Tittle, M.; Hagan, S. & Laughlin, J. (2000). Management of pain and pain-
related symptoms in hospitalized veterans with cancer . Cancer Nursing, Vol. 23 ,
No:5 , pp.327-336.
McNeill, J.A.; Alderdice, F.A. & Mcmurray, F. (2006). A Retrospective Cohort Study
Exploring the Relationship Between Antenatal Reflexology and İntranatal
Outcomes. Complementary Therapies in Clinical Practice;12( 2): 119-125; May 2006.
Meisenhelder, J.B. & Chandler, E.N. (2000). Prayer and health outcomes in church members.
Altern. Ther. Health Med., 6(4): 56-60; Jul 2000.
Melancon, B. & Miller, L.H. (2005). Massage therapy versus traditional therapy for low back
pain relief: implications for holistic nursing practice. Holist Nurs Pract, 19(3): 116-
21;May-Jun 2005.
Menefee, L.A. & Monti, D.(2005).Nonpharmacologic and complementary approaches to
cancer pain management . The Journal of the American Osteopathic Association,
Vol.105, No.11 , pp.15-20.
Merskey, H. & Bogduk, N. (editors.).(1986). Pain, In:Classification of chronic pain : description of
chronic pain syndromes and definition of pain terms , Prepared by the İnternational
Association for the study of Pain,(IASP), Subcommittee on Taxonomy. Pain Suppl 3:S1–
226., IASP Press, ISBN-13: 978-0-931092-05-3
Non-Pharmacological Therapies in Pain Management 501

Mollart, L. (2003). Single-Blind Trial Addressing the Differential Effects of Two Reflexology
Techniques Versus Rest, On Ankle and Foot Oedema in Late Pregnancy.
Complementary Therapy in Nursing & Midwifery, 9(4): 203-208; November 2003.
Moseikin, I.A . (2003). Use of biofeedback in combined treatment of low spine pain. Zh
Nevrol Psikhiatr Im S S Korsakova, 103, 32-6.
Mucuk, S. & Başer, M. (2009). Doğum ağrısını hafifletmede kullanılan tensel uyarılma
yöntemleri. Journal of Anatolia Nursing and Health Sciences, 12(3),61-66.
Musclow, SL.;Sawhney, M. & Watt-Watson, J. (2002). The emerging role of advanced
nursing practice in acute pain management throughout Canada. Clinical Nurse
Specialist 16(2):63-67.
Nash, R.; Yates, P.; Edwards, H.; Fentiman, B.; Dewar, A; Mcdowell, J. & Clark, R. (1999).
Pain and administration of analgesia: what nurses say. Journal of Clinical Nursing,
1999; 8(2):180.
Nilsson, U.; Rawal, N.; Enqvist, B.& Unosson, M.(2003) Analgesia following music and
therapeutic suggestions in the PACU in ambulatory surgery; a randomized
controlled trial. Acta Anaesthesiol Scand;47(3):278-83.
Nixon, M. et al.(1997). Expanding the nursing repertoire: The effect of massage on post-
operative pain .Australian Journal of Advanced Nursing, 14(3):21-26,March-May 1997.
Nordin, M. (2002). Self-care techniques for acute episodes of low-back pain. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology, 16(1): 89-101;Jan 2002.
Öztekin, İ. (2005). Bel ağrısı: Primer tedavide bütünleyici yaklaşım. Akupunktur Dergisi,
15(55-56): 7-11.
Petry, JJ.(2002). Surgery and complementary therapies: A review. Alternative Therapies in
Health and Medicine,6(5):64-74.
Quattrin, R.; Zanini, A.; Buchini, S.; Turello, D.; Annunziata, M.A.; Vidotti, C.; Colombatti,
A. & Brusaferro, S. (2006). Use of Reflexology Foot Massage to Reduce Anxiety in
Hospitalized Cancer Patients in Chemotherapy Treatment: Methodology and
Outcomes. Journal of Nursing Management, 14(2): 96-105; March 2006.
Rakel, B. & Frantz, R.(2003). Effectiveness Of Transcutaneous Electrıcal Nerve Stimulation
On Postoperative Pain With Movement. The Journal of Pain, 4(8); 455-464.
Raynor, M.C.; Pietrobon, R.; Guller, U. & Higgins, L.D. (2005). Cryotherapy After ACL
Reconstruction: a Meta Analysis. J. Knee Surgery, 18(2),123-9; Apr 2005.
Ross, S. & Soltes, D. (1995). Heparin and Haematoma: Does Ice Make a Difference?. Journal of
Advanced Nursing, 21(3), 434-439; Mar 1995.
Saeki, Y. (2002). Effect of Local Application of Cold or Heat for Relief of Pricking Pain.
Nursing and Health Sciences. 4(3):97-105; Sep 2002.
Sarifakioğlu, N. & Sarifakioğlu, E. (2004). Evaluating the Efffect of Ice Application on The
Pain Felt During Botilinum Toxin Type-a Injections: a Prospective, Randomized,
Single-blind, Controlled Trial. Ann Plast Surg, 53(6),543-546; Dec 2004.
Seers, K.& Carroll, D.(1998) Relaxation techniques for acute pain management : a sistematic
review. Australian Journal of Advanced Nursing, 27(3)466-475,March 1998.
Sherman, K.J.; Cherkin, D.C.; Connelly, M.T.; Erro, J.; Savetsky, J.B. & Davis, R.B.(2004).
Complementary and alternative medical therapies for chronic low back pain:What
treatments are patient willing to try? BMC Complement Altern Med, Jul 19;4-9.
Simkin, P. & Bolding, A. (2004). Update on nonpharmacologic approaches to relieve labor
pain and prevent suffering. Journal of Midwifery & Women’s Health, 49 (6), 489- 504;
Nov-Dec 2004.
502 Pain Management – Current Issues and Opinions

Simkin, P.P.& O’Hara, M. (2002). Nonpharmacologic relief of pain during labor: systematic
reviews of five methods, American Journal of Obstetrics and Gynecology, 186 (5 Suppl
Nature):S131-159; May 2002.
Sluka, K.A. & Walsh, D. (2003). Transcutaneous Electrical Nevre Stimulation: Basic Science
Mechanism and Clinical Effectiveness. The Journal of Pain, 4(3): 109-121. Apr 2003.
Snyder, M. & Wieland, J. (2003). Complementary and alternative therapies: What is their place
in the management of chronic pain? Nurs Clin North Am. 38(3): 495-508; Sep 2003.
Stefano, G.B.; Zhu, W.; Cadet, P.; Salamon, E. & Mantione, K.J. (2004). Music alters
constitutively expressed opiate and cytokine processes in Listeners. Medical Science
Monitor, 10(6):18-27.
Stephenson, N.L.N.; Weinrich, S.P. & Tavakoli, A.S. (2000). The Effects of Foot Reflexology
on Anxiety and Pain in Patients with Breast and Lung Cancer. Oncol Nurs Forum,
27( 1):67-72.
Taşçı, E. & Sevil, Ü. (2007). Doğum ağrısına yönelik farmakolojik olmayan yaklaşımlar.
Genel Tıp Dergisi, 17(3): 181-186.
Teyhen, D.S.; Miltenberger, C.E.; Deiters, H.M.; Del Toro, Y.M.; Pulliam, J.N. & Childs, J.D.
(2005). The use of ultrasound imaging of the abdominal drawing-in maneuver in
subjects with low back pain. J Orthop Sports Phys Ther, 35(6): 346-355;Jun 2005.
Tsay, S.L. & Chen, M.L.(2003). Acupressure and quality of sleep in patients with end- stage
renal disease-a randomized controlled trial. International Journal of Nursing Studies;
40(1): 1-7; Jan 2003.
Tsay, S.L. ; Rong, J.R. & Lin, P.F.(2003). Acupoints massage in improving the quality of sleep
and quality of life in patients with end-stage renal disease. Journal of Advanced
Nursing; 42 (2): 134-142; April 2003.
Tseng, Y.H. (2005). Aromatherapy in nursing practice. Hu Li Za Zhi, 52(4):11-5;PMID
16088776.
Turan, N.; Öztürk, A. & Kaya, N.(2010).Hemsirelikte Yeni Bir Sorumluluk Alanı: Tamamlayıcı
Terapi. Maltepe Üniversitesi Hemsirelik Bilim ve Sanatı Dergisi, 3(1):.93-98.
Uçan, Ö. & Ovayolu, N. (2007). Kanser ağrısının kontrolünde kullanılan nonfarmakolojik
yöntemler. Fırat Sağlık Hizmetleri Dergisi, Vol.2 , No:4 , pp.123-131.
Van der Westhuijzen, A. J.; Becker, P.J.; Morkel, J. & Roelse, J.A. (2005). A Randomized
Observer Blind Comparison of Bilateral Facial Ice Pack Therapy with No Ice Therapy
Following Third Molar Surgery. Int J Oral Maxillofac Surg, 34(3): 281-286; May 2005.
Van Tulder, M.W.; Furlan A.D. & Gagnier J.J. (2005). Complementary and alternative
therapies for low back pain. Best Pract Res Clin Rheumatol, 19(4): 639-654; Aug 2005.
Williams, K.A.; Petronis, J.; Smith, D.; Goodrich, D.; Wu J.; Ravi, N.; Doyle, E.J.; Juckett, G.;
Kolar, M.M.; Gross, R. & Steinberg, L. (2005).Effect of Iyengar yoga therapy for
chronic low back pain. Pain;115(1-2):107–17; May 2005
Wringht, S.; Courtney, U.; Donnelly, C.; Kenny, T.; Lavin, C. (2002). Clients’perceptions of
the benefits of reflexology on their quality of life. Complementary Therapy in Nursing
& Midwifery, 8(2): 69-76; May 2002.
Yavuz, M.(2006). Ağrıda Kullanılan Nonfarmakolojik Yöntemler, In: Ağrı Doğası ve Kontrolü,
1st edition , F.E. Aslan (Editor), , Vol.42, pp.135-147., Avrupa Tıp Kitapçılık Ltd.
Şti. Bilim Yayınları, ISBN: 975-6257-17-2.
Yıldırım, Y.K. (2006).Kanser Ağrısının Nonfarmakolojik Yöntemlerle Kontrolü, In: Kanser ve
Palyatif Bakım, In M. Uyar, R. Uslu, YK. Yıldırım, (Eds), pp.97-126; Meta Press
Matbaacılık, İzmir.
Yıldırım, Y.K.; Fadıloğlu, Ç.& Uyar, M. (2006). Palyatif Kanser Bakımında Tamamlayıcı
Tedaviler. Ağrı, 18(1), 26–32.
Pain Management - Current Issues and Opinions
Edited by Dr. Gabor Racz

ISBN 978-953-307-813-7
Hard cover, 554 pages
Publisher InTech
Published online 18, January, 2012
Published in print edition January, 2012

Pain Management - Current Issues and Opinions is written by international experts who cover a number of
topics about current pain management problems, and gives the reader a glimpse into the future of pain
treatment. Several chapters report original research, while others summarize clinical information with specific
treatment options. The international mix of authors reflects the "casting of a broad net" to recruit authors on
the cutting edge of their area of interest. Pain Management - Current Issues and Opinions is a must read for
the up-to-date pain clinician.

How to reference
In order to correctly reference this scholarly work, feel free to copy and paste the following:

Yurdanur Demir (2012). Non-Pharmacological Therapies in Pain Management, Pain Management - Current
Issues and Opinions, Dr. Gabor Racz (Ed.), ISBN: 978-953-307-813-7, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/pain-m anagem ent-current-issues-and-opinions/non-pharm acological-
therapies-in-pain-management

InTech Europe InTech China


University Campus STeP Ri Unit 405, Office Block, Hotel Equatorial Shanghai
Slavka Krautzeka 83/A No.65, Yan An Road (West), Shanghai, 200040, China
51000 Rijeka, Croatia
Phone: +385 (51) 770 447 Phone: +86-21-62489820
Fax: +385 (51) 686 166 Fax: +86-21-62489821
www.intechopen.com
Illinois Wesleyan University
Digital Commons @ IWU
Honors Projects Nursing, School of

2004

Nurses' Attitudes, Knowledge, and


Use of Nonpharmalogical Pain
Management Techniques and
Therapies
Erin Bicek
Illinois Wesleyan University

Recommended Citation
Bicek, Erin, "Nurses' Attitudes, Knowledge, and Use of Nonpharmalogical Pain Management Techniques and Therapies"
(2004). Honors Projects. Paper 12.
http://digitalcommons.iwu.edu/nursing_honproj/12

This Article is brought to you for free and open access by The Ames Library, the Andrew W. Mellon Center for Curricular and Faculty
Development, the Office of the Provost and the Office of the President. It has been accepted for inclusion in Digital Commons @ IWU by
the School of Nursing faculty at Illinois Wesleyan University. For more information, please contact digitalcommons@iwu.edu.
©Copyright is owned by the author of this document.

Nonphannacological Pain
Nurses' Attitudes, Knowledge, and Use ofNonpharmacological Pain Management Techniques

and Therapies

Erin Bicek

Illinois Wesleyan University

\

Nonphannacological Pain 2

Nurses' Attitudes, Knowledge, and Use ofNonpharmacological Pain Management Techniques

and Therapies

ChapterI: Introduction
Introduction

Each day millions of people suffer from pain whether they are in the hospital, their

homes, or assisted living facilities. The experience of pain negatively influences their daily

lives. As nurses and physicians interact with patients and families, they assess and treat their

pain. Nurses and physicians attitudes and knowledge of pain management can affect their
patient's treatment options. Most of the time drugs are prescribed to relieve the pain including

narcotics and non-steroidal anti-intlammatories. However, pain is often under-treated and

patients continue to suffer from the ill effects of pain and lack of management (Yates et al.,

1998). Nonpharmacological pain management therapies are increasing in popularity; however,

medical personnel as well as patient's knowledge of these therapies are not well researched.

Physicians and nurses level of knowledge and attitudes of nonpharmacological pain management
greatly affects whether a patient is given these options. Nonpharmacological pain therapies and

techniques have great potential to relieve someone's pain and can be used with or without

pharmacological methods. There are many benefits to using nonpharmacological methods in

relieving pain, therefore, the barriers keeping patients, nurses, and physicians from using them

need to be explored. Nurses' attitudes and knowledge of nonpharmacological pain management


therapies needs to be assessed, and any deficits identified need to be rectified so patients have

access to other options to more effectively manage their pain.



Nonpharmacological Pain 3

Purpose and Research Questions

The purpose of this exploratory research is to randomly survey registered nurses at BroMenn

Regional Medical Center and explore nurses' attitudes, use, and knowledge of non-
pharmacological pain management therapies when caring for patients in the hospital setting. The

aim of the study was to answer the following research questions:

• To what extent do nurses use nonpharmacological pain management?

• What nonpharmacological pain management therapies do nurses utilize in their

nursing practice of hospitalized patients?


• What barriers or disadvantages do nurses perceive in using nonpharmacological

therapies in their nursing practice?

• What advantages or benefits do nurses see to using nonpharmacological therapies to

manage pain?
• How are background factors (age, type of nursing degree, work experience, hours of

nonpharmacological education, 'amount of general pain education, and unit worked)

related to the use of nonpharmacological therapies to manage pain?

Chapter II: Review of Literature

Pain Knowledge

Pathophysiology of Pain
Pain is the body's way of alerting a person to potential or actual damage. According to

Barrett (2003), pain is the way the peripheral nervous system warns the central nervous system

of injury or potential injury to the body. The message is transmitted through nerve cells called

nociceptors by neurotransmitters. The body also releases prostaglandins that may enhance the

pain message. Lynch (2001) describes pain as being nociceptive, neuropathic, or mixed in
Nonphannacological Pain 4

nature. Nociceptive pain is somatic pain that arises from an injury or viseral pain that arises from

inflammation, obstruction, or ischemia. Neuropathic pain results when there is damage to the

peripheral or central nervous system that alters sensation. Barrett (2003) states that nociceptive

pain is typically called acute pain, which usually resolves when the condition that caused the pain

is removed. However, if pain remains after the disorder is resolved, it may be considered chronic

pain. Chronic pain usually lasts from three to six months and negatively impacts patient's daily

lives and activities such as increased stress and inability to sleep (Yates et al., 1998) and (Lynch,

2001).

Pain and People's Daily Lives

According to the National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases

(National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Disease [NIAMS], 2003), pain is a

personal and subjective symptom that is influenced by age, gender, race, and psychosocial

factors. A June 2000 Gallup Survey indicated that 42% of adults say they experience pain daily,

and approximately 28-30% of the US population suffer from chronic pain (NCS Pearson, 2003).

Even patients in the hospital continue to experience unrelieved pain. In a study done by

Yates, Dewar, Edwards, Fentiman, Najman, Nash, Richardson, and Fraser (1998), 79% of

hospitalized patients reported pain during the 24 hours before data collection. The study also

identified that untreated pain has a profound affect on the patient's general well-being. Sixty-

seven percent of patients in the study said that their sleep was affected by pain. The pain also

affected their movement and made them feel worried and exhausted. Unrelieved pain can also

alter immune function, increase stress, delay healing, and cause anxiety and depression for the

person experiencing it (Lynch, 2001). Patients' reports of unrelieved pain while hospitalized

suggest a need for more effective pain management.



Nonpharmacological Pain 5

Under-treatment of Pain

There are many reasons pain is under-treated by both physicians and nurses. The most

common barrier to effective pain management is the healthcare provider's incorrect assessment
of pain and/or the effectiveness of pain relief measures. A study by Miaskowski et al. (as cited

in Von Roenn, 2001) found that there is a lack of knowledge of pain management and

assessment by physicians. The doctors may not write the proper prescriptions for pain

management because they are not given enough education in pain and symptom management in

their curriculum. Just like the treatment of diabetes requires follow-up assessments and

adjustments in medication, so does the treatment of pain and that is not being done by
physicians.

Nurses have a central role in assessing patients' pain and providing pain treatment

options; therefore, they are in a position where they can decrease the number of people suffering

from pain and the under-treatment of pain (Lynch, 2001). According to Dalton (1989), nurses

are more worried about addictive behaviors when patients request pain medication than

adequately treating severe pain. She also found that nurses spend little time assessing the effect
of pain on the patient's daily life and do not understand the importance of pain management. A

different study by Broome, Richtsmeier, Maikler, and Alexander (1996) looked at pediatric

nurses pain practices. They found that some obstacles to adequate pain management included

knowledge deficits about pain management 83% of the time, attitudes about pain treatment 77%

of the time, and skills regarding pain management 35% of the time.
A study done by Brunier, Carson, and Harrison (1995) looked at nurse's knowledge and

attitudes about pain and found that both greatly affect the nurse's management of pain. Their

findings indicated there was a serious gap in nurses' knowledge and attitudes about pain. Very

Nonpharmacological Pain 6

few nurses felt strongly that patients can and should have a pain free state. Attendance at an

inservice on pain management in the past year increased nurses' score on the pain knowledge

survey. University prepared nurses were found to get more out of the inservice than non-
university prepared nurses and scored higher on the posttest. Respondents were asked to rate

barriers to optimal pain management and 53% of the nurses said that inadequate assessment of

pain and pain relief was a barrier. However, less than one third of the nurses said that a barrier to

pain management was the reluctance of nursing staff to administer opioids.

Another study conducted by Manworren (2000) assessed pediatric nurses' knowledge and

attitudes of pain management. They found that a lack of pain management knowledge lead to
inadequate management and treatment of pain. Some of these deficits included problems in

assessment, pharmacological management with opioids, and knowledge of how to use

nonpharmacological pain interventions.

JCAHO Standards on Pain

Pain is a serious problem that inhibits patients daily functioning and is under-treated for a

variety of reasons. Nurses' knowledge and attitudes of pain management greatly affects their
patient's treatment of pain. In August of 1999, the Joint Commission on Accreditation of

Healthcare Organizations (JCAHO) (NCS Pearson, 2003) established new standards for the

assessment and management of pain. The most recent standards were published in 2000-200 I.

The new standards state that a pain assessment should include a psychosocial assessment, a

detailed patient history, physical examination, and a diagnostic evaluation. How pain affects the

patient's functioning in daily life also needs to be addressed. A pain scale to rate pain should be
used for adults. Mazanec, Buras, Hudson, and Montana (2002) also listed other JCAHO

standards in their article on pain. They suggested all patients need to be screened for pain,

Nonpharmacological Pain 7

providers need to be educated in pain assessment and management, and the quality of pain

management must be monitored. Facilities are also required to have policies and procedures in

place to support effective pain management. Mazanec and her team suggest using an
interdisciplinary approach to pain management with patients, especially the hospice population.

Education Needs

Education and inservices that focus on a multidisciplinary approach to pain management

of nurses and physicians are necessary to meet the new JCAHO standards as well as patients'

pain needs. Currently, The National Foundation for the Treatment of Pain has a national pain

awareness campaign. People who are educated about pain wear a pin on the lapel of their shirt
and when they are asked about the pin they are supposed to inform people about the number of

people that suffer from untreated pain (NFTP, 2003). In addition to making nurses more aware

of pain management techniques, research that examines pain relief approaches needs to be

conducted (NIAMS, 2003). Research provides a broad base of knowledge necessary to advance

the diagnosis, treatment, and prevention of.many diseases. There are currently many research
projects on pain being developed by the National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and

Skin Diseases. Nonpharmacological pain management is one method of relieving pain that can

be combined with pharmacological methods. Nonpharamacological pain management should not

be overlooked when trying to correct the under-treatment of pain; however, in the United States

nonpharmacological methods are just beginning to gain popularity and not much research has

been done in this area.



Nonphannacological Pain 8

Nonpharmacological Pain Management

Complementary and Alternative Therapies


Complementary and alternative therapy, another name for nonpharmacological therapies,

use is increasing throughout the world. In one study in 1997, forty-two percent of Americans

had used at least one complementary therapy in the past year (King, Pettigrew & Reed, 1999).

Alternative therapies are used in place of mainstream medicine; however, complementary

therapies are treatments used along with more conventional medical practices (Brolinson, Price,

Ditmyer and Reis, 2001). For the purpose of this study the focus was complementary therapies
that could be used with patients in the hospital setting. According to King, Pettigrew, and Reed

(1999), nurses need to be able to assess patient's use of these alternative and complementary

therapies and be able to describe how alternative treatment interacts with traditional medicine.

However, in their study they found that many nurses do not know about complementary or

alternative therapies and there is a great need for continuing education on these alternative
options. Overall, the nurses in this study were found to hold favorable ideas about complementary

treatments being used with traditional medical practices and identified healing

touch, prayer, and biofeedback as nonpharmacological treatments for pain relief (King, Pettigrew

& Reed, 1999).

In a survey of nurses by Brolinson, Price, Ditmyer, and Reis (2001) about complementary

or alternative therapies, nurses were asked to respond to the safety of the therapies as well as their
use of them. Seventy-nine percent of nurses in this study perceived their professional education

in the area of complementary or alternative therapies to be fair or to be poor. The nurses

completing the survey recommended that complementary and alternative therapies be included in

basic baccalaureate nursing education curriculum. These nurses felt that


Nonpharmacological Pain 9

biofeedback, chiropractic, and meditation/relaxation were the three most effective

nonpharmacological therapies. Complementary and alternative therapies can be used for many

different healthcare concerns not just pain; however, there are some that are used to help treat

pain and can be implemented by nurses.

Nonpharmacological Pain Techniques and Therapies

Nonpharmacological pain management is one approach to a comprehensive method of

pain relief. They do not replace pharmacological methods of pain management and can be used

in conjunction with pharmacological pain practices to enhance the patient's relief of pain.

Nonpharmacological pain management therapies can be classified into three categories. There

are cognitive or behavioral strategies, which include distraction, relaxation, imagery, and

breathing techniques. The second category is physical or cutaneous strategies, which include

heat/cold, vibration, massage, position changes, and trans-electrical nerve stimulation (TENS).

Finally, there are environmental or emotional strategies such as touch, reassurance, or interior

decorating of the room (Polkki, Vehvilainen-Julkunen & Pietila, 2001). Sometimes these

therapies or treatment options will overlap with one category or another. According to

McCaffery and Pasero (1999), the nurse must consider many things when selecting one of these

treatment options. For example, the nurse must consider the relationship between the non-drug

and drug treatments, the patient's previous experiences, and current attitude and the patient's

coping styles.

The cognitive behavioral strategies are thought to interfere with the neural perceptions of

pain in the brain. They alter the subjective experiences of pain intensity (Titler & Rakel, 2001).

According to Titler and Rakel, distraction is directing attention away from pain by focusing

attention and concentration on something else. There are many different kinds of distraction
Nonpharmacological Pain lO

including music, humor, and movement. Those techniques require more active participation by

the person experiencing pain and are more effective in relieving pain. McCaffery ( 1990)

described a study that showed humor to be one of the most effective distraction methods to

relieve pain and the effects continued for at least ten minutes after the laughter stopped.

Relaxation is the second cognitive behavioral strategy. McCaffery and Pasero ( 1999) stated that

relaxation may work to relieve pain because of the reduced muscle tension. Relaxation

techniques included relaxation imagery, which involves a person imaging a pleasant or peaceful

experience. Others also included music, massage and slow breathing. When a person is relaxed,

their heart rate, blood pressure, and respirations decrease (Titler & Rakel, 2001). Cole and

Brunk ( 1999) compiled a literature review about the effectiveness of relaxation in relieving

pain. They found six research articles and all of them told about the positive effects of relaxation

techniques regardless of what technique was used. The patients reported having a feeling of

control over their pain when using relaxation techniques.

Cutaneous interventions such as heat or cold work according to the gate control theory of

pain transmission. Stimulation of the skin activates the large diameter nerve fibers and prevents

the short diameter nerve fibers from transmitting pain to the brain (Titler & Rakel, 2001).

Cutaneous stimulation may be applied to the site of pain or other sites distal or proximal to the

pain. According to Mccaffery ( 1990), the use of cold is almost always more effective than heat,

and alternating cold and heat is even more effective than using one thermal method alone (Titler

& Rakel, 2001). Both heat and cold cause a decrease in the sensitivity to pain or decrease

muscle spasms and that is maybe why they work to relieve pain (Titler & Rakel, 2001).

Vibration is a second type of cutaneous stimulation that causes paresthesia or anesthesia to the

area stimulated and changes sharp pain to a dull sensation. Pain relief can last for up to 30

Nonpharmacological Pain 11

minutes after the vibration is removed. The use of heat with vibration is the best cutaneous

stimulation method to relieve pain. Massage is another type of a cutaneous therapy to relieve

pain. According to Mccaffery and Pasero (1999), the back and shoulders are the areas
typically massaged. In a study of terminally ill patients, a three-minute slow back rub lowered

blood pressure indicating relaxation and less pain.

Other nonpharmacological pain management techniques identified include family

interventions. Collins and Kaslow (2000) state that family therapy may be indicated to treat

dysfunctional family interactional patterns in order to relieve pain. Education is also very

important to the pain management plan. Patients need to have education about the techniques
they are using. There are many nonpharmacological pain management therapies or techniques

that provide benefits to patients even though there is not much scientific evidence on their

exact mechanisms of action or effectiveness; but, why are they not being used?

Barriers to Using Nonpharmacological Pain Techniques

According to a study by Clarke, French, Bilodeau, Capasso, Edwards, and Empoliti


( 1996), documentation of nonpharmacologicaltreatments for pain was minimal to nonexistent.

Ninety percent of all charts audited had no use of nonpharmacological pain methods to relieve

pain documented. The respondents identified that nonpharmacological pain management

techniques was one of the areas that they received the least amount of information on, a factor

that may have prevented them from using those therapies. Another survey done by Salantera,

Lauri, Salmi, and Helenius ( 1999) identified obstacles that prevented nurses from using
nonpharmacological pain management. They found that workload, lack of proper materials, and

lack of knowledge were the three main reasons. The results showed that the areas that nurses

needed the most education on included nonpharmacological interventions to relieve pain,



Nonpharmacological Pain 12

differences between acute and chronic pain, and the anatomy and physiology of pain. In this

survey, nurses that specialized in care of children knew more about nonpharmacological pain

management than other groups of nurses.


A study by Pederson and Harbaugh ( 1995) identified lack of time and competing nursing

tasks as major barriers to using nonpharmacological techniques. Other barriers identified

included lack of distraction materials, being a stranger to the child, and nurses' lack of

knowledge. Nurses indicated that they used simpler techniques like distraction and focusing on

breathing most frequently. The barriers to optimally managing pain and using

nonpharmacological pain techniques seem to be similar to nurse's knowledge, time and


attitudes on pain management. Nurses should be educated about pain management treatment so

that the patients can receive the best care possible.

Nurses' Attitudes, Knowledge of NonpharmacologicalPain Management

In order for patients to receive the best pain management available and have the best

outcomes, nurses need to be able to combine pharmacological and nonpharmacological pain

management therapies. Nurses' knowledge and attitudes are two barriers to using
nonpharmacological pain management techniques. Research assessing these factors has been

done in Australia and Finland; however, not much has been done in the United States. A

single study done in the United States by Broome et al. (1996) found that 50% of nurses

surveyed use nonpharmacological techniques like relaxation, distraction, imagery, positioning,

and massage
'often' or 'sometimes' with the pediatric population. Another study by Kankkunen,

Vehvilainen-Julkunen, Peitila, and Halonen (2003) in Finland identified the use of

nonpharmacological pain therapies used by parents at home for their children. The most

commonly used therapies included holding the child on their lap, comforting the child, and

Nonphannacological Pain 13

spending more time with the child. Parents usually used the methods that were most familiar to

them; however, if they were taught other methods before the children left the hospital they would

use them to decrease the child's pain.


In Australia (Heimrich et al., 2001) a qualitative study was done to assess nurse's

attitudes and use of nonpharmacological pain techniques. Eighty-nine percent of the nurses said

that they had used nonpharmacological therapies on their hospitalized patients. Some of the

benefits they identified for their patients included a unique opportunity to develop a therapeutic

relationship with the patient, pain relief while waiting for a drug to work, more control over their

pain, and distraction during painful procedures. Some barriers to using these therapies included
the time needed to implement them, use of these not considered standard of practice, and lack of

resources and knowledge to implement them.

A study done by Polkki, Vehvilainen-Julkunen and Pietila (2001) in Finland looked at

nurse's attitudes and knowledge of nonpharmacologcial methods in relieving children's post-

operative pain. Only about 57% of the respondents used nonpharmacological methods to relieve
pain routinely; however, most of the nurses told the children about pain medications. Ninety-

eight percent of nurses used position changes 'nearly always' or 'always' to relieve pain, and 72

% used massage 'sometimes.' Thermal regulation was used 63% of the time 'sometimes.' The

nurses used emotional support, helping with daily activities, and creating a comfortable

environment routinely; however, the cognitive behavioral and physical methods like relaxation,

distraction, and massage were used less often and were less well known.
Summary

There are many nonpharmacological pain management strategies identified as helpful to

patients for use with pharmacological methods to relieve pain. The nonpharmacological
Nonpharmacological Pain 14

therapies and techniques have unique advantages to relieving pain that medications do not have

like giving the patient more active role in managing their pain management. However, pain is

still under-treated and there are many patients that suffer each day from uncontrolled pain. If

patients and nurses were educated about the use of nonpharmacological pain therapies in

conjunction with pain medications, their general well-being might be improved because they

would experience less pain. Nurses are the professionals most responsible for caring for

patient's pain and symptoms. As indicated in numerous studies, nurses have a significant

knowledge deficit in relation to pain management. Healthcare providers do not know about

many of the nonpharmacological methods to relieve pain. There are many barriers preventing

nonpharmacological pain therapies from being used in the hospital, some of which are

physicians' orders, physicians' approval, patient compliance, nurses' knowledge, and nurses'

acceptance. Nurses' own attitudes greatly affect the way they treat a patient's pain. There have

only been a few studies that have assessed nurses' attitudes and knowledge of

nonpharmacological pain management and none have been done in the United States. A survey

needs to be done to assess nurses' knowledge and attitudes so that deficits can be identified and

corrected with continuing education, pain seminars, or demonstrations that support patients

receiving a combination of pain management techniques to decrease their suffering.

Exploratory research to randomly survey registered nurses at BroMenn Regional Medical Center

and will explore nurses' attitudes, use, and knowledge of nonpharmacological pain management

therapies when caring for patients' in the hospital setting.


Nonpharmacological Pain 15

ChapterIII: Methodology

Study Design, Setting, and Ethics

A descriptive survey design was used to gather information to answer the research

questions from the nurses at BroMenn Regional Medical Center. A questionnaire was used as

the method of data collection because it allowed for accurate, detailed, and timely gathering of

information from a population of nurses that have little time to spare. The study recieved

Institutional Review Board approval from both Illinois Wesleyan University and BroMenn

Regional Medical Center.

Data Collection

Surveys were placed in 185 nurses' mailboxes at BroMenn Regional Medical Center.

The convenient sample included 82.2% of nurses from the units surveyed. The following units

were used to recruit nurses: Neurology (5 West), Critical Care, Step-Down (1 South),

Medical/Surgical (5 West and 6 West), Oncology (4 South), Pediatrics, Labor and Delivery, and

Post-Partum. To encourage better participation, posters were hung in all the units' break rooms

reminding nurses to get the survey from their mailbox, fill it out, and return it. I also went to

some of the units' staff meetings to inform the nurses that these surveys would be in their

mailbox and explain the purpose of the research project to them. Attending the units' staff

meetings did not seem to affect the response rate. Each person received an informed consent and

authorization to participate letter in their mailbox that they signed and returned in an envelope.

The informed consent letter told the nurses the purpose of the research project, gave a brief

background of previous research in this area, guaranteed confidentiality, explained what

participation involved, disclosed any risks or benefits, and explained that participation was

voluntary. They also received the survey with a separate envelope to enclose the completed
I

Nonpharmacological Pain 16

survey. This system maintained anonymity and confidentiality. Respondents returned the

authorization to participate and survey enclosed in a sealed enveloped to a large manila folder

that was hung in the break room of the units. Forty-eight nurses (25.9%) voluntarily returned
their surveys and informed consents. One questionnaire was returned but unusable, leaving 47

surveys to include in data analysis yielding a usable response rate of 25.4%. Due to time

constraints a second round of survey distribution was not done.

Sample

The sample included only nurses from BroMenn Regional Medical Center. There were
91.3% females and 8.7% males in the sample. For the purpose of data analysis we grouped the

units worked into five categories which included: critical care, which included critical care and

step-down (I South); medical/surgical, which included 6 West, 5 West, and neurology;

oncology, which included 4 south; pediatrics, which included pediatrics, and obstetrics; and

other which included a float. The largest group of respondents were from the medical/surgical

group, making up 48.9% of the sample. Most (46.8%) of the participants worked days. The
sample included; people in all age groups from 20-60 years of age; however, the most common

age represented was 20-29 group or 34% of the sample. Nurses with their baccalaureate degree

made up 55.3% of the sample, but those with associates degrees (23.4%), diploma (19.1%), and

master's level (2.1%)) were all represented. The years of experience was measured by the nurses

circling the range of years since their first degree. The largest range of years since their first
degree was 0-9, which was 55.3% of the nurses. For all characteristics and percentages of the

sample see Appendix A.



Nonphannacological Pain 17

Instrument

The instrument in this study included five demographic questions based on the literature

review. It also included twelve questions about nurses' general pain practices as well as
nonpharmacological pain management practices. These questions were modified from other pain

research surveys and the literature. Some of the questions included how much education do you

have on pain management, and what are some benefits to using nonpharmacological pain

management therapies. The remainder of the survey was adapted from Tarja Polkki 's

Nonpharmacological Methods Questionnaire (Polkki, Vehvilainen-Julkunen & Pietila, 2001).


Her instrument was used for nurses caring for children's post-operative pain. A few words in the

questions were changed to make the questions more applicable to all patients not just children

and to all pain not just post-operative pain. The questions ask the nurse to rate how often they

use certain nonpharmacological methods to reduce their patient's pain on a likert scale ranging

from 1-'not at all' to 5-'always.' For data analysis the questions were divided into the different

nonpharmacological method categories used to reduce pain including cognitive-behavioral


methods, physical methods, emotional support, comfortable environment, and patient family

involvement. The cognitive-behavioral methods included preparatory information, imagery,

distraction, relaxation, breathing technique, and positive reinforcement. On the adapted

instrument, this included questions 19-27. The physical methods includeD questions about

thermal regulation, massage, and positioning and are included in questions 28-30. The questions

related to a comfortable environment were number 31-33. Finally, questions 36 and 37 asked
about using family or patient involvement to reduce pain. A copy of the questionnaire has been

attached for review. See Appendix G.



Nonphannacological Pain 18

Tarja Polkki's original instrument had high content and construct validity because it was

given to 35 different Finnish nurses as well as two experts specialized in pediatric pain

management to revise. Cronbach's alpha was used to assess the reliability of the adapted
questionnaire. The alpha coefficient was .93 indicating that there is very good internal

consistency of the tool. That indicated that the items on the tool measured the same critical

attribute, which was nonpharmacological therapies.

Data Analysis

All of the information from the surveys was entered into SPSS for Windows ( 10.1)

software for analysis. Descriptive statistics frequencies were used to analyze the nominal data
and answer the first four research questions. Question 16 on the survey, which asked "how often

do you use any of the identified nonpharmacological therapies", was used to analyze the first

research question. This question answered the extent that nurses use nonpharmacological pain

management therapies. Descriptive frequencies and percentages were used for analysis. The

utilization of nonpharmacological pain methods was analyzed in two ways. Descriptive statistics

were used to determine the mean and standard deviation of the scores from the Likert scale on
each persons' survey for the different nonpharmacological categories like cognitive behavioral,

physical methods, and provide emotional support. Respondents answered what

nonpharmacological therapies they could use in the hospital setting. Answers were put into

categories and tallied to determine percentages of nurses that use the therapy. For the third

research question about the barriers to using nonpharmacological therapies, qualitative data were

analyzed from question number 18. All of the nurses' responses were grouped to see trends in
responses. The fourth research question referring to the benefits of using nonpharmacological

methods was analyzed with the qualitative data from question number 17. Trends were analyzed
Nonpharmacological Pain 19

to determine the percentages of nurses that expressed the same benefits to using

nonpharmacological therapies. The fifth research question asking how the demographic

variables affected nurses' use ofnonpharmacological methods was analyzed using a one-way

ANOVA with a Tukey post-hoc. The independent variables were the demographic information

as age, years of experience, and degree. The dependent variables were the mean scores from the

subjects' surveys on the different nonpharmacological method categories. A p-value of< .05

was considered significant. Students t-test was also used to determine if having

nonpharmacological classes was significant in nurses' use of nonpharmacological pain therapies.

ChapterIV: Results

Results

Background Questionnaire

A description of the sample is in Appendix A and the sample section of this paper. Most

(57.8%) respondents had 0-5 hours of pain education in the last 2 years. There have been many

advances in the healthcare field in the past.Z years, as well as pain management, so it is

somewhat surprising that nurses have so few hours of education in this area. When nurses were

asked where they attained most of their knowledge about pain, 80.4% said they received the

knowledge in nursing practice since graduation as opposed to formal nursing school education.

Sixty-seven percent of the participants said that they have had some classes on

nonpharmacological pain management. Of the 32.6% of nurses that said they did not have any

classes on nonpharmacological pain management, 26% said they wished they had more

education in this area. All of the nurses that completed the survey said there is a pain assessment

tool available on their unit, and all of them said they use it. Appendix B contains a detailed list of
Nonpharmacological Pain 20

frequencies relating to questions on the demographic questionnaire regarding general pain

practices and amount of pain education.

Extent Nurses Use Nonpharmacological Pain Management

Nurses were asked to circle how often they use the nonpharmacological therapies they

listed. They could choose from 'everyday', 'at least 3 times a week', 'once a week', 'once every

other week', 'once a month', and 'never.' The mode was 'at least 3 times a week.' Forty-two

percent of nurses said they used nonpharmacological pain management therapies 'at least 3 times

a week.' No one answered 'never.' See Appendix C for more information about how often

nurses use nonpharmacological pain relief techniques.

What Nonpharmacological Pain Management Therapies Nurses Utilize

Nurses were asked to write down what nonpharmacological pain management therapies

they could use in the hospital without a doctors order. The qualitative answers were analyzed.

The most common therapy mentioned was change of position (53.2%). Massage, distraction,

and heat/cold were cited by 51.1% of the nurses filling out the survey. Nurses listed many other

nonpharmacological therapies that could be used to relieve pain. This research question was also

analyzed using the mean scores for the nonpharmacological categories. According to these

descriptive statistics, nurses provide emotional support most of the time as a nonpharmacological

therapy. The mean was 3.95, which meant that nurses report using emotional support 'nearly

always' on their surveys. Interestingly, providing emotional support was the most common

nonpharmacological method used by nurses; however, no nurse listed providing emotional

support on his or her qualitative question about nonpharmacological methods used in the

hospital. An explanation for this could be that nurses believe emotional support is an integral part

of nursing in general and is not perceived as a separate nonpharmacological pain management


I

Nonphannacological Pain 21

therapy. Most of the time nurses listed cognitive behavioral methods on the qualitative question

such as distraction and imagery, which had a mean of 3.76 on the survey questions. A list of all
the nonpharmacological therapies identified by the nurses and the mean scores from each of the

categories of nonpharmacological therapies can be found in appendix D.

Barriers to Using Nonpharacological Therapies

Nurses were asked an open-ended question to identify the barriers they perceived to using

nonpharmacological pain management therapies. All of the nurses answered this question and
their responses were grouped to find common themes. The largest barrier identified by 27.7% of

the nurses responding was that the patient is unwilling to try nonpharmacological methods of

pain relief. Lack of time, lack of knowledge, and efficacy were three other barriers listed by

nurses. Appendix E includes the nurses' responses.

Benefits to Using Nonpharmacological Therapies


This research question was also analyzed by grouping responses of nurses perceived

benefits of nonpharmacological treatment. ,Nurses were asked to list any benefits to

nonpharmacological therapies and common themes were found from their responses. Fewer side

effects was listed as the most prominent benefit (40.4%). Other popular responses that nurses

wrote related to the benefits were: more patient control (19. l %), less medication needed

(12.8%), and more one on one time with the patient (10.6%). See appendix F
How Demographic CharacteristicAffectNurses Use of Nonpharmacological Therapies

A one-way ANOVA with a Tukey post-hoc was used to analyze the differences between

nurses' use of nonpharmacological therapies compared to other demographic characteristics such

as age and nursing degree. A level of .OS was considered significant. There was no statistically

significant difference between nurses' use of nonpharmacological therapies and age range,

Nonphannacological Pain 22

amount of pain education, years since first degree (experience), hours ofnonpharmacological

classes, and unit worked. Post hoc showed a statistical significance at the level ofp=.041 for the

difference between a baccalaureate degree and associates degree nurses and their use of
cognitive behavioral nonpharmacological therapies. Nurses with their baccalaureate use

cognitive behavioral methods such as distraction and imagery less than nurses with their

associate degree. Baccalaureate degree nurses reported a mean of 3.61 on the Likert type scale

for using cognitive behavioral methods, while associate degree nurses reported a mean of 4.03.

This is a surprising result; however, it might be slightly skewed because there were unequal
groups. ANOVA's are not as meaningful when used with unequal group sizes. Our sample had

many more baccalaureate degree nurses (55.3%) compared to associate degree (23.4%).

At-test t(44) = 3.527 p<.001. To further explore the data at-test was used to analyze

whether or not having classes on nonpharmacological techniques lead to a greater use of them.

The t-test was statistically significant at the level of p<.001. Participating in classes on
nonpharmacological pain management lead to the use of physical methods such as heat/cold and

change of position more often.

ChapterV: Conclusions

Discussion
This study described nurses' attitudes, knowledge and use of nonpharmacological pain

management techniques and therapies from BroMenn Regional Medical Center. Although the

sample was smaller than desired, valuable insights about nurses' use of nonpharmacological

methods were discovered. The questionnaire took 15 minutes to complete; however, our low

response rate indicated that nurses are very busy and many might not have taken the time to

Nonphannacological Pain 23

complete it. The survey allowed for the anonymity and confidentiality of the volunteers to

be maintained.
The results of the demographic questionnaire indicate that the sample was mostly young

nurses fewer than 10 years from graduation who held baccalaureate degree in nursing. The

importance of research, continuing education, and evidenced-based practice are stressed in the

baccalaureate undergraduate nursing programs and may have influenced the young baccalaureate

nurses' decision to participate in this study. Interestingly, most nurses responding had only zero
to five hours of pain education. Numerous studies in the literature review suggested that there is

a serious knowledge deficit and under-treatment of pain by nurses (Lynch, 2001; Broome et al.,

1996; Brunier, Carson & Harrison, 1995). This research project supported the conclusion

cited in the literature and indicated that more continuing education is needed in the area of pain

management in general but more specifically nonpharmacological pain management.

Nonpharmacological pain management is growing in popularity and has much potential when
managing patient's pain; however, nurses were not incorporating nonpharmacological pain

management therapies in their nursing practice.

Most nurses in this study (42.2%), conducted at BroMenn, reported using

nonpharmacological therapies 'at least 3 times a week.' When compared to the study done by

Polkki, Vehvilainen-Julkunen, and Pietila (2001) who reported that 57% of nurses used

nonpharmacological therapies routinely, the responses of nurses at BroMenn is consistent with


this study. Nurses at BroMenn did not report using nonpharmacological therapies alone but in

conjunction with medications. There are numerous nonpharmacological therapies that could be

used in the hospital setting to manage pain that nurses might not even think of as alternative

methods. For example, the survey of nurses at BroMenn asked questions about providing a
Nonpharmacological Pain 24

comfortable environment to decrease a patient's pain. Nurses did not list changing the air

temperature or interior decoration of the patients' room to be a nonpharmacological pain

management therapy; however, they indicated that they used these interventions on the Likert

scale of the instrument in this study. Nurses also indicated that they used emotional support for

the patient to manage their pain but they did not recognize this nursing interventions as a

nonpharmacological therapy.

Nurses in this study used a large number of nonpharmacological therapies to manage pain

in the hospital setting. Nurses listed the different types that they easily recalled. After analyzing

trends on nurses' lists, they seem to view nonpharmacological management needs as those things

performed outside the realm of ordinary daily activities of nursing care like imagery, distraction,

and massage. The nonpharmacological Likert scale survey asks about a variety of

nonpharmacological therapies to reduce pain that nurses did not list such as informing the patient

of a procedure, rewarding the patient, verbally comforting the patient, and changing the

environment. I believe that nurses did not list these types of things because they think of them as

activities they should do for every patient as part of routine nursing care whether the patient is in

pain or not.

Nurses have identified different benefits to using nonpharmacological therapies. Nurses

did identify barriers to performing these therapies, but if nurses and patients had more

information and knowledge about these therapies, a majority of the barriers might be eliminated.

The barriers listed by nurses in this study are similar to the barriers listed in previous studies

cited in the literature review (Clark et al., 1996; Salantera et al., 1999; Heimrich et al., 2001;

Broome et al., 1996). Nurses and patients need to understand that nonpharmacological pain

management therapies have major benefits for pain relief. Barriers need to be explored and
Nonpharmacological Pain 25

continuing education needs to be done to eliminate some of these perceived barriers. If nurses

were more educated about nonpharmacological pain management, they could be confident in

informing their patients about these techniques and have more success in managing their pain.

The t-test findings demonstrated that more knowledge about nonpharmacological pain relief

methods increased nurses' use of them. Therefore, we need to offer more opportunities to

educate nurses' so they can manage their patients' pain more effectively. More classes should be

available to nurses so they have a greater knowledge of nonpharmacological therapies and their

patients can benefit from them.

Degree held by nurses was the only variable that was found to be significant in relation to

use of nonpharmacological management therapies. This finding may be biased due to the tool

itself and the sample size. The sample size was not large enough when divided into sub-groups

and the reliability of the ANOVA findings was impacted. For example the study had 55.3%

baccalaureate degree nurses, and 23.4% associate degree nurses. BroMenn's distribution of

baccalaureate verses associate degree nurses is very similar to our sample. BroMenn currently

has 45.6% baccalaureate degree nurses, 26.7% diploma nurses, and 19.6% associate degree

nurses (MA Kirchner, April 16, 2004). The fewer number of associate degree nurses presented

data showing significant differences when compared to baccalaureate nurses.

Based on the results from this study, nurses were found to use nonpharmacological

therapies on all units of the hospital for patients in pain. Nurses indicated they used emotional

support (mean 3.94) the most, followed by providing a comfortable environment (mean 3.87).

For both of these categories of nonpharmacological pain management, nurses rated them being

used 'nearly always.' Cognitive behavioral methods are used 'nearly always' and have a mean

of 3.76. This category included interventions like informing the patient about procedures,
Nonpharmacological Pain 26

medications, and treatment, imagery, distraction, and relaxation. In this study, nurses had

positive attitudes about using nonpharmacological pain management therapies and used them

'often'. Nurses' frequent use of nonpharmacological pain management allows for the patient to

participate in managing their pain in the midst of today's complex healthcare system. If patients

learn to perform these therapies while hospitalized they will continue doing them after discharge,

making the transition to home easier.

Limitations

Limitations of the study include a small convenience sample, wording of question 15 on

the survey, categories on amount of pain education questions, adapting the original tool, and the

difference between nurses in the United States and Finland. There was a small sample size of

only 47 nurses with a response rate of25.9%. This would have been adequate for the descriptive

statistics; however, when the sample was broken into sub-groups there were not enough people

represented in each group for analysis. Most people who returned their surveys were young

nurses with their baccalaureate degree; however, that does not describe most of the nurses

working at BroMenn. This limits the generalizability of our results. If more time was available,

a second round of survey distribution might have increased the response rate. Nurses could also

have been reminded a second time to fill out the survey in their mailboxes.

A second limitation was the lack of clarity of question 15 on the survey. The question

asked what nonpharmaco]ogical pain management therapies could be used in the hospital

instead of what nonpharmacological pain management therapies do you use in the hospital. This

would have given the researcher a better idea about nurses actual practice of using

nonpharmaco]ogical therapies verses what they might do.


Nonpharmacological Pain 27

A third limitation was the categories used for the hours of pain education and the hours of

nonpharmacological pain education. The categories overlapped. For example, the choices were

"none", "0-5", and "5-1O". A clear understanding of the hours of classes nurses had was

impossible to gather. Nurses may have selected "0-5"'and had O hours instead of selecting none

because that was the socially acceptable answer.

Another limitation is that the original tool from Tarja Polkki (Polkki, Vehvilainen-

Julkunen, & Pietila, 2001) was changed to include all patients in the hospital with pain not just

post-operative pediatric patients. Making the changes altered the internal consistency of the tool.

The reliability of the original tool was really high. However, the alpha coefficient .93 for the

adapted tool was still really high. Content validity had also been done, so when the tool was

changed that was altered.

A fifth limitation is that people who respond to surveys answer with what they think is

the correct and socially acceptable response. This suggests that most nurses may realize the

importance of nonpharmacological therapies and say that they use them 'nearly always' or

'always'; however, that may be inaccurate.

A final limitation is that the original tool was used on nurses in Finland and there are

some cultural differences and differences in healthcare that might have affected the results.

Nursing practice and the importance of alternative treatment maybe different in the United States

than in Finland.

Conclusion

Nurses' from BroMenn Regional Medical Center provided valuable insight in the their

attitudes, knowledge, and use of nonpharmacological pain management therapies.

Nonpharmacologicalpain management therapies have the potential to be extremely beneficial in


Nonphannacological Pain 28

the treatment of pain, which are currently highly under utilized. Little research in the United

States has examined nurses' use of nonphannacological pain relief methods. The understanding

of nonphannacological methods is an area for continued study for nurses' pain management

practices and improving them. This study demonstrated that nurses do use nonphannacological

therapies on a regular basis with their patients in the hospital. Another area for future study is

looking at the percentage of patients who actually suffer from pain and how well nurses are

managing it. Emotional support, creating a comfortable environment, and cognitive behavioral

methods were reported to be used 'nearly always.' Associate degree nurses appear to use

nonphannacological therapies in the physical methods category more often than baccalaureate

degree nurses. An attempt needs to be made to reduce the barriers that nurses identified to using

nonphannacological therapies because benefits are numerous. Nonpharmacological education

makes a difference in nurses' use of these therapies. In order to realize the importance of using

nonphannacological therapies, nurses need more knowledge and experience using

nonpharmacological methods. ,

Nonpharmacological Pain 29

ChapterVI: Appendixes

Appendix A
S amp1e Charactenstics

Characteristic Numberof Nurses from Sample % of Sample (n=47)


Gender
Male 4 8.7

Female 42 91.3

Unit worked

Critical Care 12 25.5

Medical/Surgical 23 48.9
Oncology 5 10.6
Pediatrics 6 12.8
Other I 2.1
Shift Worked
Day 22 48.9
Evening 7 15.6
Night 15 33.3
Other l 2.1
Age Range
20-29 16 34.0
30-39 13 27.7
40-49 8 17.0
50-59 7 14.9
60+ 3 ' 6.4
Degree Received
Associate 11 23.4
Diploma 9 19.1
Baccalaureate 26 55.3
Master's I 2.1
Years of Experience
0-9 26 55.3
10-19 8 17.0
20-29 7 14.9
30-39 5 10.6
40+ I 2.1
Characteristic Frequency (n) Percent of Sample (n=47)
Amount of Pain Education

None 2 4.4
0-5 Hours 26 57.8
5-10 Hours 7 15.6
10+ Hours 10 22.2
Pain Education in School

Yes 23 48.9
No 24 51.5
Where was Pain Education

Nursing Practice 27 80.4


Nursing School 9 19.6
Any NonpharmacologicalClasses
Yes 31 67.4
No 15 32.6
Hours of Nonpharmaco/ogical Classes

0-5 Hours 18 40.0


5-10 Hours 5 11.1
10-15 Hours 3 6.7 I
15+ Hours 4 8.9
None 15 32.6
Want More Nonpharm. Education Nonphannacological Pain 30

Yes 12 26.7
No 2 Appendix
\ B 4.4
NIA Demograp
31 hi.c Pam. 68.9
Pain Tool on Unit Pracfices
Yes 47 100

Use Pain Tool on Unit

Yes 47 100

Nonpharmacological Pain 31
Appendix C
Nurses' Extent ofNonpharmacological Use
Variables Freauencv (n) Percentof Samnle (n=47)
Never 0 0
Once a Month 4 8.9
Once Everv Other Week 1 2.2
Once a Week 11 24.4
3 Times a Week 19 42.2
Everyday 10 22.2
Appendix D
Nurses 'UtTilization ofN onpharmaco ogtcaIM
ethods
Variables Frequency (n) Percentof Sample (n=47) Mean

Nonpharmacological Therapies
Listed
Position Changes 25 53.2
Massage 24 51.1
Distraction 24 51.1
Heat/Cold 24 51.1
Imazerv ' 16 34
Music 16 34
Relaxation 15 31.9
Breathing Patterns 7 14.9
Comfort 2 4
Biofeedback 2 4
Early Ambulation 1 2.1
Quiet 1 2.1
Elevation of extremity 1 2.1
Mean Scoresfrom Likert Survey
Cognitive/Behavioral Methods 3.76
Physical Methods 3.21
Emotional Suonort Methods 3.94
Comfortable Environment 3.88
Patient/Family Involvement 3.67
Nonpharmacological Pain 32
Appendix E
8 amers t o Us. mg Nonp harmaco ogica IM eth Od S
BarriersListed Frequency(n) Percentof Sample (n=47)
Patient Unwilling 13 27.7
Lack of Time 9 19.l
Lack of Knowledge 8 17.0
Efficacy 8 17
Family/Patient Want Pill 7 14.9
Hard to Measure 4 8.5
Dr./RN Unwilling 3 6.4
Pain too Severe 3 6.4
Lack of Equipment 2 4.3
Trust I 2.1
Critical Thinking I 2.1
Not As Concrete I 2.1
None l 2.1
Order Needed for Heat I 2.1
Start Pre-op I 2.1
Age of Patient I 2.1

Appendix F
8 ene fi s to Us.mg N onpharmaco gica
o IM eth O d S
Benefits Listed Frequency(n) Percentof Sample (n=47)
Less Side Effects than Medication 19 40.4
More Patient Control 9 19.1
Less Medications Needed 6 12.8
Adjunct to Medications 6 12.8
More I: l Time 5 10.6
Patient Able to do Post-Discharge 4 8.5
Comfort 4 8.5
Less expensive 4 8.5
More Available 4 8.5
Relaxing 3 6.4
Less Dependency 2 4.3
Shorter LOS I 2.1
Decrease Falls 1 2.1
Family Involved 1 2.1
Build Trust 1 2.1

Nonphannacological Pain 33

Appendix G: Demographic Questionnaire

I. Circle: Male Female


2. Identify the unit you primarily work on and the shift you work. ~~~~~~~~~

3. Circle your age range: 20-29 30-39 40-49 50-59 60+


4. Circle highest level of education: Baccalaureate Associate Diploma
Master's
List Certifications ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~-
5. Circle years since your first degree: 0-9 10-19 20-29 30-39 40+
6. Circle amount of pain education in last 2 years: None 0-5 hours 5-10 hours
more than IO hours
7. Did you feel you learned enough information on pain in school: YES NO
8. Is most of your knowledge about pain from (circle).
1. Nursing practice since graduation
2. Formal nursing school education
9. Have you had any classes in nonpharmacological pain management in either nursing
school or continuing education since graduation (circle)? YES NO
10. If you answered YES to number 9, about how many hours did you have (circle)?
0-5 hours 5-10 10-15 more than 15
11. If you answered YES to number 9 where did you attain this education?

12. If you answered NO to number 9, do you wish you had more education involving
nonpharmacological pain management (circle)? YES NO
13. Is there a pain assessment tool available for evaluating patient's pain on your unit
(circle)?
I. no
'
2. yes, what ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
( eg. Happy-Sad Face, Visual Analogue Scale, 0-10 Scale, or FLA CC
Scale)
14. If you answered YES to number 13, do you use the tool (circle)? YES NO
15. What are some nonpharmacological pain management therapies that you could use in the
hospital without a doctors order? Please list.

16. How often do you use any of the above therapies? (circle)
everyday at least 3 times a week once a week once every other week
once a month never
17. What do you think some benefits of using nonpharmacological pain management
therapies are? Please list.

18. What do you think are some barriers to using nonpharmacological pain management
therapies? Please list.
Nonphannacological Pain 34

Non-pharmacological Methods Questionnaire

The following statements pertain to the use ofnon-pharmacological methods in pain management among
your patients. In each item circle the reply alternative that best represents your own actions. Answer each item,
unless otherwise mentioned (eg. if you do not use one of the listed methods, circle the alternative I = not at all.)
Also circle one of the alternatives 1-5 in the open-ended question (other, what. _,

Reply alternatives I= not at all


2 = very seldom
3= sometimes
4 = nearly always
5 = always
Not at Very Someti Nearly Always
All seldom mes Always

19. I prepare a patient carefully for a 2 3 4 5


procedure by telling him/her about what
will be done.

20. If you circled any of the alternative 2-5 in item


19, which of the following matters do you discuss
with the patient before the procedure

20.l what kind of procedure will be done 2 3 4 5

20.2 where will the procedure be done 2 3 4 5

20.3 by whom will the procedure be done 2 3 4 5

20.4 why is it important to do the procedure 2 3 4 5

20.5 how long will the procedure last ' 2 3 4 5

20.6 preparations for the procedure


(abstaining from food, premedicatrion, etc) 2 3 4 5

20.7 type of anesthesia (general/local anesthesia) 2 3 4 5

20.8 post procedure monitoring in the unit 2 3 4 5

20.9 post procedure limitations (what can/cannot 2 3 4 5


be done by the patient)

20.10 pain medication before and after the 2 3 4 5


procedure

20.11 other methods of pain relief 2 3 4 5


other, what
21. I encourage 2 3
the patient to 4 5
think
about/imagine
pleasant and
positive matters
when s/he feels
pain

Nonpharmacological Pain 35

Not at Very Someti Nearly Always


All seldom mes Always
22. If you answered any of the alternatives 2-4 in
item 21, which of the following matters do you urge
the patient to think about

22. l a pleasant place 2 3 4 5

22.2 a nice excursion/trip 2 3 4 5

22.3 a favorite activity 2 3 4 5

22.4 other, what 2 3 4 5


23. I try to focus a patient's thoughts/attention 2 3 4 5
away from pain.

24. If you answered any of the alternative 2-5 of


item 23, which of the following things do you use
as distraction
2 3 4 5
24. l books/magazines

24.2 talking about the daily lives 2 3 4 5

24.3 playing games


' 2 3 4 5

24.4 watching television/videos 2 3 4 5

24.5 listening to music 2 3 4 5

24.6 hobby crafts 2 3 4 5

24.7 humor 2 3 4 5

24.8 other, what 2 3 4 5


25. I encourage the patient to relax different parts of l 2 3 4 5
his/her body to alleviate the sensation of pain

26 I teach the patient the correct breathing 2 3 4 5


Technique to alleviate pain (ask him/her to take deep
and slow breaths)

27. When a patient has pain, I encourage the patient 2 3 4 5


by rewarding s/he verbally (say thats/he has done well
so far)

Nonphannacological Pain 36

Not at Very Some ti Nearly Always


All seldom mes Always

28. I use thermal regulation as a method of pain relief

28.1 I use cold application to relieve pain 2 3 4 5


what
(cold pack, cold food/drink)

28.2 I use heat application to relieve pain 2 3 4 5


what
(heating pad, warm bandages)

29. I use massage to relieve pain 2 3 4 5

30. I alleviate the patient's pain by position changes 2 3 4 5


31. I spend time with the patient when s/he feels pain I 2 3 4 5

32. I verbally comfort and reassure the patient 2 3 4 5

33. I use touching as a method of pain relief (stroke 2 3 4 5


the patient's head, hold his or her hand)

34. I try to alleviate pain by making the environment 2 3 4 5


comfortable for the patient
35. If you answered any of the alternative 2-5 in item 34,
which of the following methods do you use to make
the patients environment comfortable
\

35.1 I provide a suitable room temperature and 2 3 4 5


good air conditioning

35.2 I provide the patient with a possibility to 2 3 4 5


rest by minimizing noise

35.3 I encourage family members to bring some 2 3 4 5


of the patient's belongings to the unit
(pictures, walkman, pillow)

35 .4 I think interior decoration of the unit (colors, 2 3 4 5


lighting, furniture) affects patients ability to
manage pain

35.5 other, what 2 3 4 5


36. I ask the patient to suggest ways to relieve his/her I 2 3 4 5
pain in the unit

37. I include family members in the pain 2 3 4 5


management regimen
Nonpharmacological Pain 37

References

Barrett, J. (2002, December). Pain management. Retrieved September 17, 2003, from

http://www.healthatoz.com/healthatoz/ Atoz/ency/pain _management_pr .html

Brolinson, P., Price, J., Ditmyer, M., & Reis, D. (2001). Nurses' perceptions of complementary

and alternative medical therapies. Journal of Community Health, 26(3), 175-189.

Broome, M., Richtsmeier, A., Maikler, V., & Alexander, M. (1996). Pediatric pain practices: A

national survey of health professionals. Journal of Pain and Symptom Management, 11,

312-320.

Brunier, G., Carson, G., & Harrison, D. (1995). What do nurses know and believe about

patients with pain? Results of a hospital survey. Journal of Pain and Symptom

Management, 10, 436-445.

Clarke, E., French, B., Bilodeau, M., Capasso, V., Edwards, A., & Empoliti, J. (1996). Pain

management knowledge, attitudes and clinical practice: The impact of nurses'

characteristics and education. Journal of Pain and SymptomManagement, 11, 18.

Cole, B., & Brunk, Q. (1999). Holistic interventions for acute pain episodes: An integrative

review. Journal of Holistic Nursing, 17, 384-396.

Collins, M., & Kaslow, N. (2000). Nonpharmacological mangement ofpain. Retrieved

September 17, 2003, from http://www.scinfo.org/painmgt.htm

Dalton, J. (1989). Nurses' perceptions of their pain assessment skills, pain management practices

and attitudes toward pain. Oncology Nursing Forum, 16, 225-231.

Heimrich, S., Yates, P., Nash, R., Hohman, A., Poulton, V., & Berggren, L. (2001). Factors

influencing nurses' decisions to use non-pharmacological therapies to manage patients'

pain. Australian Journal of Advanced Nursing, 19(1), 27-35.


Nonphannacological Pain 38

Kankkunen, P., Vehvilainen-Julkunen, K., Peitila, A, & Halonen P. (2003). Parents' use of

nonpharmacological methods to alleviate children's postoperative pain at home. Journal

of Advance Nursing, 41, 367-375.

King, M., Pettigrew, A., & Reed, F. (2000). Complementary,alternative, integrative: Have

nurses kept pace with their clients? Urologic Nursing, 20, 323-330.

Lynch, M. (2001). Pain as the fifth vital sign. Journal of Intravenous Nursing, 24, 85-93.

Manworren, R. (2000). Pediatric nurses' knowledge and attitudes survey regarding pain.

Pediatric Nursing, 26, 610-614.

Mazanec, P., Buras, D., Hudson, J., & Montana, B. (2002). Transdisciplinary pain management

a holistic approach. Journal of Hospice and Palliative Nursing, 4, 228-234.

McCaffery, M. (1990). Nursing approaches to nonpharmacological pain control. International

Journal of Nursing Studies, 27, 1-5.

McCaffery, M., & Pasero, C. ( 1999). Chapter nine: Practical nondrug approaches to pain.

In Pain: Clincal Manual, Mosby. ,

National Foundation for the Treatment of Pain (NFTP). (2003). National pain

awareness Campaign. Retrieved September 17, 2003, from

http://www.paincare.org/pain_awareness/index.html

National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS). (2003). Pain

research: An overview. Retrieved November 241\ 2003, from

http://www.niams.nih.gov/hi/topics/pain/pain.htm.

NCS Pearson, Inc. (2003). New JCAHO standards require pain assessment protocol. Retrieved

November 24, 2003, from

http://www.pearsonassessments.com/bridgeinggap/spring200l pl .htm

Nonpharmacol
ogical Pain
39

Pederson, C., & Harbaugh, B. (1995). Nurses' use

ofnonpharmacologic techniques with hospitalized

children. Issues in Comprehensive Pediatric

Nursing, 18(2), 91-103.

Polkki, T., Vehvilainen-Julkunen, K., & Pietila, A. (2001).

Nonpharmacological methods in relieving children's

postoperative pain: A survey on hospital nurses in

Finland. Journal of Advanced Nursing, 34, 483-492.

Salantera, S., Lauri, S., Salmi, T., & Helenius, H. (1999). Nurses' knowledge about

pharmacological and nonpharmacological pain management in children.


Journal of

Pain and SymptomManagement, 18, 289-299.

Titler, M., & Rakel, B. (2001). Nonpharmacologic treatment of pain. Critical Care
Nursing

Clinics of North America, 13, 221-229.

Von Roenn, J. (2001). Are we the barrier? Journal of

Clinical Oncology, 19, 4273-4274. Yates, P., Dewar, A.,

Edwards, H., Fentiman, B., Najman, J., Nash, R.,

Richardson, V., &

Fraser, J. (1998). The prevalence and perception of pain amongst hospital in-
patients.
Journal of Clinical Nursing, 7, 521,530.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)
APENDIKSITIS

MASYA YUNIS, S.Kep


NIM : 1614901083

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2017
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
APENDISITIS

I. Latar Belakang

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10

cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat

dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior,

medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney

yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior

superior kanan dengan pusat.


Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung

yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang

paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya

merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi

(Wilson & Goldman, 1989).


Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara

berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara

bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000

populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara

berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. menurut data epidemiologi

apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan

mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini

menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara

wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan
dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yang tinggi ini menurun

pada pria.

Pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari, pengetahuan

tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola

hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul adalah apendisitis. Maka dari itu

hendaknya lebih hati-hati ketika mengkonsumsi makanan agar tubuh tetap terjaga

sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

II. Tujuan

A.Tujuan Instruksional Umum

Setelah diberikan penyuluhan kesehatan selama 30 menit, sasaran

diharapkan mampu memahami apendisitis dan cara menghindarinya.

B. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah diberikan penyuluhan selama 30 menit sasaran mampu:

1. Menjelaskan kembali definisi apendisitis dengan benar

2. Menyebutkan sedikitnya 5 faktor yang menjadi penyebab apendisitis

dengan benar.

3. Menjelaskan komplikasi apendisitis terhadap organ tubuh lain dengan

benar.

4. Menyebutkan sedikitnya 5 gejala umum apendisitis dengan benar.

5. Menyebutkan sedikitnya 5 upaya untuk menghindari apendisitis dengan

benar.
III. Materi

1. Definisi dari apendisitis.

2. Faktor-faktor penyebab apendisitis.

3. Komplikasi apendisitis terhadap orgen tubuh lain.

4. Gejala-gejala umum apendisitis.

5. Upaya-upaya untuk menanggulangi dan mencegah apendisitis secara dini.

IV.Metode

1. Ceramah.

2. Tanya Jawab.

V.Media/Alat/Sumber

A. Media:

Leafleat

B. Alat :

Kertas dan alat tulis

C. Sumber:

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta:

Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. NANDA NIC-NOC Jilid 1.

Jogjakarta: Penerbit Mediaction.


VI. Sasaran

Pasien dan Keluarga pasien di ruang rawat inap bedah RSUD Kota Padang

Panjang

VII.Waktu

- Hari/Tanggal : Senin, 17 Juli 2017

- Jam : 14.00-14.45 WIB

VIII.Tempat

Di ruang rawat inap Bedah RSUD Kota Padang Panjang

Denah:

Penyuluh dan Media

Sasaran
IX. Rencana Evaluasi
1. Struktur:
A. Persiapan Media dan Alat
Media dan alat yang digunakan dalam penyuluhan sudah lengkap dan
dapat digunakan sesuai fungsinya.
- Poster
- Leaf Leat
B. Persiapan Materi
Materi disiapkan dalam bentuk Leafleat digunakan untuk mempermudah
penyampaian materi kepada masyarakat.
C. Undangan
Keluarga pasien di ruang ruang rawat inap Bedah RSUD Kota Padang
Panjang.
2. Proses Penyuluhan:
A. Penyuluhan kesehatan mengenai apendisitis berlangsung lancar dan
pasien dan keluarga mengerti tentang materi penyuluhan yang diberikan.
B. Selama penyuluhan dilaksanakan diharapkan terjadi interaksi yang positif
antara penyuluh dengan keluarga pasien, ditandai dengan keaktifan
keluarga pasien dalam bertanya dan adanya kemauan keluarga pasien
untuk mendengarkan dengan baik.
C. Kehadiran keluarga pasien diharapkan tidak meninggalkan ruangan saat
penyuluhan berlangsung.

3. Hasil:
A. Jangka Pendek
Peserta penyuluhan mengerti setidaknya 80% dari semua materi
yang telah disampaikan dengan kriteria:
1. Menjelaskan kembali definisi apendisitis dengan benar
2. Menyebutkan sedikitnya 5 faktor yang menjadi penyebab hipertensi
dengan benar.
3. Menjelaskan komplikasi apendisitis terhadap organ tubuh lain dengan
benar.
4. Menyebutkan sedikitnya 5 gejala umum apendisitis dengan benar.
5. Menyebutkan sedikitnya 5 upaya untuk menanggulangi apendisitis
dengan benar.

B. Jangka Panjang
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran keluarga
pasien akan bahaya apendisitis serta cara pengendaliannya yang nantinya
akan mengarah pada perubahan gaya hidup menuju ke arah yang lebih
baik sehingga dapat menurunkan angka kematian akibat komplikasi
apendisitis.

X. LAMPIRAN
1. Materi penyuluhan
2. Leaflet
3. Dokumentasi
MATERI PENYULUHAN
APENDISITIS

A. Anatomi Fisiologi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10

cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat

dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior,

medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney

yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior

superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan

melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk

kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan

parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan


simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada

apendisitis bermula disekitar umbilikus.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam

apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin

sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang

terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun

tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur

kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung

kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap

infeksi (Sjamsuhidayat, 2005).

B. Definisi

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai

cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini

mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera

untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim de Jong et al.

2005)
Diagnosa klinis intra apendisitis akut, menurut Cloud dan Boyd dapat dibagi

menjadi beberapa tingkat sesuai dengan perubahan dan tingkat peradangan

apendiks, yaitu:

1. Apendisitis Akut sederhana


Gejalanya diawali dengan rasa kurang enak di ulu hati atau daerah pusat,

mungkin disertai dengan kolik, muntah, kemudian anoreksia, malaise, dan

demam ringan. Pada fase ini seharusnya didapatkan adanya leukositosis. Pada

fase ini apendiks dapat terlihat normal, hiperemi atau oedem, tak ada eksudet

serosa.
2. Apendisitis Akut Supurativa

Ditandai dengan adanya rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,

nyeri lepas di titik Mc Burney, adanya defans muskuler dan nyeri pada gerak

aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut

disertai dengan tanda-tanda periotnitis umum, seperti demam tinggi. Bila

perforasi barn terjadi, leukosit akan pergi ke jaringan-jaringan yang meradang

tersebut, maka mungkin kadar leukosit di dalam darah dapat turun, sebab

belum sempatnya tubuh merespon kebutuhan leukosit yang tiba-tiba

meninggi. Namun setelah tubuh sempat merespon kebutuhan ini maka jumlah

leukosit akan meninggi didalam darah tepi. Apendisitis akut supurativa ini

kebanyakan terjadi karena adanya obstruksi. Apendiks dan meso apendiks

udem, hiperemi, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrino purulen.

3. Apendisitis Akut Gangrenosa


Tampak apendiks udem, hiperemis, dengan gangren pada bagian tertentu,

dinding apendiks berwama ungu, hijau keabuan atau merah kehitamann. Pada

apendiksitis akut gangrenosa ini bisa terdapat mikroperforasi.


4. Apendisitis Akut Perforasi

Pada dinding apendiks telah terjadi ruptur, tampak daerah perforasi yang

dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

5. Apendisitis Akut Abses

Abses akan timbul di fossa iliaka kanan lateral dekat cecum, retrocaecal dan

pelvis. Mengandung pus yang sangat banyak dan berbau.

C. Etiologi

Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi

menghasilkan lender 1-2 ml/hari yang normalnya dicurahkan ke dalam lumen

dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender dimuara apendiks

tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks. (wim de jong)

Menurut klasifikasi:

1. Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bacteria. Dan factor

pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu hyperplasia

jaringan limfe, fikalit (tinja atau batu), tumor apendiks, dan cacing askaris

yang dapat menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena

parasit (E.histolytica).
2. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan

bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila


serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis

tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan

parut.
3. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan

mikroskopik (fibrosis menyeluruh didinding apendiks, sumbatan parsial atau

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltrasi

sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.

D. Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri

samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau

periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang

muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa

jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini

nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatic

setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium,

tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5-

38,50C.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan

atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas

dalam, batuk, dan mengedan.


2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rectum, sehingga peristaltic meningkat,

pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).


3. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

E. Patofisiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal

oleh apendikolit, hyperplasia folikel limfoid submukosa, fekalid (material garam

kalsium, debris fekal), atau parasit (Katz, 2009).

Studi epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan

menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa

(Sjamsuhidayat, 2005).
Kondisi obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan

bakteri. Hal lain akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada

dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan imflamasi apendiks (Attasi,

2002).

Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area perium bilikan.

Dengan berlajutnya proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi

pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan

parietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce,

2009).

Dengan berlanjutnya obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan

meningkatkan tekanan interluminal dan membentuk infiltrate pada mukosa

dinding apendiks yang di sebut dengan apendisitis mukosa, dengan manisfestasi

ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan perfusi pada dinding akan

menurunkan iskemia dan nekrosis di sertai peningkatan tekanan intraluminal

yang di sebut apendisitis nekrosis, juga akan meningkatkan risiko perforasi

apendiks. Proses fagositosis respons perlawanan pada bakteri memberikan

manifestasi pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen

apendiks yang di sebut dengan apendisitis supuratif.

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan unuk membatasi proses

peradangan ini dengan cara menutup apendiks dengan omentum dan usus halus

sehingga terbentuk masa periapendikular yang secara salah dengan istilah

infiltrate apendiks. Pada bagian dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa

abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang dan

selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan risiko terjadinya

perforasi dan pembentukan massa periapendikular. Perforasi dengan cairan

inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons

inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apa bila perforasi

apendiks disertai material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local

akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan respons peritonitis.

Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba

datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes laboratorium

Uji laboratorium dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis apendisitis atau

menemukan penyebab lain dari sakit perut.

2. Tes darah
Sebuah tes darah melibatkan menggambar darah seseorang di kantor

penyedia layanan kesehatan atau fasilitas komersial dan mengirim sampel

ke laboratorium untuk analisis. Tes darah dapat menunjukkan tanda-tanda

infeksi, seperti jumlah sel darah putih yang tinggi. Tes darah juga dapat

menunjukkan dehidrasi atau cairan dan ketidakseimbangan elektrolit.

Elektrolit adalah bahan kimia dalam cairan tubuh, termasuk natrium,

kalium, magnesium, dan klorida.


3. Urinalisis
Urinalisis adalah pengujian sampel urin. Sampel urin dikumpulkan dalam

wadah khusus di kantor penyedia perawatan kesehatan, sebuah fasilitas

komersial, atau rumah sakit dan dapat diuji di lokasi yang sama atau dikirim

ke laboratorium untuk analisis. Urinalisis digunakan untuk menyingkirkan

infeksi saluran kemih atau batu ginjal.


4. Tes kehamilan
Penyedia layanan kesehatan juga dapat memerintahkan tes kehamilan bagi

wanita, yang dapat dilakukan melalui darah atau urin tes.

Tes pencitraan dapat mengkonfirmasi diagnosis apendisitis atau menemukan

penyebab lain dari sakit perut.

1. USG abdomen
USG menggunakan perangkat, yang disebut transducer, yang memantul

aman, gelombang suara menyakitkan off organ untuk membuat gambar

struktur mereka. Transduser dapat dipindahkan ke sudut yang berbeda untuk

membuatnya mungkin untuk memeriksa yang berbeda organ. Di USG perut,

penyedia perawatan kesehatan berlaku gel ke perut pasien dan bergerak

tangan memegang transduser atas kulit. Gel memungkinkan transduser

untuk meluncur dengan mudah, dan itu meningkatkan transmisi sinyal.

Prosedur ini dilakukan di kantor penyedia perawatan kesehatan, pusat rawat

jalan, atau rumah sakit oleh teknisi terlatih khusus, dan gambar yang

ditafsirkan oleh dokter ahli radiologi yang mengkhususkan diri dalam

pencitraan medis. Anestesi tidak diperlukan. USG perut menciptakan

gambar dari usus buntu dan dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan,

usus buntu pecah, penyumbatan dalam lumen apendiks, dan sumber-sumber


lain dari sakit perut. USG adalah tes pencitraan pertama dilakukan untuk

tersangka usus buntu pada bayi, anak-anak, orang dewasa muda, dan wanita

hamil.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mesin MRI menggunakan gelombang radio dan magnet untuk menghasilkan

detil gambar organ tubuh dan jaringan lunak tanpa menggunakan sinar x.

Prosedur ini dilakukan di pusat rawat jalan atau rumah sakit oleh khusus

dilatih teknisi, dan gambar yang ditafsirkan oleh ahli radiologi. Anestesi

tidak diperlukan, meskipun anak-anak dan orang-orang yang takut ruang

terbatas dapat menerima sedasi ringan, diambil melalui mulut. MRI

mungkin termasuk suntikan pewarna khusus, yang disebut media kontras.

Dengan sebagian besar mesin MRI, orang terletak di atas meja yang slide

menjadi perangkat terowongan berbentuk yang mungkin terbuka atau

tertutup berakhir di salah satu ujung; beberapa mesin yang dirancang untuk

memungkinkan orang untuk berbaring di tempat yang lebih terbuka. MRI

dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan, usus buntu pecah,

penyumbatan dalam lumen apendiks, dan sumber-sumber lain dari sakit

perut. MRI digunakan untuk mendiagnosis usus buntu dan sumber-sumber

lain dari sakit perut yang aman, alternatif yang handal untuk computerized

tomography (CT) scan.


3. CT scan. CT scan menggunakan kombinasi sinar x dan teknologi komputer

untuk membuat tiga-dimensi (3-D) gambar. Untuk CT scan, orang tersebut

dapat diberikan solusi untuk minum dan suntikan media kontras. CT scan

membutuhkan orang untuk berbaring di meja yang slide ke perangkat


terowongan berbentuk di mana sinar x diambil. Prosedur ini dilakukan di

pusat rawat jalan atau rumah sakit oleh teknisi x-ray.

G. Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%

sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,0C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen

yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

H. Penatalaksanaan

Tata laksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi.

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Teknik

laparoskopik, apendektomi laparoskopik sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca

bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi

luka yang lebih rendah. Akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra

abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu di kerjakan untuk

diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.

(Birnbaum BA).

I. Pencegahan

Apendisitis atau peradangan usu buntu merupakan penyakit yang tidak bisa

dicegah. Hanya saja bagi orang yang mengkonsumsi serat yang cukup akan

membantu mengurangi penyumbatan pada usus buntu. Oleh karenanya penting

bagi kita untuk selalu menyediakan makanan berupa sayur-sayuran dan buah-
buahan yang segar agar kita memperolah cukup serat. Tindakan pencegahan

sebenarnya lebih menekankan pada kehati-hatian dalam melihat gejala, bila sudah

timbul berbagai gejala maka segera memeriksakan keadaan tubuh.

EVALUASI (POST TEST)

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan benar dan tepat!


1) Apakah yang dimaksud apendisitis?
2) Sebutkan faktor-faktor penyebab apendisitis!
3) Apa sajakah komplikasi yang dapat terjadi akibat apendisitis?
4) Sebutkan gejala-gejala yang biasanya dirasakan para penderita apendisitis!
5) Sebutkan minimal 5 upaya untuk mencegah dan menanggulangi apendisitis
secara dini!

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. NANDA NIC-NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Penerbit Mediaction.
APENDICITIS PENGERTIAN MACAM-
Apendiks adalah peradangan
akibat infeksi pada usus buntu atau MACAM
umbai cacing (apendiks). Infeksi ini
bisa mengakibatkan pernanahan. Bila APENDICITIS
OLEH : infeksi bertambah parah, usus buntu
itu bisa pecah. Usus buntu merupakan Appendicitis akut, dibagi atas :
MASYA YUNIS, S.Kep saluran usus yang ujungnya buntu dan
Appendicitis akut fokalis
NIM : 1614901083 menonjol dari bagian awal usus besar
atau sekum (cecum). atau segmentalis,yaitu
setelah sembuh akan timbul
striktur local. Appendicitis
purulenta difusi,yaitu sudah
bertumpuk nanah.
PRODI PROFESI NERS
Appendicitis kronis, dibagi
STIKES FORT DE KOCK atas : Appendicitis kronis
fokalis atau parsial
BUKITTINGGI yaitu,setelah sembuh akan
timbul stiktur
2017
local.Appendicitis kronis
obliteritiva yaitu,appendiks
miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.
PENYEBABNYA TANDA DAN CARA
PENCEGAHAN
Infeksi bakteri. GEJALA
Mengkonsumsi makanan yang
Hjmnsaa
Faktor penyumbatan pada
Faktor Anoreksia biasanya tanda pertama. mengandung banyak/kaya serat
lapisan saluran (lumen) oleh seperti : sayur-sayuran ,buah-
Rasa nyeri yang dimulai dari bagian buahan kecuali buah jambu biji.
tujnja yang keras.
tengah perut dan berpindah
Pembesaran jaringan limfoid. kebagian bawah sebelah kanan MAKANAN DAN MINUMAN
perut, dengan perut kaku seperti YANG DI HINDARI
Penyakit cacing ( cacing
papan. Makanan dan minuman yang
ascaris).
tidak dihanjurkan seperti :
Susah berjalan karena nyeri pedas,berminyak,biji-bijian,
Benda asing dalam tubuh seperti
minuman dingin,minuman
biji-bijian. Nafsu makan hilang, mengandung kafein

Erosi mukosa apendiks karena Terjadinya konstipasi


parasit E. Histolytica.
Terjadinya diare
Cancer primer dan striktur.
Bagian kiri bawah perut terlalu lunak
Infeksi kuman dari colon yang untuk disentuh, diperkirakan
paling sering adalah E. Coli dan bagian perut mengalami
streptococcus. peradangan.

Demam subfebril.
PENYEBABNYA TANDA DAN GEJALA CARA
PENCEGAHAN
Infeksi bakteri. Anoreksia biasanya tanda pertama.
Mengkonsumsi makanan yang
Faktor penyumbatan pada Rasa nyeri yang dimulai dari bagian mengandung banyak/kaya serat
seperti : sayur-sayuran ,buah-
lapisan saluran (lumen) oleh tengah perut dan berpindah
buahan kecuali buah jambu biji.
tujnja yang keras. kebagian bawah sebelah kanan
perut, dengan perut kaku seperti
Pembesaran jaringan limfoid. MAKANAN DAN MINUMAN
papan. YANG DI HINDARI
Penyakit cacing ( cacing
Susah berjalan karena nyeri Makanan dan minuman yang tidak
ascaris). dihanjurkan seperti :
Nafsu makan hilang, pedas,berminyak,biji-bijian,
Benda asing dalam tubuh minuman dingin,minuman
seperti biji-bijian. Terjadinya konstipasi mengandung kafein

Erosi mukosa apendiks karena Terjadinya diare


parasit E. Histolytica.
Bagian kiri bawah perut terlalu lunak
Cancer primer dan striktur. untuk disentuh, diperkirakan
bagian perut mengalami
Infeksi kuman dari colon yang
peradangan.
paling sering adalah E. Coli dan
streptococcus. Demam subfebril.

Anda mungkin juga menyukai