Oleh :
STEPHEN FERLIUS
P1337420918139
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Oleh :
STEPHEN FERLIUS
P1337420918139
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PELAKSANAAN
KARYA TULIS ILMIAH
1. Elisa,S.Kep,Ns,M.Kep 1.
iii
PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
Karisma Supriliyanti
NIM P.1337420917013
Tahun 2018
Telah diuji dan disahkan dihadapan Dewan Penguji Prodi Profesi Ners Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang pada Hari Selasa, Tanggal 28
Agustus 2018
Dewan Penguji
Mengrtahui,
a.n. Direktur
Ketua Jurusan keperawatan
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur senatiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi Kasus yang berjudul “Menerapkan Modified Early Warning
System (Mews) Untuk Meningkatkan Patient Safety Pada Pasien Post Operasi Di
Recovery Room Instalasi Bedah Sentral Rs Pantiwilasa Citarum Semarang”
Penyusunan Studi Kasus ini merupakan salah satu bagian Ujian Akhir Program
untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan program Profesi
Ners Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Program Studi
Profesi Ners Keperawatan Semarang Tahun Akademik 2018.
v
8. Syair mahfud yang senantiasa memberikan dukunga, doa dan semangat
dalam pembuatan studi kasus
9. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu memberikan semangat dan dukungan
dalam pembuatan Studi Kasus.
10. Teman-teman profesi Ners angkatan 2 yang telah menjadi bagian dari
keluarga baru, dukungan serta kerjasama selama ini.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penulisan Studi Kasus ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa Studi Kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
masih terdapat banyak kekurangan yang penulis belum atau tidak sadari. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga Studi Kasus ini
bermanfaat dan ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan profesi
keperawatan.
Karisma Supriliyanti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
vii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
viii
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Patient safety atau keselamatan pasien merupakan salah satu isu
utama pelayanan kesehatan yang jauh lebih penting dari pada sekedar
efisiensi pelayanan. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi
sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien (HIPKABI, 2011). Kamar
bedah merupakan suatu unit yang memberikan proses pelayanan
pembedahan yang banyak mengandung resiko dan angka terjadinya kasus
kecelakaan di kamar operasi sangat tinggi, jika dalam pelaksanaannya
tidak memperhatikan pasien, kesiapaan pasien, prosedur maka pasien akan
cedera. Begitu juga dengan ruang pemuliah atau recovery room yang
ditujukan bagi pasien post operasi yang harus dipantau secara signifikan
dalam pemulihan karena jika tidak ditangani dengan baik masalah yang
timbul maka akan mengakibatkan cidera bagi pasien dan berakibat fatal
karena kondisi pasien yang masih dibawah pengaruh anastesi (West
Suffolk Hospital NHS Trust,2013)
Early Warning Score (EWS) adalah sistem penilaian terstruktur
dengan kriteria yang terukur dan obyektif, yang membantu pemberi
asuhan keperawatan untuk mengidentifikasi pasien kritis yang terbaring di
tempat tidur berdasarkan parameter fisiologis seperti denyut jantung,
tekanan darah sistolik, suhu, respirasi, tingkat kesadaran dan jumlah urin.
Modified Early Warning System (MEWS) adalah sistem beberapa
parameter, yang berarti bahwa nilai tertentu ditetapkan untuk parameter
vital yang menyimpang. Jika jumlah dari nilai-nilai ini melebihi nilai
tertentu, maka petugas medis perlu meminta bantuan.(Lectoraat Akut
Intensieve Zorg, 2018). MEWS menggunakan skor AVPU (alert=waspada,
verbal=verbal, reactive to pain=respon nyeri, unresponsive=tidak responsif)
untuk evaluasi kesadaran, dan empat parameter fisiologis yaitu tekanan
1
darah sistolik (mmHG), denyut jantung (stroke / menit), frekuensi
pernapasan (napas ) / menit) dan suhu (° Celsius) (West Suffolk Hospital
NHS Trust,2013).
Di rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang didaptkan sebanyak
745 pasien di bulan Juli 2018 masuk ke ruang instalasi bedah sentral untuk
dilakukan tindakan pembedahan, baik pasien dengan general anastesi
ataupun spinal anastesi, pasien dengan post operasi atau pasca bedah yang
sudah dinyatakan stabil oleh dokter anastesi akan dipindah ke recovery
room untuk selanjutnya dilakukan pemantuan kembali secara detail dan
signifikan, dimana pemantauan bertujuan untuk mendeteksi adanya
ketidaksetabilan kondisi pasien post operasi sehingga dapat dilakukan
pecegahan secara dini atau penanganan yang tepat untuk menghindari
masalah keperawatan yang dapat membahayakan keselamatan pasien post
operasi. Dari hasil penelitian Maike Raasing & Nicole Veekens (2018) di
rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang, saat ini tidak ada metode yang
digunakan untuk pengenalan dini dan pengobatan pasien yang sangat
terancam. Sementara beberapa studi internasional menunjukkan bahwa
pengakuan dini dan pengobatan pasien yang terancam secara vital dapat
mengurangi angka kematian dan pengurangan jumlah resusitasi
Dari hasil pengamatan yang dilakukan bahwa rumah sakit
Pantiwilas Citarum Semarang belum menerapkan metode MEWS di
recovery room, perawat yang bertugas di recovery room hanya
menggunakan metode aldrete score untuk menentukan apakah pasien
sudah bisa kembali ke ruangan atau perlu dilakukan pemantauan lebih
lama di recovery room, tentu hal tersebut perlu diperhatikan mengingat
bahwa recovery room merupakan salah satu sasaran dari patien savety
yang sangat beresiko mengalami cidera bahkan kematian, dari hasil
wawancara yang dilakukanpun masih banyak perawat yang belum
mengetahui tentang apa itu MEWS dan bagaimana cara menerapkan pada
pasien, kemudian seberapa efektifkah penerapan MEWS bagi pasien di
recovery room. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Chirag Mathukia
2
(2015) bahwa penerapan MEWS dapat menurunkan angka code blue di
rumah sakit dengan angka menurun dari 2,3% pada tahun 2011 menjadi
1,5% pada tahun 2013.
Berdasarkan data dan latar belakang di atas penulis tertarik untuk
menerapkan modified early warning system (mews) untuk meningkatkan
patient safety pada pasien post operasi di recovery room instalasi bedah
sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery room
instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
2. Tujuan khusus
a. Menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety
b. Mengobservasi intervensi modified early warning system (mews)
untuk meningkatkan patient safety
C. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini :
1. Responden
a. Mencegah dan mengurangi angka kejadian yang tidak diinginkan
pada pasien post operasi di recovery room
2. Instalasi Rumah Sakit
a. Meningkatkan kinerja perawat dalam menerapkan modified early
warning system (mews) untuk meningkatkan patient safety pada
pasien post operasi di recovery room instalasi bedah sentral RS
pantiwilasa citarum Semarang
b. Menambah wawasan dan pengetahuan perawat dalam
menerapkan modified early warning system (mews) untuk
3
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery
room instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
3. Institusi Pendidikan
a. Tambahan untuk referensi yang dapat digunakan untuk studi kasus
selanjutnya.
4. Peneliti
a. Suatu dasar untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman
menerapkan modified early warning system (mews) untuk
meningkatkan patient safety pada pasien post operasi di recovery
room instalasi bedah sentral RS pantiwilasa citarum Semarang
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
1. Definisi post operasi
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir
sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Tiga fase
operasi dalam pelaksanaan prosedur safety surgical yaitu sign in, time
out, dan sign out.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara
rutin dikelola di ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga
Post Anesthesia Care Unit (PACU). Idealnya adalah bangun dari
anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan pengawasan
dan pengelolaan secara ketat sampai dengan keadaan stabil. Prosedur
pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah,
maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi
umum ataupun anestesi regional terlebih dahulu dirawat di ruang
pemulihan sebelum pindah keruang perawatan atau langsung dirawat
di ruang intensif.
Ruang pemulihan adalah ruangan yang berdekatan dengan
kamar operasi untuk merawat pasien pasca operasi yang masih
dibawah pengaruh anestesi. Di ruang ini dokter bedah, anestesi dan
perawat memantau keadaan pasien setelah menjalani operasi.
Penciptaan PACU telah secara signifikan dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas yang terkait dengan anestesi dan pembedahan. Dalam
penelitian selama 10 tahun terakhir, telah melihat peningkatan dalam
jumlah prosedur, kompleksitas prosedur, dan status ASA (American
Society of Anesthesiology). Prosedur bedah yang lebih kompleks yaitu
5
dalam jangka waktu hingga 6 jam yang sekarang sedang dilakukan
pada pasien sakit.
Potensi komplikasi yang mengancam jiwa biasanya terjadi
dalam beberapa jam pertama setelah anestesi atau operasi. Ini
didukung oleh hasil analisis ASA. Mekanisme yang paling umum dari
cedera ini adalah peristiwa pernapasan pada periode pasca operasi.
Selanjutnya, peristiwa ini dianggap dapat dicegah dengan melihat
denyut nadi dalam periode pemulihan. Oleh karena itu, yang mengenai
semua pasien dari jenis anestesi setelah selesainya operasi harus
dirawat diruang pemulihan. Setelah efek anestesi mulai hilang, pasien
kemudian dapat dipindahkan keluar dari ruang pemulihan atau ke
bangsal ( Harvina Dwi, 2013 )
6
dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasien yang
basah (karena darah atau cairan lainnnya) harus segera diganti
dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi.
Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti
dan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side-rail harus
dipasang untuk mencegah terjadi resiko injuri, untuk
mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan
peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Proses transportasi ini merupakan
tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesia dengan
koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.
b. Perawatan pasca-operasi di ruang pemulihan
Pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar
(recovery room: RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
Perbandingan perawat-pasien saat pasien dimasukkan ke RR
adalah 1:1 (Baradero et al, 2008)Alat monitoring yang terdapat di
ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi
pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu
pernafasan: oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan
bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction.
Selain itu, di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan
untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk
mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti: apparatus tekanan
darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set
pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan
balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set
kateterisasi dan peralatan drainase.
Pasien pasca-operasi juga harus ditempatkan pada tempat
tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi
7
pasien, seperti: pemindahan darurat. Kelengkapan yang digunakan
untuk mempermudah perawatan, seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan
perawatan. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan
kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari RR adalah: fungsi
pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan
saturasi oksigen yangadekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk
tekanan darah, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang,
haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah
dalam kontrol, nyeri minimal (majid etal, 2011).
Diagram 1.2
Bruner & Sudart (2012)
8
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi
sampai dengan keadaan umum pasien stabil.
Monitoring setelah operasi perlu dilakukan setelah pasien
menjalani operasi pembedahan diantaranya pengamatan, pemantauan,
pemeriksaan, pencatatan, dan pelaporan dimana semuanya harus
dilakukan secara cepat, benar dan teliti untuk menghindari
kemungkinan cidera atau bahkan kematian yang akan terjadi pada
pasien post opeasi di recovery room. Pada saat pasien berada diruang
pemulihan perlu dicegah dan ditanggulangi keadaan-keadaan yang ada
sehubungan dengan tindakan anestesi yaitu dengan melakukan tehnik
pemeriksaan B1 sampai B6 (Bruner & Sudart, 2012) antara lain :
a. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi) (Bruner & Sudart, 2012)
1) Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
2) Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho
vesikuler.
3) Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan
adanya atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
4) Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang
melalui sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
5) Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas
dan peningkatan usaha napas)
6) Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
7) Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan
kesimetrisannya.
8) Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pnemotoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat.
9
9) Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari
otot-otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakan dinding dada.
10) Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis
kronik dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning
hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis
akut; sputum yang mengandung darah dapat menunjukan
adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.
11) Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan
panjangnya tube yang berada di luar.
12) Parameter pada ventilator Volume Tidal
Normal : 10 – 15 cc/kg BB. Perubahan pada uduma fidal
menunjukan adanya perubahan status ventilasi penurunan
volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan
peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya
peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.
10
5) Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah.
Biasanya terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
6) Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
7) Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa.
Aritmia dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
8) PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran
lokasi menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien
hipoksemia kronis.
9) Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
11
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran
menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal. Stupor (soporo koma), yaitu
keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
e) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak
ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada
respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari
berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia
otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena
berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di
dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya
hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami
injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal
dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah
satu bagian dari vital sign.
12
d. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria) (Bruner
& Sudart, 2012)
1) Kateter urin
2) Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine.
3) Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
4) Distesi kandung kemih
13
4) Nyeri
Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
5) Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
6) Mual dan muntah.
14
anestesia/bedah dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :
( Apriliana, 2013 )
a. Kelompok I
Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan
gangguan hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu
napas kendali pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk
dalam kelompok ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif
pasca anestesia/bedah tanpa menunggu pemulihan di ruang
pulih.
b. Kelompok II
Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk
dalam kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah
adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga
keadekuatan respirasinya dan kestabilan kardiovascular.
c. Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi
respirasinya tetapi harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia,
nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali
pulang
15
dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath,
pemberian medikasi intaravena, melakukan pemantauan
kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh :
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi,
atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja operasi
dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan
tubuh.
c. Fase post operatif
Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari
perawatan pre operatif dan intra operatif yang dimulai ketika
klien diterima di ruang pemulihan pasca anaestesi dan
berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
di rumah. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada
fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan
dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah ( Apriliana, 2013 )
16
atau menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan
bisa terjadi dislokasi sendi.
d. Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok
atau hipotensi.
e. Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat
sedemikian rupa agar aliran darah dari daerah tungkai ke
proksimal lancar.
f. Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap
berfungsi dengan baik atau tidak lepas.
g. Tidak perlu mendorong kereta tergesa-gesa karena hal
tersebut dapat mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas
operasi, perubahan posisi kepala, sehingga dapat
menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau regurgitasi
( Apriliana, 2013 )
17
pasien.
e. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan. Cairan
harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi
akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang mengakibatkan
menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi
eleminasi pasien.
f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri
Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada
tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya
sangat dirasakan pasien diperlukan intervensi keperawatan yang
tepat juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok
nyerinya
18
sebagai obat anestesia, nyeri yang hebat, hipoksia, buli-buli yang
penuh, stres yang berlebihan prabedah, pasien anak-anak,
seringkali mengalami hal ini
Komplikasi pasien post anestesia seperti tanda lambat
bangun yaitu yang terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90
menit setelah anestesi umum. Hal ini bisa diakibatkan karena
sisa obat anestesi, sedatif, obat analgetik, penderita dengan
kegagalan organ, misalnya: Disfusi hati, ginjal Hipoproteinemia.
b. Respirasi
19
Depresi sentral adalah yang paling sering akibat dari
efek sisa opiat, disamping itu bisa juga disebabkan oleh
keadaan hipokapnea, hipotermia dan hipoperfusi. Depresi
perifer yaitu karena efek sisa pelupuh otot, nyeri, distensi
abdomen dan rigiditas otot. Usaha penanggulangannya
disesuaikan dengan penyebabnya.
c. Sirkulasi
Parameter hemodinamik yang perlu diperhatikan adalah :
1) Tekanan darah
Tekanan darah normal berkisar 90/50 – 160/100.
Sebab-sebab hipertensi pasca bedah adalah hipertensi yang
diderita prabedah, nyeri hipoksia dan hiperkarbia,
penggunaan vasopresor, dan kelebihan cairan. Dan ada pula
sebab-sebab hipotensi / syok pasca bedah adalah perdarahan,
defisit cairan, depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh
darah yang berlebihan. Penanggulangannya, dapat
disesuaikan dengan penyebabnya
2) Dernyut Jantung
Denyut jantung normal berkisar 55 – 120 x/menit
(tergantung usia) dengan irama yang teratur. Sebab-sebab
gangguan irama jantung :
a) Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia,
akibat obat simpatomimetik, demam, dan nyeri.
b) Brakikardia, disebabkan oleh blok subarakhnoid,
hipoksia (pada bayi) dan reflek vagal.
c) Distrimia (diketahui dengan EKG), paling sering
disebabkan karena hipoksia.
20
perhatian pasca bedah yang termasuk dalam sirkulasi adalah:
21
aktivitas motorik yang lain juga belum kembali normal.
Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot
adalah menilai kemampuan pasien untuk membuka mata atau
kemampuan untuk menggerakkan anggota gerak terutama
pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana memadai, dapat
dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang
saraf.
6) Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama
pada pasien bayi/anak dan usia tua. Beberapa penyebab
hipotermi di kamar operasi diantaranya suhu kamar operasi
yang dingin, penggunaan desinfektan, cairan infus dan
transfusi darah, cairan pencuci rongga-rongga pada daerah
operasi, kondisi pasien (bayi dan orang tua), dan penggunaan
halotan sebagai obat anestesia. Usaha-usaha untuk
meghangatkan kembali diruang pulih adalah dengan cara pada
bayi segera dimasukkan dalam inkubator, pasang selimut
penghangat, lakukan penyinaran dengan lampu
7) Posisi pasien
Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih. Hal ini
perlu diperhatikan untuk mencegah kemungkinan :
22
1) Posisi miring stabil pada pasien operasi tonsil
Diagram 2.2
Brunner dan Suddarth (2013)
23
Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat serah terima adalah:
a. Masalah-masalah tatalaksana anestesia, penyulit selama
anetesia/pembedahan, pengobatan dan reaksi alergi yang
mungkin terjadi.
b. Tindakan pembedahan yang dikerjakan, penyulit-penyulit saat
pembedahan, termasuk jumlah perdarahan.
c. Jenis anestesia yang diberikan dan masalah-masalah yang terjadi,
termasuk cairan elektrolit yang diberikan selama operasi, diuresis
serta gambaran sirkulasi dan respirasi.
d. Posisi pasien di tempat tidur.
e. Hal-hal lain yang perlu mendapatkan pengawasan khusus sesuai
dengan permaslaahan yang terjadi selama anestesi/operasi.
f. Dan apakah pasien perlu mendapatkan penanganan khusus di
ruangan terapi intensif (sesuai dengan instruksi dokter).
24
e. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan.
Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti
dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang
mengakibatkan menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin
terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri
Pasien post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien
pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri
biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi
keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis terkait
dengan agen pemblok nyerinya.
25
o Henti napas 0
Tekana darah:
o Berubah sampai 20% dari prabedah 2
3.
o Berubah 20%-50% dari prabedah 1
o Berbubah > 50% dari prabedah 0
Kesadaran:
o Sadar baik dan orientasi baik
2
4. o Sadar setelah dipanggil
1
o Tak ada tanggapan terhadap
0
Rangsangan
Warna kulit:
o Kemerahan 2
5.
o Pucat agak suram 1
o Sianosis 0
Penilaian dilakukan :
1. Saat masuk
2. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5
menit sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman
pasien adalah 10.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan
adalah:
1. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat
penawarnya (nalokson) secara intervena.
2. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,
antiemetik atau narkotik secara intramuskular.
3. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
4. Observasi 60 menit setelah ekstubasi
5. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.
26
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang
pemulihan jika nilai pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama
tinggal di ruang pulih tergantung dari teknik anestesi yang digunakan.
Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila hemodinaik tak
stabil perlu support inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical
respiratory support).
27
stadium terminal dapat dirawat dirumah, dibandingkan harus
meninggal di rumahsakit; Pengendalian Infeksi, berupa kampanye
mencuci tangan, pelatihan kewaspadaan untuk para karyawan di rumah
sakit, peningkatan kebersihan bangsal, pelatihan mengenai infeksi,
panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit, peningkatan surveilans
dan umpan balik mengenai tingkat infeksi. Program untuk peningkatan
Keselamatan pasien, diantaranya review dari peresepan dan
administrasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi seperti warfarin,
heparin, potasium dan metotreksat. Selain itu dikembangkan juga
program untuk memonitor efek samping obat dan adverse drug events.
( Al-Assaf. 2013 )
Menurut West Suffolk Hospital NHS Trust (2013), modifikasi
skor peringatan dini adalah modifikasi sistem penilaian terstruktur
dengan kriteria yang terukur dan obyektif, yang membantu pemberi
asuhan keperawatan untuk mengidentifikasi pasien kritis yang
terbaring di tempat tidur berdasarkan parameter fisiologis seperti
denyut jantung, tekanan darah sistolik, suhu, respirasi, tingkat
kesadaran dan jumlah urin
MEWS awalnya dikembangkan dengan dua tujuan khusus yaitu :
a. Untuk mengidentifikasi kejadian yang tidak diinginkan dengan
tepat waktu pada pasien kritis
b. Memudahkan perawat atau tim medis memantau keadaan pasien
dengan kondisi yang perlu pengawasan atau perawatan khusus.
28
c. Tanda-tanda vital yang lebih informatif bisa mencegah kegagalan
untuk mengenali lebih awaln penurunan kondisi pasien post operasi
29
10. Bagaimana penanganan pada pasien dengan menggunakan tabel
Modified Early Warning System (MEWS)
Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh perawat yang
bertugas di recovery room, apabila score pada nilai MEWS sudah
didapatkan maka penanganan pada pasien akan dilanjutkan sesuai
score, diantaranya (Kathy D.Duncan,2012) :
a. Skor 0-2 (hijau)
melanjutkan pemantauan rutin tanda-tanda vital
b. Skor 3 (kuning)
1) Lanjutkan pemantauan tanda vital per 5 menit dan hitung skor
MEWS
2) Jika pasien tetap pada skor 3 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, panggil perawat lain untuk menilai dan
menangani masalah pada pasien
c. Skor 4 (orens)
1) Menginformasikan pada perawat dan dokter penanggungjawab
pasien
2) Perawat menilai pasien dan memberi tahu perawat manajer /
dokter anastesi / pengawas di recovery room mengenai status
pasien
3) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital interval dan hitung
skor MEWS kembali
4) Ukur input dan output dan beritahu perawat jika output urin
jatuh di bawah 100 mL
d. Skor 5 (orens)
1) Informasikan ke dokter penanggung jawab pasien dan minta
penilaian pasien oleh dokter atau anastesi
2) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital, termasuk pulse
oximetry setiap jam
30
3) Jika pasien tetap pada score 5 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, minta transfer ke tingkat perawatan yang lebih
tinggi atau pindah pasien segera ke ICU
e. Skor 6 atau lebih (merah)
1) Panggil tim code blue dan dokter penanggungjawab pasien
segera
2) Pindahkan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi atau
ICU
11. kriteria pada setiap poin Modified Early Warning System (MEWS)
a. Tekanan darah (Seventh Joint National Committee on High Blood
Pressure,2017)
Tabel 2.3 Kriteria Modifed Early Warning System
TD Manajemen
TD Sistol Klasifikasi TD
Diastol
Observasi
90 ‒ 119 dan < 80 Normal
hemodinamik
31
dipilih adalah
penghambat sistem
renin–angiotensin
Dengan antagonis
kalsium, atau
penghambat sistem
renin–angiotensin
dengan diuret
Kolaborasi pemberian
terapy :
1.deuretik loop
2. ACE inhibitor
3.agonis alfa 2
4.antagonis kalsium
1.
32
60 ‒ 100 Normal Observasi hemodinamik
RR Klasifikasi Manajemen
2. cek AGD
3. manajemen airway
2. cek AGD
3. manajemen airway
33
d. Suhu atau temperatur (Seventh Joint National Committee on High
Blood Pressure,2017)
Tabel 2.6 Suhu dan temperatur
Suhu
Kesan Manajemen
(°C)
< 35.0 Hipotermia 1. memindahkannya dari lingkungan
dingin
2. menggunakan selimut tambahan
3. penghangatan aktif eksternal
dapat diterapkan (radiasi panas,
selimut hangat, dengan cairan
hangat intravena dan oksigen
yang dihangatkan)
34
12. Studi di rumah sakit pantiwilasa citarum Semarang
Di rumah sakit Pantiwilasa Citarum Semarang didaptkan
sebanyak 745 pasien di bulan Juli 2018 masuk ke ruang instalasi bedah
sentral untuk dilakukan tindakan pembedahan, baik pasien dengan
general anastesi ataupun spinal anastesi, pasien dengan post operasi
atau pasca bedah yang sudah dinyatakan stabil oleh dokter anastesi
akan dipindah ke recovery room untuk selanjutnya dilakukan
pemantuan kembali secara detail dan signifikan, dimana pemantauan
bertujuan untuk mendeteksi adanya ketidaksetabilan kondisi pasien
post operasi sehingga dapat dilakukan pecegahan secara dini atau
penanganan yang tepat untuk menghindari masalah keperawatan yang
dapat membahayakan keselamatan pasien post operasi. Dari hasil
penelitian Maike Raasing & Nicole Veekens (2018) di rumah sakit
Pantiwilasa Citarum Semarang, saat ini tidak ada metode yang
digunakan untuk pengenalan dini dan pengobatan pasien yang sangat
terancam. Sementara beberapa studi internasional menunjukkan bahwa
pengakuan dini dan pengobatan pasien yang terancam secara vital
dapat mengurangi angka kematian dan pengurangan jumlah resusitasi
35
BAB III
METODE PENELITIAN
36
C. Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan case study (studi kasus). Case
study adalah bagian dari metode kuantitatif yang hendak mendalami suatu
kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan
beraneka sumber informasi (Swarjana,2016)
37
kondisi tidak sadar saat masuk ruang operasi atau saat akan dilakukan
tindakan operasi
F. Alat penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel
modified early warning system (mews).
G. Langkah-langkah penelitian
1. Peneliti mengumpulkan data pasien yang akan dilakukan oprasi
dengan general anastesi di instalasi bedah sentral
2. Peneliti ikut serta dalam penerimaan pasien di recovery room dari
menit pertama pasien di pindahkan dari kamar bedah
3. Peneliti langsung melakukan monitoring pasien di recovery room
dengan mengunakan tabel modified early warning system (mews)
secara cepat, benar, dan teliti.
4. Melakukan pemantauan ulang sebanyak 3 kali setiap 5 menit untuk
pasien khusus dan 10 menit sekali untuk pasien elektif atau bias , serta
diberi tanggal dan jam saat dilakukan pemantauan
5. Melakukan intervensi yang sesuai pada tabel modified early warning
system (mews) dengan data yang didapatkan pada setiap pemantauan
yang dilakukan
6. Laporkan segera pada perawat yang bertuga atau dokter anastesi, atau
dokter yang bertanggung jawab apabila score yang didapatkan semakin
meningkat atau kondisi pasien memburuk
7. Melakukan evaluasi pada pasien sebelum dipindah ke bangsal serta
melaporkan kepada perawat bangsal hasil dari tabel modified early
38
warning system (mews) untuk selanjutnya dilakukan pemantauan dan
perawatan dibangsal
H. Instrumen penelitian
Peneliti menggunakan format asuhan keperawatan dengan
menggunakan pengkajian. Selain itu peneliti menggunakan lembar
observasi yang digunakan untuk catatan penelitian dalam mengklarifikasi
hasil dari penerapan modified early warning system (mews)
I. Definisi operasional
Penerapan modified early warning system (mews) merupakan salah
satu sasaran dari patien savety di recovery room, dalam penerapannya
pasien akan dilakukan pemantaun secara berkala dengan menggunakan
tabel MEWS setelah itu dapat diketahui sejauh mana kondisi pasien di
recovery room melalui jumlah skor yang didapatkan dengan data ordinal
yaitu (Kathy D.Duncan,2012) :
a) Skor 0-2 (hijau)
melanjutkan pemantauan rutin tanda-tanda vital
b) Skor 3 (kuning)
1) Lanjutkan pemantauan tanda vital per 4 jam (atau sesuai SOP
RS) dan hitung skor MEWS
2) Jika pasien tetap pada skor 3 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, panggil perawat lain untuk menilai dan
menangani masalah pada pasien
c) Skor 4 (orens)
1) Menginformasikan pada perawat dan dokter penanggungjawab
pasien
2) Perawat menilai pasien dan memberi tahu perawat manajer /
dokter anastesi / pengawas di recovery room mengenai status
pasien
39
3) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital menjadi 2 jam
(atau sesuai SOP RS) interval dan hitung skor MEWS kembali
4) Ukur input dan output dan beritahu perawat jika output urin
jatuh di bawah 100 mL setiap 4 jam
d) Skor 5 (orens)
1) Informasikan ke dokter penanggungjawab pasien dan minta
penilaian pasien oleh dokter atau anastesi
2) Tingkatkan frekuensi pemantauan tanda vital, termasuk pulse
oximetry setiap jam
3) Jika pasien tetap pada score 5 selama tiga kali pembacaan
berturut-turut, minta transfer ke tingkat perawatan yang lebih
tinggi atau pindah pasien segera ke ICU
e) Skor 6 atau lebih (merah)
1) Panggil tim code blue dan dokter penanggungjawab pasien
segera
2) Pindahkan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi atau
ICU
J. Etika penelitian
Menurut Notoatmodjo (2010) masalah etika penelitian keperawatan
sangat penting karena penelitian ini berhubungan langsung dengan
manusia, sehingga perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Informed Consent
Informed consent merupakan lembar persetujuan yang akan
diteliti agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian.Bila
responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak-hak
responden.
2. Tanpa Nama (Anomity)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden dan hannya menuliskan kode pada
lembar pengumpulan data.
40
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan kepada pihak yang terkait dengan peneliti
41