Anda di halaman 1dari 213

PENDISIPLINAN TUBUH PEREMPUAN ACEH

PASCA PENERAPAN SYARIAT ISLAM


DITINJAU DARI PERSPEKTIF FEMINISME LIBERAL

Skripsi

Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar sarjana


dalam bidang Ilmu Filsafat

Oleh:
Dhiemas Chrismansyah Supma
15/382234/FI/04089

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yogyakarta, 24 Januari 2019

Dosen Pembimbing

Dr. Septiana Dwiputri Maharani


NIP. 197109151995122001

Telah dipertahankan dalam ujian yang dilaksanakan oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Pada 24 Januari 2019

Tim Penguji Nama Tanda Tangan

1. Ketua/Anggota Dr. Agus Himmawan Utomo, M.Ag. ………………

2. Sekretaris/Anggota Dr. Supartiningsih ………………

3. Anggota Dr. Hastanti Widy Nugroho ………………

4. Anggota Dr. Septiana Dwiputri Maharani ………………

Mengetahui

Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Dr. Arqom Kuswanjono


NIP. 197005301994121001

ii
iii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan sebelumnya untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan

tinggi. Selain itu, berdasarkan pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang telah

dicantumkan dalam kutipan dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 24 Januari 2019


iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk seluruh perempuan yang tubuhnya teropresi,

untuk seluruh orang yang sadar betul dirugikan oleh budaya patriarki:

Bersuaralah dan tuntut otonomi diri!

—DCS
v

MOTTO

Remember the time you thought you never could survive?

You did, and you can do it again.


vi

PRAKATA

Peneliti berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sang Maha Penguat

dan Maha Penenang, yang telah memberikan kekuatan serta energi positif kepada

peneliti selama masa perkuliahan berlangsung. Meski selama tiga tahun lima bulan

berkuliah di fakultas ini peneliti berkali-kali mengalami fase naik-turun, ingin-tak

ingin, yakin-tak yakin dalam persoalan spiritualitas, hingga saat ini peneliti

percaya: jika tanpa-Nya, maka peneliti tidak dapat bertahan dalam menghadapi

cobaan-cobaan yang terus-menerus menghampiri sedari semester awal hingga akhir

ini. Sekali lagi, terima kasih, Tuhan.

Memasuki pertengahan 2018, peneliti dengan mantap menargetkan diri

untuk segera menyelesaikan masa studi di pengujung tahun dengan mengambil

topik perempuan Aceh dan syariat Islam sebagai bahasan skripsi. Keduanya seakan

tidak terlepas karena berujung pada suatu pendisiplinan tubuh. Dengan tekad yang

kuat dan berharap penelitian ini tidak menjadi sekadar ratusan-kertas-nirfaedah-

yang-dijilid, peneliti bersyukur dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan

lancar serta mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Arqom Kuswanjono, selaku Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah

Mada;

2. Dr. Septiana Dwiputri Maharani, selaku dosen pembimbing skripsi yang

menaruh perhatian besar kepada perkembangan skripsi peneliti. Pesan teks

berisi motivasi yang beberapa kali Ibu kirimkan kepada peneliti benar-benar
vii

ampuh menggugah semangat peneliti untuk segera merampungkan skripsi.

Terima kasih, Ibu Septi;

3. Dr. Hastanti Widy Nugroho, selaku dosen pembimbing ahli yang telah

memberikan saran dan kritik yang konstruktif bagi penelitian ini;

4. Dr. Supartiningsih dan Dr. Agus Himmawan Utomo, M.Ag., selaku dosen

penguji yang memberikan pengetahuan baru bagi peneliti sehingga skripsi

ini menjadi lebih komprehensif;

5. Dr. Ridwan Ahmad Sukri, selaku dosen pembimbing akademik yang telah

meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan peneliti terkait kegiatan

akademik dan ‘‘membebaskan“ peneliti untuk memilih mata kuliah mana

pun saat mengisi KRS;

6. Seluruh narasumber yang secara sukarela telah memberikan data sehingga

memperkaya objek material skripsi peneliti;

7. Staf akademik dan perpustakaan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,

terutama Bu Wiwik, Mas Hamami, Pak Mardi, Pak Momon, dan Pak Pras,

yang selalu memudahkan urusan perkuliahan peneliti. Terutama untuk Buk

Wiwik, terima kasih telah mengizinkan peneliti duduk santai di

perpustakaan tanpa harus menaruh tas di loker terlebih dahulu. Semoga

selalu suka dengan jus yang peneliti dan Cris berikan, ya, Bu;

8. Teman-teman Filsafat 2015, terutama Memesh, Ganitak, Citra, Shalfia,

Nopal, Dhika, Sani, Arie, Bella, Mbak Del, Fitri, Kaut, Nurul, Reza, Risca,

dan Anjas. Kalian adalah alasanku yakin kalau Filsafat masih diisi oleh

orang-orang yang tidak transenden;


viii

9. Abang dan kakak tingkat favorit: Bang Azhar, Kak Camel, Kak Rina, Vindi,

dan Kak Raisa. Terima kasih Bang Azhar yang telah mensponsori proposal

skripsi peneliti, Kak Camel yang satu bimbingan sekaligus teman revisian

peneliti, Kak Rina dan Vindi yang memberi saran tentang dosen

pembimbing favoritnya masing-masing, dan Kak Raisa yang bertahun-

tahun menjadi idola peneliti. Aceh butuh orang lebih banyak yang

sepertimu, Kak;

10. Bentang Pustaka, terutama Kak Afina, Kak Intan, Kak Nadia, Kak Dwi,

Mas Tofa, Inas, Gina, dan Kak Laras. Terima kasih telah menjadi bagian

dari semester 7-ku yang membuat durasi tidurku berkurang drastis. Namun,

aku senang bisa menyeimbangkan kegiatan akademikku sembari bekerja

menjadi MinTang. Linkedin-ku semakin keren sekarang!

11. Swag, Ayuk, Dina, Rina, Muthmainnah, Rizka, Faradiba, Fathin, Irfan, Dea,

Sara, Alma, Ay, teman-teman SMA dan teman-teman-beda-kampus yang

sering kali memberikan support dan excited dengan kehidupan kampusku.

Percayalah, aku sesampis itu. Cuma kadang mencitrakan diri aja biar keren,

gitu. Semoga skripsi, kuliah praktik, dan tugas akhir kalian segera rampung,

ya!

12. LNJ, salah satu sirkel yang senantiasa menambah kazanah pengetahuan

terkait tumbuh-kembang pemuda/i Banda Aceh dari ujung Lhoknga hingga

ujung Kampung Jawa. Tane, aku nggak pernah menyangka pertemanan via

Twitter bisa bikin kita sedekat ini. Naya, berawal dari Blackberry Torch-mu

yang kupakai buat nge-twit, kita jadi bisa selengket ini. Yuri, ko tau, dong,
ix

kenapa kita bisa nyanyi “Kangen“-nya Dewa 19 dan galau bareng di depan

RB 2? Semoga kalian bisa segera menyelesaikan skripsi!;

13. GSJ, sirkel yang hobinya makan takoyaki di Warung Hana. Terima kasih

karena dengan riang gembira sering kali antar-jemput aku dari Kajhu ke

Darussalam. Qams, terima kasih telah menyupport psikologis dan

finansialku sejak semester satu. Awak yakin ko bakal sukses dengan ke-

fithqa-an ko. Ard, terima kasih selalu siap sedia menunggu awak turun dari

labi-labi lintas Kajhu di depan Indomaret Baet. Nant, terima kasih udah

bikin awak duduk terpaku di ujung koridor Labschool karena nungguin ko

BC sama Si Ek dulu. Nggak apa. Aku senang.

14. Fania, teman dari kelas satu SMA yang ternyata saudara jauh: Terima kasih!

Karena semangat dan dorongan ko, awak jadi yakin untuk bercita-cita di

kampus-kampus yang kece. Semoga kita bisa ke Eropa benaran, ya!

15. Lavina, perempuan yang pernah mengisi hari-hariku sejak 2012 kemarin,

I’m still hoping it’s you and me in the end.

16. Okta, teman dekat pertamaku di Filsafat. Terima kasih untuk selalu menjaga

rahasia yang sedari semester satu telah kuumbar kepadamu. Terima kasih

karena selalu merayakan tanggal 10 setiap bulan ketika kita seintens dulu

berteman. Awak bangga bisa mengenal ko, Okt. Selalu menjadi Okta yang

tidak merasa ada yang salah di dalam kepalamu, ya!

17. Nisa, hits Fisipol yang siap sedia menjadi pendengar cerita-ceritaku. Terima

kasih karena sering menamparku dengan kata-kata. Ternyata, kata-kata

nggak cuma bisa beristirahat, ya. Aku senang bisa berteman dekat dengan
x

orang yang bisa menguasai banyak logat seperti ko, Wak. Semoga bisa

selalu ada di saat tubuh dan perasaanku terserang virus fragile tiba-tiba, ya.

18. Cerlang, teman sepulau tapi beda budi pekerti. Semoga kehidupan kampus

ko pasca kepergian awak dan Aul tetap akan baik-baik saja, ya. Semoga

kecongkakan dan ketamakan ko bisa berkurang seiring menipisnya jumlah

temanmu di kampus. Semangat untuk mengejar impian di-feature di

berbagai akun Instagram hits minimalis ambis komunis di Indonesia, ya!

19. Alam, si pelaju Bantul—Sleman demi menuntaskan gairah bucinnya. Aku

bersyukur pernah tertarik belajar kesenian Aceh dengan bergabung di

Rampoe UGM yang akhirnya mempertemukan kita. Semoga kita bisa satu

kantor, ya, Lam. Jangan sering galau karena ko udah nge-follow @amrazing

dan @catwomanizer. Sayangi dirimu dengan hayati kulgram mereka tiap

hari;

20. Sonia, teman seperjuangan se-Gayamsari yang piawai benar memainkan

piano dan saksofon: aku padamu! Semoga segala kebaikan yang ko tuai bisa

tumbuh dan berbuah, ya. Ingat selalu: lepaskanlah apa dan siapa yang

membuatmu malah membenci dirimu sendiri. Istilah gaulnya: toxic people.

Kupastikan seminar proposal dan sidang skripsimu aman-lancar-jaya.

21. Kak Nanda, sahabat sekaligus saingan karena ”memperebutkan” orang yang

sama. Semoga kita bisa terbebas dari apa dan siapa yang selama ini merantai

langkah kita, ya. Aku senang bisa mengenal sosok Kakak sepertimu. Maaf

kalau aku sering kali bikin sebal karena aku keseringan baik menjadi adik.

Terima kasih karena selalu mendengar cerita-ceritaku tanpa bosan!


xi

22. Cris, teman paling bisa diandalkan pada sepertiga malam (injury time).

Awak berterima kasih banyak karena (di balik keomongkosongan,

kebohongan, dan ke-an ke-an yang ko miliki) ko baik banget. Awak

berutang banyak hal sama ko. Semoga skripsi ko yang per halamannya ada

revisian bisa segera rampung, Tuts. Terima kasih, Kets Panits Acs!

23. Hajri, Ghalieb, dan Mufti. Untuk kalian bertiga, semoga kalian bisa menjadi

diri kalian tanpa harus kudikte seperti dulu, ya. Hajri, terima kasih selalu

siap sedia menemani segala urusanku selama di Jogja. Fokus bikin

skripsinya, ya, Cutbang! Ghalieb, seperti yang kutulis di post-it: jangan

berlarut atas kesedihan yang inong nyan peugot, beh. Ko bisa ngelakuin hal

worthy lainnya, lho. Mufti, semangat kuliahnya! Semoga Jakarta menjadi

kota yang tepat untuk ko berkembang dan mengaktualisasikan diri. Semoga

kita bisa sekota sesaat lagi.

24. Aul, teman Filsafat pertama yang kuhubungi perihal urusan kampus. Terima

kasih telah menjadi teman ngerjain tugas PPSMB pertama, teman kongkow

di Calais pertama, teman yang nge-cie-cie-in Wildhan-Fia pertama, dan

pertama-tama lainnya, tapi nama ko bukan yang pertama yang kutulis di

lembar ini. Terima kasih telah menjadi alasan terbesarku untuk segera

merampungkan skripsi ini, ya. Semoga kita beneran samping-sampingan

pas wisuda nanti. Awak bangga pernah kenal ko.

25. Wildhan, sering dengar kutipan berikut ini, kan? Crazy how one person can

change your entire mood. Lucunya, ko adalah that person. Terima kasih

telah mengisi hari-hari awak selama di Filsafat, Wild, terlebih di tiga hari
xii

terakhir sebelum awak merampungkan skripsi ini. Semoga, apa-apa yang

terjadi di antara kita (yaokme deh) bisa ngebikin ko menjadi person yang

jauh lebih baik. Simply a distraction I didn’t hope to find. Sitting by my side,

I hope you’re here to stay.

26. Keluarga Supma. Dims bersyukur beratus-ratus kali karena telah lahir dan

tumbuh bersama kalian. Ayah, terima kasih karena telah hadir sebagai sosok

yang hebat dan selalu berusaha chill ketika sedang tertimpa masalah—

seberat apa pun itu! Mamak, terima kasih telah tampil menjadi perempuan

yang kuat lahir dan batin. Dims berani jamin jumlah perempuan sepertimu

di muka bumi ini hanya sebesar 0,7%. Dims jamin! Ayah dan Mamak

adalah sepasang orang tua yang nggak pernah mendikte kehidupan anak-

anaknya. Itu kenapa Dims, abang, kakak, dan Virgi bisa tumbuh dengan

versi terbaik dari diri kami.

Dims juga bersyukur, masih beratus-ratus kali, karena bisa sedarah merah,

setrombosit, dan seleukosit bersama Kak Ayu, Bang Fajar, Bang Gusti, dan

Virgi. Meski kita menetap di tempat yang berbeda dan jarang kali bisa

ngumpul lengkap bersama: kita tetap bisa sehangat keluarga-keluarga

lainnya.

27. Maliq & d’Essentials, Adhitia Sofyan, Sufjan Stevens, Men I Trust, No

Vacation, dan penyanyi-penyanyi lainnya yang siap sedia terpatri di telinga

dan playlist Spotify-ku: terima kasih. Kalian adalah salah satu alasan aku

untuk percaya bahwa suara merupakan medium penenang. Bahkan suara

orang yang tak kukenal sekalipun. Terima kasih atas energinya!


xiii

28. Terakhir, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk Dhiemas yang selama

dua puluh tahun melekat di tubuhku ini. Terima kasih untuk selalu bertahan

di tengah kesulitan-kesulitanmu, Dims. Aku bangga padamu. Kalau kata

dia, ”Hidupmu akan cerah setelah ini, Dhiems”. Semoga.

Peneliti menyadari keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang peneliti

miliki. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang

konstruktif demi adanya kelanjutan dari penelitian ini serta perkembangan

kajian feminisme.
xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

HALAMAN PERNYATAAN............................................................................. iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ....................................................... xviii

INTISARI .......................................................................................................... xx

ABSTRACT ..................................................................................................... xxi

BAB I .................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1. Permasalahan ............................................................................................... 1

2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8

3. Keaslian Penelitian ....................................................................................... 8

4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 9

1. Model Penelitian ........................................................................................ 22

2. Bahan Penelitian ........................................................................................ 23

3. Langkah Penelitian ..................................................................................... 25

4. Analisis Data .............................................................................................. 25

F. Hasil yang Dicapai ..................................................................................... 26

G. Sistematika Penulisan ................................................................................. 27

BAB II ............................................................................................................... 28

A. Pengertian Feminisme Liberal .................................................................... 30

B. Sejarah dan Perkembangan Feminisme Liberal........................................... 34

C. Tiga Prosedural Terhadap Substansi Pilihan Perempuan ............................. 38


xv

1. Rasionalitas ................................................................................................ 38

2. Kebebasan .................................................................................................. 41

3. Otonomi ..................................................................................................... 45

BAB III.............................................................................................................. 52

A. Posisi dan Peran Perempuan Aceh .............................................................. 52

B. Syariat Islam dalam Realitas Politik Aceh .................................................. 59

1. Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945—1959) ........................................... 60

2. Pada Masa Kemerdekaan (1959—1998) ..................................................... 61

3. Pada Masa Reformasi (1999—sekarang) .................................................... 64

C. Pembentukan Lembaga Syariat Islam ......................................................... 68

1. Dinas Syariat Islam (DSI) .......................................................................... 68

2. Mahkamah Syariat (MS) ............................................................................ 72

3. Wilayatul Hisbah (WH) .............................................................................. 75

D. Pendisiplinan Tubuh Perempuan Aceh Pasca Penerapan Syariat Islam ....... 77

1. Sosialisasi dan Internalisasi Inferioritas dan Diskriminasi Pada Perempuan


Aceh ......................................................................................................... 81

2. Jilbabisasi Tubuh Perempuan ..................................................................... 85

3. Pendisiplinan Tubuh Perempuan Aceh Pasca Penerapan Syariat Islam ....... 92

BAB IV ........................................................................................................... 102

A. Rasionalitas Perempuan dalam Bersyariat ................................................ 104

B. Kebebasan Perempuan dari Ancaman dan Kekerasan ............................... 111

C. Otonomi Perempuan atas Tubuh ............................................................... 119

BAB V............................................................................................................. 127

PENUTUP ....................................................................................................... 127

A. Kesimpulan .............................................................................................. 127


xvi

B. Saran ........................................................................................................ 128

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 130

LAMPIRAN .................................................................................................... 136

A. Pedoman Wawancara ............................................................................... 136

B. Daftar Pertanyaan ..................................................................................... 137

C. Transkrip Wawancara .............................................................................. 141


xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tokoh-Tokoh Perempuan yang Berkontribusi dalam Perubahan

Aceh
xviii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

BPPPA : Badan Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak

BPS : Badan Pusat Statistik

CoHA : Cessation of Hostilities Agreement

DDRDI : Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam

DI : Darul Islam

DOM : Daerah Operasi Militer

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DSI : Dinas Syariat Islam

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GASIDA : Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh

HAM : Hak Asasi Manusia

HDC : Henri Dunant Centre

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kepres : Keputusan Presiden

KKB : Komite Keamanan Bersama

Kowad : Korps Wanita TNI Angkatan Darat

LINA : Liga Inong Aceh

MKRA : Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh

MS : Mahkamah Syariat

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PDRI : Pemerintah Darurat Republik Indonesia

Perda : Peraturan Daerah


xix

Polri : Kepolisian Negara Republik Indonesia

Polwan : Polisi Wanita

PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil

RTA : Rabithah Thaliban Aceh

SK : Surat Keputusan

SU MPR : Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum

TII : Tentara Islam Indonesia

TNI : Tentara Nasional Indonesia

TU : Tadzkiiratul Ummah

UUPA : Undang-Undang Pemerintahan Aceh

WH : Wilayatul Hisbah
xx

ABSTRAK

PENDISIPLINAN TUBUH PEREMPUAN ACEH PASCA PENERAPAN SYARIAT ISLAM


DITINJAU DARI PERSPEKTIF FEMINISME LIBERAL

PENULIS: DHIEMAS CHRISMANSYAH SUPMA


15/382234/Fi/04089

Pendisiplinan tubuh perempuan Aceh merupakan sebuah fenomena yang


berusaha menanamkan nilai serta pemaksaan agar perempuan Aceh dapat menaati
Perda syariat Islam yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Aceh. Syariat
Islam yang berfokus pada tubuh perempuan digunakan sebagai norma hukum yang
mengarahkan perempuan Aceh untuk berbusana dan bersikap dengan tata cara
tertentu yang pada akhirnya mengikat kebebasan perempuan. Penerapan syariat
Islam yang seperti ini membuat perempuan lebih rentan terhadap perlakuan
diskriminatif, kekerasan, dan semakin tersubordinasi. Pendisiplinan tubuh ini jelas
berhubungan dengan diskriminasi gender yang disebabkan oleh anggapan bahwa
perempuan tidak memiliki rasionalitas, kebebasan, dan otonomi. Penelitian ini
merupakan kajian Feminisme, dengan menganalisis tubuh perempuan Aceh pasca
penerapan syariat Islam (sebagai objek material) menggunakan perspektif tiga
prosedural feminisme liberal (sebagai objek formal).
Model penelitian ini adalah penelitian filsafat yang bersifat kualitatif tentang
fenomena aktual. Datum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku,
jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan pustaka penunjang lainnya. Selain pustaka, peneliti
juga menggunakan data hasil wawancara dengan teknik purposive sampling demi
penelitian yang komprehensif. Unsur metodis yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain: deskripsi, interpretasi, koherensi internal, holistik, kesinambungan
historis, dan refleksi. Pemilihan metode didasarkan pada permasalahan yang telah
dirumuskan dan digunakan sebagai alat untuk menemukan pemecahan masalah
tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini secara garis besar
adalah mendeskripsikan pengertian pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca
penerapan syariat Islam serta menganalisis secara kritis pendisiplinan tubuh
perempuan berdasarkan tiga prosedural feminisme liberal.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah pemahaman tentang tiga
prosedural feminisme liberal terhadap pendisiplinan tubuh perempuan Aceh.
Prosedural feminisme liberal terhadap pendisiplinan tubuh diklasifikasikan menjadi
tiga, yakni rasionalitas, kebebasan, dan otonomi. Terdapat dua faktor yang
berpengaruh besar terhadap pendisiplinan tubuh, khususnya pada perempuan Aceh.
Kedua faktor tersebut adalah perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam relasi
keluarga, institusi pendidikan atau pekerjaan, dan lingkungan masyarakat di Aceh
serta jilbabisasi tubuh. Dalam hal ini, tiga prosedural feminisme liberal berperan
sebagai dasar asumsi bahwa perempuan Aceh memiliki rasionalitas, kebebasan, dan
otonomi atas tubuhnya yang tidak boleh diopresi oleh siapa pun.
Kata kunci: Pendisiplinan tubuh, perempuan Aceh, syariat Islam, feminisme
liberal, otonomi diri, kesetaraan gender.
xxi

ABSTRACT

DISCIPLINING THE BODIES OF ACEH’S WOMEN ON A POST


IMPLEMENTATION OF ISLAMIC LAW USING THE PERSPECTIVE OF
LIBERAL FEMINISM

CREATED BY: DHIEMAS CHRISMANSYAH SUPMA


15/382234/FI/04089

Disciplining the bodies of Aceh’s women is a phenomenon which tries to


implant values as well as a form of coercion in order for the women of Aceh to
abide the regional Islamic law that has been set by the government of Aceh. Islamic
law, which centralises on women’s bodily authority has been used as norms that
dictates the way Aceh women dress and behave in a certain etiquette that restricts
women’s freedom. The implementation of Islamic law creates an environment
where women are vulnerable towards discriminatory actions, violence, as well as
further placing women into subordination. Body disciplining has a clear
relationship with gender discrimination, caused by the assumption that women are
lacking of rationality, freedom, and autonomy. This research is a Feminism study,
by analysing the body of Aceh women, post implementation of Islamic law (as
material objects) using the three-procedural perspectives of liberal feminism (as
formal objects).
This research is a qualitative philosophical research discussing actual
phenomena. This research uses books, scientific journals, scientific articles and
other supporting literatures as the data sources. Other than literatures, researcher
also uses data from the personal interviews with some respondents for the
comprehencive research. Methods of analysis used are: description, interpretation,
internal coherence, holistic, historical continuity, and reflection. Selection of
methods is based on the problems that have been formulated and used as tools to
seek for the solutions of the problems. The steps taken in this research are
describing the notion of disciplining Aceh women after the application of Islamic
law and analyzing the discipline of women's bodies based on three-procedural of
liberal feminism.
The result achieved in this research is an understanding of three-procedural of
liberal feminism towards disciplining Aceh women's bodies. Procedural of liberal
feminism towards disciplining the body are classified into three, rationality,
freedom, and autonomy. There are two factors which have big influence on body
discipline, especially for Aceh women. Both of these factors are the differences of
treatment for women in family relations, educational institutions or jobs, and the
society in Aceh and body's jilbabisasi. In this case, three-procedural of liberal
feminism roles as the basis for the assumption that Aceh women have rationality,
freedom, and autonomy over their bodies which should not be oppressed by anyone.
Keywords: Body discipline, Aceh women, Islamic law, liberal feminism, self
autonomy, gender equality.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Permasalahan

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang pernah ditetapkan

sebagai daerah istimewa (special territory), yang terletak di ujung utara Pulau

Sumatra. Beribukota di Banda Aceh dan terdiri atas 18 kabupaten serta 5 kota

madya, Aceh memiliki jumlah penduduk sebesar 5.096.428 jiwa (BPS Provinsi

Aceh, 2016). Secara geografis, letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan

Nikobar di India. Aceh juga berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,

Selat Malaka di sebelah timur, dan Provinsi Sumatra Utara di sebelah tenggara dan

selatan.

Aceh dianggap sebagai tempat bermulanya penyebaran Islam di Indonesia

sekaligus memiliki peran penting dalam penyebarannya di Asia Tenggara. Islam

masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad I H langsung dari Arab dan

daerah pertama yang didatangi Islam adalah pesisir Sumatra dan kerajaan Islam

pertama berdiri di Aceh (Said, 2007: 54). Menurut TIME (2007), jika dibandingkan

dengan provinsi lain, Aceh merupakan wilayah yang sangat konservatif karena

menjunjung tinggi nilai agama. Persentase penduduk Islamnya merupakan yang

tertinggi di Indonesia.

Orang Aceh telah lama digambarkan sebagai masyarakat Islam yang taat

sekaligus orang-orang yang berkaitan dengan dar-al-Islam (tempat tinggal Islam)

sehingga mendapatkan julukan Serambi Mekkah (Mecca’s Verandah). Pada masa

1
2

antara 1945 sampai dengan 1953, atau oleh perhitungan lain, dari 1945 sampai

dengan 1976, orang Aceh juga terbukti sebagai nasionalis Indonesia yang kuat.

Mereka memainkan peran kunci dalam pembentukan Republik Indonesia (Graf,

2010: 243).

Jika ditinjau dari sudut sosio-budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya

menampilkan adat dan Islam sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan

gerak masyarakat. Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak

masa awal penyebarannya. B.J. Boland, seorang antropolog berkebangsaan

Belanda mengatakan: Being an Aceh is equivalent to being a Muslim. Ini

menunjukkan bahwa menjadi orang Aceh adalah identik atau sama dengan orang

Islam (Siregar, 2008: 3).

Pasca kemerdekaan Indonesia, Aceh menjadi provinsi otonom pada 1949

dan digabung dengan Provinsi Sumatra Utara pada 1950. Di bawah situasi politik

Indonesia, rakyat Aceh terus bergejolak sehingga menyebabkan pemberontakan

terbuka pada 1953. Setelah dibentuk daerah istimewa pada 1956, ternyata tetap

tidak memecahkan masalah. Apabila dilihat dari perspektif sejarah, telah terjadi

beberapa kali konflik di bumoe seramoe mekah ini.

Menurut Encyclopedia Britannica, perlawanan muncul lagi pada 1970-an

yang dikomandoi oleh GAM dan menyebabkan periode konflik bersenjata antara

separatis dan pasukan Indonesia sejak 1990. Konflik ini turut mengubah struktur

sekaligus tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Seperti yang digaungkan oleh

teoretikus teori konflik, bahwa perubahan sosial terjadi akibat adanya konflik yang
3

menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Raho,

2007: 54).

Saat konflik Aceh bergejolak, di sana hanya dikenal dua macam peraturan,

yakni kekuasaan militer sebagai pusat pemerintahan Indonesia dan kekuatan

patriarkal Islam di bawah ulama dan GAM. Dalam dua ranah kekuasaan yang

maskulin inilah perempuan Aceh bertahan hidup (Salehati, 2010: 3). Dalam setiap

konflik yang terjadi, hampir dapat dipastikan kelompok yang paling dirugikan

adalah perempuan dan anak-anak.

Konflik kemudian berakhir dengan adanya kesepakatan damai antara pihak

GAM dengan pemerintah Indonesia. Hasil kesepakatan damai yang dikenal dengan

MoU Helsinki inilah kemudian melahirkan bentuk pemerintahan Aceh yang baru.

Tindak lanjut dari MoU Helsinki ini diikuti dengan lahirnya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2002 tentang Otonomi Daerah Khusus Aceh yang menjadikan

Aceh berbeda dari daerah lain. Meski sebelumnya, Aceh juga merupakan daerah

istimewa yang juga mempunyai kekhususan sendiri (Nilasari; 2011: 124). Selain

melihat penduduk Aceh yang pada umumnya beragama Islam, latar belakang

permasalahan politik inilah yang akhirnya menyebabkan syariat Islam diberlakukan

di Aceh. Konsep penerapan syariat Islam ini menjadi aturan pemerintahan sebagai

tujuan utama yang secara politis bertujuan menekan konflik berkepanjangan di

Aceh.

Ruang lingkup syariat Islam menurut Pasal 125 UUPA yang diterapkan di

Aceh adalah akidah, syariat, dan akhlak (meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyahatau

hukum keluarga, muamalat atau hukum perdata, jinayah atau hukum pidana, qadha
4

atau peradilan, tarbiah atau pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam

(Ikhwan, 2013: 35). Namun ternyata, syariat Islam yang diaplikasikan melalui

qanun menjadikan perempuan sebagai objek yang berbeda dari laki-laki. Syariat

Islam yang kemudian dipersempit dari perspektif laki-laki menjadi sebuah

kebijakan otoriter yang lebih memberlakukannya kepada kelompok perempuan

sebagai sasaran kebijakan (Nilasari, 2011: 124).

Peneliti melihat penerapan syariat di Aceh belum menyeluruh, menjangkau

segala lini, dan masih tumpang tindih. Esensi dari penerapan hukum ini adalah

menegakkan kemaslahatan, yang menurut peneliti lebih dapat diimplementasikan

dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial dibanding mempersoalkan tubuh

perempuan dan bagaimana mereka berpakaian. Hukum Islam pada hakikatnya

menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Setiap manusia dituntut

untuk menjaga 6 hak asasinya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, harta benda, dan

harga diri. Hak asasi tersebut bersifat dharury atau primer, yang harus didahulukan

dan diutamakan pemeliharannya.

Hukum Islam juga menegakkan dan mewujudkan nilai-nilai

kemasyarakatan seperti keadilan, persaudaraan, solidaritas, kemuliaan, dan

kebebasan. Seolah semua itu tidak menjadi kendala, penerapan hukum ini terus

berjalan dengan berorientasi pada pendisiplinan tubuh perempuan. Indikator

keberhasilan penerapan syariat hanya dilihat dari: Apakah semua perempuan di

Aceh telah mengenakan jilbab dan berbusana muslimah seperti yang dituntut oleh

pemerintah daerah?
5

Menurut Salehati (2010: 4—5), dalam kekuasaan patriarkal Islam di bawah

ulama dan GAM, tubuh perempuan menjadi sasaran pendisiplinan. Perempuan

secara publik menghilang, tersembunyi dalam baju mereka yang berlengan panjang

dan kepala mereka yang ditutupi jilbab. Tubuh mereka dianggap dapat mengundang

kemaksiatan. Maka, perempuan harus menutup seluruh anggota tubuh dan tidak

boleh bepergian tanpa muhrimnya.

Syariat Islam pun digunakan sebagai norma hukum yang mengarahkan

perempuan Aceh untuk berbusana dan bersikap dengan tata cara tertentu.

Perempuan Aceh diharuskan mengenakan busana berlengan panjang yang

menutupi kaki dan tangan mereka, mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya,

dan dilarang mengenakan celana yang mirip dengan celana panjang yang digunakan

laki-laki. Mereka yang menolak akan didisiplinkan, jika perlu dengan kekerasan

(Noerdin, 2005: 18).

Syariat Islam sebagai produk politik dijadikan peraturan yang benar-benar

mengikat kebebasan perempuan. Perempuan akan lebih rentan dalam

pemberlakuan-pemberlakuan diskriminatif dan kekerasan. Fenomena yang terjadi

dari penerapan syariat Islam di Aceh menjadikan perempuan sebagai objek yang

teraniaya. Konsep penerapan syariat Islam membuat perempuan menjadi fokus

objek untuk dibenahi. Realitas yang terlihat dalam keadaan sekarang adalah:

penerapan syariat hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan tubuh perempuan,

yang akhirnya semakin “memenjarakan” perempuan dan mensubordinasinya.

Hal yang menjadi komponen sentral dari penundukan perempuan Aceh

adalah upaya untuk mengubah mereka menjadi “the symbolic bearers of the
6

collectivity’s identity and honour”, yaitu pembawa panji-panji identitas dan

kehormatan kolektif, dan “carriers of tradition”, yaitu penerus tradisi, yang dalam

kasus ini adalah kolektivitas berlandaskan Islam yang dibangun oleh para ulama

Aceh dan didukung oleh GAM. Kolektivitas Islam juga digunakan para ulama dan

GAM untuk berkampanye meraih dukungan publik melawan pemerintah pusat

Indonesia. Semakin banyak perempuan yang menyesuaikan diri dengan peran yang

ditentukan oleh para ulama, semakin kuat citra Islam (Noerdin, 2005: 18).

Kepentingan para ulama Aceh untuk menjadikan perempuan Aceh sebagai

simbol Islam telah mendorong mereka untuk menganggap bahwa perempuan Aceh

tidak mengetahui apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dengan demikian,

subjektivitas perempuan Aceh diabaikan. Mereka perlu dipaksa demi kebaikan

mereka sendiri (Salehati, 2010: 5).

Masyarakat melakukan sendiri tindakan penghukuman terhadap perempuan

yang tidak menutup aurat dengan diarak keliling desa. Perempuan-perempuan

tersebut ada yang dipangkas rambutnya karena tidak mengenakan jilbab. Kelompok

masyarakat yang melakukan tindakan penghukuman tersebut menamakan dirinya

Taliban (kelompok santri yang berasal dari pesantren di Aceh). Sasarannya adalah

perempuan yang tidak berbusana muslimat, apalagi yang secara terang-terangan

tidak menutup aurat yang diidentikkan dengan jilbab (penutup kepala). Sweeping

syariat dilakukan di mana saja, mulai dari indekos, salon kecantikan, hingga ke

tepian kali, dan pantai wisata yang kerap dijadikan ajang rekreasi. Semua sekolah

dan perguruan tinggi pun membuat peraturan wajib berbusana secara Islam

(Nilasari, 2011: 133).


7

Kalangan pemerintah daerah juga membuat simbol-simbol melalui pamflet

di setiap jalan di Aceh. Pamflet berisi pengumuman yang bertuliskan kewajiban

menggunakan busana islami ini diharapkan dapat mencerminkan Aceh sebagai

daerah islami. Pada akhirnya, banyak pendatang yang berasal dari luar Aceh, begitu

juga nonmuslim, terpaksa “harus” memakai kerudung jika ingin keluar rumah.

Sweeping syariat merupakan simbol dari formalitas penerapan syariat Islam di Aceh

yang berlangsung hingga kini (Nilasari, 2011: 133—134).

Terdapat beberapa kasus pendisiplinan tubuh perempuan Aceh, baik secara

preventif maupun koersif. Misalnya, sebuah berita dari BBC Indonesia (2014) yang

menyatakan ada sebuah kelompok ulama di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten

Aceh Utara, yang menamakan diri sebagai TU, gencar menyemprotkan cat kepada

perempuan yang bercelana ketat sebagai bagian dari penegakkan syariat. Tidak

berhenti di situ, aksi mereka ini turut disebarluaskan melalui media sosial seperti

Facebook. Dalam hal ini, kelompok masyarakat tidak dibenarkan menggelar razia

karena itu merupakan kewenangan polisi syariat. Pendisiplinan tubuh perempuan

Aceh ternyata menjadi “urusan” kelompok laki-laki yang tidak memiliki legalitas

dalam menangani hal tersebut. Hal ini menunjukkan seolah semua orang berhak

menjadi polisi moral atas pilihan-pilihan yang diambil oleh perempuan.

Subiyantoro dalam tulisannya tentang perempuan Aceh menjelaskan bahwa

sweeping jilbab atau pakaian perempuan yang membawa moralitas semu selama ini

tidak hanya mendiskriminasi perempuan, tetapi juga merusak tatanan nilai-nilai

Islam masyarakat Aceh yang selama ini terbangun. Polisi syariat hanya

menekankan aspek-aspek simbolis, sedangkan perilaku masyarakat jauh lebih


8

substansial. Situasi inilah yang menyebabkan pelaksanaan syariat Islam secara

simbolis tidak sejalan dengan tata nilai sosial yang selama ini terbangun dan

mendapat penolakan secara serius dari masyarakat, terutama perempuan yang

selama ini dirugikan (Subiyantoro dalam Nilasari, 2011: 137). Dalam melihat

fenomena pendisiplinan tubuh perempuan di Aceh pasca penerapan syariat Islam

ini, peneliti menggunakan pendekatan feminisme liberal yang sesuai dengan

prinsip-prinsip rasionalitas, kebebasan, dan otonomi.

2. Rumusan Masalah

Gerak perempuan Aceh semakin terbatas seiring pemberlakuan syariat

Islam. Tubuh mereka yang seharusnya bebas dari kontrol pihak di luar dirinya

menjadi sasaran pendisiplinan yang diatur melalui qanun dan didukung oleh

lingkungan yang sangat patriarki. Padahal jauh sebelum penerapan syariat Islam,

masyarakat Aceh telah menjalankan keislamannya dengan baik tanpa ada

pembatasan terhadap tubuh perempuan.

Untuk melihat persoalan ini, maka:

a. Apa makna penerapan syariat Islam bagi eksistensi perempuan Aceh?

b. Bagaimana pendisiplinan tubuh perempuan dalam perspektif feminisme

liberal?

3. Keaslian Penelitian

Dalam lingkup Fakultas Filsafat UGM, belum ada penelitian yang

mengangkat pendisiplinan tubuh perempuan dan syariat Islam sebagai objek

material. Adapun skripsi yang berkaitan adalah menggunakan tubuh sebagai objek

materialnya, seperti Tubuh dan Jiwa Menurut C.A. Van Peursen (Sutikna: 1996);
9

Kritik Arthur Schopenhauer Atas Konsep Jiwa, Tubuh, dan Akal Budi (Dea

Anugrah: 2000); Pengaruh Politik Sensasi Media Televisi dalam Pembentukan

Ideologi Tubuh Masyarakat Indonesia (Sidiq Kustaryo: 2005); dan Konsepsi Jiwa

dan Tubuh dalam Filsafat Thomas Aquinas (Reza Rahmanda: 2007).

Namun, sudah ada beberapa penelitian terkait pendisiplinan tubuh

perempuan dan perempuan Aceh dalam syariat Islam, seperti Disciplined Bodies:

Women’s Embodied Identities at Work (Angela Trethewey: 1999); The Prisoner of

Gender: Foucault and The Disciplining of The Female Body (Angela King: 2004);

Formalisasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Bustami: 2004);

Perempuan dan Syariat Islam: Respons Perempuan Terhadap Implementasi Qanun

Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Intan Melya: 2005);

Tubuhku di Ujung Rotan Cambuk: Wacana Pendisiplinan Tubuh Perempuan Pasca

Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Salehati: 2010);

Disciplining Female Bodies: Women’s Imprisonment and Foucault (Anne Schwan:

2011); dan Syariah as Heteropia: Responses from Muslim Women in Aceh,

Indonesia (Reed Taylor: 2015)

Maka dari itu, penelitian mengenai pendisiplinan tubuh perempuan Aceh

pasca penerapan syariat Islam ditinjau dari perspektif feminisme liberal merupakan

penelitian baru dan belum dikaji sebelumnya.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapakan dari penelitian ini adalah:

i. Bagi Peneliti
10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti. Pertama,

selain menambah wawasan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran

untuk diri, baik berpikir secara sistematis dan filosofis, dalam mengkaji suatu

permasalahan terkait pendisiplinan tubuh perempuan dan syariat Islam serta dapat

memahami alur pemikiran feminisme liberal. Kedua, peneliti dapat menemukan

permasalahan dan kemudian menyumbangkan pemikiran baru dalam persoalan dan

perkembangan feminisme liberal di Indonesia.

ii. Bagi Filsafat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru bagi kajian

feminisme di Indonesia, terutama terkait feminisme liberal dan fenomena

pendisiplinan tubuh perempuan.

iii. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refleksi bersama tentang

pentingnya sebuah kesadaran akan otoritas dan rasionalitas setiap individu atas

tubuhnya. Dalam budaya dan masyarakat yang patriarki, perempuan selalu menjadi

kelompok kelas dua yang terus-menerus teropresi dan tersubordinasi. Melalui

penelitian ini, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat perempuan sebagai objek,

tetapi dapat melihatnya sebagai subjek utuh yang dapat mengurusi dirinya sendiri

karena memiliki otoritas penuh terhadap dirinya.

iv. Bagi Bangsa dan Negara

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan kajian

feminisme serta merefleksikan esensi rasionalitas, kebebasan, dan otonomi atas diri

yang selama ini belum dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, terlebih
11

perempuan. Maka, peneliti berharap akan lahir sebuah peraturan atau hukum yang

dapat mewakili pengalaman serta keinginan perempuan dalam mengaktualisasikan

dirinya di Indonesia serta lenyapnya budaya patriarki yang senantiasa mengopresi

dan mensubordinasi kaum-kaum feminin.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang terdapat di dalam

rumusan masalah, yaitu:

1. Menjelaskan makna penerapan syariat Islam bagi eksistensi perempuan

Aceh.

2. Menganalisis pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca penerapan

syariat Islam dalam perspektif feminisme liberal.

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca penerapan

syariat Islam telah ditulis oleh beberapa peneliti. Namun, secara umum penelitian

tentang pendisiplinan tubuh dan penerapan syariat Islam banyak dilakukan dalam

kajian antropologis, sosiologis, historis, maupun hukum.

Adapun penelitian terdahulu yang dianggap penting dan mendekati

kemiripan pada objek material akan diuraikan dalam paragraf berikut:

Bustami, mahasiswa S2 Antropologi UGM, dengan judul tesisnya

Formalisasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang diterbitkan pada

2004. Peneliti membahas tentang formalisasi syariat Islam yang belum

menghasilkan perubahan ke arah yang lebih positif dalam tata kehidupan

masyarakat di Aceh. Hal ini terjadi karena ketidakseriusan pemerintah dalam


12

pelaksanaannya dan dipicu oleh rendahnya pemahaman, baik aparatur Pemda

maupun masyarakat Aceh, terhadap syariat Islam.

Intan Melya, mahasiswa S2 Ilmu Politik UGM, dengan judul tesisnya

Perempuan dan Syariat Islam: Respons Perempuan Terhadap Implementasi Qanun

Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterbitkan pada 2005.

Secara substansial, kajian ini merupakan satu pedoman yang perlu ditelaah

mengingat pemaparannya menggunakan kerangka teori implementasi kebijakan

dan posmodernisme sebagai perspektif. Tesis ini juga cukup komprehensif secara

historis dengan mendeskripsikan syariat Islam, sejarah lahirnya Qanun Nomor 11

Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar

Islam, profil perempuan Aceh dari masa ke masa, implementasi syariat Islam, serta

respons pro dan kontra terhadap hukum ini.

Salehati, mahasiswa S2 Antropologi UGM, dengan judul tesisnya Tubuhku

di Ujung Rotan Cambuk: Wacana Pendisiplinan Tubuh Perempuan Pasca

Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang diterbitkan pada

2010. Tesis ini sangat komprehensif dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain

mengenai pendisiplinan tubuh yang terjadi di Aceh. Tesis ini menggunaan teknik

penelitian kualitatif dengan metode etnografi melalui pengamatan langsung dan

terlibat (observasi partisipasi) serta wawancara bebas dan mendalam selama berada

di lapangan. Maka, secara historis telah berhasil mengartikulasikan perkembangan

syariat Islam dan secara sosiologis maupun antropologis telah mampu meninjau

medan sosial-budaya yang terpengaruh olehnya.


13

Meira Marianti, mahasiswa S2 Ilmu Hubungan Internasional UGM, dengan

judul tesisnya Pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Nanggroe Aceh Darussalam

Pasca Penetapan Otonomi Khusus Tahun 1999 (Tinjauan Konvensi CEDAW

Terhadap Pelaksanaan Hukum Syariah) yang diterbitkan pada 2015. Peneliti

memaparkan fenomena yang terjadi di balik pelanggaran hak asasi perempuan

Aceh pasca penerbitan qanun. Qanun ini menciptakan kekuatan posisional melalui

simbol-simbol Islam, yang menciptakan politisasi tubuh perempuan oleh aktor

sosial demi kepentingan pihak tertentu yang membuat posisi perempuan sangat

rentan.

Adapun dalam bentuk artikel, berita yang termuat dalam media elektronik

dan jurnal yang meliputi pendisiplinan tubuh perempuan di Aceh telah menarik

untuk direnungkan secara filosofis sebagai berikut:

Artikel ini dimuat dalam Off Our Backs (A Women’s News Journal) yang

berjudul “Indonesia: Province Authorities Detain Women For Inappropriate

Dress” pada September/Oktober 2005.

Jakarta—Government officials in the Aceh province of Indonesia detained


89 women between the ages of 15 and 40 for not wearing a headscarf or for
wearing clothing the authorities consider too tight. The police and religious
leaders led the detention sweep in mid-September in preparation for Islam's
holy month of Ramadan.

Police held the women for about an hour, advising them on how to dress,
then released them. This is one of the largest such efforts since authorities
began imposing a conservative interpretation of Muslim law in 2001.
Indonesian officials began enforcing the law even more rigorously since the
tsunami in December killed 131,000 people in the Aceh province and left
thousands more homeless (Off Our Backs: 2005).

Artikel dari hrw.org yang berjudul “Policing Morality: Abuses in The

Application of Sharia in Aceh, Indonesia” pada 30 November 2010. Artikel ini


14

membahas tentang hukum khalwat (perbuatan bersunyi-sunyian), persyaratan

busana islami, status syariat Islam, dan pembenaran atas hukum tentang khalwat

dan busana islami.

Another Acehnese law requires that all Muslims in Aceh wear Islamic attire,
defined as clothing that covers the aurat (for men, the area of the body from
the knee to navel, and for women, the entire body with the exception of the
hands, feet, and face), that is not transparent, and that does not reveal the
shape of the body. In practice, this means that Muslim women are required
to wear the jilbab (Islamic headscarf) in public at all times and are
prohibited from wearing clothing that reveals the shape of the body. While
the law applies to both men and women, it places far more stringent
restrictions on women than it does on men and has a discriminatory impact.
Not surprisingly, women constitute the overwhelming majority of those
reprimanded pursuant to the law.

Implementation of the dress law is also often arbitrary. Human Rights


Watch spoke to several women in Aceh who were stopped by the WH during
patrols or at public roadblocks established to monitor public compliance
with the Islamic dress code. The WH stopped women they believed were
wearing clothing that did not meet the standard for Islamic attire. The WH
recorded their personal details, informed them that their clothing was
inappropriate, lectured them, and threatened them with detention or lashing
if they repeated their behavior. According to Erni, a woman stopped and
lectured at a WH checkpoint in May 2010, “The [WH officer] told us to
wear skirts and never to wear pants. But then a woman WH officer said I
could wear pants, but if I did, my shirt had to be below my knee. I don’t
know what is acceptable.”

Several women told us the law is particularly likely to be used against the
poor, noting that WH officers do not stop passengers traveling in cars, an
indicator of wealth, at their dress code checkpoints, and focus their
attention only on those Acehnese traveling on motorbikes or using public
transportation (HRW; 2010).

Artikel yang masih dimuat dalam hrw.org, tetapi dengan judul berbeda,

yakni “Indonesia: Local Sharia Laws Violate Rights in Aceh (Restrictions on

Association, Dress Deny Autonomy and are Used Abusively)” pada 1 Desember

2010. Artikel ini memuat gambar seorang petugas WH di Banda Aceh sedang
15

memberikan peringatan verbal kepada perempuan yang mengenakan pakaian yang

membentuk tubuh mereka. Syariat Islam yang ditekankan di sini mengharuskan

semua muslim untuk mengenakan “pakaian islami”.

Human Rights Watch spoke to several women in Aceh who had been
stopped by the Sharia police during patrols or at public roadblocks
established to monitor compliance with the dress code. The Sharia police
recorded their personal details, lectured them, and threatened them with
detention or lashing if they repeated their behavior.

Both the Seclusion Law and dress requirements run afoul of well-
established international human rights law. Under international treaties
that Indonesia has ratified, consensual association - of a sexual nature or
otherwise - between adults in private is a protected aspect of the right to
privacy. Aceh's ban on "seclusion" similarly violates the right to manifest
one's religious beliefs freely and the right to freedom of expression. It gives
rise to lasting negative effects, particularly for women accused of
violations, who suffer enduring stigmatization. Aceh's Islamic clothing
requirement violates individuals' rights to personal autonomy, expression,
and to freedom of religion, thought, and conscience (HRW; 2010).

Artikel ini dimuat dalam Merdeka.com yang berjudul “Terjaring Razia,

Wanita Nonmuslim di Aceh Diminta Pakai Jilbab” pada 5 Februari 2014. Ternyata,

pendisiplinan tubuh perempuan tidak hanya berlaku bagi yang beragama Islam,

tetapi juga bagi perempuan-perempuan beragama lainnya. Hal ini dilatarbelakangi

oleh alasan untuk menghormati muslim di Aceh.

Semua yang melintasi jalan raya di Simpang Mesra Banda Aceh menuju ke
Darussalam dihentikan yang tidak menggunakan pakaian muslimah,
demikian juga laki-laki yang mengenakan celana pendek. Pantauan
merdeka.com, Rabu (5/2), WH juga sempat menghentikan dua orang wanita
tidak mengenakan jilbab. Setelah diperiksa, ternyata wanita tersebut
nonmuslim, maka petugas langsung melepaskan perempuan itu.

Kasi Penegakan Pelanggaran Satpol PP WH, Samsuddin, mengatakan,


untuk nonmuslim langung diberikan nasihat. Mereka diminta agar
menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam. Oleh
karena itu, ia mengimbau kepada nonmuslim agar bisa menggunakan jilbab
16

atau pakaian muslimah. “Nonmuslim juga diminta pakai jilbab. Untuk


menghormati muslim di Aceh,” kata Samsuddin (Merdeka.com; 2014).

Artikel ini dimuat dalam BBC News Indonesia yang berjudul “Semprotan

Cat Untuk Warga Aceh Bercelana Ketat” pada 4 Desember 2014. Sejak dimulainya

pemberlakuan syariat Islam di Aceh, mulai muncul polisi moral yang mengurusi

cara perempuan berpenampilan. Beberapa masyarakat yang terafiliasi dengan

kelompok Islam konservatif pun ikut bertindak, padahal telah dibentuk polisi

syariat yang legal.

Teungku Nurdin Usman, seorang pimpinan Tadzkiiratul Ummah,


menyatakan, alasan mereka melakukan razia ialah karena pemerintah tidak
serius menegakkan syariat Islam di Aceh.“Jika pemerintah benar-benar
menegakkan syariat Islam, kami akan berhenti melakukan razia seperti ini,”
katanya kepada BBC Indonesia.

Menurut Nurdin, pihaknya tidak pandang bulu dalam bertindak.“Siapa pun


pelanggar syariat kami tindak. Laki-laki bercelana pendek, juga disemprot
cat dan mereka malu sendiri kalau tertangkap. Malah, istri aparat keamanan
juga kami semprot cat. Tujuannya agar mereka tak mengulangi lagi
perbuatannya.”

Pada awal-awal kegiatan razia celana ketat, dia mengaku memberikan kain
sarung kepada perempuan yang celananya disita untuk dimusnahkan.
“Tetapi kami kekurangan dana untuk membeli kain sarung, makanya
sekarang kami semprot cat sehingga celana itu tak bisa digunakan lagi,”
katanya.Tadzkiiratul Ummah juga mengunggah foto-foto kegiatan aksi
menyemprot cat kepada perempuan dan pria bercelana ketat melalui akun
Facebook, sejak 29 November lalu.

Ketua Nahdlatul Ulama Aceh, Teungku Faisal Ali, menyatakan bahwa


kelompok masyarakat tidak dibenarkan menggelar razia terhadap pelaku
pelanggaran syariat Islam karena hal itu merupakan kewenangan polisi
syariat.Menurut pria yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh itu, warga masyarakat
hanya bisa memberi informasi kepada polisi syariat kalau terjadi
pelanggaran syariat (BBC News Indonesia, 2014).
17

Artikel ini dimuat dalam Tribun Timur yang berjudul “Hari Ini Ada

Sweeping Perempuan Bercelana Ketat” pada 24 Maret 2015. Upaya aparatur

pemerintah dalam menegakkan syariat Islam melalui pendisiplinan tubuh

perempuan dengan menggaungkan hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi Widayatul Hisbah Pemerintah Aceh
menggelar razia celana ketat bagi perempuan di Aceh, Selasa (24/3/2015).
Berdasarkan foto yang diperoleh dari akun fanpage Facebook BBC
Indonesia, sejumlah perempuan terjaring saat sedang mengendarai sepeda
motor. Mereka harus dikenai ‘tilang’ atau hukuman berupa nasihat hingga
nantinya dicambuk.

Razia berlangsung di jalan raya, layaknya razia polisi lalu lintas.


Pengendara yang kedapatan memakai celana ketat disetop karena
melanggar perda syariat Islam. Aceh menerapkan hukum syariat Islam bagi
penduduk muslim dan nonmuslim (Tribun Timur; 2015).

Artikel ini dimuat dalam ABC News yang berjudul “Sharia in Aceh:

Patrolling The Streets of Indonesia’s most conservative province” pada 18 Maret

2018. WH rutin melakukan razia pemakaian jilbab dan baju ketat di Aceh.

"Your jeans are too tight. And you should be wearing a longer blouse."It
sounded like something my mother would say when I was a teenager, telling
me how I should or shouldn't dress.But, those were the words of a police
officer in Aceh, Indonesia's most conservative province.

Aceh is the only province that has introduced Sharia law, under a special
agreement struck with Indonesia more than a decade ago, to end the long-
running separatist war.This is where people are caned for things that are
commonplace in the West, like drinking alcohol, gambling and adultery.The
strict Islamic code increasingly governs every facet of life in Aceh. Muslim
women in Aceh must wear a jilbab or head scarf.

The ABC recently saw firsthand how Sharia law intrudes into everyday life
in Aceh.Sharia police conduct nightly patrols to maintain strict moral
standards.We were invited to accompany a patrol in the northern city of
Lhokseumawe.The patrol assembled before nightfall and included a dozen
or so young men in a military-style uniform with black berets, and a handful
of older women in similar dress with headscarves.
18

A superior officer led a short prayer and gave them a pep talk before they
headed off."Remember to use the five S — Senyum, Salam, Sapa, Santun,
Simpatik," he said, meaning "smile, greet, say hello, stay polite and be
sympathetic"."Don't be arrogant. We're here to give good advice and tell
people to stay away from the bad," the superior officer added (ABC News;
2018).

D. Landasan Teori

Feminisme merupakan gerakan kesadaran tentang gender. Hal ini karena

feminisme berawal dari ketidaksetujuan terhadap diskriminasi gender yang

dikonstruksikan secara sosial dalam masyarakat. Diskriminasi tersebut dapat dilihat

dari perlakuan yang berbeda dari anggota masyarakat berdasarkan jenis

kelaminnya. Feminisme tidak berpijak pada kebenaran tunggal, sehingga tidak

mengherankan bila terdapat banyak aliran feminisme.

Setidaknya terdapat tiga aliran besar dalam feminisme yang kemudian

menjadi aliran utama bagi perkembangan feminisme lainnya, yaitu feminisme

liberal, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Aliran feminisme yang akan

penulis gunakan sebagai objek formal dalam penelitian ini, yaitu feminisme liberal,

telah muncul sejak akhir abad ke-19. Dasar filosofis gerakan ini adalah liberalisme,

yakni bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang

harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya (Fakih,

1996:83).

Aliran ini beranggapan bahwa prinsip-prinsip seperti kesamaan hak dan

kesempatan belum diberikan kepada kelompok perempuan. Maka, mereka

menuntut agar kedua prinsip tersebut dapat segera didapatkan dan dipraktikan

dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ilyas (1997: 47), feminisme liberal memiliki
19

pandangan jika sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap

masing-masing individu. Aliran ini juga meyakini bahwa untuk mewujudkan

kedudukan yang setara antara perempuan dan laki-laki, segala bentuk stereotip

tentang peran sosial bagi perempuan dan laki-laki harus dihapuskan.

Selain itu, dasar asumsi yang digunakan adalah doktrin John Locke tentang

hak asasi manusia (natural rights), yang menyatakan bahwa setiap manusia

mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk hidup, hak mendapatkan kebebasan, dan hak

untuk mencari kebahagiaan. Inti dari pemikiran liberalisme berupa penekanan pada

peran individu (otonomi), rasionalitas, dan kesempatan (Fakih, 1996: 85).

Liberal feminism conceives of freedom as personal autonomy—living a life


of one's own choosing—and political autonomy—being co-author of the
conditions under which one lives. Liberal feminists hold that the exercise of
personal autonomy depends on certain enabling conditions that are
insufficiently present in women's lives, or that social arrangements often
fail to respect women's personal autonomy and other elements of women's
flourishing (Standford Encyclopedia of Philosophy).

Menurut Standford Encyclopedia of Philosophy, feminisme liberal dengan

jelas menganggap bahwa kebebasan sebagai otonomi personal. Setiap orang

sewajarnya menjalani kehidupan yang dipilih sendiri (termasuk pola pikir,

membentuk relasi, dan penampilan diri). Para feminis liberal berpendapat bahwa

pelaksanaan otonomi personal tergantung pada kondisi-kondisi sosial tertentu,

tetapi yang terjadi seringkali pengaturan sosial gagal dalam menghormati otonomi

personal perempuan dan elemen-elemen lain dari perkembangannya.

Feminisme liberal menitikberatkan kepada tiga prosedural yang

menghindari penilaian langsung terhadap substansi pilihan perempuan atau

pengaturan yang terjadi, yakni rasionalitas, kebebasan, dan otonomi. Maka,


20

perempuan akan bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being free of

violence and the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum

patriarki, paternalistik, dan moralistik (being free of the limits set by patriarchal,

paternalistic, and moralistic laws), dan memiliki akses terhadap pilihan-pilihan

(having access to options) (Standford Encyclopedia of Philosophy).

Para feminis liberal berpendapat bahwa perempuan seperti halnya laki-laki

mampu untuk mengembangkan kapasitas intelektual dan moralitas perempuan. Hal

ini berarti perempuan adalah makhluk yang rasional seperti laki-laki yang juga

memiliki hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik, seperti berpendapat dalam

perdebatan isu-isu politik, sosial, dan moral. Perempuan tidak seharusnya menjadi

makhluk yang terkurung dan tersingkirkan dalam ruang privat di rumah dan

keluarga (Dewi, Tanpa Tahun: 26—27).

Sample (2002: 333) mengatakan bahwa feminisme liberal menekankan hak-

hak individu dan kebebasan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta

mengecilkan perbedaan seksual. Aliran ini juga memperjuangkan rasionalitas yang

sama dari jenis kelamin dan menekankan pentingnya penstrukturan peran sosial,

keluarga, dan seksual dengan cara mendukung pemenuhan diri otonomi

perempuan.

Feminisme liberal juga menitikberatkan peran dan posisi perempuan

sebagai individu yang memiliki kebebasan secara penuh. Aliran ini menyatakan

bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara

ruang privat dan publik. Setiap individu memiliki kapasitas untuk berpikir dan

bertindak secara rasional (Juwita, 2015: 12).


21

Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2010: 18) bahwa:

Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat


yang adil dan peduli terhadap perkembangan kebebasan. Hanya dalam
masyarakat seperti itulah perempuan dan juga laki-laki dapat
mengembangkan diri.

Wall (2007: 234) menganggap bahwa otonomi individu adalah ide yang

paling valid dan penting. Lebih lanjut, otonomi individu mensyaratkan bahwa

setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi. Mereka juga harus memiliki

akses ke berbagai pilihan yang memadai dan negara memiliki peran dalam

memastikan bahwa mereka memiliki akses ke berbagai opsi yang memadai.

Menurut Beauchamp dan Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri dari agen

yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas informasi

yang relevan) tanpa dipengaruhi oleh pengendalian.

Selain itu, setiap perempuan juga dipastikan bebas dari segala bentuk

kekerasan, ancaman, dan opresi (penindasan). Benson (2009: 178) mengatakan

bahwa mempertahankan opresi itu adalah “the fundamental injustice of social

institutions”. Maka, opresi adalah ketidakadilan mendasar dari lembaga-lembaga

sosial. Opresi adalah kerugian yang secara kelembagaan terstruktur yang dilakukan

suatu kelompok pada kelompok lain dengan menggunakan kekuatan material

langsung dan tidak langsung; juga paksaan psikologis yang melanggar keadilan.

Perempuan juga harus bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum

patriarki, paternalistis, dan moralistis karena ketiganya menunjukkan struktur sosial

yang menempatkan tindakan dan gagasan laki-laki lebih dominan dibanding

perempuan. Keadaan dominasi laki-laki ini tercermin dalam ketidakadilan korelatif


22

di seluruh masyarakat (Soman, 2009: 253). Patriarki turut mengatur hubungan

sosial—bahkan dalam domain simbolis yang mendefinisikan makna perempuan.

Hubungan kekuasaan patriarki terletak di dasar ideologis dari penggambaran terkait

peran sosial (gender).

Menurut Sultana (2011: 1) patriarki dan paternalistis menjadi kendala utama

bagi kemajuan dan perkembangan perempuan. Meskipun perbedaan dalam tingkat

dominasi, prinsip-prinsipnya tetap sama: laki-laki yang memegang kendali.

Institusi patriarki dan hubungan sosial bertanggung jawab atas status inferior atau

sekunder perempuan karena masyarakat patriarki memberikan prioritas mutlak

kepada laki-laki dan sampai fase tertentu membatasi hak asasi perempuan juga;

sehingga mereka tidak memiliki akses terhadap pilihan.

E. Metode Penelitian

1. Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

penelitian filosofis yang bersifat kualitatif tentang fenomena faktual, yakni

pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca penerapan hukum syariat Islam yang

diteliti menurut sudut pandang feminisme liberal sebagai bagian dari kajian

Feminisme. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang sumber datanya

berasal dari literatur berupa buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, berita, dan

wawancara bersama narasumber.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi konsepsi filosofis yang

secara faktual terjadi di dalam proses pendisiplinan tubuh perempuan di Aceh,


23

mengevaluasinya secara kritis, serta memberikan konsepsi yang lebih utuh yang

mungkin dapat memecahkan persoalan tersebut.

2. Bahan Penelitian

Objek material dalam penelitian ini adalah pendisiplinan tubuh perempuan

Aceh pasca penerapan hukum syariat Islam, sedangkan objek formal dalam

penelitian ini yaitu teori feminisme liberal. Bahan dan materi penelitian ini

sebagian besar bersumber dari buku, artikel dan jurnal ilmiah, berita daring, dan

hasil wawancara. Bahan yang menjadi rujukan penulis terdiri atas dua sumber,

yaitu sumber primer dan sumber sekunder sebagai berikut:

Sumber Primer
Graf, Arndt, dkk. 2010. Aceh: History, Politics, and Culture. Singapore: ISEAS

Publishing.

Salehati. 2010. Tubuhku di Ujung Rotan Cambuk: Wacana Pendisiplinan Tubuh

Perempuan Pasca Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Yogyakarta: Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada. Tesis.

Simanjuntak, Bungaran A., dkk. 2011. Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan

Masa Depan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintah Aceh.

Wendell, Susan. 1987. “A (Qualified) Defense of Liberal Feminism” dalam

Hypatia (A Journal of Feminist Philosophy), Vol. 2, Issue 2, hlm. 65—93.

Sumber Sekunder
24

Caddick, Alison.1986. “Feminism and The Body” dalam Arena Journal, Issue

74, 1986, Melbourne, Foundation Arena Articles, hlm. 60—88.

Chambers, Clare. 2017. “Feminism and Liberalism” dalam The Routledge

Companion to Feminist Philosophy Routledge hlm. 652—664.

Kloss, David. 2016. “The Salience of Gender: Female Islamic Authority in

Aceh, Indonesia” dalam Asian Studies Review Journal, Vol. 40, Issue 4, hlm.

527—544.

Marianti, Meira. 2015. Pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Nanggroe Aceh

Darussalam Pasca Penetapan Otonomi Khusus Tahun 1999 (Tinjauan

Konvensi CEDAW Terhadap Pelaksanaan Hukum Syariah. Yogyakarta:

Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Tesis.

Melya, Intan. 2005. Perempuan dan Syariat Islam: Respons Perempuan

Terhadap Implementasi Qanun Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Yogyakarta: Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Tesis.

Noerdin, Edriana. 2005. Politik Identitas Perempuan Aceh. Jakarta: Women

Research Institute.

Wawancara dengan 9 orang narasumber berdasarkan teknik purposive

sampling. Melalui teknik ini, peneliti menentukan pengambilan sampel dengan

cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan peneliti sehingga

dapat menjawab permasalahan penelitian.


25

3. Langkah Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti beberapa tahapan:

a. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data yang diperlukan dalam

penelitian yang berkaitan dengan objek formal maupun material;

b. Pengolahan data, yaitu mengolah semua data yang telah ada dan melakukan

pemetaan terhadap data primer dan sekunder; dan

c. Penyusunan penelitian, yaitu melakukan penyusunan data yang meliputi

analisis data yang akan dituangkan dalam penelitian dalam bentuk laporan

yang sistematis.

4. Analisis Data

Berdasarkan rumusan Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair (1990: 67)

dalam Metode Penelitian Filsafat, penelitian ini merupakan penelitian mengenai

masalah aktual dengan menggunakan metode berikut:

a. Deskripsi

Peneliti memaparkan data dari berbagai sumber, baik objek material

maupun objek formal, yakni pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca

penerapan hukum syariat Islam dan teori feminisme liberal. Deskripsi yang

diberikan mencakup peran dan posisi perempuan Aceh dari masa ke masa.

b. Interpretasi

Peneliti mencoba memahami lebih jauh tentang fenomena atau situasi

problematis dalam penelitian terkait eksistensi perempuan Aceh serta nilai-nilai

yang melekat di dalam dirinya. Kemudian atas dasar pemahaman itu diberikan

evaluasi kritis, tetapi belum diberikan pemecahan masalahnya.


26

c. Koherensi Internal

Menunjukkan keterkaitan antara semua unsur yang melatarbelakangi

masalah-masalah dilematis dari penerapan hukum syariat Islam di Aceh,

menemukan ketergantungan rill di antaranya, dan juga kesinambungan logisnya

dengan perspektif feminisme liberal sebagai objek penelitian.

d. Holistik

Memahami secara menyeluruh agar mendapatkan pemahaman yang utuh

terkait dengan objek material dan objek formal penelitian.

e. Kesinambungan Historis

Menjelaskan masalah atau situasi aktual ditempatkan dalam konteks

historis: bagaimana pendisiplinan tubuh perempuan Aceh muncul dan memiliki

legalitas melalui pembentukan polisi syariat. Data yang dipaparkan bukanlah

data historis saja, melainkan juga data faktual tentang respons perempuan Aceh

terhadap penerapan syariat Islam yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan

individu, kolektif, atau budaya yang terlibat di dalamnya.

f. Refleksi

Merefleksikan hasil analisis yang diperoleh sebelumnya untuk

mendapatkan gambaran otonomi diri dan kesetaraan gender dari pemikiran

feminisme liberal terhadap pendisiplinan tubuh perempuan Aceh.

F. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan penjelasan tentang makna penerapan syariat Islam bagi eksistensi

perempuan Aceh.
27

2. Memberikan pemahaman tentang pendisiplinan tubuh perempuan Aceh dalam

perspektif feminisme liberal.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan

masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan

hasil yang akan dicapai.

BAB II berisi sejarah singkat mengenai aliran feminisme liberal dan tiga

prosedural terhadap substansi pilihan perempuan.

BAB III berisi tentang peran dan posisi perempuan Aceh dari masa ke masa,

penerapan syariat Islam, pembentukan lembaga syariat Islam, dan

pendisiplinan tubuh perempuan.

BAB IV berisi analisis tentang pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca

penerapan syariat Islam menggunakan perspektif feminisme liberal.

BAB V memuat kesimpulan dan saran penelitian.


28

BAB II

FEMINISME LIBERAL

Feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina atau perempuan. Istilah

ini mulai digunakan pada 1890-an yang mengacu pada teori kesetaraan perempuan

dan laki-laki serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak bagi perempuan. Dalam

perkembangannya secara luas, kata feminis mengacu kepada siapa saja yang sadar

dan berupaya untuk mengakhiri subordinasi yang dialami perempuan. Sejarah telah

membuktikan bahwa hak-hak perempuan sering dikesampingkan dalam berbagai

hal, baik dari lingkup keluarga maupun hukum. Kemudian negara kurang

melindungi hak-hak perempuan dengan aturan hukum yang ada padahal hak-hak

perempuan rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran (Juwita, 2015: 6).

Setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian

terhadap hak-hak kaum perempuan mulai menguat. Seorang feminis liberal, Mary

Wollstonecraft, membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman

pada 1792 yang isinya dapat disebut sebagai peletak prinsip-prinsip feminisme pada

kemudian hari. Sejalan dengan pemberantasan praktik perbudakan pada 1830—

1840, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan (Juwita, 2015: 7—8).

Seiring dengan pergerakannya untuk memperjuangkan emansipasi

perempuan dan menghapuskan diskriminasi gender, feminisme dapat dikatakan

sebagai sebuah ideologi yang berusaha melakukan pembongkaran terhadap sistem

patriarki, mencari akar atau penyebab ketertindasan perempuan, serta mencari cara
29

untuk membebaskannya. Dengan kata lain, feminisme merupakan teori untuk

pembebasan perempuan (Juwita, 2015: 10).

Menurut June Hannam (2007: 22) di dalam Feminism, kata feminisme dapat

diartikan sebagai:

a. A recognition of an imbalance of power between the sexes, with woman

in a subordinate role to men;

b. A belief that woman condition is social constructed and therefore can

be chanded;dan

c. An emphasis on female autonomy.

Feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu

yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan

dominan, baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial pada umumnya. Feminisme

menjadi sebuah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping,

seksisme, penindasan, dan phalogosentrism. Untuk itu, feminisme mendukung

kesetaraan gender yang bertujuan untuk mensejajarkan posisi feminin dan maskulin

dalam konteks suatu budaya tertentu. Hal ini disebabkan karena dalam satu budaya

tertentu, feminin sering dianggap inferior, tidak mandiri, dan hanya menjadi objek

(Juwita, 2015: 11). Maka dari itu, ide dasar feminisme sebenarnya sederhana, yaitu

perempuan mendapatkan akses terhadap pilihan hidup yang setara dengan laki-laki

dan perempuan tidak boleh tereksklusi dari pilihan hidup tertentu hanya karena

konstruksi patriarkis masyarakat (Geotimes).


30

A. Pengertian Feminisme Liberal

Feminisme tidak berpijak pada kebenaran tunggal, sehingga tidak

mengherankan bila terdapat banyak aliran feminisme. Setidaknya terdapat tiga

aliran besar dalam feminisme yang kemudian menjadi aliran utama bagi

perkembangan feminisme lainnya, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, dan

feminisme sosialis. Aliran feminisme yang peneliti gunakan sebagai objek formal

dalam penelitian ini, yaitu feminisme liberal, telah muncul sejak akhir abad ke-19.

Dasar filosofis gerakan ini adalah liberalisme, yakni bahwa semua orang diciptakan

dengan hak-hak yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama

dalam mengaktualisasikan dirinya (Fakih, 1996: 83). Selain itu, dasar asumsi yang

digunakan kaum liberal adalah doktrin John Locke tentang hak asasi manusia

(natural rights), yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi,

yaitu hak untuk hidup, hak mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari

kebahagiaan. Inti dari pemikiran liberalisme berupa penekanan pada peran individu

(otonomi), rasionalitas, dan kesempatan (Fakih, 1996: 85).

Juwita (2015: 11—12) menyatakan bahwa feminisme liberal merupakan

salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk

perempuan yang dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan-perbaikan

dalam bidang sosial. Maka, feminis liberal berpandangan bahwa penerapan hak-

hak perempuan akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan atau memiliki

hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena selama

ini, yang dianggap rasional dan memiliki kebebasan maupun kesempatan hanyalah

kaum laki-laki.
31

Feminisme liberal beranggapan bahwa prinsip-prinsip seperti kesamaan hak

dan kesempatan belum diberikan kepada kaum perempuan. Oleh karena itu, mereka

menuntut agar kedua prinsip tersebut dapat segera didapatkan dan dipraktikkan

dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ilyas (1997: 47), feminisme liberal memiliki

pandangan jika sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap

masing-masing individu.

Sample (2002: 333) menyatakan bahwa feminisme liberal menekankan hak-

hak individu dan kebebasan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta

mengecilkan perbedaan seksual. Aliran ini juga memperjuangkan rasionalitas yang

sama dari jenis kelamin dan menekankan pentingnya penstrukturan peran sosial,

keluarga, dan seksual dengan cara mendukung pemenuhan diri otonomi

perempuan.

Liberal feminism conceives of freedom as personal autonomy—living a life


of one’s own choosing—and political autonomy—beng co-author of the
conditions under which one lives. Liberal feminists hold that the exercise of
personal autonomy depends on certain enabling conditions that are
insufficiently present in women’s lives, or that social arrangements often
fail to respect women’s personal autonomy and other elements of women’s
flourishing (Standford Encyclopedia of Philosophy).

Menurut Standford Encyclopedia of Philosophy, feminisme liberal

menganggap bahwa kebebasan merupakan otonomi personal, yaitu dengan

menjalani kehidupan yang dipilih oleh diri sendiri. Setiap orang memang sudah

sewajarnya menjalani kehidupan yang dipilih sendiri (termasuk pola pikir,

membentuk relasi, dan penampilan diri). Para feminis liberal berpendapat bahwa

pelaksanaan otonomi personal bergantung pada kondisi-kondisi sosial tertentu,


32

tetapi yang terjadi seringkali pengaturan sosial gagal dalam menghormati otonomi

personal perempuan dan elemen-elemen lain dari perkembangannya.

Feminisme liberal juga menitikberatkan peran dan posisi perempuan

sebagai individu yang memiliki kebebasan secara penuh. Aliran ini menyatakan

bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara

ruang privat dan publik. Setiap individu memiliki kapasitas untuk berpikir dan

bertindak secara rasional (Juwita, 2015: 12).

Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2010: 18) bahwa:

Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat


yang adil dan peduli terhadap perkembangan kebebasan. Hanya dalam
masyarakat seperti itulah perempuan dan juga laki-laki dapat
mengembangkan diri.

Feminisme liberal menginginkan kebebasan untuk kaum perempuan dari

opresi dan gender. Aliran ini juga mencakup 2 bentuk pemikiran politik, yaitu

Classical Liberalism dan Welfare Liberalism. Classical Liberalism percaya bahwa

idealnya, negara harus menjaga kebebasan rakyatnya dan memberi kesempatan

kepada setiap individu untuk menentukan kepemilikannya. Di sisi lain, Welfare

Liberalism percaya bahwa negara harus fokus terhadap keadilan ekonomi

dibanding kemudahan-kemudahan untuk kebebasan sipil. Mereka menganggap

program pemerintah seperti keamanan sosial dan kebebasan terhadap pendidikan

sebagai cara untuk mengurangi ketidakadilan dalam masyarakat sosial. Kedua-

duanya percaya bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan privat

perempuan tidaklah dibutuhkan (Tong, 2010: 16—17).

Feminisme liberal berusaha menciptakan dan mendukung perundang-

undangan yang menghapuskan halangan dan batasan terhadap perempuan untuk


33

maju. Perundang-undangan ini tentunya memperjuangkan kesempatan dan hak

untuk perempuan. Aliran ini juga memiliki pandangan mengenai negara sebagai

penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Namun,

feminis liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kelompok laki-laki, yang

terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin’. Perempuan cenderung

berada “di dalam” negara dan hanya sebatas warga negara, bukan sebagai pembuat

kebijakan. Oleh karena itu, terjadi ketidaksetaraan perempuan dalam berpolitik dan

bernegara (Juwita, 2015: 13).

Menurut feminis liberal, perempuan berhak untuk mengakses pilihan-

pilihan atas hidupnya. Akses perempuan terhadap pilihan seringkali dan secara

tidak adil dibatasi karena stereotip dan diskriminasi jenis kelamin dalam pendidikan

dan pekerjaan. Feminis liberal juga menunjukkan cara homogenitas budaya secara

tidak adil membatasi pilihan perempuan, misalnya ketika budaya memberikan

identitas dan peran sosial menurut jenis kelamin (Standford Encyclopedia of

Philosophy).

Feminis liberal menempatkan “keistimewaan” manusia pada rasionalitas

dan otonomi manusia yang keduanya disebut sebagai dualis normatif. Maka,

feminis liberal adalah pemikir yang berkomitmen terhadap pandangan bahwa

fungsi dan kegiatan pikiran adalah lebih baik daripada fungsi dan kegiatan ragawi

(Jaggar dalam Tong, 2010: 57). Makan, minum, eksresi, tidur, dan bereproduksi

bukanlah kegiatan manusia yang paling esensial karena anggota dari spesies hewan

lain juga melakukannya. Sementara apa yang membedakan manusia dari hewan
34

lain adalah kapasitasnya untuk berpikir, berimajinasi, dan memahami (Tong, 2010:

57).

Perempuan adalah makhluk rasional, sehingga sudah seharusnya diberi hak.

Namun, dalam pelaksanaannya, pemenuhan hak asasi manusia ini dianggap lebih

dirasakan oleh kelompok laki-laki. Untuk mendapatkan hak sebagai warga negara,

seseorang harus memiliki rasionalitas yang memadai. Namun, perempuan dianggap

sebagai makhluk yang tidak atau kurang rasionalitasnya, sehingga tidak diberikan

hak-hak sebagai warga negara yang sama dengan laki-laki (Juwita, 2015: 14).

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa satu-satunya pendekatan feminis

liberal untuk melawan diskriminasi gender adalah pendekatan yang klasik dan

berorientasi kepada kesejahteraan, yang keduanya sangat bergantung pada

penyelesaian legal. Feminis liberal, seperti Betty Friedan, menawakan pendekatan

yang lain dengan menggunakan ide androgini untuk melawan kecenderungan

tradisional masyarakat untuk menghargai secara tinggi sifat maskulin dan

merendahkan sifat feminin. Jika masyarakat mendorong masyarakat untuk

mengembangkan kedua sifat, baik sifat positif maskulin dan feminin, maka orang

tidak lagi memiliki alasan untuk lebih merendahkan sisi feminin dirinya daripada

sisi maskulinnya. Maka dari itu, diskriminasi berdasarkan gender dan jenis kelamin

biologis akan berakhir (Tong, 2010: 50).

B. Sejarah dan Perkembangan Feminisme Liberal

Feminisme liberal sebagai salah satu aliran utama di dalam feminisme tentu

mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan yang dituntut pada periode


35

tertentu. Perkembangan gerakan feminisme liberal sendiri terbagi menjadi 3 tahap,

yaitu:

1. Feminisme Liberal Abad ke-18

Menurut Wollstonecraft, kekayaan memiliki dampak negatif terhadap

perempuan borjuis yang sudah menikah pada abad ke-18. Dengan tidak memiliki

pekerjaan yang produktif di dalam rumah atau dunia privat, maka para perempuan

tersebut tidak mendapatkan kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri, atau

dengan kata lain, mereka tidak memiliki kebebasan. Mereka dihalangi untuk

mengembangkan kemampuan rasionalnya sehingga mereka tidak memiliki

moralitas (Dewi, Tanpa Tahun: 33—34). Maka, Wollstonecraft menawarkan

bidang pendidikan sebagai cara untuk menyetarakan kemampuan bernalar antara

perempuan dengan laki-laki. Selain itu, melalui pendidikan, perempuan dapat

menyetarakan posisinya di masyarakat agar tidak ditindas lagi (Tong, 2010: 19).

Hak atas pendidikan bagi perempuan ini juga dilatarbelakangi oleh kritikan

Wollstonecraft terhadap novel Email, or On Education, karya J.J. Rousseau yang

membedakan pendidikan bagi perempuan dan laki-laki. Dalam novel tersebut

diceritakan bahwa pendidikan yang diterima oleh laki-laki lebih menekankan pada

hal-hal yang rasional dan ilmu-ilmu yang mempelajari pengetahuan alamiah, sosial,

dan humaniora karena laki-laki nantinya akan menjadi seorang kepala keluarga.

Berbeda dengan laki-laki, pendidikan untuk perempuan lebih ditekankan pada

emosional atau ilmu-ilmu seperti puisi dan seni karena nantinya perempuan akan

menjadi seorang istri yang pengertian, perhatian, dan keibuan. Dari hal tersebut,

feminis liberal menyuarakan jalan keluar, yaitu sebuah pendidikan yang setara,
36

dengan cara mengajarkan hal-hal yang rasional, sehingga perempuan juga dapat

menjadi makhluk yang mandiri (Tong, 2010: 19—20).

2. Feminisme Liberal Abad ke-19

Setelah diyakini, baik oleh John Stuart Mill dan Harriet Taylor, bahwa

perempuan harus memiliki hak pilih dalam kehidupannya agar dapat menjadi setara

dengan laki-laki, pada abad ke-19 perkembangan feminisme liberal ditandai dengan

munculnya gerakan-gerakan perempuan untuk memperoleh hak pilih yang

berkaitan dengan gerakan abolisi di Amerika Serikat. Pengertian dari gerakan

abolisi adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi atau

perbudakan terhadap ras tertentu (Dewi, Tanpa Tahun: 37—38).

Gerakan abolisionis pertama kali ada pada tahun 1848 dengan

beranggotakan sebanyak 300 perempuan dan laki-laki di Seneca Falls, Amerika

Serikat. Hasil dari gerakan ini adalah Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of

Sentiments) dan dua belas resolusi yang menekankan isu mengenai kebutuhan

untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan

anak. Kedua belas resolusi menekankan hak-hak perempuan untuk mengutarakan

pendapatnya di depan umum, untuk membicarakan isu yang berkembang, terutama

yang berhubungan dengan moral dan agama. Salah satu kelemahan dari deklarasi

ini adalah aspek keutamaan terhadap perempuan terdidik, kelas menengah, dan

yang berkulit putih, sehingga perempuan kulit hitam tidak tampak atau tidak terlihat

(Dewi, Tanpa Tahun: 38).


37

3. Feminisme Liberal Abad ke-20

Perkembangan feminisme liberal pada abad ini ditandai dengan lahirnya

gerakan atau organisasi yang menyuarakan hak-hak perempuan, seperti National

Organization for Women (NOW). Organisasi ini bertujuan menyuarakan pendapat

agar perempuan dapat memiliki hak atau kesempatan mengakses pendidikan dan

ekonomi, sehingga dapat setara dengan laki-laki (Tong, 2010: 36).

Selama gerakan hak-hak sipil masif berkembang pada 1960-an, feminis

liberal menarik persamaan antara diskriminasi ras sistemik dan jenis kelamin.

Kelompok-kelompok seperti NOW, The National Women’s Political Caucus, dan

The Women’s Equity Action League dibentuk pada waktu itu untuk mengesahkan

hak-hak perempuan. Kelompok-kelompok ini telah bekerja untuk mengesahkan

Equal Rights Amendment atau Constitutional Equity Amendment di Amerika

Serikat dengan harapan akan menjamin bahwa perempuan dan laki-laki dapat

diperlakukan setara di bawah hukum demokratis yang juga memengaruhi lingkup

penting kehidupan perempuan, termasuk reproduksi, pekerjaan, dan persoalan

kesamaan besaran upah (Tong, 2010: 36—38).

Identitas esensial dan agenda NOW adalah liberal. NOW menekankan

bahwa tujuannya adalah untuk melayani bukan hanya perempuan yang dapat

bertahan dan berhasil di dalam sistem, tetapi setiap perempuan yang mempercayai

bahwa hak perempuan harus setara dengan hak laki-laki. Hak-hak perempuan

tersebut juga memerlukan perlindungan hukum agar tidak mudah dirampas atau

dikesampingkan oleh hak-hak laki-laki (Dewi, Tanpa Tahun: 41).


38

C. Tiga Prosedural Terhadap Substansi Pilihan Perempuan

Feminisme liberal yang berakar dari liberalisme memiliki beberapa

prosedural terhadap substansi pilihan perempuan yang menyatakan bahwa

perempuan setara dengan laki-laki. Terdapat tiga prosedural terhadap substansi

pilihan perempuan yang diyakini oleh kaum feminis liberal, yaitu rasionalitas,

kebebasan, dan otonomi.

1. Rasionalitas

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, “rasional” memiliki arti

pikiran atau pertimbangan logis yang sesuai menurut pikiran dan akal sehat.

Menurut Tomer dalam Salsabila (2018: 20), rasionalitas adalah ketepatan penalaran

individu dalam menentukan keputusan yang terbaik bagi dirinya dengan

memperhitungkan apa yang terbaik sekaligus sesuai dengan minat maupun tujuan

individu tersebut.

Menurut Tomer dalam Salsabila (2018: 23), individu yang berperilaku

rasional memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

a. Mampu merefleksikan tujuannya;

b. Mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya;

c. Mampu mempertimbangkan konsekuensi perilakunya;

d. Mengikutsertakan aspek moralitas; dan

e. Mampu mempertimbangkan kebahagiaan sesungguhnya yang bisa

didapatkan.

Menurut Hidayat dalam Salsabila (2018: 22—23), rasional tidaknya suatu

tindakan dapat dilihat melalui empat kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
39

a. Mempertimbangkan seluruh pilihan yang ada;

b. Pemilihan atau pengambilan keputusan juga berdasarkan konsekuensi

dan hasil yang mengikuti pilihan tersebut;

c. Menggunakan teori probabilitas ketika dihadapkan dengan

kemungkinan dari hasil dan konsekuensi pilihan; dan

d. Pertimbangan yang menyeluruh dalam pengambilan keputusan terhadap

ketidakpastian.

Menurut Shafir dan LeBoeuf dalam Hidayat (2016: 102), kemampuan

manusia untuk berpikir dan bertindak secara rasional dipandang sebagai capaian

tertinggi yang hanya mampu diraih oleh manusia di antara semua makhluk hidup

yang lain. Oleh karena itu, rasionalitas berkaitan erat dengan pengambilan

keputusan. Ketika membicarakan rasionalitas, berarti yang dimaksud adalah

seseorang bertindak berdasarkan keputusan yang dipikirkan secara matang dan

dilandasi oleh informasi yang akurat dan objektif.

Hakikat manusia (human nature) menurut feminisme liberal ialah kapasitas

rasionalnya, ukuran kesetaraan, kepemilikan individual, martabat, otonomi, dan

kemandirian. Bila ditarik garis lurus pada kaum perempuan, maka perempuan pun

adalah makhluk rasional dan setara. Feminisme liberal mendasarkan pemikirannya

pada konsep liberal yang menekankan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan

sama dan juga harus memiliki kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan

hewan karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan rasionalitas tersebut

memiliki dua aspek, yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan

prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri) (Krisbiyantoro, 2016: 6—7).


40

Para feminis liberal berpendapat bahwa perempuan seperti halnya laki-laki

mampu untuk mengembangkan kapasitas intelektual dan moralitas perempuan. Hal

ini berarti perempuan adalah makhluk yang rasional seperti laki-laki yang juga

memiliki hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik, seperti berpendapat dalam

perdebatan isu-isu politik, sosial, dan moral. Perempuan tidak seharusnya menjadi

makhluk yang terkurung dan tersingkirkan dalam ruang privat di rumah dan

keluarga (Dewi, Tanpa Tahun: 26—27).

Feminisme liberal menekankan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki

dengan asumsi dasar bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada

rasionalitas. Maka, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-

laki karena sama-sama makhluk yang rasional. Oleh karena itu, dasar perjuangan

feminisme ini adalah untuk menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap

individu atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional (Muslikhati,

2004: 32).

Apa yang diinginkan oleh Wollstonecraft bagi perempuan adalah

personhood, yaitu manusia secara utuh. Perempuan bukanlah mainan laki-laki.

Dengan perkataan lain, perempuan bukanlah sekadar alat atau instrumen untuk

kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu

“tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk

menentukan nasibnya sendiri. Memperlakukan seseorang sebagai sekadar alat

adalah sama dengan memperlakukan orang tersebut sebagai bukan manusia;

sebagai alat bagi orang lain. Jika seorang perempuan membiarkan dirinya

diperlakukan sebagai sekadar objek, berarti ia membiarkan dirinya diperlakukan


41

dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh. Tidak

seorang perempuan pun, tegas Wollstonecraft, yang seharusnya membiarkan

kekerasan seperti itu dilakukan terhadapnya (Tong, 2010: 22).

Mill dalam The Subjection of Women menyatakan bahwa jika perempuan

diakui sepenuhnya rasional dan berhak atas kebebasan sipil serta kesempatan

ekonomi seperti laki-laki, masyarakat akan ikut merasakan manfaatnya (Tong,

2010: 26). Mill juga berpikir lebih jauh dibanding Wollstonecraft dalam menentang

asumsi tak berdasar atas superioritas intelektual laki-laki dengan menekankan

bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan adalah sama jenisnya. Mill

bersikeras bahwa perbedaan pencapaian intelektual antara laki-laki dan perempuan

adalah semata-mata hasil dari pendidikan yang lebih lengkap diterima oleh laki-laki

dan hal ini menguntungkan mereka (Tong, 2010: 28).

2. Kebebasan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebebasan adaah

keadaan bebas atau kemerdekaan. Kebebasan dalam arti umum adalah keadaan

tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban, sedangkan kebebasan dalam

arti khusus, yaitu suatu kemampuan manusia, terutama kemampuan untuk

menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-

menerus ditawarkan kepada manusia oleh ihwal kehidupan (Dister, 1988: 122).

Dister dalam Arwidita (2017: 21—22) membagi tiga arti khusus kebebasan.

Pertama, kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi, yaitu kemampuan manusia

untuk menentukan dirinya dan tindakannya atau kebebasan batin. Manusia dalam

dirinya mengidam-idamkan kebebasan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, yang
42

dimaksudkan dengan pernyataan ini bukanlah kebebasan dalam arti “lepas dari

segala kewajiban ataupun dari segala kekhawatiran dan tanggung jawab”,

melainkan kebebasan sebagai makna keberadaan manusia.

Kedua, kebebasan kehendak, yaitu sesuatu yang dipakai untuk

menunjukkan suatu sifat yang dimiliki oleh kehendak manusia. Kebebasan

merupakan sarana untuk manusia dari segala sesuatu yang menghalangi

pelaksanaan dirinya dengan sepenuhnya. Kebebasan dipakai untuk menunjukkan

suatu sifat yang dimiliki oleh kehendak manusia. Kebebasan kehendak memiliki

peran sebagai prinsip keteraturan, keterarahan, dan keterlibatan. Kebebasan

mencegah kita dari diombang-ambingkan oleh ihwal kehidupan. Sebab manusia

dimungkinkan oleh kebebasan untuk menggunakan semua hal ihwal itu demi

perwujudan nilai-nilai yang kepadanya hidup manusia mau diabdikan (Dister dalam

Arwidita, 2017: 22).

Ketiga, kebebasan dalam arti sosial-politik, yaitu kebebasan yang dapat

diterima oleh orang lain. Istilah kebebasan menunjuk kepada syarat-syarat fisik,

sosial, dan politik yang harus terpenuhi agar manusia dapat menghayati dan

melaksanakan secara konkret kebebasannya dalam arti pertama dan kedua dalam

uraian di atas. Kebebasan dalam arti ketiga di sini merupakan bentuk jamak dari the

democratic liberties. Pengertian “kebebasan” yang khusus ini memiliki kebebasan

makna keberadaan selaku manusia. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup

selaku manusia adalah kepribadian atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa,

sehingga orang bebas “dari” beraneka ragam alienasi yang menekannya dan bebas
43

pula “untuk” kehidupan yang utuh, tak tercela, berdikari, dan kreatif (Dister dalam

Arwidita, 2017: 22).

Dalam Kamus Filsafat karya Lorens Bagus (2002: 406), kebebasan

diartikan sebagai kemampuan diri seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuai dengan kemauan dan pilihannya serta mampu untuk bertindak sesuai yang

disukai atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakannya sendiri. Kebebasan

mempunyai banyak definisi, tetapi persamaan inti dari makna kebebasan terletak

pada ketidakterikatan manusia oleh suatu kondisi dan aturan apa pun di luar dirinya.

Dinamika kehidupan manusia diisi oleh berbagai macam tantangan,

masalah, dan hambatan. Untuk menghadapi ketiga hal tersebut, manusia sebagai

makhluk yang berakal budi mampu berpikir terlebih dahulu, mempertimbangkan

pro dan kontra, dan menilai perbuatan-perbuatannya sebelum mengambil suatu

keputusan. Manusia harus menentukan posisinya. Untuk itu, kebebasan kemudian

mengantarkan pada kesimpulan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk

memilih secara merdeka (Trisakti, 2012: 123).

Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan

sesuatu, tetapi manusia juga memutuskan apa yang ingin diperbuat. Dengan

demikian, kebebasan manusia menunjuk pada kemampuan manusia, khususnya

untuk memberi makna dan arah pada hidup dan karya-karyanya, kemampuan

menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan yang ada dan nilai-nilai yang

terus-menerus ditemui dalam kehidupannya, serta sanggup

mempertanggungjawabkan pendiriannya (Trisakti, 2013: 124—125).


44

Feminisme liberal menitikberatkan kepada beberapa asumsi kebebasan, di

antaranya bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being free of violence and

the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum patriarki,

paternalistis, dan moralistis (being free of the limits set by patriarchal, paternalistic,

and moralistic laws), dan memiliki akses terhadap pilihan-pilihan (having access

to options) (Standford Encyclopedia of Philosophy).

Setiap perempuan dipastikan harus bebas dari segala bentuk kekerasan,

ancaman, dan opresi. Beson (2009: 178) menyatakan bahwa mempertahankan

opresi merupakan “the fundamental injustice of social institutions”. Maka, opresi

adalah ketidakadilan mendasar dari lembaga-lembaga sosial. Opresi menjadi

kelembagaan terstruktur yang dilakukan suatu kelompok pada kelompok lain

dengan menggunakan kekuatan material langsung dan tidak langsung; juga paksaan

psikologis yang melanggar keadilan.

Feminisme liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran

gender yang opresif, yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau

pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan

tempat sama sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar

(Tong, 2010: 48—49).

Perempuan sebagai individu tentu memiliki hak. Hak individu bagi kaum

liberal harus diprioritaskan daripada “kebaikan”. Maka, setiap individu diberikan

kebebasan untuk memilih apa yang “baik” untuk dirinya asal tidak merugikan orang

lain. Kaum feminis liberal berkonsentrasi untuk meningkatkan status perempuan di


45

seluruh dunia, meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik, dan

mendapatkan akses terhadap kekuasaan (Dewi, Tanpa Tahun: 27).

Liberalisme merupakan sebuah perspektif yang sangat menjunjung tinggi

kebebasan individu di atas segala-galanya. Kaum liberal percaya bahwa dengan

kebebasan yang diberikan kepada setiap individu, maka perubahan-perubahan

positif dalam kehidupan sosial atau masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat

mungkin dicapai. Individu dibiarkan secara bebas untuk mengembangkan

kemampuan dirinya tanpa campur tangan pihak lain. Oleh karenanya, kebebasan

individu ini harus dijamin melalui penegakkan hak asasi manusia (Dewi, Tanpa

Tahun: 31).

Akar pemikiran dari feminisme liberal berawal dari pengalaman perempuan

yang seolah kebebasannya untuk menentukan hidup dirantai bahkan negara pun

mengontrol setiap perempuan dengan dalih “melindungi kaum perempuan”.

Namun, kenyatannya yang terjadi adalah justru perempuan tidak mendapatkan

kebebasan hidupnya secara utuh (Dewi, Tanpa Tahun: 32).

3. Otonomi

Wall (2007: 234) menganggap bahwa otonomi individu adalah ide yang

paling valid dan penting. Lebih lanjut, otonomi individu mensyaratkan bahwa

setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi. Individu juga harus

memiliki akses ke berbagai pilihan yang memadai dan negara memiliki peran dalam

memastikan bahwa individu-individu memiliki akses ke berbagai opsi yang

memadai. Menurut Beauchamp dan Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri
46

dari agen yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas

informasi yang relevan) tanpa dipengaruhi oleh pengendalian.

Menurut Ryan & Deci dalam Fikry (2015: 26), otonomi adalah kemampuan

untuk bertindak atas pilihan dan kemauan sendiri. Individu yang memiliki otonomi

yang tinggi adalah orang yang bertindak hanya karena keinginanya sendiri. Ia

menyukai tindakannya, meregulasi dirinya dalam bertindak, dan menyadari

sepenuhnya maksud dari tindakannya (Ryan, dkk. dalam Fikry, 2015: 26).

Determinasi diri mendorong seseorang bertindak dengan otentik, yakni tindakan

yang dilakukan didasari karena ketertarikan yang ia rasakan atau karena hasrat yang

datang dari dalam diri (Fikry, 2015: 26).

Seseorang yang otonom dalam berperilaku adalah apabila tindakannya

dilakukan dengan tekad atau niat yang kuat dari dalam diri dan dirinya berkuasa

sepenuhnya atas tindakan yang dilakukan serta nilai-nilai yang terekspresikan oleh

tindakan tersebut (Ryan, dkk. dalam Fikry, 2015: 26). Sering dikatakan bahwa

manusia memiliki kemampuan untuk merencanakan dan memilih apa yang harus

dilakukan. Selain itu, manusia juga dapat berpikir untuk diri mereka sendiri dan

memiliki kebebasan serta hak untuk berpendapat tentang moral sesuai yang

dikehendaki. Klaim-klaim semacam itu dapat disebut dengan otonomi (Downie &

Telfer, 1971: 293).

Liberalisme menekankan masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap

individu mempraktikkan otonomi dirinya dalam memenuhi kebutuhan. Mengenai

masalah intervensi atau campur tangan negara dalam dunia privat atau domestik,

kaum liberal menyetujui bahwa semakin sedikit individu berhadapan dengan Big
47

Brothers (negara) di ruang privat, maka keadaan akan semakin baik. Hal ini

disebabkan oleh anggapan kaum liberal bahwa setiap individu membutuhkan

tempat yang memungkinkan mereka untuk menjadi diri mereka yang sesungguhnya

(Tong, 2010: 16).

Liberalisme melihat bahwa hakikat manusia terletak pada kesadaran,

keunikan pada setiap individu, dan untuk menjadi bebas manusia harus

menggunakan rasionya karena rasionalitas sangat penting dalam usaha mencapai

kebebasan. Penalaran rasio penting untuk mengerti prinsip-prinsip moralitas yang

dapat menjamin otonomi manusia dan menjadi bebas (Tong, 2010: 17).

Feminisme liberal juga berpendapat bahwa kebutuhan dan kepentingan

perempuan tidak cukup tercermin dalam kondisi dasar di mana mereka hidup dan

kondisi-kondisi tersebut kurang legitimasi karena perempuan tidak terwakili secara

memadai dalam proses penentuan nasib sendiri yang demokratis. Para feminis

liberal mengatakan bahwa defisit otonomi seperti ini disebabkan oleh “sistem

gender” atau sifat patriarkal dari tradisi dan institusi yang diwariskan (Okin, 1989:

89). Maka, gerakan perempuan harus bekerja untuk mengidentifikasi dan

memperbaikinya. Feminis liberal berpendapat bahwa perlindungan dan dukungan

atas otonomi warga negara adalah peran yang seharusnya dilakukan oleh negara.

Maka, negara dapat dan seharusnya menjadi sekutu gerakan perempuan dalam

mendukung otonomi perempuan.

Menurut Standford Encyclopedia of Philosophy, feminis liberal

menyatakan bahwa perempuan harus menikmati otonomi pribadi. Artinya,

perempuan harus menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri. Maka, feminisme
48

liberal menawarkan akun-akun “prosedural” otonomi pribadi. Akun-akun ini

menunjukkan bahwa perempuan harus menikmati otonomi pribadinya. Maka,

mereka berhak atas berbagai kondisi yang memungkinkan adanya otonomi tersebut.

Pada pandangan ini, gerakan perempuan harus mengidentifikasi dan mendukung

kondisi-kondisi ini. Mengidentifikasi kondisi yang memungkinkan ini

membutuhkan perhatian khusus pada cara-cara tertentu karena defisit otonomi

dihasilkan dalam kehidupan perempuan yang beragam.

Feminisme liberal memiliki beberapa indikator penting yang menjadi dasar

pemikirannya, yaitu perempuan memiliki pilihan dan mampu berpikir secara

individu. Feminisme liberal mendasarkan pemikirannya kepada paham liberal yang

menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki itu diciptakan sama serta memiliki hak

dan kesempatan yang sama pula. Perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan

individual. Feminisme liberal menghendaki manusia secara individu dijunjung

tinggi, termasuk di dalamnya nilai otonomi, nilai persamaan, nilai moral yang tidak

boleh dipaksa, tidak diindoktrinasikan, dan bebas memiliki penilaian sendiri

(Lestari, 2016: 7).

Meskipun kaum liberal mendefinisikan nalar secara umum dalam istilah

moral dan prudensial, mereka setuju bahwa suatu masyarakat yang adil akan

memungkinkan seorang individu untuk menunjukkan otonominya dan juga untuk

memuaskan dirinya. Menurut kaum liberal, “hak” harus diberikan sebagai prioritas

di atas “kebaikan”. Dengan kata lain, keseluruhan sistem atas hak individu

dibenarkan karena hak ini menghasilkan bingkai kerja yang merupakan dasar bagi

kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing. Prioritas seperti itu
49

berlaku bagi hak-hak yang biasanya digeneralisasi sebagai fundamental (Tong,

2010: 16).

Feminisme liberal juga berpandangan untuk menempatkan perempuan

sebagai subjek yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.

Wollstonecraft menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan gagasan

ideal mengenai pendidikan bagi perempuan. Wollstonecraft mendorong perempuan

untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom. Wollstonecraft menginginkan

perempuan menjadi manusia utuh yang tidak diperlakukan sebagai objek oleh laki-

laki dan bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan

adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar dan memiliki kemampuan

untuk mengembangkan diri (Tong, 2010: 22).

Feminisme liberal memandang perempuan sebagai individu yang

diposisikan berhak untuk hidup dengan cara yang dikehendakinya, baik itu yang

sesuai dengan masyarakat maupun yang tidak (Cudd, 2006: 234). Selama ini

perempuan selalu menjadi subjek yang dibatasi ruang geraknya dan dikondisikan

tidak otonom. Feminisme liberal memandang diskriminasi perempuan yang

diperlakukan tidak adil. Perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama

dengan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan diri di dalam masyarakat.

Menurut feminis liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri.

Pertama, peraturannya harus adil. Kedua, pastikan tidak ada pihak yang ingin

memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan sistem yang dipakainya haruslah

sistematis serta tidak ada yang dirugikan (Putnam Tong, 2009: 2).
50

Terdapat pemikiran Wollstonecraft yang dapat dilihat dalam A Vindication

of the Rights of Women, yang sangat dekat dengan pemikiran Immanuel Kant dalam

Groundwork of the Metaphysic of Morals, yaitu jika seseorang tidak bertindak

secara otonom, maka ia akan bertindak lebih rendah daripada seorang manusia yang

utuh. Wollstonecraft menegaskan jika nalar adalah kapasitas yang membedakan

manusia dari hewan. Maka, jika perempuan tidak dianggap sebagai hewan, maka

perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kapasitas ini. Oleh karena itu,

perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang setara seperti laki-laki untuk

mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya sehingga perempuan dapat menjadi

manusia yang utuh. Melalui A Vindication of the Rights of Woman, Wollstonecraft

mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom. Meskipun,

ia tidak memberikan bimbingan yang lebih konkret (Tong, 2010: 20—21).

Pembahasan mengenai perbedaan jenis kelamin, peran gender, dan

androgini telah membantu memfokuskan dorongan feminis liberal terhadap

kebebasan, kesetaraan, dan keadilan untuk semua. Menurut Jane English, istilah

seperti peran seks dan sifat gender mengacu kepada pola tingkah laku kedua jenis

kelamin yang disosialisasikan, didorong, dan dipaksakan untuk diterima, mulai dari

kepribadian yang “sesuai dengan jenis kelamin” hingga minat dan profesi. Anak

laki-laki diinstruksikan untuk menjadi maskulin, sementara anak perempuan

menjadi feminin (Tong, 2010: 51).

“Maskulin” dan “feminin” dalam kerangka stereotip budaya yang berlaku

sangat dipengaruhi oleh faktor ras, kelas, dan etnis. Misal, maskulin berarti rasional,

ambisius, dan mandiri, sedangkan feminin berarti emosional, mengasuh, dan


51

bergantung kepada orang lain. Beberapa laki-laki biologis akan memanifestasikan

sifat-sifat gender feminin dan beberapa perempuan biologis akan memanifestasikan

sifat-sifat gender maskulin. Namun, individu ini akan dianggap “menyimpang”.

Penstereotipan peran gender akan membatasi kemungkinan individu untuk

mengembangkan dirinya yang unik. Perempuan yang menunjukkan karakteristik

yang dianggap masyarakat sebagai “maskulin” dan karena itu akan dianggap

sebagai kurang dari atau bukan perempuan yang “sesungguhnya”; begitu pula laki-

laki (Tong, 2010: 51). Feminis liberal cenderung menyetujui bahwa jenis kelamin

biologis dari seseorang tidak seharusnya menjadi alat untuk menentukan gender

psikologis maupun sosialnya (Tong, 2010: 52).

Ketiga prosedural terhadap substansi pilihan perempuan menurut

feminisme liberal, yakni rasionalitas, kebebasan, dan otonomi, memiliki keterikatan

dan keterkaitan satu sama lain. Dasar kesetaraan antara perempuan dan laki-laki

yang dipercayai oleh feminis liberal adalah kebebasan yang berakar pada

rasionalitas. Dengan rasionalitas, perempuan dapat bebas dan memiliki akses

terhadap pilihan untuk menjadi individu yang otonom dan utuh.


52

BAB III

PEREMPUAN ACEH DAN SYARIAT ISLAM

A. Posisi dan Peran Perempuan Aceh

Pembatasan terhadap perempuan yang diberlakukan di Aceh pasca

menyandang gelar sebagai daerah istimewa ternyata tidak terjadi dalam sejarahnya.

Perempuan Aceh pernah mengalami masa-masa kejayaan dalam kesetaraan dengan

laki-laki. Namun, masa itu telah hilang pasca dikeluarkannya undang-undang

mengenai keistimewaan Aceh yang berujung pada pembatasan terhadap perempuan

(Meira, 2015: 30).

Aceh merupakan daerah yang tumbuh dengan sejarah perempuan yang kuat

dan memiliki peranan dalam pembangunan daerah yang pada masa itu berbentuk

kerajaan. Misalnya saja, lebih kurang 59 tahun lamanya Kerajaan Aceh Darussalam

dipimpin oleh sultanah. Tercatat sultanah Aceh pertama bernama Taj’al Alam

Tsafiatuddin Syah Berdaulat Zillu’lahi Fi’l Alam Binti Sultan Raja Iskandar Muda

Johan Berdaulat. Tiga puluh empat tahun masa pemerintahannya merupakan suatu

masa pemerintahan yang cukup lama, apalagi bagi seorang perempuan. Masa

pemerintahan Sri Ratu Safiatuddin ini penuh dengan tipu daya asing dan bahaya

pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut kursi pemerintahannya. Tentu

akan sulit dilalui dengan selamat apabila ia bukanlah seorang yang arif dan

bijaksana dengan kepribadian yang tangguh luar biasa (Melya, 2005: 49). Lalu,

berturut-turut hingga 1699, Aceh dipimpin oleh empat orang perempuan. Hingga
53

masa penjajahan Belanda, perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia

berjuang di garis depan untuk mengusir penjajah dari tanah Aceh (Meira, 2015: 30).

Keseluruhan pemerintahan perempuan terjadi lebih kurang selama 59 tahun.

Menurut Raden Husen Djayadiningrat dalam Kesultanan Aceh dan H. Muhammad

Said dalam Aceh Sepanjang Abad, pada masa pemerintahan Kamalatsyah timbul

gerakan menentang perempuan menjadi sultan, sehingga akhirnya Kamalatsyah

dijatuhkan (BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun, 2014: 59).

Ali Hasymi dalam Kebudayaan Aceh dalam Sejarah mengatakan bahwa

sejak masa Iskandar Muda sampai dengan masa pemerintahan sultanah, Kerajaan

Aceh yang dasar negaranya Alquran, hadis, dan qanun Meukuta Alam

membolehkan perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara,

termasuk Majelis Mahkamah Rakyat yang anggotanya berjumlah 73 orang (18 di

antaranya perempuan) (BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun, 2014: 59).

Selain sultanah-sultanah, pada zaman pemerintahan Sultan Alaidin Ri’ayat

Syah IV, telah dibentuk sebuah armada yang para prajuritnya merupakan janda

pahlawan yang telah tewas yang dinamakan Armada Inong Balee. Armada tersebut

di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, dengan 2.000 prajurit perempuan yang

gagah berani berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut

Belanda (BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun, 2014: 59). Pada masa Sultan

Muda Ali Ri’ayat Syah V dibentuk Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana)

yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit perempuan) di bawah pimpinan Laksamana

Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Makmun, 2014: 59).
54

BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun (2014: 60) menyatakan, pada masa

Sultan Iskandar Muda juga dibentuk Divisi Pengawal Istana yang terdiri dari

prajurit perempuan di bawah pimpinan seorang panglima jenderal perempuan.

Salah satu batalionnya bernama Divisi Keumala Cahya, yang dijadikan batalion

kawal kehormatan. Keberanian perempuan Aceh telah diakui oleh Belanda,

misalnya saja H.C. Zentgrafft dalam bukunya, Aceh.

Bukti-bukti yang tersebar juga menunjukkan bahwa sebelum akhir abad ke-

19, perempuan Aceh memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan

(mereka menduduki posisi sebagai ratu, perdana menteri, dan kepala daerah otonom

yang disebut uleebalang) dan dalam perang melawan bangsa-bangsa Eropa

(Salehati, 2010: 23). Jacob dalam Salehati (2010: 23—24) menuliskan sebuah

cuplikan yang diambil dari tulisan H.M. Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang

Abad,sebagai berikut:

Pada masa Van der Heij den menyerang Samalanga ada perempuan yang
bernama Pocut Meuligo yang berhasil memengaruhi adik laki-lakinya,
Teuku Chik Samalanga, untuk terus melakukan perlawanan terhadap
Belanda dan Cut Nyak Dhien memengaruhi suaminya, Teuku Umar, supaya
balik melawan Belanda. Ini merupakan fakta sejarah bahwa keduanya
pernah benar-benar terjadi. Bahkan jika digali pasti akan banyak tokoh-
tokoh perempuan di Aceh yang mengagumkan tekad perjuangannya seperti
Cut Meutia yang ditemukan tewas tertindih bangkai dengan Pang
Nanggroe.

Tentu saja bukti-bukti yang tersebar tentang peran perempuan Aceh di atas

sebaiknya diikuti dengan analisis lebih lanjut mengenai relasi gender, Islam, dan

feodalisme di Aceh. Meskipun apabila benar bahwa peran perempuan Aceh dalam

proses pengambilan keputusan politik ini merupakan hasil manipulasi politik oleh

laki-laki, kenyataannya adalah bahwa perempuan Aceh dapat menggunakan situasi


55

politik tersebut untuk mempertahankan kekuasaan mereka dalam jangka waktu

lama. Perempuan Aceh memegang kekuasaan tertinggi sebagai ratu pada awal abad

ke-15 hingga akhir ke-17 (Alfian dalam Salehati, 2010: 24).

Makmun (2014: 60) mewawancarai Badruzzaman, Ketua MAA, pada 6 Mei

2014. Makmun mendapatkan konfirmasi data tentang posisi dan peran perempuan

pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia.

“Jadi, di dalam kajian saya, dari baca buku dan pengalaman saya, saya
berkesimpulan bahwa posisi perempuan dalam posisi yang samaderajat dan
pemahaman politik bernegara dan bermasyarakat. Indikatornya adalah
bahwa banyak sekali para tokoh perempuan Aceh itu yang menjadi
setingkat sultan. Saya punya data anggota DPR (parlemen Iskandar Muda)
ada berapa puluh anggota DPR waktu itu 30% lebih perempuan. Berarti
tentu sekian ribu stafnya sudah pasti ada perempuan. Tidak mungkin
jendral-jendral sultanah ajudannya tidak perempuan. Cuma tidak ditulis
karena itu saya anggap bahwa perannya justru pemikiran ulama Aceh itu
sangat modernis menurut saya, orang ini. Jadi perempuan Aceh sama rata
dalam struktur sosial” (Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 60).

Kemudian, perempuan Aceh memiliki peran yang setara dengan laki-laki

sebelum masa konflik. Berikut pernyataan Badruzzaman:

“Perempuan dulu di kampung, semua kegiatan di kampung, ke sawah


bersama, dalam musyawarah, perempuan ikut, dalam rapat, perempuan
mendukung, yang misalnya gotong royong irigasi, perempuan masak bubur
kanji, macam-macam. Adat perkawinan, perempuan mengambil peran,
semua walaupun sistemnya tidak seperti mengaduk-aduk, tetapi perempuan
di sini ikut membantu. Lalu sekolah juga, coba tanya pengajian, semua
kampung ada pengajian, ibu buat pengajian di rumah. Jadi, tidak pernah
para perempuan dalam konsep budaya Aceh itu, mendiskriminasi, tidak ada,
yang ada karena pengaruh kondisi politik waktu itu. Yang terlihat
sebenarnya semua menderita” (Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 60—
61).

Selain itu, perempuan Aceh memiliki pendidikan yang setara dengan laki-

laki. Berikut adalah pernyataan Badruzzaman:


56

“Semua orang Aceh tidak ada yang buta huruf, laki-laki dan perempuan.
Saat itu hurufnya huruf Jawi. Mereka bisa baca Alquran, bisa baca Jawi,
jadi tidak buta huruf untuk zaman itu memang hurufnya itu, tidak seperti
sekarang ini” (Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 61).

Apabila menilik masa gemilang perempuan Aceh di masa lampau, terlihat

bahwa perempuan memiliki kekebasan serta akses terhadap pilihan dalam

menentukan pilihan atas hidupnya, setidaknya dapat ditemukan fakta bahwa

perempuan memiliki akses untuk memimpin dan mengikuti perang. Lalu, peneliti

tertarik untuk mengetahui cara perempuan pada masa tersebut berpakaian dalam

kesehariannya. Maka, peneliti mengutip wawancara yang dilakukan oleh Salehati

bersama Sakdiah Marhaban, ketua organisasi LINA.

“Perempuan Aceh sungguh tidak memiliki kultur atau kebiasaan


mengenakan jilbab. Banyak foto-foto keluarga menunjukkan bahwa orang
tua dan nenek-nenek kami tidak menggunakan penutup kepala. Malahan
sebaliknya, sebagian mengenakan pakaian lengan pendek atau bahkan tanpa
lengan sama sekali. Banyak dari mereka mengenakan celana longgar yang
menyimbolkan kedinamisan perempuan Aceh. Pada lembaran uang
Rp10.000,00 pahlawan Aceh terkenal Cut Nyak Dhien beridir tegak dengan
rambut tersisir rapi ke belakang. Cut Nyak Meutia mengatur rambutnya
dengan cara berbeda. Ia pergi perang melawan Belanda dengan rambut
panjang tergerai tak terikat” (Sakdiah dalam Salehati, 2010: 25).

Menurut Salehati (2010: 26), dalam sejarah panjang Aceh, sepak terjang

perempuan Aceh merupakan salah satu elemen yang menarik. Dalam sejarah

kontemporer Indonesia, sangat jelas disebutkan jika Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak

Meutia menjadi bagian dari sejarah kepahlawanan dalam mengusir penjajahan dan

penindasan. Perempuan menjadi contoh dalam melawan bentuk-bentuk penindasan

dan eksploitasi sumber daya. Demikian pula dalam buku-buku sejarah tentang

Aceh: posisi perempuan Aceh tidak bisa lepas dari kontribusinya dalam membentuk

karakter dan tatanan masyarakat Aceh.


57

Banyak posisi yang pernah diraih oleh perempuan Aceh yang menduduki

level otoritas kekuasaan, baik pada masa kesultanan, kolonial Hindia Belanda,

hingga dalam konteks NKRI. Hal tersebut merupakan manifestasi perempuan

dalam upayanya membela hak-hak masyarakat secara umum, juga pembelaan

terhadap penganiayaan dan pelanggaran atas hak perempuan. Tercatat dalam

sejarah bahwa kontribusi yang diberikan perempuan Aceh hingga pada posisi-

posisi penting yang kebanyakan dikuasai oleh kelompok laki-laki (Salehati, 2010:

26—27).

Menurut Salehati (2010: 27), posisi, peran, dan perjuangan perempuan Aceh

dapat dipaparkan secara detail dalam tabel berikut:

Tabel 1

Tokoh-tokoh perempuan yang berkontribusi dalam perubahan Aceh

Nama Posisi Periode Tempat


Putri Lindung Perdana Menteri 1353—1398 Kesultanan
Bulan Perlak
Nahrasiyah Ratu 1400—1428 Kesultanan
Rawangsa Samudra Pasai
Khadiyu
Malahayati* Laksamana 1589—1604 Kesultanan
Aceh
Darussalam
Meurah Ganti* Laksamana 1604—1607 Kesultanan
Aceh
Darussalam
Cut Meurah Laksamana Muda 1604—1607 Kesultanan
Inseuen* Aceh
Darussalam
Taj’Al Alam Ratu 1641—1675 Kesultanan
Aceh
Darussalam
58

Cut Nyak Kepada daerah 1641—1675 Kesultanan


Keureuto* otonom Aceh
(Uleebalang) Darussalam
Cut Nyak Kepala daerah 1641—1675 Kesultanan
Fatimah* otonom Aceh
(Uleebalang) Darussalam
Sri Ratu Nurul Ratu 1675—1678 Kesultanan
Alam Aceh
Nakiatuddin Darussalam
Sultan Inayat Ratu 1678—1688 Kesultanan
Zakiatuddin Sjah Aceh
Darussalam
Sri Ratu Kamalat Ratu 1688—1699 Kesultanan
Syah Aceh
Darussalam
Pocut Meuligo Uleebalang, Akhir abad ke- Selama awal
penasihat perang, 18 (1857) perang melawan
dan jenderal di penjajahan
Samalanga Belanda
Tengku Fakinah Jenderl dan 1856—1933 Selama awal
ulama, memiliki perang melawan
dayah ** penjajahan
Belanda
Cut Nyak Dien Jendral di Aceh Wafat 8 Selama awal
Barat November 1908 perang melawan
di pengasingan penjajahan
Belanda
Cut Meutia Jendral Di Aceh Wafat 25 Selama awal
Utara Oktober 1910 perang melawan
penjajahan
Belanda
Pocut Baren Jendral di Aceh Awal abad ke-19 Selama awal
Biheue Barat perang melawan
penjajahan
Belanda

*ditunjuk oleh sultan.

**dayah adalah pusat pendidikan Islam.


59

B. Syariat Islam dalam Realitas Politik Aceh

Menurut KBBI, syariat adalah hukum yang menetapkan peraturan hidup

manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan

manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Secara etimologis, syariat

memiliki arti yaitu jalan menuju ke sumber air atau jalan ke arah sumber pokok

kehidupan (Kamil dalam Makmun, 2014: 13), sedangkan secara terminologis

diartikan sebagai sejumlah kekuatan hukum dan aturan Allah Swt. yang menjadi

kewajiban bagi pemeluk agamanya dalam menaatinya (Chalil dalam Makmun,

2014: 13).

Syariat memiliki nilai sakralitas lebih tinggi karena dipahami sebagai

hukum yang sifatnya transendental, yaitu turun dari wahyu Ilahi. Maka, syariat saat

ini dipahami sebagai hukum Islam yang meskipun diformulasikan melalui

penafsiran wahyu, tetapi harus diakui terpengaruh oleh kompleksitas teks sumber,

terutama hadis, geografis, dan historis pemahaman ulama. Syariat kemudian

dianggap sebagai hukum yang walaupun memiliki sakralitas yang sebagiannya

tidak berubah, tetapi juga memiliki banyak sisi relativitas dan patrikularitas (Kamil

dalam Makmun 2014: 13).

Permintaan penegakan syariat Islam di Aceh sudah dimulai sejak

pemerintahan Soekarno, tetapi tidak mendapat konfirmasi dan akhirnya memicu

terjadinya pertikaian politis. Hal ini terus terjadi sampai di era Presiden Soeharto.

Lalu setelah melalui proses yang alot, penerapan syariat Islam di Aceh mulai

mendapat respons positif pada era reformasi dengan keluarnya Undang-Undang


60

Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh oleh Presiden B.J. Habibie.

Undang-undang ini selanjutnya disahkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus oleh pemerintahan Megawati yang di dalamnya

mempertegas penerapan syariat Islam di Aceh.

1. Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945—1959)

Menurut Berutu (2016: 167), dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh sejak

awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada pemerintah pusat untuk

melaksanakan syariat Islam di Aceh. Pada 1947, Soekarno mengunjungi Aceh

untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan

independensi Indonesia. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa kelompok di Aceh,

salah satunya adalah GASIDA. Pada akhirnya, GASIDA menyanggupi permintaan

Presiden Soekarno dan kemudian membentuk panitia pengumpulan dana dan

menunjuk T.M. Ali Panglima Polem sebagai ketuanya. Setelah dana yang

dibutuhkan terkumpul, dana tersebut digunakan untuk membeli dua pesawat

Dakota yang kemudian diberi nama Seulawah I dan Seulawah II.

Dua tahun setelah kunjungan Presiden Soekarno ke Aceh yang bertepatan

dengan 17 Desember 1949, PDRI mengumumkan pembentukan Provinsi Aceh dan

menetapkan Daud Beureu’eh sebagai gubernurnya. Namun, setelah setahun

pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan pemerintah pusat kembali berubah. Pada

1950, Provinsi Aceh dilebur dan disatukan ke dalam Provinsi Sumatra Utara dan

dijadikan keresidenan Aceh. Tentu hal ini menimbulkan kekecewaan bagi para

pejuang Aceh kepada pemerintah pusat (Berutu, 2016: 168).


61

Aceh bergejolak dan menuntut dikembalikannya Provinsi Aceh. Pada 21

September 1953 terjadilah pemberontakan pertama, yaitu DI/TII di Aceh pasca

kemerdekaan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh. Pemerintah

pusat langsung menanggapi pemberontakan ini dengan mengeluarkan Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Swatantra Aceh.

Dua tahun setelahnya, keluarlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang

Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan

Pembentukan Provinsi Sumatra Utarayang menjelaskan bahwa kedua belah pihak

sepakat menghentikan kontak senjata dan mengusahakan jalan terbaik untuk

menyelesaikan masalah Aceh. Beureu’eh mengajukan syarat pengajuan unsur-

unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri pemberontakan DI/TII

di bawah kepemimpinannya. Oleh karena itu, dihasilkanlah sebuah maklumat

konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi Provinsi Aceh (Berutu, 2016:

169).

2. Pada Masa Kemerdekaan (1959—1998)

Pemerintah pusat mengutus Mr. Hardi pada Mei 1959 untuk membawa misi

perdamaian di Aceh. Selanjutnya, komisi Hardi melakukan pertemuan dengan

DDRDI yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini

adalah bahwa pemerintah pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan

kemudian merealisasikannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI Nomor

1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam

artian dapat melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya, terutama dalam

bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Status ini kemudian dikukuhkan
62

dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Atas nama Komandan Militer Aceh, Letnan Kolonel T.

Hamzah, dan Gubernur Daerah Istimewa Aceh, A. Hasjmy, membuat pernyataan

bersama sebagai berikut:

a. Seluruh aparat (militer atau polisi) diterima ke dalam pasukan yang

bernama pasukan Tgk. Cik Di Tiro sebagai bagian dari Komando

Daerah Militer Aceh/Iskandar Muda sesuai dengan pernyataan misi

pemerintah pusat di Kuta Raja, pada 26 Mei 1959; dan

b. Pemerintah akan membantu sekuat tenaga dalam batas-batas

kemampuan negara untuk pembangunan semesta di Aceh, terutama

dalam bidang-bidang yang langsung menyentuh kepentingan rakyat,

jasmani, dan rohani (Berutu, 2016: 171—172).

Namun, keputusan pemerintah pusat tersebut tidak berhasil memuaskan

kelompok radikal dalam DI/TII. Beureu’eh memandang bahwa sebutan istimewa

bagi Aceh itu belum memiliki substansi dan bentuk konkret apa pun. Oleh karena

itu, Beureu’eh kembali memulai perang saudara antara DI/TII dan TNI (Berutu,

2016: 172).

Selanjutnya, pemerintah pusat mengadakan MKRA pada 18—22 Desember

1962 di Blangpadang. Musyawarah ini dipimpin oleh Kolonel M. Yasin (ketua

umum), Ali Hasjmy (ketua satu), dan Letkol Nyak Adam Kamil (ketua dua).

Musyawarah diadakan dalam rangka membahas rencana pembangunan Aceh yang

melahirkan Ikrar Blangpadang. Ikrar ini turut ditandatangani oleh 700 orang

terkemuka yang turut hadir. Semuanya berkomitmen untuk memelihara dan


63

membina kerukunan serta persatuan di Aceh. Namun setelah itu, penerapan syariat

Islam di Aceh tidak sesuai dengan yang diharapkan, Misalnya, pada 1979

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tentang Pemerintahan Desa oleh

pemerintah pusat. Dengan adanya undang-undang ini, struktur gampong dan mukim

serta segala perangkatnya tidak berlaku lagi. Perangkat pemerintahan lokal ini

digantikan dengan struktur baru yang bersifat nasional, sehingga struktur lokal yang

menjadi basis kehidupan masyarakat di desa menjadi kurang berperan (Berutu,

2016: 172—173).

Konflik mulai terjadi lagi di Aceh pada 1976. Hal ini ditandai dengan

keputusan Hasan Tiro yang memproklamirkan GAM di Pidie pada awal 1977

dengan alasan bahwa Indonesia merupakan “neokolonial” yang menjajah Aceh dan

bergabungnya Aceh ke Indonesia pasca kemerdekaan ialah suatu kecelakaan

sejarah yang perlu segera dikoreksi (Berutu, 2016: 174).

Berutu (2016: 174—175) memaparkan, periode yang terbagi menjadi tiga

generasi ini menjadi periode yang berlarut-larut. Generasi pertama atau generasi

penggerak awal dipelopori oleh orang-orang yang merasa tidak puas terhadap

pengelolaan ladang gas Arun yang dianggap tidak adil atau dengan alasan ekonomi.

Generasi ini dipimpin oleh Hasan Tiro dan didukung juga oleh sisa-sisa kelompok

DI yang turut kecewa terhadap implementasi kesepakatan damai otonomi terbatas

di Aceh. Gerakan ini mendapat respons yang amat keras dari pemerintah.

Generasi kedua GAM muncul pada akhir 90-an. Menurut beberapa sumber,

Hasan Tiro yang menetap di Swedia berhasil menjalin kerja sama dengan Libya

untuk memberikan pelatihan militer kepada beberapa orang Aceh. Banyak dari
64

mereka yang dilatih pada akhir 90-an pulang ke Aceh dan melakukan aksi sporadis

terhadap kantor-kantor pemerintahan dan juga pihak keamanan. Pada 1989,

Soeharto menggelar Operasi Jaring Merah yang menjadikan Aceh sebagai DOM

sampai 1998. Selama operasi militer ini, diindikasikan telah terjadi pelanggaran

HAM yang berat di Aceh, yang tentu saja mengakibatkan penderitaan rakyat

semakin bertambah (Berutu, 2016: 175).

Generasi ketiga GAM muncul setelah pencabutan status Aceh dari DOM di

bawah pemerintahan B.J. Habibie. Setelah pencabutan DOM, banyak anggota

GAM yang sebelumnya melarikan diri ke luar negeri memilih pulang kembali ke

Aceh. Pelanggaran HAM yang terjadi semasa DOM telah menimbulkan kebencian

yang masif terhadap pemerintah pusat. Maka, GAM mengusung pelanggaran HAM

tersebut sebagai titik tolak untuk meningkatkan identitas keacehan. Isu ini berhasil

diartikulasikan dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat, seperti ideologi,

kemiskinan, ketidakadilan, serta isu pemisahan Aceh dari Indonesia (Berutu, 2016:

175—176).

3. Pada Masa Reformasi (1999—sekarang)

Priyambudi dalam Berutu (2016: 176—177) menyatakan, setelah rezim

Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan diserahkan kepada Presiden B.J.

Habibie (Mei 1998—Oktober 1999), jalan damai di Aceh memasuki babak baru.

Pada 7 Agustus 1998 pencabutan status darurat militer terhadap Aceh resmi

dilakukan. Pasca reformasi kemudian dilanjutkan dengan amendemen Undang-

Undang Dasar 1945, sehingga menyebabkan hubungan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah mengalami perubahan pola yang signifikan.


65

Sebelumnya, Indonesia menerapkan pola sentralistis, tetapi setelah reformasi

berubah menjadi desentralistis. Inilah yang membuat harapan Aceh untuk

menerapkan syariat Islam kembali terbuka. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Provinsi Aceh. Undang-undang ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam

bidang agama, adat istiadat, dan penempatan peran ulama pada tataran yang

terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat

Islam sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kafah dan bentuk respons

terhadap lahirnya undang-undang di atas. Perda ini memiliki basis konstitusional

sekalipun tidak jelas (Amal dan Panggabean dalam Berutu, 2016: 177). Maka, dapat

dikatakan bahwa Perda ini mendahului hak otonomi khusus bagi pemerintahan

Aceh untuk menerapkan syariat Islam yang baru disahkan dua tahun kemudian

melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(Muhibbuthabary dalam Berutu, 2016: 178).

Titik tolak perdamaian Aceh yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan

penunjukan HDC sebagai pihak ketiga untuk mencari jalan penyelesaian Aceh

secara tepat, damai, dan demokratis (Sukma dalam Berutu, 2016: 178). Pada akhir

Januari 2001, HDC membawa kedua belah pihak ke Jenewa guna membuat

kesepakatan yang mengedepankan masa depan politik, yakni adanya pemilihan

yang bebas serta adil bagi Aceh dan sebuah komisi independen yang diterima kedua

belah pihak (Berutu, 2016: 178).


66

Selanjutnya, proses perdamaian Aceh terus berlanjut dengan disepakatinya

CoHA pada 9 Desember 2002, yang masih ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa.

Perdamaian ini dirancang untuk menghentikan kekerasan dan membentuk kerangka

perdamaian yang kekal yang mengedepankan 4 agenda utama, yaitu: agenda bidang

militer, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan reformasi sipil. Pihak yang diberi

mandat untuk memantau keadaan keamanan dan meneliti setiap pelanggaran adalah

KKB. Komite ini dipimpin secara tripartit yang terdiri dari seorang perwira senior

dari militer Thailand, yaitu Mayor Jenderal Tanongsuk Tivinum; Brigadir Jenderal

Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan Sofyan Ibrahim Tiba dari pihak GAM

(Peraturan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 dalam Berutu, 2016: 178—

179).

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, upaya damai terus

dilakukan. Pada 11 April 2001, Abdurrahman Wahid mengeluarkan Instruksi

Presiden Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Situasi di Aceh.

Agama tidak disebutkan sebagai suatu masalah dalam instruksi presiden ini. Hal ini

dimungkinkan karena GAM tidak menjadikan Islam sebagai basis ideologi dan

negara Islam bukanlah bagian dari platform formalnya (Khamami dalam Berutu,

2016: 179).

Pada akhirnya CoHA mengalami kegagalan, yaitu dengan tidak diterimanya

kesepakatan yang ditawarkan oleh pemerintah (Sukma dalam Berutu, 2016: 179),

khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada masa pemerintahan

Megawati, dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang

Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi


67

Nanggroe Aceh Darussalam pada 9 Mei 2003 (Milallos dalam Berutu, 2016: 179).

Pemerintah melakukan operasi terpadu yang bersifat menegakkan kembali

kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Keputusan Presiden Nomor

97 Tahun 2003 tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan

Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk

periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya, pada 2004 terjadi

perubahan status Provinsi Aceh dari Darurat Militer menjadi Darurat Sipil melalui

Kepres Nomor 43 Tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan

bahwa perkembangan situasi keamanan di Aceh semakin kondusif (Peraturan

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 dalam Berutu, 2016: 179).

Piyeung dalam Berutu (2016: 180) mengatakan bahwa dalam

perjalanannya, Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam tidak

berjalan dengan efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap Undang-Undang Nomor

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Aceh menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

dan sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (Milallos dalam Berutu, 2016: 180). Di dalam Undang-

Undang Otonomi Khusus bagi Aceh yang ditandatangani oleh Presiden Megawati

ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan syariat Islam di

Aceh, di antaranya adalah Mahkamah Syariat dan Qanun Pemerintahan Aceh

(Nasir dalam Berutu, 2016: 180).

Peluang ini berusaha diaktualisasikan melalui pemerintah daerah dan

perwakilan rakyat di DPRD. Pemerintah daerah melalui gubernur telah


68

mendeklarasikan pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara kafah pada 15 Maret

2002 dan pembentukan DSI di tingkat provinsi yang kemudian diikuti oleh

kabupaten/kota di Provinsi Aceh. DPRD Aceh kemudian mengeluarkan qanun

sebagai landasan hukum pelaksanaannya. Mahkamah Agung juga ikut mengambil

peran satu tahun berselang dengan membentuk Mahkamah Syariat di Aceh sebagai

pengganti Pengadilan Agama (Salim dalam Berutu, 2016: 180).

C. Pembentukan Lembaga Syariat Islam

Dalam sejarah penerapan syariat Islam, dikenal paling tidak empat macam

wilayah atau lingkungan peradilan Islam, yaitu wilayah at-tahkim, al-qadha, al-

mazhalim, dan al-hisbah. Keempat lingkungan ini telah mengambil peran yang

cukup penting pada saat mewujudkan syariat Islam di dalam kehidupan masyarakat

(Melya, 2005: 63). Untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam yang telah

dikukuhkan selain mengeluarkan berbagai produk hukum yang mengatur tentang

pelaksanaan syariat Islam, juga dibentuk lembaga-lembaga atau badan-badan

daerah, dimulai dari fungsi eksekutif, fungsi pengawasan sekaligus penegakan

hukum, dan peradilan (Kurniawan, 2012: 434). Adapun badan-badan atau institusi

penegak syariat Islam tersebut sebagai berikut:

1. Dinas Syariat Islam (DSI)

Dinas Syariat Islam adalah organisasi eksekutif yang mewakili pemerintah

dalam upaya penegakan syariat Islam (Kurniawan, 2012: 434). Peranan DSI sangat

menentukan keberhasilan implementasi syariat Islam yang sedang berjalan,

terutama pada lima tahun mendatang. DSI merupakan perangkat daerah yang

menjadi unsur pelaksanaan syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi


69

Aceh yang dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah, yang selanjutnya

memikul tugas besar dalam rangka menyiapkan program kegiatan yang

memungkinkan untuk melaksanakan syariat Islam guna mewujudkan masyarakat

yang beradab dan bermartabat dalam nuansa Islam sebagai hasil penerapan syariat

Islam secara kafah (Melya, 2005: 65).

DSI memiliki tujuan jangka panjang, yaitu upaya yang mengarah kepada

terwujudnya sasaran dari tugas pokok serta fungsi organisasinya. Tujuan jangka

pendeknya adalah menjabarkan tujuan jangka panjang yang memiliki ciri berupa

gambaran hasil realistis, dapat dilaksanakan, diukur, dan memberi sumbangan

kepada percepatan pencapaian tujuan jangka panjang. Di samping itu, keberhasilan

pencapaian tujuan jangka pendek ditandai dengan sejumlah indikator, baik berupa

jumlah, presentasi frekuensi waktu, dan menurut satuan ukuran tertentu (Melya,

2005: 65—66).

Menurut Melya (2005: 67), pada awal kehadirannya, DSI memiliki dua

kekuatan modal dasar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya setelah dilakukan

analisis terhadap lingkungan internal dinas, yaitu adanya pengalaman di bidang

penyebarluasan informasi syariat Islam dan personil yang ada walaupun terbatas.

Secara internal terdapat beberapa kenyataan yang dianggap berpotensi sebagai

faktor kelemahan dalam mengatur operasional dinas, yaitu tidak terdapat garis

komando operasional ke daerah kabupaten/kota karena dibatasi oleh Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, sarana

dan prasarana belum tersedia untuk melaksanakan kegiatan di lapangan serta


70

kualitas personil relatif belum memadai untuk mengantisipasi kebijaksanaan

operasional.

Menurut Idris, dkk. (2002: 268) jika berpijak pada fungsinya, DSI telah

menyusun serangkaian program yang diharapkan menjadi jembatan bagi

terwujudnya visi dan misi DSI. Program-program ini dapat dikategorikan sebagai

program umum, program khusus, dan program prioritas. Secara rinci, program

umum DSI meliputi:

a. Pengembangan syariat Islam yang bertujuan untuk mewujudkan

pelaksanaan syariat Islam secara kafahdalam masyarakat;

b. Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS) yang bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum duafa melalui

pelaksanaan syariat Islam;

c. Pembangunan Pesantren Darul Aitam dengan tujuan mendukung

kelancaran jalannya program pendidikan agama serta mewujudkan

keseimbangan antara imtaq dan iptek;

d. Pembangunan islamic centre untuk mewujudkan pusat pengkajian dan

pengembangan keislaman serta pelaksanaan syariat Islam; dan

e. Pemberdayaan guru mengajidengan tujuan menghidupkan dan

menggairahkan kembali pengajian gampong.

Sementara itu, Idris, dkk. (2002: 269) menyebutkan bahwa program khusus

yang dicanangkan Dinas Syariat Islam di antaranya:

a. Pembinaan masyarakat di daerah perbatasan dan pengiriman 90 dai di

tiga kabupaten perbatasan;


71

b. Pembuatan baliho di perbatasan Aceh dan Sumatra Utara dengan pesan

informasi “Anda memasuki wilayah pelaksanaan syariat Islam

Nanggroe Aceh Darussalam”;

c. Ikut serta dalam program Gema Assalam dengan membina dan

membekali pendamping sehingga menjadi penggerak kegiatan

peribadatan dan membantu menciptakan suasana yang lebih islami di

tempat tugas masing-masing; serta

d. Menyiapkan qanun prioritas untuk digunakan Mahkamah Syariat, yaitu

qanun tentang larangan minuman keras, larangan perjudian, dan

larangan khalwat.

Dari sejumlah program umum dan program khusus ini, menurut (Idris, dkk.,

2002: 269—270), DSI mempunyai sejumlah program prioritas yang meliputi:

a. Mendorong terbentuknya DSI di kabupaten dan kota;

b. Pembentukan Mahkamah Syariat, penyiapan qanun tentang

kelembagaannya untuk hukum material dan hukum formalnya;

c. Pemantapan pengamalan zakat berupa penjelasan dan sosialisasi makna

zakat sebagai salah satu pendapatan asli daerah, penyusunan Badan

Baitul Mal dan Badan Amil Zakat, aturan tentang tanggung jawab,

kewenangan, tugas-tugas serta pembinaannya yang meliputi Badan

Amil Zakat gampong, kabupaten/kota, dan provinsi;

d. Pemberantasan KKN, judi, minuman keras, narkoba, serta khalwat,

bekerja sama dengan instansi terkait dan melibatkan masyarakat atau

komponen masyarakat secara lebih aktif;


72

e. Mengusahakan terciptanya suasana dan lingkungan belajar yang islami

di seluruh Aceh dengan menetapkan jam belajar gampong melalui

koordinasi dengan Dinas Pendidikan, Kanwil Departemen Agama, serta

melibatkan pemerintahan gampong;

f. Mendorong dan membantu fasilitas guna menjadikan menasah sebagai

pusat kegiatan peribadatan dan kemasyarakatan serta memeratakan

(membudayakan) pengamalan salat fardu berjamaah di awal waktu di

setiap menasah dan di semua instansi pemerintah serta sekolah;

g. Sosialisasi pelaksanaan syariat Islam secara kafah, terutama melalui

media massa, meliputi perluasan wawasan masyarakat, mempertebal

keimanan, menyemarakkan pengamalan ibadah, serta menghidupkan

toleransi intern dan antarumat beragama;

h. Menetapkan pakaian dinas pegawai negeri dan seragam sekolah yang

lebih islami serta membantu dan mendorong masyarakat agar

mengenakan busana yang lebih islami; dan

i. Mendorong dan membantu masyarakat menggunakan kalender hijriah

huruf Arab Melayu yang benar dan indah untuk menciptakan suasana

yang lebih religius dan islami.

2. Mahkamah Syariat (MS)

Badan ini bukanlah badan baru, melainkan badan lama yang kemudian

dikonversikan oleh Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah


73

Syariat di Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga pelaksana kekuasaan yudikatif ini

sebelumnya adalah pengadilan agama yang memiliki kompetensi absolut mengadili

perkara-perkara nikah, talak, cerai, wakaf, dan infak. Peradilan agama sebelumnya

sama sekali tidak memiliki wewenang mengadili perkara pidana. Berdasarkan

keputusan presiden tersebut, perkara pidana yang diatur di dalam qanun, untuk saat

ini menjadi kompetensi MS. Tiga qanun (maisir, khamar, dan khalwat) yang sudah

resmi diberlakukan di Aceh, saat ini menjadi kompetensi MS untuk mengadilinya

(Kurniawan, 2012: 434).

Pembentukan MS dilakukan berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariat dan Mahkamah Syariat Provinsi

di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 3 Maret 2003 yang menetapkan

Pengadilan Agama di seluruh Aceh menjadi Mahkamah Syariat kabupaten/kota,

sedangkan Pengadilan Agama Aceh menjadi Mahkamah Syariat Provinsi. Dasar

hukum pembentukan Mahkamah Syariat Provinsi Aceh adalah Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh yang

menetapkan Mahkamah Syariat sebagai peradilan syariat Islam dengan kompetensi

absolut, meliputi seluruh aspek syariat Islam yang diatur dengan qanun yang sudah

diundang-undangkan, yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat

Islam (Melya, 2005: 66—67).

Menurut Melya (2005: 67), dalam menjalankan fungsinya, pemerintah tidak

membentuk jaksa atau polisi khusus, melainkan tetap memakai alat negara yang

sudah ada. Namun, terdapat perbedaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya

sesuai dengan ketentuan dari Peradilan Mahkamah Syariat. Kekhususan dari MS


74

yang sudah diresmikan ini adalah yuridiksinya tetap dari pengadilan agama yang

sebelumnya ditambah dengan pelaksanaan syariat islam sejauh telah dituangkan

dalam qanun. Qanun yang telah diatur dalam Provinsi Aceh itu, yakni hal-hal yang

menyangkut dengan peribadatan, hukum perdata, dan ketentuan pidana, yang

dicakup oleh hukum Islam. Maka, yuridiksinya menjadi yuridiksi Mahkamah

Syariat, bukan yuridiksi Peradilan Umum.

Qanun berasal dari bahasa Yunani dan diserap ke dalam bahasa Arab

melalui bahasa Suryani (Ensiklopedia Hukum Islam dalam Makmun, 2014: 14).

Pengertian qanun kemudian berkembang menjadi kaidah, norma, undang-undang,

peraturan, dan hukum. Qanun menurut Abdul Manan adalah ra’yu (produk

manusia) yang dibuatnya berdasarkan ikut campurnya kekuasaan negara (Manan

dalam Makmun, 2014: 14). Adanya campur tangan qanun memiliki kekuasaan dan

mengikat karena disahkan oleh suatu negara untuk kemudian dilaksanakan demi

menegakkan hukum (Makmun, 2014: 14—15).

Berdasarkan pandangan Islam Melayu Aceh menurut Ali Yasa, qanun

merupakan istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat

yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut

atas ketentuan di dalam hukum Islam yang ditetapkan oleh sultan. Qanun pada

literatur Melayu Aceh diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang

telah menjadi adat selama pemerintahan sultan (Abubakar dalam Makmun, 2014:

15).

Sekarang ini qanun digunakan sebagai istilah untuk Perda yang menjadi

peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang (dalam rangka otonomi


75

khusus di Provinsi Aceh). Qanun di Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam dua

kategori. Kategori pertama mengatur tentang institusi dan prosedur yang

dibutuhkan untuk mengaplikasikan syariat Islam di Aceh. Kategori kedua mengatur

tentang peraturan yang diimplementasikan di daerah. Setiap orang yang melanggar

peraturan yang merupakan kategori kedua qanun, maka akan dihukum sesuai

dengan ketentuan yang telah diatur (Salim dalam Makmun, 2014: 15).

3. Wilayatul Hisbah (WH)

Sesuai Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Implementasi Syariat Islam di

Provinsi Aceh, DSI telah mengeluarkan instruksi yang salah satunya adalah

pembentukan tim pengawas syariat Islam. Maka, pada pertengahan 2003, DSI

Provinsi Aceh merekrut beberapa personil dari kalangan sipil dan kemudian

dijadikan petugas pengawas syariat yang disebut dengan Wilayatul Hisbah. WH

bertugas untuk mensosialisasikan isi qanun syariat Islam sekaligus mengawasi

jalannya pelaksanaan syariat Islam di sejumlah daerah. Selain itu, lembaga ini juga

mencatat berbagai pelanggaran-pelanggaran syariat Islam yang terjadi untuk

kemudian melaporkannya kepada kepolisian syariat Islam. WH juga bertugas untuk

memberikan pembinaan bagi para pelanggar syariat Islam dan pelanggaran yang

mengarah kepada tindakan kriminalitas. Untuk itu, WH wajib melaporkannya

kepada pihak kepolisian dan penyidik. WH sendiri memiliki struktur sampai ke

tingkat gampong (desa) yang anggotanya biasa disebut dengan muhtasib (Salehati,

2010: 69).

Semenjak kehadiran WH di Aceh, sweeping syariat kian sering dilakukan.

Dalam melakukan sweeping tersebut, WH dibantu oleh aparat kepolisian. Sasaran


76

utama sweeping adalah perempuan yang tidak memakai jilbab atau tidak berbusana

islami, baik yang berada di dalam mobil, mengendarai atau berboncengan sepeda

motor, penumpang becak, maupun pejalan kaki. Mereka yang terjaring diharuskan

mengisi surat pernyataan yang memuat beberapa poin, di antaranya identitas diri

dan alasan tidak memakai busana islami. Lalu, pada bagian akhir surat itu tertulis:

Saya berjanji ke depannya nanti akan selalu mengenakan pakaian islami sesuai

dengan tuntutan syariat Islam. Setelah itu surat tersebut ditandatangani oleh yang

bersangkutan (Salehati, 2010: 69).

Menurut Kurniawan (2012: 435), selain tiga kelembagaan baru di atas,

pelaksanaan qanun tetap menjadi tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga

penegak hukum yang ada, misalnya polisi dan jaksa yang melakukan penyelidikan

dan penyidikan, jaksa yang melakukan penuntutan, atau juga PPNS. Semua badan

itu saat ini memiliki unit khusus yang berkonsentrasi pada penegakan syariat Islam.

Di dalam tubuh kepolisian terdapat polisi yang diperbantukan secara khusus

menjadi pembina Wilayatul Hisbah. Sementara itu, di kejaksaan juga ada jaksa

syariat, yakni jaksa-jaksa yang memiliki tugas.

Selain Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menjadi dasar pengakuan dan

landasan formal dalam pelaksanaan syariat Islam di wilayah Aceh, terdapat juga

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Syariat Islam

juga pernah terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku


77

lagi seiring dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh (Kurniawan, 2012: 435).

D. Pendisiplinan Tubuh Perempuan Aceh Pasca Penerapan Syariat Islam

Terdapat qanun syariat Islam yang diberlakukan oleh pemerintah daerah

yang mewajibkan semua umat Islam di Aceh mengenakan busana islami, yang

didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang dan

tidak menunjukkan bentuk tubuh. Meski qanun tersebut berlaku bagi perempuan

dan laki-laki, pada praktiknya, pengaturan atas berpakaian terhadap perempuan

lebih represif. Perempuan ditempatkan sebagai “tiang” negara yang harus dikontrol

dalam setiap tindak-tanduknya, termasuk dalam hal berpakaian.

Untuk itu, pemerintah daerah mengadakan sweeping yang dilakukan oleh

petugas syariat yang disebut dengan WH, yang nyatanya lebih banyak menyasar

perempuan. Bentuk pelembagaan ini, sebagaimana yang disebut oleh Peter Berger,

adalah internalisasi ide. Penerapan qanun yang tidak merata menjadikan sebuah

penindasan dan kontrol bagi perempuan, sekaligus mengandung kepentingan oleh

oknum tertentu. Bagi Millet, seorang pemikir feminis, hal ini menunjukkan

perempuan sebagai komoditas yang dibungkam dan tubuh mereka dikontrol

(Azzuhdi, 2016: 27).

Pendisiplinan tubuh perempuan Aceh ini mengakibatkan pada keterbatasan

ruang gerak mereka dalam mengaktualisasikan dirinya. Hal ini kontras atau

bertolak belakang dengan kondisi perempuan Aceh pra kemerdekaan Indonesia

yang telah peneliti paparkan di atas. Menurut Ismail dalam Makmun (2014: 64),
78

perempuan Aceh mengalami pergeseran dalam peran dan posisi di masyarakat

Aceh yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Konflik Aceh yang berkepanjangan;

2. Sistem politik dan kenegaraan mengalami perubahan;

3. Putusnya sistem pembinaan kepemimpinan dan keteladanan;

4. Pendidikan tidak dapat berkembang secara berkesinambungan;

5. Ekonomi dan pembangunan tidak stabil;

6. Tatanan budaya adat tidak berkembang;

7. Rakyat hidup dalam tekanan tanpa kebebasan;

8. Media komunikasi tidak berjalan; dan

9. Informasi berceceran.

Penjelasan Badruzzaman memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai

penyebab terjadinya serangkaian perubahan tatanan di masyarakat Aceh serta

dampaknya pada masyarakat, termasuk perempuan. Konflik yang terjadi

menyebabkan terbatasnya gerak perempuan.

“Saya masih sekolah menengah, 1970. Saat itu hampir semua perempuan
tidak bisa bergerak sendiri. Karena begini: mau pergi ke mana? Dia harus
pergi sendiri naik bus umum, honda (sepeda motor) tidak ada, sepeda
terbatas, jalan (merupakan) hutan ke mana-mana. Berbahaya”
(Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 64).

Menurut Makmun (2014: 66), masyarakat Aceh menghadapi realitas di

kehidupannya, yakni ketika konflik selesai, budaya patriarki tertanam kuat dan

prinsip kesetaraan dalam pemahaman masyarakat Aceh dulunya dalam melihat

kedudukan perempuan menghilang. Kamil dalam Salehati (2010: 60) menganggap

bahwa sebenarnya hukum Islam menjadi pilar yang sangat penting dalam
79

membentuk tatanan sosial masyarakat Aceh, termasuk dalam hal status dan peran

perempuan. Salah satu aspek yang paling sering dikemukakan oleh para ahli yang

meneliti Aceh adalah komitmen dan keislaman yang hidup dalam masyarakat Aceh

tidak mengurangi independensi ekonomi dan juga fleksibilitas kehidupan

perempuan.

Salehati (2010: 82) berpendapat bahwa secara antropologis, masyarakat

Aceh memandang perempuan sebagai aktor domestik. Meskipun secara historis

pandangan ini terbantahkan karena perempuan Aceh sejak dulu aktif di dalam ranah

publik dan ini merupakan sebuah fakta. Keaktifan perempuan Aceh tidak hanya di

dunia politik dan sosial, tetapi juga ekonomi, seni, dan militer.

Tubuh perempuan itu domestik, sedangkan tubuh laki-laki bersifat publik.

Akibatnya, tubuh perempuan mengalami pendisiplinan di ranah publik, sementara

laki-laki tidak. Perempuan dibatasi gerakan tubuhnya di wilayah publik karena

dianggap dapat mengundang hasrat laki-laki. Di sisi lain, laki-laki bebas bergerak

tanpa batas. Maka, orientasi pertama pelaksanaan syariat Islam adalah tubuh

perempuan yang harus ditutup sedemikian rupa yang berujung pada sweeping

jilbab, baju, dan celana ketat (Salehati, 2010: 82—83).

Michel Foucault menawarkan beberapa pemikiran yang dapat memahami

fenomena ini. Salah satu konsep yang relevan dengan adanya pergeseran sosial

masyarakat Aceh adalah konsep tentang “kuasa” yang utamanya dalam konteks

pendisiplinan tubuh. Menurut Foucault, tubuh dijadikan sebagai subjek dan target

dari penggunaan “kuasa” yang dapat dimanipulasi, digunakan, ditransformasikan,

dan ditingkatkan (Foucault, 2011: 136).


80

Selain menjadikan tubuh sebagai sebuah subjek, ditemukan adanya suatu

objek yang digunakan untuk mengontrol subjek tersebut. Objek tidak selamanya

menekankan pada elemen perilaku maupun bahasa tubuh semata. Alih-alih

menekankan kepada kontrol yang memaksa, elemen pendukung yang turut

berkontribusi dalam pendisiplinan tubuh ini adalah “modalitas”. Modalitas

merupakan suatu komponen yang menyiratkan adanya pemaksaan yang konstan

dan tidak terputus dalam mengawasi proses kegiatan pendisiplinan hingga hasil

yang diperoleh. Ha tersebut dilakukan sesuai dengan kodifikasi serangkaian

kebijakan koersi (Foucault, 2011: 138).

Metode-metode tersebut memungkinkan adanya kontrol yang memaksa

terhadap pengoperasian tubuh subjek oleh objek dan memaksakan mereka pada

suatu relasi utilitas kepatuhan atau kerap disebut dengan “disiplin”. Konsep disiplin

ini juga dipahami dengan meningkatkan kekuatan terhadap tubuh. Oleh karena itu,

pendisiplinan tubuh merupakan suatu bentuk usaha yang memaksa dalam

menguasai dan mendisiplinkan tubuh subjek agar menjadi individu melalui

rangkaian praktik yang tidak disadari oleh subjek tersebut.

Untuk melihat fenomena pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca

penerapan syariat Islam ini, peneliti berpendapat bahwa budaya patriarki dan

konstruksi gender yang terimplementasi di dalam keluarga, institusi pendidikan dan

pekerjaan, maupun lingkungan masyarakat, menjadi faktor utama terjadinya

pendisiplinan. Konstruksi gender tersebut menciptakan inferioritas perempuan

Aceh sejak mereka kanak-kanak hingga dewasa. Hal ini mengakibatkan ketiadaan
81

kebebasan dan akses terhadap pilihan perempuan Aceh dalam mengaktualisasikan

dirinya.

1. Sosialisasi dan Internalisasi Inferioritas dan Diskriminasi Pada

Perempuan Aceh

Keluarga dapat menjadi refleksi bagaimana konstruksi patriarki masih kuat

tertanam dalam benak masyarakat. Di dalam kehidupan rumah tangga, misalnya,

orang tua terbiasa memberi perlakuan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Perlakuan tersebut tidak dianggap sebagai diskriminasi, akan tetapi sebagai sebuah

konsekuensi yang wajar atas adanya perbedaan jenis kelamin. Perbedaan perlakuan

yang diterima antara aneuk inong (anak perempuan) atau aneuk agam (anak laki-

laki) dapat dilihat di realitas kehidupan sehari-hari di dalam suatu keluarga di

tengah masyarakat Aceh (Salehati, 2010: 65).

Keberadaan aneuk inong dan aneuk agam dalam konteks sosial masyarakat

Aceh memiliki kekhasan sendiri. Pengasuhan pada masa kanak-kanak di antara

keduanya memiliki perbedaan. Dalam beberapa literatur banyak dijelaskan bahwa

status dan peran antara anak perempuan dan anak laki-laki memiliki karakteristik

yang berlainan. Sebagaimana diuraikan oleh James Siegel, laki-laki di Aceh sudah

mulai dibiasakan untuk hidup di luar rumah mereka atau di area publik semenjak

masih kanak-kanak, baik untuk keperluan belajar Alquran maupun bermain.

Sementara perempuan dikondisikan untuk selalu berada dalam lingkungan rumah

sejak usia kanak-kanak. Dengan demikian terjadi pembatasan yang cukup besar

dalam hubungan antarjenis kelamin dalam masyarakat Aceh (Salehati, 2010: 66).
82

Pendapat Siegel di atas, dalam beberapa hal masih dapat dilihat dalam

realitas masyarakat Aceh masa kini, tetapi banyak juga masyarakat yang telah lebih

permisif dalam menyikapi relasi antarjenis kelamin tersebut. Mahmudin

menjelaskan kepada peneliti bahwa ia memperlakukan anak-anaknya secara

berbeda. Baginya, merupakan sebuah kenyataan bahwa mereka adalah aneuk inong

dan aneuk agam yang tentu memiliki peran dan fungsi berbeda. Hal tersebut

tergambar dalam penuturan berikut:

“Saya tentu saja memberikan perlakuan yang tidak mungkin sama persis
kepada anak-anak saya, karena pada kenyataannya memang ada perbedaan,
yang satu aneuk agam, yang satu aneuk inong. Sudah fitrahnya antara laki-
laki dan perempuan memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Namun,
bukan berarti membedakan itu sama dengan menganaktirikan atau lebih
sayang kepada salah satu pihak. Yang ada adalah menempatkan mereka
sesuai dengan porsi masing-masing. Alquran jelas sudah mengatur tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan, begitu pula adat Aceh yang
bersumber pada ajaran Islam. Itulah yang saya jadikan pedoman dalam
menata hubungan di antara mereka” (Mahmudin dalam Salehati, 2010: 66).

Diskriminasi antara aneuk inong dan aneuk agam juga dirasakan oleh

Annisa, seorang mahasiswa sekaligus perempuan Aceh yang merasa diberatkan

oleh peran gender tersebut. Annisa merasa terbebani karena sebagai perempuan,

dirinya mendapat tuntutan untuk harus mengerjakan pekerjaan domestik. Berikut

adalah pernyataannya:

“Di level keluarga dulu kali, ya, di lingkup primer. (Diskriminasi) yang
paling banyak saya dapatkan itu di keluarga. Misalnya, anak laki-laki boleh
keluar malam, sedangkan perempuan itu ada jam malamnya dan ada batasan
untuk keluar. Ada jam segini, nanti pulang jam segini. Nah, ketika saya
tanya pada keluarga saya alasannya kenapa, ya, (jawabannya) karena kamu
perempuan. Itu, sih, menurut saya tidak logis.

Dan juga perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan laki-


laki bebas. Dia (laki-laki) boleh mengerjakan pekerjaan rumah, boleh tidak.
Perempuan itu lebih dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti
menyapu, mengepel, mencuci piring, dan itu sangat berat ketika suasana
83

Lebaran (sedang) tidak ada pembantu. Tidak ada yang membantu untuk
membersihkan rumah, sehingga saya sebagai perempuan dipaksa untuk
membersihkan rumah” (Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari 2019).

Sehubungan dengan ini, SR, seorang dosen sekaligus aktivis perempuan

Aceh setuju jika institusi pendidikan dan pekerjaan juga menjadi salah satu tempat

diskriminasi berbasis gender berlangsung. Perempuan selalu terlekat oleh persoalan

domestik. Berikut pernyataannya:

“Tapi, ya, gitu, di masyarakat Aceh tu dia (laki-laki) diutamakan,


didahulukan, jadi dalam relasi saya di pekerjaan, sih, lebih terasa. Dari 50
pegawai, cuma saya satu-satunya perempuan. Yang saya rasakan memang
(menjadi) minoritas berada di lingkup yang mayoritas laki-laki. Jadinya,
kita (saya) jadi yang pegang urusan-urusan domestik. Misalnya, saya jadi
seksi konsumsi gitu-gitu kalau acara” (Wawancara dengan SR pada 3
Januari 2019).

Selain itu, Annisa juga mendapatkan diskriminasi di lingkup pendidikan dan

dianggap tidak memiliki kompetensi dalam ranah publik karena Annisa berjenis

kelamin perempuan.

“(Saya juga mendapat) diskriminasi di lingkup pendidikan. Misalnya, ketua


OSIS harus dari kalangan laki-laki. Kalau ada ketua OSIS dari kalangan
perempuan, biasanya akan mendapatkan dukungan yang jauh lebih sedikit
dari laki-laki. Atau akan mendapatkan perkataan yang sangat pedas seperti
‘Kamu ngapain jadi ketua OSIS? Emang kamu yakin kamu sanggup? Kamu
kan perempuan’.

‘Kamu kan perempuan’ selalu menjadi alat untuk mendiskriminasi


perempuan. Juga terkadang jika dia (perempuan) terlalu pintar, dia itu
dikata-katain. Dibilang susah untuk punya pasangan. Nanti pasangannya
akan kabur jika kamu (perempuan) terlalu pintar. (Saya) sangat terasa
diskriminasi antara aneuk inong dan aneuk agam” (Wawancara dengan
Annisa pada 2 Januari 2019).

Hal yang sama juga dirasakan oleh Iin, perempuan asli Banda Aceh, yang

mendapat diskriminasi langsung oleh ibunya. Berikut adalanya pernyataannya:


84

“Kalok di keluarga sangat terdiskriminasi. Maksudnya (seperti) ini, Mamak


saya tu sangat mengagung-agungkan anak yang berjenis kelamin laki-laki.
Pertama, karena nggak tau, sih, mungkin terpengaruh oleh budaya patriarki.
Jadi, semacam pengakuan kalo laki-laki tuh lebih powerful dibanding
perempuan. Nah, Mamak saya sendiri, sukak sereng bilang ‘Kalian tu
perempuan, tiga orang, nggak ada apa-apanya dibanding Bang Iki (abang
dari Iin). Seorang laki-laki’. Saya sendiri sakit hati juga dibilang kek gitu”
(Wawancara dengan Iin pada 6 Januari 2019).

Meski mendapat dampak negatif dari budaya patriarki yang terimplementasi

di dalam keluarganya, tidak berarti Iin mendukung matriarki. Baginya, baik

patriarki maupun matriarki, tidak ada yang perlu didukung. Manusia sebagai

makhluk hidup sebenarnya sama aja, terlepas dari jenis kelamin yang dimiliki.

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Meski ada

beberapa perbedaan dalam lingkup biologis, tidak berarti perempuan lebih rendah

dibanding laki-laki.

Dengan demikian, keluarga ternyata merupakan institusi yang turut

melanggengkan berbagai konstruksi gender patriarki yang selama ini banyak

dipahami dalam pengaturan kultural masyarakat Aceh. Perbedaan tugas antara anak

perempuan dan anak laki-laki yang terjadi mencerminkan bagaimana konstruksi

gender tersebut dimaknai. Di dalam keluarga, anak laki-laki cenderung memiliki

kebebasan yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki memiliki

kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengan dunia luar, seperti di masjid,

kedai kopi, atau bermain di rumah teman sekolah mereka (Salehati, 2010: 67).

Berkenaan dengan kebebasan yang lebih besar yang dimiliki oleh anak laki-

laki dibanding anak perempuan, Annisa memiliki pengalaman diskriminasi saat

Annisa dan teman-temannya mengunjungi kedai kopi. Berikut pernyataannya:


85

“Berhubungan dengan diskriminasi di lingkungan masyarakat, saya dan


teman-teman pernah berkumpul di suatu kedai kopi (di Banda Aceh).
Semua teman-teman saya itu perempuan. Nah, saya dan teman-teman saya
bercanda, tertawa dengan keras, dan sebagainya, dan saya rasa (itu) wajar
karena laki-laki di sana juga melakukan hal yang sama. Namun, kita
mendapatkan pandangan yang tidak enak dari para pengunjung dan juga
pemilik kedai kopi tersebut—seakan-akan kita telah melakukan kesalahan
yang besar” (Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari 2019).

Menurut Salehati (2010: 67—68), cerminan mengenai berlakunya

konstruksi gender yang patriarki dalam realitasnya masih banyak terjadi di

kalangan masyarakat Aceh. Hal tersebut dapat disaksikan dalam berbagai

pemberitaan di media massa lokal, dalam berbagai kebijakan pemerintah daerah,

maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.

2. Jilbabisasi Tubuh Perempuan

Awal mula penerapan syariat Islam di Aceh ditandai dengan sweeping

jilbab. Perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab sebagai penutup kepala

ditangkap di jalan, diceramahi, dikejar di halaman rumah mereka sendiri, dan

bahkan diangkut ke kantor polisi syariat. Aksi ini dimulai dari Banda Aceh sampai

Sabang dan mulai marak pada 2006, beberapa bulan setelah perdamaian di Aceh

(Salehati, 2010: 98).

Jilbab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariat. Islam

menerapkan adanya segregasi seksual yang memisahkan perempuan dengan laki-

laki, yang mana pemisahan tersebut melibatkan jilbab di dalamnya. Jilbab sendiri

mengandung arti di dalam tiga dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan

sesuatu dari pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan

dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian dengan ranah
86

larangan. Jilbab tidak hanya memiliki kategori kasat mata yang berada dalam

realitas indrawi, tetapi juga bentuk realitas abstrak yang berada dalam ranah

gagasan (Kamil dan Bamulian dalam Makmun, 2014: 22).

Perempuan-perempuan Aceh memiliki definisi tersendiri terkait jilbab.

Salah satunya Annisa yang menyatakan bahwa jilbab berkaitan dengan dimensi

kedua dan dimensi ketiga seperti yang peneliti paparkan di atas. Berikut

pernyataannya:

“(Definisi jilbab menurut saya) yang dimensi kedua dan dimensi ketiga.
Dan yang lebih ditekankan itu yang nomor dua kalau menurut saya. (Jilbab
adalah) untuk membatasi diri dengan orang lain. Alasan terbesar saya
(mengenakan jilbab itu karena) takut untuk di-judge oleh orang. Dan juga
paksaan dari keluarga yang lingkungannya Islam. Karena paksaan itu cukup
membuat orang lain takut” (Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari
2019).

Terdapat permasalahan antara perempuan dengan syariat Islam yang

berhubungan dengan jilbab. Oleh karena itu, Kamil menganggap bahwa hukum

berjilbab masuk ke dalam ranah khilafiah (kontroversi). Ada dua interpretasi

tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Jilbab merupakan kewajiban perempuan

muslim dalam syariat tradisional. Namun, dalam pemikiran hukum Islam

kontemporer, jilbab bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Aturan yang memaksa

menghilangkan kebebasan seorang perempuan muslim untuk memilih memakai

atau tidak memakai jilbab. Tafsir dari kelompok dominan yang kemudian

dipaksakan kepada publik melalui instrumen negara ini dianggap melanggar hak

orang lain yang meyakini bahwa berjilbab ini bukanlah kewajiban (Kamil dan

Bamulian dalam Makmun, 2014: 22—23).


87

Qasim Amin, seorang “muslim feminis” paling populer berpendapat bahwa

tidak ada dalil sama sekali di dalam Islam yang menyuruh perempuan untuk

menutup tubuhnya rapat-rapat. Qasim menentang keras pengurungan perempuan,

baik di dalam dan luar rumah, dalam pakaian yang serba tertutup. Qasim menentang

anggapan bahwa perempuan harus tertutup tubuhnya karena dituding sebagai

sumber fitnah (Romli dalam Makmun, 2014: 23).

Bertalian dengan pernyataan Qasim, Annisa memiliki pandangan yang

sama terkait interpretasi terhadap jilbab. Berikut pernyataannya:

“Menurut saya, kenapa pada waktu itu jilbab diwajibkan karena pada saat
itu maraknya kasus pemerkosaan. Maka, perempuan harus dilindungi
karena mereka (perempuan) sendiri rentan menjadi korban. Karena mereka
(perempuan) didefinisikan lemah. Maka dari itu, untuk meminimalisir,
mereka (perempuan) menggunakan jilbab. Dan di mana pada masa itu tidak
adanya hak asasi manusia; belum menyadari pentingnya hak asasi dari
manusia itu sendiri. Namun, kalau menurut saya, jilbab di masa sekarang
dapat dikatakan tidak wajib lagi. Karena sudah beda zaman; sudah beda
konteks.

Bahkan, bisa saja kan (saya) menginterpretasi ayat yang menjulurkan kain
ke seluruh tubuh itu menurut saya bisa diartikan dengan pakaian yang sopan
walaupun tidak menggunakan jilbab. Karena di negara-negara Arab sendiri
pun banyak yang tidak menggunakan jilbab, namun masih menggunakan
baju yang sopan atau mengenakan scarf. Rambut masih kelihatan. Beda
pemahaman setiap daerah dan juga konteksnya sudah berbeda”
(Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari 2019).

Kamil & Bamulian dalam Makmun (2014: 24) berpendapat bahwa Alquran

maupun hadis tidak memberikan rincian dan bentuk konkret tentang model pakaian

sebagai penutup aurat karena bentuk pakaian menjadi bagian dari kebudayaan atau

kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya yang dipengaruhi ruang dan waktu

. Dalam Islam tidak ada ketentuan harus memakai kebaya atau baju kurung, tidak
88

ada pula larangan mengenakan gaun atau rok karena yang ditentukan Islam adalah

pakaian yang sopan.

Jilbabisasi perempuan Aceh sebenarnya merupakan arena kontestasi,

sebuah pemaknaan makna dan tafsir. Relasi kuasa dan saling tarik antara kalangan

agamawan normatif: antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian,

dan privasi) dan atas nama kebebasan (ruang gerak). Jilbab lebih dari sekadar cita

rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu

komunitas tertentu yang menjadi fenomena bagi suatu lapisan sosial, simbol

segregasi gender, simbol komunitas patriarki, dan simbol “keterbatasan” peran

perempuan (Salehati, 2010: 103—104).

Salah satu aspek yang paling ditonjolkan dalam penerapan syariat Islam di

Aceh adalah aspek busana, terutama jilbab pada kaum perempuan. Hampir setiap

perempuan yang beragama Islam di Aceh, tak terkecuali personil Kowad/Polwan,

kini memakai jilbab. Menurut Bustami (2004: 63—64), jika dewasa ini hampir

seluruh perempuan Aceh memakai jilbab sebagai salah satu komponen dari busana

muslimat, maka hal itu bukan hanya karena dilatarbelakangi oleh keinginan

menjalankan perintah agama, melainkan juga oleh ketakutan akan sanksi sosial

yang akan diterima jika tidak melakukannya. Pandangan ini Bustami dasarkan pada

waktu sebelum pelaksanaan SU MPR Aceh yang kemudian dikomparasikan dengan

situasi pada masa penerapan syariat Islam hingga saat Bustami melakukan

penelitian.
89

Sebelum menerapkan syariat Islam, ternyata tidak ada budaya mengenakan

jilbab di dalam kelompok perempuan di Aceh. Hal ini diafirmasi oleh Annisa dalam

wawancara bersama peneliti. Berikut pernyataannya:

“Tidak (mengenakan jilbab). Nenek saya, Mama saya, tidak mengenakan


jilbab sejak lahir. Karena mungkin mereka tumbuh besar di era yang tidak
mewajibkan jilbab. Seperti yang kita ketahui, pada saat dulu di Aceh tidak
mewajibkan jilbab. Namun mulai sekarang, pada periode setelah tsunami-
lah, baru menerapkan jilbab secara utuh (Wawancara dengan Annisa pada
2 Januari 2019).

Begitu pula yang dinyatakan oleh Iin dan SR terkait penggunaan jilbab di

dalam keluarganya. Berikut pernyataannya:

“Mamak saya pake jilbab tahun ’97 atau ’98, bukan dari kecil. Mamak saya
dulu fotonya pake rok mini semua. Nenek saya juga nggak pake, dulu.
Cuma awal-awal 2000, pas diterapin syariat Islam, baru Nenek saya pake
jilbab. Bukan jelbab juga, sih, selendang. Rambotnya masih kelihatan”
(Wawancara dengan Iin pada 6 Januari 2019).

“(Keluarga saya) nggak. Keluarga saya dulu malah pake mickey-minnie.


Semuanya baru pake setelah syariat Islam. Kecuali adik saya soalnya dulu
dia sekolah di MTsN. Kan diwajibkan mengenakan jilbab” (Wawancara
dengan SR pada 3 Januari 2019).
Kewajiban memakai jilbab bagi perempuan di Aceh mulai diterapkan pasca

pelaksanaan SU MPR pada 8 November 1999. Sekadar ilustrasi, bahwa pasca SU

MPR tersebut, situasi politik Aceh sangat labil yang ditandai dengan lumpuhnya

lembaga penegak hukum dan lemahnya kendali pemerintah. Kendali TNI/Polri

hilang, sedangkan GAM berkuasa. Mereka menjadi kelompok yang paling

berpengaruh dan mengontrol aktivitas sosial masyarakat. Di sisi yang lain, euforia

Islam begitu menggelora yang dipelopori oleh elemen gerakan RTA (Bustami,

2004: 64).
90

Simbol Islam yang pertama digunakan adalah aturan berbusana muslim bagi

perempuan Aceh. Aturan berbusana muslim ini tertuang dalam Qanun Provinsi

Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan bahwa “Setiap orang

Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini sebenarnya diwajibkan kepada setiap

orang Islam, baik perempuan dan laki-laki. Namun, pada interpretasi dan

penegakan dari peraturan ini hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh

(Meira, 2015: 48).

Sebelumnya, sebagian perempuan Aceh telah mengenakan busana muslimat

atas kesadaran beragama dan juga kemauan sendiri. Namun, jumlah pemakai

busana muslimat (jilbab) mengalami kenaikan drastis setelah SU MPR tersebut.

Banyak perempuan yang terpaksa memakainya karena pada awal penerapan syariat

Islam, kewajiban berbusana muslimat ini mendapatkan kontrol yang ketat dari

masyarakat dan anggota GAM. Tak jarang anggota GAM melakukan sweeping

busana terhadap penumpang angkutan umum trayek Medan—Banda Aceh.

Sementara itu, kontrol dari masyarakat diekspresikan melalui pemberian hukuman

yang bersifat mempermalukan si “pelanggar” di muka umum (Bustami, 2004: 64—

65).

Sebagaimana penuturan Mardhatillah dalam Meira (2015: 48), Pemda tidak

memaksakan seseorang muslimat untuk berjilbab. Namun, ada semacam

pemaksaan sosial yang menyudutkan mereka bila tidak mengenakannya. Berikut

pernyataannya:

“Jadi kalau ada orang yang tidak memakainya (jilbab), memang mungkin
tidak dihukum terus, tetapi bisa kena sanksi, kena tegur, dan sebagainya,
sehingga orang juga nggak mau melawan itu. Tapi coba, ‘terserah kalian’,
91

segera saja banyak yang buka. Sekarang saja sudah banyak yang buka”
(Mardhatillah dalam Meira, 2015: 48).

Masyarakat di Aceh memiliki pandangan yang tidak seragam. Ada yang

berpendapat bahwa hal terpenting di Aceh pascakonflik bukanlah menghukum para

perempuan yang tidak berjilbab, melainkan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan,

mewujudkan kesejahteraan rakyat, rasa aman, keadilan, dan ketentraman di wilayah

yang selama 29 tahun terbenam dalam konflik bersenjata antara GAM dan

pemerintah Indonesia. Namun, ada pula yang menganggap jilbab adalah suatu

kewajiban dan itu merupakan hal utama dalam syariat Islam (Salehati, 2010: 98—

99).

Salah satu yang menganggap jilbab sebagai sebuah kewajiban adalah Naila

Amalia. Naila yang tumbuh besar di salah satu kota besar di Aceh, Lhokseumawe,

dan sekarang menjadi ibu rumah tangga tersebut memiliki pandangan bahwa

pemakaian jilbab adalah hal yang esensial dalam penerapan syariat Islam.

“Menurut saya, hadis dan dalil (tentang penggunaan jilbab) itu final. Respon
(terhadap syariat Islam yang berfokus terhadap tubuh perempuan) saya
sebenarnya, ya, kayak orang biasa, sih, lumrah. Dan kalau (dalam)
menerapkan syariat Islam, hal itu (pemakaian jilbab) memang esensial. Tapi
kalau dalam perihal tubuh perempuan, ya, itu tuh bukan dengan cara
paksaan, dengan mempermalukan orang, itu tuh nggak. Tapi kaya
perempuannya tu dididik. Jadi ada wadah pendidikan agama untuk ibu dan
untuk keluarga. Itu baru benar pendidikan syariat Islam yang baik, bukan
dengan label dari luar gitu, lho. Bukan persoalan ‘Kamu harus menutup ini’,
tapi pemahamannya nggak ada. Dan mereka nggak dibantu untuk paham”
(Wawancara dengan Naila Amalia pada 5 Januari 2019).

Meski Naila mendukung penggunaan jilbab dalam penerapan syariat Islam,

Naila sendiri merasa tidak bebas terhadap pilihannya tersebut. Hal ini dapat

ditemukan melalui pernyataannya sebagai berikut:


92

“Saya milihnya (penggunaan jilbab karena) hadis dan dalil, kan, ya. Jujur
saya merasa nggak bebas, sih. Saya jawab dengan suara kecil, ya. Karena
saya sedih, udah percaya dan udah memilih hadis dan dalil, tapi saya kok
nggak sanggop jalanin” (Wawancara dengan Naila Amalia pada 5 Januari
2019).

Maka, Salehati (2010: 100) menyoal, apakah jilbabisasi ini sebuah ekspresi

kultural Arab ataukah substansi ajaran agama? Apakah ia sebuah simbol kesalehan

dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan

pengukuhan identitas seseorang?

3. Pendisiplinan Tubuh Perempuan Aceh Pasca Penerapan Syariat Islam

Ketika memahami Aceh dengan syariat Islamnya, maka akan cukup miris

apabila mengetahui perkembangan yang terjadi dalam keseharian masyarakatnya.

Tren “main hakim sendiri” semakin berkembang di sebagian kelompok masyarakat

dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran syariat di lapangan. Padahal dari

perspektif teologis Islam, tidak ada satu pun ayat maupun hadis pembenaran yang

menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan dan penindasan (Salehati, 2010:

68—69).

Situasi hari ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menjadi polisi, hakim,

dan jaksa yang bisa memutuskan hukum bagi pelanggar syariat Islam. Kekuasaan,

terutama kekuasaan untuk memata-matai, juga merupakan tiruan dari budaya di

masa konflik. Pelaksanaan syariat Islam selama ini, di samping telah memberikan

beberapa perubahan (meskipun tidak signifikan), telah melahirkan kekerasan dan

beberapa penyimpangan. Pihak yang sangat rentan terhadap kekerasan secara

faktual adalah perempuan. Ada beragam bentuk kekerasan yang menimpa kaum
93

perempuan selama pelaksanaan syariat Islam di Aceh, mulai dari kekerasan fisik,

seksual, psikologis, dan ekonomi (Salehati, 2010: 74—75).

Pendisiplinan adalah usaha untuk menanamkan nilai atau pun pemaksaan

agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam hal lain,

pendisiplinan juga menjadi istilah pengganti untuk hukuman atau pun instumen

hukuman. Fenomena pendisiplinan ini sangat berlawanan dengan visi dan misi

syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi setelah

dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru mendatangkan kekerasan dan

kebencian terhadap jenis kelamin tertentu. Tidakannya sama sekali menegasikan

sifat asal manusia serta hak-hak yang melekat padanya (Salehati, 2010: 75).

Sejak beberapa tahun terakhir dan pasca penerapan syariat Islam di Aceh,

kata sweeping menjadi sangat populer di dalam masyarakat Aceh. Hal ini tentu

tidak terlepas dari politik yang kian memanas dan keamanan semakin tidak

kondusif. Sweeping pada awalnya digunakan untuk menjelaskan tindakan

“penyisiran” yang dilakukan aparat TNI/Polri di lokasi suatu peristiwa yang

melibatkan anggota GAM. Kata ini secara gradual menggantikan kata “razia” yang

dilakukan aparat TNI/Polri. Bahkan, razia oleh sipil pun disebut sweeping (Salehati,

2010: 95—96).

Berikut adalah wawancara yang dilakukan oleh Salehati kepada Fatma dan

Misbah, dua perempuan Aceh, yang membahas tentang sweeping.

“Syariat Islamnya kagak salah. Yang salah oknumnya, entah itu oknum
polisi syariat, pejabat, TNI/Polri, GAM, dan sebagainya. Nggak ada
perintah menegakkan negara atau daerah Islam dalam Alquran. Yang ada
adalah: Tegakkan keadilan! Jadi, mau pake hukum positif atau hukum
syariat, keadilan harus ditegakkan!”
94

“Saya tidak setuju dengan sweeping syariat Islam yang ada di Aceh. Seperti
yang kita ketahui, untuk melakukan syariat Islam, kita benar-benar mesti
siap dari segi mental. Bukannya kita teriak-teriak syariat Islam, ternyata di
dalam malah berbuat yang lebih bertentangan. Itu lebih munafik. Kita harus
menghargai pilihan hidup orang selama orang tersebut tidak merugikan
orang lain. Itu merupakan hak mereka. Tidak seharusnya mereka mengatur
orang, seperti mereka tidak mau diatur oleh orang lain juga (Fatma &
Misbah dalam Salehati, 2010: 97).

Terdapat sebuah kasus yang nyaris bermuara pada konflik horizontal yang

patut dikemukakan di sini. Para awal paruh 2000, sweeping jilbab dilakukan oleh

sejumlah pemuda di berbagai tempat di Aceh. Dalam beberapa kasus, para pemuda

ini memotong paksa rambut para perempuan yang tertangkap tidak memakai jilbab.

Tak lama kemudian, kaum perempuan melakukan aksi balasan berupa sweeping

salah Jumat. Mereka membawa tongkat, galah, dan sapu lidi dan mendatangi

warung-warung, pasar, dan berbagai tempat lainnya untuk mencari dan mengusir

laki-laki yang tidak melaksanakan salat Jumat. Akibatnya, pada waktu itu muslimat

Aceh serentak memakai jilbab dan hampir setiap masjid penuh pada waktu salat

Jumat. Aktivis Flower Aceh, Evi, menyatakan bahwa pemakaian jilbab oleh

sebagian perempuan Aceh bukan timbul dari kesadaran perempuan sendiri,

melainkan lebih dikarenakan oleh rasa takut terhadap sanksi masyarakat (Salehati,

2010: 100).

Nilasari (2011: 136) menceritakan pengalamannya terkait pendisiplinan

tubuh yang dilakukan kepada salah satu rekannya sama keduanya bermain di pantai.

Keduanya melakukan kunjungan ke pantai yang juga dijadikan tempat wisata oleh

masyarakat di Lhokseumawe. Secara kebetulan, saat itu ada sweeping syariat yang

dilakukan oleh WH. Nilasari mengenakan selendang sebagai penutup kepala

dengan celana panjang yang digulung setinggi lutut dan lengan baju yang digulung
95

setinggi siku. Sementara seorang teman Nilasari tidak mengenakan penutup kepala,

tetapi lengan dan kakinya terbungkus pakaian yang rapi. Namun, WH yang

melakukan sweeping tersebut hanya mendatangi dan menceramahi teman Nilasari,

tidak kedua-duanya. WH mengharuskan teman Nilasari untuk pulang ke rumah dan

mengambil jilbab lalu baru diperbolehkan menikmati pantai. Keputusan hanya

diberikan ceramah di tempat disebabkan karena teman Nilasari merupakan

pendatang dari luar Aceh. Nilasari memerhatikan suasana sekitar dan banyaknya

tatapan orang melihat kepada dirinya dan temannya layaknya dua perempuan yang

telah berbuat dosa. Keduanya mendapatkan teguran serta sanksi dari lingkungan

sekitar karena tidak mengikuti Perda syariat.

Selain itu, Nilasari (2011: 137—138) juga memiliki pengalaman lain

melihat pendisiplinan tubuh perempuan di Aceh, yakni di sebuah pasar tradisional

di Banda Aceh. Di pasar tersebut, Nilasari melihat seorang ibu yang sedang ditahan

oleh WH karena tidak menggunakan jilbab. Ibu tersebut mengeluarkan gunting

yang ada dalam tasnya dan menggunting rambutnya sendiri sambil mencaci-maki

WH tersebut.

Sebuah kelompok Islam di Aceh bernama Tadzkiiratul Ummah turut

mendisiplinkan tubuh perempuan di sana. Pada awal sweeping syariat, mereka

memberikan kain sarung kepada perempuan yang celananya disita untuk

dimusnahkan. Namun, karena kekurangan dana setelahnya, mereka menyemprot

cat kepada perempuan yang dianggap melanggar syariat (dalam konteks berbusana)

agar celana yang dikenakan tidak dapat dipakai lagi. Padahal, Ketua Nahdlatul

Ulama Aceh, Teungku Faisal Ali, menyatakan jika kelompok masyarakat tidak
96

dibenarkan menggelar sweeping terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam karena

hal itu merupakan kewenangan polisi syariat. Masyarakat hanya diberi wewenang

untuk memberikan informasi kepada polisi syariat apabila terjadi pelanggaran

syariat Islam (BBC News Indonesia, 2014).

Dalam konteks kekerasan fisik, ada pemotongan celana perempuan di

Kreung Mane dan Kreung Geukeuh sebagai contoh faktual kekerasan fisik yang

hadir seiring diberlakukannya syariat Islam. Contoh lainnya adalah kasus

pemotongan rambut terhadap perempuan dewasa yang tidak mengenakan jilbab di

Banda Azeh, razia oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap masyarakat

sebagaimana yang terjadi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara, yang berakibat pada

tindakan pengguntingan celana ketat yang dikenakan oleh pelanggar (Serambi

Indonesia dalam Salehati, 2010: 75).

Selain itu, ada juga kekerasan psikologis yang dalam praktiknya dapat

dilakukan pemerintah atau masyarakat. Cara dan jenis kekerasan psikologis ini

misalnya berbagai tulisan yang bernada keras terhadap pelanggaran syariat Islam

seperti yang terdapat pada baliho di Kabupaten Tamiang, persis di dekat Jembatan

Kota Kuala Simpang, yaitu “Hanya orang kafir yang tidak memakai jilbab”.

Kalimat hampir serupa juga dijumpai pada spanduk yang bertebaran di Banda Aceh

yang berbunyi “Perempuan tidak berjilbab adalah syaitan”. Masih banyak lagi aksi-

aksi lain yang tidak sesuai dengan hakikat syariat Islam itu sendiri (Salehati, 2010:

76). Selain itu terdapat berbagai papan pengumuman di jalanan dengan tulisan

“Cara Berbusana yang Benar”, “Bagi Ibu-Ibu dan Remaja Putri Wajib Mengenakan

Jilbab”, “Kawasan Wajib Jilbab”, dan poster “Pakaian Remaja Putri yang Islami”
97

merupakan bagian sosialisasi syariat Islam yang berfokus pada tubuh perempuan

saja (Nilasari, 2011: 140).

Keharusan bagi perempuan Aceh untuk mengenakan jilbab dalam realitas

sehari-hari dapat dijumpai dengan banyaknya tulisan di tempat umum, seperti

masjid, pasar, bahkan objek wisata yang berisi peringatan mengenai “area wajib

berbusana muslimah” atau “kawasan wajib berjilbab”. Definisi ruang publik yang

patut bagi perempuan dan simbol-simbol perempuan yang saleha menjadi identitas

yang dibangun dalam masyarakat yang dikonstruksikan oleh syariat Islam untuk

membangun imej komunitas yang agamais. Sangat sedikit ditampilkan esensi

syariat Islam yang sesungguhnya, yaitu membangun sebuah masyarakat adil dan

bebas dari segala bentuk kekerasan (Salehati, 2010: 87).

Melodi merespons fenomena penerapan syariat Islam yang terlalu berfokus

terhadap tubuh perempuan termasuk perempuan nonmuslim. Melodi merasa

realitas yang terjadi sekarang adalah sebuah pengekangan yang defisit esensi.

Berikut pernyataannya:

“(Respons saya terhadap perempuan Aceh, ya) kasihan aja, gitu. Lebih ke
kasihan, sih. Kayak terlalu dikekang dan sebenarnya saya sendiri pun
melihat (penerapan ini) nirfaedah aja, gitu. Dikekang, tetapi nggak ada
alasan yang gimana, gitu. Ini saya ngomong sebagai observant, ya, soalnya
kan yang melihat penerapannya di Aceh sekaligus kena juga, sih,
dampaknya.

Saya pun (ketika) SMP pake jilbab, kan. Waktu SMP itu kenapa harus pake
karena wajib—di SMP negeri gitu, kan. Terus, ya, karena saya juga merasa
itu bukan satu hal yang melanggar di agama saya juga. Bukan satu hal yang
prinsipal yang nggak boleh dilanggar.

Terus, respons orang (pada) awal-awal ada yang positif, ada yang negatif.
‘Ih, cantik, sih, kalau pake. Udah, pake aja’. Malah ngajak-ngajak gitu kaya
pindah agama. Terus yang negatif kaya, dulu kan saya pake itu kan kalau
98

cuma di sekolah aja, kan. Kalau di luar lepas. Terus kata mereka itu katanya
menghina Islam karena pake-lepas-pake-lepas.

(Peraturan pemakaian jilbab) itu paksaan, sih, tapi, ya, nggak apa. Tapi
kalau dikasih pilihan, sih, saya nggak pake. Saya pikir itu peraturannya
cuma sebatas SMP, tapi teman gereja saya ada yang pake di SMA-nya. Tapi
cuma di beberapa SMA aja, deh, kayanya. Nggak enak tau (pake jilbab).
Panas” (Wawancara bersama Melodi pada 5 Januari 2019).

Sejak diberlakukannya syariat Islam di Aceh, hukum ini lebih difokuskan

pada bagaimana mengatur moral dan perilaku anggota masyarakat melalui tubuh

perempuan. Fokus utamanya adalah mengatur busana perempuan yang dianggap

baik, misalnya seorang perempuan tidak boleh memakai celana jins yang ketat dan

dianjurkan untuk berbusana rok panjang. Pelanggaran terhadap aturan tersebut

dapat menyebabkan seorang perempuan mendapatkan sanksi dari Mahkamah

Syariat (Salehati, 2010: 86—87). Tak hanya itu, biasanya akan ada sanksi sosial

dari orang-orang sekitar berbentuk cemoohan dan labeling.

Setelah munculnya qanun mengenai aturan berbusana muslim, muncul juga

peraturan bupati di Aceh Barat yang menetapkan aturan serupa. Melalui Peraturan

Bupati Aceh Barat Nomor 5 Tahun 2010 yang ditetapkan pada 27 Mei 2010, semua

perempuan di Aceh Barat diwajibkan untuk memakai rok panjang dan melarang

mengenakan pakaian dan celana ketat, termasuk tamu yang datang ke Aceh Barat.

Mereka yang menggunakan pakaian ketat dipaksa untuk menggantinya dengan rok

longgar dan panjang (Kompas dalam Meira, 2015: 48).

Menurut pengamatan dan fakta yang terjadi di lapangan, perempuan adalah

kelompok yang rentan menjadi korban pendisiplinan. Tindakan pemotongan celana

perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif

merupakan wujud nyata dari kekerasan terhadap perempuan. Tanpa adanya


99

peraturan yang baku dan tertulis, masyarakat mendefinisikan sendiri tentang

perilaku mana yang merusak akhlak atau dekadensi moral dan mana pula yang

tidak. Perempuan menjadi korban tindakan tersebut karena perempuanlah yang

paling mudah dieksploitasi dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh

negara sendiri yang ditutup dan dilakukan atas nama syariat (Salehati, 2010: 87).

Tubuh merupakan ranah hakiki bagi setiap manusia yang menjadi ajang

ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, tidak dengan tubuh perempuan Aceh

karena tubuh mereka tidak dimiliki oleh dirinya sendiri. Perempuan kehilangan

raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabeli,

diobjektivikasi, termasuk dikriminalisasi melalui perda syariat (Salehati, 2010: 88).

Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah

mengindahkannya sebagai makhluk setara. Oleh karenanya, dengan rasa terancam

dan terkungkung, perempuan tersandera oleh peraturan dan mengalami kekerasan.

Mereka tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikiran, dan geraknya. Dalam

situasi seperti itu, perempuan tidak mampu lagi menciptakan sejarah sebagai

manusia sempurna karena nilai selalu dilekatkan pada tubuhnya. Sejak lahir,

perempuan dibebani tugas sebagai penjaga moral, tetapi di sisi lain, publik tidak

pernah mempercayai moralitas perempuan. Akibatnya, tubuh perempuan kerap

dipantau sepanjang hidupnya dan dijadikan indikator moralitas dalam masyarakat.

Kejahatan terbesar adalah tubuh (perempuan) dan karenanya harus dihukum dan

ditutup rapat-rapat dari mata publik (Salehati, 2010: 88).

Dalam suatu masyarakat yang mempunyai tingkat ikatan komunalitas

tinggi, aturan kebudayaannya akan mengikat tubuh individu lebih kuat. Dalam hal
100

ini, tubuh berperan sebagai media dengan konteks sosial-budaya yang

mengikatnya. Sebaliknya, pada masyarakat yang mempunyai ikatan komunalitas

rendah, batasan identitas tubuh ditumpukkan pada masing-masing individu. Tubuh

mempunyai tingkatan otonomisasi dalam pembentukan oposisi biner yang ada

dalam setiap kasus (Salehati, 2010: 93).

WH, sebagai pihak yang ditugaskan sebagai polisi syariat, secara rutin

menggelar razia untuk memastikan perempuan Aceh menaati aturan ini. Mereka

akan menindak perempuan-perempuan yang tidak menutup aurat, mengenakan baju

tembus pandang, maupun yang menunjukkan lekuk tubuh. Ketidaktaatan terhadap

peraturan ini akan berujung pada pemberian peringatan atau pun penahanan

sementara (The Jakarta Post dalam Meira, 2015: 48—49).

Sweeping di Banda Aceh terus berjalan. Merdeka.com (2014) mengatakan

bahwa WH menghentikan dua perempuan yang tidak mengenakan jilbab dan

menginterogasinya. Namun, ternyata dua perempuan tersebut adalah nonmuslim.

Maka, petugas melepaskan kedua perempuan itu. Namun, yang menjadi persoalan

adalah ketika Samsuddin, Kasi Penegakan Pelanggaran Satpol PP WH, meminta

perempuan nonmuslim untuk tetap mengenakan jilbab atau pakaian muslimat

dalam rangka menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.

Apakah perempuan nonmuslim di Aceh juga tidak memiliki akses terhadap pilihan

atas ekspresi dirinya? Untuk itu, Melodi menyatakan pendapatnya:

“Ini masalah jilbab, ya? Kalau masalah jilbab saya keberatan. Soalnya apa,
ya, kecuali kalau pakaian. Mungkin kalau pakaian yang terlalu gimana-
gimana saya masih kayak ‘Oh, yaudah’. Tapi kalok jelbab saya merasa agak
tidak rela gitu soalnya, siapa yang peduli? Mungkin pun kalau cowok
ngeliat cewek nggak pake kerudung cuma bikin dia noleh, tapi nggak sampe
101

bikin dia, you know-lah maksudnya gimana kan. Jadinya saya kayak nggak
dapat esensinya kenapa.

Menurut saya, syariat Islam itu hanya berlaku untuk yang Islam. Dan saya
dengan tidak memakai jilbab, itu bukan termasuk tidak menghormati.
Nggak, deh, untuk jilbab, tapi untuk pakaian saya bisa nerima. Tapi kalau
jilbab, itu sangat nggak related aja gitu sama tidak menghormati. Dan
argumen bapak itu (Samsuddin) nggak rasional. Dan nggak nyaman kalau
ada peraturan kayak gitu” (Wawancara dengan Melodi pada 5 Januari
2019).

Human Rights Watch (2010) mewawancarai beberapa perempuan Aceh

yang terjaring sweeping busana muslim. WH mencatat informasi diri mereka,

menceramahi, dan mengancam mereka dengan hukuman atau penahanan apabila

perempuan-perempuan tersebut mengulangi perilaku mereka. Pembatasan ini

menimbulkan efek negatif yang bertahan lama. Persyaratan mengenakan busana

islami ini melanggar hak individu atas otonomi pribadi, ekspresi, dan kebebasan

berpikir.

Oleh karena itu, fenomena pendisiplinan tubuh perempuan Aceh ini dapat

ditinjau menggunakan perspektif feminisme liberal karena perspektif ini

menitikberatkan pada rasionalitas, kebebasan, dan otonomi perempuan dalam

menjalani kehidupannya—termasuk dalam cara berpakaian dan berinteraksi

dengan kelompok laki-laki. Sehingga, perempuan memiliki kesetaraan yang sama

terhadap ruang publik (sama dengan laki-laki) dan dapat menciptakan ruang yang

aman dalam usahanya mengaktualisasikan diri.


102

BAB IV

ANALISIS TUBUH PEREMPUAN ACEH

Saat konflik Aceh bergejolak, di sana hanya dikenal dua macam peraturan,

yakni kekuasaan militer sebagai pusat pemerintahan Indonesia dan kekuatan

patriarkal Islam di bawah ulama dan GAM. Dalam dua ranah kekuasaan yang

maskulin inilah perempuan Aceh bertahan hidup (Salehati, 2010: 3). Dalam setiap

konflik yang terjadi, hampir dapat dipastikan kelompok yang paling dirugikan

adalah perempuan dan anak-anak.

Menurut Salehati (2010: 4—5), dalam kekuasaan patriarkal Islam di bawah

ulama dan GAM, tubuh perempuan menjadi sasaran pendisiplinan. Perempuan

secara publik menghilang, tersembunyi dalam baju mereka yang berlengan panjang

dan kepala mereka yang ditutupi jilbab. Tubuh mereka dianggap dapat mengundang

kemaksiatan. Maka, perempuan harus menutup seluruh anggota tubuh dan tidak

boleh bepergian tanpa muhrimnya.

Penerapan syariat Islam di Aceh menghasilkan suatu problem yang dapat

direfleksikan secara filosofis. Setelah melalui penelusuran literatur dan wawancara

bersama narasumber, peneliti menemukan akar dan historisitas diskriminasi yang

didapatkan perempuan. Diskriminasi ini terjadi sejak mereka kecil dan dimulai dari

lingkup sosial terkecil dan terdekat, yaitu keluarga. Dalam relasi keluarga di Aceh,

misalnya, perempuan tidak dapat mengambil keputusan sendiri dalam menjalani

kehidupannya. Realitas ini dapat ditemukan dalam perbedaan perlakuan yang

diterima aneuk inong dan aneuk agam.


103

Sebagaimana diuraikan oleh James Siegel, anak laki-laki di Aceh sudah

mulai dibiasakan untuk hidup di luar rumah mereka atau di area publik semenjak

masih kanak-kanak, baik untuk keperluan belajar membaca Alquran ataupun

bermain. Sementara perempuan dikondisikan untuk selalu berada dalam

lingkungan rumah sejak usia kanak-kanak (Salehati, 2010: 66).

Mahmudin dalam Salehati (2010: 66) menyatakan bahwa sebagai seorang

ayah, dirinya memberikan perlakuan yang tidak mungkin sama (setara) kepada

anak-anaknya. Baginya, pada kenyataannya memang ada perbedaan antara aneuk

inong dan aneuk agam. Baik perempuan dan laki-laki telah memiliki fitrah, tugas,

dan fungsinya masing-masing. Landasan berpikirnya adalah Alquran dan adat

Aceh, yang menurut Mahmudin terdapat pernyataan terkait posisi dan peran

perempuan dan laki-laki yang sangat jelas. Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai

patriarki ini berdampak pada terciptanya inferioritas di diri perempuan Aceh.

Perbedaan perlakuan yang didapatkan anak perempuan dan anak laki-laki

ini disebut sebagai diskriminasi gender. Gender sendiri diartikan sebagai konstruksi

sosiokultural yang membedakan karakteristik feminin dan maskulin. Gender

berbeda dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis.

Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan

laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan

perkembangan zaman. Diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan Aceh

mengarahkan kepada pendisiplinan yang dirasakan oleh tubuhnya.

Pendisiplinan adalah usaha untuk menanamkan nilai atau pun pemaksaan

agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam hal
104

lain,pendisiplinan juga menjadi istilah pengganti untuk hukuman atau pun instumen

hukuman. Fenomena pendisiplinan terhadap tubuh perempuan Aceh ini sangat

berlawanan dengan visi dan misi syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan

kasih sayang, akan tetapi setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru

mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.

Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak yang

melekat padanya (Salehati, 2010: 75).

Penerapan syariat Islam di Aceh dititikberatkan kepada perempuan.

Padahal, jika membicarakan aurat, banyak laki-laki yang juga menampakkan

auratnya. Namun, berbeda dengan perempuan, tidak ada yang

mempermasalahkannya bahkan untuk sekadar menegur. Hal ini jelas menunjukkan

kekerasan kepada jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan. Selain itu, penerapan

syariat Islam ini menjauh dari hak asasi manusia yang bersifat dhaury (primer) yang

harus didahulukan dan diutamakan pemeliharaannya.

Untuk melihat fenomena pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca

penerapan syariat Islam ini, peneliti menganalisisnya melalui tiga prosedural

terhadap substansi pilihan feminisme liberal, yaitu rasionalitas, kebebasan, dan

otonomi.

A. Rasionalitas Perempuan dalam Bersyariat

Feminisme liberal mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang

menekankan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan secara sama dan harus

memiliki kesempatan yang sama. Maka, hakikat manusia (human nature) ialah

kapasitas rasionalnya, ukuran kesetaraan, kepemilikian individual, martabat,


105

otonomi, dan kemandirian. Bila ditarik garis lurus pada kaum perempuan, maka

perempuan pun adalah makhluk yang rasional dan setara dengan laki-laki. Manusia

berbeda dengan hewan karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan

rasionalitas tersebut memiliki dua aspek, yaitu moralitas (pembuat keputusan yang

otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri) (Krisbiyantoro, 2016:

6—7).

Menurut Tomer dalam Salsabila (2018: 23), individu yang berperilaku

rasional memiliki beberapa karakteristik, seperti mampu merefleksikan tujuannya;

mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya; mampu mempertimbangkan

konsekuensi perilakunya; mengikutsertakan aspek moralitas; dan mampu

mempertimbangkan kebahagiaan sesungguhnya yang bisa didapatkan.

Dalam melihat fenomena penerapan syariat Islam di Aceh yang berfokus

pada tubuh perempuan, dapat dilihat jika perempuan Aceh dianggap tidak memiliki

rasionalitasnya sendiri. Perempuan Aceh dituntut untuk mengikuti aturan yang

dibuat pemerintah daerah tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Tidak hanya itu,

perempuan juga tidak diberikan akses terhadap pilihan dalam menjalankan syariat

Islam sesuai yang dirinya kehendaki.

Berkenaan dengan akses terhadap pilihan, perempuan Aceh sendiri belum

mampu merefleksikan tujuan dan menentukan hal terbaik bagi dirinya. Seperti yang

dikatakan oleh SR, dia merasa bahwa kediriannya terbentuk oleh aturan dan

ancaman dari Aceh selama ini. SR cenderung melakukan syariat Islam versi

pemerintah daerah Aceh karena dia merasa tidak dapat melakukan perubahan atau

pun memberi evaluasi pada penerapan syariat yang cenderung merugikan dirinya
106

dan perempuan lainnya. Jika ia menolak qanun yang telah dibuat, satu-satunya hal

yang bisa dilakukan hanyalah keluar dari Aceh. Berdasarkan perspektif feminisme

liberal, hal ini dapat terjadi karena perempuan dianggap tidak setara dengan laki-

laki dalam kemampuan rasionalitasnya, sehingga perempuan “berhak” diatur oleh

pemerintah yang cenderung maskulin.

Terkait rasionalitas, Mill dalam The Subjection of Women menyatakan

bahwa jika perempuan diakui sebagai sepenuhnya rasional dan berhak atas

kebebasan sipil (Tong, 2010: 26). Mill juga berpikir lebih jauh dibanding

Wollstonecraft dalam menentang asumsi tak berdasar atas superioritas intelektual

laki-laki. Dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan

perempuan adalah sama jenisnya (Tong, 2010: 28). Maka dari itu, perempuan

seharusnya dapat bertindak berdasarkan keputusan yang dipikirkan secara matang

dan dilandasi oleh informasi yang akurat dan objektif.

Menurut Pasal 125 UUPA, ruang lingkup syariat Islam yang diterapkan di

Aceh adalah akidah, syariat, dan akhlak (meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah

atau hukum keluarga, muamalat atau hukum perdata, jinayah atau hukum pidana,

qadha atau peradilan, tarbiah atau pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam

(Ikhwan, 2013: 35). Namun, penerapan syariat Islam di Aceh yang diatur oleh

Lembaga Syariat Islam ini tidak diawali dengan sosialisasi ataupun edukasi.

Masyarakat Aceh, terutama kaum perempuan Aceh yang difokuskan pada

penerapan syariat Islam ini, tidak diberikan pemahaman yang komprehensif

terlebih dahulu.
107

SR, yang pernah merasakan suasana konflik berkepanjangan di Aceh,

merasa tidak pernah mendapat informasi apa pun terkait syariat Islam dari

pemerintah daerah. Menurutnya, penerapan syariat Islam ini dimulai tanpa

sosialisasi yang kuat. Tidak ada pemahaman yang diberikan oleh pemerintah daerah

melalui aparaturnya. Masyarakat Aceh, terutama yang berada di daerah urban, tidak

tahu-menahu esensi dari syariat Islam. Kesimpulan ini SR dapatkan ketika beberapa

tahun bekerja dan berinteraksi langsung dengan masyarakat di perkampungan.

Meski menutup aurat sesuai tuntutan Perda, para ibu tersebut tidak tahu pengertian

syariat Islam. Satu hal yang mereka ketahui terkait syariat Islam adalah cambuk.

Apa yang dilakukan oleh para ibu tersebut bukanlah suatu hal yang dapat

disebut sebagai tindakan yang rasional. Rasionalitas merupakan tindakan yang

dilandasi oleh pertimbangan yang menyeluruh terhadap seluruh alternatif tindakan

lain yang tersedia. Maka dari itu, untuk mengenakan jilbab, seorang perempuan

seharusnya telah mencari atau mendapatkan pemahaman yang komprehensif terkait

jilbab. Dalam sisi feminisme liberal, kemampuan rasionalitas di sini berperan

sebagai aspek moralitas bagi setiap perempuan. Aspek ini yang menuntun

perempuan untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya, yang telah

dipikirkan secara matang sebelumnya.

Feminisme liberal juga berpendapat bahwa kebutuhan dan kepentingan

perempuan tidak cukup tercermin dalam kondisi dasar di mana mereka hidup dan

kondisi-kondisi tersebut kurang legitimasi karena perempuan tidak terwakili secara

memadai dalam proses penentuan nasib sendiri yang demokratis. Para feminis

liberal mengatakan bahwa defisit otonomi seperti ini disebabkan oleh “sistem
108

gender” atau sifat patriarkal dari tradisi dan institusi yang diwariskan (Okin, 1989:

89).

Berkenaan dengan relasi aneuk inong dan aneuk agam di masyarakat Aceh,

terdapat perbedaan perlakuan yang didapatkan oleh perempuan dalam kehidupan

sehari-harinya. Hal ini disebabkan oleh sistem gender yang menempatkan

perempuan selalu berkait erat dengan nilai-nilai feminin, misalnya tidak rasional.

Dengan memosisikan perempuan sebagai makhluk yang tidak memiliki kapasitas

bernalar, perempuan tidak dapat menentukan keputusannya sendiri karena akan

dikontrol dan diarahkan oleh pihak luar. Tradisi patriarkal ini disosialisasikan dan

diinternalisasikan secara turun-temurun sehingga menciptakan posisi dan peran

perempuan Aceh seperti sekarang ini.

Apa yang diinginkan oleh Wollstonecraft bagi perempuan adalah

personhood, yaitu manusia secara utuh. Perempuan bukanlah mainan laki-laki.

Dengan perkataan lain, perempuan bukanlah sekadar alat atau instrumen untuk

kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu

“tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk

menentukan nasibnya sendiri. Memperlakukan seseorang sebagai sekadar alat

adalah sama dengan memperlakukan orang tersebut sebagai bukan manusia,

sebagai alat bagi orang lain. Jika seorang perempuan membiarkan dirinya

diperlakukan sebagai sekadar objek, berarti ia membiarkan dirinya diperlakukan

dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh (Tong,

2010: 22).
109

Hal yang menjadi komponen sentral dari pendisiplinan tubuh perempuan

Aceh adalah upaya untuk mengubah mereka menjadi “the symbolic bearers of the

collectivity’s identity and honour”, yaitu pembawa panji-panji identitas dan

kehormatan kolektif dan “carriers of tradition”, yaitu penerus tradisi, yang dalam

kasus ini adalah kolektivitas berlandaskan Islam yang dibangun para ulama Aceh

dan didukung oleh GAM (Noerdin, 2005: 18).

Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut bertentangan dengan cita-cita

feminisme liberal sendiri, yaitu menghapus halangan dan batasan pada perempuan

untuk maju. Feminis liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kelompok

laki-laki yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin.

Perempuan cenderung berada “di dalam” dan hanya sebatas warga negara, bukan

sebagai pembuat kebijakan. Oleh karena itu, terjadi ketidaksetaraan perempuan

dalam berpolitik dan bernegara (Juwita, 2015: 13).

Simbol Islam yang pertama digunakan dalam syariat Islam adalah aturan

berbusana muslim bagi perempuan Aceh. Aturan berbusana muslim ini tertuang

dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan

bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini sebenarnya

diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan laki-laki. Namun, pada

interpretasi dan penegakan dari peraturan ini hanya mengarah kepada perempuan

muslim Aceh (Meira, 2015: 48).

Ketika perempuan dipandang sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki,

misalnya dianggap memiliki rasionalitas dalam menentukan pilihan, seharusnya

perempuan Aceh berhak mengonsepsikan busana islami seperti apa yang mereka
110

inginkan. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga dapat mengenakan

pakaian yang dianggap nyaman tanpa harus dibatasi oleh aturan-aturan yang

memberatkan yang terformalisasikan melalui qanun. Untuk itu, feminisme liberal

menjunjung tinggi pembedaan terhadap ranah privat dan publik. Semakin kecil

peran pemerintah daerah Aceh dalam mengurusi urusan privat perempuan, maka

akan lebih baik bagi kehidupan perempuan tersebut. Dengan memberikan akses

terhadap pilihannya, perempuan dapat menjadi manusia secara utuh.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Wollstonecraft, setiap perempuan

mutlak sebagai personhood atau manusia secara utuh. Perempuan bukanlah sekadar

alat atau instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Maka, perempuan Aceh bukanlah

alat atau instumen yang dapat digunakan oleh para ulama Aceh dalam berkampanye

meraih dukungan publik melawan pemerintah pusat Indonesia pada saat konflik

dulu berlangsung. Apabila semakin banyak perempuan yang menyesuaikan diri

dengan peran yang ditentukan oleh para ulama, semakin kuat pula citra Islam.

Padahal, perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar yang rasional, yang

harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasib dan pilihannya

sendiri. Untuk itu, dalam menjalankan syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari,

terutama dalam mengenakan jilbab, perempuan berhak memilih untuk

mengenakannya atau tidak—dan yang terpenting: perempuan mengenakan jilbab

atas keputusan yang telah dipikirnya secara matang dan bukan untuk mencitrakan

Aceh seperti yang diinginkan oleh ulama.

Dalam konteks Aceh, pemerintah daerah seharusnya tidak memihak kepada

kelompok tertentu dan mensubordinasi kelompok perempuan. Kepentingan para


111

ulama Aceh untuk menjadikan perempuan Aceh sebagai simbol Islam telah

mendorong mereka untuk menganggap bahwa perempuan Aceh tidak mengetahui

apa yang terbaik bagi dirinya mereka sendiri. Perempuan Aceh dianggap tidak

memiliki rasionalitas dalam usaha mencitrakan dirinya. Dengan demikian,

subjektivitas perempuan Aceh diabaikan. Mereka perlu dipaksa demi kebaikan

mereka sendiri. Oleh karena itu, perempuan harus diikutsertakan dalam pembuatan

kebijakan yang ada di Aceh—yang tentunya tidak mendeskreditkan kelompok

perempuan.

B. Kebebasan Perempuan dari Ancaman dan Kekerasan

Liberalisme merupakan sebuah perspektif yang sangat menjunjung tinggi

kebebasan individu di atas segala-galanya. Kaum liberal percaya bahwa dengan

kebebasan yang diberikan kepada setiap individu, maka perubahan-perubahan

positif dalam kehidupan sosial atau masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat

mungkin dicapai. Individu dibiarkan secara bebas untuk mengembangkan

kemampuan dirinya tanpa campur tangan pihak lain. Oleh karenanya, kebebasan

individu ini harus dijamin melalui penegakkan hak asasi manusia (Dewi, Tanpa

Tahun: 31).

Berkaitan dengan kebebasan, feminisme liberal menitikberatkan kepada

beberapa asumsi, di antaranya bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being

free of violence and the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh

hukum patriarki, paternalistis, dan moralistis (being free of the limits set by

patriarchal, paternalistic, and moralistic laws), dan memiliki akses terhadap

pilihan-pilihan (having access to options) (Standford Encyclopedia of Philosophy).


112

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan betapa pentingnya kebebasan

bagi manusia. Dinamika kehidupan manusia diisi oleh berbagai macam tantangan,

masalah, dan hambatan. Untuk menghadapi ketiga hal tersebut, manusia sebagai

makhluk yang berakal budi mampu berpikir terlebih dahulu, mempertimbangkan

pro dan kontra, dan menilai perbuatan-perbuatannya sebelum mengambil suatu

keputusan. Manusia harus menentukan posisinya. Kebebasan yang demikian itu

kemudian mengantarkan pada kesimpulan bahwa manusia memiliki kemampuan

untuk memilih secara merdeka (Trisakti, 2012: 123).

Setiap perempuan dipastikan harus bebas dari segala bentuk kekerasan,

ancaman, dan opresi (penindasan). Beson (2009: 178) mengatakan bahwa

mempertahankan opresi adalah “the fundamental injustice of social institutions”.

Maka dari itu, opresi adalah ketidakadilan mendasar dari lembaga-lembaga sosial.

Opresi adalah kerugian yang secara kelembagaan terstruktur yang dilakukan suatu

kelompok pada kelompok lain dengan menggunakan kekuatan material langsung

dan tidak langsung; juga paksaan psikologis yang melanggar keadilan.

Ketika memahami Aceh dengan syariat Islamnya, maka akan cukup miris

apabila mengetahui perkembangan yang terjadi dalam keseharian masyarakatnya.

Tren “main hakim sendiri” semakin berkembang di sebagian kelompok masyarakat

dalam mendisiplinkan tubuh perempuan. Padahal dari perspektif teologis Islam,

tidak ada satu pun ayat maupun hadis pembenaran yang menjadikan perempuan

sebagai objek kekerasan dan penindasan (Salehati, 2010: 68—69).

Situasi hari ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menjadi polisi, hakim,

dan jaksa yang bisa memutuskan hukum bagi pelanggar syariat Islam. Pelaksanaan
113

syariat Islam selama ini, di samping memberikan beberapa perubahan (meskipun

tidak signifikan), telah melahirkan kekerasan dan beberapa penyimpangan. Pihak

yang sangat rentan terhadap kekerasan secara faktual adalah perempuan. Ada

beberapa bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan selama pelaksanaan

syariat Islam di Aceh, mulai dari kekerasan fisik, seksual, dan psikologis (Salehati,

2010: 74—75).

Dalam konteks kekerasan fisik, ada pemotongan celana perempuan di

Kreung Mane dan Kreung Geukeuh sebagai contoh faktual kekerasan fisik yang

hadir seiring diberlakukannya syariat Islam. Contoh lainnya adalah kasus

pemotongan rambut terhadap perempuan dewasa yang tidak mengenakan jilbab di

Banda Azeh, razia oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap masyarakat

sebagaimana yang terjadi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara, yang berakibat pada

tindakan pengguntingan celana ketat yang dikenakan oleh pelanggar (Serambi

Indonesia dalam Salehati, 2010: 75).

Selain itu, ada juga kekerasan psikologis yang dalam praktiknya dapat

dilakukan oleh negara maupun bukan negara. Negara sebagai pelaku dapat berupa

individu dan institusi, sementara bukan negara dapat berupa individu maupun

kelompok atau massa. Cara dan jenis kekerasan psikologis ini misalnya berbagai

tulisan yang bernada keras terhadap pelanggaran syariat Islam seperti yang terdapat

pada baliho di Kabupaten Tamiang, persis di dekat Jembatan Kota Kuala Simpang,

yaitu “Hanya orang kafir yang tidak memakai jilbab”. Kalimat hampir serupa juga

dijumpai pada spanduk yang bertebaran di Banda Aceh yang berbunyi “Perempuan
114

tidak berjilbab adalah syaitan”. Masih banyak lagi aksi-aksi lain yang tidak sesuai

dengan hakikat syariat Islam itu sendiri (Salehati, 2010: 76).

Ancaman dan kekerasan yang didapatkan perempuan Aceh dalam praktik

pendisiplinan tubuhnya ini jelas merugikan perempuan. Perempuan sebagai

makhluk otonom yang memiliki kebebasan untuk bertindak sendiri tanpa disuruh

atau dipaksa oleh orang lain. Perempuan memiliki kapasitas bernalar sehingga

mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Jika

perempuan dipandang sebagai makhluk yang rasional, maka perempuan mutlak

mengetahui apa yang terbaik baginya dan akan melakukan suatu hal tanpa harus

adanya ancaman dan kekerasan.

Human Rights Watch (2010) mewawancarai beberapa perempuan Aceh

yang terjaring sweeping busana muslim. WH mencatat informasi diri mereka,

menceramahi, dan mengancam mereka dengan hukuman atau penahanan apabila

perempuan-perempuan tersebut mengulangi perilaku mereka. Pembatasan ini

menimbulkan efek negatif yang bertahan lama. Persyaratan mengenakan busana

islami ini melanggar hak individu atas otonomi pribadi, ekspresi, dan kebebasan

berpikir. Perempuan tidak memiliki akses terhadap pilihan dan tidak bebas dari

ancaman serta kekerasan.

Menurut pengamatan dan fakta yang terjadi di lapangan, perempuan adalah

kelompok yang rentan menjadi korban pendisiplinan. Tindakan pemotongan celana

perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif

merupakan wujud nyata dari kekerasan terhadap perempuan. Tanpa adanya

peraturan yang baku dan tertulis, masyarakat mendefinisikan sendiri tentang


115

perilaku mana yang merusak akhlak atau dekadensi moral dan mana pula yang

tidak. Perempuan menjadi korban tindakan tersebut karena perempuanlah yang

paling mudah dieksploitasi dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh

negara sendiri yang ditutup dan dilakukan atas nama syariat (Salehati, 2010: 87).

Padahal, feminisme liberal menganggap bahwa negara dapat mengakomodasi

kepentingan serta hak-hak perempuan untuk aman dalam hidupnya. Namun, karena

pemerintah daerah Aceh dikuasai oleh laki-laki dan hukum berperspektif maskulin,

kepentingan dan hak-hak tersebut tidak dapat diperoleh.

Melodi, salah satu narasumber, merespons syariat Islam di Aceh yang

terlalu berfokus pada tubuh perempuan. Sebagai seorang nonmuslim, Melodi

mendapatkan paksaan untuk mengenakan jilbab pada saat dulu bersekolah di salah

satu SMP negeri yang terletak di Banda Aceh. Pada saat itu, peraturan bagi setiap

murid di sekolahnya harus mengenakan pakaian islami dan ini berlaku untuk

seluruh murid tanpa terkecuali. Akhirnya, dengan terpaksa Melodi mengenakan

jilbab setiap hari ke sekolah.

Melodi mendapatkan respons yang beragam dari orang di sekitarnya, dari

yang positif hingga negatif. Beberapa temannya mengatakan bahwa Melodi terlihat

lebih cantik karena mengenakan jilbab dan menyarankannya untuk terus

mengenakan jilbab. Tidak hanya itu, beberapa temannya tersebut menyarankan

Melodi untuk berpindah agama. Selain itu, respons negatif yang Melodi dapatkan

adalah dilabeli menghina Islam karena hanya mengenakan jilbab di lingkungan

sekolah. Ketika berada di luar sekolah, Melodi tidak mengenakannya. Melodi tidak

memiliki akses terhadap pilihan untuk tidak mengenakan jilbab. Namun, setelah
116

mengikuti peraturan tersebut dengan terpaksa, Melodi masih saja mendapatkan

kritik dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi kepadanya.

Beberapa teman satu gerejanya juga mengenakan jilbab karena institusi tempatnya

bersekolah dan bekerja memiliki peraturan tersebut.

Sejak diberlakukannya syariat Islam di Aceh, hukum ini lebih difokuskan

pada bagaimana mengatur moral dan perilaku anggota masyarakat melalui tubuh

perempuan. Fokus utamanya adalah mengatur busana perempuan yang dianggap

baik, misalnya seorang perempuan tidak boleh memakai celana jins yang ketat dan

dianjurkan untuk berbusana rok panjang. Pelanggaran terhadap aturan tersebut

dapat menyebabkan seorang perempuan mendapatkan sanksi dari Mahkamah

Syariat (Salehati, 2010: 86—87). Tak hanya itu, biasanya akan ada sanksi sosial

dari orang-orang sekitar berbentuk cemoohan dan labeling.

Berbicara mengenai konsep kebaikan di dalam masyarakat, feminisme

liberal memandang bahwa konsep ini bukanlah yang utama dan merupakan

interpretasi personal. Maka, hak individu harus diprioritaskan daripada “kebaikan”.

Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang “baik” untuk dirinya

asal tidak merugikan orang lain (Dewi, Tanpa Tahun: 27). Perempuan seharusnya

mendapatkan kebebasan dalam mendefinisikan apa yang baik bagi diri mereka

tanpa campur tangan orang lain. Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh

yang berfokus pada pendisiplinan tubuh perempuan, seharusnya perempuan Aceh

memiliki akses dalam menentukan pakaian apa yang mau dan nyaman mereka

kenakan tanpa diciptakannya sebuah peraturan yang mengikat.


117

Akar pemikiran dari feminisme liberal berawal dari pengalaman perempuan

yang seolah kebebasannya untuk menentukan hidup dirantai bahkan negara pun

mengontrol setiap perempuan dengan dalih “melindungi kaum perempuan”.

Namun, kenyatannya yang terjadi adalah justru perempuan tidak mendapatkan

kebebasan hidupnya secara utuh (Dewi, Tanpa Tahun: 32).

Namun, pengamatan dan fakta yang terjadi di lapangan, perempuan adalah

kelompok yang rentan menjadi korban pendisiplinan. Tindakan pemotongan celana

perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif

merupakan wujud nyata dari kekerasan terhadap perempuan. Perempuan menjadi

korban tindakan tersebut karena perempuanlah yang paling mudah dieksploitasi

dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh negara sendiri yang ditutup dan

dilakukan atas nama syariat (Salehati, 2010: 87).

Syariat Islam sebagai produk politik dijadikan peraturan yang benar-benar

mengikat kebebasan perempuan. Perempuan akan lebih rentan dalam

pemberlakuan-pemberlakuan diskriminatif dan kekerasan. Fenomena yang terjadi

dari penerapan syariat Islam di Aceh menjadikan perempuan sebagai objek yang

teraniaya. Konsep penerapan syariat Islam membuat perempuan menjadi fokus

objek untuk dibenahi. Realitas yang terlihat dalam keadaan sekarang adalah:

penerapan syariat hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan tubuh perempuan,

yang akhirnya semakin “memenjarakan” perempuan dan mensubordinasinya.

Syariat Islam sebenarnya bertujuan untuk menegakkan dan mewujudkan

nilai-nilai kemasyarakatan seperti keadilan dan kebebasan. Namun, meski kedua

nilai tersebut belum terimplementasi dengan baik di masyarakat, penerapan hukum


118

ini terus berjalan dengan berorientasi pada pendisiplinan tubuh perempuan.

Indikator keberhasilan penerapan syariat hanya dilihat dari: Apakah semua

perempuan di Aceh telah mengenakan jilbab dan berbusana muslimat seperti yang

dituntut oleh pemerintah daerah?

Jilbabisasi perempuan Aceh sebenarnya merupakan arena kontestasi,

sebuah pemaknaan makna dan tafsir. Relasi kuasa dan saling tarik antara kalangan

agamawan normatif: antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian,

dan privasi) dan atas nama kebebasan (ruang gerak). Jilbab lebih dari sekadar cita

rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu

komunitas tertentu yang menjadi fenomena bagi suatu lapisan sosial, simbol

segregasi gender, simbol komunitas patriarki, dan simbol “keterbatasan” peran

perempuan (Salehati, 2010: 103—104). Berdasarkan jawaban yang peneliti

dapatkan dari wawancara, semua narasumber merasa terpaksa menggunakan jilbab.

Mereka tidak memiliki akses untuk mengenakan jilbab sebagai sebuah pilihan

karena mereka diikat oleh peraturan yang cenderung mengopresinya.

Untuk itu, kebebasan individu merupakan hal yang esensial. Feminisme

liberal percaya bahwa dengan kebebasan yang diberikan kepada setiap perempuan,

maka perubahan-perubahan positif dalam kehidupan sosial atau masyarakat

menjadi hal yang sangat mungkin dicapai. Tubuh perempuan Aceh yang selama

belasan tahun ini didisiplinkan dapat mengaktualisasikan kemampuan dan

minatnya apabila diberi kebebasan. Perempuan akan menjadi manusia utuh

(personhood) seperti yang dikatakan oleh Wollstonecraft dan diskriminasi gender

dapat terhapuskan.
119

C. Otonomi Perempuan atas Tubuh

Wall (2007: 234) menyatakan bahwa otonomi individu adalah ide yang

paling valid dan penting bagi manusia. Lebih lanjut, otonomi individu

mensyaratkan bahwa setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi.

Menurut Beauchamp & Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri dari agen

yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas informasi

yang relevan) tanpa dipengaruhi oleh pengendalian.

Otonomi adalah kemampuan untuk bertindak atas pilihan dan kemauan

sendiri. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi adalah orang yang bertindak

hanya karena keinginannya sendiri. Orang tersebut menyukai tindakannya,

meregulasi dirinya dalam bertindak, dan menyadari sepenuhnya maksud dari

tindakannya (Ryan, dkk. dalam Fikry, 2015: 26).

Liberalisme menekankan masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap

individu mempraktikkan otonomi dirinya dalam memenuhi kebutuhan (Tong,

2010: 16). Menurut Standford Encyclopedia of Philosophy, feminis liberal

menyatakan bahwa perempuan harus menikmati otonomi pribadi. Artinya,

perempuan harus menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri. Terdapat

beberapa indikator penting yang menjadi dasar pemikirannya, yaitu perempuan

memiliki pilihan dan mampu berpikir secara individu. Perempuan memiliki

kebebasan secara penuh dan individual. Feminisme liberal menghendaki manusia

dijunjung tinggi secara individu, termasuk di dalamnya nilai otonomi, tidak

diindoktrinasikan, dan bebas memiliki penilaian sendiri (Lestari, 2016: 7).


120

Salah satu aspek yang paling ditonjolkan dalam penerapan syariat Islam di

Aceh adalah aspek busana, terutama jilbab pada kaum perempuan. Hampir setiap

perempuan yang beragama Islam di Aceh, tak terkecuali personil Kowad/Polwan,

kini memakai jilbab. Pandangan ini Bustami dasarkan pada waktu sebelum

pelaksanaan SU MPR Aceh yang kemudian dikomparasikan dengan situasi pada

masa penerapan syariat Islam hingga saat Bustami melakukan penelitian (Bustami,

2004: 63—64).

Jilbab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariat. Islam

menerapkan adanya segregasi seksual yang memisahkan perempuan dengan laki-

laki, yang mana pemisahan tersebut melibatkan jilbab di dalamnya. Kewajiban

memakai jilbab bagi perempuan di Aceh mulai diterapkan pasca pelaksanaan SU

MPR pada 8 November 1999. Sekadar ilustrasi, bahwa pasca SU MPR tersebut,

situasi politik Aceh sangat labil yang ditandai dengan lumpuhnya lembaga penegak

hukum dan lemahnya kendali pemerintah. Kendali TNI/Polri hilang, sedangkan

GAM berkuasa. GAM menjadi kelompok yang paling berpengaruh dan mengontrol

aktivitas sosial masyarakat. Banyak perempuan yang terpaksa memakai jilbab

karena pada awal penerapan syariat Islam, kewajiban berbusana muslimat ini

mendapatkan kontrol yang ketat dari masyarakat dan anggota GAM. Tak jarang

anggota GAM melakukan sweeping busana terhadap penumpang angkutan umum

trayek Medan—Banda Aceh. Sementara itu, kontrol dari masyarakat diekspresikan

melalui pemberian hukuman yang bersifat mempermalukan para “pelanggar” di

muka umum (Bustami, 2004: 64—65).


121

Berkaitan dengan hal ini, beberapa perempuan Aceh melakukan penolakan

terhadap pendisiplinan tubuhnya. Bagi Annisa, tubuhnya adalah otoritasnya. Apa

pun yang dia kenakan tidaklah menjadi urusan orang lain. Begitu pula dengan

keputusan apa pun yang dia lakukan terhadap tubuhnya. Dia menyebutnya sebagai

kebebasan berekspresi sekaligus menjadi hak asasi yang dimiliki. Tidak ada orang

selain dirinya yang dapat mengganggu gugat. Pernyataan serupa juga disetujui oleh

SR. Baginya, otonomi tubuhnya merupakan haknya dan “my body is my right”.

Untuk itu, dibutuhkan suatu masyarakat yang adil yang memungkinkan seorang

individu dapat menunjukkan otonominya dan juga memuaskan dirinya.

Jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga dimensi. Dimensi pertama

untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai

ruang untuk memisahkan dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika

yang bertalian dengan ranah larangan. Jilbab tidak hanya memiliki kategori kasat

mata yang berada dalam realitas indrawi, tetapi juga bentuk realitas abstrak yang

berada dalam ranah gagasan (Kamil dan Bamulian dalam Makmun, 2014: 22).

Namun, terdapat permasalahan antara perempuan dengan syariat Islam yang

berhubungan dengan jilbab. Oleh karena itu, Kamil menganggap bahwa hukum

berjilbab masuk ke dalam ranah khilafiah (kontroversi). Ada dua interpretasi

tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Jilbab merupakan kewajiban perempuan

muslim dalam syariat tradisional. Namun, dalam pemikiran hukum Islam

kontemporer, jilbab bukanlah sesuatu yang diwajibkan (Kamil dan Bamulian dalam

Makmun, 2014: 22—23).


122

Pemakaian jilbab di Aceh mengambil interpretasi syariat tradisional yang

menempatkannya sebagai sebuah kewajiban perempuan muslim. Maka, perempuan

Aceh tidak memiliki pilihan selain mengikuti aturan tersebut. Annisa, sebagai

perempuan yang menginterpretasikan pemakaian jilbab berdasar pemikiran hukum

Islam kontemporer, merasa terbebani dengan jilbabisasi tubuhnya. Menurutnya,

perempuan paling rentan terkena sweeping aurat. Dia merasa bingung mengapa

hanya tubuh perempuan yang dididik dan diatur.

Penerapan syariat Islam yang terlalu berfokus pada tubuh perempuan ini

merupakan sebuah kesalahan besar. Perempuan, sebagai individu yang otonom

berhak mengenakan pakaian apa pun yang disuka. Perempuan juga berhak

menentukan interpretasinya terhadap pemakaian jilbab dan hal seperti ini tidak

perlu diatur oleh pemerintah karena bukan ranahnya. Aturan yang memaksa

menghilangkan kebebasan seorang perempuan muslim untuk memilih memakai

atau tidak memakai jilbab. Tafsir dari kelompok dominan yang kemudian

dipaksakan kepada publik melalui instrumen negara ini dianggap melanggar hak

orang lain yang meyakini bahwa berjilbab ini bukanlah kewajiban. Maka,

perempuan tidak otonom atas dirinya sendiri.

Feminisme liberal memandang perempuan sebagai individu yang

diposisikan berhak untuk hidup dengan cara yang dikehendakinya, baik itu yang

sesuai dengan masyarakat maupun yang tidak (Cudd, 2006: 234). Namun yang

terjadi di kehidupan sehari-hari, perempuan Aceh tidak memiliki akses terhadap

pilihan yang dikehendakinya. Mereka harus mengikuti aturan yang mengikat

tubuhnya dan rentan mendapatkan sanksi serta hukuman. Maka, tubuh yang
123

seharusnya menjadi ranah hakiki bagi setiap manusia sebagai medium ekspresi diri

atas kreativitasnya tidak dapat dirasakan oleh tubuh perempuan Aceh. Tubuh

mereka tidak dimiliki oleh dirinya sendiri dan perlahan kehilangan raganya. Tubuh

mereka dijadikan ranah publik untuk dikontrol, dilabeli, diobjektivikasi, termasuk

diskriminalisasi melalui qanun.

Selama ini perempuan selalu menjadi subjek yang dibatasi ruang geraknya

dan dikondisikan tidak otonom. Feminisme liberal memandang perempuan

diperlakukan secara tidak adil. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh

nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk yang setara dengan

laki-laki. Oleh karenanya, dengan rasa terancam dan terkungkung, perempuan

terbatasi oleh peraturan dan mengalami pendisiplinan. Mereka tidak memiliki

kemerdekaan atas tubuh, pikiran, dan geraknya. Dalam situasi seperti itu,

perempuan tidak mampu lagi menciptakan sejarah sebagai manusia utuh

(personhood). Sejak lahir, perempuan Aceh dibebani tugas sebagai penjaga moral,

tetapi di sisi lain, publik tidak pernah mempercayai moralitas perempuan.

Akibatnya, tubuh perempuan seringkali didisiplinkan dan dijadikan indikator

moralitas dalam masyarakat. Dalam penerapan syariat Islam di Aceh, tubuh

perempuan merupakan sesuatu yang rentan akan pendisiplinan dan penghukuman.

Maka, perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki

untuk dapat mengaktualisasikan diri di dalam masyarakat (Putnam Tong, 2009: 2).

Kepentingan para ulama Aceh untuk menjadikan perempuan Aceh sebagai

simbol Islam telah mendorong mereka untuk menganggap bahwa perempuan Aceh

tidak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya mereka sendiri. Dengan demikian,
124

subjektivitas perempuan Aceh diabaikan. Mereka perlu dipaksa demi kebaikan

mereka sendiri dan tidak dapat bertindak otonom.

Berkenaan dengan hal di atas, terdapat pandangan Wollstonecraft yang

dapat dilihat dalam A Vindication of the Rights of Women, yang sangatlah dekat

dengan pandangan Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysic of

Morals, yaitu jika seseorang tidak bertindak secara otonom, maka ia akan bertindak

lebih rendah daripada seorang manusia yang utuh. Wollstonecraft menegaskan jika

nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari hewan. Maka, perempuan

dan laki-laki sama-sama mempunyai kapasitas ini. Oleh karena itu, perempuan

berhak mendapatkan kesempatan yang setara seperti laki-laki untuk

mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi

manusia yang utuh. Melalui A Vindication of the Rights of Woman, Wollstonecraft

mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom.

Wollstonecraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan

yang otonom. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, yaitu agen yang bernalar

dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri. Maka, perempuan Aceh

semestinya dapat mengambil keputusan sendiri terhadap apa yang ia kenakan.

Perempuan Aceh diperbolehkan untuk mencari atau mendapatkan pemahaman serta

esensi jilbab, lalu dengan sendirinya dapat mengambil keputusan untuk

mengenakan jilbab atau tidak. Keputusannya tersebut harus murni dari

keinginannya tanpa ada paksaan dari orang lain.

Hal di atas berkenaan dengan otonomi yang ditekankan oleh kaum feminis

liberal, yaitu adanya sistem atas hak individu yang dapat menjadi acuan serta dasar
125

bagi setiap perempuan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini,

ketika kondisi keadilan terdapat di suatu masyarakat, dan pemerintah menciptakan

sebuah sistem atau peraturan yang tidak opresif terhadap kelompok tertentu (dalam

hal ini perempuan) maka perempuan dapat menjadi manusia yang utuh seperti

personhood yang ditawarkan oleh Wollstonecraft.

Peraturan syariat cenderung melihat perempuan sebagai objek pelaksana

peraturannya sementara laki-laki sebagai subjek pengawas peraturan. Sosialisasi

tentang peraturan syariat Islam melalui papan pengumuman, spanduk, dan baliho

di jalanan menunjukkan bahwa perempuanlah yang menjadi perhatian

diberlakukannya syariat Islam di daerah itu. Baliho dengan tulisan “Cara Berbusana

yang Benar”, “Bagi Ibu-Ibu dan Remaja Putri Wajib Mengenakan Jilbab”,

“Kawasan Wajib Jilbab”, dan poster “Pakaian Remaja Putri yang Islami”

merupakan bagian sosialisasi syariat Islam yang berfokus pada tubuh perempuan

saja. Pengawasan terhadap syariat Islam ini cenderung mengakibatkan

ketidakadilan dan ketertindasan terhadap otonomi perempuan.

Beberapa orang pada umumnya menyadari bahwa syariat Islam sebenarnya

merupakan norma etika yang bersumber dari ajaran agama. Maka, baik secara

individu maupun kolektif, setiap orang dapat menjalankan semua norma etika yang

ada di dalam syariat Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan penguasa

(Kurniawan, 2012: 438). Untuk itu, perempuan Aceh merupakan perempuan yang

setara dengan laki-laki yang tentunya memiliki rasionalitas. Mereka dapat otonom

mengambil keputusan terhadap tubuhnya tanpa intervensi pihak luar sekaligus

bebas dari ancaman dan kekerasan.


126

Inferioritas perempuan Aceh yang ditanamkan sejak kecil menjadi salah

satu faktor pendisiplinan tubuh berfokus pada mereka. Perempuan yang dianggap

lemah dan sekadar objek dijadikan sasaran penegakkan syariat Islam oleh

pemerintah daerah. Maka dari itu, sesuai dengan hak-hak yang diperjuangkan oleh

feminisme liberal, setiap perempuan Aceh berhak berpartisipasi dalam perpolitikan

di Aceh. Berpartisipasinya perempuan Aceh ini menjadi suatu hal yang penting

karena dengan begitu perempuan dapat menyuarakan aspirasinya dan ikut

merumuskan undang-undang atau peraturan yang netral gender. Dengan kata lain,

perempuan Aceh ikut andil dalam usaha pembentukan peraturan yang diharapakan

tidak mensubordinasi eksistensi mereka.

Namun, sebelum perempuan Aceh dapat berpartisipasi dalam hak

politiknya, masyarakat Aceh harus mengubah pola pikir yang cenderung patriarki

terlebih dahulu agar inferioritas perempuan yang menghasilkan diskriminasi gender

dapat terhapuskan. Dalam suatu tatanan sosial masyarakat yang adil, ketika

perempuan dan laki-laki diberikan hak yang sama, maka di situlah kedua-duanya

dapat mengaktualisasikan diri dan menjadi manusia yang utuh. Oleh karena itu,

ketika perempuan dianggap memiliki kapasitas bernalar yang sama dengan laki-

laki, maka kesempatannya untuk mengakses hak politik akan tercapai.


127

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Syariat Islam sebagai produk politik yang diterapkan di Aceh menjadi peraturan

yang benar-benar mengikat kebebasan perempuan. Pada awalnya, terjadi

sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai inferioritas pada perempuan Aceh yang

membuat kepribadiannya lebih inferior dibandingkan laki-laki. Setelah itu,

ketidakberdayaan perempuan Aceh ini dijadikan sebagai objek penerapan

syariat Islam yang dititikberatkan pada penggunaan jilbab. Tubuh perempuan

Aceh diatur seolah-olah mereka tidak tahu apa yang dilakukan dan yang terbaik

bagi dirinya, sehingga subjektivitas perempuan Aceh diabaikan. Fenomena

yang terjadi dari penerapan syariat Islam di Aceh menghasilkan pendisiplinan

tubuh terhadap perempuan Aceh yang menjadikan mereka sebagai objek yang

teraniaya. Perempuan Aceh lebih rentan dalam mendapat perlakuan yang

diskriminatif dan kekerasan. Realitas yang terlihat pada keadaan sekarang

adalah penerapan syariat yang hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan

tubuh perempuan, yang akhirnya semakin “memenjarakan” perempuan dan

mensubordinasinya.

2. Pendisiplinan tubuh perempuan Aceh mengarahkan perempuan gagal menjadi

manusia yang utuh (personhood) padahal mereka bukanlah objek. Dengan

perkataan lain, perempuan Aceh bukan sekadar alat atau instrumen untuk

mencitrakan Aceh sebagai provinsi yang islami. Sebaliknya, perempuan Aceh


128

adalah suatu agen bernalar yang kediriannya ada dalam kemampuannya untuk

menentukan nasibnya sendiri. Pendisiplinan tubuh yang dialami perempuan

Aceh seringkali berbentuk ancaman, paksaan, dan kekerasan. Hal ini terjadi

karena diskriminasi gender yang terus-menerus diwariskan dan dimanfaatkan

oleh kelompok tertentu. Maka dari itu, untuk menghapus ketidaksetaraan ini,

diskriminasi gender dan hukum-hukum maskulin yang terdapat dalam

masyarakat Aceh harus dihapuskan. Setiap perempuan Aceh berhak

menjalankan syariat Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari orang

lain. Perempuan Aceh merupakan perempuan yang setara dengan laki-laki,

yang tentunya memiliki rasionalitas. Mereka dapat otonom mengambil

keputusan terhadap tubuhnya tanpa intervensi pihak luar sekaligus bebas dari

ancaman dan kekerasan.

B. Saran

Pada penelitian ini, peneliti menganalisis tiga prosedural feminisme liberal

terhadap pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca penerapan syariat Islam.

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengalami kesulitan untuk mendapatkan

literatur yang dengan sistematis dan komprehensif membahas rasionalitas,

kebebasan, dan otonomi yang dimiliki oleh perempuan. Maka, dibutuhkan sebuah

literatur yang tentunya kredibel sebagai pedoman dasar untuk memahami ketiga

prosedural tersebut.

Penelitian yang membahas pendisiplinan tubuh perempuan Aceh ini hanya

mendapatkan informasi dari perempuan-perempuan yang hidup dan tinggal di kota-

kota besar di Aceh. Mengingat fakta pendisiplinan tubuh perempuan Aceh terjadi
129

di berbagai kelompok masyarakat dan daerah, maka dibutuhkan informasi-

informasi terkait dari perempuan-perempuan yang tinggal di kabupaten atau

pedesaan, sehingga dapat menambah pengetahuan tentang pengalaman serta

respons perempuan Aceh terhadap syariat Islam dan pendisiplinan tubuhnya.

Peneliti juga mengharapkan adanya penelitian filosofis lanjutan tentang

pendisiplinan tubuh perempuan Aceh yang tidak hanya dari sudut pandang

feminisme liberal, tetapi juga aliran feminisme lainnya.


130

DAFTAR PUSTAKA

ABC News. 2018. “Sharia in Aceh: Patrolling The Streets of Indonesia’s Most
Conservative Province” dalam https://www.abc.net.au/news/2018-03-
18/aceh-on-the-streets-of-indonesias-most-conservative-
province/9558054, diakses pada 28 Oktober 2018.
Arwidita, Astari. 2017. Ekspresi Kebebasan Tokoh Amy Dunne dalam Film Gone
Girl Perspektif Eksistensialisme. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada. Skripsi.
Baehr, Amy R. 2007. “Liberal Feminism” dalam
https://plato.stanford.edu/entries/feminism-liberal/, diakses pada 21
Oktober 2018.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
BBC Indonesia. 2014. “Semprotan Cat Untuk Warga Aceh yang Bercelana Ketat”
dalam
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141204_indones
ia_aceh_semprot, diakses pada 27 Oktober 2018.
Berutu, Ali Geno. 2016. “Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintasan Sejarah”
dalam Jurnal Hukum Vol. 13, No. 2, hlm. 163—188.
BPS Aceh. 2016. “Number of Population in Aceh Province (2016)” dalam
https://aceh.bps.go.id/quickMap.html, diakses pada 12 Oktober 2018.
Bustami. 2004. Formalisasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Yogyakarta: Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Caddick, Alison.1986. “Feminism and The Body” dalam Arena Journal, Issue 74,
1986, Melbourne, Foundation Arena Articles, hlm. 60—88.
Chambers, Clare. 2017. “Feminism and Liberalism” dalam The Routledge
Companion to Feminist Philosophy Routledge hlm. 652—664.
Cudd, Ann. 2006. Analysing Oppression. New York: Oxford University Press.
Dister, N.S. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius.
131

Encyclopedia Britannica. Tanpa Tahun. “Aceh” dalam


https://www.britannica.com/place/Aceh, diakses pada 12 Oktober 2018.
Epstein, Richard A. 1999. “Liberty, Patriarchy, and Feminism” dalam University of
Chicago Legal Forum, hlm. 89—114.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fikry, Zulian. 2015. Hubungan Otonomi dan Efikasi Diri dalam Pengambilan
Keputusan Karier Terhadap Kebimbangan Karier Mahasiswa Strata-1.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Foucault, Michel. 2011. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. New York:
Vintage Books.
Graf, Arndt, dkk. 2010. Aceh: History, Politics, and Culture. Singapore: ISEAS
Publishing.
Griffiths, Morwenna dan Margaret Whitford. 1988. Feminist Perspective in
Philosophy. USA: Indiana University Press.
Human Rights Watch. 2010. “ Policing Morality: Abuses in The Application of
Sharia in Aceh, Indonesia” dalam
https://www.hrw.org/report/2010/11/30/policing-morality/abuses-
application-sharia-aceh-indonesia, diakses pada 28 Oktober 2018.
_________________. 2010. “Indonesia: Local Sharia Laws Violate Rights in Aceh
(Restrictions on Association, Dress Deny Autonomy, and are Used
Abusively)” dalam https://www.hrw.org/news/2010/12/01/indonesia-local-
sharia-laws-violate-rights-aceh, diakses pada 28 Oktober 2018.
Ikhwan. 2013. The Implementation of Sharia in Aceh: Dilemma of Establashing an
Islamic State (Dar-as-Salam). Department of Religious Culture and
Organization Management of Aletheia University. Thesis.
Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Alquran: Klasik dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
June, Hannam. 2007. Feminism. Inggris: Pearson/Longman.
132

Juwita, Eighwika Kurnia. 2015. Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita Dari Sudut
Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy
Chevalier. Perpustakaan UNIKOM.
Karim, Abdul. 2014. “Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif
Tentang Perempuan dalam Koridor Sosial Keagamaan)” dalam Fikrah, Vol.
2, No. 1, Juni 2014, hlm. 57—73.
Kloss, David. 2016. “The Salience of Gender: Female Islamic Authority in Aceh,
Indonesia” dalam Asian Studies Review Journal, Vol. 40, Issue 4, hlm.
527—544.
Kurniawan. 2012. “Dinamika Formalisasi Syariat Islam di Indonesia” dalam Kanun
Jurnal Ilmu Hukum No. 58, Th. XIV, hlm. 423—447.
Makmun, Mulki. 2014. Konstruksi Perilaku Menyimpang Terhadap Perempuan
Pada Qanun di Provinsi Aceh. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Skripsi.
Marianti, Meira. 2015. Pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Nanggroe Aceh
Darussalam Pasca Penetapan Otonomi Khusus Tahun 1999 (Tinjauan
Konvensi CEDAW Terhadap Pelaksanaan Hukum Syariah. Yogyakarta:
Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Melya, Intan. 2005. Perempuan dan Syariat Islam: Respons Perempuan Terhadap
Implementasi Qanun Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Yogyakarta: Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Merdeka.com. 2014. “Terjaring Razia, Wanita Nonmuslim di Aceh Diminta Pakai
Jilbab” dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/terjaring-razia-wanita-
nonmuslim-di-aceh-diminta-pakai-jilbab.html, diakses pada 27 Oktober
2018.
Mitchell, Juliet dan Ann Oakley. 1986. What is Feminism? USA: Pantheon Books.
Noerdin, Edriana. 2005. Politik Identitas Perempuan Aceh. Jakarta: Women
Research Institute.
Rachman, Nisa Agistiani. 2012. Tokoh Bawuk Pada Cerpen “Bawuk” Karya Umar
Kayam dalam Perspektif Feminisme Liberal. Yogyakarta: Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
133

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi. Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.


Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. USA: SAGE Publications.
Rowland-Serdar, Barbara dan Peregrine Schwartz-Shea. 1991. “Empowering
Women: Self, Autonomy, and Responsibility” dalam The Western Political
Quarterly, Vol. 44, No. 3, September 1991, hlm. 605—624.
Rumadi dan Wiwit Rizka Fathrurahman. 2010. Perempuan dalam Relasi Agama
dan Negara. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan).
Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian WASPADA
Medan.
Salehati. 2010. Tubuhku di Ujung Rotan Cambuk: Wacana Pendisiplinan Tubuh
Perempuan Pasca Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Yogyakarta: Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah
Mada. Tesis.
Sample, Ruth. Tanpa Tahun. “Feminism, Liberal”, hlm 333—339 dalam
https://blogs.helsinki.fi/seksuaalietiikka2011/files/2010/10/9-Liberal-
Feminism.pdf.
Simanjuntak, Bungaran A., dkk. 2011. Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan
Masa Depan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Siregar, Hasnul Basri. 2008. “Lessons Learned From The Implementation of
Islamic Sharia Criminal Law in Aceh, Indonesia” dalam Journal of Law and
Religion, Vol. 24, No. 1, hlm. 43—76.
Sultana, Abeda. 2011. “Patriarchy and Women’s Subordination: A Theoretical
Analysis” dalam The Arts Faculty Journal, Juli 2010—Juni 2011, hlm. 1—
18.
Taylor, Reed. 2015. “Syariah as Heterotopia: Responses from Muslim Women in
Aceh, Indonesia” dalam Religions, Vol. 6, hlm. 566—593.
Trisakti, Sonjoruri Budiani. 2013. Tinjauan Filosofis Terhadap Perkembangan
Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada.
134

The Guardian. 2016. “Kellyanne Conway and Liberal Feminists: Two Sides of The
Same Coin” dalam
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/dec/09/kellyanne-
conway-liberal-feminism-shortfalls-politics-amy-schumer-lena-dunham,
diakses pada 28 Oktober 2018.
The Jakarta Post. 2018. “Q&A: What You Need To Know About Sharia in Aceh”
dalam http://www.thejakartapost.com/news/2018/03/04/qa-what-you-need-
to-know-about-acehs-sharia-law.html, diakses pada 28 Oktober 2018.
TIME. 2007. “Indonesia: Aceh’s “Escape Artist” Becomes Governer” dalam
http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1590162,00.html,
diakses pada 20 Oktober 2018.
Tong, Rosemarie Putnam. 2006. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction
(Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
ToughtCo. 2018. 2018. “Liberal Feminism” dalam
https://www.thoughtco.com/liberal-feminism-3529177, diakses pada 20
Oktober 2018.
Tribun Timur. 2015. “Hari Ini Ada Sweeping Perempuan Bercelana Ketat” dalam
http://makassar.tribunnews.com/2015/03/24/hari-ini-ada-sweeping-
perempuan-bercelana-ketat, diakses pada 27 Oktober 2018.
UAH. Tanpa Tahun. “Kinds of Feminism” dalam
https://www.uah.edu/woolf/feminism_kinds.htm, diakses pada 28 Oktober
2018.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Utami, Rona. 2009. Relasi Gender di Wilayah Domestik dalam Perspektif
Feminisme Liberal (Studi Kasus Mantan Tenaga Kerja Wanita di Desa
Randusongo, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur).
Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
135

Verma, Priya, dkk. 2005. “Indonesia: Province Authorities Detain Women for
Inappropriate Dress” dalam Off Our Backs, Vol. 35, No. 9/10,
September/Oktober 2005, hlm. 5.
VOX. 2018. “The Waves of Feminism, and Why People Keep Fighting Over Them,
Explained” dalam https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-
waves-explained-first-second-third-fourth, diakses pada 27 Oktober 2018.
Wall, Steven. 2007. “Collective Rights and Individual Autonomy” dalam The
University of Chicago Press, Vol. 117., No. 2, Januari 2007, hlm. 234—
264.
Wendell, Susan. 1987. “A (Qualified) Defense of Liberal Feminism” dalam
Hypatia (A Journal of Feminist Philosophy), Vol. 2, Issue 2, hlm. 65—93.
Yuval-Davis, Nira. 2003. “National Projects and Gender Relations” dalam Hrvatski
Časopis za Etnologiju i Folkloristiku (Jurnal Etnologi Kroasia dan
Penelitian Folklore), Vol. 40, No. 1, Juni 2003, hlm. 9—36.
136

LAMPIRAN
A. Pedoman Wawancara
1. Motif yang melatarbelakangi penerapan syariat Islam
a. Motif sosial-politik
Solusi alternatif bagi penyelesaian konflik;
b. Motif psikologis
Tindakan penyelesaian atas berbagai tindakan kriminalitas dan pelecahan
yang dialami masyarakat Aceh, terutama perempuan; dan
c. Motif kultural
Mengembalikan identitas kultural Aceh yang islami.
2. Latar belakang pendisiplinan tubuh perempuan pasca pemberlakuan syariat
Islam
a. Sebagai opsi politik dalam upaya mempersempit gerak perempuan di dalam
ranah publik;
b. Memenuhi tuntutan sebagai persyaratan atas penerapan syariat Islam;
c. Sebagai arena untuk mengatur tubuh perempuan; dan
d. Relasi perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang pasca penerapan
syariat Islam.
3. Pendisiplinan tubuh perempuan Aceh
a. Bagaimana syariat mengatur tubuh perempuan;
b. Lembaga-lembaga syariat Islam dan usahanya mendisiplinkan tubuh
perempuan; dan
c. Rasionalitas, kebebasan, dan otonomi perempuan dalam mengatur tubuh
dan pilihan atas hidupnya.
4. Respons perempuan atas penerapan syariat Islam
a. Perempuan merasa penerapan syariat Islam terlalu berfokus pada
pendisiplinan tubuhnya; dan
b. Perempuan yang menerima dan menolak beserta alasannya.
5. Kehidupan perempuan pasca pemberlakuan syariat Islam
a. Posisi perempuan dalam keluarga;
b. Posisi perempuan dalam pendidikan;
137

c. Posisi perempuan dalam pekerjaan; dan


d. Peran perempuan
6. Kekerasan yang dialami perempuan atas pendisiplinan tubuhnya
a. Cakupan kekerasan
1). Kekerasan fisik
2). Kekerasan verbal
3). Kekerasan psikologis

B. Daftar Pertanyaan
(Untuk Narasumber Perempuan)
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau (periode
abad XV—XIX)?
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang
syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari tahunya dari orang
atau kelompok lain?
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—terutama
dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan terma “aneuk
inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa mendapatkan perbedaan atau
diskriminasi di dalam keluarga, di institusi pendidikan atau pekerjaan, atau pun
di lingkungan masyarakat?
6. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimenis. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan
seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan dan membuat
batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian dengan ranah larangan.
Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan kapan kali pertama Anda
mengenakannya?
138

7. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa


hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah (kontroversi). Ada
dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Dalam syariat tradisional,
jilbab merupakan kewajiban perempuan muslim. Namun, dalam pemikiran
hukum Islam kontemporer, jilbab bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda
termasuk kelompok yang mana dan apa alasan Anda memilih interpretasi
tersebut?
8. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab sejak
kecil?
9. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak membentuk
lekuk tubuh dapat Anda terima? Apakah Anda nyaman dengan aturan tersebut?
10. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu kedudukannya
setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
11. Jika terjaring sweeping, respons apa yang Anda berikan?
12. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
13. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
14. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
15. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
16. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?

(Untuk Narasumber Laki-Laki)


1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau (periode
abad XV—XIX)?
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
139

4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang


syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari tahunya dari orang
atau kelompok lain?
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—terutama
dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing dengan terma
“aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa mendapatkan
perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi pendidikan atau pekerjaan,
atau pun di lingkungan masyarakat?
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut beberapa
literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh perempuan. Sebagai
perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan
seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan dan membuat
batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian dengan ranah larangan.
Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa
hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah (kontroversi). Ada
dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Dalam syariat tradisional,
jilbab merupakan kewajiban perempuan muslim. Namun, dalam pemikiran
hukum Islam kontemporer, jilbab bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda
termasuk kelompok yang mana dan apa alasan Anda memilih interpretasi
tersebut?
9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab sejak
kecil?
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh polisi
syariat untuk menegakkan aturan ini?
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu kedudukannya
setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
140

12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai tindakan
kekerasan dan penindasan?
13. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
14. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap pakaian
yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat ditolelir
dibanding aurat perempuan?
15. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa yang
Anda inginkan?
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
141

C. Transkrip Wawancara
Data Diri Narasumber I
Nama/Inisial : Annisa
Tempat Tinggal : Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Aceh merupakan kota yang islami, religius, dan mungkin ada sedikit unsur
kekerasan di mana berusaha menegakkan Islam secara kafah atau sempurna.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Sebenarnya perempuan Aceh pada abad tersebut belum menggunakan hijab, ya,
jilbab, atau belum menerapkan syariat Islam seperti yang sekarang ini. Pada
masa itu, perempuan di Aceh jauh lebih produktif, misalnya ikut dalam
peperangan atau ikut melawan penjajah seperti itu. Walaupun terbendung oleh
budaya patriarki, namun wanita-wanita di Aceh pada zaman terdahulu, yang
saya tahu, adalah wanita-wanita yang paling produktif dibandingkan di masa
yang sekarang. I don’t know if it’s true, tapi yang saya baca, sih, seperti itu.
3. Apakah yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Yang saya ketahui tentang syariat Islam itu berasal dari agama Islam tentunya,
di mana mengatur segala aspek kehidupan umat muslim, baik secara individu
maupun bermasyarakat.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Pemerintah daerah tentang syariat Islam mungkin dilakukan di tempat-tempat
ibadah, namun oleh pemerintah, sih, tidak. Mungkin pemerintah menganggap
bahwa masyarakat di Aceh itu sudah mengetahui syariat Islam karena dari kecil
142

sudah tumbuh dan besar di lingkungan yang menerapkan syariat Islam jadi tidak
memerlukan sosialisasi mengenai syariat Islam. Dan tentunya terdapat
kekurangan juga, sih, di situ, ketika tidak ada sosialisasi maka orang-orang yang
di luar dari syariat Islam itu tidak mengetahui bahwa ‘Oh kita harus mengikuti
sesuai dengan track dari pemerintah Aceh itu sendiri’.
Syariat Islam secara utuh selain dari orang tua juga saya dapatkan dari teman.
Ada. Pernah. Ya, saya yang diberi tau. Mencari tau pun iya karena kita tidak
hanya bisa mendengarkan dari orang lain ‘kan? Kita jugaharus meneliti juga
atau mencari tahu lebih.
5. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Ya pinter. Kenapa saya bilang pinter? Karena syariat Islam kan sebenarnya
tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Namun, untuk menerapkan
syariat Islam, dimasukkanlah ke dalam ranah politik atau pemerintahan
sehingga bisa diatur melalui oknum-oknum atau pemerintah itu sendiri. Jadi
bisa ada sanksinya. Jadi ranahnya bukan individu lagi.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur yang peneliti baca, penerapannya ini terlalu berfokus
pada tubuh perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons
Anda?
Respons saya pertama, wajar. Namun, wajar belum tentu itu benar. Kenapa saya
bilang wajar? Wajar karena Islam itu merupakan right or wrong, menurut saya
Islam itu merupakan agama yang mengajarkan patriarki. Patriarkisme yang
berasal dari budaya yang di mana laki-laki lebih aktif, wanita lebih cenderung
tinggal di rumah. Namun, ketika sekarang kita berada di era yang munculnya
feminisme, wanita sudah bisa bekerja dan sudah setara atau sebanding dengan
143

laki-laki. Saya pun mempertanyakan kepada literatur-literatur Islam yang lebih


menekankan mendidik wanita ketimbang mendidik laki-laki, gitu. Saya sedih,
sih. Apalagi perempuan yang paling sering kena sweeping, ya. Padahal sepele,
ya. Saya pun bingung, kenapa di sini hanya wanita yang dididik dan diatur, gitu.
Maka, karena ada fenomena-fenomena seperti ini, wajar saya adanya gerakan-
gerakan seperti feminisme, Women’s March, di mana salah satu isu kesetaraan
gender itu lupa ditegakkan oleh pemerintah Aceh itu sendiri. Pemerintah Aceh
itu lebih berfokus pada penerapan syariat Islam. Padahal menurut saya sendiri,
di dalam Islam tidak ada ajaran untuk mendeskreditkan wanita. Untuk
merendahkan wanita. Dan saya bingung: dari mana pemerintah Aceh itu
mendapatkan pengetahuan syariat Islam seperti yang diterapkan seperti
sekarang.
Dan penerapan syariat Islam yang terlalu berfokus pada tubuh perempuan ini
adalah kesalahan besar. Sangat besar. Karena semua orang kan berhak untuk
menggunakan pakaian apa pun yang dia suka. Dia membelinya menggunakan
uangnya sendiri, gitu. Menurut saya hal-hal yang remeh-temeh seperti itu tidak
usah diatur oleh pemerintah dan bukan ranahnya pemerintah. Dan saya merasa
sangat dirugikan.
7. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan atau diskriminasi di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Di level keluarga dulu kali, ya, di lingkup primer. Itu paling banyak, sih, kalau
yang saya dapatkan itu di keluarga. Kalau di institusi pendidikan atau yang lain-
lainnya, sih, kurang, ya, kalau bagi saya. Saya belum merasakan itu di level
institusi pendidikan. Namun, saya sangat merasakan di kayak level keluarga.
Misalnya, anak laki-laki boleh untuk keluar malam sedangkan perempuan itu
ada jam malamnya dan ada batasan untuk keluar. Ada jam segini, nanti pulang
jam segini. Nah, ketika saya tanya pada keluarga saya alasannya kenapa, ya,
144

karena kamu perempuan. Itu, sih, menurut saya tidak logis, gitu. Dan juga
perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan laki-laki bebas. Dia
boleh mengerjakan pekerjaan rumah, boleh tidak. Perempuan itu lebih dipaksa
untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci
piring, dan itu sangat berat ketika suasana Lebaran tidak ada pembantu, tidak
ada yang membantu untuk membersihkan rumah, sehingga saya sebagai
perempuan dipaksa untuk membersihkan rumah.
Diskriminasi di lingkup pendidikan, misalnya ketua OSIS harus dari kalangan
laki-laki. Dan misalnya ada ketua OSIS dari kalangan perempuan, itu biasanya
akan mendapatkan dukungan yang jauh lebih sedikit dari laki-laki. Atau
mungkin mendapatkan perkataan yang sangat pedas seperti misalnya ‘Kamu
ngapain jadi ketua OSIS? Emang kamu yakin kamu sanggup? Kamu kan
perempuan’.
‘Kamu kan perempuan’ selalu menjadi alat untuk mendiskriminasi perempuan.
Nah, perempuan juga terkadang jika dia terlalu pintar, dia itu dikata-katain.
Dibilang susah untuk punya pasangan, nanti pasangannya akan kabur jika kamu
terlalu pintar. Sangat terasa diskriminasi antara aneuk inong dan aneuk agam.
8. Aceh dikenal sebagai kota seribu kedai kopi. Apakah Anda sering ngupi?
Biasanya pukul berapa dan bersama siapa? Apakah Anda pernah ngupi
sampai larut malam? Bagaimana respons dari para pengunjung yang ada
di kedai kopi tersebut—yang notabene laki-laki?
Beberapa kali saja, sih, nggak terlalu sering. Ke kedai kopi juga jarang minum
kopi. Pernah sama teman-teman, sama keluarga juga pernah. Paling telat sampai
pukul 10 malam. Itu udah paling malam, malah biasanya lebih cepat pulangnya.
Nah, kalau pergi sama keluarga nggak pernah mendapatkan pandangan aneh.
Nah, berhubungan dengan diskriminasi di lingkungan masyarakat, saya pernah
berkumpul di suatu kedai kopi, namun anggotanya perempuan semuanya dan
sisanya laki-laki. Laki-laki yang berbaur dengan perempuan itu jarang saya
temui di kedai kopi yang saya kunjungi. Seringnya adalah monoton. Karena
laki-laki bersama laki-laki, perempuan bersama perempuan. Nah, saya dan
teman-teman saya bercanda, tertawa dengan keras dan sebagainya saya rasa
145

wajar. Karena laki-laki di sana juga melakukan hal yang sama. Namun, kita
mendapatkan pandangan yang tidak enak dari para pengunjung dan juga
pemilik kafe tersebut—seakan-akan kita telah melakukan kesalahan yang besar.
Nah, seperti itulah bentuk diskriminasi yang pernah saya dapat.
9. Pandangan Anda mengenai teman perempuan Anda nongkrong di kedai
kopi sampai larut malam?
Menurut saya wajar, ya tidak apa-apa. Kalau menurut saya pribadi, saya tidak
tahu di mana salahnya. Karena menurut saya mereka nongkrong di warung kopi
sampai malam, otomatis mereka akan membeli minuman lebih banyak. Karena
mereka haus. Itu ‘kan menguntungkan kedai kopi itu secara tidak langsung,
‘kan? Menurut saya, sih, tidak ada ruginya malah untung. Pencinta kopi kan
bukan hanya laki-laki, tapi perempuan juga bisa menyukai kopi.
10. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan
kapan kali pertama Anda mengenakannya?
Definisi jilbab saya boleh memilih dari pengertian yang tadi disebut tidak?
Yang dimensi kedua dan dimensi ketiga. Dan yang lebih ditekankan itu yang
nomor dua kalau menurut saya. Untuk membatasi diri dengan orang lain. Yang
sering saya lihat adalah orang-orang yang berjilbab jauh lebih nyaman
bersosialisasi dengan orang yang serupa. Karena otomatis mereka agamanya
sama. Kalau menurut saya juga ikut membatasi pergaulan juga seperti orang-
orang yang berjilbab lebih nyaman untuk bergaul dengan orang-orang yang
berjilbab.
Pada masa pemerintah siapa itu, sepertinya Megawati sampai kelas 2 SD itu
saya belum mengenakan jilbab. Nah, setelah terjadinya tsunami, menurut saya
itulah politicalship, di mana pemerintah menjadi jauh lebih religius dan jauh
lebih ingin menerapkan syariat Islam. Dan dulu semua orang belum
mengenakan jilbab. Ya, mungkin ada beberapa. Namun, jilbab tidaklah wajib.
146

Setelah tsunami itu datang, mulailah adanya perubahan-perubahan dan


dinamika di dalam masyarakat itu sendiri sehingga saya diwajibkan untuk
menggunakan jilbab di institusi pendidikan, awalnya.
11. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Tidak. Nenek saya, Mama saya, tidak menggunakan jilbab sejak lahir. Karena
mungkin mereka tumbuh besar di era yang tidak mewajibkan jilbab, seperti
yang kita ketahui, pada saat dulu di Aceh tidak mewajibkan jilbab. Namun
mulai sekarang, pada periode setelah tsunami-lah, baru menerapkan jilbab
secara utuh.
12. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Sudah jelas, ya, saya kelompok yang mana. Menurut saya kenapa pada waktu
itu jilbab diwajibkan. Karena pada saat itu maraknya tingginya kasus
pemerkosaan sebagai salah satu taktik perang dan juga di mana pada waktu itu
perempuan itu kan harus dilindungi karena mereka sendiri rentan menjadi
korban dari perang. Karena mereka didefinisikan lemah. Pada zaman dulu.
Maka dari itu, untuk meminimalisir, mereka menggunakan jilbab. Dan di mana
pada masa itu tidak adanya hak asasi manusia; belum menyadari pentingnya
hak asasi dari manusia itu sendiri. Namun, kalau menurut saya, jilbab di masa
sekarang bisa dikatakan tidak wajib lagi. Karena sudah beda zaman; sudah beda
konteks. Bahkan bisa saja kan menginterpretasi ayat yang menjulurkan kain ke
seluruh tubuh itu menurut saya bisa diartikan dengan pakaian yang sopan
walaupun tidak menggunakan jilbab. Karena di negara-negara Arab sendiri pun
banyak yang tidak menggunakan jilbab, namun masih menggunakan baju yang
147

sopan atau mengenakan scarf. Rambut masih kelihatan. Beda pemahaman


setiap daerah dan juga konteksnya sudah berbeda.
13. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi yang Anda
pilih?
Iya. Karena sudah mulai menganalisis nilai-nilai agama atau mulai melogikakan
nilai-nilai agama. Di Aceh itu lingkungannya sangat homogen. Melihat orang
yang berbeda agama saja kita seperti melihat spesies baru, apalagi melihat orang
yang agak membelot dari nilai-nilai agama. Mungkin akan dilihat sebagai
penjahat, setara dengan penjahat, yang mana kehomogenan di Aceh itu
membuat masyarakatnya tidak berani untuk berpendapat terutama mengenai
nilai-nilai agama. Menurut saya tidak hanya di Aceh. Di Indonesia pun
sekarang, membahas isu-isu yang berbau agama itu sebaiknya jangan karena
Anda bisa masuk penjara—seperti itu.
14. Alasan terbesar Anda mau mengenakan jilbab?
Alasan terbesar saya takut untuk di-judge oleh orang—itu yang pertama. Dan
juga paksaan dari keluarga yang lingkungannya Islam. Karena paksaan itu
cukup membuat orang lain takut.
15. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima?
Tidak karena saya kira saya bukanlah objek. Karena jika terjadinya kasus
pemerkosaan karena pemakaian pakaian yang terlalu ketat, menurut saya bukan
kesalahan dari si pengguna yang memakai pakaian tersebut. Kesalahan dari
orang yang melihatnya bagaimana. Itulah menurut saya kesalahannya adalah
kita masih mengobjektivikasi wanita. Ketika berpakaian seksi dianggap
mengundang nafsu dan segala macam. Dan harus memakai pakaian-pakaian
seperti gamis dan sebagainya, pakaian-pakaian Islam-lah katakanlah. Menurut
saya itu membatasi gerak dari wanita itu sendiri. Kalau saya, sih, tidak suka.
16. Apakah Anda nyaman dengan aturan tersebut? Apakah larangan,
ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh polisi syariat untuk
menegakkan aturan ini?
148

Tidak, ya, karena kan masih ranah Indonesia. Oke, Aceh memiliki otonomi
khusus dan Perda. Namun, Perda itu sendiri pun perlu dikaji ulang: penting,
nggak, sih, untuk melakukan kekerasan dan ancaman terhadap hal-hal yang
seremeh-temeh itu? Ini kan menyangkut kepercayaan seseorang. Menurut saya
ranah kepercayaan itu ya ranah individu bukan ranah pemerintah seperti yang
sudah saya jelaskan di awal.
17. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Iya. Kenapa hanya perempuan yang di-sweeping? Padahal kalau kita
menggunakan tolak ukur aurat, laki-laki banyak yang menggunakan celana di
atas lutut. Mereka tidak pernah di-sweeping. Laki-laki telanjang dada, tidak
memakai baju, memperlihatkan pusar, itu menurut saya, sih, melanggar nilai-
nilai agama karena laki-laki kan juga punya aurat. Kenapa yang diurus hanya
aurat perempuan? Apakah bisa memacu nafsu yang cukup tinggi? Saya tidak
mengerti dengan pemikiran para penegak ini.
18. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena perempuan lebih mudah untuk ditindas. Kan dari pattern budayanya
seperti itu. Makanya saya bilang sulit untuk mengubah, terutama di Aceh,
karena perempuannya sendiri pun masih menganut budaya patriarki. Maka sulit
untuk mengubahnya. Tapi kalau mau bisa. Tapi tentu akan sulit.
19. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Saya berhak mengonsepsikan busana muslim seperti apa yang saya inginkan.
Namun, di sini logikanya tidak jalan karena di sini masyarakatnya masih takut
dengan pemerintah.
149

20. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu


kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Menurut saya setara karena wanita bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki dan
tentunya laki-laki bisa mengerjakan pekerjaan wanita. Malah menurut saya,
aneh. Kenapa laki-laki derajatnya jauh lebih tinggi daripada wanita. Padahal
menurut saya, woman can do all. Wanita ketika hamil bisa bekerja, mencari
nafkah, sedangkan laki-laki tidak bisa hamil. Dan sedangkan wanita itu bisa
multitasking kalau menurut saya. Dan juga banyak keadaan-keadaan yang
membuat wanita itu jauh lebih resisten dibanding laki-laki. Menurut saya aneh
itu kalau ada yang menganggap bahwa laki-laki jauh lebih hebat daripada
wanita. Menurut logika saya.
21. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan
apa yang Anda inginkan?
Dulu tidak, sekarang iya.
22. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Berasal dari ancaman dan tuntutan di sekitar, terutama kekerasan verbal, sih.
Contohnya, ya, wajib menggunakan jilbab. Nanti bisa menyeret satu keluarga
ke neraka. Walaupun saya sendiri tidak mengerti kenapa bisa menyeret keluarga
saya ke neraka. Padahal kan harusnya saya saja yang masuk neraka.
23. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Seringkali, menurut saya, orang beragama namun tidak dibarengi dengan
logika. Yang saya dapatkan selama ini, ya, hanya suruhan saja. ‘Kamu pake
jelbab. Kamu pake baju muslim yang benar dan segala macam’, tapi esensinya,
ya, untuk apa? Tidak pernah dipertanyakan dan tidak boleh dipertanyakan juga.
Jadi hanya sebatas suruhan. Tidak boleh dilogikakan karena kalau dilogikakan
akan dianggap sesat. Seperti itu.
24. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Tubuh saya, otoritas saya. Di mana apa pun yang sayakenakan itu bukanlah
urusan orang lain. Apa pun keputusan saya terhadap tubuh saya, mau saya
150

melakukan tato, piercing, dan segala macam, itu salah satu kebebasan
berekspresi dan merupakan hak saya dan orang lain tidak dapat menganggu
gugat.
151

Data Diri Narasumber II


Nama/Inisial : Iin
Tempat Tinggal : Banda Aceh
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Yang pertama, budayanya, budaya tapi di bidang seninya. Kan tarinya itu kan
terkenal Ratoh Jaroe, tetapi yang dikenal kan Saman. Tapi, ya udah, nggak apa.
Yang kedua, pasti masalah tsunami atau nggak syariat Islam. Secara pribadi,
kalau nggak ditanyain tentang syariat Islam, saya nggak mau jelasin soalnya
menurut saya membingungkan. Aceh itu merupakan bagian dari negara
Indonesia yang bukan negara Islam, tapi dia punya otoritas khusus untuk
menjalankan syariat Islam. Saya sendiri bingung, gitu, maksudnya kok di
Indonesia tiba-tiba ada syariat Islam padahal Indonesia sendiri bukan negara
Islam. Maksudnya tuh bingung dalam menjalankan gaya hidup.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya kurang tahu kayak mana kehidupannya secara persis. Tapi kalo nggak
salah saya, Cut Nyak Dhien, maksudnya tokoh-tokoh kaya gitu, Malahayati,
gitu-gitu, banyak perempuan yang ikut dalam perang. Cut Nyak Dhien juga
yang menggantikan peran suaminya, kan?
Habistu banyak yang orang nggak ketahui yaitu Malahayati yang cukup
berperan dalam kekuatan di daerah perairan. Pokoknya dia tu ahli dalam defense
di daerah perairan. Dia tu perangin Belanda di perairan dan Belanda itu kalah.
Dan Malahayati ketua timnyalah pada masa itu. Pokonya kepemimpinan
Malahayati itu diakui di lingkup masyarakat Aceh. Tapi kalo di sejarah
Indonesia kurang diakui.
152

Walaupun masyarakat Aceh waktu itu 100 persen Islam, tapi pelaksanaan
syariat Islam tu nggak seaneh sekarang. Kan dulu tu nggak ada peraturan untuk
harus memakai jilbab. Ada pun pake selendang, tapi bukan peraturan.
Perempuan Aceh juga produktif, apalagi soal perang. Tapi nggak semua
perempuan Aceh masok ke dalam perang, sih.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Kalok syariat Islam itu biasanya diterapkan di pemerintahan. Regulasi suatu
negara diterapkan berdasarkan Alquran. Walaupun itu pemerintah, tetapi secara
lansgung mempengaruhi masyarakatnya dalam menjalani gaya hidup, kan?
Misalnya nggak minum.
Syariat Islam di Aceh itu kalau menurut saya terlalu ketat. Maksudnya ketat itu
masa sampe bagaimana kita berpakaian itu diatur. Ya walaupun di dalam Islam
sendiri memang masyarakatnya menggunakan jilbab. Sampek celana aja,
perempuan ya ni, celana perempuan aja ditentuin nggak boleh yang jins. Saya
bingung kok jins itu dilarang. Padahal dalam Alquran sendiri nggak ada secara
khusus dibilang kalo jins itu nggak boleh.
Dan kenapa polisi syariat itu hanya mensortir perempuan aja. Yang nggak pake
jilbablah, yang pake celana ketatlah, apalagi sekarang kan jamannya ripped
jeans. Itu tuh sangatlah hal yang buruk kalo di Aceh. Perempuan nggak boleh
pake celana tu. Sedangkan kalo untuk laki-laki, itu hal yang biasa. Dah. Abis
itu. Secara umum polisi syariat itu terlalu menitikberatkan pada bagaimana
perempuan berpakaian, sedangkan laki-laki juga punya aurat kan. Dari lutut
sampe ke pusar.
Saya pernah lihat di Blangpadang, cowok lari pake celana di atas lutut itu kan
sebenarnya dia menunjukkan auratnya. Tapi kenapa nggak ada orang yang kata-
katain dia lah. Atau polisi syariat yang menegur. Kalau perempuan yang kaya
gitu, apa kejadian coba? Bisa bayangin, kan? Perempuan pake celana ketat aja
dikata-katain. Dan secara sosial pasti dicap: oh itu bukan perempuan baek-baek.
Itu bukan cewek yang bagus. Pasti nggak baguslah akhlaknya. Saya sendiri
kewalahan, sih. Bukan syariat Islamnya ini yang salah, tapi kita sebagai
manusia yang salah dalam menjalankannya.
153

4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif


tentang syariat Islam dari pemerintah daerah?
Pemahaman komprehensif? Enggak. Soalnya, ya, kayak saya ceritain.
Sebenarnya tu pelaksanaan syariat Islam di Aceh tu ada betulnya. Misalnya
nggak menjual alkohol, mislanya hukuman tertentu dihukum cambuk, cuma
kalo mencuri tapi tangannya tu nggak dipotong kalo di Aceh. Mungkin itu
nggak dilakuin karena peraturan mencuri masuk ke dalam regulasi pemerintah
Indonesia yang ada regulasi tertentu. Dan sebenarnya penerapan syariat Islam
di Aceh tu membingungkan.
5. Apakah Anda mencari tahu tentang syariat Islam dari orang tua, teman,
atau kelompok lain?
Nggak ada. Baca-baca gitu aja. Paleng baca-baca buku kek gitu.
6. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Ya, betol. Ya, kayak saya bilang, penerapan syariat Islam di Aceh tu
dititikberatkan ke cewek. Padahal banyak cowok yang nampakin aurat, tapi
nggak ada ditangkap, nggak ada ditegor. Dan ini menunjukkan kekerasan
kepada jenis kelamin tertentu.
7. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan atau diskriminasi di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Kalok di keluarga sangat sangat terdiskriminasi. Maksudnya kek gini, Mamak
saya tu sangat mengagung-agungkan anak yang berjenis kelamin laki-laki.
154

Pertama, karena nggak tau sih mungkin terpengaruh oleh budaya patriarki. Kan
masyarakat Aceh punya gelar kaya Teuku dan diturunkan dari laki-laki. Jadi
semacam pengakuan kalo laki-laki tuh lebih powerful dibanding perempuan.
Nah, Mamak saya sendiri, sukak sereng bilang ‘Kalian tu perempuan, tiga
orang, nggak ada apa-apanya dibandingkan Bang Iki. Seorang laki-laki’. Nah,
saya sendiri sakit hati juga dibilang kek gitu. Maksudnya, ya, itukan yang bilang
Mamak saya sendiri. Masa iya sih Mamak sendiri mendiskriminasi anaknya
sendiri.
Saya sendiri nggak mau mengakui patriarki, tapi juga nggak mau mengakui
matriarki. Kalo menurut saya tuh nggak ada kedua-duanya. Ya kita sebagai
manusia sama aja. Mau jenis kelamin laki-laki, mau jenis kelamin perempuan,
ya kita sama aja. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing kayak gitu.
Ya kalok masalah biologis, ada hal yang nggak dimiliki laki-laki. Tapi bukan
berati perempuan itu lebih rendah, kayak gitu.
Masalah pacaran. Kalo ada cowok atau mobil yang nggak sereng terlihat,
apalagi saya kan di kompleks, tetangga tu tanda mana-mana aja yang mobil
anak kompleks sini. Kalo ada mobil yang misterius mereka bakal penasaran.
Padahal belum tentu laki-laki karena dipikir yang nyetir pasti laki-laki. Padahal
perempuan bisa juga nyetir. Kita sebagai perempuan seringkali dicurigai untuk
jangan sampe melakukan hal yang buruk. Padahal perempuan dan laki-laki
sama-sama bisa ngelakuin hal yang buruk, kan?
Kalo di lingkup pendidikan, saya kan pengen kuliah sampe S2 dan nikah bukan
yang utama bagi saya. Di keluarga saya sendiri, saya punya kakak yang sudah
S2 dan sampe sekarang belom nikah. Nah, karena belom nikah ini, selalu
disalahkan karna dia memiliki gelar S2. Jadi, tuh, perempuan yang
mengutamakan pendidikan, pasti dia tu nggak tertarik sama pernikahan.
Padahal kan semua ornag mau nikah. Tapi itu kan takdir kita. Berarti belom ada
jodoh kalo belom nikah. Tapi sampe sekarang dia disalahin gara-gara gelar
masternya. Dan saya sendiri siap kalau nanti disalahkan ketika mengutamakan
pendidikan dibanding nikah nanti. Pokoknya di keluarga saya, itu hal yang aneh
kalau perempuan lebih mentingin pendidikan dibanding nikah. Katanya nanti
155

cowok bakal takot sama cewek yang S2. Lucu, kan? Padahal cewek nggak
makan orang.
8. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Ini respons saya terkait penerapan syariat Islam di Aceh yang membingungkan.
Maksud yang membingungkan itu Aceh diharuskan untuk pake jelbab. Mau
nggak mau harus pakek jilbab. Jadi, kalok orang pake baju panjang tapi nggak
pake jilbab, itu salah. Tapi kalok orang pake baju lengan pendek, yang penting
dia pake jilbab panjang, tu nggak apa. Konsep top ulee. Kalo dulu pas kecil
Nenek saya selalu bilang kalo keluar top ulee. Orang Aceh sendiri sering bilang
‘Hai top ulee top ulee’. Memang dulu tu Nenek saya tu bilang ke saya tu anak
perempuan tu harus top ulee dan itu nggak berkaitan dengan syariat Islam. Nah,
jadi, mungkin, karena ada konsep top ulee dan penerapan syariat Islam tu jadi
kayak overlap gitu. Aurat tu yang mana coba sebenarnya?
9. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Definisi jilbab tu menutup aurat. Aurat di bagian kepala yaitu rambot. Bukan
nutup aurat yang termasuk badan. Ya maksudnya jilbab-jilbab gedeknutup
badan itu. Dan jilbab itu bukan bagian dari fashion.
10. Kapan kali pertama Anda mengenakan jilbab?
Ada 2 periode. Secara terpaksa dan tidak terpaksa. Ini di luar sekolah, ya. Secara
terpaksa itu dari SMP sampe kuliah semester 2. Secara tidak terpaksa itu pas
kuliah semester 3.
11. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Mamak saya pake jilbab tahun 97 atau 98, bukan dari kecil. Mamak saya dulu
fotonya pake rok mini semua. Nenek saya juga nggak pake, dulu. Cuma awal-
156

awal 2000, pas diterapin syariat Islam, baru Nenek saya pake jilbab. Bukan
jelbab juga, sih, selendang. Rambotnya masih kelihatan.
12. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Saya termasuk ke golongan yang jilbab itu wajib. Tapi, ada tapinya. Di saat kita
udah pake, itu kita nggak bisa lepas lagi. Jadi, sebelom memutuskan untuk
pakekjelbab, sebaiknya tu dipikirkan baik-baik dan kita udah siap menerima
resikonya, maksudnya resiko di mana media sekarang itu gencar-gencarnya
bilang kalo yang pakek jilbab itu terorislah. Apalagi kalo di bandara, treatment-
nya beda dengan orang yang nggak pake jilbab. Ya, gitu. Pokonya menurut
saya, jilbab itu wajib, tapi piki-pikir dulu. Karena once you wear it, you
shouldn’t to take it off.
13. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi tentang
jilbab yang Anda pilih?
Iya. Bebas dan rasional. Karena, yang pertama, jilbab itu hal yang wajib. Karena
menurut saya, kita pakek jelbab itu nggak bikin aktivitas kita terbatas.
14. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima?
Gini, sebenarnya bentuk tubuh perempuan dan laki-laki itu beda. Perempuan,
mau pakek baju selonggar apa pun, pasti terbentuk tubuhnya itu. Ya, memang,
bentuk tubuh perempuan itu lebih menarik kayak gitu. Ada lekukan S-nya gitu.
Jadi, ya kalau bentuk tubuh perempuan berlekuk ya itu hal yang alamiah yang
Allah berikan kepada kita dan kita nggak bisa nyembunyikan itu. Jadi, menurut
saya, aturan menggunakan baju panjang yang nggak ketat itu dapat saya terima,
tapi bukan berarti perempuan lain nggak boleh pake baju kaya gitu, ya. Itu hak
mereka.
157

15. Apakah Anda nyaman dengan aturan tersebut?


Nggak nyaman soalnya kami tuh tertekan. Ya, kalau menurut saya, perempuan
selalu serba salah kalau udah ngomongin bentuk tubuh. Karena baju longgar
pun tetap ngebentuk. Kalaupun ada orang pake baju longgar, tapi karena bentuk
tubuhnya memang jelas tercetak, pasti tetap disalahin sama polisi syariat tu.
Dan mereka semacam nggak mengakui hal alamiah ini. Terus yang disuruh
ngurusin nafsu cowok juga kami-kami yang perempuan. Harusnya kan itu
urusan mereka. Pokonya, peraturan busana muslim ini, secara nggak langsung
memosisikan kami seakan-akan untuk harus berpakaian agar laki-laki tidak
bernafsu. Baju kami diatur untuk kepentingan mereka. Padahal ini kan punya
kami. Padahal kalo masalah nafsu, cewek kan juga nafsu. Cuma kami nggak
boleh nunjukin, kan. Karena secara sosial itu salah.
16. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Nggak. Soalnya, ya, yang saya bilang itu. Cara kita berpakaian dan memutuskan
untuk pake jilbab itu bukan masalah kita dengan pemerintah, bukan masalah
kita dengan masyarakat, tapi itu masalah kita dengan agamanya sendiri. Jadi,
itu hal yang privasi kalok menurut saya. Jadi, jangan berpakaian kayak gini dan
diikuti dengan kekerasan, saya nggak setuju.
17. Perihal sweeping busana muslim, apakah Anda pernah ditangkap?
Nggak pernah.
18. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Kalau menurut saya, mau gimana pun kami tu berpakaian tu, nggak ada yang
boleh larang. Nggak ada yang namanya standar pakaian tertentu.
19. Jika terjaring sweeping, respons apa yang Anda berikan?
Saya ikutin aja apa yang disuruh. Malas ribut soalnya. Tapi, saya bakal marah
kalo sampe baju atau celana saya dicoret pake cat kayak yang baru-baru ini
terjadi.
20. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
158

Ya, karena itu overlapping antara budaya patriarki sama agama. Cewek itu
dianggap harus sesuai dengan aturan. Seakan harus diatur. Sedangkan cowok
bisa bebas.
21. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Jika tidak, mengapa? Apakah
prinsip kesetaraan ini dapat diwujudkan dalam syariat Islam?
Setara. Sebenarnya di dalam Islam sendiri nggak ada yang namanya
diskriminasi jenis kelamin. Cuma, di masyarakat kita, yang overlapping sama
syariatnya, budaya patriarki juga, ya, jadi tu, agama dijadikan alasan yang kuat
untuk menjalankan patriarki.
Iya. Karena sebenarnya secara fisik kekuatan perempuan dan laki-laki itu sama.
Tapi apa yang membuat kekuatan perempuan itu lebih lemah? Anggapan
masyarakat. Pasti kita seringkali dibilang ‘Ih itu nggak bisa angkat. Suruh
cowok aja’. Padahal saya bisa ngangkat kalo dicoba. Hal sederhana yang saya
rasain itu ketika saya bisa ngangkat galon. Tapi Mamak saya selalu bilang, ‘Eh,
jangan. Tunggu Ayah saja’.
Dan dosen saya pernah bilang, di kelas Kebudayaan Populer, sebenarnya
kekuatan fisik laki-laki dan perempuan tu sama. Maka, seharusnya, kompetisi
tinju itu nggak seharusnya perempuan dan laki-laki dipisah. Bisa aja kalo laki-
laki melawan perempuan dan perempuan menang. Tapi kalo mau fair, berat
badannya harus sama. Dan itu bukan berarti cowok menang, bisa jadi cewek
menang. Memang secara fisik, kelemahan secara fisik cewek ada di bahu.
Kalau masalah pendidikan, masalah sosial, itu kembali lagi ke patriarki.
Padahal cewek punya hak dan kesempatan yang sama dengan cowok.
Konstruksi sosial semua. Kalau saya sendiri, saya merasa punya rasionalitas dan
otonomi atas diri sendiri. Tapi nggak semua cewek Aceh punya. Karena mereka
dikekang sama budaya patriarki.
22. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan
apa yang Anda inginkan?
Belom. Karena ya mungkin kalok persenannya itu baru 60 persen udah sesuai.
40%nya tu belom. Soalnya masih ada pemahaman masyarakat itu perempuan
159

itu harus sesuai dengan hal tertentu. Misalnya perempuan itu harus feminin,
harus gimana gitu, harus yang lady like. Sedangkan saya nggak suka pake baju
yang girly. Lebih suka kaos dan kemeja yang androgini. Dan karena itu saya
dianggap bukan sebagai perempuan yang utuh. Ya, jadinya saya kan
menganggap diri saya itu bukan perempuan yang sesunggunya. Tapi saya
berusaha mengubah itu.
23. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Mungkin, 95 persen enggak dari ancaman lingkungan. Karena saya sendiri
berusaha untuk nggak peduli dengan pandangan orang lain terhadap saya. Misal
kayak tadi saya ingin mengubah pandangan kalo perempuan itu nggak harus
feminin. Sekarang, sih, ngerasa bebas. Tapi pas saya di SMA, itu iya. Karena
waktu itu saya stres sendiri. Saya merasa bersalah terhadap diri saya sendiri.
Jadi, waktu SMA tu saya tertekan dengan, ya, Mamak saya sendiri yang
maksain saya untuk harus bisa masak. Sedangkan saya memang nggak suka
masak. Dan Mamak saya bilang ‘Kamu bukan perempuan kalo nggak bisa
masak’. Tapi sekarang saya udah nggak peduli lagi dengan perkataan itu. Saya
adalah perempuan menurut versi saya sendiri. Saya percaya perempuan itu
punya otoritas, bisa menentukan keputusan sendiri, bebas untuk melakukan apa
pun sesuai nalarnya. Terlebih ketika saya mengambil mata kuliah Gender.
24. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Iya. Soalnya kayak yang saya bilang tadi. Karena soalnya dulu apa-apa ikutin
apa yang orang bilang. Tapi sekarang saya udah nggak mau lagi kayak gitu.
25. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Walaupun kesempurnaan itu nggak ada, tapi saya merasa tubuh saya ini
sempurna buat saya. Soalnya kenapa? Karena bisa saya bilang, saya bisa
mengatur tubuh saya sendiri. Iya. Tapi susah untuk menjalankan itu karena kita
pasti akan dikontrol oleh lingkungan sekitar.
160

Data Diri Narasumber III


Nama/Inisial : Melodi (Samaran)
Tempat Tinggal : Lamnyong
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Kristen Protestan
Status : Mahasiswa

1. Apakah yang Anda ketahui tentang syariat Islam?


Yang saya ketahui tentang syariat Islam itu adalah hukum yang mengikat
orang-orang Islam dalam kehidupan mereka, gitu. Masalah berpakaian, lebih ke
situ yang saya tahu tentang syariat Islam.
2. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Secara formal kayak gitu belum pernah, yang seringnya, kayak misalnya saya
melihat langsung penerapannya, terus tanya-tanya ke orang. Jadi, dapat
pemahamannya dari orang, lihat secara langsung juga.
3. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan atau diskriminasi di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Masih terasa. Dalam artian, sebagian masyarakat Aceh masih berpandangan
kalau perempuan ujung-ujungnya di dapur. Terus kalau dari peraturan, nggak
tau, tuh, Islam atau bukan, perempuan tuh kalau bisa jangan memimpin karena
itu bagiannya laki-laki, gitu. Kaya misalnya dulu di kelas, kalau ada pemilihan
ketua kelas pasti bilangnya ‘Udah, kamu aja. Kamu kan cowok’. Gitu.
4. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
161

Respons saya terhadap syariat Islam yang terlalu berfokus pada perempuan itu.
Kasihan aja, gitu. Lebih ke kasihan, sih. Kayak terlalu dikekang dan sebenarnya
saya sendiri pun melihat nirfaedah aja, gitu. Dikekang, tetapi nggak ada alasan
yang gimana, gitu. Ini saya ngomong sebagai observant, ya, soalnya ‘kan yang
melihat penerapannya di Aceh. Jadi, respons saya, ya, kayak kasihan gitu aja.
Saya pun SMP pun pake jilbab, kan. Waktu SMP itu kenapa harus pake karena
wajib—di SMP negeri gitu, kan. Terus, ya, karena saya juga merasa itu bukan
satu hal yang melanggar di agama saya juga. Bukan satu hal yang prinsipal yang
nggak boleh dilanggar.
Terus, respons orang awal-awal ada yang positif, ada yang negatif. ‘Ih, cantik,
sih, kalau pake. Udah, pake aja’. Malah ngajak-ngajak gitu kaya pindah agama.
Terus yang negatif kaya, dulu kan saya pake itu kan kalau cuma di sekolah aja,
kan. Kalau di luar lepas. Terus kata mereka itu katanya menghina Islam karena
pake-lepas-pake-lepas. Gitu katanya gitu, respons orang-orang.
Itu paksaan, sih, tapi, ya, nggak apa. Tapi kalau dikasih pilihan, sih, saya nggak
pake. Saya pikir itu peraturannya cuma sebatas SMP, tapi teman gereja saya ada
yang pake di SMA-nya. Tapi cuma di beberapa SMA aja, deh, kayanya. Nggak
enak tau. Panas.
5. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Jilbab menurut saya, ya? Definisi, ya? Jilbab itu adalah kain yang menutupi
rambutnya perempuan—sesimpel itu. Lebih ke…3, deh. Ya, sekadar dipake aja
karena takut sama peraturan, gitu. Soalnya nggak dikit yang saya lihat, teman-
teman saya yang sudah dewasa kebanyakan udah hijrah itu paham apa yang
mereka lakuin. Tapi kalau di jalan itu saya lihat jilbab cuma sekadar kewajiban
karena takut dengan aturan aja gitu.
6. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
162

Yang tiap hari gitu? Tante saya pakek. Dia bukan Islam, kerjanya di rumah
sakit. Banyak orang gereja saya yang kaya gitu.
7. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
‘Ngapaen lo? Nggak ada kerjaan apa?’ Aneh aja. Mereka nggak punya hak.
Nggak masuk akal menurut saya.
8. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Iyalah berhak. Karena itu relatif banget, ya, masalah tentang busana muslim itu.
Kecuali kalau di qanun ada dibuat ukuran, kalau ketebalan kain yang harus
dipakai itu berapa dan semacamnya. Itu kembali lagi ke perspektif masing-
masing menilai itu busana muslimah atau belum. Itu sifatnya kualitatif.
9. Sweeping di Banda Aceh terus berjalan. Merdeka.com (2014) mengatakan
bahwa Wilayatul Hisbah menghentikan dua perempuan yang tidak
mengenakan jilbab dan menginterogasinya. Namun, ternyata dua
perempuan tersebut adalah nonmuslim. Maka, petugas melepaskan kedua
perempuan itu. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika Samsuddin,
Kasi Penegakan Pelanggaran Satpol PP WH, meminta perempuan
nonmuslim untuk tetap mengenakan jilbab atau pakaian muslimat dalam
rangka menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat
Islam. Apakah perempuan nonmuslim di Aceh juga tidak memiliki akses
terhadap pilihan atas ekspresi dirinya?
Ini masalah jilbab, ya? Kalau masalah jilbab saya keberatan. Soalnya apa, ya,
kecuali kalau pakaian. Mungkin kalau pakaian yang terlalu gimana-gimana saya
masih kayak ‘Oh, yaudah’. Tapi kalok jelbab saya merasa agak tidak rela gitu
soalnya, siapa yang peduli? Mungkin pun kalau cowok ngeliat cewek nggak
163

pake kerudung cuma bikin dia noleh, tapi nggak sampe bikin dia, you know-lah
maksudnya gimana kan. Jadinya saya kayak nggak dapat esensinya kenapa.
Menurut saya, syariat Islam itu hanya berlaku untuk yang Islam. Dan saya
dengan tidak memakai jilbab, itu bukan termasuk tidak menghormati karena
Nggak deh untuk jilbab, tapi untuk pakaian saya bisa nerima. Tapi kalau jilbab,
itu sangat nggak related aja gitu sama tidak menghormati. Dan argumen bapak
itu nggak rasional. Dan nggak nyaman kalau ada peraturan kayak gitu.
164

Data Diri Narasumber IV


Nama/Inisial : Naila Amalia
Tempat Tinggal : Lhokseumawe
Tahun Kelahiran : 1991
Agama : Islam
Status : Ibu Rumah Tangga

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Sangking banyak dan nggak jelasnya, yang terpikirkan di saya itu tentang
persepsi manusianya yang terbagi dua. Satu, yang masih otentik sekali kepada
Islam dan budaya. Satu lagi mereka, sekelompok anak muda, yang cuma
ngikutin keotentikan itu, tapi sebenarnya jati dirinya udah nggak di situ lagi.
Jadi sebenarnya generasi yang seumuran saya ini sebenarnya udah nggak ada
islami-islaminya yang sejati lagi. Mereka cuma ngikutin hal yang lama, hal yang
lama yang punya orang tua-orang tua kita itu, tapi sebenarnya mereka itu udah
kehilangan jati diri mereka, sih. Sama seperti zaman orang tuanya Nabi Ibrahim,
mereka nyembah berhala, ya, karena memang harus menyembah aja. Sama kaya
kita sekarang, kita Islam karena keturunan, tetapi sebenarnya nggak paham.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX?
Yang saya tahu tentang perempuan Aceh di masa lampau, ya, itulah sejatinya
perempuan Aceh. Mereka itu, menurut saya, sangat sangat sangat islami dan
bersahaja. Mereka terindoktrinisasi dengan pemahaman mereka sendiri dan
mereka mantap. Didoktrin dengan sangat mantap. Mereka itu orang-orang yang
kuat dengan pemikirannya pada masa itu, sih.
3. Apakah yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam yang sesungguhnya, ya? Pertama saya pengen bilang dulu kalau
syariat Islam yang ada di Aceh itu belum syariat Islam seratos persen. Tapi itu
peraturan daerah yang islami, tapi itu bukan syariat Islam. Syariat Islam yang
sebenarnya itu yang sesuai dengan hadis dan Alquran. Itu harga mati syariat
165

Islam. Dalil dan hadis. Nggak bisa ditambah, nggak bisa dikurang. Dan
sebenarnya, saya adalah yang termasuk setuju sekali dengan syariat Islam, tapi
tidak untuk Indonesia.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah?
Nggak sama sekali.
5. Apakah Anda mencari tahu tentang syariat Islam dari orang tua, teman,
atau kelompok lain?
Kajian, sih. Jadi, pada suatu hari jadi berpikir gitu. Kita kan beragama, tapi apa
bedanya kita dengan penyembah berhala kalau kita beragama dengan cara yang
sama? Diturunkan aja, gitu, tanpa mencari tau. Emang benar kebenaran Allah?
Kebenaran tauhid? Emang itu semua benar? Akhirnya saya cari tau. Akhirnya
saya ngaji di tempat orang-orang bisa menyebutnya Muhammadiyah, Asnah.
Satu lagi saya ke tempat yang Aswaja. Dari situ saya mendapatkan kesimpulan
kalau agama itu udah cukup didapat dari hadis dan dalil. Akhirnya saya memilih
ajaran salafi, itu ada di Masjid Oman, yang benar-benar dari Madinah yang
ngajarin Islam pada masa nabi. Dan saya masih belajar, sih, sampai sekarang.
6. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Setuju sekali. Sangat setuju. Memang ini udah jauh kali, sih. Memang gini, ya,
kita itu pengen mendekati syariat Islam, bawa-bawa nama syariat, tapi
sebenarnya kita menjauhi hak asasi manusia yang sebenarnya. Bawa-bawa
syariat, tapi kita lupa sama HAM yang sebenarnya. Itulah Aceh sekarang.
7. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
166

terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa


mendapatkan perbedaan atau diskriminasi di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Di keluarga, perannya saya biasa aja, sih. Karena satu-satunya perempuan, jadi,
ya, kalau di keluarga tuh kalau ada kerjaan yang harus dikerjain oleh
perempuan, ya, saya, sih, yang ngerjain. Pada akhirnya harus pulang ke rumah.
Ya, kalau budaya kami, ya, anak perempuan harus jaga rumah. Harus jaga orang
tua. Jadi, saya, ya kayak perempuan dalam umumnya Aceh-lah akhirnya
setinggi apa pun cita-cita saya.
Kalau di lingkup keluarga, saya sendiri udah berteman dengan laki-laki.
Pacaran aja udah dari kelas 1 SMP sama suami saya yang sekarang. Nggak
pernah ada larangan, nggak pernah dibatas-batasin. Biasa aja, nggak apa. Jadi,
saya nggak harus sembunyi-sembunyi. Harus bohongin keluarga.
Untuk urusan rumah tangga, saya dan suami setara, ya, tugasnya. Karena
mungkin usia kami sebaya. Jadi, tugasnya sama aja. Kadang dia nyuci, cuci
piring. Kami biasa aja, sih. Kadang dia nggak bisa nyeberang di jalan-jalan
besar kayak di Jakarta, saya yang nyeberangin. Saya mau belajar nyetir juga.
Jadi, nggak ada masalah.
Lingkungan keluarga nggak mempermasalahin. Tapi tetangga-tetangga masih
ngomongin. Saya nggak boleh dijemput-jemput sama cowok. Masih suka
diomongin kalau yang jemput itu kaca mobilnya gelap. Mereka nggak pikir di
dalam mobil itu yang jemput cowok atau cewek. Mereka masih julid. Tapi
keluarga saya nggak.
Saya nggak ngerasa, sih, ada diskriminasi yang gimana-gimana di lingkungan
kerja. Tapi ada, sih, kalo ada project yang turun ke lapangan, pasti biasanya
laki-laki yang diterjunin. Tapi olah datanya ya tetap perempuan. Saya sendiri
sebenarnya capek, sih, kalau terjun ke lapangan. Apalagi misalnya ke tambak,
ke point-point di GPS. Jadi, ya, kalau ada laki-laki, ya, biarin mereka aja.
8. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam di Aceh yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
167

Respon saya sebenarnya, ya, kayak orang biasa, sih, lumrah. Dan kalau
menerapkan syariat Islam, hal itu memang esensial. Tapi kalau dalam perihal
tubuh perempuan, ya, itu tuh bukan dengan cara paksaan, dengan
mempermalukan orang, itu tuh nggak. Tapi kaya perempuannya tudididik. Jadi
ada wadah pendidikan agama untuk ibu dan untuk keluarga. Itu baru benar
pendidikan syariat Islam yang baik, bukan dengan label dari luar gitu, lho.
Bukan persoalan ‘Kamu harus menutup ini’, tapi pemahamannya nggak ada.
Dan mereka nggak dibantu untuk paham.
9. Aceh dikenal sebagai kota seribu kedai kopi. Apakah Anda sering ngupi?
Biasanya pukul berapa dan bersama siapa? Apakah Anda pernah ngupi
sampai larut malam? Bagaimana respons dari para pengunjung yang ada
di kedai kopi tersebut—yang notabene laki-laki?
Ya, sering, sih, ke tempat ngopi tapi nggak minum kopi. Bebas, sih, biasanya
sama kawan. Saya ngopi sampai jam 12. Sampai jam 11. Dan itu nggak
masalah. Sempat, sih, ada peraturan kalau cewek nggak boleh pulang di atas
jam 11, tapi, ya, lagi-lagi peraturan itu nggak jalan. Toh, peraturan itu juga
nggak diperlukan.
10. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan
kapan kali pertama Anda mengenakannya?
Definisi menurut saya, sesuai dengan iman saya, sih. Apa yang saya percaya.
Jilbab itu memang untuk melindungi wanita. Itu bisa disebut sebagai prodak
dalam Islam yang digunakan untuk melindungi wanita. Dan saya setuju kalau
jilbab itu pada akhirnya melindungi perempuan, sih.
Kelas 5 SD karena aturan. Tapi karena di sekolah pake jilbab, jadi kalo les juga
pake jilbab. Sekalian. Dan semua orang lagi heboh-heboh pake jilbab, jadi, ya,
ikut-ikut juga.
168

11. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Sejak syariat juga Mamak saya. Di keluarga saya nggak ada. Bahkan
saya, SMA sama kuliah S-1, kalau saya lagi di Malaysia atau lagi di Medan,
saya lepas jilbab, lho. Saya gila, kan? Dan orang tua saya, saya lepas jilbab pun
nggak ada masalah.
12. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Ya, jelas yang pertamalah. Karena menurut saya, hadis dan dalil itu final—
bahkan cara saya berjilbab sekarang pun masih salah. Karena cara pake jilbab
yang benar itu menjulurkan kain ke seluruh tubuh dan saya belum ngelakuin
itu. Tapi saya ngerasasafe untuk tidak ngelakuin itu sekarang karena ada juga
hadis yang berpendapat tentang ‘Kalau kita di dalam suatu lingkungan yang
kebanyakan orang memakai baju berwarna-warni, ya, kita nggak masalah
berwarna-warni karena kita adalah bagian dari mereka dan mereka nggak
masalah melihat kita itu sebagai orang yang mencolok’. Saya masih pake baju
kemeja yang biasa aja, pokonya nggak gimana-gimana kali kaya orang yang
bajunya panjang-panjang. Tapi saya merasa safe, kok, dari pandangan laki-laki.
Saya merasa nggak begitu mencolok, jadi aman aja gitu.

13. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi yang Anda
pilih?
Saya milihnya hadis dan dalil, kan, ya. Jujur saya merasa nggak bebas, sih. Saya
jawab dengan suara kecil, ya. Karena saya sedih, udah percaya dan udah
memilih hadis dan dalil, tapi saya kok nggak sanggopjalanin. Saya masih
169

pengen terlihat rapi. Masih pakai baju berwarna-warni. Tapi, ya, karena saya
merasa ini nggak mengurangi nilai saya sebagai manusia. Nggak ada pun cowok
yang bakal tertarik dengan saya.
Jadi misalnya juga apa yang saya dapatkan dari kelompok kajian saya yang
melarang cewek untuk salaman dengan cowok. Tapi, ya, saya lebih memilih
untuk ngambil ilmunya aja, nggak untuk praktek. Saya masih menggunakan
rasional saya soalnya. Karena menurut saya itu nggak masalah.
14. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima? Apakah Anda nyaman
dengan aturan tersebut?
Nggak. Saya nggak nyaman dengan aturannya. Kalau mau bener-bener, ya,
caranya nggak kayak gini. Peraturan yang sekarang ini saya nggak nyaman.
Karena sebenernya pelakunya dalam sebuah kemunafikan besar, lho.
15. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Ya, nggak setuju. Saya lebih suka Aceh sebelum syariat Islam, sih. Jadi, semua
syariat itu dilakukan per personal dari hati dengan jujur dari keluarga semuanya.
16. Perihal sweeping busana muslim, apakah Anda pernah ditangkap?
Nggak pernah. Cuma saya pernah dulu kejadian di Simpang Mesra ada razia
celana untuk anak mahasiswa. Kan saya FKIP, jadi pake rok. Disuruh lewat.
Cuma saya lihat sendiri, sampek itu tuh udah membahayakan kali. Si yang
perempuan pake celana ini dia nabrak dia nerobos terus dihadang sama Satpol
PP-nya terus ketabrak Satpol PP-nya. Mereka dua-duanya celaka karena itu.

17. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai


tindakan kekerasan dan penindasan?
Ya, kekerasanlah.
18. Jika terjaring sweeping, respons apa yang Anda berikan?
Yang pertama kali saya lakuin, ya, saya nggak setuju, sih. Soalnya saya pasti
bakal minta ‘Apa? Atas dasar apa? Dasarnya mana?’, kaya gitu. ‘Apa caranya
kayak gini? Apa cara kayak gini ada undang-undangnya? Ini bukannya nyalahin
170

konstitusi?’ tapi saya nggak yakin, sih, di sini mereka mau ngerti. Malah mereka
malah makin marah dan makin nganggap kita sinting, sih. Dan saya agak ribet
untuk memperjuangkan itu. Hal yang mereka nggak ngerti.
19. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena kesalahan yang dilakukan oleh perempuan dalam syariat lebih besar,
sih, dibandingkan laki-laki. Kelihatan daripada laki-laki. Karena memang ini,
ya, ide utama untuk sweeping itu sendiri kan aurat. Jadi, ya, pasti perempuanlah.
Laki-laki auratnya semanalah.
20. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Berhak, sih. Cuma ada pandangan secara umum yang udah semuanya sama-
sama tau. Misal nggak membentuk sampe nyeplak-nyeplak kali. Jadi, kalau ada
yang kaya gitu dan dia ketangkap, ya, wajar-wajar aja. Udah lumrah-lumrah
aja. Yang jelas menutup yang harus ditutup.
21. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Apakah prinsip kesetaraan ini
dapat diwujudkan dalam syariat Islam? Dan jika tidak, mengapa?
Tidak. Laki-laki dan wanita itu nggak, tapi dalam beberapa hal itu bisa setara.
Tapi sebenarnya umum banget itu tuh bener-bener nggak setara karena
perempuan itu memang menggunakan perasaan. Misalnya perempuan mimpin,
dia memang gunain perasaan, sih, dalam kepemimpinannya. Laki-laki tu
cenderung tenang. Terus, laki-laki tu, dia tu kuat. Dan memang laki-laki dan
perempuan itu nggak setara. Menurut saya.
22. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan
apa yang Anda inginkan?
171

Belom.
23. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Bukan sama sekali.
24. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Udah. Tapi itu baru sejak tahun 2013. Ketika saya hijrah, ketika saya belajar
mencari tahu kenapa begini kenapa begitu. Kenapa harus pake jilbab. Dan dari
situ saya mendapatkan pengetahuan kenapa saya harus memakai itu.
25. BagaimanaAnda memahami tubuh Anda sendiri?
Saya memahami tubuh saya sendiri sekaligus memaknai tubuh orang lain juga,
kan. Jadi, menurut saya, tubuh saya cukup aman, sih, untuk pakek baju apa pun
karena memang tidak terlalu membentuk. Kalau pake baju kemeja di atas pantat
dan celana kulot aja saya masih merasa aman, sih. Masih merasa nyaman dan
sopan karena nggak ada bagian tubuh yang gimana gitu. Ya, pastilah percaya.
Tubuhku otoritasku. Benar, saya setuju.
172

Data Diri Narasumber V


Nama/Inisial : SR
Tempat Tinggal : Darussalam
Tahun Kelahiran : 1978
Agama : Islam
Status : PNS

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Aceh itu kota yang sebenarnya ramah bagi pendatang, ya. Mereka punya local
wisdom untuk memuliakan tamu. Jadi, itu yang menggambarkan Aceh
sebenarnya. Bahwa Aceh itu ramah, sangat welcome terhadap orang luar, tamu.
Tapi kan sejak selama ini dalam konteks syariat Islam, dengan hukuman
cambuk, dan lain-lain, orang-orang takut untuk datang ke Aceh. Razia-razia itu.
Nah, mungkin ada sedikit pergeseran.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya sebenarnya nggak paham, ya, sejarah-sejarah Aceh. Tapi yang saya dapat
informasi selama ini, dari pelajaran, dari diskusi dengan kawan-kawan, Aceh
itu sangat tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya
dalam konteks pemerintahan. Bahkan dalam situasi perang pun perempuan
Aceh siap, tidak hanya sebagai perawat, penjaga orang yang sakit karena
perang, tetapi juga sebagai komandan perang. Kan Aceh punya Laksamana
Malahayati yang sangat terkenal dengan kepemimpinan perangnya. Perempuan
Aceh dulu kuat dan mereka di depan.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam itu menurut saya itu syariat menurut ajaran agama yang rahmatan
lil alamin untuk semua orang. Nggak cuma untuk umat muslim, tapi juga untuk
semua orang. Menurut saya, sih, gitu.
173

4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif


tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Apakah Anda mencari
tahu tentang syariat Islam dari orang tua, teman, atau kelompok lain?
Saya nggak pernah dapat informasi apa pun tentang syariat Islam dari
pemerintah, ya. Karena menurut saya penerapan syariat Islam sendiri sejak
awalnya tidak dimulai dengan sosialisasi yang sangat kuat. Tidak ada
pemahaman. Begini, ya, ketika saya beberapa tahun bekerja langsung terjun ke
masyarakat. Ibu-ibu di kampong itu saya tanya ‘Ibu-ibu tau nggak tentang
qanun?’ ‘Nggak tau’. Saya tanya lagi lebih dalam ‘Ibu-ibu tau nggak qanun
jinayat?’ ‘Oh nggak tau’. Saya tanya lagi ‘Ibu-ibu tau nggak syariat Islam?’
‘Oh, tau’. ‘Apayang Ibuk ketahui tentang syariat Islam?’ ‘Cambuk’, jawab
mereka. Jadi yang mereka pahami tu syariat Islam cuma cambuk. Itu mirisnya
hari ini.
5. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Ya, betul tu. Saya sepakat tu. Karena kan dulu itu pas diimplementasikan kan
orang nganggapnya itu hadiah dari konflik.
6. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan atau diskriminasi di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Kalau di keluarga saya, walaupun keluarga saya campuran ada keturunan Jawa
juga, tapi karena berpuluh-puluh tahun tinggal di Aceh, perbedaan antara laki-
laki dan perempuan tu terasa sekali. Contohnya, ya, misalnya dalam Ramadan.
174

Ramadan itu kan kita buka puasa sama-sama tu. Itu Ibu saya tu mengkhususkan
menyediakan untuk laki-laki. Untuk abang laki-laki atau adik laki-laki. Jadi dia
dibikin spesial. Ditarok spesial gitu. Misalnya dibiken makanan, dibiken
masakan, disediain pireng gitu. Kalau kita perempuan-perempuan nggak gitu.
Kadang adik saya juga protes, ‘Mama ni apa beda-bedain gitu?’. Tapi, ya, gitu,
di masyarakat Aceh tu dia diutamakan, didahulukan, jadi dalam relasi saya di
pekerjaan, sih, lebih terasa. Dari 50 pegawai, cuma saya satu orang perempuan.
Yang dirasakan memang minoritas perempuan berada di lingkup yang
mayoritas laki-laki. Jadinya, kita jadi yang pegang urusan-urusan domestik.
Misalnya saya jadi seksi konsumsi gitu-gitu kalau acara. Tapi kalau dalam relasi
suami-istri, saya aman. Nggak punya masalah relasi keluarga. Kami kalau apa-
apa kompromi. Kalau di lingkungan masyarakat, ya, gitu. Patriarki cukup
sangat kuat.
7. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Saya sebenarnya nggak setuju. Karena seharusnya penerapan syariat Islam tu
pertama harus diedukasi dulu. Masyarakat harus diberi pemahaman dulu
tentang implementasi syarat Islam itu sendiri dulu. Satu lagi adalah APA.
Mereka juga nggak satu kepala; nggak sama persepinya. Jadinya misal ada satu
yang pake celana boleh lewat, ada juga yang dirazia nggak boleh lewat.
8. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Pemahaman saya, yang saya dapatkan terkait jilbab tu, persoalan bagaimana
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Yang saya pahami, ya. Kalau di
Aceh tu pergeserannya beda sekarang. Kalau di Aceh tu, kalau nggak berjilbab
tu, capnya langsung dicap nonmuslim. Kalo dulu tu kan nggak ada kek gitu.
Kalo nggak mau berjilbab, yaudah nggak apa. Karena nggak ada perempuan
175

Aceh yang keluar nggak pake jilbab. Dan di Aceh tu Islam simbolisnya kuat
kali.
9. Alasan terbesar Anda mau mengenakan jilbab?
Karena pandangan masyarakat, sih. Karena pekerjaan saya ini bisa disebut
sebagai public figure, kan.
10. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Keluarga saya dulu malah pake mickey-minnie. Semuanya baru pake
setelah syariat Islam. Kecuali adik saya soalnya dulu dia sekolah di MTsN. Kan
diwajibkan mengenakan jilbab.
11. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Kalok saya memilih yang konservatif. Saya pertama karena mengikuti hadis
yang dibilang Rasulullah supaya‘Bilang pada anak-anak perempuanmu dan
istrimu untuk menutupi dada dengan kain panjang’. Jadi saya menganggapnya
itu sunah yang dianjurkan, tapi saya nggak mengklaim itu kewajiban. Tapi
ketika kemudian ketika sekarang syariat Islam, itu menjadi diwajibkan. Ketika
dia mulai diformulasikan ke dalam kebijakan, itu jadi tunggal kebenarannya.
Jadinya nggak bisa mengakomodasi kepentingan aliran-aliran atau mazhab lain.
Jadi kalau saya nggak mau pake jilbab, mau nggak mau harus pakek. Saya
punya pengalaman awal pakek jilbab tu karena terpaksa. Pas saya kuliah karena
dosen saya suruh pake jilbab. ‘Kalo kamu mau masuk kelas saya, kamu harus
pake jilbab, ya. Kalau nggak, nggak usah masuk ke kelas saya’. Akhirnya saya
pake jilbab karena terpaksa.
12. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi yang Anda
pilih?
176

Ya nggaklah pasti. Karena dari awal dipaksa, kan. Padahal jilbab tu kan pilihan,
kan? Jilbab tu sama kayak pilihan kita mau pake rok, mau pake jins, atau
semacamnya.
13. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima?
Saya nggak terima, sih. Karena menurut saya, yang mereka bikin
standarisasinya syariat itu, perempuan itu kan harus memakai rok atau apa itu
namanya gamis gitu, yang panjang gitu. Saya nggak nyaman sebenarnya.
Karena apa? Karena dalam bekerja saya merasa terganggu. Saya sering
tersandung setiap naik tangga. Saya lebih nyaman pake celana.
14. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Sebenarnya, ya, polisi syariat itu ditugasi untuk memantau jalannya peraturan
syariat (qanun). Untuk mengingatkan, untuk mengimbau, hal-hal seperti itu.
Bukan kemudian dia yang memberikan sanksi, yang memberikan kekerasan.
Juga bahasa-bahasanya yang menurut kawan-kawan kita itu bahasa-bahasanya
sangat tidak manusiawi. Bahkan ada yang melakukan pelecehan sampe
ngerogoh celana. Sekarang, bicara syariat Islam, nggak ada lagi ranah privat,
semua publik. Kayak saya biasanya di depan rumah jemur baju nggak pake
jilbab, itu kalo ada WH bisa aja ditegor itu. Nggak terima lagi mereka kalo saya
jelasin itu ranah privat saya.
15. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Menurut saya iya, sih. Karena nggak perlu sebenarnya ada razia-razia gitu. Itu
kan termasuk kekerasan, membuat orang nggak nyaman. Karena kalau ada
razia, dilihat dari jaoh, orang tu langsung mutar balek, karena takot dan dia
nggak nyaman. Karena dia tu tugasnya bukan di situ.
16. Jika terjaring sweeping, respons apa yang Anda berikan?
Yang pertama saya lakukan, ‘Saya salah apa?’. Karena saya ngerti hukum, ya,
saya bakal tanya ‘Pasal mana?’. Karena saya yakin mereka juga nggak ngerti
pasalnya gimana.
177

17. Kalau yang merazia adalah WH, apakah Anda setuju jika masyarakat
(terutama kelompok laki-laki) ikut merazia?
Oh, itu jelas salah tu. Nah, itu juga sebenarnya salah satu tafsiran dalam
kebijakan. Kebijakan ini kan multitafsir. Setiap orang bisa menafsirkan. Dan
sekarang masyarakat pada saat ini merasa punya kekuasaan. Punya authority
untuk ikut kayak gini.
18. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena kan perempuan itu dianggap lemah. Di-sweeping gitu-gitu kan diam-
diam aja. Yang dianggap gampang dikontrol tu kan perempuan, karena
perempuan diliat powerless.
19. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Yang nyaman buat saya dan nyaman juga buat orang lain yang liat.
20. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Apakah prinsip kesetaraan ini dapat diwujudkan dalam syariat Islam?
Setara, seharusnya setara. Tapi itu karena konstruksi sosial, ya. Kenapa? Karena
kita lahir sama, kok. Laki-laki perempuan laher telanjang bulat, kok. Sama aja.
Nggak ada yang lahir dengan sesuatu yang wah.
Perempuan memiliki rasionalitas dan kebebasan yang sama. Kita punya otoritas
terhadap tubuh kita sendiri. Terserah kita. Bukan negara yang atur.
Secara Islam tu sangat sangat sangat sangat. Nggak tau, ya. Saya
menginterpretasikan Islam itu sangat menghargai kedudukan perempuan.
Sampe-sampe ada surat An-Nisa, kan. Dalam konteks Islam yang saya pahami,
178

ya laki-laki dan perempuan itu setara. Cuma kembali lagi kepada hadis-hadis
yang selama ini dianut masyarakat.
21. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Ya, saya yang sekarang tuh adalah saya yang bentukan Aceh hari ini. Jadi kalo
saya mau jadi bentukan seperti yang bukan Aceh mau, saya harus keluar dulu
dari Aceh.
22. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Ya, saya cenderung mengikuti apa yang dimau di Aceh, ya. Tanda kutip untuk
mencari aman.
23. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Ya otonomi tubuh saya ya hak saya. My body is my right. The personal is
political.
179

Data Diri Narasumber VI


Nama/Inisial : Faried
Tempat Tinggal : Ulee Kareng, Banda Aceh
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Kalok tentang Aceh, hal yang pertama yang terlintas di benak tu tsunami.
Fenomena bersejerah kek gitu.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Yang saya tahu , sih, Laksamana Malahayati, yang mana beliau merupakan
laksamana perempuan pertama di dunia. Kek fearless, gitu. Nilai religi dan
budayanya juga tinggi.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Nggak tau.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Nggak. Saya merasa masih kurang pemahaman. Paling teman, beberapa teman
sering berdiskusi membahas itu dan saya kurang tertarik terhadap itu.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Hubungan saya dengan perempuan dari kecil mudah bergaul, tidak
membedakan cowok-cewek sih. Di rumah saya juga kadang merangkap
180

pekerjaan domestik karena tidak anak saudara perempuan selain Ibu. Tapi di
sekolah iya, karena di mana-mana saya mendengar kalau cowok harus menjadi
pempimpin. Bukan cewek.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Benar. Karena dari zaman Rasulullah wanita itu harus menutup auratnya. Dan
menutup aurat tersebut merupakan hal yang esensial.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Definisi jilbab…pelindung. Sesuai dengan dimensi-dimensi di atas.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Nggak wajib, tapi yang penting tertutup auratnya. Nggak mesti pake jilbab.
9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Ibu saya mulai sejak kuliah baru menggunakan jilbab. Karena teman-
temannya sudah mulai pake jilbab, jadi Ibu saya ikut-ikutan.
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Nggak. Karena dalam Islam tidak mengenal kekerasan.
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
181

Nggak. Karena laki-laki tu pemimpin, jadi pasti perempuan tu di bawahnya laki-


laki. Harus mendengar semua perkataan laki-laki.
12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Ya.
13. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
Nggak masalah sih kalo cowok pake celana pendek. Karena cowok lebih bebas
daripada cewek. Terus kalo cewek harus pake pakean yang tertutup karena dia
harus menutup auratnya. Kadang saya juga ngerespons, ‘Ih baju kok
membungkus banget sih. Menggunggah selera’.
14. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
Sudah, sih. Karena saya bisa membuat segala keputusan secara diri sendiri.
15. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Nggak.
16. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Nggak. Ya karena saya sekadar tau aja sih, nggak ada pendalaman terhadap apa
yang saya pilih.
17. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Tubuh saya masih menjadi persoalan orang tua saya. Masih ada hal-hal yang
nggak bisa saya lakukan karena dibatasi oleh orang tua saya.
182

Data Diri Narasumber VII


Nama/Inisial : M. Ichwan Zulfiransyah
Tempat Tinggal : Rukoh
Tahun Kelahiran : 1990
Agama : Islam
Status : Wiraswasta

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Apa, ya... Tentang Aceh tentang keislamannya. Soalnya kan Aceh kan kayak
dilabeli dengan daerah istimewa kan padahal seharusnya sama aja kayak
daerah-daerah lainnya. Keistimewaan Aceh tu terletak pada coraknya yang
islami. Menurut saya, nilai-nilai kebinekaan kurang dihargai di Aceh. Sekarang
jadi semakin parah apalagi terkait sweeping baju islami.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya kurang tau, sih, kalau masa lampau. Tapi kayaknya nggak jauh beda sama
jaman sekarang. Cuma lebih banyak peraturan dan lebih ketat peraturan jaman
sekarang.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Peraturan yang tertera dalam Alquran.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Tidak. Kurang. Iya. Dari buku, dari pertemanan diskusi dengan teman-teman.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
183

Iya, sangat. Kalok di keluarga biasanya lebih diutamakan yang jenis kelaminnya
laki-laki alasannya karena laki-laki harus lebih bermartabat dibanding
perempuan. Kalo makan pun harus lebih banyak porsinya karena laki-laki harus
lebih kuat.
Di sekolah malah lebih parah lagi. Di Aceh pemerintahnya malah nyuruh
perempuan, eh lebih mengatur perempuan lebih ketat daripada laki-laki. Seakan
laki-laki lebih diizinkan untuk sewenang-wenang daripada perempuan. Padahal
seharusnya nggak gitu. Kalo menurut saya sih harusnya sama, ya. Kalok
perempuan diatur sedemikian rupa, maka laki-laki juga.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Saya biasa aja sih soalnya bukan saya yang diatur. Tapi alangkah baiknya kalo
perempuan diberi kelonggaran terhadap peraturan itu. Menurut saya banyak
peraturan yang nggak penting.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Pakaian yang menutupi kepala perempuan.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Wajib. Karena di Alquran ditulis wajib. Oh tapi saya nggak tau surat apa yang
menerangkan kalo jilbab itu wajib. Tapi dari SD dibilang guru agama wajib.
184

9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab


sejak kecil?
Nggak. Masa-masa GAM setau saya, Karena pas masa GAM ada yang namanya
sweeping. Kalok kakak saya baru pas SMA.
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Tidak. Balik lagi ke kepentingan itu kan tujuan utamanya untuk kebaikan
masing-masing individu. Emangnya kalo mereka ngga pake jilbab, terus
pemerintahnya jadi hancur gitu? Enggak kan?
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Iya. Karena orang dari lahir tu kapasitas otaknya sama, kalok perlakuan yang
mereka dapatkan sama, maka pengaruhnya dia terhadap dunia pun sama. Punya
kemampuan yang sama dalam memengaruhi lingkungan. Jadi nggak bisa
dibedakan dari jenis kelamin saja.
12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Ya.
13. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
Tidak. Terlepas itu WH atau bukan, menurut saya sweeping itu tidak perlu
dilakukan karena mencampuri ranah privasi orang lain.
14. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
Kalo menurut saya, daripada mengekang laki-laki yang nggak pake baju,
mendingan melonggarkan peraturan untuk perempuan. Asal mereka nggak
telanjang di depan umum dan tidak merugikan orang lain, seharusnya dibiarin
aja dan nggak perlu dikekang.
15. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
185

Iya. Karena lingkungan saya membebaskan apa pun pilihan yang saya inginkan.
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Tidak.
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Tidak semua, sih. Tapi lumayanlah.
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Kayanya sebagai pribadi yang bebas, melakukan apa pun dan mengenakan apa
pun, saya melakukannya sesuai yang saya inginkan. Dan orang lain tidak bisa
mengatur hal itu.
186

Data Diri Narasumber VIII


Nama/Inisial : Muhammad Fahmi
Tempat Tinggal : Prada Utama, Banda Aceh
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa.
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Syari. Syariat Islam karena menurut saya orang luar Aceh banyak yang salah
artikan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Orang luar Aceh ini menganggap
syariat Islam di Aceh ni ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Namun pada
kenyataannya, penerapan syariat di Aceh tu masih kurang ditegak setegak-
tegaknya. Dilihat dari beberapa kasus yang ada, penerapan hukum islam itu
tajam ke bawah tumpul ke atas.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Pada masa lampau, perempuan Aceh apa, ya. Dulu tu perempuan Aceh ni hebat
sebenarnya. Contohnya, dari yang pernahnya ada kerajaan Aceh pernah
dipimpin oleh empat ratu. Ada pemimpin seperti Laksamana Malahayati yang
memimpin armada kelautan dan itu membuktikan kalo perempuan Aceh tu
sudah lebih maju.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam yang saya ketahui tu adalah hukum-hukum yang berdasarkan
Alquran dan hadis.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Nggak. Saya dapat penjelasan syariat Islam tu dari kawan ke kawan. Bahkan
saya mencari sendiri sebenarnya bagaimana syariat Islam yang diterapkan di
Aceh ni bagaimana. Saya rasa pemerintah perlu lebih menjelaskan syariat Islam
pada masyarakat agar masyarakat tidak awam, ya
187

5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di


institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Oh tentu. Dalam keluarga saya, kalo anak agam tu dia tu harus lebihlah daripada
perempuan. Contohnya tu anak cowok harus bertanggung jawab bagi hidup
kakak dan adeknya.
Lingkungan sekolah mungkin lebih ke pemimpin. Pasti kalo pemimpin di
sekolah tu cewek, pasti orang agak terheran-heran gitu agak memandang sinis.
Jadi menurut saya sebenarnya cowok dan cewek punya kapasitas yang sama
kalo dalam memimpin.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Ya, nggak boleh, ya. Harusnya peraturannya rata baik ke cowok dan cewek.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Untuk menutup aurat kepala perempuan.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
188

Nggak, sih. Tergantung kenyamanan seseorang, ya. Kalau dia nyaman dengan
jilbab, ya, oke. Tapi kalo dia nggak nyaman, terpaksa,untuk apa dijalani., ya.
Yang penting sopan kalo menurut saya.
9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Kalo bunda saya, saya lihat beberapa foto pas masih muda nggak mengenakan
jilbab. Dan lihat foto saya dan kakak saya, kakak saya juga nggak mengenakan
jilbab.
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Nggak. Nggak boleh. Karena menurut saya kalo melarang orang tu harus
dengan kelembutan, harus pelan-pelan, nggak boleh langsong begitu jumpa
langsong menggunakan kekerasan. Itu bukan jalan keluar.
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Ya, setara. Karena yang membedakan laki-laki dan perempuan menurut saya
hanya kelamin saja. Yang lain, apa yang cewek lakukan, cowok bisa lakukan.
Begitu pula sebaliknya. Itu hanya konstruksi sosial aja yang biken cewek
melakukan kebiasaan cowok itu menjadi canggung.
12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Ya.
13. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
Nggak. Karena dia bukan WH yang ditugaskan untuk melakukan sweeping. Jadi
kan dia tu udah ada tugas masing-masing.
14. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
189

Wajar. Karena itu menurut saya ikut-ikutan aja,s ih. Kayak kebanyakan orang
bilang ini, jadi terikut kayak gini. Padahal sebenarnya orang yang bilang itu
juga nggak tau juga.
15. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
Sudah.
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Ya, kayaknya.
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Terkadang belum.
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Menurut saya, saya memahami tubuh saya, saya sukak-sukak mau buat tubuh
saya gimana walaupun terkadang jika ada yang tidak biasa itu jadi canggung.
190

Data Diri Narasumber IX


Nama/Inisial :Z
Tempat Tinggal : Kajhu
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa

1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
GAM-nya, sih. Kalok GAM tu kayak, hal yang paling menarik di situ, pasti ada
tuntutan yang diminta oleh GAM. Jadi, bagaimana peran pemerintah dalam
mengurusi hak GAM tersebut.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Sebenarnya saya nggak begitu tahu tentang perempuan Aceeh pada masa
lampau. Tapi yang saya tau tempat penyebaran agama Islam itu kuat di sini.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam, ya, hukum yang berlandaskan agama Islam.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Nggak, sih. Syariat Islam dipake untuk kepentingan pihak tertentu aja. Nggak
pernah. Paling teman, beberapa teman sering berdiskusi membahas itu dan saya
kurang tertarik terhadap itu.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
191

Kalo misal saya liat, perempuan tu kan di syariat Islam tu hanya sebagai
pelengkap bagi laki-laki. Jadi, intinya gimana caranya laki-laki
mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat dan juga menguasai
dan menjadi kepala keluarga di keluarganya. Kayanyanggak ada, sih. Soalnya
laki-laku tu berperan sebagai kepala keluarga pada hakikatnya.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Kalau saya, sih, ngedukung soalnya ya namanya mata laki-laki ya gak ada yang
tau. Jadi gimana caranya cewek ini harus memosisikan diri dengan menjaga
citranya di mata lelaki.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Jilbab itu untuk menutup auratlah intinya agar terhindar dari pandangan laki-
laki.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Wajib, sih. Karena yang saya bilang tadi tu cewek tu harus bisa menjaga dirinya
di mana pun dirinya berada. Makanya jilbab itu dipergunakan. Jangan sampe
perempuan itu membuat dirinya menjadi pembuat nafsu bagi cowok.
9. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
192

Ya kalo misalnya kita lihat Aceh, kan ada otonomi khusus, jadi pantes aja gitu.
Kecuali itu dilakukan di wilayah lain. Intinya otonomi daerahnya itu sih.
10. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Kalo saya sih nggak percaya kalau laki-laki dan perempuan itu setara karena
kalau kita lihat dari awalnya kan perempuan itu tugasnya untuk melengkapi
laki-laki.
11. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
Nggg… kalau saya nggak setuju sih. Biar aja apa yang dilakukan oleh pihak
berwajib
12. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
Setuju untuk menerapkan seperti itu. Ya kalo cowok pake baju sesuai dia, itu
hak dia.
13. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
Kayaknya belum, sih.
14. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Gak juga.
15. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Ya.
16. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Tubuh saya tu ya urusan saya. Karena sebagai laki-laki saya mempunyai hak
untuk mengatur tubuh saya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai