Anda di halaman 1dari 50

TUGAS AKHIR NERS

STUDI KASUS : PENGARUH ANAESTHESIA EDUCATION


CARD UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA PASIEN
PRE OPERASI DI RUANG INDUKSI
INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

KARYA TULIS ILMIAH NERS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Ners

Oleh :
STEPHEN FERLIUS
P1337420918139

PRODI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

KARYA TULIS ILMIAH


PENGARUH ANAESTHESIA EDUCATION CARD UNTUK
MENGURANGI KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI
RUANG INDUKSI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada uji


Karya Tulis Ilmiah

Oleh :
STEPHEN FERLIUS
P1337420918139

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Elisa, S.Kep, Ns, M.Kep Ns.Farida Nur Ifada,S.Kep


NIP. NIP.04930396

ii
LEMBAR PERSETUJUAN PELAKSANAAN
KARYA TULIS ILMIAH

NAMA MAHASISWA : KARISMA SUPRILIYANTI


NIM : P1337420917013
TANGGAL UJIAN : 28 Agustus 2018
PROGRAM STUDI : PROFESI NERS
JUDUL : MENERAPKAN MODIFIED EARLY
WARNING SYSTEM (MEWS) UNTUK MENINGKATKAN
PATIENT SAFETY PADA PASIEN POST OPERASI DI
RECOVERY ROOM INSTALASI BEDAH SENTRAL RS
PANTIWILASA CITARUM SEMARANG

TELAH DIREVISI, DISETUJUI OLEH TIM PENGUJI/ TIM PEMBIMBING

NO NAMA PENGUJI TANDA TANGAN

1. Elisa,S.Kep,Ns,M.Kep 1.

2. Ns.Farida Nur Ifada, 2.

Semarang, 28 Agustus 2018


Mengetahui,

Nina Indrawati, MNS Ns.Kuswiandarni,S.Kep


NIP.19730817 199803 2 003 NIP.04930396
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

iii
PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

MENERAPKAN MODIFIED EARLY WARNING SYSTEM (MEWS)


UNTUK MENINGKATKAN PATIENT SAFETY PADA PASIEN POST
OPERASI DI RECOVERY ROOM INSTALASI BEDAH SENTRAL
RS PANTIWILASA CITARUM SEMARANG

Oleh :
Karisma Supriliyanti
NIM P.1337420917013
Tahun 2018
Telah diuji dan disahkan dihadapan Dewan Penguji Prodi Profesi Ners Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang pada Hari Selasa, Tanggal 28
Agustus 2018
Dewan Penguji

Dina Indrati DS,S.Kep,Ns,M.Kep,Sp.Mat Ketua (..............................)


NIP.19700421 199403 2 001

Nina Indrawati, MNS Anggota (.............................)


NIP.19730817 199803 2 003

Ns.Kuswiandarni,S.Kep Anggota (.............................)


NIP.04930396

Mengrtahui,
a.n. Direktur
Ketua Jurusan keperawatan

Putrono. S.Kep. Ns, MKes


NIP. 196108030989031005

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur senatiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi Kasus yang berjudul “Menerapkan Modified Early Warning
System (Mews) Untuk Meningkatkan Patient Safety Pada Pasien Post Operasi Di
Recovery Room Instalasi Bedah Sentral Rs Pantiwilasa Citarum Semarang”
Penyusunan Studi Kasus ini merupakan salah satu bagian Ujian Akhir Program
untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan program Profesi
Ners Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Program Studi
Profesi Ners Keperawatan Semarang Tahun Akademik 2018.

Dalam penyusunan Proposal Studi Kasus ini penulis banyak menghadapi


masalah dan hambatan. Namun, berkat bantuan dan arahan dari berbagai pihak
penulis dapat menyelesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada :

1. Bapak Warijan,S.Pd.,A.Kep., M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan


Kementerian Kesehatan Semarang.
2. Bapak Putrono,S.Kep.,Ns.,M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Semarang Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang.
3. Ibu Kurniati Pujilestari,S.Kp.,M.Kes selaku Ketua program Studi Profesi
Ners Keperawatan Semarang.
4. Ibu Nina Indrawati, MNS selaku Dosen Pembimbing 1 yang selalu
bersedia memberikan waktu dan ilmunya dalam bimbingan Studi Kasus.
5. Ibu Ns.Kuswiandarni,S.Kep selaku Pembimbing 2 yang selalu bersedia
memberikan waktu dan ilmunya dalam bimbingan Studi Kasus.
6. Seluruh dosen dan Karyawan Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Semarang Program Studi Profesi Ners Keperawatan Semarang.
7. Seluruh keluarga, bapak (Joko Suprayitno), ibu (Siti Yuliah) dan kakak
(Aprilia Titik Fitriyana) .yang senantiasa memberikan doa, motivasi dan
dukungan penuh dalam pembuatan Studi Kasus.

v
8. Syair mahfud yang senantiasa memberikan dukunga, doa dan semangat
dalam pembuatan studi kasus
9. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu memberikan semangat dan dukungan
dalam pembuatan Studi Kasus.
10. Teman-teman profesi Ners angkatan 2 yang telah menjadi bagian dari
keluarga baru, dukungan serta kerjasama selama ini.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penulisan Studi Kasus ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa Studi Kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
masih terdapat banyak kekurangan yang penulis belum atau tidak sadari. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga Studi Kasus ini
bermanfaat dan ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan profesi
keperawatan.

Semarang, 28 Agustus 2018

Karisma Supriliyanti

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PELAKSANAAN KTI ......................................................... iii

PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ v

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1


B. Tujuan ......................................................................................................................... 3
C. Manfaat ....................................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 5

1. Definisi post operasi .................................................................................................... 5


2. Tahap keperawatan pasca operasi ............................................................................... 6
3. Penatalaksanaan di recovery room .............................................................................. 8
4. Tatalaksana pasca operasi di recovery room ............................................................... 14
5. Tujuan perawatan pasca operasi di recovery room ..................................................... 18
6. Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik................................................. 19
7. Management patient safety di recovery room ............................................................. 23
8. Pemantauan pasca operasi dengan Aldrete skor.......................................................... 25
9. Modified early warning system (MEWS) .................................................................... 27
10. Bagaimana penanganan pada pasien dengan menggunakan tabel MEWS ................ 30
11. Kriteria pada setiap point MEWS ............................................................................... 31
12. Study di RS Pantiwilasa Citarum Semarang ............................................................... 35

vii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 36

A. Rancangan solusi yang ditawarkan ............................................................................. 36


B. Target dan luaran ......................................................................................................... 36
C. Desain Penelitian ......................................................................................................... 37
D. Populasi dan Sampel ................................................................................................... 37
E. Waktu dan tempat ........................................................................................................ 38
F. Alat Penelitian ............................................................................................................. 38
G. Langkah-langkah Penelitian ........................................................................................ 38
H. Instrumen Penelitian .................................................................................................... 39
I. Definisi Operasional .................................................................................................... 39
J. Etika Penelitian............................................................................................................ 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 42

BAB V PENUTUP ............................................................................................................ 52

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran

viii
ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Patient safety atau keselamatan pasien merupakan salah satu isu
utama pelayanan kesehatan yang jauh lebih penting dari pada sekedar
efisiensi pelayanan. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi
sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien (HIPKABI, 2011). Kamar
bedah merupakan suatu unit yang memberikan proses pelayanan
pembedahan yang banyak mengandung resiko dan angka terjadinya kasus
kecelakaan di kamar operasi sangat tinggi, jika dalam pelaksanaannya
tidak memperhatikan pasien, kesiapaan pasien, prosedur maka pasien akan
cedera. Begitu juga dengan ruang pemuliah atau recovery room yang
ditujukan bagi pasien post operasi yang harus dipantau secara signifikan
dalam pemulihan karena jika tidak ditangani dengan baik masalah yang
timbul maka akan mengakibatkan cidera bagi pasien dan berakibat fatal
karena kondisi pasien yang masih dibawah pengaruh anastesi (West
Suffolk Hospital NHS Trust,2013)
Early Warning Score (EWS) adalah sistem penilaian terstruktur
dengan kriteria yang terukur dan obyektif, yang membantu pemberi
asuhan keperawatan untuk mengidentifikasi pasien kritis yang terbaring di
tempat tidur berdasarkan parameter fisiologis seperti denyut jantung,
tekanan darah sistolik, suhu, respirasi, tingkat kesadaran dan jumlah urin.
Modified Early Warning System (MEWS) adalah sistem beberapa
parameter, yang berarti bahwa nilai tertentu ditetapkan untuk parameter
vital yang menyimpang. Jika jumlah dari nilai-nilai ini melebihi nilai
tertentu, maka petugas medis perlu meminta bantuan.(Lectoraat Akut
Intensieve Zorg, 2018). MEWS menggunakan skor AVPU (alert=waspada,
verbal=verbal, reactive to pain=respon nyeri, unresponsive=tidak responsif)
untuk evaluasi kesadaran, dan empat parameter fisiologis yaitu tekanan

1
darah sistolik (mmHG), denyut jantung (stroke / menit), frekuensi
pernapasan (napas ) / menit) dan suhu (° Celsius) (West Suffolk Hospital
NHS Trust,2013).
Di rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang didaptkan sebanyak
745 pasien di bulan Juli 2018 masuk ke ruang instalasi bedah sentral untuk
dilakukan tindakan pembedahan, baik pasien dengan general anastesi
ataupun spinal anastesi, pasien dengan post operasi atau pasca bedah yang
sudah dinyatakan stabil oleh dokter anastesi akan dipindah ke recovery
room untuk selanjutnya dilakukan pemantuan kembali secara detail dan
signifikan, dimana pemantauan bertujuan untuk mendeteksi adanya
ketidaksetabilan kondisi pasien post operasi sehingga dapat dilakukan
pecegahan secara dini atau penanganan yang tepat untuk menghindari
masalah keperawatan yang dapat membahayakan keselamatan pasien post
operasi. Dari hasil penelitian Maike Raasing & Nicole Veekens (2018) di
rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang, saat ini tidak ada metode yang
digunakan untuk pengenalan dini dan pengobatan pasien yang sangat
terancam. Sementara beberapa studi internasional menunjukkan bahwa
pengakuan dini dan pengobatan pasien yang terancam secara vital dapat
mengurangi angka kematian dan pengurangan jumlah resusitasi
Dari hasil pengamatan yang dilakukan bahwa rumah sakit
Pantiwilas Citarum Semarang belum menerapkan metode MEWS di
recovery room, perawat yang bertugas di recovery room hanya
menggunakan metode aldrete score untuk menentukan apakah pasien
sudah bisa kembali ke ruangan atau perlu dilakukan pemantauan lebih
lama di recovery room, tentu hal tersebut perlu diperhatikan mengingat
bahwa recovery room merupakan salah satu sasaran dari patien savety
yang sangat beresiko mengalami cidera bahkan kematian, dari hasil
wawancara yang dilakukanpun masih banyak perawat yang belum
mengetahui tentang apa itu MEWS dan bagaimana cara menerapkan pada
pasien, kemudian seberapa efektifkah penerapan MEWS bagi pasien di
recovery room. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Chirag Mathukia

2
(2015) bahwa penerapan MEWS dapat menurunkan angka code blue di
rumah sakit dengan angka menurun dari 2,3% pada tahun 2011 menjadi
1,5% pada tahun 2013.
Berdasarkan data dan latar belakang di atas penulis tertarik untuk
menerapkan modified early warning system (mews) untuk meningkatkan
patient safety pada pasien post operasi di recovery room instalasi bedah
sentral RS pantiwilasa citarum Semarang

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery room
instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
2. Tujuan khusus
a. Menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety
b. Mengobservasi intervensi modified early warning system (mews)
untuk meningkatkan patient safety

C. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini :
1. Responden
a. Mencegah dan mengurangi angka kejadian yang tidak diinginkan
pada pasien post operasi di recovery room
2. Instalasi Rumah Sakit
a. Meningkatkan kinerja perawat dalam menerapkan modified early
warning system (mews) untuk meningkatkan patient safety pada
pasien post operasi di recovery room instalasi bedah sentral RS
pantiwilasa citarum Semarang
b. Menambah wawasan dan pengetahuan perawat dalam
menerapkan modified early warning system (mews) untuk

3
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery
room instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
3. Institusi Pendidikan
a. Tambahan untuk referensi yang dapat digunakan untuk studi kasus
selanjutnya.
4. Peneliti
a. Suatu dasar untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman
menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery
room instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
1. Definisi post operasi
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir
sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Tiga fase
operasi dalam pelaksanaan prosedur safety surgical yaitu sign in, time
out, dan sign out.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara
rutin dikelola di ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga
Post Anesthesia Care Unit (PACU). Idealnya adalah bangun dari
anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan pengawasan
dan pengelolaan secara ketat sampai dengan keadaan stabil. Prosedur
pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah,
maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi
umum ataupun anestesi regional terlebih dahulu dirawat di ruang
pemulihan sebelum pindah keruang perawatan atau langsung dirawat
di ruang intensif.
Ruang pemulihan adalah ruangan yang berdekatan dengan
kamar operasi untuk merawat pasien pasca operasi yang masih
dibawah pengaruh anestesi. Di ruang ini dokter bedah, anestesi dan
perawat memantau keadaan pasien setelah menjalani operasi.
Penciptaan PACU telah secara signifikan dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas yang terkait dengan anestesi dan pembedahan. Dalam
penelitian selama 10 tahun terakhir, telah melihat peningkatan dalam
jumlah prosedur, kompleksitas prosedur, dan status ASA (American
Society of Anesthesiology). Prosedur bedah yang lebih kompleks yaitu

5
dalam jangka waktu hingga 6 jam yang sekarang sedang dilakukan
pada pasien sakit.
Potensi komplikasi yang mengancam jiwa biasanya terjadi
dalam beberapa jam pertama setelah anestesi atau operasi. Ini
didukung oleh hasil analisis ASA. Mekanisme yang paling umum dari
cedera ini adalah peristiwa pernapasan pada periode pasca operasi.
Selanjutnya, peristiwa ini dianggap dapat dicegah dengan melihat
denyut nadi dalam periode pemulihan. Oleh karena itu, yang mengenai
semua pasien dari jenis anestesi setelah selesainya operasi harus
dirawat diruang pemulihan. Setelah efek anestesi mulai hilang, pasien
kemudian dapat dipindahkan keluar dari ruang pemulihan atau ke
bangsal ( Harvina Dwi, 2013 )

2. Tahapan Keperawatan Pasca Operasi


Maid etal, (2011) membagi perawatan pasca-operasi meliputi
beberapa tahapan, diantaranya adalah:
a. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan
atau unit perawatan pasca-operasi (RR: Recovery Room)
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan
itu diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan
pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap
kali pasien pasca operatif dipidahkan. Selain itu pasien diposisikan
sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien
digerakkan dari satu posisi ke posisi lainnya. Posisi litotomi ke
posisi horizontal atau dari posisi lateral ke posisi terlentang.
Pemindahan pasien yang telah dianastesi ke brankard dapat
menimbulkan masalah gangguan vaskuler. Pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien

6
dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasien yang
basah (karena darah atau cairan lainnnya) harus segera diganti
dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi.
Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti
dan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side-rail harus
dipasang untuk mencegah terjadi resiko injuri, untuk
mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan
peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Proses transportasi ini merupakan
tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesia dengan
koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.
b. Perawatan pasca-operasi di ruang pemulihan
Pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar
(recovery room: RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
Perbandingan perawat-pasien saat pasien dimasukkan ke RR
adalah 1:1 (Baradero et al, 2008)Alat monitoring yang terdapat di
ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi
pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu
pernafasan: oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan
bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction.
Selain itu, di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan
untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk
mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti: apparatus tekanan
darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set
pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan
balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set
kateterisasi dan peralatan drainase.
Pasien pasca-operasi juga harus ditempatkan pada tempat
tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi

7
pasien, seperti: pemindahan darurat. Kelengkapan yang digunakan
untuk mempermudah perawatan, seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan
perawatan. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan
kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari RR adalah: fungsi
pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan
saturasi oksigen yangadekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk
tekanan darah, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang,
haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah
dalam kontrol, nyeri minimal (majid etal, 2011).

3. Penatalaksanaan di ruang pemulihan (recovery room)

Diagram 1.2
Bruner & Sudart (2012)

Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post


Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan

8
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi
sampai dengan keadaan umum pasien stabil.
Monitoring setelah operasi perlu dilakukan setelah pasien
menjalani operasi pembedahan diantaranya pengamatan, pemantauan,
pemeriksaan, pencatatan, dan pelaporan dimana semuanya harus
dilakukan secara cepat, benar dan teliti untuk menghindari
kemungkinan cidera atau bahkan kematian yang akan terjadi pada
pasien post opeasi di recovery room. Pada saat pasien berada diruang
pemulihan perlu dicegah dan ditanggulangi keadaan-keadaan yang ada
sehubungan dengan tindakan anestesi yaitu dengan melakukan tehnik
pemeriksaan B1 sampai B6 (Bruner & Sudart, 2012) antara lain :
a. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi) (Bruner & Sudart, 2012)
1) Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
2) Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho
vesikuler.
3) Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan
adanya atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
4) Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang
melalui sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
5) Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas
dan peningkatan usaha napas)
6) Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
7) Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan
kesimetrisannya.
8) Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pnemotoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat.

9
9) Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari
otot-otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakan dinding dada.
10) Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis
kronik dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning
hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis
akut; sputum yang mengandung darah dapat menunjukan
adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.
11) Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan
panjangnya tube yang berada di luar.
12) Parameter pada ventilator Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB. Perubahan pada uduma fidal
menunjukan adanya perubahan status ventilasi penurunan
volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan
peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya
peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.

b. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi) (Bruner & Sudart,


2012)
1) Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
2) Distensi Vena Jugularis
3) Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari
penggunaan ventilator
4) Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung

10
5) Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah.
Biasanya terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
6) Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
7) Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa.
Aritmia dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
8) PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran
lokasi menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien
hipoksemia kronis.
9) Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

c. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik) (Bruner & Sudart, 2012)


1) Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan
respirator dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang
menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu
skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif
respon pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai
adalah : Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon
verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan
respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat
kesadaran dibedakan menjadi :
a) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.

11
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran
menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal. Stupor (soporo koma), yaitu
keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
e) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak
ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada
respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari
berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia
otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di
dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya
hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami
injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal
dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah
satu bagian dari vital sign.

12
d. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria) (Bruner
& Sudart, 2012)
1) Kateter urin
2) Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine.
3) Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
4) Distesi kandung kemih

e. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal) (Bruner


& Sudart, 2012)
1) Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut
atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
2) Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi
pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising
usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi
akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
3) Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat
diketahui dengan memeriksa adanya gelombang air pada
abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat
perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.
Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan
respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid
yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya
pemasukan makanan.

13
4) Nyeri
Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
5) Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
6) Mual dan muntah.

f. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen) (Bruner & Sudart, 2012)


1) Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan
menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga,
hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan
membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu
lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat,. Warna kemerahan pada
kulit dapat menunjukan adanya demam, infeksi. Pada pasien
yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat
gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak
steril.
2) Integritas kulit
3) Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus

4. Tatalaksana pasca operatif di Ruang Pemulihan


Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai
setelah pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari
pengaruh anestesia. Risiko pasca anestesi dapat di bedakan
berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca

14
anestesia/bedah dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :
( Apriliana, 2013 )
a. Kelompok I
Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan
gangguan hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu
napas kendali pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk
dalam kelompok ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif
pasca anestesia/bedah tanpa menunggu pemulihan di ruang
pulih.
b. Kelompok II
Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk
dalam kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah
adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga
keadekuatan respirasinya dan kestabilan kardiovascular.
c. Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi
respirasinya tetapi harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia,
nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali
pulang

Terdapat 3 tahap dalam keperawatan periopertif :


a. Fase pre operatif
Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari
perawatan perioperatif yang dimulai ketika pasien diterima
masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien
dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan.
b. Fase intar operatif
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau
dipindahkan ke instalasi bedah dan berakhir saat pasien

15
dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath,
pemberian medikasi intaravena, melakukan pemantauan
kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh :
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi,
atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja operasi
dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan
tubuh.
c. Fase post operatif
Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari
perawatan pre operatif dan intra operatif yang dimulai ketika
klien diterima di ruang pemulihan pasca anaestesi dan
berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
di rumah. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada
fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan
dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah ( Apriliana, 2013 )

Pemindahan pasien dilaksanakan dengan hati-hati mengingat :


a. Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh
anestesia, posisi kepala diatur sedemikian rupa agar
kelapangan jalan napas tetap adekuat sehingga ventilasi
terjamin.
b. Apabila dianggap perlu, pada pasien yang belum bernapas
spontan, diberikan napas buatan.
c. Gerakan pada saat memindahkan pasien dapat menimbulkan

16
atau menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan
bisa terjadi dislokasi sendi.
d. Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok
atau hipotensi.
e. Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat
sedemikian rupa agar aliran darah dari daerah tungkai ke
proksimal lancar.
f. Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap
berfungsi dengan baik atau tidak lepas.
g. Tidak perlu mendorong kereta tergesa-gesa karena hal
tersebut dapat mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas
operasi, perubahan posisi kepala, sehingga dapat
menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau regurgitasi
( Apriliana, 2013 )

5. Tujuan perawatan pasca anestesia/pembedahan di ruang


pemulihan

a. Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan


kesehatan fisiologi dan psikologi antara lain: Mempertahankan
jala napas, dengan mengatur posisi, memasang sunction
dan pemasangan mayo/gudel
b. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberiam bantuan
napas melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.
c. Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan
pemberian cairan plasma ekspander.
d. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui
keadaan pasien, seperti kesadaran. Vomitus atau muntahan mungkin
saja terjadi akibat pengaruh anestesia sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk
dilakukan observasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami

17
pasien.
e. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan. Cairan
harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi
akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang mengakibatkan
menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi
eleminasi pasien.
f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri
Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada
tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya
sangat dirasakan pasien diperlukan intervensi keperawatan yang
tepat juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok
nyerinya

6. Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik


a. Kesadaran
Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu
penyulit yang sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor
penyulit yang sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor yang
terlibat dalam penyulit ini. Apabila hal ini terjadi diusahakan
memantau tanda vital yang lain dan mempertahankan fungsinya
agar tetap adekuat. Disamping itu pasien belum sadar tidak
merasakan adanya tekanan, jepitan atau rangsangan pada anggota
gerak, mata atau pada kulitnya sehingga mudah mengalami cedera,
oleh karena itu posisi pasien diatur sedemikian rupa, mata ditutup
dengan plester atau kasa yang basah sehingga terhindar dari cedera
sekunder selama durasi operasi
Masalah gelisah dan berontak, seringkali mengganggu suasana
ruang pulih bahkan bisa membahayakan dirinya sendiri.
Penyebab gaduh gelisah pasca bedah adalah pemakaian ketamin

18
sebagai obat anestesia, nyeri yang hebat, hipoksia, buli-buli yang
penuh, stres yang berlebihan prabedah, pasien anak-anak,
seringkali mengalami hal ini
Komplikasi pasien post anestesia seperti tanda lambat
bangun yaitu yang terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90
menit setelah anestesi umum. Hal ini bisa diakibatkan karena
sisa obat anestesi, sedatif, obat analgetik, penderita dengan
kegagalan organ, misalnya: Disfusi hati, ginjal Hipoproteinemia.
b. Respirasi

Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anestesia adalah

Tabel 2.1 Nilai parameter respirasi

No. Parameter Normal


1. Suara Napas paru Sama dengan kedua paru
2. Frekuensi napas 10 – 35 x/menit (tergantung usia)
3. Irama napas Teratur
4. Volume tidal Minimal 4 – 5 ml/kgbb
5. Kapasitas vital 20 – 40 ml/kgbb
6. Inspirasi paksa -40 cmH2O
7. PaO2pada FiO2 30% 100 mmHg
8. PaCO2 30 – 45 mmHg

Penilaian tersebut diatas dijumpai tanda-tanda insufisiensi


respirasi, segera dicari penyebabnya sehingga cepat dilakukan
usaha untuk memulihkan fungsinya

1) Sumbatan jalan napas


Pasien tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan
jalan napas akibat dari jatuhnya lidah ke hipofaring,
timbunan air liur atau sekret, bekuan darah, gigi yang lepas
dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi.
2) Depresi napas

19
Depresi sentral adalah yang paling sering akibat dari
efek sisa opiat, disamping itu bisa juga disebabkan oleh
keadaan hipokapnea, hipotermia dan hipoperfusi. Depresi
perifer yaitu karena efek sisa pelupuh otot, nyeri, distensi
abdomen dan rigiditas otot. Usaha penanggulangannya
disesuaikan dengan penyebabnya.
c. Sirkulasi
Parameter hemodinamik yang perlu diperhatikan adalah :
1) Tekanan darah
Tekanan darah normal berkisar 90/50 – 160/100.
Sebab-sebab hipertensi pasca bedah adalah hipertensi yang
diderita prabedah, nyeri hipoksia dan hiperkarbia,
penggunaan vasopresor, dan kelebihan cairan. Dan ada pula
sebab-sebab hipotensi / syok pasca bedah adalah perdarahan,
defisit cairan, depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh
darah yang berlebihan. Penanggulangannya, dapat
disesuaikan dengan penyebabnya
2) Dernyut Jantung
Denyut jantung normal berkisar 55 – 120 x/menit
(tergantung usia) dengan irama yang teratur. Sebab-sebab
gangguan irama jantung :
a) Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia,
akibat obat simpatomimetik, demam, dan nyeri.
b) Brakikardia, disebabkan oleh blok subarakhnoid,
hipoksia (pada bayi) dan reflek vagal.
c) Distrimia (diketahui dengan EKG), paling sering
disebabkan karena hipoksia.

Penanggualangannya adalah memperbaiki ventilasi dan


oksigenasi. Apabila sangat mengganggu dapat diberikan obat
anti disritmia seperti lidokain. Hal lain yang perlu mendapat

20
perhatian pasca bedah yang termasuk dalam sirkulasi adalah:

1) Perdarahan dari luka operasi yaitu kemungkinan adanya


perdarahan dari luka operasi, selalu harus diperhatikan.
Adanya perembesan dari luka operasi atau bertambahnya
jumlah darah dalam botol penampungan drainase luka
operasi, perlu dipertimbangkan untuk tindakan eksplorasi
kembali.
2) Bendungan di sebelah distal dari tempat bekas luka operasi
bisa menimbulkan udema dan nyeri di daerah tersebut.
3) Fungsi ginjal dan saluran kencing
Perhatikan produksi urin, terutama pada pasien yang dicurigai
risiko tinggi gagal ginjal akut pasca bedah/anestesia.Pada
keadaan normal produksi urin mencapai > 0,5 cc/KgBB/jam,
bila terjadi oliguria atau anuria, segera dicari penyebabnya,
apakah pre renal, renal atau salurannya.
4) Fungsi saluran cerna
Kemungkinan terjadi regurgitasi atau muntah pada periode
pasca anestesia/bedah, terutama pada kasus bedah akut,
senantiasa harus diantisipasi. Untuk mengatisipasi hal ini,
pencegahan regurgitasi/muntah lebih penting artinya daripada
menangani kejadian tersebut. Akan tetapi bila terjadi penyulit
seperti ini maka tindakan yang cepat dan tepat sangat
diperlukan untuk mengatasi jalan napas. Walaupun demikian
kemungkinan terjadi aspirasi asam lambung senantiasa
mengancam. Bila hal ini terjadi, pasien dirawat secara intensif
di Unit Terapi Intensif karena pasien akan mengalami
ancaman gagal napas akut
5) Aktivitas motoric
Pemulihan aktivitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh
otot, berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada
efek sisa pelumpuh otot, pasien mengalami hipoventilasi dan

21
aktivitas motorik yang lain juga belum kembali normal.
Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot
adalah menilai kemampuan pasien untuk membuka mata atau
kemampuan untuk menggerakkan anggota gerak terutama
pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana memadai, dapat
dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang
saraf.
6) Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama
pada pasien bayi/anak dan usia tua. Beberapa penyebab
hipotermi di kamar operasi diantaranya suhu kamar operasi
yang dingin, penggunaan desinfektan, cairan infus dan
transfusi darah, cairan pencuci rongga-rongga pada daerah
operasi, kondisi pasien (bayi dan orang tua), dan penggunaan
halotan sebagai obat anestesia. Usaha-usaha untuk
meghangatkan kembali diruang pulih adalah dengan cara pada
bayi segera dimasukkan dalam inkubator, pasang selimut
penghangat, lakukan penyinaran dengan lampu
7) Posisi pasien
Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih. Hal ini
perlu diperhatikan untuk mencegah kemungkinan :

1) Sumbatan jalan napas, pada pasien belum sadar

2) Tertindihnya/terjepitnya satu bagian anggota tubuh

3) Terjadinya dislokasi sendi-sedi anggota gerak

4) Hipotensi, pada pasien dengan analgesia regional

5) Gangguan kelancaran aliran infus

Posisi pasien diatur sedemikian rupa tergantung kebutuhan


sehingga nyaman dan aman bagi pasien, antara lain:

22
1) Posisi miring stabil pada pasien operasi tonsil

2) Ekstensi kepal, pada pasien yang belum sadar

3) Posisi terlentang dengan elevansi kedua tungkai dan bahu


(kepala) pada pasien blok spinal dan bedah otak

7. Management patient safety di recovery room sampai kembali ke


bangsal

Diagram 2.2
Brunner dan Suddarth (2013)

Menurut Brunner dan Suddarth (2013), bahwa dalam serah


terima pasien pasca operatif di recovery room meliputi diagnosis
medis dan jenis pembedahan, usia, kondisi umum, tanda-tanda vital,
jalan napas, obat-obat yang digunakan, masalah yang terjadi selama
pembedahan, cairan yang diberikan, jumlah perdarahan, informasi
tentang dokter bedah dan anesthesia.

23
Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat serah terima adalah:
a. Masalah-masalah tatalaksana anestesia, penyulit selama
anetesia/pembedahan, pengobatan dan reaksi alergi yang
mungkin terjadi.
b. Tindakan pembedahan yang dikerjakan, penyulit-penyulit saat
pembedahan, termasuk jumlah perdarahan.
c. Jenis anestesia yang diberikan dan masalah-masalah yang terjadi,
termasuk cairan elektrolit yang diberikan selama operasi, diuresis
serta gambaran sirkulasi dan respirasi.
d. Posisi pasien di tempat tidur.
e. Hal-hal lain yang perlu mendapatkan pengawasan khusus sesuai
dengan permaslaahan yang terjadi selama anestesi/operasi.
f. Dan apakah pasien perlu mendapatkan penanganan khusus di
ruangan terapi intensif (sesuai dengan instruksi dokter).

Tujuan perawatan pasca anestesia/pembedahan di ruang


pemulihan (Brunner dan Suddarth, 2013) :
a. Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi, memasang
suction dan pemasangan mayo/gudel.
b. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberian bantuan
napas melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.
c. Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan
pemberian cairan.
d. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui
keadaan pasien, seperti kesadaran. Vomitus atau muntahan
mungkin saja terjadi akibat pengaruh anestesia sehingga perlu
dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting
untuk dilakukan observasi terkait dengan kondisi perdarahan yang
dialami pasien.

24
e. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan.
Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti
dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang
mengakibatkan menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin
terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri
Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien
pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri
biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi
keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis terkait
dengan agen pemblok nyerinya.

8. Pemantauan pasca anestesi dan kriteria pengeluaran dengan Skor


Aldrete
Mempergunakan Skor Aldrete Pasca Anestesia di Ruang Pulih
(Apriliana,2013)
Tabel 2.2 Skor Aldrete
No. Kriteria Motorik Nilai
Aktivitas motorik:
o Mampu menggerakkan empat
2
ekstremitas
1. o Mampu menggerakkan dua
1
ekstremitas
o Tidak mampu menggerakkan
0
ekstremitas
Respirasi:
o Mampu napas dalam, batuk dan tangis 2
2.
kuat
o Sesak atau pernapasan terbatas 1

25
o Henti napas 0

Tekana darah:
o Berubah sampai 20% dari prabedah 2
3.
o Berubah 20%-50% dari prabedah 1
o Berbubah > 50% dari prabedah 0
Kesadaran:
o Sadar baik dan orientasi baik
2
4. o Sadar setelah dipanggil
1
o Tak ada tanggapan terhadap
0
Rangsangan
Warna kulit:
o Kemerahan 2
5.
o Pucat agak suram 1
o Sianosis 0

Penilaian dilakukan :
1. Saat masuk
2. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5
menit sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman
pasien adalah 10.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan
adalah:
1. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat
penawarnya (nalokson) secara intervena.
2. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,
antiemetik atau narkotik secara intramuskular.
3. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
4. Observasi 60 menit setelah ekstubasi
5. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.

26
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang
pemulihan jika nilai pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama
tinggal di ruang pulih tergantung dari teknik anestesi yang digunakan.
Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila hemodinaik tak
stabil perlu support inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical
respiratory support).

9. Modified Early Warning System (MEWS)


Dari data agregat seluruh kasus kematian yang diaudit maka dapat
diidenfikasi besarnya kasus kematian yang seharusnya dapat dicegah,
dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan penyebab masalah dan
tindak lanjut yang memiliki potensi untuk menurunkan angka
kematian. Upaya menurunkan angka kematian rumah sakit merupakan
salah satu kunci penting dalam peningkatan patient safety (Behal &
Finn, 2009). Banyak program yang telah dikembangkan oleh berbagai
intitusi untuk mendukung upaya menurunkan angka kematian rumah
sakit, antara lain: Hospital Mortality Reduction Programme (HMRP),
dikembangkan oleh oleh Bradford Teaching Hospital pada tahun 2002
dengan komitmen dari seluruh pimpinan dan klinisi disana untuk
mengeliminasi seluruh kematian yang tidak perlu terjadi (Wright et al.,
2006). Program ini dimulai dengan melakukan tinjauan/audit terhadap
seluruh kematian yang terjadi di rumahsakit. Hasil audit menunjukkan
penyebab kamatian yang tidak seharusnya terjadi disebabakan karena
sistem pengamatan klinis yang suboptimal, infeksi yang didapat di
rumahsakit serta kesalahan pengobatan.
Strategi dan pendekatan yang kemudian dilaksanakan adalah:
memperbaiki sistem observasi klinis dengan pembuatan Modified
Early Warning Score berupa instrumen untuk menilai tingkat
keparahan kondisi klinis pasien dan kapan intervensi diperlukan;
Membuat panduan untuk kasus-kasus teminal, pelatihan tim, dan
pelatihan perawat untuk melakukan home care, sehingga pasien-pasien

27
stadium terminal dapat dirawat dirumah, dibandingkan harus
meninggal di rumahsakit; Pengendalian Infeksi, berupa kampanye
mencuci tangan, pelatihan kewaspadaan untuk para karyawan di rumah
sakit, peningkatan kebersihan bangsal, pelatihan mengenai infeksi,
panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit, peningkatan surveilans
dan umpan balik mengenai tingkat infeksi. Program untuk peningkatan
Keselamatan pasien, diantaranya review dari peresepan dan
administrasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi seperti warfarin,
heparin, potasium dan metotreksat. Selain itu dikembangkan juga
program untuk memonitor efek samping obat dan adverse drug events.
( Al-Assaf. 2013 )
Menurut West Suffolk Hospital NHS Trust (2013), modifikasi
skor peringatan dini adalah modifikasi sistem penilaian terstruktur
dengan kriteria yang terukur dan obyektif, yang membantu pemberi
asuhan keperawatan untuk mengidentifikasi pasien kritis yang
terbaring di tempat tidur berdasarkan parameter fisiologis seperti
denyut jantung, tekanan darah sistolik, suhu, respirasi, tingkat
kesadaran dan jumlah urin
MEWS awalnya dikembangkan dengan dua tujuan khusus yaitu :
a. Untuk mengidentifikasi kejadian yang tidak diinginkan dengan
tepat waktu pada pasien kritis
b. Memudahkan perawat atau tim medis memantau keadaan pasien
dengan kondisi yang perlu pengawasan atau perawatan khusus.

Mengapa diperlukan MEWS (West Suffolk Hospital NHS Trust,


2013):
a. Kebanyakan dari penurunan kondisi fisiologis atau kondisi kritis
didahului oleh tanda-tanda peringatan yaitu ketidaksetabilan klinis
b. Tanda-tanda awal penurunan kondisi pasien sering sulit dikenali
dalam parameter fisiologis jika pengamatan dan pengawasan
kurang ditingkatkan pada pasien pos operasi.

28
c. Tanda-tanda vital yang lebih informatif bisa mencegah kegagalan
untuk mengenali lebih awaln penurunan kondisi pasien post operasi

Dalam kasus pasien pasca operasi yang dirawat di recovery


room, catatan operatif keperawatan dan grafik nyeri akan terus
menjadi dokumen yang digunakan untuk merekam pengamatan
sampai pasien stabil untuk dipindahkan ke bangsal. Pada titik ini
dua set observasi terakhir dan skor MEWS akan dimasukkan ke
bagan observasi untuk dilanjutkan oleh staf bangsal. Dalam
Perawatan Kritis ketika keputusan telah dibuat untuk mentransfer
pasien ke bangsal, sebelum mentransfer setidaknya dua set
pengamatan dan skor MEWS harus dicatat pada bagan Observasi
sebelum transfer (West Suffolk Hospital NHS Trust, 2013) .

Semua pasien harus memiliki :


a. Observasi-psikologis dicatat pada saat mereka masuk di
recovery room atau awal penilaian.
b. Rencana pemantauan tertulis yang jelas yang menentukan
pengamatan fisiologis harus dicatat dan seberapa sering.
Rencana tersebut harus mempertimbangkan diagnosa pasien,
presentasi angka morbiditas, dan rencana pengobatan.

Pengamatan fisiologis harus dicatat dan ditindak lanjuti


oleh petugas di recovery room. Pengamatan fisiologis yang
harus dicatat pada penilaian awal dan sebagai bagian dari
pemantauan rutin (West Suffolk Hospital NHS Trust,2013)
adalah sebagai berikut denyut jantung, respirasi, tekanan darah,
level of consciousness AVPU (alert=waspada, verbal=verbal,
reactive to pain=respon nyeri, unresponsive=tidak responsif),
suhu, saturasi oksigen, dan output –Urine

29
10. Bagaimana penanganan pada pasien dengan menggunakan tabel
Modified Early Warning System (MEWS)
Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh perawat yang
bertugas di recovery room, apabila score pada nilai MEWS sudah
didapatkan maka penanganan pada pasien akan dilanjutkan sesuai
score, diantaranya (Kathy D.Duncan,2012) :
a. Skor 0-2 (hijau)
melanjutkan pemantauan rutin tanda-tanda vital
b. Skor 3 (kuning)
1) Lanjutkan pemantauan tanda vital per 5 menit dan hitung skor
MEWS
2) Jika pasien tetap pada skor 3 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, panggil perawat lain untuk menilai dan
menangani masalah pada pasien
c. Skor 4 (orens)
1) Menginformasikan pada perawat dan dokter penanggungjawab
pasien
2) Perawat menilai pasien dan memberi tahu perawat manajer /
dokter anastesi / pengawas di recovery room mengenai status
pasien
3) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital interval dan hitung
skor MEWS kembali
4) Ukur input dan output dan beritahu perawat jika output urin
jatuh di bawah 100 mL
d. Skor 5 (orens)
1) Informasikan ke dokter penanggung jawab pasien dan minta
penilaian pasien oleh dokter atau anastesi
2) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital, termasuk pulse
oximetry setiap jam

30
3) Jika pasien tetap pada score 5 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, minta transfer ke tingkat perawatan yang lebih
tinggi atau pindah pasien segera ke ICU
e. Skor 6 atau lebih (merah)
1) Panggil tim code blue dan dokter penanggungjawab pasien
segera
2) Pindahkan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi atau
ICU

11. kriteria pada setiap poin Modified Early Warning System (MEWS)
a. Tekanan darah (Seventh Joint National Committee on High Blood
Pressure,2017)
Tabel 2.3 Kriteria Modifed Early Warning System

TD Manajemen
TD Sistol Klasifikasi TD
Diastol

< 90 Hipotensi 1. Pemberian cairan


intravena
2. Pemberian obat
epidrin dari dokter
anastesi

Observasi
90 ‒ 119 dan < 80 Normal
hemodinamik

120 ‒ 139 atau 80 ‒ 89 Prehipertensi

140 ‒ 159 atau 90 ‒ 99 Hipertensi derajat 1 apabila tekanan darah


lebih dari 20 mmHg di
atas target tekanan
darah sistolik atau
lebih dari 10 mmHg di
atas target diastolik.
Kombinasi yang lebih

31
dipilih adalah
penghambat sistem
renin–angiotensin
Dengan antagonis
kalsium, atau
penghambat sistem
renin–angiotensin
dengan diuret

≥ 160 atau ≥ 100 Hipertensi derajat 2 Pemberian obat harus


dilakukan sesegera
mungkin, namun
penurunan tekanan
darah harus dilakukan
secara bertahap

Kolaborasi pemberian
terapy :

1.deuretik loop

2. ACE inhibitor

3.agonis alfa 2

4.antagonis kalsium

1.

b. Nadi (Seventh Joint National Committee on High Blood


Pressure,2017)
Tabel 2.4 Seventh Joint National Committee on High Blood
Pressure

Nadi Klasifikasi Manajemen

< 60 Bradikardi 1. Cek klinis pasien


2. Cek nadi (bradikardi)
3. Kolaborasi pemberian SA kurang lebih
3 mg

32
60 ‒ 100 Normal Observasi hemodinamik

> 100 Takikardi 1. Cari penyebab


2. Atasi penyebab
3. Kardioversi dengan diawali 50 joule -
250 joule (atau dosisi defib)
4. Kolaborasi pemberian anti aritmia

c. Pernafasan (Seventh Joint National Committee on High Blood


Pressure,2017)
Tabel 2.5 Pernafasan

RR Klasifikasi Manajemen

< 12 Bradipnea 1. cari penyebab

2. cek AGD

3. manajemen airway

14 ‒ 20 Normal Observasi hemodinamik

> 20 Takipnea (napas cepat) 1. atasi penyebab

2. cek AGD

3. manajemen airway

4. terapi airway defenitif

33
d. Suhu atau temperatur (Seventh Joint National Committee on High
Blood Pressure,2017)
Tabel 2.6 Suhu dan temperatur

Suhu
Kesan Manajemen
(°C)
< 35.0 Hipotermia 1. memindahkannya dari lingkungan
dingin
2. menggunakan selimut tambahan
3. penghangatan aktif eksternal
dapat diterapkan (radiasi panas,
selimut hangat, dengan cairan
hangat intravena dan oksigen
yang dihangatkan)

36 ‒ 37,9 Normal Minum yang cukup / pemberian


cairan intravena sesuai terapi
38 ‒ 38,5 Demam 1. Minum yang banyak/ terapi cairan
infus
2. Kompres air hangat seluruh
permukaan tubuh
3. Baju yang tipis
4. Atur suhu lingkungan

≥ 38,5 Demam 1. Sama seperti manajemen demam di


tinggi atas
2. Koreksi suhu dengan terapi cairan
3. Mandi air hangat
4. Antipiretik

34
12. Studi di rumah sakit pantiwilasa citarum Semarang
Di rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang didaptkan
sebanyak 745 pasien di bulan Juli 2018 masuk ke ruang instalasi bedah
sentral untuk dilakukan tindakan pembedahan, baik pasien dengan
general anastesi ataupun spinal anastesi, pasien dengan post operasi
atau pasca bedah yang sudah dinyatakan stabil oleh dokter anastesi
akan dipindah ke recovery room untuk selanjutnya dilakukan
pemantuan kembali secara detail dan signifikan, dimana pemantauan
bertujuan untuk mendeteksi adanya ketidaksetabilan kondisi pasien
post operasi sehingga dapat dilakukan pecegahan secara dini atau
penanganan yang tepat untuk menghindari masalah keperawatan yang
dapat membahayakan keselamatan pasien post operasi. Dari hasil
penelitian Maike Raasing & Nicole Veekens (2018) di rumah sakit
Pantiwilasa Citarum Semarang, saat ini tidak ada metode yang
digunakan untuk pengenalan dini dan pengobatan pasien yang sangat
terancam. Sementara beberapa studi internasional menunjukkan bahwa
pengakuan dini dan pengobatan pasien yang terancam secara vital
dapat mengurangi angka kematian dan pengurangan jumlah resusitasi

35
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rencana solusi yang ditawarkan


Rancangan studi kasus yang digunakan adalah studi kasus
deskriptif. Studi kasus dilaksanakan mengenai frekuensi dan distribusi
masalah kesehatan pada manusia menurut karakteristik orang yang
menderita (personal), tempat kejadian (place), dan waktu terjadinya (time)
penyakit atau masalah kesehatan. Studi kasus ini menggambarkan
penerapan modified early warning system (mews) untuk meningkatkan
patient safety pada pasien post operasi di recovery room instalasi bedah
sentral RS pantiwilasa citarum Semarang

B. Target dan Luaran


1. Target : penerapan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery room
instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
2. Luaran
a. Mengetahui penerapan management patient safety post oprasi di
recovery room instalasi bedah sentral
b. Menganalisis bagaimana penerapan modified early warning system
(mews) untuk meningkatkan patient safety pada pasien post operasi
di recovery room instalasi bedah sentral
c. Melaporkan hasil yang didapatkan dalam studi kasus ini mengenai
penerapan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery
room instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang

36
C. Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan case study (studi kasus). Case
study adalah bagian dari metode kuantitatif yang hendak mendalami suatu
kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan
beraneka sumber informasi (Swarjana,2016)

D. Populasi dan sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi dalam studi kasus ini adalah
pasien post oprasi di recovery room instalasi bedah sentral RS Pantiwilasa
Citarum Semarang
Sampel adalah sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi
yang digunakan untuk penelitian. Bila populasi besar, peneliti tidak
mungkin mengambil semua untuk penelitian misal karena terbatasnya
dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang
diambil dari populasi itu (Sujarweni, 2015). Berdasarkan data pada bulan
juli 2018 ada sekitar 745 pasien yang dilakukan pembedahan dan yang di
jadikan sebagai sampel sebanyak 4 pasien.
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang apabila terpenuhi dapat
mengakibatkan calon objek menjadi objek penelitian (Hajijah, 2012).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien post oprasi dengan
general anstesi di recovery room
2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi yaitu kriteria di luar kriteria inklusi
(Hajijah, 2012). Kriteria eksklusi adalah kriteria yang apabila
dijumpai menyebabkan objek tidak dapat digunakan dalam
penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan

37
kondisi tidak sadar saat masuk ruang operasi atau saat akan dilakukan
tindakan operasi

E. Waktu dan tempat


Penelitian ini dilaksanakan di ruang IBS RS Pantiwilasa Citarum
Semarang pada tanggal 10-14 Agustus 2018

F. Alat penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel
modified early warning system (mews).

G. Langkah-langkah penelitian
1. Peneliti mengumpulkan data pasien yang akan dilakukan oprasi
dengan general anastesi di instalasi bedah sentral
2. Peneliti ikut serta dalam penerimaan pasien di recovery room dari
menit pertama pasien di pindahkan dari kamar bedah
3. Peneliti langsung melakukan monitoring pasien di recovery room
dengan mengunakan tabel modified early warning system (mews)
secara cepat, benar, dan teliti.
4. Melakukan pemantauan ulang sebanyak 3 kali setiap 5 menit untuk
pasien khusus dan 10 menit sekali untuk pasien elektif atau bias , serta
diberi tanggal dan jam saat dilakukan pemantauan
5. Melakukan intervensi yang sesuai pada tabel modified early warning
system (mews) dengan data yang didapatkan pada setiap pemantauan
yang dilakukan
6. Laporkan segera pada perawat yang bertuga atau dokter anastesi, atau
dokter yang bertanggung jawab apabila score yang didapatkan semakin
meningkat atau kondisi pasien memburuk
7. Melakukan evaluasi pada pasien sebelum dipindah ke bangsal serta
melaporkan kepada perawat bangsal hasil dari tabel modified early

38
warning system (mews) untuk selanjutnya dilakukan pemantauan dan
perawatan dibangsal

H. Instrumen penelitian
Peneliti menggunakan format asuhan keperawatan dengan
menggunakan pengkajian. Selain itu peneliti menggunakan lembar
observasi yang digunakan untuk catatan penelitian dalam mengklarifikasi
hasil dari penerapan modified early warning system (mews)

I. Definisi operasional
Penerapan modified early warning system (mews) merupakan salah
satu sasaran dari patien savety di recovery room, dalam penerapannya
pasien akan dilakukan pemantaun secara berkala dengan menggunakan
tabel MEWS setelah itu dapat diketahui sejauh mana kondisi pasien di
recovery room melalui jumlah skor yang didapatkan dengan data ordinal
yaitu (Kathy D.Duncan,2012) :
a) Skor 0-2 (hijau)
melanjutkan pemantauan rutin tanda-tanda vital
b) Skor 3 (kuning)
1) Lanjutkan pemantauan tanda vital per 4 jam (atau sesuai SOP
RS) dan hitung skor MEWS
2) Jika pasien tetap pada skor 3 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, panggil perawat lain untuk menilai dan
menangani masalah pada pasien
c) Skor 4 (orens)
1) Menginformasikan pada perawat dan dokter penanggungjawab
pasien
2) Perawat menilai pasien dan memberi tahu perawat manajer /
dokter anastesi / pengawas di recovery room mengenai status
pasien

39
3) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital menjadi 2 jam
(atau sesuai SOP RS) interval dan hitung skor MEWS kembali
4) Ukur input dan output dan beritahu perawat jika output urin
jatuh di bawah 100 mL setiap 4 jam
d) Skor 5 (orens)
1) Informasikan ke dokter penanggungjawab pasien dan minta
penilaian pasien oleh dokter atau anastesi
2) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital, termasuk pulse
oximetry setiap jam
3) Jika pasien tetap pada score 5 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, minta transfer ke tingkat perawatan yang lebih
tinggi atau pindah pasien segera ke ICU
e) Skor 6 atau lebih (merah)
1) Panggil tim code blue dan dokter penanggungjawab pasien
segera
2) Pindahkan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi atau
ICU

J. Etika penelitian
Menurut Notoatmodjo (2010) masalah etika penelitian keperawatan
sangat penting karena penelitian ini berhubungan langsung dengan
manusia, sehingga perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Informed Consent
Informed consent merupakan lembar persetujuan yang akan
diteliti agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian.Bila
responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak-hak
responden.
2. Tanpa Nama (Anomity)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden dan hannya menuliskan kode pada
lembar pengumpulan data.

40
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan kepada pihak yang terkait dengan peneliti

41

Anda mungkin juga menyukai