Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DESA SUNGAI

MENGKUANG KECAMATAN RIMBO TENGAH KABUPATEN BUNGO


”.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam melaksanakan reformasi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, salah satu hal mendasar yang harus dilakukan pada saat ini adalah
keseluruhan misi reformasi diarahkan pada upaya untuk memberdayakan masyarakat, baik
sebagai pemilik kedaulatan negara maupun sebagai subyek dan obyek reformasi politik itu
sendiri. Masyarakat harus diyakinkan bahwa mereka mempunyai kontribusi yang sangat
besar dalam pembangunan bangsa. Dalam pengertian bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pelayan masyarakat semakin membuka diri dalam menanggapi aspirasi-
aspirasi, tuntutan dan harapan yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu
masyarakat juga harus diberi keleluasan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kehidupan
pemerintahan dan kenegaraan, hal mana merupakan intisari dari demokrasi yang menjunjung
tinggi kedudukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Perwujudan dari partisipasi masyarakat dalam kehidupan pemerintahan dan
kenegaraan adalah dengan memberi peluang bagi masyarakat untuk menyalurkan
aspiransinya kepada pemerintah sesuai dengan semangat demokrasi adalah dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan
landasan pemikiran antara lain untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman Daerah.
Desa sebagai salah satu bentuk kesatuan masyarakat bukan hanya dipandang
sebagai suatu unit pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia tetapi lebih daripada
itu desa merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang telah ada jauh sebelum
terbentuknya Negara Indonesia, terlepas dari bentuk dan penyebutannya sehingga
dalam pelaksanaan semangat reformasi dan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dalam
sistem pemerintahan di daerah menyangkut pula dengan pemerintahan desa.
Berlakunya Undang-Undang 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 ini, merupakan kesempatan bagi daerah kabupaten/kota untuk mengatur
sendiri pembentukan, kedudukan, kewenangan serta tugas pokok dan fungsi Desa sesuai
dengan kebutuhan masyarakat di daerah dan kemampuan daerah sehingga dapat berbeda antara
daerah kabupaten/kota yang satu dengan yang lainnya. Daerah lebih leluasa dalam menentukan
dan memberikan kewenangan kepada Desa dalam rangka memenuhi tuntutan, keinginan dan
kebutuhan masyarakat, terlebih lagi penyelenggaraan pemerintahan di Desa banyak berkaitan
langsung dengan pemberian pelayanan publik. Kualitas pelayanan di Desa diharapkan akan
menjadi lebih baik dibandingkan pada saat pengaturan yang sentralistik. Sehingga diharapkan
mampu selalu dapat beradaptasi dengan kemajuan yang begitu cepat dan tidak dapat diprediksi
dalam memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Kemajuan yang begitu cepat dalam masyarakat dan hubungan antara masyarakat dan
pemerintah yang bersifat dinamis (Sadu Wasistiono, 2002 : 27), serta keberadaan birokrasi
pemerintah tersebut, menuntut aparat pemerintah yang bertugas pada level mikro (dimana
pelayanan secara langsung oleh aparat terhadap masyarakat berlangsung) atau mereka
menempatkan diri pada garis paling depan untuk secara jernih, peka dan responsif membaca
denyut nadi publik yang wajib dilahhhderyani (Tamim, 2004 : 74). Aparatur harus senantiasa
berusaha baik secara mandiri, maupun secara organisasi berusaha meningkatkan
keprofesionalan terkait dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab yang ada. Oleh karena
itu pada level inilah, baik dan tidaknya citra pemerintah dimata masyarakat dipertaruhkan.
Pelayanan yang positif dan berkualitas, secara empirik pada satu sisi akan
menciptakan kepuasan, kebahagian dan kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya akan
dapat mewujudkan tujuan pembangunan masyarakat. Pada sisi lain, merupakan ukuran tingkat
kinerja birokrasi pemerintahan. Oleh Supriatna (2000 : 139) mengemukakan bahwa : “Isu
peningkatan mutu pelayanan publik merupakan isu hangat dalam era pembangunan dewasa
ini”. Pelayanan umum merupakan isu sentral yang menentukan keberhasilan setiap lembaga
pemberi pelayananan, hal ini sebagaimana dikemukan oleh Thoha (1998 : 114) : ”Pelayanan
publik menjadi salah satu indikator penilaian kualitas administrasi pemerintahan dalam
melakukan tugas dan fungsinya. Baik tidaknya administrasi publik atau pemerintah itu dilihat
seberapa jauh pelayanan publiknya itu sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan
masyarakat”.
Demikian halnya Desa Sungai Mengkuang, sebagai organisasi terdepan dalam
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan umum yang menjadi urusan rumah tangga
daerah. Urusan pemeritah desa yang menjadi kewenangan yang harus dilaksanakan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 206 yaitu :
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
2. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan atau pemerintah
kabupaten/kota.
3. Urusan Pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan
kepada desa.
Pemberian urusan/kewenangan tersebut tentunya dimaksudkan sebagai upaya
menghadirkan pemerintahan ditengah masyarakat yang memerlukan perluasan jangkauan
pelayanan atau dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain
kebijakan ini membawa konsekwensi menjadikan organisasi Desa sebagai unit pemerintahan
otonom terdepan yang menyelenggarakan pelayanan publik. Secara ideal dalam rangka
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Realitas faktual yang berbeda dapat kita lihat, dalam praktek penyelenggaran
pelayanan di Desa yaitu : masyarakat kurang puas dengan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh Kantor Desa, kesenjangan terjadi dari segi waktu maupun tuntutan-tuntutan komplain
lainnya yang diajukan oleh pemohon untuk Pemerintah Desa. Misalnya Pelayanan Kartu
Penduduk (KTP) yang dirasakan sangat memakan waktu yang lama, pelayanan akta jual beli
tanah yang dirasakan sangat berbelit-belit dan biayanya sangat mahal. Menurut Hardijanto
(2002 : 89) bahwa :
Perlu diakui kinerja birokrasi pemerintahan Indonesia memang belum optimal. Hal ini antara
lain disebabkan oleh ukuran birokrasi relatif besar, susunan organisasi pemerintahan yang
belum sepenuhnya mengacu kepada kebutuhan, pembagian tugas antar instansi/unit yang
kurang jelas, aparat yang kurang professional, prosedur standar yang belum tersedia secara
baku serta system pengawasan yang masih belum efektif.

Dalam pemberian pelayanan, organisasi pelayanan publik belum mampu memberikan


pelayanan yang cepat, berkualitas tinggi, serta merata kepada warga Negara yang menerima
pelayanan tersebut (Efendi, 1985 : 147). Rasyid (1997 : 136), menyatakan bahwa : ”birokrasi
gagal dalam meningkatkan pelayanan publik, ini tercermin dari buruknya kualitas pelayanan
publik di bidang perizinan usaha, sertifikat tanah, IMB, lingkungan hidup, angkutan kota,
rumah sakit, jalan raya, air minum, listrik, pemadam kebakaran, pasar dan sebagainya”.
Apabila masyarakat memerlukan sesuatu yang dipersiapkan oleh instansi terkait harus
berhadapan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan pelayanan yang tidak pasti waktunya
(A.Ritonga, 1999 : 36). Hal yang sama dikemukakan Abidin (2002 : 13) menyatakan bahwa :
“Birokrasi pemerintahan bersifat kaku, berbelit-belit dan cenderung tidak melayani rakyat,
tetapi minta dilayani”, sedangkan menurut Kaloh (2002 : 111) menyatakan bahwa : ”Dalam
aspek pelayanan masyarakat sehari-hari terkesan bahwa hampir setiap warga masyarakat yang
datang berurusan dengan birokrasi akan bertemu dengan pegawai yang berseragam kurang
ramah, kurang informatif, lambat dalam pemberian pelayanan, mata duitan dan kurang
professional”.
Gambaran mengenai fenomena di atas, memperlihatkan adanya suatu kondisi Desa
yang belum dapat diperankan dengan optimal sebagai sebuah organisasi modern yang
semestinya memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dan
dapat secara efektiv berperan sebagai organisasi terdepan, karena adanya respons resistensi.
Tujuan pemberian otonomi daerah dan keberadaan daerah adalah untuk
mensejahterakan masyarakat melalui pemberdayaan dan penyediaan pelayanan publik secara
efektif, efisien, ekonomis dan demokratis (Suwandi, 2002:4). Oleh karena itu, pemberian
kewenangan pemerintahan secara penuh kepada daerah kabupaten/kota dimaksudkan karena
daerah itu lebih dekat kepada masyarakat sebagai pihak yang dilayani dan diberdayakan.
Asumsinya semakin dekat jarak antara pelayan dan yang dilayani maka pelayanan akan sesuai
dengan harapan masyarakat. Apabila pelayanan sesuai dengan harapan masyarakat maka
diharapkan kualitas pelayanan akan menjadi lebih baik. Dengan demikian pembentukan suatu
Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari kerangka pemikiran tersebut diatas, menarik untuk dicermati
keberadaan Pemerintah Desa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
organisasi terdepan dalam memberikan pelayanan, dimana desa itu lebih dekat kepada
masyarakat sebagai pihak yang dilayani dan diberdayakan. Asumsinya semakin dekat jarak
antara pelayan dan yang dilayani maka pelayanan akan sesuai dengan harapan masyarakat.
Atas dasar fenomena tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, penulis khusus
meneliti dan mengkaji tentang “ANALISIS KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DESA
SUNGAI MENGKUANG KECAMATAN RIMBO TENGAH KABUPATEN BUNGO ”.

1.2. Permasalahan Penelitian


1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan fenomena tersebut diatas, diperoleh informasi bahwa permasalahan yang
timbul terkait dengan pelayanan adalah sebagai berikut :
1. Rendahnya kualitas pelayanan yang dilakukan aparat pemerintah dan masih banyaknya
masyarakat yang membutuhkan pelayanan di desa, akan tetapi tidak mendapat pelayanan.
2. Pelayanan yang diberikan prosedurnya berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku, tarif
layanan yang tidak jelas, waktu penyelesaian suatu urusan yang lama dan perilaku oknum
aparat yang memberikan pelayanan kepada masyarakat kadangkala kurang bersahabat, arogan,
kurang ramah, kurang informatif bahkan tidak professional dalam melaksanakan tugasnya.
3. Masih rendahnya kinerja yakni dilihat masih adanya perbedaan hasil kerja yang dicapai
dengan target yang ditetapkan.
4. Kondisi lingkungan kerja yang kurang kondusif, menyebabkan komunikasi antar
personil baik intern organisasi maupun ekstern organisasi belum optimal.
5. Sarana dan prasarana kerja yang kurang mendukung tugas pelayanan.
6. Kepemimpinan yang kurang mendukung pelaksanaan tugas aparat kecamatan di dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan.
7. Tidak efektifnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
8. Penempatan pegawai pada jabatan dan tugas belum mencerminkan latar belakang
pendidikan.
9. Kurang kondusifnya kondisi dan lingkungan kerja.
10. Kurangnya komunikasi antar personil baik intern organisasi maupun ekstern organisasi.
11. Kurangnya sarana dan prasarana kerja yang mendukung pelaksanaan tugas pelayanan
kepada masyarakat.
12. Rendahnya motivasi aparat, hal ini nampak tidak adanya semangat kerja
13. Rendahnya kemampuan pegawai baik secara tehnis dan operasional dalam
melaksanakan tugas.

1.2.2. Pembatasan Masalah


Berdasarkan uraian dalam identifikasi masalah yang diajukan, dibatasi pada Analisis
Kualitas Pelayanan Publik di Desa Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo Tengah Kabupaten
Bungo.
1.2.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas pelayanan publik di Desa Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo
Tengah Kabupaten Bungo?.
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik di Desa Sungai
Mengkuang Kecamatan Rimbo Tengah Kabupaten Bungo?.
1.3. Tujuan dan Kegunaan
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan masalah dan perumusan masalah diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik di Desa Sungai Mengkuang
Kecamatan Rimbo Tengah Kabupaten Bungo.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik di Desa
Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo Tengah Kabupaten Bungo.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini ada pada dua aspek :
1. Aspek teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
perkembangan konsep ilmu, khususnya di bidang kualitas pelayanan oleh organisasi publik
yang dilakukan melalui pemahaman teoritis.
2. Aspek Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
Kabupaten Bungo, Kecamatan Rimbo Tengah khususnya pemerintah Desa Sungai
Mengkuang, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.
BAB II
PENDEKATAN MASALAH

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Konsep Kualitas Pelayanan Publik
2.1.1.1. Pelayanan Publik (Public Service).
Menurut Pamudji (1994 : 21) mengemukakan “pelayanan publik adalah berbagai
kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa”.
Hal yang sama dikemukakan Widodo (2001 : 269) bahwa :”Pelayanan publik sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”.
Boediono (2003 : 12) menyatakan bahwa : “pelayanan pelanggan adalah upaya atau
proses yang secara sadar dan terencana dilakukan organisasi atau badan usaha agar
produk/jasanya menang dalam persaingan melalui pemberian/penyajian pelayanan kepada
pelanggan sehingga tercapai kepuasaan optimal bagi pelanggan”. Sedangkan Djaenuri (1999 :
15) mendefinisikan tentang pelayanan masyarakat adalah “ Suatu kegiatan yang merupakan
perwujudan dari tugas umum pemerintahan mengenai bidang tugas pokok suatu instansi untuk
dapat melayani kebutuhan masyarakat secara maksimal”. Sedangkan Ndraha (1996 : 64)
mengemukakan bahwa :
“Pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah terkait dengan suatu hak dan lepas dari
persoalan apakah pemegang hak itu dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam hal
ini dikenal adalah hak bawaan (sebagai manusia) dan hak berian. Hak bawaan itu selalu
bersifat individual dan pribadi, sedangkan hak berian meliputi hak sosial politik dan hak
individual. Lembaga yang berkewajiban memenuhi hak tersebut adalah pemerintah. Kegiatan
pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak berian itulah yang disebut pelayanan
pemerintah kepada masyarakat termasuk pribadi-pribadi pemilik hak bawaan”.

Dalam konteks hubungan pemerintah dengan masyarakat, menurut Saefullah (1999


: 5), pelayanan publik (public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang
bersangkutan. Karenanya birokrasi publik (pemerintah) berkewajiban untuk memberikan
layanan publik yang baik dan profesional..
Dalam perkembangan konsep pelayanan, seiring dengan reformasi di sektor
publik/pemerintahan yang mulai mengadopsi pendekatan-pendekatan pelayanan yang
dilakukan di sektor privat/bisnis dalam rangka kompetisi untuk memberikan yang terbaik
kepada masyarakat, masyarakat mulai ditempatkan bukan hanya sebagai penerima pelayanan
mengikuti kemauan yang memberi pelayanan, tetapi masyarakat ditempatkan sebagai
pelanggan atau konsumer, yang menjadi penentu kualitas pelayanan yang diberikan.
Dalam hubungan dengan hal tersebut, maka diskusi tentang pelayanan kepada
masyarakat akan melibatkan 4 (empat) unsur yang terkait, yaitu : Pertama, adalah pihak
pemerintah atau birokrasi yang melayani; Kedua, adalah pihak masyarakat yang dilayani;
Ketiga, terjalin hubungan antara yang melayani dan yang dilayani, hubungan ini sangat
menentukan tingkatan tingkatan pelayanan pemerintah dan pemanfaatan pelayanan tersebut
oleh masyarakat; Keempat, adanya pengaruh lingkungan di luar birokrasi dan masyarakat,
seperti : politik, social budaya, ekonomi dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai batasan konsep tersebut di atas, menunjukkan bahwa pelayanan
publik berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat secara baik dan berkualitas sebagai konsekuensi dari tugas dan fungsi
pelayanan yang diembannya, berdasarkan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan pemerintahan dan pembangunan.

2.1.1.2. Kualitas Pelayanan Publik


Menurut Geotsh dan Davis (dalam Tjiptono, 1996 : 51) mengemukakan bahwa :
“kualitas adalah merupakan suatu kondisi dinamik yang berhubungan dengan produk jasa
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Towns dan Gebhardt
(dalam Edvardsson,dkk, 1988 :45), “berbicara mengenai kualitas dalam kenyataan dan kualitas
dalam persepsinya. Kualitas dalam kenyataannya berarti disesuaikan spesifikasi. Kualitas
dalam persepsi berarti pelanggan berpikir bahwa mereka telah menerima kualitas yang
diharapkan”. Sedangkan Gasperz (1997 : 21) mendefinisikan kualitas adalah :segala sesuatu
yang mampu memeenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of
customers)”.
Dalam pandangan Elhaitmmy (dalam Tjiptono, 1998 : 58), kualitas pelayanan
adalah service excellence atau pelayanan yang unggul, yakni suatu sikap atau cara
karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Secara garis besar ada 4 (empat)
unur pokok dalam konsep pelayanan yang unggul, yaitu 1).Kecepatan; 2).Ketepatan;
3).Keramahan; 4).Kenyamanan. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan pelayanan
yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak excellence bila ada
komponen yang kurang. Untuk mencapai tingkat excellence, menurut Tjiptono (1998 : 58) :
“Seorang karyawan harus memiliki ketrampilan tertentu, dintaranya berpenampilan baik dan
rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani,
tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya
baik tugas yang berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu
berkomunikasi dengan baik bisa memahami bahasa isyarat (gesture) pelanggan, dan memiliki
kemampuan menangani keluhan pelanggan secara professional”.

Sedangkan Lukman (1998 : 14) mengartikan “kualitas pelayanan adalah pelayanan


yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan
sebagai pedoman dalam pemberian layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah
ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik”.
Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas, menunjukkan bahwa kualitas
selalu berfokus pada pelanggan (masyarakat). Dengan demikian produk-produk, baik barang
dan jasa, didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan
pelanggan. Karena kualitas mengacu kepada segala sesuatu yang menentukan kepuasan
pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai
dengan persepsi, keinginan dan tuntutan, dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pelanggan.
Oleh karena kualitas pelayanan ditentukan oleh tuntutan, keinginan, harapan atau kepuasan
masyarakat, bukan pemerintah/birokrasi, maka organisasi pemerintah harus mengetahui dan
memahami segala sikap dan perilaku, tuntutan, keinginan,kebutuhan, harapan atau tingkat
kepuasan pelanggan. Strategi ini merupakan cara yang terbaik dalam menciptakan dan
mewujudkan kualitas pelayanan. Upaya untuk mendengar suara masyarakat atau pelanggan
merupakan hal yang penting yang harus dilakukan organisasi birokrasi. Menurut Osborne
dan Gaebler (1992 : 177-179), terdapat banyak cara untuk mendengarkan suara pelanggan,
yaitu : “Customer Surveys, Customer Follow-Up, Community Surveys, Customer Contact
Reports, Customer Councils, Focus Groups, Customer Interviews, Electronic Mail, Customer
Service Training, Test Marketing, Quality Quarantees, Inspectors, Ombusman, Complaint
Tracking System, 800 Numbers, Suggestion Boxes Or Forms”.
Dalam mewujudkan kualitas pelayanan publik, menurut Waworuntu (1997 : 3-4) yaitu :
Suatu pelayanan masyarakat yang bermutu menuntut adanya upaya dari seluruh pegawai,
baik yang bertugas di front office, yaitu mereka yang berhadapan langsung dengan
masyarakat dalam menghasilkan pelayanan yang mencerminkan kualitas sikap maupun para
pegawai di back office yang menghasilkan pelayanan di belakang layar yang tidak kelihatan
oleh masyarakat.
Secara praktis-operasional, kulitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah
pelayanan yang semakin baik, semakin tepat waktu, semakin mudah diperoleh dan
distribusinya semakin adil, pelayanan yang lebih cepat, wajar, hemat, murah, jujur,
responsifm akomodatif, inovatif, produtif, memuaskan dan profesional (Thoha,1995 : 41;
Pamungkas,1996 : 207; Rasyid,1997b : 100; Ndraha,1997c : 63) sesuai persepsi, tuntutan,
kebutuhan, kepentingan, aspirasi, situasi dan kondisi masyarakat.
Demikian pentingnya kualitas dalam pelayanan publik ini pemerintah Indonesia
sebenarnya telah menyadari akan pentingnya penerapan konsep kualitas dalam pelayanan
kepada masyarakat. Keprimaan dalam pemberian layanan pada gilirannya akan mendapatkan
pengakuan atas kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat/pelanggan (Pelayanan Prima
Dalam hubungan itu, untuk mewujudkan kualitas pelayanan, maka menurut
Waworuntu (1997 : 44,75) diperlukan teknik atau keterampilan pelayanan masyarakat, yaitu :
“Berpakaian baik dan berpenampilan rapih, senyum, pantulkan kepercayaan dan kehangatan,
melalui mata dan raut muka, bahagiakan masyarakat, sedapat mungkin sambutlah masyarakat
dengan menyebut namanya, perhatikan dan dengarkan dengan baik apa yang jendak
dikatakan masyarakat, perhatikan bahasa butuh dan hindarilah tabiat yang membosankan
serta kebiasaan buruk, perlakuan selalu masyarakat dengan hormat dan sopan, perlihatkan
minat dan gairah terhadap pekerjaaan, bicara dengan jelas dengan nada yang tidak keras dan
tidak terburu-buru, gunakan bahasa yang baik, dengan kata-kata dan kalimat yang mengena,
kesankanlah pasa masyarakat sebagai pegawai instansi yang terampil, menangani keluhan
masyarakat dengan sikap profesional, tetaplah tenang, hindari penggunaan teguran kasar,
jangan menyela pembicaraan dan menyombongkan diri dihadapan masyarakat, bila
masyarakat memiliki keluhan harus diperhatikan, berilah pilihan dalam menanggapi
permintaan masyarakat, bila tidak dapat menjawab atau menangani masalah masyarakat
carilah orang lain yang tepat yang dapat menyelesaikan atau memecahkan masalah tersebut,
bila tidak dapat melayani masyarakat dengan segera beritahukanlah, bila memerlukan
keterangan lebih lanjut untuk menangani permintaan masyarakat ajukan pertanyaan, jangan
berdebat dengan masyarakat, yakin bahwa masyarakat meninggalkan instansi dengan
perasaan puas, kerjakan segala sesuatu dengan memperhitungkan tindak lanjut”.
Namun pada dasarnya bahwa tingkat kemampuan bersaing suatu lembaga akan
ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan. Penilaian tentang kualitas pelayanan
bukan berdasarkan pengakuan dari yang memberi pelayanan, tetapi diberikan oleh pelanggan
atau yang menerima pelayanan. Berkaitan dengan kualitas pelayanan ini, timbul pertanyaan
bagaimanakah menilai atau mengukur kualitas pelayanan yang diberikan ?. Menurut Berry
,et.al (Lovelock,1992 : 225), sebagaimana dikutip Saefullah (1999: 9), mengemukakan bahwa
:
“Sulit untuk mengukur kualitas pelayanan, tidak ada suatu standar yang dapat dipakai ukuran
umum tentang kualitas pelayanan. Mengukur kualitas pelayanan oleh banyak ahli lainnya
dipandang lebih sulit daripada mengukur kualitas suatu produk. Hal ini disebabkan karena
kualitas pelayanan tidak cukup hanya dengan evaluasi semata, karena ada tiga hal yang
membedakan antara kualitas produk dengan kualitas pelayanan, dalam kaitannya dengan
bagaimana dipergunakan dan dievaluasi. Pertama, pelayanan pada dasarnya bersifat tidak
berwujud (intangible). Dalam hal ini kualitas pelayanan sulit untuk diukur sebelum
pelanggan merasakannya. Kedua, pelayanan bersifat heterogeneous, dimana kinerjanya
biasanya berbeda antara satu prosedur dan pelanggan dengan lainnya dan berbeda dari hari ke
hari. Ketiga, produksi dan konsumsi dari berbagai pelayanan bersifat tidak dapat dipisah-
pisahkan (inseparable). Dalam hal ini kualitas pelayanan seringkali terjadi pada sat pelayanan
itu dijalankan dan sangat berbeda”.

Namun demikian kesulitan untuk mengukur kualitas pelayanan tersebut bukan


merupakan justifikasi tentang tidak terukurnya kualitas pelayanan sutau organisasi kepada
pelanggan/masyarakat. Dalam hal ini beberapa sarjana telah mengembangkan dimensi
kualitas pelayanan sebagai suatu acuan dalam menilai kualitas pelayanan suatu organisasi.
Menurut Kotler (dalam Supranto,1997 : 231) mengemukakan dimensi kualitas
pelayanan, meliputi :
1. Keandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan
dengan tepat dan terpercaya.
2. Keresponsifan (Responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan
memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan.
3. Keyakinan (Confidence), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan serta
kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan assurance.
4. Empat (Emphaty), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi
pelanggan.
5. Berwujud (Tangibles), yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media
komunikasi.

Senada pendapat tersebut diatas, Parasuraman (1990 : 26) mengemukakan 5


(lima) langkah penting untuk mengukur kualitas pelayanan yaitu :
1. Reliability (Keandalan), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan
dengan tepat dan terpercaya.
2. Responsiveness (Daya tanggap), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan
memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan.
3. Assurance (Jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan
mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.
4. Emphaty (Empati), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.
5. Tangibles (Bukti Langsung), yaitu fasilitas fisik, peralatan, personil dan media
komunikasi.

Demikian juga dengan Ndraha (1997 : 63) mengemukakan bahwa :


“Jasa layanan atau layanan civil dipandang sebagai deviden yang wajib didistribusikan kepada
rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik, semakin tepat waktu, semakin mudah diperoleh,
dan semakin adil. Tekanan pada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan dan keadilan
dalam layanan publik (civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan publik
(civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengharapkan layanan yang sama pada
institusi lain di luar pemerintahan”.

Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap


warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima.
Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran
masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang
berasal dari pengguna pelayanan, merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas
pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali
baik sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.
Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda.
Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap
sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain. Maka kesepakatan terhadap kualitas
sangat sulit untuk dicapai. Dalam hal ini yang dijadikan pertimbangan adalah kesulitan atau
kemudahan konsumen dan produsen di dalam menilai kualitas pelayanan.

GAMBAR 2.1

MATRIK PENILAIAN PELAYANAN

Tingkat kesulitan pengguna di dalam mengevaluasi


Tingkat kesulitan kualitas
produsen di dalam
mengevalusi kualitas Rendah Tinggi

Rendah Mutual Knowledge Producer Knowledge

Tinggi Consumer Knowledge Mutual Ignorance

Sumber : Kieron Walsh, 1991 (dalam majalah Public Administration)

Sedangkan menurut Utomo (1987 : 132) menyatakan bahwa : Memang pada dasarnya
ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat tinggi rendahnya suatu kualitas pelayanan publik,
yaitu sebagaimana gambar 1 berikut ini :

GAMBAR 2.2

SEGITIGA KESEIMBANGAN DALAM KUALITAS PELAYANAN


(The Triangle of Balance in Service Quality)
BAGIAN ANTAR PRIBADI
YANG MELAKSANAKAN
(Inter Personal Component)

BAGIAN PROSES & LINGKUNGAN BAGIAN PROFESIONAL & TEKNIK


YANG MEMPENGARUHI YANG DIPERGUNAKAN
(Process/Environment Component) (Professional/Technical Component)

Dari gambar diatas menjelaskan bahwa dalam melihat tinggi rendahnya kualitas
pelayanan publik perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara :
1. Bagian antar pribadi yang melaksanakan (Inter Personal Component);
2. Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (Process and
Environment Component);
3. Bagian profesional dan teknik yang
dipergunakan (Professional and Technical Component).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kualitas dapat diberi pengertian sebagai
totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan. Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang
memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.
2.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik
Berdasarkan segitiga keseimbangan dalam kualitas pelayanan (gambar 2.2) dan
keseluruhan uraian konsep dan teori sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini penulis
mencoba mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik
yang antara lain disebabkan oleh :
1. Struktur organisasi;
2. Kemampuan aparat;
3. Sistem pelayanan.
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Struktur Organisasi
Menurut Anderson (1972 : 31), struktur adalah susunan berupa kerangka yang
memberikan bentuk dan wujud, dengan demikian akan terlihat prosedur kerjanya. Dalam
organisasi pemerintahan, prosedur merupakan sesuatu rangkaian tindakan yang ditetapkan
lebih dulu, yang harus dilalui untuk mengerjakan sesuatu tugas.
Sementara itu dalam konsep lain dikatakan bahwa struktur organisasi juga dapat
diartikan sebagai suatu hubungan karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola
hubungan yang terjadi di dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik
potensial atau nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijaksanaan (Van
Meter dan Van Horn dalam Winarno 1997 ; 27). Pengertian ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Robbins (1995 ; 135) bahwa “struktur organisasi menetapkan bagaimana
tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta pola
interaksi yang akan diikuti”.
Lebih jauh Robbins mengatakan bahwa struktur organisasi mempunyai tiga
komponen, yaitu : kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas berarti dalam
struktur orgaisasi mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi termasuk
di dalamnya tingkat spesialisasi atau pembagian kerja, jumlah tingkatan dalam organisasi serta
tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis. Formalisasi berarti dalam
struktur organisasi memuat tentang tata cara atau prosedur bagaimana suatu kegiatan itu
dilaksanakan (Standard Operating Prosedures), apa yang boleh dan tidak dapat dilakukan.
Sentralisasi berarti dalam struktur organisasi memuattentang kewenangan pengambilan
keputusan, apakah disentralisasi atau didesentralisasi.
Berdasarkan pengertian dan fungsi struktur organisasi tersebut menunjukkan bahwa
struktur organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi, sehingga
dengan demikian struktur organisasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan.
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, apabila komponen-komponen struktur
organisasi yang mendukung disusun dengan baik antara pembagian kerja atau
spesialisasi disusun sesuai dengan kebutuhan, dapat saling menunjang, jelas wewenang tugas
dan tanggung jawabnya, tidak tumpang tindih, sebaran dan tingkatan dalam organisasi
memungkinkan dilakukannya pengawasan yang efektif, struktur organisasi desentralisasi
memungkinkan untuk diadakannya penyesesuaian atau fleksibel, letak pengambilan keputusan
disusun dengan mempertimbangkan untuk rugi dari sistem sentralisasi dan desentralisasi,
antara lain sentralisasi yang berlebihan bisa menimbulkan ketidakluwesan dan mengurangi
semangat pelaksana dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan desentralisasi yang berlebihan
bisa menyulitkan dalam kegiatan pengawasan dan koordinasi.
Untuk struktur organisasi perlu diperhatikan apakah ada petugas pelayanan yang
mapan, apakah ada pengecekkan penerimaan atau penolakkan syarat-syarat pelayanan, kerja
yang terus-menerus berkesinambungan, apakah ada manajemen yang komitmen, struktur yang
cocok dengan situasi dan kondisi dan apakah ada sumberdaya yang mapan.
Dalam pengendalian pelayanan perlu prosedur yang runtut yaitu antara lain penentuan
ukuran, identifikasi, pemeliharaan catatan untuk inspeksi dan peralatan uji, penilaian,
penjaminan dan perlindungan (Gaspersz, 1994 : 67).
Oleh karena itu struktur organisasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap
pencapaian kualitas pelayanan. Akan tetapi, apabila struktur organisasi tidak disusun dengan
baik maka akan dapat menghambat kualitas pelayanan publik yang baik.
Berdasarkan uraian tentang struktur organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa
indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian tentang kualitas pelayanan publik ini
adalah :
1. Tingkat pembagian tugas pokok dan fungsi;
2. Kejelasan pelaksanaan tugas antar instansi;
3. Tingkat hubungan antara atasan dan bawahan.

b. Kemampuan Aparat
Siapa yang disebut aparatur pemerintah, adalah kumpulan manusia yang mengabdi
pada kepentingan negara dan pemerintahan dan berkedudukan sebagai pegawai negeri
(Tayibnapsis, 1993 : 23), sedangkan menurut Moerdiono (1988 : 14) mengatakan “aparatur
pemerintah adalah seluruh jajaran pelaksana pemerintah yang memperoleh kewenangannya
berdasarkan pendelegasian dari Presiden Republik Indonesia”.
Dengan kata lain aparatur negara atau aparatur adalah para pelaksana kegiatan dan
proses penyelenggaraan pemerintahan negara, baik yang bekerja di dalam tiga badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun mereka yang sebagai TNI dan pegawai negeri sipil
pusat dan daerah yang ditetapkan dengan peraturan peraturan pemerintah.
Dari aparat negara dan atau aparatur pemerintah, diharapkan atau dituntut adanya
kemampuan baik berupa pengetahuan, keterampilan serta sikap perilaku yang memadai, sesuai
dengan tuntutan pelayanan dan pembangunan sekarang ini (Handayaningrat, 1986 : 75).
Sementara itu, konsep lain mendefinisikan kemampuan atau ability sebagai sifat yang dibawa
lahir atau dipelajari yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu yang bersifat mental
atau fisik (Bibson, 1991 : 39), sedangkan skill atau keterampilan adalah kecakapan yang
berhubungan dengan tugas (Soetopo, 1999 : 56).
Berkaitan dalam hal kualitas pelayanan publik, maka kemampuan aparat sangat
berperan penting dalam hal ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Untuk itu
indikator-indikator dalam kemampuan aparat adalah sebagai berukut :
1. Tingkat pendidikan aparat;
2. Kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal;
3. Kemampuan melakukan kerja sama;
4. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dialami organisasi;
5. Kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan;
6. Kecepatan dalam melaksanakan tugas;
7. Tingkat kreativitas mencari tata kerja yang terbaik;
8. Tingkat kemampuan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada atasan;
9. Tingkat keikutsertaan dalam pelatihan/kursus yang berhubungan dengan bidang
tugasnya.

c. Sistem Pelayanan
Secara definisi sistem adalah suatu jaringan yang berhubungan satu sama lain menurut
skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dalam suatu usaha
atau urusan (Prajudi, 1992 : 21), bisa juga diartikan sebagai suatu kebulatan dari keseluruhan
yang kompleks teroganisisr, berupa suatu himpunan perpaduan hal-hal atau bagian-bagian
yang membentuk suatu kebulatan dari keseluruhan yang utuh (Pamudji, 1981 : 14).
Untuk sistem pelayanan perlu diperhatikan apakah ada pedoman pelayanan, syarat
pelayanan yang jelas, batas waktu, biaya atau tarif, prosedur, buku panduan, media informasi
terpadu saling menghargai dari masing-masing unit terkait atau unit terkait dengan masyarakat
yang membutuhkan pelayanan itu sendiri.
Dengan demikian sistem pelayanan adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian
pelayann yang saling terkait, bagian atau anak cabang dari suatu sistem pelayanan terganggu
maka akan menganggu pula keseluruhan palayanan itu sendiri. Dalam hal ini apabila salah satu
unsur pelayanan sepertinggi mahalnya biaya, kualitasnya rendah atau lamanya waktu
pengurusan maka akan merusak citra pelayanan di suatu tempat.
Beradasarkan uraian diatas, dalam penelitian ini maka indikator-indikator sistem
pelayanan yang menetukan kualitas pelayanan publik adalah :
1. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan berkait dengan lokasi tempat pelayanan;
2. Kejelasan informasi tentang pelayanan yang diberikan;
3. Perlindungan terhadap dampak hasil pelayanan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan kualitas
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan
sistem pelayanan. Ketiga faktor ini saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan
dalam ikut menentukan tinggi rendahnya dan baik buruknya suatu pelayanan yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Kualitas pelayanan publik mempunyai indikator ketepatan waktu, kemudahan dalam
pengajuan, akurasi pelayanan yang bebas dari kesalahan dan biaya pelayanan. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan.
Semakin baik faktor struktur organisasi, kemampuan aparat dan sistem pelayanan
maka kualitas pelayanan publik akan semakin baik pula dan semakin dapat memuaskan
masyarakat sebagai pengguna hasil pelayanan. Sehingga kualitas pelayanan.

2.2. Landasan Norma dan Kebijakan


Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, telah disusun indeks
kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan yang termuat
dalam Keputusan Menpan Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan
MenPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, yang kemudian dikembangkan menjadi 14 unsur
yang ”relevan, valid dan reliabel” (2004:9), sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar
pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan ;
2. Prasyarat pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk
mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan ;
3. Kejelasan petugas pelayanan; yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan
pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya);
4. Kedisiplinan petugas pelayanan; yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku ;
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab
petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan ;
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan/menyelesaiakan pelayanan kepada masyarakat;
7. Kecepatan pelayanan, yaitu terget waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan ;
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golonga/status masyarakat yang dilayani ;
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat sexcara sopan dan ramah serta saling menghargai dan
menghormati ;
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya
yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya
yang telah ditetapkan ;
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan ;
13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih,
rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan ;
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang
untuk mendapatkan pelayanan tarhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan
pelayanan.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Didalam menjelaskan dan mengembangkan serta menguji kebenaran suatu
pengetahuan dengan cara ilmiah maka digunakan metodologi penelitian. Metodologi penelitian
merupakan suatu kajian yang berkenaan dengan metode-metode yang dipakai dalam suatu
proses kegiatan penelitian. Merujuk pada makna etimologis, Rusidi (2002:1) membatasi pada
pemikiran bahwa:
“Kata metode yang dapat diartikan sebagai cara berpikir dan cara melaksanakan hasil berpikir
(teknik) guna melakukan suatu pekerjaan secara lebih baik dalam mencapai tujuannya (secara
efektif). Sedangkan kata penelitian diartikan sebagai suatu upaya yang bermaksud mencari
jawaban yang benar terhadap suatu realita yang dipikirkan (dipermasalahkan) dengan
menggunakan metode-metode tertentu atau cara berpikir atau teknik tertentu menurut prosedur
sistematis, yang bertujuan menemukan, mengembangkan dan atau menerapkan pengetahuan,
ilmu dan teknologi, yang berguna baik bagi aspek keilmuan maupun bagi aspek guna laksana
atau praktis”.
Berpijak dari pemikiran di atas penelitian merupakan suatu proses dari kegiatan
ilmiah yang pada hakekatnya berawal dari minat untuk mengetahui suatu gejala tertentu.
Selanjutnya berhubungan dan berkembang menjadi gagasan, melalui pengkolaborasian
pemikiran Sugiyono (2002:2) dengan Hadi (2001:4) maka penelitian/research berdasarkan
tujuannya dapat didefinisikan “sebagai usaha untuk menemukan (penelitian murni),
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan maupun teori (penelitian
terapan), usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah”.
Berpijak kepada dalil-dalil di atas dan memperhatikan uraian fokus penelitian
maupun tujuan penelitian di bab terdahulu, maka tujuan penelitian ini lebih bersifat kepada
penelitian terapan. Di mana penelitian ini mengutamakan kepada upaya untuk mengetahui
Kualitas Pelayanan di Desa Sungai Mengkuang. Penganalisisan yang bertujuan untuk
mengetahui kualitas pelayanan tersebut dilakukan melalui pendekatan fenomena fakta
empirik dengan menggunakan dan berpijak atau mendekatkan permasalahan fokus penelitian
ini kepada teori-teori atau dalil-dalil yang berkaitan dengan fokus permasalahan penelitian
sebagai pijakan dan pegagangan atau postulat (rel) dalam penelitian ini. Konseptualisasi
terhadap pengetahuan dan teori tersebut pada akhirnya menentukan metode penelitian yang
sesuai atau sering juga diawali dengan penetapan desain penelitian.
Desain penelitian menurut Arikunto (2002:44), “adalah rencana atau rancangan yang
dibuat oleh peneliti sebagai ancar-ancar kegiatan yang dilaksanakan”. Atau dengan kata lain
“desain penelitian adalah suatu rencana tentang cara mengumpulkan dan cara menganalisis
data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta sesuai dengan tujuan penelitian” (Nazir,
1999:99). Memperhatikan informasi teoritik ahli tersebut serta mengingat tujuan penelitian
terapan ini untuk mengetahui secara deskriptif atas fenomena fakta empirik dari fokus
permasalahan yang diteliti dengan menekankan pada prinsip penjajakan yang proporsional dan
representatif yang berimbang, maka penelitian ini menggunakan desain analisis pendekatan
verifikatif survey method dengan tingkat ekplanasi deskriptif. Penelitian survey dapat
dipergunakan untuk berbagai macam maksud, diantaranya untuk penjajakan, evaluasi
penelitian operasional dan sebagai pengembangan indikator-indikator sosial. Hal ini sesuai
dengan pendapat Singarimbun dan Effendi (1989:4) yang menyatakan: “Penelitian survey
dapat dipergunakan untuk maksud (1) penjajakan explorative (2) Deskriptif (3) Penjelasan
(explanatory atau confirmatory) yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian
hipotesis (4) Evaluasi (5) Prediksi atau meramalkan masa yang akan datang (6) Penelitian
operasional (7) Pengembangan indikator sosial”
Kejelasan pemahaman metode pendekatan survey dalam penelitian ini dapat
bersandar pada batasan yang digariskan Kerlinger (dalam Sugiyono, 2002:3) bahwa “penelitian
survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang
dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan
kejadian-kejadian relatif, distributif, dan hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis
maupun psikologis”.
Menggunakan metode penelitian survey deskriptif, maka jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan induktif. Dimana untuk mencapai
pemahaman dan kebenaran makna berdasarkan fakta empirik tentang kenyataan/masalah-
masalah aktual yang sebenarnya berada di lokasi penelitian kemudian dilakukan penelaahan
agar dapat diperoleh gambaran yang jelas serta sistematis dalam rangka pemecahan masalah
yang dihadapi. Sebagaimana dikemukakan Rusidi (2002:18) bahwa “penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang bermaksud menggambarkan (mendeskripsi) fenomena empirik
yang disertai penafsiran-penafsirannya, dengan tujuan memperoleh gambaran setepat
realitanya atau sering juga disebut dengan penelitian a posteriori”. Ini sejalan dengan pendapat
yang dikemukanan oleh Mochtar (2000:199) bahwa “penelitian deskriptif ingin mendapatkan
gambaran atau penjelasan (description) secara tepat tentang situasi, gejala, fenomena,
karakteristik baik dari individu atau kelompok tertentu yang ditelitinya sebagaimana adanya”.
Pemilihan disain penelitian deskripsi kualitatif dengan pendekatan induktif di dasari
pendapat Falstead (dalam Chadwick, dkk, 1991:41) berpendapat bahwa “peneliti harus
menggunakan metode yang sesuai dengan topik yang dikaji, dan bahwa alat pengukur yang
rumit menjadi tujuan akhir dan karena itu menjadi kendala untuk mengetahui pengetahuan, dan
bukannya alat antara meningkatkan pemahaman”. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,
2002:3) memberikan batasan yang tidak jauh berbeda, dimana “metode kualitatif merupakan
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini individu atau organisasi
tidak boleh diisolasi dalam variabel hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari
suatu kebutuhan”.
Penelitian deskriptif ini selanjutnya dilakukan dengan pendekatan induktif, di mana
analisis penelitian ini dilakukan pada lokus yang spesifik di Kecamatan Sanga-Sanga.
Sebagaimana Azwar (1998:40) memberikan pengertian pendekatan induktif sebagai “proses
logika yang berangkat dari data empirik lewat observasi menuju kepada suatu teori. Dengan
kata lain, induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamat yang
terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi”. Hal diperkuat oleh
Mardalis juga berpendapat bahwa pendekatan induktif (1990:21) merupakan:
”Cara berpikir induktif berpijak pada fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian di teliti dan
akhirnya ditemui pemecahan persoalan yang bersifat umum, induksi merupakan cara berpikir
yang menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual, penarikan kesimpulan secara induktif dimulai dengan menyatukan pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum”.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989 : 155), bahwa “populasi atau universe
adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga”. Berdasarkan
pengertian ini, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan anggota
masyarakat Desa Sungai Mengkuang sepanjang pelayanan tahun 2005. Adapun jumlah
populasi itu sebagaimana tabel di bawah ini :

TABEL 3.1

JUMLAH PENDUDUK DESA SUNGAI MENGKUANG TAHUN 2005

NO. NAMA DUSUN JUMLAH PELAYANAN KTP


1 2 3
1. Madani 1.165
2. Senamat 1.255
3. Sungai Beringin 1.198
Jumlah 3.618
Sumber : Kantor Desa Sungai Mengkuang Tahun 2005
Dan seluruh perangkat desa pada Kantor Desa Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo
Tengah, yang berjumlah 15 orang.
3.2.2. Sampel
Menurut Sujana dalam Nawawi (2001 : 144), sampel adalah “Sebagian yang diambil
dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu”. Berdasarkan definisi tersebut dan
mengingat jumlah populasi dalam penelitian ini cukup besar, serta keterbatasan penulis baik
dari segi dana dan waktu, maka penelitian ini hanya menggunakan penelitian sampel.
Penetapan sampel dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sampel dari masyarakat dan
pegawai Kecamatan Sanga-Sanga, dimana penarikan sampelnya sebagai berikut :
a. Sampel Masyarakat
Dalam menentukan besarnya ukuran sampel untuk masyarakat yang berjumlah 3.618 orang,
dengan menggunakan rumus penarikan sample oleh Frankk Lynch dalam Fred N. Kellinger
dan Elazar J. Pedhazur (1983 : 199) sebagai berikut :

NZ2. P (1-P)
n=
2 2
Nd + Z .P (1-P)
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
Z = Nilai normal variabel (1,96) untuk tingkat kepercayaan (0,95)
P = Harga patokan terbatas (0,50)
d = Sampel error (0,10)

3.618. (1,96)2. 050 (1-0,50)


n=
3.618 (0,10)2 + (1,96)2 . 0,50 (0,50)

3.618 . (3,8416). 050 .0,50


n=
3.618 (0,01) + (3,8416) . 0,50 (0,50)

13898,9088 . 0,25
=
36,18 + 0,9604

3474,7272
=
37,1404

= 93,56 (dibulatkan)

= 94 (orang responden).

Dengan demikian, jumlah anggota masyarakat yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah sebanyak 94 orang. Dan untuk menentukan jumlah sampel kelompok masyarakat per
Dusun, digunakan rumus Nazir (1988 : 365) :

Keterangan:
ni = Ukuran sampel untuk masing-masing kelompok
Ni = Ukuran besarnya populasi pada masing-masing kelompok
N = Jumlah populasi
n = Besarnya ukuran sampel.

1.165
Dusun Madani = ---------- x 94 = 30 orang
3.618

Dusun Senamat = 1.255 = 33 orang


---------- x 94
3.618

1.198
Dusun Sungai Beringin = ---------- x 94 = 31 orang
3.618

b. Sampel Pegawai
Untuk menentukan sampel untuk perangkat Desa Sungai Mengkuang yang terlibat dalam
kegiatan pelayanan, penulis menggunakan tehnik sensus sampling atau sampel jenuh,
berhubung yang akan diteliti adalah perangkat Desa Sungai Mengkuang yang berjumlah 15
orang. Menurut Sugiyono (1997 : 62) “sampel jenuh adalah tehnik penentuan sampel apabila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah
populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang”. sehingga besarnya ukuran sampel untuk Pegawai
Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Sangasanga sebanyak 23 orang terdiri :
Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 94 + 15 orang = 109 orang.
3.3. Variabel Penelitian
Menurut Moh. Nasir (1988:149) Variabel adalah konsep yang mempunyai macam-
macam nilai. Sedangkan Prof. Drs. Sutrisno Hadi dalam Arikunto (1998:97) mengatakan
bahwa “Variabel sebagai gejala atau objek penelitian yang bervariasi”.
Berdasarkan pendapat tersebut, yang menjadi variabel dalam penelitian ini yaitu
Kualitas Pelayanan di Desa Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo Tengah . Selanjutnya
untuk memudahkan dalam menganalisis variabel penelitian yang digunakan, maka variabel
tersebut dioperasionalisasikan sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TABEL 3.2
VARIABEL PENELITIAN
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR
1 2 3
a. Kecepatan waktu saat pelayanan
b. Kesiapan petugas saat diperlukan
Keandalan
c. Konsekuen dengan jadwal pelayanan
d. Ketepatan waktu dalam menyelesaikan
a. Cepat tanggap terhadap permohonan masyarakat
Ketanggapan b. Cepat dan tanggap terhadap keluhan masyarakat
c. Cepat dan tanggap terhadap masalah masyarakat
a. Keramahan dan kesopanan petugas pelayanan
b. Pelayanan yang menyeluruh dan tuntas
Keyakinan
c. Bertanggung jawab terhadap setiap keluhan
Kualitas masyarakat
Pelayanan di Desa
d. Mampu memberikan solusi terhadap masalah
Sungai
masyarakat
Mengkuang
Kecamatan a. Berkomunikasi baik dengan masyarakat
Rimbo Tengah
b. Kepedulian kepada masalah masyarakat
Empatii
c. Berpenampilan menarik
d. Sikap karyawan yang mudah dihubungi
a. Akses informasi yang memadai
b. Ruang kantor yang menyenangkan

Berwujud c. Penggunaan sarana yang sama kepada setiap


masyarakat
d. Mutu layanan yang diterima
e. Pemberian petunjuk yang jelas

3.4. Sumber Data Dan Teknik Pengumpulan


3.4.1. Sumber Data
Menurut Arikunto (1998:114) bahwa : “Sumber data dalam penelitian adalah subyek
darimana data dapat diperoleh”. Apabila peneliti menggunakan kuisioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik tertulis maupun lisan.
Sumber data dalam penelitian, baik data primer maupun data sekunder merupakan
objek dari data yang diperoleh, atau subjek dimana data melekat.
Sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh untuk mempermudah dalam
pengklarifikasian data, maka sumber data dapat diindetifikasi menjadi 3 macam yang lebih
dikenal dengan 3P, menurut Arikunto (1998 : 114) yaitu :
a. Person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data yang berupa jawaban lisan, atau
jawaban yang tertulis melalui angket/quisioner.
b. Place, yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan
bergerak.
c. Paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka,
gambar, atau simbol-simbol lain.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data seperti yang dimaksud oleh
Suharsimi Arikunto yaitu Person atau orang yang diminta keterangan mengenai penelitian,
Place atau tempat berupa Sarana dan Prasarana, Paper atau sumber data berupa simbol,
gambaran dari Sistem Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan Desa.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 2 (dua) sumber utama yaitu :
a. Data primer, yaitu keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh melalui kuesioner
dan wawancara.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait dan studi dokumentasi
serta literatur-literatur, terutama yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
3.4.2. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yaitu usaha yang dilakukan untuk mengumpulkan
informasi-informasi yang berhubungan erat dengan masalah yang sedang diteliti untuk
memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh bersifat valid
(menggambarkan yang sebenarnya), reliable (dapat dipercaya), dan objektif (sesuai dengan
kenyataan). Menurut Nazir (1998 : 22) : “Pengumpulan Data merupakan suatu proses
pengadaan data primer untuk keperluan penelitian“. Dalam arti pengumpulan data merupakan
prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
Penulis memperoleh data-data yang sesuai dengan fokus penelitian yang telah
ditetapkan maka dalam penelitian ini melakukan pengumpulan data dengan cara studi lapangan
(field research) yaitu cara pengumpulan data dengan mendatangi langsung obyek lokasi
penelitian cara ini meliputi :
1. Observasi
Menurut Nazir (1998 : 212), bahwa : “Pengumpulan data dengan teknik observasi adalah cara
pengambilan data dengan menggunakan mata dengan tanpa ada pertolongan alat standar lain
untuk keperluan tersebut“. Maka dengan demikian teknik ini digunakan dengan cara terjun
langsung ke lokasi penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Observasi
Partisipasi yaitu peneliti atau observer terlibat langsung dengan secara aktif dalam objek yang
diteliti. Jadi observasi dilaksanakan untuk mengetahui keadaan lapangan yang sebenarnya
yang berhubungan dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam penelitian hal-hal
yang diobservasi adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan di Desa Sungai
Mengkuang Kecamatan Rimbo Tengah.
2. Dokumentasi
Menurut Arikunto (1998 : 236) bahwa :”Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, surat kabar, legger, agenda, dan sebagainya ”.. Oleh karena itu penulis dalam
menggunakan teknik dokumentasi mengumpulkan data dari sumber yang berkaitan dengan
tujuan penelitian.
3. Wawancara
Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung (Husaini
Usman dan Purnomo Setiady, 2001 : 59). Metode wawancara dalam penelitian ini digunakan
untuk memperoleh keterangan, informasi atau penjelasan-penjelasan dari subyek penelitian
tentang masalah yang diungkap peneliti dan menjadi data pelengkap terhadap kuesioner
penelitian.
3.5. Teknik Analisis Data
Penelitian diadakan dengan tujuan pokok adalah menjawab pertanyaan peneliti
untuk mengungkapkan fenomena sosial atau cara untuk mencapai tujuan pokok itu adalah
dengan mengadakan analisis data terhadap data yang diperoleh.
Penulis dalam penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Data yang didapat dilapangan kemudian dituangkan dalam bentuk
laporan dan uraian.
Analisis data dalam peneltian kualitatif harus dimulai sejak awal. Data yang
diperoleh di lapangan harus segera dituangkan dalam bentuk tulisan dan dianalisis. Menurut
Nasution (1996 : 129) bahwa : “langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis suatu
data, (1) Reduksi data, (2) Display data, (3) Menyimpulkan dan verifikasi “.
Berdasarkan Nasution tersebut maka penulis menggunakan langkah-langkah untuk
menganalisis data sebagai berikut :
1. Mereduksi data
Data yang diperoleh dalam penelitian tersebut ditulis atau diketik dalam bentuk
uraian yang terperinci. Laporan-laporan tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang
pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya, jadi laporan lapangan
sebagai bahan mentah di susun secara sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan. Data
yang direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan, juga
mempermudah peneliti untuk mencari data yang diperlukan.
2. Display data (Tampilan Data)
Pada tahap ini peneliti menyajikan data-data yang telah direduksi ke dalam laporan
yang sistimatis. Data disajikan dalam bentuk narasi berupa informasi mengenai hal yang
berkaitan dengan motivasi pegawai dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Penyajian
tersebut dilaksanakan setelah data dikumpulkan, maka diperlukan pengolahan atau analisis
data, agar bisa dijadikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Menurut Nazir (1998 : 405) bahwa :
”Penulis mencari makna data yang dikumpulkannya. Untuk itu peneliti mencari pola, tema,
persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan lain sebagainya. Jadi data yang
diperoleh, sejak mulanya diambil kesimpulan itu mula-mula masih relatif, kabur, diragukan,
akan tetapi dengan bertambahnya data, kesimpulan itu menjadi lebih tepat dalam pemecahan
dan penyelesaian cara bertindak” .

Analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu :


1) Untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di Desa Sungai
Mengkuang Kecamatan Rimbo tengah, digunakan analisis dengan tehnik Importance
Performance Analysis (Tehnik Analisis Tingkat harapan dan Kinerja/Kepuasan Pelanggan)
yang dikemukakan oleh John A. Martila dan John James (dalam Supranto, 1997 : 239-242),
yang cara analisis datanya sebagai berikut :
a. Tetapkan alternatif jawaban responden dalam kuesioner diberikan bobot sebagai berikut :
Jawaban sangat penting/baik diberikan bobot 5
Jawaban penting/baik diberikan bobot 4
Jawaban cukup penting/baik diberikan bobot 3
Jawaban kurang penting/baik diberikan bobot 2
Jawaban tidak penting/baik diberikan bobot 1
b. Selanjutnya penilaian terhadap hasil pelaksanaan pelayanan /kinerja diberi bobot sebagai
berikut :
Jawaban sangat baik diberi bobot 5, berarti pelanggan sangat puas
Jawaban baik diberi bobot 4, berarti pelanggan puas
Jawaban cukup baik diberi bobot 3, berarti pelanggan cukup puas
Jawaban kurang baik diberi bobot 2, berarti pelanggan kurang puas
Jawaban tidak baik diberi bobot 1, berarti pelanggan tidak puas
c.Menentukan tingkat harapan, dengan rumus :
Yi = ( f )x b
Keterangan :
Yi = Tingkat harapan
f = Frekuensi jawaban responden
b = bobot
d. Menentukan tingkat kinerja, dengan rumus :
Xi = (f) x b
Keterangan :
Xi = Tingkat kinerja
f = Frekuensi jawaban responden
b = bobot
e. Tentukan tingkat kesesuaian setelah mengetahui tingkat harapan dan kinerja pelayanan
publik, dengan menggunakan rumus :

Xi
Tki = ------------------ x 100 %
Yi

Keterangan :
Tki = Tingkat kesesuaian
Xi = Skor penilaian tingkat kinerja
Yi = Skor penilaian tingkat harapan
Perhitungan tingkat kesesuaian ini disamping akan menunjukkan tingkat kepuasan pelanggan
terhadap berbagai indikator Kualitas Pelayanan Publik, juga akan menentukan urutan prioritas
peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan.
d.. Kategorisasi untuk mengetahui tingkat kepuasan terhadap pelayanan publik,seperti pada
tabel di bawah ini :
TABEL 3.3

KATEGORISASI TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN

Tingkat Kesesuaian Keterangan

00 – 20 Tidak puas
21 – 40 Kurang Puas
41 – 60 Cukup Puas
61 – 80 Puas
81 – 100 Sangat Puas

e. Menentukan skor kategori tingkat kepuasaan dalam indikator kualitas pelayanan, dengan
rumus,
∑ Tk
Skor =
n

Keterangan :
Tk : Tingkat Kesesuaian
n : Jumlah item pertanyaan (gejala)

3. Mengambil Kesimpulan dan verifikasi


Data yang telah diproses dengan langkah-langkah seperti di atas, kemudian ditarik
kesimpulan secara kritis dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan induktif
yang berangkat dari hal-hal khusus unuk memperoleh kesimpulan umum yang obyektif.
Kesimpulan tersebut kemudian diverifikasi dengan cara melihat kembali pada reduksi dan
display data sehingga kesimpulan yang diambil tidak menyimpang dari permasalahan
penelitian.
3.6. Tempat dan Waktu Penelitian
3.6.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Desa Sungai Mengkuang Kecamatan Rimbo
Tengah Kabupaten Bungo.
3.6.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang akan digunakan dimulai pada bulan Desember 2006 sampai
dengan Januari 2007, dengan jadwal penelitian sebagai berikut :
TABEL 3.2

JADWAL PENELITIAN

2006 2007
No. Jenis Kegiatan
12 1 2 3 4 5 6 7
1. Persiapan, Bimbingan
Proposal

2. Penelitian

3. Penyusunan dan
Konsultasi Laporan Akhir
4. Ujian dan Revisi Laporan
Akhir
Sumber : Kalender Akademik IPDN T.A. 2006/2007

Keterangan :
Pelaksanaan Kegiatan

Anda mungkin juga menyukai