Skripsi
Oleh:
Dhiemas Chrismansyah Supma
15/382234/FI/04089
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Dosen Pembimbing
Telah dipertahankan dalam ujian yang dilaksanakan oleh Tim Penguji Skripsi
Mengetahui
ii
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
tinggi. Selain itu, berdasarkan pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang telah
HALAMAN PERSEMBAHAN
untuk seluruh orang yang sadar betul dirugikan oleh budaya patriarki:
—DCS
v
MOTTO
PRAKATA
dan Maha Penenang, yang telah memberikan kekuatan serta energi positif kepada
peneliti selama masa perkuliahan berlangsung. Meski selama tiga tahun lima bulan
ingin, yakin-tak yakin dalam persoalan spiritualitas, hingga saat ini peneliti
percaya: jika tanpa-Nya, maka peneliti tidak dapat bertahan dalam menghadapi
topik perempuan Aceh dan syariat Islam sebagai bahasan skripsi. Keduanya seakan
tidak terlepas karena berujung pada suatu pendisiplinan tubuh. Dengan tekad yang
yang-dijilid, peneliti bersyukur dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan
lancar serta mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
Mada;
berisi motivasi yang beberapa kali Ibu kirimkan kepada peneliti benar-benar
vii
3. Dr. Hastanti Widy Nugroho, selaku dosen pembimbing ahli yang telah
4. Dr. Supartiningsih dan Dr. Agus Himmawan Utomo, M.Ag., selaku dosen
5. Dr. Ridwan Ahmad Sukri, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
terutama Bu Wiwik, Mas Hamami, Pak Mardi, Pak Momon, dan Pak Pras,
selalu suka dengan jus yang peneliti dan Cris berikan, ya, Bu;
Nopal, Dhika, Sani, Arie, Bella, Mbak Del, Fitri, Kaut, Nurul, Reza, Risca,
dan Anjas. Kalian adalah alasanku yakin kalau Filsafat masih diisi oleh
9. Abang dan kakak tingkat favorit: Bang Azhar, Kak Camel, Kak Rina, Vindi,
dan Kak Raisa. Terima kasih Bang Azhar yang telah mensponsori proposal
skripsi peneliti, Kak Camel yang satu bimbingan sekaligus teman revisian
peneliti, Kak Rina dan Vindi yang memberi saran tentang dosen
tahun menjadi idola peneliti. Aceh butuh orang lebih banyak yang
sepertimu, Kak;
10. Bentang Pustaka, terutama Kak Afina, Kak Intan, Kak Nadia, Kak Dwi,
Mas Tofa, Inas, Gina, dan Kak Laras. Terima kasih telah menjadi bagian
dari semester 7-ku yang membuat durasi tidurku berkurang drastis. Namun,
11. Swag, Ayuk, Dina, Rina, Muthmainnah, Rizka, Faradiba, Fathin, Irfan, Dea,
Percayalah, aku sesampis itu. Cuma kadang mencitrakan diri aja biar keren,
gitu. Semoga skripsi, kuliah praktik, dan tugas akhir kalian segera rampung,
ya!
12. LNJ, salah satu sirkel yang senantiasa menambah kazanah pengetahuan
ujung Kampung Jawa. Tane, aku nggak pernah menyangka pertemanan via
Twitter bisa bikin kita sedekat ini. Naya, berawal dari Blackberry Torch-mu
yang kupakai buat nge-twit, kita jadi bisa selengket ini. Yuri, ko tau, dong,
ix
kenapa kita bisa nyanyi “Kangen“-nya Dewa 19 dan galau bareng di depan
13. GSJ, sirkel yang hobinya makan takoyaki di Warung Hana. Terima kasih
karena dengan riang gembira sering kali antar-jemput aku dari Kajhu ke
finansialku sejak semester satu. Awak yakin ko bakal sukses dengan ke-
fithqa-an ko. Ard, terima kasih selalu siap sedia menunggu awak turun dari
labi-labi lintas Kajhu di depan Indomaret Baet. Nant, terima kasih udah
14. Fania, teman dari kelas satu SMA yang ternyata saudara jauh: Terima kasih!
Karena semangat dan dorongan ko, awak jadi yakin untuk bercita-cita di
15. Lavina, perempuan yang pernah mengisi hari-hariku sejak 2012 kemarin,
16. Okta, teman dekat pertamaku di Filsafat. Terima kasih untuk selalu menjaga
rahasia yang sedari semester satu telah kuumbar kepadamu. Terima kasih
karena selalu merayakan tanggal 10 setiap bulan ketika kita seintens dulu
berteman. Awak bangga bisa mengenal ko, Okt. Selalu menjadi Okta yang
17. Nisa, hits Fisipol yang siap sedia menjadi pendengar cerita-ceritaku. Terima
nggak cuma bisa beristirahat, ya. Aku senang bisa berteman dekat dengan
x
orang yang bisa menguasai banyak logat seperti ko, Wak. Semoga bisa
selalu ada di saat tubuh dan perasaanku terserang virus fragile tiba-tiba, ya.
18. Cerlang, teman sepulau tapi beda budi pekerti. Semoga kehidupan kampus
ko pasca kepergian awak dan Aul tetap akan baik-baik saja, ya. Semoga
Rampoe UGM yang akhirnya mempertemukan kita. Semoga kita bisa satu
kantor, ya, Lam. Jangan sering galau karena ko udah nge-follow @amrazing
hari;
piano dan saksofon: aku padamu! Semoga segala kebaikan yang ko tuai bisa
tumbuh dan berbuah, ya. Ingat selalu: lepaskanlah apa dan siapa yang
21. Kak Nanda, sahabat sekaligus saingan karena ”memperebutkan” orang yang
sama. Semoga kita bisa terbebas dari apa dan siapa yang selama ini merantai
langkah kita, ya. Aku senang bisa mengenal sosok Kakak sepertimu. Maaf
kalau aku sering kali bikin sebal karena aku keseringan baik menjadi adik.
22. Cris, teman paling bisa diandalkan pada sepertiga malam (injury time).
berutang banyak hal sama ko. Semoga skripsi ko yang per halamannya ada
revisian bisa segera rampung, Tuts. Terima kasih, Kets Panits Acs!
23. Hajri, Ghalieb, dan Mufti. Untuk kalian bertiga, semoga kalian bisa menjadi
diri kalian tanpa harus kudikte seperti dulu, ya. Hajri, terima kasih selalu
berlarut atas kesedihan yang inong nyan peugot, beh. Ko bisa ngelakuin hal
24. Aul, teman Filsafat pertama yang kuhubungi perihal urusan kampus. Terima
kasih telah menjadi teman ngerjain tugas PPSMB pertama, teman kongkow
lembar ini. Terima kasih telah menjadi alasan terbesarku untuk segera
25. Wildhan, sering dengar kutipan berikut ini, kan? Crazy how one person can
change your entire mood. Lucunya, ko adalah that person. Terima kasih
telah mengisi hari-hari awak selama di Filsafat, Wild, terlebih di tiga hari
xii
terjadi di antara kita (yaokme deh) bisa ngebikin ko menjadi person yang
jauh lebih baik. Simply a distraction I didn’t hope to find. Sitting by my side,
26. Keluarga Supma. Dims bersyukur beratus-ratus kali karena telah lahir dan
tumbuh bersama kalian. Ayah, terima kasih karena telah hadir sebagai sosok
yang hebat dan selalu berusaha chill ketika sedang tertimpa masalah—
seberat apa pun itu! Mamak, terima kasih telah tampil menjadi perempuan
yang kuat lahir dan batin. Dims berani jamin jumlah perempuan sepertimu
di muka bumi ini hanya sebesar 0,7%. Dims jamin! Ayah dan Mamak
adalah sepasang orang tua yang nggak pernah mendikte kehidupan anak-
anaknya. Itu kenapa Dims, abang, kakak, dan Virgi bisa tumbuh dengan
Dims juga bersyukur, masih beratus-ratus kali, karena bisa sedarah merah,
setrombosit, dan seleukosit bersama Kak Ayu, Bang Fajar, Bang Gusti, dan
Virgi. Meski kita menetap di tempat yang berbeda dan jarang kali bisa
lainnya.
27. Maliq & d’Essentials, Adhitia Sofyan, Sufjan Stevens, Men I Trust, No
dan playlist Spotify-ku: terima kasih. Kalian adalah salah satu alasan aku
28. Terakhir, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk Dhiemas yang selama
dua puluh tahun melekat di tubuhku ini. Terima kasih untuk selalu bertahan
miliki. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang
kajian feminisme.
xiv
DAFTAR ISI
INTISARI .......................................................................................................... xx
BAB I .................................................................................................................. 1
1. Permasalahan ............................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................... 28
1. Rasionalitas ................................................................................................ 38
2. Kebebasan .................................................................................................. 41
3. Otonomi ..................................................................................................... 45
BAB III.............................................................................................................. 52
DAFTAR TABEL
Aceh
xviii
DI : Darul Islam
MS : Mahkamah Syariat
SK : Surat Keputusan
TU : Tadzkiiratul Ummah
WH : Wilayatul Hisbah
xx
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Permasalahan
sebagai daerah istimewa (special territory), yang terletak di ujung utara Pulau
Sumatra. Beribukota di Banda Aceh dan terdiri atas 18 kabupaten serta 5 kota
madya, Aceh memiliki jumlah penduduk sebesar 5.096.428 jiwa (BPS Provinsi
Aceh, 2016). Secara geografis, letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan
Nikobar di India. Aceh juga berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Selat Malaka di sebelah timur, dan Provinsi Sumatra Utara di sebelah tenggara dan
selatan.
masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad I H langsung dari Arab dan
daerah pertama yang didatangi Islam adalah pesisir Sumatra dan kerajaan Islam
pertama berdiri di Aceh (Said, 2007: 54). Menurut TIME (2007), jika dibandingkan
dengan provinsi lain, Aceh merupakan wilayah yang sangat konservatif karena
tertinggi di Indonesia.
Orang Aceh telah lama digambarkan sebagai masyarakat Islam yang taat
1
2
antara 1945 sampai dengan 1953, atau oleh perhitungan lain, dari 1945 sampai
dengan 1976, orang Aceh juga terbukti sebagai nasionalis Indonesia yang kuat.
2010: 243).
menampilkan adat dan Islam sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan
gerak masyarakat. Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak
menunjukkan bahwa menjadi orang Aceh adalah identik atau sama dengan orang
dan digabung dengan Provinsi Sumatra Utara pada 1950. Di bawah situasi politik
terbuka pada 1953. Setelah dibentuk daerah istimewa pada 1956, ternyata tetap
tidak memecahkan masalah. Apabila dilihat dari perspektif sejarah, telah terjadi
yang dikomandoi oleh GAM dan menyebabkan periode konflik bersenjata antara
separatis dan pasukan Indonesia sejak 1990. Konflik ini turut mengubah struktur
teoretikus teori konflik, bahwa perubahan sosial terjadi akibat adanya konflik yang
3
2007: 54).
Saat konflik Aceh bergejolak, di sana hanya dikenal dua macam peraturan,
patriarkal Islam di bawah ulama dan GAM. Dalam dua ranah kekuasaan yang
maskulin inilah perempuan Aceh bertahan hidup (Salehati, 2010: 3). Dalam setiap
konflik yang terjadi, hampir dapat dipastikan kelompok yang paling dirugikan
GAM dengan pemerintah Indonesia. Hasil kesepakatan damai yang dikenal dengan
MoU Helsinki inilah kemudian melahirkan bentuk pemerintahan Aceh yang baru.
Tindak lanjut dari MoU Helsinki ini diikuti dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2002 tentang Otonomi Daerah Khusus Aceh yang menjadikan
Aceh berbeda dari daerah lain. Meski sebelumnya, Aceh juga merupakan daerah
istimewa yang juga mempunyai kekhususan sendiri (Nilasari; 2011: 124). Selain
melihat penduduk Aceh yang pada umumnya beragama Islam, latar belakang
di Aceh. Konsep penerapan syariat Islam ini menjadi aturan pemerintahan sebagai
Aceh.
Ruang lingkup syariat Islam menurut Pasal 125 UUPA yang diterapkan di
Aceh adalah akidah, syariat, dan akhlak (meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyahatau
hukum keluarga, muamalat atau hukum perdata, jinayah atau hukum pidana, qadha
4
atau peradilan, tarbiah atau pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam
(Ikhwan, 2013: 35). Namun ternyata, syariat Islam yang diaplikasikan melalui
qanun menjadikan perempuan sebagai objek yang berbeda dari laki-laki. Syariat
segala lini, dan masih tumpang tindih. Esensi dari penerapan hukum ini adalah
untuk menjaga 6 hak asasinya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, harta benda, dan
harga diri. Hak asasi tersebut bersifat dharury atau primer, yang harus didahulukan
kebebasan. Seolah semua itu tidak menjadi kendala, penerapan hukum ini terus
Aceh telah mengenakan jilbab dan berbusana muslimah seperti yang dituntut oleh
pemerintah daerah?
5
secara publik menghilang, tersembunyi dalam baju mereka yang berlengan panjang
dan kepala mereka yang ditutupi jilbab. Tubuh mereka dianggap dapat mengundang
kemaksiatan. Maka, perempuan harus menutup seluruh anggota tubuh dan tidak
perempuan Aceh untuk berbusana dan bersikap dengan tata cara tertentu.
menutupi kaki dan tangan mereka, mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya,
dan dilarang mengenakan celana yang mirip dengan celana panjang yang digunakan
laki-laki. Mereka yang menolak akan didisiplinkan, jika perlu dengan kekerasan
dari penerapan syariat Islam di Aceh menjadikan perempuan sebagai objek yang
objek untuk dibenahi. Realitas yang terlihat dalam keadaan sekarang adalah:
penerapan syariat hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan tubuh perempuan,
adalah upaya untuk mengubah mereka menjadi “the symbolic bearers of the
6
kehormatan kolektif, dan “carriers of tradition”, yaitu penerus tradisi, yang dalam
kasus ini adalah kolektivitas berlandaskan Islam yang dibangun oleh para ulama
Aceh dan didukung oleh GAM. Kolektivitas Islam juga digunakan para ulama dan
Indonesia. Semakin banyak perempuan yang menyesuaikan diri dengan peran yang
ditentukan oleh para ulama, semakin kuat citra Islam (Noerdin, 2005: 18).
simbol Islam telah mendorong mereka untuk menganggap bahwa perempuan Aceh
tidak mengetahui apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dengan demikian,
tersebut ada yang dipangkas rambutnya karena tidak mengenakan jilbab. Kelompok
Taliban (kelompok santri yang berasal dari pesantren di Aceh). Sasarannya adalah
tidak menutup aurat yang diidentikkan dengan jilbab (penutup kepala). Sweeping
syariat dilakukan di mana saja, mulai dari indekos, salon kecantikan, hingga ke
tepian kali, dan pantai wisata yang kerap dijadikan ajang rekreasi. Semua sekolah
dan perguruan tinggi pun membuat peraturan wajib berbusana secara Islam
daerah islami. Pada akhirnya, banyak pendatang yang berasal dari luar Aceh, begitu
juga nonmuslim, terpaksa “harus” memakai kerudung jika ingin keluar rumah.
Sweeping syariat merupakan simbol dari formalitas penerapan syariat Islam di Aceh
preventif maupun koersif. Misalnya, sebuah berita dari BBC Indonesia (2014) yang
Aceh Utara, yang menamakan diri sebagai TU, gencar menyemprotkan cat kepada
perempuan yang bercelana ketat sebagai bagian dari penegakkan syariat. Tidak
berhenti di situ, aksi mereka ini turut disebarluaskan melalui media sosial seperti
Facebook. Dalam hal ini, kelompok masyarakat tidak dibenarkan menggelar razia
Aceh ternyata menjadi “urusan” kelompok laki-laki yang tidak memiliki legalitas
dalam menangani hal tersebut. Hal ini menunjukkan seolah semua orang berhak
sweeping jilbab atau pakaian perempuan yang membawa moralitas semu selama ini
Islam masyarakat Aceh yang selama ini terbangun. Polisi syariat hanya
simbolis tidak sejalan dengan tata nilai sosial yang selama ini terbangun dan
selama ini dirugikan (Subiyantoro dalam Nilasari, 2011: 137). Dalam melihat
2. Rumusan Masalah
Islam. Tubuh mereka yang seharusnya bebas dari kontrol pihak di luar dirinya
menjadi sasaran pendisiplinan yang diatur melalui qanun dan didukung oleh
lingkungan yang sangat patriarki. Padahal jauh sebelum penerapan syariat Islam,
liberal?
3. Keaslian Penelitian
material. Adapun skripsi yang berkaitan adalah menggunakan tubuh sebagai objek
materialnya, seperti Tubuh dan Jiwa Menurut C.A. Van Peursen (Sutikna: 1996);
9
Kritik Arthur Schopenhauer Atas Konsep Jiwa, Tubuh, dan Akal Budi (Dea
Ideologi Tubuh Masyarakat Indonesia (Sidiq Kustaryo: 2005); dan Konsepsi Jiwa
perempuan dan perempuan Aceh dalam syariat Islam, seperti Disciplined Bodies:
Gender: Foucault and The Disciplining of The Female Body (Angela King: 2004);
pasca penerapan syariat Islam ditinjau dari perspektif feminisme liberal merupakan
4. Manfaat Penelitian
i. Bagi Peneliti
10
untuk diri, baik berpikir secara sistematis dan filosofis, dalam mengkaji suatu
permasalahan terkait pendisiplinan tubuh perempuan dan syariat Islam serta dapat
pentingnya sebuah kesadaran akan otoritas dan rasionalitas setiap individu atas
tubuhnya. Dalam budaya dan masyarakat yang patriarki, perempuan selalu menjadi
penelitian ini, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat perempuan sebagai objek,
tetapi dapat melihatnya sebagai subjek utuh yang dapat mengurusi dirinya sendiri
feminisme serta merefleksikan esensi rasionalitas, kebebasan, dan otonomi atas diri
yang selama ini belum dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, terlebih
11
perempuan. Maka, peneliti berharap akan lahir sebuah peraturan atau hukum yang
B. Tujuan Penelitian
Aceh.
C. Tinjauan Pustaka
syariat Islam telah ditulis oleh beberapa peneliti. Namun, secara umum penelitian
tentang pendisiplinan tubuh dan penerapan syariat Islam banyak dilakukan dalam
Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterbitkan pada 2005.
Secara substansial, kajian ini merupakan satu pedoman yang perlu ditelaah
dan posmodernisme sebagai perspektif. Tesis ini juga cukup komprehensif secara
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar
Islam, profil perempuan Aceh dari masa ke masa, implementasi syariat Islam, serta
mengenai pendisiplinan tubuh yang terjadi di Aceh. Tesis ini menggunaan teknik
terlibat (observasi partisipasi) serta wawancara bebas dan mendalam selama berada
syariat Islam dan secara sosiologis maupun antropologis telah mampu meninjau
Aceh pasca penerbitan qanun. Qanun ini menciptakan kekuatan posisional melalui
sosial demi kepentingan pihak tertentu yang membuat posisi perempuan sangat
rentan.
Adapun dalam bentuk artikel, berita yang termuat dalam media elektronik
dan jurnal yang meliputi pendisiplinan tubuh perempuan di Aceh telah menarik
Artikel ini dimuat dalam Off Our Backs (A Women’s News Journal) yang
Police held the women for about an hour, advising them on how to dress,
then released them. This is one of the largest such efforts since authorities
began imposing a conservative interpretation of Muslim law in 2001.
Indonesian officials began enforcing the law even more rigorously since the
tsunami in December killed 131,000 people in the Aceh province and left
thousands more homeless (Off Our Backs: 2005).
busana islami, status syariat Islam, dan pembenaran atas hukum tentang khalwat
Another Acehnese law requires that all Muslims in Aceh wear Islamic attire,
defined as clothing that covers the aurat (for men, the area of the body from
the knee to navel, and for women, the entire body with the exception of the
hands, feet, and face), that is not transparent, and that does not reveal the
shape of the body. In practice, this means that Muslim women are required
to wear the jilbab (Islamic headscarf) in public at all times and are
prohibited from wearing clothing that reveals the shape of the body. While
the law applies to both men and women, it places far more stringent
restrictions on women than it does on men and has a discriminatory impact.
Not surprisingly, women constitute the overwhelming majority of those
reprimanded pursuant to the law.
Several women told us the law is particularly likely to be used against the
poor, noting that WH officers do not stop passengers traveling in cars, an
indicator of wealth, at their dress code checkpoints, and focus their
attention only on those Acehnese traveling on motorbikes or using public
transportation (HRW; 2010).
Artikel yang masih dimuat dalam hrw.org, tetapi dengan judul berbeda,
Association, Dress Deny Autonomy and are Used Abusively)” pada 1 Desember
2010. Artikel ini memuat gambar seorang petugas WH di Banda Aceh sedang
15
Human Rights Watch spoke to several women in Aceh who had been
stopped by the Sharia police during patrols or at public roadblocks
established to monitor compliance with the dress code. The Sharia police
recorded their personal details, lectured them, and threatened them with
detention or lashing if they repeated their behavior.
Both the Seclusion Law and dress requirements run afoul of well-
established international human rights law. Under international treaties
that Indonesia has ratified, consensual association - of a sexual nature or
otherwise - between adults in private is a protected aspect of the right to
privacy. Aceh's ban on "seclusion" similarly violates the right to manifest
one's religious beliefs freely and the right to freedom of expression. It gives
rise to lasting negative effects, particularly for women accused of
violations, who suffer enduring stigmatization. Aceh's Islamic clothing
requirement violates individuals' rights to personal autonomy, expression,
and to freedom of religion, thought, and conscience (HRW; 2010).
Wanita Nonmuslim di Aceh Diminta Pakai Jilbab” pada 5 Februari 2014. Ternyata,
pendisiplinan tubuh perempuan tidak hanya berlaku bagi yang beragama Islam,
Semua yang melintasi jalan raya di Simpang Mesra Banda Aceh menuju ke
Darussalam dihentikan yang tidak menggunakan pakaian muslimah,
demikian juga laki-laki yang mengenakan celana pendek. Pantauan
merdeka.com, Rabu (5/2), WH juga sempat menghentikan dua orang wanita
tidak mengenakan jilbab. Setelah diperiksa, ternyata wanita tersebut
nonmuslim, maka petugas langsung melepaskan perempuan itu.
Artikel ini dimuat dalam BBC News Indonesia yang berjudul “Semprotan
Cat Untuk Warga Aceh Bercelana Ketat” pada 4 Desember 2014. Sejak dimulainya
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, mulai muncul polisi moral yang mengurusi
kelompok Islam konservatif pun ikut bertindak, padahal telah dibentuk polisi
Pada awal-awal kegiatan razia celana ketat, dia mengaku memberikan kain
sarung kepada perempuan yang celananya disita untuk dimusnahkan.
“Tetapi kami kekurangan dana untuk membeli kain sarung, makanya
sekarang kami semprot cat sehingga celana itu tak bisa digunakan lagi,”
katanya.Tadzkiiratul Ummah juga mengunggah foto-foto kegiatan aksi
menyemprot cat kepada perempuan dan pria bercelana ketat melalui akun
Facebook, sejak 29 November lalu.
Artikel ini dimuat dalam Tribun Timur yang berjudul “Hari Ini Ada
Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi Widayatul Hisbah Pemerintah Aceh
menggelar razia celana ketat bagi perempuan di Aceh, Selasa (24/3/2015).
Berdasarkan foto yang diperoleh dari akun fanpage Facebook BBC
Indonesia, sejumlah perempuan terjaring saat sedang mengendarai sepeda
motor. Mereka harus dikenai ‘tilang’ atau hukuman berupa nasihat hingga
nantinya dicambuk.
Artikel ini dimuat dalam ABC News yang berjudul “Sharia in Aceh:
2018. WH rutin melakukan razia pemakaian jilbab dan baju ketat di Aceh.
"Your jeans are too tight. And you should be wearing a longer blouse."It
sounded like something my mother would say when I was a teenager, telling
me how I should or shouldn't dress.But, those were the words of a police
officer in Aceh, Indonesia's most conservative province.
Aceh is the only province that has introduced Sharia law, under a special
agreement struck with Indonesia more than a decade ago, to end the long-
running separatist war.This is where people are caned for things that are
commonplace in the West, like drinking alcohol, gambling and adultery.The
strict Islamic code increasingly governs every facet of life in Aceh. Muslim
women in Aceh must wear a jilbab or head scarf.
The ABC recently saw firsthand how Sharia law intrudes into everyday life
in Aceh.Sharia police conduct nightly patrols to maintain strict moral
standards.We were invited to accompany a patrol in the northern city of
Lhokseumawe.The patrol assembled before nightfall and included a dozen
or so young men in a military-style uniform with black berets, and a handful
of older women in similar dress with headscarves.
18
A superior officer led a short prayer and gave them a pep talk before they
headed off."Remember to use the five S — Senyum, Salam, Sapa, Santun,
Simpatik," he said, meaning "smile, greet, say hello, stay polite and be
sympathetic"."Don't be arrogant. We're here to give good advice and tell
people to stay away from the bad," the superior officer added (ABC News;
2018).
D. Landasan Teori
liberal, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Aliran feminisme yang akan
penulis gunakan sebagai objek formal dalam penelitian ini, yaitu feminisme liberal,
telah muncul sejak akhir abad ke-19. Dasar filosofis gerakan ini adalah liberalisme,
yakni bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang
1996:83).
menuntut agar kedua prinsip tersebut dapat segera didapatkan dan dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ilyas (1997: 47), feminisme liberal memiliki
19
pandangan jika sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap
kedudukan yang setara antara perempuan dan laki-laki, segala bentuk stereotip
Selain itu, dasar asumsi yang digunakan adalah doktrin John Locke tentang
hak asasi manusia (natural rights), yang menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk hidup, hak mendapatkan kebebasan, dan hak
untuk mencari kebahagiaan. Inti dari pemikiran liberalisme berupa penekanan pada
membentuk relasi, dan penampilan diri). Para feminis liberal berpendapat bahwa
tetapi yang terjadi seringkali pengaturan sosial gagal dalam menghormati otonomi
perempuan akan bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being free of
violence and the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum
patriarki, paternalistik, dan moralistik (being free of the limits set by patriarchal,
ini berarti perempuan adalah makhluk yang rasional seperti laki-laki yang juga
memiliki hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik, seperti berpendapat dalam
perdebatan isu-isu politik, sosial, dan moral. Perempuan tidak seharusnya menjadi
makhluk yang terkurung dan tersingkirkan dalam ruang privat di rumah dan
hak individu dan kebebasan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta
sama dari jenis kelamin dan menekankan pentingnya penstrukturan peran sosial,
perempuan.
sebagai individu yang memiliki kebebasan secara penuh. Aliran ini menyatakan
bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
ruang privat dan publik. Setiap individu memiliki kapasitas untuk berpikir dan
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2010: 18) bahwa:
Wall (2007: 234) menganggap bahwa otonomi individu adalah ide yang
paling valid dan penting. Lebih lanjut, otonomi individu mensyaratkan bahwa
setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi. Mereka juga harus memiliki
akses ke berbagai pilihan yang memadai dan negara memiliki peran dalam
Menurut Beauchamp dan Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri dari agen
yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas informasi
Selain itu, setiap perempuan juga dipastikan bebas dari segala bentuk
sosial. Opresi adalah kerugian yang secara kelembagaan terstruktur yang dilakukan
langsung dan tidak langsung; juga paksaan psikologis yang melanggar keadilan.
Perempuan juga harus bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum
Institusi patriarki dan hubungan sosial bertanggung jawab atas status inferior atau
kepada laki-laki dan sampai fase tertentu membatasi hak asasi perempuan juga;
E. Metode Penelitian
1. Model Penelitian
pendisiplinan tubuh perempuan Aceh pasca penerapan hukum syariat Islam yang
diteliti menurut sudut pandang feminisme liberal sebagai bagian dari kajian
berasal dari literatur berupa buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, berita, dan
mengevaluasinya secara kritis, serta memberikan konsepsi yang lebih utuh yang
2. Bahan Penelitian
Aceh pasca penerapan hukum syariat Islam, sedangkan objek formal dalam
penelitian ini yaitu teori feminisme liberal. Bahan dan materi penelitian ini
sebagian besar bersumber dari buku, artikel dan jurnal ilmiah, berita daring, dan
hasil wawancara. Bahan yang menjadi rujukan penulis terdiri atas dua sumber,
Sumber Primer
Graf, Arndt, dkk. 2010. Aceh: History, Politics, and Culture. Singapore: ISEAS
Publishing.
Pemerintah Aceh.
Sumber Sekunder
24
Caddick, Alison.1986. “Feminism and The Body” dalam Arena Journal, Issue
Aceh, Indonesia” dalam Asian Studies Review Journal, Vol. 40, Issue 4, hlm.
527—544.
Tesis.
Research Institute.
cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan peneliti sehingga
3. Langkah Penelitian
b. Pengolahan data, yaitu mengolah semua data yang telah ada dan melakukan
analisis data yang akan dituangkan dalam penelitian dalam bentuk laporan
yang sistematis.
4. Analisis Data
Berdasarkan rumusan Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair (1990: 67)
a. Deskripsi
penerapan hukum syariat Islam dan teori feminisme liberal. Deskripsi yang
diberikan mencakup peran dan posisi perempuan Aceh dari masa ke masa.
b. Interpretasi
yang melekat di dalam dirinya. Kemudian atas dasar pemahaman itu diberikan
c. Koherensi Internal
d. Holistik
e. Kesinambungan Historis
data historis saja, melainkan juga data faktual tentang respons perempuan Aceh
f. Refleksi
perempuan Aceh.
27
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB II berisi sejarah singkat mengenai aliran feminisme liberal dan tiga
BAB III berisi tentang peran dan posisi perempuan Aceh dari masa ke masa,
BAB II
FEMINISME LIBERAL
Feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina atau perempuan. Istilah
ini mulai digunakan pada 1890-an yang mengacu pada teori kesetaraan perempuan
dan laki-laki serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak bagi perempuan. Dalam
perkembangannya secara luas, kata feminis mengacu kepada siapa saja yang sadar
dan berupaya untuk mengakhiri subordinasi yang dialami perempuan. Sejarah telah
hal, baik dari lingkup keluarga maupun hukum. Kemudian negara kurang
melindungi hak-hak perempuan dengan aturan hukum yang ada padahal hak-hak
terhadap hak-hak kaum perempuan mulai menguat. Seorang feminis liberal, Mary
pada 1792 yang isinya dapat disebut sebagai peletak prinsip-prinsip feminisme pada
patriarki, mencari akar atau penyebab ketertindasan perempuan, serta mencari cara
29
Menurut June Hannam (2007: 22) di dalam Feminism, kata feminisme dapat
diartikan sebagai:
be chanded;dan
dominan, baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial pada umumnya. Feminisme
kesetaraan gender yang bertujuan untuk mensejajarkan posisi feminin dan maskulin
dalam konteks suatu budaya tertentu. Hal ini disebabkan karena dalam satu budaya
tertentu, feminin sering dianggap inferior, tidak mandiri, dan hanya menjadi objek
(Juwita, 2015: 11). Maka dari itu, ide dasar feminisme sebenarnya sederhana, yaitu
perempuan mendapatkan akses terhadap pilihan hidup yang setara dengan laki-laki
dan perempuan tidak boleh tereksklusi dari pilihan hidup tertentu hanya karena
aliran besar dalam feminisme yang kemudian menjadi aliran utama bagi
feminisme sosialis. Aliran feminisme yang peneliti gunakan sebagai objek formal
dalam penelitian ini, yaitu feminisme liberal, telah muncul sejak akhir abad ke-19.
Dasar filosofis gerakan ini adalah liberalisme, yakni bahwa semua orang diciptakan
dengan hak-hak yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama
dalam mengaktualisasikan dirinya (Fakih, 1996: 83). Selain itu, dasar asumsi yang
digunakan kaum liberal adalah doktrin John Locke tentang hak asasi manusia
(natural rights), yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi,
yaitu hak untuk hidup, hak mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari
kebahagiaan. Inti dari pemikiran liberalisme berupa penekanan pada peran individu
salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk
perempuan yang dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan-perbaikan
dalam bidang sosial. Maka, feminis liberal berpandangan bahwa penerapan hak-
hak perempuan akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan atau memiliki
hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena selama
ini, yang dianggap rasional dan memiliki kebebasan maupun kesempatan hanyalah
kaum laki-laki.
31
dan kesempatan belum diberikan kepada kaum perempuan. Oleh karena itu, mereka
menuntut agar kedua prinsip tersebut dapat segera didapatkan dan dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ilyas (1997: 47), feminisme liberal memiliki
pandangan jika sistem patriarkal dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap
masing-masing individu.
hak individu dan kebebasan yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta
sama dari jenis kelamin dan menekankan pentingnya penstrukturan peran sosial,
perempuan.
menjalani kehidupan yang dipilih oleh diri sendiri. Setiap orang memang sudah
membentuk relasi, dan penampilan diri). Para feminis liberal berpendapat bahwa
tetapi yang terjadi seringkali pengaturan sosial gagal dalam menghormati otonomi
sebagai individu yang memiliki kebebasan secara penuh. Aliran ini menyatakan
bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
ruang privat dan publik. Setiap individu memiliki kapasitas untuk berpikir dan
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2010: 18) bahwa:
opresi dan gender. Aliran ini juga mencakup 2 bentuk pemikiran politik, yaitu
untuk perempuan. Aliran ini juga memiliki pandangan mengenai negara sebagai
penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Namun,
feminis liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kelompok laki-laki, yang
berada “di dalam” negara dan hanya sebatas warga negara, bukan sebagai pembuat
kebijakan. Oleh karena itu, terjadi ketidaksetaraan perempuan dalam berpolitik dan
pilihan atas hidupnya. Akses perempuan terhadap pilihan seringkali dan secara
tidak adil dibatasi karena stereotip dan diskriminasi jenis kelamin dalam pendidikan
dan pekerjaan. Feminis liberal juga menunjukkan cara homogenitas budaya secara
Philosophy).
dan otonomi manusia yang keduanya disebut sebagai dualis normatif. Maka,
fungsi dan kegiatan pikiran adalah lebih baik daripada fungsi dan kegiatan ragawi
(Jaggar dalam Tong, 2010: 57). Makan, minum, eksresi, tidur, dan bereproduksi
bukanlah kegiatan manusia yang paling esensial karena anggota dari spesies hewan
lain juga melakukannya. Sementara apa yang membedakan manusia dari hewan
34
lain adalah kapasitasnya untuk berpikir, berimajinasi, dan memahami (Tong, 2010:
57).
Namun, dalam pelaksanaannya, pemenuhan hak asasi manusia ini dianggap lebih
dirasakan oleh kelompok laki-laki. Untuk mendapatkan hak sebagai warga negara,
sebagai makhluk yang tidak atau kurang rasionalitasnya, sehingga tidak diberikan
hak-hak sebagai warga negara yang sama dengan laki-laki (Juwita, 2015: 14).
liberal untuk melawan diskriminasi gender adalah pendekatan yang klasik dan
mengembangkan kedua sifat, baik sifat positif maskulin dan feminin, maka orang
tidak lagi memiliki alasan untuk lebih merendahkan sisi feminin dirinya daripada
sisi maskulinnya. Maka dari itu, diskriminasi berdasarkan gender dan jenis kelamin
Feminisme liberal sebagai salah satu aliran utama di dalam feminisme tentu
yaitu:
perempuan borjuis yang sudah menikah pada abad ke-18. Dengan tidak memiliki
pekerjaan yang produktif di dalam rumah atau dunia privat, maka para perempuan
dengan kata lain, mereka tidak memiliki kebebasan. Mereka dihalangi untuk
menyetarakan posisinya di masyarakat agar tidak ditindas lagi (Tong, 2010: 19).
Hak atas pendidikan bagi perempuan ini juga dilatarbelakangi oleh kritikan
diceritakan bahwa pendidikan yang diterima oleh laki-laki lebih menekankan pada
hal-hal yang rasional dan ilmu-ilmu yang mempelajari pengetahuan alamiah, sosial,
dan humaniora karena laki-laki nantinya akan menjadi seorang kepala keluarga.
emosional atau ilmu-ilmu seperti puisi dan seni karena nantinya perempuan akan
menjadi seorang istri yang pengertian, perhatian, dan keibuan. Dari hal tersebut,
feminis liberal menyuarakan jalan keluar, yaitu sebuah pendidikan yang setara,
36
dengan cara mengajarkan hal-hal yang rasional, sehingga perempuan juga dapat
Setelah diyakini, baik oleh John Stuart Mill dan Harriet Taylor, bahwa
perempuan harus memiliki hak pilih dalam kehidupannya agar dapat menjadi setara
dengan laki-laki, pada abad ke-19 perkembangan feminisme liberal ditandai dengan
abolisi adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi atau
Serikat. Hasil dari gerakan ini adalah Deklarasi Pernyataan Sikap (Declaration of
Sentiments) dan dua belas resolusi yang menekankan isu mengenai kebutuhan
yang berhubungan dengan moral dan agama. Salah satu kelemahan dari deklarasi
ini adalah aspek keutamaan terhadap perempuan terdidik, kelas menengah, dan
yang berkulit putih, sehingga perempuan kulit hitam tidak tampak atau tidak terlihat
agar perempuan dapat memiliki hak atau kesempatan mengakses pendidikan dan
liberal menarik persamaan antara diskriminasi ras sistemik dan jenis kelamin.
The Women’s Equity Action League dibentuk pada waktu itu untuk mengesahkan
Serikat dengan harapan akan menjamin bahwa perempuan dan laki-laki dapat
bahwa tujuannya adalah untuk melayani bukan hanya perempuan yang dapat
bertahan dan berhasil di dalam sistem, tetapi setiap perempuan yang mempercayai
bahwa hak perempuan harus setara dengan hak laki-laki. Hak-hak perempuan
tersebut juga memerlukan perlindungan hukum agar tidak mudah dirampas atau
pilihan perempuan yang diyakini oleh kaum feminis liberal, yaitu rasionalitas,
1. Rasionalitas
pikiran atau pertimbangan logis yang sesuai menurut pikiran dan akal sehat.
Menurut Tomer dalam Salsabila (2018: 20), rasionalitas adalah ketepatan penalaran
memperhitungkan apa yang terbaik sekaligus sesuai dengan minat maupun tujuan
individu tersebut.
didapatkan.
tindakan dapat dilihat melalui empat kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
39
ketidakpastian.
manusia untuk berpikir dan bertindak secara rasional dipandang sebagai capaian
tertinggi yang hanya mampu diraih oleh manusia di antara semua makhluk hidup
yang lain. Oleh karena itu, rasionalitas berkaitan erat dengan pengambilan
kemandirian. Bila ditarik garis lurus pada kaum perempuan, maka perempuan pun
pada konsep liberal yang menekankan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan
sama dan juga harus memiliki kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan
memiliki dua aspek, yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan
ini berarti perempuan adalah makhluk yang rasional seperti laki-laki yang juga
memiliki hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik, seperti berpendapat dalam
perdebatan isu-isu politik, sosial, dan moral. Perempuan tidak seharusnya menjadi
makhluk yang terkurung dan tersingkirkan dalam ruang privat di rumah dan
rasionalitas. Maka, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-
laki karena sama-sama makhluk yang rasional. Oleh karena itu, dasar perjuangan
feminisme ini adalah untuk menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap
2004: 32).
Dengan perkataan lain, perempuan bukanlah sekadar alat atau instrumen untuk
“tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk
sebagai alat bagi orang lain. Jika seorang perempuan membiarkan dirinya
dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh. Tidak
diakui sepenuhnya rasional dan berhak atas kebebasan sipil serta kesempatan
2010: 26). Mill juga berpikir lebih jauh dibanding Wollstonecraft dalam menentang
bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan adalah sama jenisnya. Mill
adalah semata-mata hasil dari pendidikan yang lebih lengkap diterima oleh laki-laki
2. Kebebasan
keadaan bebas atau kemerdekaan. Kebebasan dalam arti umum adalah keadaan
menerus ditawarkan kepada manusia oleh ihwal kehidupan (Dister, 1988: 122).
Dister dalam Arwidita (2017: 21—22) membagi tiga arti khusus kebebasan.
untuk menentukan dirinya dan tindakannya atau kebebasan batin. Manusia dalam
dirinya mengidam-idamkan kebebasan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, yang
42
dimaksudkan dengan pernyataan ini bukanlah kebebasan dalam arti “lepas dari
suatu sifat yang dimiliki oleh kehendak manusia. Kebebasan kehendak memiliki
dimungkinkan oleh kebebasan untuk menggunakan semua hal ihwal itu demi
perwujudan nilai-nilai yang kepadanya hidup manusia mau diabdikan (Dister dalam
diterima oleh orang lain. Istilah kebebasan menunjuk kepada syarat-syarat fisik,
sosial, dan politik yang harus terpenuhi agar manusia dapat menghayati dan
melaksanakan secara konkret kebebasannya dalam arti pertama dan kedua dalam
uraian di atas. Kebebasan dalam arti ketiga di sini merupakan bentuk jamak dari the
makna keberadaan selaku manusia. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup
selaku manusia adalah kepribadian atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa,
sehingga orang bebas “dari” beraneka ragam alienasi yang menekannya dan bebas
43
pula “untuk” kehidupan yang utuh, tak tercela, berdikari, dan kreatif (Dister dalam
diartikan sebagai kemampuan diri seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuai dengan kemauan dan pilihannya serta mampu untuk bertindak sesuai yang
mempunyai banyak definisi, tetapi persamaan inti dari makna kebebasan terletak
pada ketidakterikatan manusia oleh suatu kondisi dan aturan apa pun di luar dirinya.
masalah, dan hambatan. Untuk menghadapi ketiga hal tersebut, manusia sebagai
sesuatu, tetapi manusia juga memutuskan apa yang ingin diperbuat. Dengan
untuk memberi makna dan arah pada hidup dan karya-karyanya, kemampuan
antaranya bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being free of violence and
the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh hukum patriarki,
paternalistis, dan moralistis (being free of the limits set by patriarchal, paternalistic,
and moralistic laws), dan memiliki akses terhadap pilihan-pilihan (having access
dengan menggunakan kekuatan material langsung dan tidak langsung; juga paksaan
gender yang opresif, yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau
pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan
tempat sama sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar
Perempuan sebagai individu tentu memiliki hak. Hak individu bagi kaum
kebebasan untuk memilih apa yang “baik” untuk dirinya asal tidak merugikan orang
positif dalam kehidupan sosial atau masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat
kemampuan dirinya tanpa campur tangan pihak lain. Oleh karenanya, kebebasan
individu ini harus dijamin melalui penegakkan hak asasi manusia (Dewi, Tanpa
Tahun: 31).
yang seolah kebebasannya untuk menentukan hidup dirantai bahkan negara pun
3. Otonomi
Wall (2007: 234) menganggap bahwa otonomi individu adalah ide yang
paling valid dan penting. Lebih lanjut, otonomi individu mensyaratkan bahwa
setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi. Individu juga harus
memiliki akses ke berbagai pilihan yang memadai dan negara memiliki peran dalam
memadai. Menurut Beauchamp dan Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri
46
dari agen yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas
Menurut Ryan & Deci dalam Fikry (2015: 26), otonomi adalah kemampuan
untuk bertindak atas pilihan dan kemauan sendiri. Individu yang memiliki otonomi
yang tinggi adalah orang yang bertindak hanya karena keinginanya sendiri. Ia
sepenuhnya maksud dari tindakannya (Ryan, dkk. dalam Fikry, 2015: 26).
yang dilakukan didasari karena ketertarikan yang ia rasakan atau karena hasrat yang
dilakukan dengan tekad atau niat yang kuat dari dalam diri dan dirinya berkuasa
sepenuhnya atas tindakan yang dilakukan serta nilai-nilai yang terekspresikan oleh
tindakan tersebut (Ryan, dkk. dalam Fikry, 2015: 26). Sering dikatakan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk merencanakan dan memilih apa yang harus
dilakukan. Selain itu, manusia juga dapat berpikir untuk diri mereka sendiri dan
memiliki kebebasan serta hak untuk berpendapat tentang moral sesuai yang
dikehendaki. Klaim-klaim semacam itu dapat disebut dengan otonomi (Downie &
masalah intervensi atau campur tangan negara dalam dunia privat atau domestik,
kaum liberal menyetujui bahwa semakin sedikit individu berhadapan dengan Big
47
Brothers (negara) di ruang privat, maka keadaan akan semakin baik. Hal ini
tempat yang memungkinkan mereka untuk menjadi diri mereka yang sesungguhnya
keunikan pada setiap individu, dan untuk menjadi bebas manusia harus
dapat menjamin otonomi manusia dan menjadi bebas (Tong, 2010: 17).
perempuan tidak cukup tercermin dalam kondisi dasar di mana mereka hidup dan
memadai dalam proses penentuan nasib sendiri yang demokratis. Para feminis
liberal mengatakan bahwa defisit otonomi seperti ini disebabkan oleh “sistem
gender” atau sifat patriarkal dari tradisi dan institusi yang diwariskan (Okin, 1989:
atas otonomi warga negara adalah peran yang seharusnya dilakukan oleh negara.
Maka, negara dapat dan seharusnya menjadi sekutu gerakan perempuan dalam
perempuan harus menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri. Maka, feminisme
48
mereka berhak atas berbagai kondisi yang memungkinkan adanya otonomi tersebut.
menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki itu diciptakan sama serta memiliki hak
dan kesempatan yang sama pula. Perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan
tinggi, termasuk di dalamnya nilai otonomi, nilai persamaan, nilai moral yang tidak
moral dan prudensial, mereka setuju bahwa suatu masyarakat yang adil akan
memuaskan dirinya. Menurut kaum liberal, “hak” harus diberikan sebagai prioritas
di atas “kebaikan”. Dengan kata lain, keseluruhan sistem atas hak individu
dibenarkan karena hak ini menghasilkan bingkai kerja yang merupakan dasar bagi
kita untuk memilih apa yang terbaik bagi kita masing-masing. Prioritas seperti itu
49
2010: 16).
perempuan menjadi manusia utuh yang tidak diperlakukan sebagai objek oleh laki-
laki dan bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan
adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar dan memiliki kemampuan
diposisikan berhak untuk hidup dengan cara yang dikehendakinya, baik itu yang
sesuai dengan masyarakat maupun yang tidak (Cudd, 2006: 234). Selama ini
perempuan selalu menjadi subjek yang dibatasi ruang geraknya dan dikondisikan
Menurut feminis liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri.
Pertama, peraturannya harus adil. Kedua, pastikan tidak ada pihak yang ingin
sistematis serta tidak ada yang dirugikan (Putnam Tong, 2009: 2).
50
of the Rights of Women, yang sangat dekat dengan pemikiran Immanuel Kant dalam
secara otonom, maka ia akan bertindak lebih rendah daripada seorang manusia yang
manusia dari hewan. Maka, jika perempuan tidak dianggap sebagai hewan, maka
perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kapasitas ini. Oleh karena itu,
kebebasan, kesetaraan, dan keadilan untuk semua. Menurut Jane English, istilah
seperti peran seks dan sifat gender mengacu kepada pola tingkah laku kedua jenis
kelamin yang disosialisasikan, didorong, dan dipaksakan untuk diterima, mulai dari
kepribadian yang “sesuai dengan jenis kelamin” hingga minat dan profesi. Anak
sangat dipengaruhi oleh faktor ras, kelas, dan etnis. Misal, maskulin berarti rasional,
yang dianggap masyarakat sebagai “maskulin” dan karena itu akan dianggap
sebagai kurang dari atau bukan perempuan yang “sesungguhnya”; begitu pula laki-
laki (Tong, 2010: 51). Feminis liberal cenderung menyetujui bahwa jenis kelamin
biologis dari seseorang tidak seharusnya menjadi alat untuk menentukan gender
dan keterkaitan satu sama lain. Dasar kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
yang dipercayai oleh feminis liberal adalah kebebasan yang berakar pada
BAB III
menyandang gelar sebagai daerah istimewa ternyata tidak terjadi dalam sejarahnya.
Aceh merupakan daerah yang tumbuh dengan sejarah perempuan yang kuat
dan memiliki peranan dalam pembangunan daerah yang pada masa itu berbentuk
kerajaan. Misalnya saja, lebih kurang 59 tahun lamanya Kerajaan Aceh Darussalam
dipimpin oleh sultanah. Tercatat sultanah Aceh pertama bernama Taj’al Alam
Tsafiatuddin Syah Berdaulat Zillu’lahi Fi’l Alam Binti Sultan Raja Iskandar Muda
Johan Berdaulat. Tiga puluh empat tahun masa pemerintahannya merupakan suatu
masa pemerintahan yang cukup lama, apalagi bagi seorang perempuan. Masa
pemerintahan Sri Ratu Safiatuddin ini penuh dengan tipu daya asing dan bahaya
akan sulit dilalui dengan selamat apabila ia bukanlah seorang yang arif dan
bijaksana dengan kepribadian yang tangguh luar biasa (Melya, 2005: 49). Lalu,
berturut-turut hingga 1699, Aceh dipimpin oleh empat orang perempuan. Hingga
53
masa penjajahan Belanda, perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia
berjuang di garis depan untuk mengusir penjajah dari tanah Aceh (Meira, 2015: 30).
Said dalam Aceh Sepanjang Abad, pada masa pemerintahan Kamalatsyah timbul
sejak masa Iskandar Muda sampai dengan masa pemerintahan sultanah, Kerajaan
Aceh yang dasar negaranya Alquran, hadis, dan qanun Meukuta Alam
Syah IV, telah dibentuk sebuah armada yang para prajuritnya merupakan janda
pahlawan yang telah tewas yang dinamakan Armada Inong Balee. Armada tersebut
Belanda (BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun, 2014: 59). Pada masa Sultan
Muda Ali Ri’ayat Syah V dibentuk Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana)
yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit perempuan) di bawah pimpinan Laksamana
Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Makmun, 2014: 59).
54
BPPPA Provinsi Aceh dalam Makmun (2014: 60) menyatakan, pada masa
Sultan Iskandar Muda juga dibentuk Divisi Pengawal Istana yang terdiri dari
Salah satu batalionnya bernama Divisi Keumala Cahya, yang dijadikan batalion
Bukti-bukti yang tersebar juga menunjukkan bahwa sebelum akhir abad ke-
(mereka menduduki posisi sebagai ratu, perdana menteri, dan kepala daerah otonom
(Salehati, 2010: 23). Jacob dalam Salehati (2010: 23—24) menuliskan sebuah
cuplikan yang diambil dari tulisan H.M. Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang
Abad,sebagai berikut:
Pada masa Van der Heij den menyerang Samalanga ada perempuan yang
bernama Pocut Meuligo yang berhasil memengaruhi adik laki-lakinya,
Teuku Chik Samalanga, untuk terus melakukan perlawanan terhadap
Belanda dan Cut Nyak Dhien memengaruhi suaminya, Teuku Umar, supaya
balik melawan Belanda. Ini merupakan fakta sejarah bahwa keduanya
pernah benar-benar terjadi. Bahkan jika digali pasti akan banyak tokoh-
tokoh perempuan di Aceh yang mengagumkan tekad perjuangannya seperti
Cut Meutia yang ditemukan tewas tertindih bangkai dengan Pang
Nanggroe.
Tentu saja bukti-bukti yang tersebar tentang peran perempuan Aceh di atas
sebaiknya diikuti dengan analisis lebih lanjut mengenai relasi gender, Islam, dan
feodalisme di Aceh. Meskipun apabila benar bahwa peran perempuan Aceh dalam
proses pengambilan keputusan politik ini merupakan hasil manipulasi politik oleh
lama. Perempuan Aceh memegang kekuasaan tertinggi sebagai ratu pada awal abad
2014. Makmun mendapatkan konfirmasi data tentang posisi dan peran perempuan
“Jadi, di dalam kajian saya, dari baca buku dan pengalaman saya, saya
berkesimpulan bahwa posisi perempuan dalam posisi yang samaderajat dan
pemahaman politik bernegara dan bermasyarakat. Indikatornya adalah
bahwa banyak sekali para tokoh perempuan Aceh itu yang menjadi
setingkat sultan. Saya punya data anggota DPR (parlemen Iskandar Muda)
ada berapa puluh anggota DPR waktu itu 30% lebih perempuan. Berarti
tentu sekian ribu stafnya sudah pasti ada perempuan. Tidak mungkin
jendral-jendral sultanah ajudannya tidak perempuan. Cuma tidak ditulis
karena itu saya anggap bahwa perannya justru pemikiran ulama Aceh itu
sangat modernis menurut saya, orang ini. Jadi perempuan Aceh sama rata
dalam struktur sosial” (Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 60).
Selain itu, perempuan Aceh memiliki pendidikan yang setara dengan laki-
“Semua orang Aceh tidak ada yang buta huruf, laki-laki dan perempuan.
Saat itu hurufnya huruf Jawi. Mereka bisa baca Alquran, bisa baca Jawi,
jadi tidak buta huruf untuk zaman itu memang hurufnya itu, tidak seperti
sekarang ini” (Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 61).
perempuan memiliki akses untuk memimpin dan mengikuti perang. Lalu, peneliti
tertarik untuk mengetahui cara perempuan pada masa tersebut berpakaian dalam
Menurut Salehati (2010: 26), dalam sejarah panjang Aceh, sepak terjang
perempuan Aceh merupakan salah satu elemen yang menarik. Dalam sejarah
kontemporer Indonesia, sangat jelas disebutkan jika Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak
Meutia menjadi bagian dari sejarah kepahlawanan dalam mengusir penjajahan dan
dan eksploitasi sumber daya. Demikian pula dalam buku-buku sejarah tentang
Aceh: posisi perempuan Aceh tidak bisa lepas dari kontribusinya dalam membentuk
Banyak posisi yang pernah diraih oleh perempuan Aceh yang menduduki
level otoritas kekuasaan, baik pada masa kesultanan, kolonial Hindia Belanda,
sejarah bahwa kontribusi yang diberikan perempuan Aceh hingga pada posisi-
posisi penting yang kebanyakan dikuasai oleh kelompok laki-laki (Salehati, 2010:
26—27).
Menurut Salehati (2010: 27), posisi, peran, dan perjuangan perempuan Aceh
Tabel 1
manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Secara etimologis, syariat
memiliki arti yaitu jalan menuju ke sumber air atau jalan ke arah sumber pokok
diartikan sebagai sejumlah kekuatan hukum dan aturan Allah Swt. yang menjadi
2014: 13).
hukum yang sifatnya transendental, yaitu turun dari wahyu Ilahi. Maka, syariat saat
penafsiran wahyu, tetapi harus diakui terpengaruh oleh kompleksitas teks sumber,
tidak berubah, tetapi juga memiliki banyak sisi relativitas dan patrikularitas (Kamil
terjadinya pertikaian politis. Hal ini terus terjadi sampai di era Presiden Soeharto.
Lalu setelah melalui proses yang alot, penerapan syariat Islam di Aceh mulai
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh oleh Presiden B.J. Habibie.
Menurut Berutu (2016: 167), dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh sejak
menunjuk T.M. Ali Panglima Polem sebagai ketuanya. Setelah dana yang
1950, Provinsi Aceh dilebur dan disatukan ke dalam Provinsi Sumatra Utara dan
dijadikan keresidenan Aceh. Tentu hal ini menimbulkan kekecewaan bagi para
unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri pemberontakan DI/TII
konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi Provinsi Aceh (Berutu, 2016:
169).
Pemerintah pusat mengutus Mr. Hardi pada Mei 1959 untuk membawa misi
DDRDI yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini
adalah bahwa pemerintah pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan
bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Status ini kemudian dikukuhkan
62
bagi Aceh itu belum memiliki substansi dan bentuk konkret apa pun. Oleh karena
itu, Beureu’eh kembali memulai perang saudara antara DI/TII dan TNI (Berutu,
2016: 172).
umum), Ali Hasjmy (ketua satu), dan Letkol Nyak Adam Kamil (ketua dua).
melahirkan Ikrar Blangpadang. Ikrar ini turut ditandatangani oleh 700 orang
membina kerukunan serta persatuan di Aceh. Namun setelah itu, penerapan syariat
Islam di Aceh tidak sesuai dengan yang diharapkan, Misalnya, pada 1979
pemerintah pusat. Dengan adanya undang-undang ini, struktur gampong dan mukim
serta segala perangkatnya tidak berlaku lagi. Perangkat pemerintahan lokal ini
digantikan dengan struktur baru yang bersifat nasional, sehingga struktur lokal yang
2016: 172—173).
Konflik mulai terjadi lagi di Aceh pada 1976. Hal ini ditandai dengan
keputusan Hasan Tiro yang memproklamirkan GAM di Pidie pada awal 1977
dengan alasan bahwa Indonesia merupakan “neokolonial” yang menjajah Aceh dan
generasi ini menjadi periode yang berlarut-larut. Generasi pertama atau generasi
penggerak awal dipelopori oleh orang-orang yang merasa tidak puas terhadap
pengelolaan ladang gas Arun yang dianggap tidak adil atau dengan alasan ekonomi.
Generasi ini dipimpin oleh Hasan Tiro dan didukung juga oleh sisa-sisa kelompok
di Aceh. Gerakan ini mendapat respons yang amat keras dari pemerintah.
Generasi kedua GAM muncul pada akhir 90-an. Menurut beberapa sumber,
Hasan Tiro yang menetap di Swedia berhasil menjalin kerja sama dengan Libya
untuk memberikan pelatihan militer kepada beberapa orang Aceh. Banyak dari
64
mereka yang dilatih pada akhir 90-an pulang ke Aceh dan melakukan aksi sporadis
Soeharto menggelar Operasi Jaring Merah yang menjadikan Aceh sebagai DOM
sampai 1998. Selama operasi militer ini, diindikasikan telah terjadi pelanggaran
HAM yang berat di Aceh, yang tentu saja mengakibatkan penderitaan rakyat
Generasi ketiga GAM muncul setelah pencabutan status Aceh dari DOM di
GAM yang sebelumnya melarikan diri ke luar negeri memilih pulang kembali ke
Aceh. Pelanggaran HAM yang terjadi semasa DOM telah menimbulkan kebencian
yang masif terhadap pemerintah pusat. Maka, GAM mengusung pelanggaran HAM
tersebut sebagai titik tolak untuk meningkatkan identitas keacehan. Isu ini berhasil
kemiskinan, ketidakadilan, serta isu pemisahan Aceh dari Indonesia (Berutu, 2016:
175—176).
Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan diserahkan kepada Presiden B.J.
Habibie (Mei 1998—Oktober 1999), jalan damai di Aceh memasuki babak baru.
Pada 7 Agustus 1998 pencabutan status darurat militer terhadap Aceh resmi
menerapkan syariat Islam kembali terbuka. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya
bidang agama, adat istiadat, dan penempatan peran ulama pada tataran yang
Islam sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kafah dan bentuk respons
sekalipun tidak jelas (Amal dan Panggabean dalam Berutu, 2016: 177). Maka, dapat
dikatakan bahwa Perda ini mendahului hak otonomi khusus bagi pemerintahan
Aceh untuk menerapkan syariat Islam yang baru disahkan dua tahun kemudian
Titik tolak perdamaian Aceh yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan
penunjukan HDC sebagai pihak ketiga untuk mencari jalan penyelesaian Aceh
secara tepat, damai, dan demokratis (Sukma dalam Berutu, 2016: 178). Pada akhir
Januari 2001, HDC membawa kedua belah pihak ke Jenewa guna membuat
yang bebas serta adil bagi Aceh dan sebuah komisi independen yang diterima kedua
CoHA pada 9 Desember 2002, yang masih ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa.
perdamaian yang kekal yang mengedepankan 4 agenda utama, yaitu: agenda bidang
militer, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan reformasi sipil. Pihak yang diberi
mandat untuk memantau keadaan keamanan dan meneliti setiap pelanggaran adalah
KKB. Komite ini dipimpin secara tripartit yang terdiri dari seorang perwira senior
dari militer Thailand, yaitu Mayor Jenderal Tanongsuk Tivinum; Brigadir Jenderal
Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan Sofyan Ibrahim Tiba dari pihak GAM
(Peraturan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 dalam Berutu, 2016: 178—
179).
Presiden Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Situasi di Aceh.
Agama tidak disebutkan sebagai suatu masalah dalam instruksi presiden ini. Hal ini
dimungkinkan karena GAM tidak menjadikan Islam sebagai basis ideologi dan
negara Islam bukanlah bagian dari platform formalnya (Khamami dalam Berutu,
2016: 179).
kesepakatan yang ditawarkan oleh pemerintah (Sukma dalam Berutu, 2016: 179),
Nanggroe Aceh Darussalam pada 9 Mei 2003 (Milallos dalam Berutu, 2016: 179).
periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya, pada 2004 terjadi
perubahan status Provinsi Aceh dari Darurat Militer menjadi Darurat Sipil melalui
Kepres Nomor 43 Tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan
perjalanannya, Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam tidak
dan sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Milallos dalam Berutu, 2016: 180). Di dalam Undang-
Undang Otonomi Khusus bagi Aceh yang ditandatangani oleh Presiden Megawati
ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan syariat Islam di
2002 dan pembentukan DSI di tingkat provinsi yang kemudian diikuti oleh
peran satu tahun berselang dengan membentuk Mahkamah Syariat di Aceh sebagai
Dalam sejarah penerapan syariat Islam, dikenal paling tidak empat macam
wilayah atau lingkungan peradilan Islam, yaitu wilayah at-tahkim, al-qadha, al-
mazhalim, dan al-hisbah. Keempat lingkungan ini telah mengambil peran yang
cukup penting pada saat mewujudkan syariat Islam di dalam kehidupan masyarakat
(Melya, 2005: 63). Untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam yang telah
hukum, dan peradilan (Kurniawan, 2012: 434). Adapun badan-badan atau institusi
dalam upaya penegakan syariat Islam (Kurniawan, 2012: 434). Peranan DSI sangat
terutama pada lima tahun mendatang. DSI merupakan perangkat daerah yang
Aceh yang dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah dan
yang beradab dan bermartabat dalam nuansa Islam sebagai hasil penerapan syariat
DSI memiliki tujuan jangka panjang, yaitu upaya yang mengarah kepada
terwujudnya sasaran dari tugas pokok serta fungsi organisasinya. Tujuan jangka
pendeknya adalah menjabarkan tujuan jangka panjang yang memiliki ciri berupa
pencapaian tujuan jangka pendek ditandai dengan sejumlah indikator, baik berupa
jumlah, presentasi frekuensi waktu, dan menurut satuan ukuran tertentu (Melya,
2005: 65—66).
Menurut Melya (2005: 67), pada awal kehadirannya, DSI memiliki dua
kekuatan modal dasar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya setelah dilakukan
penyebarluasan informasi syariat Islam dan personil yang ada walaupun terbatas.
faktor kelemahan dalam mengatur operasional dinas, yaitu tidak terdapat garis
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, sarana
operasional.
Menurut Idris, dkk. (2002: 268) jika berpijak pada fungsinya, DSI telah
terwujudnya visi dan misi DSI. Program-program ini dapat dikategorikan sebagai
program umum, program khusus, dan program prioritas. Secara rinci, program
Sementara itu, Idris, dkk. (2002: 269) menyebutkan bahwa program khusus
larangan khalwat.
Dari sejumlah program umum dan program khusus ini, menurut (Idris, dkk.,
Baitul Mal dan Badan Amil Zakat, aturan tentang tanggung jawab,
huruf Arab Melayu yang benar dan indah untuk menciptakan suasana
Badan ini bukanlah badan baru, melainkan badan lama yang kemudian
perkara-perkara nikah, talak, cerai, wakaf, dan infak. Peradilan agama sebelumnya
keputusan presiden tersebut, perkara pidana yang diatur di dalam qanun, untuk saat
ini menjadi kompetensi MS. Tiga qanun (maisir, khamar, dan khalwat) yang sudah
Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariat dan Mahkamah Syariat Provinsi
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh yang
absolut, meliputi seluruh aspek syariat Islam yang diatur dengan qanun yang sudah
membentuk jaksa atau polisi khusus, melainkan tetap memakai alat negara yang
sudah ada. Namun, terdapat perbedaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya
yang sudah diresmikan ini adalah yuridiksinya tetap dari pengadilan agama yang
dalam qanun. Qanun yang telah diatur dalam Provinsi Aceh itu, yakni hal-hal yang
Qanun berasal dari bahasa Yunani dan diserap ke dalam bahasa Arab
melalui bahasa Suryani (Ensiklopedia Hukum Islam dalam Makmun, 2014: 14).
peraturan, dan hukum. Qanun menurut Abdul Manan adalah ra’yu (produk
dalam Makmun, 2014: 14). Adanya campur tangan qanun memiliki kekuasaan dan
mengikat karena disahkan oleh suatu negara untuk kemudian dilaksanakan demi
yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut
atas ketentuan di dalam hukum Islam yang ditetapkan oleh sultan. Qanun pada
literatur Melayu Aceh diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang
telah menjadi adat selama pemerintahan sultan (Abubakar dalam Makmun, 2014:
15).
Sekarang ini qanun digunakan sebagai istilah untuk Perda yang menjadi
peraturan yang merupakan kategori kedua qanun, maka akan dihukum sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur (Salim dalam Makmun, 2014: 15).
Provinsi Aceh, DSI telah mengeluarkan instruksi yang salah satunya adalah
pembentukan tim pengawas syariat Islam. Maka, pada pertengahan 2003, DSI
Provinsi Aceh merekrut beberapa personil dari kalangan sipil dan kemudian
jalannya pelaksanaan syariat Islam di sejumlah daerah. Selain itu, lembaga ini juga
memberikan pembinaan bagi para pelanggar syariat Islam dan pelanggaran yang
tingkat gampong (desa) yang anggotanya biasa disebut dengan muhtasib (Salehati,
2010: 69).
utama sweeping adalah perempuan yang tidak memakai jilbab atau tidak berbusana
islami, baik yang berada di dalam mobil, mengendarai atau berboncengan sepeda
motor, penumpang becak, maupun pejalan kaki. Mereka yang terjaring diharuskan
mengisi surat pernyataan yang memuat beberapa poin, di antaranya identitas diri
dan alasan tidak memakai busana islami. Lalu, pada bagian akhir surat itu tertulis:
Saya berjanji ke depannya nanti akan selalu mengenakan pakaian islami sesuai
dengan tuntutan syariat Islam. Setelah itu surat tersebut ditandatangani oleh yang
penegak hukum yang ada, misalnya polisi dan jaksa yang melakukan penyelidikan
dan penyidikan, jaksa yang melakukan penuntutan, atau juga PPNS. Semua badan
itu saat ini memiliki unit khusus yang berkonsentrasi pada penegakan syariat Islam.
menjadi pembina Wilayatul Hisbah. Sementara itu, di kejaksaan juga ada jaksa
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menjadi dasar pengakuan dan
landasan formal dalam pelaksanaan syariat Islam di wilayah Aceh, terdapat juga
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
yang mewajibkan semua umat Islam di Aceh mengenakan busana islami, yang
didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang dan
tidak menunjukkan bentuk tubuh. Meski qanun tersebut berlaku bagi perempuan
lebih represif. Perempuan ditempatkan sebagai “tiang” negara yang harus dikontrol
petugas syariat yang disebut dengan WH, yang nyatanya lebih banyak menyasar
perempuan. Bentuk pelembagaan ini, sebagaimana yang disebut oleh Peter Berger,
adalah internalisasi ide. Penerapan qanun yang tidak merata menjadikan sebuah
oknum tertentu. Bagi Millet, seorang pemikir feminis, hal ini menunjukkan
ruang gerak mereka dalam mengaktualisasikan dirinya. Hal ini kontras atau
yang telah peneliti paparkan di atas. Menurut Ismail dalam Makmun (2014: 64),
78
9. Informasi berceceran.
“Saya masih sekolah menengah, 1970. Saat itu hampir semua perempuan
tidak bisa bergerak sendiri. Karena begini: mau pergi ke mana? Dia harus
pergi sendiri naik bus umum, honda (sepeda motor) tidak ada, sepeda
terbatas, jalan (merupakan) hutan ke mana-mana. Berbahaya”
(Badruzzaman dalam Makmun, 2014: 64).
kehidupannya, yakni ketika konflik selesai, budaya patriarki tertanam kuat dan
bahwa sebenarnya hukum Islam menjadi pilar yang sangat penting dalam
79
membentuk tatanan sosial masyarakat Aceh, termasuk dalam hal status dan peran
perempuan. Salah satu aspek yang paling sering dikemukakan oleh para ahli yang
meneliti Aceh adalah komitmen dan keislaman yang hidup dalam masyarakat Aceh
perempuan.
pandangan ini terbantahkan karena perempuan Aceh sejak dulu aktif di dalam ranah
publik dan ini merupakan sebuah fakta. Keaktifan perempuan Aceh tidak hanya di
dunia politik dan sosial, tetapi juga ekonomi, seni, dan militer.
dianggap dapat mengundang hasrat laki-laki. Di sisi lain, laki-laki bebas bergerak
tanpa batas. Maka, orientasi pertama pelaksanaan syariat Islam adalah tubuh
perempuan yang harus ditutup sedemikian rupa yang berujung pada sweeping
fenomena ini. Salah satu konsep yang relevan dengan adanya pergeseran sosial
masyarakat Aceh adalah konsep tentang “kuasa” yang utamanya dalam konteks
pendisiplinan tubuh. Menurut Foucault, tubuh dijadikan sebagai subjek dan target
objek yang digunakan untuk mengontrol subjek tersebut. Objek tidak selamanya
dan tidak terputus dalam mengawasi proses kegiatan pendisiplinan hingga hasil
terhadap pengoperasian tubuh subjek oleh objek dan memaksakan mereka pada
suatu relasi utilitas kepatuhan atau kerap disebut dengan “disiplin”. Konsep disiplin
ini juga dipahami dengan meningkatkan kekuatan terhadap tubuh. Oleh karena itu,
penerapan syariat Islam ini, peneliti berpendapat bahwa budaya patriarki dan
Aceh sejak mereka kanak-kanak hingga dewasa. Hal ini mengakibatkan ketiadaan
81
dirinya.
Perempuan Aceh
orang tua terbiasa memberi perlakuan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Perlakuan tersebut tidak dianggap sebagai diskriminasi, akan tetapi sebagai sebuah
konsekuensi yang wajar atas adanya perbedaan jenis kelamin. Perbedaan perlakuan
yang diterima antara aneuk inong (anak perempuan) atau aneuk agam (anak laki-
Keberadaan aneuk inong dan aneuk agam dalam konteks sosial masyarakat
status dan peran antara anak perempuan dan anak laki-laki memiliki karakteristik
yang berlainan. Sebagaimana diuraikan oleh James Siegel, laki-laki di Aceh sudah
mulai dibiasakan untuk hidup di luar rumah mereka atau di area publik semenjak
sejak usia kanak-kanak. Dengan demikian terjadi pembatasan yang cukup besar
dalam hubungan antarjenis kelamin dalam masyarakat Aceh (Salehati, 2010: 66).
82
Pendapat Siegel di atas, dalam beberapa hal masih dapat dilihat dalam
realitas masyarakat Aceh masa kini, tetapi banyak juga masyarakat yang telah lebih
berbeda. Baginya, merupakan sebuah kenyataan bahwa mereka adalah aneuk inong
dan aneuk agam yang tentu memiliki peran dan fungsi berbeda. Hal tersebut
“Saya tentu saja memberikan perlakuan yang tidak mungkin sama persis
kepada anak-anak saya, karena pada kenyataannya memang ada perbedaan,
yang satu aneuk agam, yang satu aneuk inong. Sudah fitrahnya antara laki-
laki dan perempuan memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Namun,
bukan berarti membedakan itu sama dengan menganaktirikan atau lebih
sayang kepada salah satu pihak. Yang ada adalah menempatkan mereka
sesuai dengan porsi masing-masing. Alquran jelas sudah mengatur tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan, begitu pula adat Aceh yang
bersumber pada ajaran Islam. Itulah yang saya jadikan pedoman dalam
menata hubungan di antara mereka” (Mahmudin dalam Salehati, 2010: 66).
Diskriminasi antara aneuk inong dan aneuk agam juga dirasakan oleh
oleh peran gender tersebut. Annisa merasa terbebani karena sebagai perempuan,
adalah pernyataannya:
“Di level keluarga dulu kali, ya, di lingkup primer. (Diskriminasi) yang
paling banyak saya dapatkan itu di keluarga. Misalnya, anak laki-laki boleh
keluar malam, sedangkan perempuan itu ada jam malamnya dan ada batasan
untuk keluar. Ada jam segini, nanti pulang jam segini. Nah, ketika saya
tanya pada keluarga saya alasannya kenapa, ya, (jawabannya) karena kamu
perempuan. Itu, sih, menurut saya tidak logis.
Lebaran (sedang) tidak ada pembantu. Tidak ada yang membantu untuk
membersihkan rumah, sehingga saya sebagai perempuan dipaksa untuk
membersihkan rumah” (Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari 2019).
Aceh setuju jika institusi pendidikan dan pekerjaan juga menjadi salah satu tempat
dianggap tidak memiliki kompetensi dalam ranah publik karena Annisa berjenis
kelamin perempuan.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Iin, perempuan asli Banda Aceh, yang
patriarki maupun matriarki, tidak ada yang perlu didukung. Manusia sebagai
makhluk hidup sebenarnya sama aja, terlepas dari jenis kelamin yang dimiliki.
beberapa perbedaan dalam lingkup biologis, tidak berarti perempuan lebih rendah
dibanding laki-laki.
dipahami dalam pengaturan kultural masyarakat Aceh. Perbedaan tugas antara anak
kebebasan yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki memiliki
kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengan dunia luar, seperti di masjid,
kedai kopi, atau bermain di rumah teman sekolah mereka (Salehati, 2010: 67).
Berkenaan dengan kebebasan yang lebih besar yang dimiliki oleh anak laki-
jilbab. Perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab sebagai penutup kepala
bahkan diangkut ke kantor polisi syariat. Aksi ini dimulai dari Banda Aceh sampai
Sabang dan mulai marak pada 2006, beberapa bulan setelah perdamaian di Aceh
Jilbab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariat. Islam
laki, yang mana pemisahan tersebut melibatkan jilbab di dalamnya. Jilbab sendiri
sesuatu dari pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian dengan ranah
86
larangan. Jilbab tidak hanya memiliki kategori kasat mata yang berada dalam
realitas indrawi, tetapi juga bentuk realitas abstrak yang berada dalam ranah
Salah satunya Annisa yang menyatakan bahwa jilbab berkaitan dengan dimensi
kedua dan dimensi ketiga seperti yang peneliti paparkan di atas. Berikut
pernyataannya:
“(Definisi jilbab menurut saya) yang dimensi kedua dan dimensi ketiga.
Dan yang lebih ditekankan itu yang nomor dua kalau menurut saya. (Jilbab
adalah) untuk membatasi diri dengan orang lain. Alasan terbesar saya
(mengenakan jilbab itu karena) takut untuk di-judge oleh orang. Dan juga
paksaan dari keluarga yang lingkungannya Islam. Karena paksaan itu cukup
membuat orang lain takut” (Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari
2019).
berhubungan dengan jilbab. Oleh karena itu, Kamil menganggap bahwa hukum
atau tidak memakai jilbab. Tafsir dari kelompok dominan yang kemudian
dipaksakan kepada publik melalui instrumen negara ini dianggap melanggar hak
orang lain yang meyakini bahwa berjilbab ini bukanlah kewajiban (Kamil dan
tidak ada dalil sama sekali di dalam Islam yang menyuruh perempuan untuk
baik di dalam dan luar rumah, dalam pakaian yang serba tertutup. Qasim menentang
“Menurut saya, kenapa pada waktu itu jilbab diwajibkan karena pada saat
itu maraknya kasus pemerkosaan. Maka, perempuan harus dilindungi
karena mereka (perempuan) sendiri rentan menjadi korban. Karena mereka
(perempuan) didefinisikan lemah. Maka dari itu, untuk meminimalisir,
mereka (perempuan) menggunakan jilbab. Dan di mana pada masa itu tidak
adanya hak asasi manusia; belum menyadari pentingnya hak asasi dari
manusia itu sendiri. Namun, kalau menurut saya, jilbab di masa sekarang
dapat dikatakan tidak wajib lagi. Karena sudah beda zaman; sudah beda
konteks.
Bahkan, bisa saja kan (saya) menginterpretasi ayat yang menjulurkan kain
ke seluruh tubuh itu menurut saya bisa diartikan dengan pakaian yang sopan
walaupun tidak menggunakan jilbab. Karena di negara-negara Arab sendiri
pun banyak yang tidak menggunakan jilbab, namun masih menggunakan
baju yang sopan atau mengenakan scarf. Rambut masih kelihatan. Beda
pemahaman setiap daerah dan juga konteksnya sudah berbeda”
(Wawancara dengan Annisa pada 2 Januari 2019).
Kamil & Bamulian dalam Makmun (2014: 24) berpendapat bahwa Alquran
maupun hadis tidak memberikan rincian dan bentuk konkret tentang model pakaian
sebagai penutup aurat karena bentuk pakaian menjadi bagian dari kebudayaan atau
kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya yang dipengaruhi ruang dan waktu
. Dalam Islam tidak ada ketentuan harus memakai kebaya atau baju kurung, tidak
88
ada pula larangan mengenakan gaun atau rok karena yang ditentukan Islam adalah
sebuah pemaknaan makna dan tafsir. Relasi kuasa dan saling tarik antara kalangan
agamawan normatif: antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian,
dan privasi) dan atas nama kebebasan (ruang gerak). Jilbab lebih dari sekadar cita
rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu
komunitas tertentu yang menjadi fenomena bagi suatu lapisan sosial, simbol
Salah satu aspek yang paling ditonjolkan dalam penerapan syariat Islam di
Aceh adalah aspek busana, terutama jilbab pada kaum perempuan. Hampir setiap
kini memakai jilbab. Menurut Bustami (2004: 63—64), jika dewasa ini hampir
seluruh perempuan Aceh memakai jilbab sebagai salah satu komponen dari busana
muslimat, maka hal itu bukan hanya karena dilatarbelakangi oleh keinginan
menjalankan perintah agama, melainkan juga oleh ketakutan akan sanksi sosial
yang akan diterima jika tidak melakukannya. Pandangan ini Bustami dasarkan pada
situasi pada masa penerapan syariat Islam hingga saat Bustami melakukan
penelitian.
89
jilbab di dalam kelompok perempuan di Aceh. Hal ini diafirmasi oleh Annisa dalam
Begitu pula yang dinyatakan oleh Iin dan SR terkait penggunaan jilbab di
“Mamak saya pake jilbab tahun ’97 atau ’98, bukan dari kecil. Mamak saya
dulu fotonya pake rok mini semua. Nenek saya juga nggak pake, dulu.
Cuma awal-awal 2000, pas diterapin syariat Islam, baru Nenek saya pake
jilbab. Bukan jelbab juga, sih, selendang. Rambotnya masih kelihatan”
(Wawancara dengan Iin pada 6 Januari 2019).
MPR tersebut, situasi politik Aceh sangat labil yang ditandai dengan lumpuhnya
berpengaruh dan mengontrol aktivitas sosial masyarakat. Di sisi yang lain, euforia
Islam begitu menggelora yang dipelopori oleh elemen gerakan RTA (Bustami,
2004: 64).
90
Simbol Islam yang pertama digunakan adalah aturan berbusana muslim bagi
perempuan Aceh. Aturan berbusana muslim ini tertuang dalam Qanun Provinsi
Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan bahwa “Setiap orang
Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini sebenarnya diwajibkan kepada setiap
orang Islam, baik perempuan dan laki-laki. Namun, pada interpretasi dan
penegakan dari peraturan ini hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh
atas kesadaran beragama dan juga kemauan sendiri. Namun, jumlah pemakai
Banyak perempuan yang terpaksa memakainya karena pada awal penerapan syariat
Islam, kewajiban berbusana muslimat ini mendapatkan kontrol yang ketat dari
masyarakat dan anggota GAM. Tak jarang anggota GAM melakukan sweeping
65).
pernyataannya:
“Jadi kalau ada orang yang tidak memakainya (jilbab), memang mungkin
tidak dihukum terus, tetapi bisa kena sanksi, kena tegur, dan sebagainya,
sehingga orang juga nggak mau melawan itu. Tapi coba, ‘terserah kalian’,
91
segera saja banyak yang buka. Sekarang saja sudah banyak yang buka”
(Mardhatillah dalam Meira, 2015: 48).
yang selama 29 tahun terbenam dalam konflik bersenjata antara GAM dan
pemerintah Indonesia. Namun, ada pula yang menganggap jilbab adalah suatu
kewajiban dan itu merupakan hal utama dalam syariat Islam (Salehati, 2010: 98—
99).
Salah satu yang menganggap jilbab sebagai sebuah kewajiban adalah Naila
Amalia. Naila yang tumbuh besar di salah satu kota besar di Aceh, Lhokseumawe,
dan sekarang menjadi ibu rumah tangga tersebut memiliki pandangan bahwa
pemakaian jilbab adalah hal yang esensial dalam penerapan syariat Islam.
“Menurut saya, hadis dan dalil (tentang penggunaan jilbab) itu final. Respon
(terhadap syariat Islam yang berfokus terhadap tubuh perempuan) saya
sebenarnya, ya, kayak orang biasa, sih, lumrah. Dan kalau (dalam)
menerapkan syariat Islam, hal itu (pemakaian jilbab) memang esensial. Tapi
kalau dalam perihal tubuh perempuan, ya, itu tuh bukan dengan cara
paksaan, dengan mempermalukan orang, itu tuh nggak. Tapi kaya
perempuannya tu dididik. Jadi ada wadah pendidikan agama untuk ibu dan
untuk keluarga. Itu baru benar pendidikan syariat Islam yang baik, bukan
dengan label dari luar gitu, lho. Bukan persoalan ‘Kamu harus menutup ini’,
tapi pemahamannya nggak ada. Dan mereka nggak dibantu untuk paham”
(Wawancara dengan Naila Amalia pada 5 Januari 2019).
Naila sendiri merasa tidak bebas terhadap pilihannya tersebut. Hal ini dapat
“Saya milihnya (penggunaan jilbab karena) hadis dan dalil, kan, ya. Jujur
saya merasa nggak bebas, sih. Saya jawab dengan suara kecil, ya. Karena
saya sedih, udah percaya dan udah memilih hadis dan dalil, tapi saya kok
nggak sanggop jalanin” (Wawancara dengan Naila Amalia pada 5 Januari
2019).
Maka, Salehati (2010: 100) menyoal, apakah jilbabisasi ini sebuah ekspresi
kultural Arab ataukah substansi ajaran agama? Apakah ia sebuah simbol kesalehan
dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan
Ketika memahami Aceh dengan syariat Islamnya, maka akan cukup miris
perspektif teologis Islam, tidak ada satu pun ayat maupun hadis pembenaran yang
68—69).
Situasi hari ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menjadi polisi, hakim,
dan jaksa yang bisa memutuskan hukum bagi pelanggar syariat Islam. Kekuasaan,
masa konflik. Pelaksanaan syariat Islam selama ini, di samping telah memberikan
faktual adalah perempuan. Ada beragam bentuk kekerasan yang menimpa kaum
93
perempuan selama pelaksanaan syariat Islam di Aceh, mulai dari kekerasan fisik,
agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam hal lain,
pendisiplinan juga menjadi istilah pengganti untuk hukuman atau pun instumen
hukuman. Fenomena pendisiplinan ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi setelah
sifat asal manusia serta hak-hak yang melekat padanya (Salehati, 2010: 75).
Sejak beberapa tahun terakhir dan pasca penerapan syariat Islam di Aceh,
kata sweeping menjadi sangat populer di dalam masyarakat Aceh. Hal ini tentu
tidak terlepas dari politik yang kian memanas dan keamanan semakin tidak
melibatkan anggota GAM. Kata ini secara gradual menggantikan kata “razia” yang
dilakukan aparat TNI/Polri. Bahkan, razia oleh sipil pun disebut sweeping (Salehati,
2010: 95—96).
Berikut adalah wawancara yang dilakukan oleh Salehati kepada Fatma dan
“Syariat Islamnya kagak salah. Yang salah oknumnya, entah itu oknum
polisi syariat, pejabat, TNI/Polri, GAM, dan sebagainya. Nggak ada
perintah menegakkan negara atau daerah Islam dalam Alquran. Yang ada
adalah: Tegakkan keadilan! Jadi, mau pake hukum positif atau hukum
syariat, keadilan harus ditegakkan!”
94
“Saya tidak setuju dengan sweeping syariat Islam yang ada di Aceh. Seperti
yang kita ketahui, untuk melakukan syariat Islam, kita benar-benar mesti
siap dari segi mental. Bukannya kita teriak-teriak syariat Islam, ternyata di
dalam malah berbuat yang lebih bertentangan. Itu lebih munafik. Kita harus
menghargai pilihan hidup orang selama orang tersebut tidak merugikan
orang lain. Itu merupakan hak mereka. Tidak seharusnya mereka mengatur
orang, seperti mereka tidak mau diatur oleh orang lain juga (Fatma &
Misbah dalam Salehati, 2010: 97).
Terdapat sebuah kasus yang nyaris bermuara pada konflik horizontal yang
patut dikemukakan di sini. Para awal paruh 2000, sweeping jilbab dilakukan oleh
sejumlah pemuda di berbagai tempat di Aceh. Dalam beberapa kasus, para pemuda
ini memotong paksa rambut para perempuan yang tertangkap tidak memakai jilbab.
Tak lama kemudian, kaum perempuan melakukan aksi balasan berupa sweeping
salah Jumat. Mereka membawa tongkat, galah, dan sapu lidi dan mendatangi
warung-warung, pasar, dan berbagai tempat lainnya untuk mencari dan mengusir
laki-laki yang tidak melaksanakan salat Jumat. Akibatnya, pada waktu itu muslimat
Aceh serentak memakai jilbab dan hampir setiap masjid penuh pada waktu salat
Jumat. Aktivis Flower Aceh, Evi, menyatakan bahwa pemakaian jilbab oleh
melainkan lebih dikarenakan oleh rasa takut terhadap sanksi masyarakat (Salehati,
2010: 100).
tubuh yang dilakukan kepada salah satu rekannya sama keduanya bermain di pantai.
Keduanya melakukan kunjungan ke pantai yang juga dijadikan tempat wisata oleh
masyarakat di Lhokseumawe. Secara kebetulan, saat itu ada sweeping syariat yang
dengan celana panjang yang digulung setinggi lutut dan lengan baju yang digulung
95
setinggi siku. Sementara seorang teman Nilasari tidak mengenakan penutup kepala,
tetapi lengan dan kakinya terbungkus pakaian yang rapi. Namun, WH yang
pendatang dari luar Aceh. Nilasari memerhatikan suasana sekitar dan banyaknya
tatapan orang melihat kepada dirinya dan temannya layaknya dua perempuan yang
telah berbuat dosa. Keduanya mendapatkan teguran serta sanksi dari lingkungan
di Banda Aceh. Di pasar tersebut, Nilasari melihat seorang ibu yang sedang ditahan
yang ada dalam tasnya dan menggunting rambutnya sendiri sambil mencaci-maki
WH tersebut.
cat kepada perempuan yang dianggap melanggar syariat (dalam konteks berbusana)
agar celana yang dikenakan tidak dapat dipakai lagi. Padahal, Ketua Nahdlatul
Ulama Aceh, Teungku Faisal Ali, menyatakan jika kelompok masyarakat tidak
96
hal itu merupakan kewenangan polisi syariat. Masyarakat hanya diberi wewenang
Kreung Mane dan Kreung Geukeuh sebagai contoh faktual kekerasan fisik yang
Banda Azeh, razia oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap masyarakat
sebagaimana yang terjadi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara, yang berakibat pada
Selain itu, ada juga kekerasan psikologis yang dalam praktiknya dapat
dilakukan pemerintah atau masyarakat. Cara dan jenis kekerasan psikologis ini
misalnya berbagai tulisan yang bernada keras terhadap pelanggaran syariat Islam
seperti yang terdapat pada baliho di Kabupaten Tamiang, persis di dekat Jembatan
Kota Kuala Simpang, yaitu “Hanya orang kafir yang tidak memakai jilbab”.
Kalimat hampir serupa juga dijumpai pada spanduk yang bertebaran di Banda Aceh
yang berbunyi “Perempuan tidak berjilbab adalah syaitan”. Masih banyak lagi aksi-
aksi lain yang tidak sesuai dengan hakikat syariat Islam itu sendiri (Salehati, 2010:
76). Selain itu terdapat berbagai papan pengumuman di jalanan dengan tulisan
“Cara Berbusana yang Benar”, “Bagi Ibu-Ibu dan Remaja Putri Wajib Mengenakan
Jilbab”, “Kawasan Wajib Jilbab”, dan poster “Pakaian Remaja Putri yang Islami”
97
merupakan bagian sosialisasi syariat Islam yang berfokus pada tubuh perempuan
masjid, pasar, bahkan objek wisata yang berisi peringatan mengenai “area wajib
berbusana muslimah” atau “kawasan wajib berjilbab”. Definisi ruang publik yang
patut bagi perempuan dan simbol-simbol perempuan yang saleha menjadi identitas
yang dibangun dalam masyarakat yang dikonstruksikan oleh syariat Islam untuk
syariat Islam yang sesungguhnya, yaitu membangun sebuah masyarakat adil dan
realitas yang terjadi sekarang adalah sebuah pengekangan yang defisit esensi.
Berikut pernyataannya:
“(Respons saya terhadap perempuan Aceh, ya) kasihan aja, gitu. Lebih ke
kasihan, sih. Kayak terlalu dikekang dan sebenarnya saya sendiri pun
melihat (penerapan ini) nirfaedah aja, gitu. Dikekang, tetapi nggak ada
alasan yang gimana, gitu. Ini saya ngomong sebagai observant, ya, soalnya
kan yang melihat penerapannya di Aceh sekaligus kena juga, sih,
dampaknya.
Saya pun (ketika) SMP pake jilbab, kan. Waktu SMP itu kenapa harus pake
karena wajib—di SMP negeri gitu, kan. Terus, ya, karena saya juga merasa
itu bukan satu hal yang melanggar di agama saya juga. Bukan satu hal yang
prinsipal yang nggak boleh dilanggar.
Terus, respons orang (pada) awal-awal ada yang positif, ada yang negatif.
‘Ih, cantik, sih, kalau pake. Udah, pake aja’. Malah ngajak-ngajak gitu kaya
pindah agama. Terus yang negatif kaya, dulu kan saya pake itu kan kalau
98
cuma di sekolah aja, kan. Kalau di luar lepas. Terus kata mereka itu katanya
menghina Islam karena pake-lepas-pake-lepas.
(Peraturan pemakaian jilbab) itu paksaan, sih, tapi, ya, nggak apa. Tapi
kalau dikasih pilihan, sih, saya nggak pake. Saya pikir itu peraturannya
cuma sebatas SMP, tapi teman gereja saya ada yang pake di SMA-nya. Tapi
cuma di beberapa SMA aja, deh, kayanya. Nggak enak tau (pake jilbab).
Panas” (Wawancara bersama Melodi pada 5 Januari 2019).
pada bagaimana mengatur moral dan perilaku anggota masyarakat melalui tubuh
baik, misalnya seorang perempuan tidak boleh memakai celana jins yang ketat dan
Syariat (Salehati, 2010: 86—87). Tak hanya itu, biasanya akan ada sanksi sosial
peraturan bupati di Aceh Barat yang menetapkan aturan serupa. Melalui Peraturan
Bupati Aceh Barat Nomor 5 Tahun 2010 yang ditetapkan pada 27 Mei 2010, semua
perempuan di Aceh Barat diwajibkan untuk memakai rok panjang dan melarang
mengenakan pakaian dan celana ketat, termasuk tamu yang datang ke Aceh Barat.
Mereka yang menggunakan pakaian ketat dipaksa untuk menggantinya dengan rok
perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif
perilaku mana yang merusak akhlak atau dekadensi moral dan mana pula yang
paling mudah dieksploitasi dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh
negara sendiri yang ditutup dan dilakukan atas nama syariat (Salehati, 2010: 87).
Tubuh merupakan ranah hakiki bagi setiap manusia yang menjadi ajang
ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, tidak dengan tubuh perempuan Aceh
karena tubuh mereka tidak dimiliki oleh dirinya sendiri. Perempuan kehilangan
raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabeli,
Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah
Mereka tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikiran, dan geraknya. Dalam
situasi seperti itu, perempuan tidak mampu lagi menciptakan sejarah sebagai
manusia sempurna karena nilai selalu dilekatkan pada tubuhnya. Sejak lahir,
perempuan dibebani tugas sebagai penjaga moral, tetapi di sisi lain, publik tidak
Kejahatan terbesar adalah tubuh (perempuan) dan karenanya harus dihukum dan
tinggi, aturan kebudayaannya akan mengikat tubuh individu lebih kuat. Dalam hal
100
WH, sebagai pihak yang ditugaskan sebagai polisi syariat, secara rutin
menggelar razia untuk memastikan perempuan Aceh menaati aturan ini. Mereka
peraturan ini akan berujung pada pemberian peringatan atau pun penahanan
Maka, petugas melepaskan kedua perempuan itu. Namun, yang menjadi persoalan
dalam rangka menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.
Apakah perempuan nonmuslim di Aceh juga tidak memiliki akses terhadap pilihan
“Ini masalah jilbab, ya? Kalau masalah jilbab saya keberatan. Soalnya apa,
ya, kecuali kalau pakaian. Mungkin kalau pakaian yang terlalu gimana-
gimana saya masih kayak ‘Oh, yaudah’. Tapi kalok jelbab saya merasa agak
tidak rela gitu soalnya, siapa yang peduli? Mungkin pun kalau cowok
ngeliat cewek nggak pake kerudung cuma bikin dia noleh, tapi nggak sampe
101
bikin dia, you know-lah maksudnya gimana kan. Jadinya saya kayak nggak
dapat esensinya kenapa.
Menurut saya, syariat Islam itu hanya berlaku untuk yang Islam. Dan saya
dengan tidak memakai jilbab, itu bukan termasuk tidak menghormati.
Nggak, deh, untuk jilbab, tapi untuk pakaian saya bisa nerima. Tapi kalau
jilbab, itu sangat nggak related aja gitu sama tidak menghormati. Dan
argumen bapak itu (Samsuddin) nggak rasional. Dan nggak nyaman kalau
ada peraturan kayak gitu” (Wawancara dengan Melodi pada 5 Januari
2019).
islami ini melanggar hak individu atas otonomi pribadi, ekspresi, dan kebebasan
berpikir.
Oleh karena itu, fenomena pendisiplinan tubuh perempuan Aceh ini dapat
terhadap ruang publik (sama dengan laki-laki) dan dapat menciptakan ruang yang
BAB IV
Saat konflik Aceh bergejolak, di sana hanya dikenal dua macam peraturan,
patriarkal Islam di bawah ulama dan GAM. Dalam dua ranah kekuasaan yang
maskulin inilah perempuan Aceh bertahan hidup (Salehati, 2010: 3). Dalam setiap
konflik yang terjadi, hampir dapat dipastikan kelompok yang paling dirugikan
secara publik menghilang, tersembunyi dalam baju mereka yang berlengan panjang
dan kepala mereka yang ditutupi jilbab. Tubuh mereka dianggap dapat mengundang
kemaksiatan. Maka, perempuan harus menutup seluruh anggota tubuh dan tidak
didapatkan perempuan. Diskriminasi ini terjadi sejak mereka kecil dan dimulai dari
lingkup sosial terkecil dan terdekat, yaitu keluarga. Dalam relasi keluarga di Aceh,
mulai dibiasakan untuk hidup di luar rumah mereka atau di area publik semenjak
ayah, dirinya memberikan perlakuan yang tidak mungkin sama (setara) kepada
inong dan aneuk agam. Baik perempuan dan laki-laki telah memiliki fitrah, tugas,
Aceh, yang menurut Mahmudin terdapat pernyataan terkait posisi dan peran
perempuan dan laki-laki yang sangat jelas. Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai
ini disebut sebagai diskriminasi gender. Gender sendiri diartikan sebagai konstruksi
berbeda dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam hal
104
lain,pendisiplinan juga menjadi istilah pengganti untuk hukuman atau pun instumen
berlawanan dengan visi dan misi syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan
kasih sayang, akan tetapi setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak yang
kekerasan kepada jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan. Selain itu, penerapan
syariat Islam ini menjauh dari hak asasi manusia yang bersifat dhaury (primer) yang
otonomi.
menekankan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan secara sama dan harus
memiliki kesempatan yang sama. Maka, hakikat manusia (human nature) ialah
otonomi, dan kemandirian. Bila ditarik garis lurus pada kaum perempuan, maka
perempuan pun adalah makhluk yang rasional dan setara dengan laki-laki. Manusia
rasionalitas tersebut memiliki dua aspek, yaitu moralitas (pembuat keputusan yang
6—7).
pada tubuh perempuan, dapat dilihat jika perempuan Aceh dianggap tidak memiliki
dibuat pemerintah daerah tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Tidak hanya itu,
perempuan juga tidak diberikan akses terhadap pilihan dalam menjalankan syariat
mampu merefleksikan tujuan dan menentukan hal terbaik bagi dirinya. Seperti yang
dikatakan oleh SR, dia merasa bahwa kediriannya terbentuk oleh aturan dan
ancaman dari Aceh selama ini. SR cenderung melakukan syariat Islam versi
pemerintah daerah Aceh karena dia merasa tidak dapat melakukan perubahan atau
pun memberi evaluasi pada penerapan syariat yang cenderung merugikan dirinya
106
dan perempuan lainnya. Jika ia menolak qanun yang telah dibuat, satu-satunya hal
yang bisa dilakukan hanyalah keluar dari Aceh. Berdasarkan perspektif feminisme
liberal, hal ini dapat terjadi karena perempuan dianggap tidak setara dengan laki-
bahwa jika perempuan diakui sebagai sepenuhnya rasional dan berhak atas
kebebasan sipil (Tong, 2010: 26). Mill juga berpikir lebih jauh dibanding
perempuan adalah sama jenisnya (Tong, 2010: 28). Maka dari itu, perempuan
Menurut Pasal 125 UUPA, ruang lingkup syariat Islam yang diterapkan di
Aceh adalah akidah, syariat, dan akhlak (meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah
atau hukum keluarga, muamalat atau hukum perdata, jinayah atau hukum pidana,
qadha atau peradilan, tarbiah atau pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam
(Ikhwan, 2013: 35). Namun, penerapan syariat Islam di Aceh yang diatur oleh
Lembaga Syariat Islam ini tidak diawali dengan sosialisasi ataupun edukasi.
terlebih dahulu.
107
merasa tidak pernah mendapat informasi apa pun terkait syariat Islam dari
sosialisasi yang kuat. Tidak ada pemahaman yang diberikan oleh pemerintah daerah
melalui aparaturnya. Masyarakat Aceh, terutama yang berada di daerah urban, tidak
tahu-menahu esensi dari syariat Islam. Kesimpulan ini SR dapatkan ketika beberapa
Meski menutup aurat sesuai tuntutan Perda, para ibu tersebut tidak tahu pengertian
syariat Islam. Satu hal yang mereka ketahui terkait syariat Islam adalah cambuk.
Apa yang dilakukan oleh para ibu tersebut bukanlah suatu hal yang dapat
lain yang tersedia. Maka dari itu, untuk mengenakan jilbab, seorang perempuan
sebagai aspek moralitas bagi setiap perempuan. Aspek ini yang menuntun
perempuan untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya, yang telah
perempuan tidak cukup tercermin dalam kondisi dasar di mana mereka hidup dan
memadai dalam proses penentuan nasib sendiri yang demokratis. Para feminis
liberal mengatakan bahwa defisit otonomi seperti ini disebabkan oleh “sistem
108
gender” atau sifat patriarkal dari tradisi dan institusi yang diwariskan (Okin, 1989:
89).
Berkenaan dengan relasi aneuk inong dan aneuk agam di masyarakat Aceh,
perempuan selalu berkait erat dengan nilai-nilai feminin, misalnya tidak rasional.
dikontrol dan diarahkan oleh pihak luar. Tradisi patriarkal ini disosialisasikan dan
Dengan perkataan lain, perempuan bukanlah sekadar alat atau instrumen untuk
“tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk
sebagai alat bagi orang lain. Jika seorang perempuan membiarkan dirinya
dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh (Tong,
2010: 22).
109
Aceh adalah upaya untuk mengubah mereka menjadi “the symbolic bearers of the
kehormatan kolektif dan “carriers of tradition”, yaitu penerus tradisi, yang dalam
kasus ini adalah kolektivitas berlandaskan Islam yang dibangun para ulama Aceh
feminisme liberal sendiri, yaitu menghapus halangan dan batasan pada perempuan
untuk maju. Feminis liberal menyadari bahwa negara didominasi oleh kelompok
Perempuan cenderung berada “di dalam” dan hanya sebatas warga negara, bukan
Simbol Islam yang pertama digunakan dalam syariat Islam adalah aturan
berbusana muslim bagi perempuan Aceh. Aturan berbusana muslim ini tertuang
dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini sebenarnya
diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan laki-laki. Namun, pada
interpretasi dan penegakan dari peraturan ini hanya mengarah kepada perempuan
perempuan Aceh berhak mengonsepsikan busana islami seperti apa yang mereka
110
pakaian yang dianggap nyaman tanpa harus dibatasi oleh aturan-aturan yang
menjunjung tinggi pembedaan terhadap ranah privat dan publik. Semakin kecil
peran pemerintah daerah Aceh dalam mengurusi urusan privat perempuan, maka
akan lebih baik bagi kehidupan perempuan tersebut. Dengan memberikan akses
mutlak sebagai personhood atau manusia secara utuh. Perempuan bukanlah sekadar
alat atau instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Maka, perempuan Aceh bukanlah
alat atau instumen yang dapat digunakan oleh para ulama Aceh dalam berkampanye
meraih dukungan publik melawan pemerintah pusat Indonesia pada saat konflik
dengan peran yang ditentukan oleh para ulama, semakin kuat pula citra Islam.
Padahal, perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar yang rasional, yang
harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasib dan pilihannya
sendiri. Untuk itu, dalam menjalankan syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari,
atas keputusan yang telah dipikirnya secara matang dan bukan untuk mencitrakan
ulama Aceh untuk menjadikan perempuan Aceh sebagai simbol Islam telah
apa yang terbaik bagi dirinya mereka sendiri. Perempuan Aceh dianggap tidak
mereka sendiri. Oleh karena itu, perempuan harus diikutsertakan dalam pembuatan
perempuan.
positif dalam kehidupan sosial atau masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat
kemampuan dirinya tanpa campur tangan pihak lain. Oleh karenanya, kebebasan
individu ini harus dijamin melalui penegakkan hak asasi manusia (Dewi, Tanpa
Tahun: 31).
beberapa asumsi, di antaranya bebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan (being
free of violence and the threat of violence), bebas dari batasan yang ditetapkan oleh
hukum patriarki, paternalistis, dan moralistis (being free of the limits set by
bagi manusia. Dinamika kehidupan manusia diisi oleh berbagai macam tantangan,
masalah, dan hambatan. Untuk menghadapi ketiga hal tersebut, manusia sebagai
Maka dari itu, opresi adalah ketidakadilan mendasar dari lembaga-lembaga sosial.
Opresi adalah kerugian yang secara kelembagaan terstruktur yang dilakukan suatu
Ketika memahami Aceh dengan syariat Islamnya, maka akan cukup miris
tidak ada satu pun ayat maupun hadis pembenaran yang menjadikan perempuan
Situasi hari ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menjadi polisi, hakim,
dan jaksa yang bisa memutuskan hukum bagi pelanggar syariat Islam. Pelaksanaan
113
yang sangat rentan terhadap kekerasan secara faktual adalah perempuan. Ada
syariat Islam di Aceh, mulai dari kekerasan fisik, seksual, dan psikologis (Salehati,
2010: 74—75).
Kreung Mane dan Kreung Geukeuh sebagai contoh faktual kekerasan fisik yang
Banda Azeh, razia oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap masyarakat
sebagaimana yang terjadi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara, yang berakibat pada
Selain itu, ada juga kekerasan psikologis yang dalam praktiknya dapat
dilakukan oleh negara maupun bukan negara. Negara sebagai pelaku dapat berupa
individu dan institusi, sementara bukan negara dapat berupa individu maupun
kelompok atau massa. Cara dan jenis kekerasan psikologis ini misalnya berbagai
tulisan yang bernada keras terhadap pelanggaran syariat Islam seperti yang terdapat
pada baliho di Kabupaten Tamiang, persis di dekat Jembatan Kota Kuala Simpang,
yaitu “Hanya orang kafir yang tidak memakai jilbab”. Kalimat hampir serupa juga
dijumpai pada spanduk yang bertebaran di Banda Aceh yang berbunyi “Perempuan
114
tidak berjilbab adalah syaitan”. Masih banyak lagi aksi-aksi lain yang tidak sesuai
makhluk otonom yang memiliki kebebasan untuk bertindak sendiri tanpa disuruh
atau dipaksa oleh orang lain. Perempuan memiliki kapasitas bernalar sehingga
mengetahui apa yang terbaik baginya dan akan melakukan suatu hal tanpa harus
islami ini melanggar hak individu atas otonomi pribadi, ekspresi, dan kebebasan
berpikir. Perempuan tidak memiliki akses terhadap pilihan dan tidak bebas dari
perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif
perilaku mana yang merusak akhlak atau dekadensi moral dan mana pula yang
paling mudah dieksploitasi dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh
negara sendiri yang ditutup dan dilakukan atas nama syariat (Salehati, 2010: 87).
kepentingan serta hak-hak perempuan untuk aman dalam hidupnya. Namun, karena
pemerintah daerah Aceh dikuasai oleh laki-laki dan hukum berperspektif maskulin,
mendapatkan paksaan untuk mengenakan jilbab pada saat dulu bersekolah di salah
satu SMP negeri yang terletak di Banda Aceh. Pada saat itu, peraturan bagi setiap
murid di sekolahnya harus mengenakan pakaian islami dan ini berlaku untuk
yang positif hingga negatif. Beberapa temannya mengatakan bahwa Melodi terlihat
Melodi untuk berpindah agama. Selain itu, respons negatif yang Melodi dapatkan
sekolah. Ketika berada di luar sekolah, Melodi tidak mengenakannya. Melodi tidak
memiliki akses terhadap pilihan untuk tidak mengenakan jilbab. Namun, setelah
116
kritik dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi kepadanya.
Beberapa teman satu gerejanya juga mengenakan jilbab karena institusi tempatnya
pada bagaimana mengatur moral dan perilaku anggota masyarakat melalui tubuh
baik, misalnya seorang perempuan tidak boleh memakai celana jins yang ketat dan
Syariat (Salehati, 2010: 86—87). Tak hanya itu, biasanya akan ada sanksi sosial
liberal memandang bahwa konsep ini bukanlah yang utama dan merupakan
Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang “baik” untuk dirinya
asal tidak merugikan orang lain (Dewi, Tanpa Tahun: 27). Perempuan seharusnya
mendapatkan kebebasan dalam mendefinisikan apa yang baik bagi diri mereka
tanpa campur tangan orang lain. Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh
memiliki akses dalam menentukan pakaian apa yang mau dan nyaman mereka
yang seolah kebebasannya untuk menentukan hidup dirantai bahkan negara pun
perempuan di jalan raya dan sweeping jilbab yang dilakukan secara masif
dan dieksekusi. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh negara sendiri yang ditutup dan
dari penerapan syariat Islam di Aceh menjadikan perempuan sebagai objek yang
objek untuk dibenahi. Realitas yang terlihat dalam keadaan sekarang adalah:
penerapan syariat hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan tubuh perempuan,
perempuan di Aceh telah mengenakan jilbab dan berbusana muslimat seperti yang
sebuah pemaknaan makna dan tafsir. Relasi kuasa dan saling tarik antara kalangan
agamawan normatif: antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian,
dan privasi) dan atas nama kebebasan (ruang gerak). Jilbab lebih dari sekadar cita
rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu
komunitas tertentu yang menjadi fenomena bagi suatu lapisan sosial, simbol
Mereka tidak memiliki akses untuk mengenakan jilbab sebagai sebuah pilihan
liberal percaya bahwa dengan kebebasan yang diberikan kepada setiap perempuan,
menjadi hal yang sangat mungkin dicapai. Tubuh perempuan Aceh yang selama
dapat terhapuskan.
119
Wall (2007: 234) menyatakan bahwa otonomi individu adalah ide yang
paling valid dan penting bagi manusia. Lebih lanjut, otonomi individu
mensyaratkan bahwa setiap orang relatif bebas dari paksaan dan manipulasi.
Menurut Beauchamp & Childress (2001: 59), tindakan otonom terdiri dari agen
yang kompeten yang bertindak dengan sengaja (dengan pemahaman atas informasi
sendiri. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi adalah orang yang bertindak
Salah satu aspek yang paling ditonjolkan dalam penerapan syariat Islam di
Aceh adalah aspek busana, terutama jilbab pada kaum perempuan. Hampir setiap
kini memakai jilbab. Pandangan ini Bustami dasarkan pada waktu sebelum
masa penerapan syariat Islam hingga saat Bustami melakukan penelitian (Bustami,
2004: 63—64).
Jilbab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariat. Islam
MPR pada 8 November 1999. Sekadar ilustrasi, bahwa pasca SU MPR tersebut,
situasi politik Aceh sangat labil yang ditandai dengan lumpuhnya lembaga penegak
GAM berkuasa. GAM menjadi kelompok yang paling berpengaruh dan mengontrol
karena pada awal penerapan syariat Islam, kewajiban berbusana muslimat ini
mendapatkan kontrol yang ketat dari masyarakat dan anggota GAM. Tak jarang
pun yang dia kenakan tidaklah menjadi urusan orang lain. Begitu pula dengan
keputusan apa pun yang dia lakukan terhadap tubuhnya. Dia menyebutnya sebagai
kebebasan berekspresi sekaligus menjadi hak asasi yang dimiliki. Tidak ada orang
selain dirinya yang dapat mengganggu gugat. Pernyataan serupa juga disetujui oleh
SR. Baginya, otonomi tubuhnya merupakan haknya dan “my body is my right”.
Untuk itu, dibutuhkan suatu masyarakat yang adil yang memungkinkan seorang
ruang untuk memisahkan dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika
yang bertalian dengan ranah larangan. Jilbab tidak hanya memiliki kategori kasat
mata yang berada dalam realitas indrawi, tetapi juga bentuk realitas abstrak yang
berada dalam ranah gagasan (Kamil dan Bamulian dalam Makmun, 2014: 22).
berhubungan dengan jilbab. Oleh karena itu, Kamil menganggap bahwa hukum
kontemporer, jilbab bukanlah sesuatu yang diwajibkan (Kamil dan Bamulian dalam
Aceh tidak memiliki pilihan selain mengikuti aturan tersebut. Annisa, sebagai
perempuan paling rentan terkena sweeping aurat. Dia merasa bingung mengapa
Penerapan syariat Islam yang terlalu berfokus pada tubuh perempuan ini
berhak mengenakan pakaian apa pun yang disuka. Perempuan juga berhak
menentukan interpretasinya terhadap pemakaian jilbab dan hal seperti ini tidak
perlu diatur oleh pemerintah karena bukan ranahnya. Aturan yang memaksa
atau tidak memakai jilbab. Tafsir dari kelompok dominan yang kemudian
dipaksakan kepada publik melalui instrumen negara ini dianggap melanggar hak
orang lain yang meyakini bahwa berjilbab ini bukanlah kewajiban. Maka,
diposisikan berhak untuk hidup dengan cara yang dikehendakinya, baik itu yang
sesuai dengan masyarakat maupun yang tidak (Cudd, 2006: 234). Namun yang
tubuhnya dan rentan mendapatkan sanksi serta hukuman. Maka, tubuh yang
123
seharusnya menjadi ranah hakiki bagi setiap manusia sebagai medium ekspresi diri
atas kreativitasnya tidak dapat dirasakan oleh tubuh perempuan Aceh. Tubuh
mereka tidak dimiliki oleh dirinya sendiri dan perlahan kehilangan raganya. Tubuh
Selama ini perempuan selalu menjadi subjek yang dibatasi ruang geraknya
diperlakukan secara tidak adil. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh
nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk yang setara dengan
kemerdekaan atas tubuh, pikiran, dan geraknya. Dalam situasi seperti itu,
(personhood). Sejak lahir, perempuan Aceh dibebani tugas sebagai penjaga moral,
untuk dapat mengaktualisasikan diri di dalam masyarakat (Putnam Tong, 2009: 2).
simbol Islam telah mendorong mereka untuk menganggap bahwa perempuan Aceh
tidak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya mereka sendiri. Dengan demikian,
124
dapat dilihat dalam A Vindication of the Rights of Women, yang sangatlah dekat
Morals, yaitu jika seseorang tidak bertindak secara otonom, maka ia akan bertindak
lebih rendah daripada seorang manusia yang utuh. Wollstonecraft menegaskan jika
nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari hewan. Maka, perempuan
dan laki-laki sama-sama mempunyai kapasitas ini. Oleh karena itu, perempuan
yang otonom. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, yaitu agen yang bernalar
Hal di atas berkenaan dengan otonomi yang ditekankan oleh kaum feminis
liberal, yaitu adanya sistem atas hak individu yang dapat menjadi acuan serta dasar
125
bagi setiap perempuan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini,
sebuah sistem atau peraturan yang tidak opresif terhadap kelompok tertentu (dalam
hal ini perempuan) maka perempuan dapat menjadi manusia yang utuh seperti
tentang peraturan syariat Islam melalui papan pengumuman, spanduk, dan baliho
diberlakukannya syariat Islam di daerah itu. Baliho dengan tulisan “Cara Berbusana
yang Benar”, “Bagi Ibu-Ibu dan Remaja Putri Wajib Mengenakan Jilbab”,
“Kawasan Wajib Jilbab”, dan poster “Pakaian Remaja Putri yang Islami”
merupakan bagian sosialisasi syariat Islam yang berfokus pada tubuh perempuan
merupakan norma etika yang bersumber dari ajaran agama. Maka, baik secara
individu maupun kolektif, setiap orang dapat menjalankan semua norma etika yang
ada di dalam syariat Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan penguasa
(Kurniawan, 2012: 438). Untuk itu, perempuan Aceh merupakan perempuan yang
setara dengan laki-laki yang tentunya memiliki rasionalitas. Mereka dapat otonom
satu faktor pendisiplinan tubuh berfokus pada mereka. Perempuan yang dianggap
lemah dan sekadar objek dijadikan sasaran penegakkan syariat Islam oleh
pemerintah daerah. Maka dari itu, sesuai dengan hak-hak yang diperjuangkan oleh
di Aceh. Berpartisipasinya perempuan Aceh ini menjadi suatu hal yang penting
merumuskan undang-undang atau peraturan yang netral gender. Dengan kata lain,
perempuan Aceh ikut andil dalam usaha pembentukan peraturan yang diharapakan
politiknya, masyarakat Aceh harus mengubah pola pikir yang cenderung patriarki
dapat terhapuskan. Dalam suatu tatanan sosial masyarakat yang adil, ketika
perempuan dan laki-laki diberikan hak yang sama, maka di situlah kedua-duanya
dapat mengaktualisasikan diri dan menjadi manusia yang utuh. Oleh karena itu,
ketika perempuan dianggap memiliki kapasitas bernalar yang sama dengan laki-
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Syariat Islam sebagai produk politik yang diterapkan di Aceh menjadi peraturan
Aceh diatur seolah-olah mereka tidak tahu apa yang dilakukan dan yang terbaik
tubuh terhadap perempuan Aceh yang menjadikan mereka sebagai objek yang
adalah penerapan syariat yang hanya berkutat pada aurat dan pendisiplinan
mensubordinasinya.
perkataan lain, perempuan Aceh bukan sekadar alat atau instrumen untuk
adalah suatu agen bernalar yang kediriannya ada dalam kemampuannya untuk
Aceh seringkali berbentuk ancaman, paksaan, dan kekerasan. Hal ini terjadi
oleh kelompok tertentu. Maka dari itu, untuk menghapus ketidaksetaraan ini,
menjalankan syariat Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari orang
keputusan terhadap tubuhnya tanpa intervensi pihak luar sekaligus bebas dari
B. Saran
kebebasan, dan otonomi yang dimiliki oleh perempuan. Maka, dibutuhkan sebuah
literatur yang tentunya kredibel sebagai pedoman dasar untuk memahami ketiga
prosedural tersebut.
kota besar di Aceh. Mengingat fakta pendisiplinan tubuh perempuan Aceh terjadi
129
pendisiplinan tubuh perempuan Aceh yang tidak hanya dari sudut pandang
DAFTAR PUSTAKA
ABC News. 2018. “Sharia in Aceh: Patrolling The Streets of Indonesia’s Most
Conservative Province” dalam https://www.abc.net.au/news/2018-03-
18/aceh-on-the-streets-of-indonesias-most-conservative-
province/9558054, diakses pada 28 Oktober 2018.
Arwidita, Astari. 2017. Ekspresi Kebebasan Tokoh Amy Dunne dalam Film Gone
Girl Perspektif Eksistensialisme. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada. Skripsi.
Baehr, Amy R. 2007. “Liberal Feminism” dalam
https://plato.stanford.edu/entries/feminism-liberal/, diakses pada 21
Oktober 2018.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
BBC Indonesia. 2014. “Semprotan Cat Untuk Warga Aceh yang Bercelana Ketat”
dalam
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141204_indones
ia_aceh_semprot, diakses pada 27 Oktober 2018.
Berutu, Ali Geno. 2016. “Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintasan Sejarah”
dalam Jurnal Hukum Vol. 13, No. 2, hlm. 163—188.
BPS Aceh. 2016. “Number of Population in Aceh Province (2016)” dalam
https://aceh.bps.go.id/quickMap.html, diakses pada 12 Oktober 2018.
Bustami. 2004. Formalisasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Yogyakarta: Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Caddick, Alison.1986. “Feminism and The Body” dalam Arena Journal, Issue 74,
1986, Melbourne, Foundation Arena Articles, hlm. 60—88.
Chambers, Clare. 2017. “Feminism and Liberalism” dalam The Routledge
Companion to Feminist Philosophy Routledge hlm. 652—664.
Cudd, Ann. 2006. Analysing Oppression. New York: Oxford University Press.
Dister, N.S. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius.
131
Juwita, Eighwika Kurnia. 2015. Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita Dari Sudut
Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy
Chevalier. Perpustakaan UNIKOM.
Karim, Abdul. 2014. “Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif
Tentang Perempuan dalam Koridor Sosial Keagamaan)” dalam Fikrah, Vol.
2, No. 1, Juni 2014, hlm. 57—73.
Kloss, David. 2016. “The Salience of Gender: Female Islamic Authority in Aceh,
Indonesia” dalam Asian Studies Review Journal, Vol. 40, Issue 4, hlm.
527—544.
Kurniawan. 2012. “Dinamika Formalisasi Syariat Islam di Indonesia” dalam Kanun
Jurnal Ilmu Hukum No. 58, Th. XIV, hlm. 423—447.
Makmun, Mulki. 2014. Konstruksi Perilaku Menyimpang Terhadap Perempuan
Pada Qanun di Provinsi Aceh. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Skripsi.
Marianti, Meira. 2015. Pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Nanggroe Aceh
Darussalam Pasca Penetapan Otonomi Khusus Tahun 1999 (Tinjauan
Konvensi CEDAW Terhadap Pelaksanaan Hukum Syariah. Yogyakarta:
Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Melya, Intan. 2005. Perempuan dan Syariat Islam: Respons Perempuan Terhadap
Implementasi Qanun Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Yogyakarta: Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Merdeka.com. 2014. “Terjaring Razia, Wanita Nonmuslim di Aceh Diminta Pakai
Jilbab” dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/terjaring-razia-wanita-
nonmuslim-di-aceh-diminta-pakai-jilbab.html, diakses pada 27 Oktober
2018.
Mitchell, Juliet dan Ann Oakley. 1986. What is Feminism? USA: Pantheon Books.
Noerdin, Edriana. 2005. Politik Identitas Perempuan Aceh. Jakarta: Women
Research Institute.
Rachman, Nisa Agistiani. 2012. Tokoh Bawuk Pada Cerpen “Bawuk” Karya Umar
Kayam dalam Perspektif Feminisme Liberal. Yogyakarta: Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
133
The Guardian. 2016. “Kellyanne Conway and Liberal Feminists: Two Sides of The
Same Coin” dalam
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/dec/09/kellyanne-
conway-liberal-feminism-shortfalls-politics-amy-schumer-lena-dunham,
diakses pada 28 Oktober 2018.
The Jakarta Post. 2018. “Q&A: What You Need To Know About Sharia in Aceh”
dalam http://www.thejakartapost.com/news/2018/03/04/qa-what-you-need-
to-know-about-acehs-sharia-law.html, diakses pada 28 Oktober 2018.
TIME. 2007. “Indonesia: Aceh’s “Escape Artist” Becomes Governer” dalam
http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1590162,00.html,
diakses pada 20 Oktober 2018.
Tong, Rosemarie Putnam. 2006. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction
(Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
ToughtCo. 2018. 2018. “Liberal Feminism” dalam
https://www.thoughtco.com/liberal-feminism-3529177, diakses pada 20
Oktober 2018.
Tribun Timur. 2015. “Hari Ini Ada Sweeping Perempuan Bercelana Ketat” dalam
http://makassar.tribunnews.com/2015/03/24/hari-ini-ada-sweeping-
perempuan-bercelana-ketat, diakses pada 27 Oktober 2018.
UAH. Tanpa Tahun. “Kinds of Feminism” dalam
https://www.uah.edu/woolf/feminism_kinds.htm, diakses pada 28 Oktober
2018.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Utami, Rona. 2009. Relasi Gender di Wilayah Domestik dalam Perspektif
Feminisme Liberal (Studi Kasus Mantan Tenaga Kerja Wanita di Desa
Randusongo, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur).
Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
135
Verma, Priya, dkk. 2005. “Indonesia: Province Authorities Detain Women for
Inappropriate Dress” dalam Off Our Backs, Vol. 35, No. 9/10,
September/Oktober 2005, hlm. 5.
VOX. 2018. “The Waves of Feminism, and Why People Keep Fighting Over Them,
Explained” dalam https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-
waves-explained-first-second-third-fourth, diakses pada 27 Oktober 2018.
Wall, Steven. 2007. “Collective Rights and Individual Autonomy” dalam The
University of Chicago Press, Vol. 117., No. 2, Januari 2007, hlm. 234—
264.
Wendell, Susan. 1987. “A (Qualified) Defense of Liberal Feminism” dalam
Hypatia (A Journal of Feminist Philosophy), Vol. 2, Issue 2, hlm. 65—93.
Yuval-Davis, Nira. 2003. “National Projects and Gender Relations” dalam Hrvatski
Časopis za Etnologiju i Folkloristiku (Jurnal Etnologi Kroasia dan
Penelitian Folklore), Vol. 40, No. 1, Juni 2003, hlm. 9—36.
136
LAMPIRAN
A. Pedoman Wawancara
1. Motif yang melatarbelakangi penerapan syariat Islam
a. Motif sosial-politik
Solusi alternatif bagi penyelesaian konflik;
b. Motif psikologis
Tindakan penyelesaian atas berbagai tindakan kriminalitas dan pelecahan
yang dialami masyarakat Aceh, terutama perempuan; dan
c. Motif kultural
Mengembalikan identitas kultural Aceh yang islami.
2. Latar belakang pendisiplinan tubuh perempuan pasca pemberlakuan syariat
Islam
a. Sebagai opsi politik dalam upaya mempersempit gerak perempuan di dalam
ranah publik;
b. Memenuhi tuntutan sebagai persyaratan atas penerapan syariat Islam;
c. Sebagai arena untuk mengatur tubuh perempuan; dan
d. Relasi perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang pasca penerapan
syariat Islam.
3. Pendisiplinan tubuh perempuan Aceh
a. Bagaimana syariat mengatur tubuh perempuan;
b. Lembaga-lembaga syariat Islam dan usahanya mendisiplinkan tubuh
perempuan; dan
c. Rasionalitas, kebebasan, dan otonomi perempuan dalam mengatur tubuh
dan pilihan atas hidupnya.
4. Respons perempuan atas penerapan syariat Islam
a. Perempuan merasa penerapan syariat Islam terlalu berfokus pada
pendisiplinan tubuhnya; dan
b. Perempuan yang menerima dan menolak beserta alasannya.
5. Kehidupan perempuan pasca pemberlakuan syariat Islam
a. Posisi perempuan dalam keluarga;
b. Posisi perempuan dalam pendidikan;
137
B. Daftar Pertanyaan
(Untuk Narasumber Perempuan)
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau (periode
abad XV—XIX)?
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang
syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari tahunya dari orang
atau kelompok lain?
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—terutama
dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan terma “aneuk
inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa mendapatkan perbedaan atau
diskriminasi di dalam keluarga, di institusi pendidikan atau pekerjaan, atau pun
di lingkungan masyarakat?
6. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimenis. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan
seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan dan membuat
batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian dengan ranah larangan.
Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan kapan kali pertama Anda
mengenakannya?
138
12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai tindakan
kekerasan dan penindasan?
13. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
14. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap pakaian
yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat ditolelir
dibanding aurat perempuan?
15. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa yang
Anda inginkan?
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
141
C. Transkrip Wawancara
Data Diri Narasumber I
Nama/Inisial : Annisa
Tempat Tinggal : Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh
Tahun Kelahiran : 1997
Agama : Islam
Status : Mahasiswa
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Aceh merupakan kota yang islami, religius, dan mungkin ada sedikit unsur
kekerasan di mana berusaha menegakkan Islam secara kafah atau sempurna.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Sebenarnya perempuan Aceh pada abad tersebut belum menggunakan hijab, ya,
jilbab, atau belum menerapkan syariat Islam seperti yang sekarang ini. Pada
masa itu, perempuan di Aceh jauh lebih produktif, misalnya ikut dalam
peperangan atau ikut melawan penjajah seperti itu. Walaupun terbendung oleh
budaya patriarki, namun wanita-wanita di Aceh pada zaman terdahulu, yang
saya tahu, adalah wanita-wanita yang paling produktif dibandingkan di masa
yang sekarang. I don’t know if it’s true, tapi yang saya baca, sih, seperti itu.
3. Apakah yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Yang saya ketahui tentang syariat Islam itu berasal dari agama Islam tentunya,
di mana mengatur segala aspek kehidupan umat muslim, baik secara individu
maupun bermasyarakat.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Pemerintah daerah tentang syariat Islam mungkin dilakukan di tempat-tempat
ibadah, namun oleh pemerintah, sih, tidak. Mungkin pemerintah menganggap
bahwa masyarakat di Aceh itu sudah mengetahui syariat Islam karena dari kecil
142
sudah tumbuh dan besar di lingkungan yang menerapkan syariat Islam jadi tidak
memerlukan sosialisasi mengenai syariat Islam. Dan tentunya terdapat
kekurangan juga, sih, di situ, ketika tidak ada sosialisasi maka orang-orang yang
di luar dari syariat Islam itu tidak mengetahui bahwa ‘Oh kita harus mengikuti
sesuai dengan track dari pemerintah Aceh itu sendiri’.
Syariat Islam secara utuh selain dari orang tua juga saya dapatkan dari teman.
Ada. Pernah. Ya, saya yang diberi tau. Mencari tau pun iya karena kita tidak
hanya bisa mendengarkan dari orang lain ‘kan? Kita jugaharus meneliti juga
atau mencari tahu lebih.
5. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Ya pinter. Kenapa saya bilang pinter? Karena syariat Islam kan sebenarnya
tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Namun, untuk menerapkan
syariat Islam, dimasukkanlah ke dalam ranah politik atau pemerintahan
sehingga bisa diatur melalui oknum-oknum atau pemerintah itu sendiri. Jadi
bisa ada sanksinya. Jadi ranahnya bukan individu lagi.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur yang peneliti baca, penerapannya ini terlalu berfokus
pada tubuh perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons
Anda?
Respons saya pertama, wajar. Namun, wajar belum tentu itu benar. Kenapa saya
bilang wajar? Wajar karena Islam itu merupakan right or wrong, menurut saya
Islam itu merupakan agama yang mengajarkan patriarki. Patriarkisme yang
berasal dari budaya yang di mana laki-laki lebih aktif, wanita lebih cenderung
tinggal di rumah. Namun, ketika sekarang kita berada di era yang munculnya
feminisme, wanita sudah bisa bekerja dan sudah setara atau sebanding dengan
143
karena kamu perempuan. Itu, sih, menurut saya tidak logis, gitu. Dan juga
perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan laki-laki bebas. Dia
boleh mengerjakan pekerjaan rumah, boleh tidak. Perempuan itu lebih dipaksa
untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci
piring, dan itu sangat berat ketika suasana Lebaran tidak ada pembantu, tidak
ada yang membantu untuk membersihkan rumah, sehingga saya sebagai
perempuan dipaksa untuk membersihkan rumah.
Diskriminasi di lingkup pendidikan, misalnya ketua OSIS harus dari kalangan
laki-laki. Dan misalnya ada ketua OSIS dari kalangan perempuan, itu biasanya
akan mendapatkan dukungan yang jauh lebih sedikit dari laki-laki. Atau
mungkin mendapatkan perkataan yang sangat pedas seperti misalnya ‘Kamu
ngapain jadi ketua OSIS? Emang kamu yakin kamu sanggup? Kamu kan
perempuan’.
‘Kamu kan perempuan’ selalu menjadi alat untuk mendiskriminasi perempuan.
Nah, perempuan juga terkadang jika dia terlalu pintar, dia itu dikata-katain.
Dibilang susah untuk punya pasangan, nanti pasangannya akan kabur jika kamu
terlalu pintar. Sangat terasa diskriminasi antara aneuk inong dan aneuk agam.
8. Aceh dikenal sebagai kota seribu kedai kopi. Apakah Anda sering ngupi?
Biasanya pukul berapa dan bersama siapa? Apakah Anda pernah ngupi
sampai larut malam? Bagaimana respons dari para pengunjung yang ada
di kedai kopi tersebut—yang notabene laki-laki?
Beberapa kali saja, sih, nggak terlalu sering. Ke kedai kopi juga jarang minum
kopi. Pernah sama teman-teman, sama keluarga juga pernah. Paling telat sampai
pukul 10 malam. Itu udah paling malam, malah biasanya lebih cepat pulangnya.
Nah, kalau pergi sama keluarga nggak pernah mendapatkan pandangan aneh.
Nah, berhubungan dengan diskriminasi di lingkungan masyarakat, saya pernah
berkumpul di suatu kedai kopi, namun anggotanya perempuan semuanya dan
sisanya laki-laki. Laki-laki yang berbaur dengan perempuan itu jarang saya
temui di kedai kopi yang saya kunjungi. Seringnya adalah monoton. Karena
laki-laki bersama laki-laki, perempuan bersama perempuan. Nah, saya dan
teman-teman saya bercanda, tertawa dengan keras dan sebagainya saya rasa
145
wajar. Karena laki-laki di sana juga melakukan hal yang sama. Namun, kita
mendapatkan pandangan yang tidak enak dari para pengunjung dan juga
pemilik kafe tersebut—seakan-akan kita telah melakukan kesalahan yang besar.
Nah, seperti itulah bentuk diskriminasi yang pernah saya dapat.
9. Pandangan Anda mengenai teman perempuan Anda nongkrong di kedai
kopi sampai larut malam?
Menurut saya wajar, ya tidak apa-apa. Kalau menurut saya pribadi, saya tidak
tahu di mana salahnya. Karena menurut saya mereka nongkrong di warung kopi
sampai malam, otomatis mereka akan membeli minuman lebih banyak. Karena
mereka haus. Itu ‘kan menguntungkan kedai kopi itu secara tidak langsung,
‘kan? Menurut saya, sih, tidak ada ruginya malah untung. Pencinta kopi kan
bukan hanya laki-laki, tapi perempuan juga bisa menyukai kopi.
10. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan
kapan kali pertama Anda mengenakannya?
Definisi jilbab saya boleh memilih dari pengertian yang tadi disebut tidak?
Yang dimensi kedua dan dimensi ketiga. Dan yang lebih ditekankan itu yang
nomor dua kalau menurut saya. Untuk membatasi diri dengan orang lain. Yang
sering saya lihat adalah orang-orang yang berjilbab jauh lebih nyaman
bersosialisasi dengan orang yang serupa. Karena otomatis mereka agamanya
sama. Kalau menurut saya juga ikut membatasi pergaulan juga seperti orang-
orang yang berjilbab lebih nyaman untuk bergaul dengan orang-orang yang
berjilbab.
Pada masa pemerintah siapa itu, sepertinya Megawati sampai kelas 2 SD itu
saya belum mengenakan jilbab. Nah, setelah terjadinya tsunami, menurut saya
itulah politicalship, di mana pemerintah menjadi jauh lebih religius dan jauh
lebih ingin menerapkan syariat Islam. Dan dulu semua orang belum
mengenakan jilbab. Ya, mungkin ada beberapa. Namun, jilbab tidaklah wajib.
146
Tidak, ya, karena kan masih ranah Indonesia. Oke, Aceh memiliki otonomi
khusus dan Perda. Namun, Perda itu sendiri pun perlu dikaji ulang: penting,
nggak, sih, untuk melakukan kekerasan dan ancaman terhadap hal-hal yang
seremeh-temeh itu? Ini kan menyangkut kepercayaan seseorang. Menurut saya
ranah kepercayaan itu ya ranah individu bukan ranah pemerintah seperti yang
sudah saya jelaskan di awal.
17. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Iya. Kenapa hanya perempuan yang di-sweeping? Padahal kalau kita
menggunakan tolak ukur aurat, laki-laki banyak yang menggunakan celana di
atas lutut. Mereka tidak pernah di-sweeping. Laki-laki telanjang dada, tidak
memakai baju, memperlihatkan pusar, itu menurut saya, sih, melanggar nilai-
nilai agama karena laki-laki kan juga punya aurat. Kenapa yang diurus hanya
aurat perempuan? Apakah bisa memacu nafsu yang cukup tinggi? Saya tidak
mengerti dengan pemikiran para penegak ini.
18. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena perempuan lebih mudah untuk ditindas. Kan dari pattern budayanya
seperti itu. Makanya saya bilang sulit untuk mengubah, terutama di Aceh,
karena perempuannya sendiri pun masih menganut budaya patriarki. Maka sulit
untuk mengubahnya. Tapi kalau mau bisa. Tapi tentu akan sulit.
19. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Saya berhak mengonsepsikan busana muslim seperti apa yang saya inginkan.
Namun, di sini logikanya tidak jalan karena di sini masyarakatnya masih takut
dengan pemerintah.
149
melakukan tato, piercing, dan segala macam, itu salah satu kebebasan
berekspresi dan merupakan hak saya dan orang lain tidak dapat menganggu
gugat.
151
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Yang pertama, budayanya, budaya tapi di bidang seninya. Kan tarinya itu kan
terkenal Ratoh Jaroe, tetapi yang dikenal kan Saman. Tapi, ya udah, nggak apa.
Yang kedua, pasti masalah tsunami atau nggak syariat Islam. Secara pribadi,
kalau nggak ditanyain tentang syariat Islam, saya nggak mau jelasin soalnya
menurut saya membingungkan. Aceh itu merupakan bagian dari negara
Indonesia yang bukan negara Islam, tapi dia punya otoritas khusus untuk
menjalankan syariat Islam. Saya sendiri bingung, gitu, maksudnya kok di
Indonesia tiba-tiba ada syariat Islam padahal Indonesia sendiri bukan negara
Islam. Maksudnya tuh bingung dalam menjalankan gaya hidup.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya kurang tahu kayak mana kehidupannya secara persis. Tapi kalo nggak
salah saya, Cut Nyak Dhien, maksudnya tokoh-tokoh kaya gitu, Malahayati,
gitu-gitu, banyak perempuan yang ikut dalam perang. Cut Nyak Dhien juga
yang menggantikan peran suaminya, kan?
Habistu banyak yang orang nggak ketahui yaitu Malahayati yang cukup
berperan dalam kekuatan di daerah perairan. Pokoknya dia tu ahli dalam defense
di daerah perairan. Dia tu perangin Belanda di perairan dan Belanda itu kalah.
Dan Malahayati ketua timnyalah pada masa itu. Pokonya kepemimpinan
Malahayati itu diakui di lingkup masyarakat Aceh. Tapi kalo di sejarah
Indonesia kurang diakui.
152
Walaupun masyarakat Aceh waktu itu 100 persen Islam, tapi pelaksanaan
syariat Islam tu nggak seaneh sekarang. Kan dulu tu nggak ada peraturan untuk
harus memakai jilbab. Ada pun pake selendang, tapi bukan peraturan.
Perempuan Aceh juga produktif, apalagi soal perang. Tapi nggak semua
perempuan Aceh masok ke dalam perang, sih.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Kalok syariat Islam itu biasanya diterapkan di pemerintahan. Regulasi suatu
negara diterapkan berdasarkan Alquran. Walaupun itu pemerintah, tetapi secara
lansgung mempengaruhi masyarakatnya dalam menjalani gaya hidup, kan?
Misalnya nggak minum.
Syariat Islam di Aceh itu kalau menurut saya terlalu ketat. Maksudnya ketat itu
masa sampe bagaimana kita berpakaian itu diatur. Ya walaupun di dalam Islam
sendiri memang masyarakatnya menggunakan jilbab. Sampek celana aja,
perempuan ya ni, celana perempuan aja ditentuin nggak boleh yang jins. Saya
bingung kok jins itu dilarang. Padahal dalam Alquran sendiri nggak ada secara
khusus dibilang kalo jins itu nggak boleh.
Dan kenapa polisi syariat itu hanya mensortir perempuan aja. Yang nggak pake
jilbablah, yang pake celana ketatlah, apalagi sekarang kan jamannya ripped
jeans. Itu tuh sangatlah hal yang buruk kalo di Aceh. Perempuan nggak boleh
pake celana tu. Sedangkan kalo untuk laki-laki, itu hal yang biasa. Dah. Abis
itu. Secara umum polisi syariat itu terlalu menitikberatkan pada bagaimana
perempuan berpakaian, sedangkan laki-laki juga punya aurat kan. Dari lutut
sampe ke pusar.
Saya pernah lihat di Blangpadang, cowok lari pake celana di atas lutut itu kan
sebenarnya dia menunjukkan auratnya. Tapi kenapa nggak ada orang yang kata-
katain dia lah. Atau polisi syariat yang menegur. Kalau perempuan yang kaya
gitu, apa kejadian coba? Bisa bayangin, kan? Perempuan pake celana ketat aja
dikata-katain. Dan secara sosial pasti dicap: oh itu bukan perempuan baek-baek.
Itu bukan cewek yang bagus. Pasti nggak baguslah akhlaknya. Saya sendiri
kewalahan, sih. Bukan syariat Islamnya ini yang salah, tapi kita sebagai
manusia yang salah dalam menjalankannya.
153
Pertama, karena nggak tau sih mungkin terpengaruh oleh budaya patriarki. Kan
masyarakat Aceh punya gelar kaya Teuku dan diturunkan dari laki-laki. Jadi
semacam pengakuan kalo laki-laki tuh lebih powerful dibanding perempuan.
Nah, Mamak saya sendiri, sukak sereng bilang ‘Kalian tu perempuan, tiga
orang, nggak ada apa-apanya dibandingkan Bang Iki. Seorang laki-laki’. Nah,
saya sendiri sakit hati juga dibilang kek gitu. Maksudnya, ya, itukan yang bilang
Mamak saya sendiri. Masa iya sih Mamak sendiri mendiskriminasi anaknya
sendiri.
Saya sendiri nggak mau mengakui patriarki, tapi juga nggak mau mengakui
matriarki. Kalo menurut saya tuh nggak ada kedua-duanya. Ya kita sebagai
manusia sama aja. Mau jenis kelamin laki-laki, mau jenis kelamin perempuan,
ya kita sama aja. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing kayak gitu.
Ya kalok masalah biologis, ada hal yang nggak dimiliki laki-laki. Tapi bukan
berati perempuan itu lebih rendah, kayak gitu.
Masalah pacaran. Kalo ada cowok atau mobil yang nggak sereng terlihat,
apalagi saya kan di kompleks, tetangga tu tanda mana-mana aja yang mobil
anak kompleks sini. Kalo ada mobil yang misterius mereka bakal penasaran.
Padahal belum tentu laki-laki karena dipikir yang nyetir pasti laki-laki. Padahal
perempuan bisa juga nyetir. Kita sebagai perempuan seringkali dicurigai untuk
jangan sampe melakukan hal yang buruk. Padahal perempuan dan laki-laki
sama-sama bisa ngelakuin hal yang buruk, kan?
Kalo di lingkup pendidikan, saya kan pengen kuliah sampe S2 dan nikah bukan
yang utama bagi saya. Di keluarga saya sendiri, saya punya kakak yang sudah
S2 dan sampe sekarang belom nikah. Nah, karena belom nikah ini, selalu
disalahkan karna dia memiliki gelar S2. Jadi, tuh, perempuan yang
mengutamakan pendidikan, pasti dia tu nggak tertarik sama pernikahan.
Padahal kan semua ornag mau nikah. Tapi itu kan takdir kita. Berarti belom ada
jodoh kalo belom nikah. Tapi sampe sekarang dia disalahin gara-gara gelar
masternya. Dan saya sendiri siap kalau nanti disalahkan ketika mengutamakan
pendidikan dibanding nikah nanti. Pokoknya di keluarga saya, itu hal yang aneh
kalau perempuan lebih mentingin pendidikan dibanding nikah. Katanya nanti
155
cowok bakal takot sama cewek yang S2. Lucu, kan? Padahal cewek nggak
makan orang.
8. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Ini respons saya terkait penerapan syariat Islam di Aceh yang membingungkan.
Maksud yang membingungkan itu Aceh diharuskan untuk pake jelbab. Mau
nggak mau harus pakek jilbab. Jadi, kalok orang pake baju panjang tapi nggak
pake jilbab, itu salah. Tapi kalok orang pake baju lengan pendek, yang penting
dia pake jilbab panjang, tu nggak apa. Konsep top ulee. Kalo dulu pas kecil
Nenek saya selalu bilang kalo keluar top ulee. Orang Aceh sendiri sering bilang
‘Hai top ulee top ulee’. Memang dulu tu Nenek saya tu bilang ke saya tu anak
perempuan tu harus top ulee dan itu nggak berkaitan dengan syariat Islam. Nah,
jadi, mungkin, karena ada konsep top ulee dan penerapan syariat Islam tu jadi
kayak overlap gitu. Aurat tu yang mana coba sebenarnya?
9. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Definisi jilbab tu menutup aurat. Aurat di bagian kepala yaitu rambot. Bukan
nutup aurat yang termasuk badan. Ya maksudnya jilbab-jilbab gedeknutup
badan itu. Dan jilbab itu bukan bagian dari fashion.
10. Kapan kali pertama Anda mengenakan jilbab?
Ada 2 periode. Secara terpaksa dan tidak terpaksa. Ini di luar sekolah, ya. Secara
terpaksa itu dari SMP sampe kuliah semester 2. Secara tidak terpaksa itu pas
kuliah semester 3.
11. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Mamak saya pake jilbab tahun 97 atau 98, bukan dari kecil. Mamak saya dulu
fotonya pake rok mini semua. Nenek saya juga nggak pake, dulu. Cuma awal-
156
awal 2000, pas diterapin syariat Islam, baru Nenek saya pake jilbab. Bukan
jelbab juga, sih, selendang. Rambotnya masih kelihatan.
12. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Saya termasuk ke golongan yang jilbab itu wajib. Tapi, ada tapinya. Di saat kita
udah pake, itu kita nggak bisa lepas lagi. Jadi, sebelom memutuskan untuk
pakekjelbab, sebaiknya tu dipikirkan baik-baik dan kita udah siap menerima
resikonya, maksudnya resiko di mana media sekarang itu gencar-gencarnya
bilang kalo yang pakek jilbab itu terorislah. Apalagi kalo di bandara, treatment-
nya beda dengan orang yang nggak pake jilbab. Ya, gitu. Pokonya menurut
saya, jilbab itu wajib, tapi piki-pikir dulu. Karena once you wear it, you
shouldn’t to take it off.
13. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi tentang
jilbab yang Anda pilih?
Iya. Bebas dan rasional. Karena, yang pertama, jilbab itu hal yang wajib. Karena
menurut saya, kita pakek jelbab itu nggak bikin aktivitas kita terbatas.
14. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima?
Gini, sebenarnya bentuk tubuh perempuan dan laki-laki itu beda. Perempuan,
mau pakek baju selonggar apa pun, pasti terbentuk tubuhnya itu. Ya, memang,
bentuk tubuh perempuan itu lebih menarik kayak gitu. Ada lekukan S-nya gitu.
Jadi, ya kalau bentuk tubuh perempuan berlekuk ya itu hal yang alamiah yang
Allah berikan kepada kita dan kita nggak bisa nyembunyikan itu. Jadi, menurut
saya, aturan menggunakan baju panjang yang nggak ketat itu dapat saya terima,
tapi bukan berarti perempuan lain nggak boleh pake baju kaya gitu, ya. Itu hak
mereka.
157
Ya, karena itu overlapping antara budaya patriarki sama agama. Cewek itu
dianggap harus sesuai dengan aturan. Seakan harus diatur. Sedangkan cowok
bisa bebas.
21. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Jika tidak, mengapa? Apakah
prinsip kesetaraan ini dapat diwujudkan dalam syariat Islam?
Setara. Sebenarnya di dalam Islam sendiri nggak ada yang namanya
diskriminasi jenis kelamin. Cuma, di masyarakat kita, yang overlapping sama
syariatnya, budaya patriarki juga, ya, jadi tu, agama dijadikan alasan yang kuat
untuk menjalankan patriarki.
Iya. Karena sebenarnya secara fisik kekuatan perempuan dan laki-laki itu sama.
Tapi apa yang membuat kekuatan perempuan itu lebih lemah? Anggapan
masyarakat. Pasti kita seringkali dibilang ‘Ih itu nggak bisa angkat. Suruh
cowok aja’. Padahal saya bisa ngangkat kalo dicoba. Hal sederhana yang saya
rasain itu ketika saya bisa ngangkat galon. Tapi Mamak saya selalu bilang, ‘Eh,
jangan. Tunggu Ayah saja’.
Dan dosen saya pernah bilang, di kelas Kebudayaan Populer, sebenarnya
kekuatan fisik laki-laki dan perempuan tu sama. Maka, seharusnya, kompetisi
tinju itu nggak seharusnya perempuan dan laki-laki dipisah. Bisa aja kalo laki-
laki melawan perempuan dan perempuan menang. Tapi kalo mau fair, berat
badannya harus sama. Dan itu bukan berarti cowok menang, bisa jadi cewek
menang. Memang secara fisik, kelemahan secara fisik cewek ada di bahu.
Kalau masalah pendidikan, masalah sosial, itu kembali lagi ke patriarki.
Padahal cewek punya hak dan kesempatan yang sama dengan cowok.
Konstruksi sosial semua. Kalau saya sendiri, saya merasa punya rasionalitas dan
otonomi atas diri sendiri. Tapi nggak semua cewek Aceh punya. Karena mereka
dikekang sama budaya patriarki.
22. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan
apa yang Anda inginkan?
Belom. Karena ya mungkin kalok persenannya itu baru 60 persen udah sesuai.
40%nya tu belom. Soalnya masih ada pemahaman masyarakat itu perempuan
159
itu harus sesuai dengan hal tertentu. Misalnya perempuan itu harus feminin,
harus gimana gitu, harus yang lady like. Sedangkan saya nggak suka pake baju
yang girly. Lebih suka kaos dan kemeja yang androgini. Dan karena itu saya
dianggap bukan sebagai perempuan yang utuh. Ya, jadinya saya kan
menganggap diri saya itu bukan perempuan yang sesunggunya. Tapi saya
berusaha mengubah itu.
23. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Mungkin, 95 persen enggak dari ancaman lingkungan. Karena saya sendiri
berusaha untuk nggak peduli dengan pandangan orang lain terhadap saya. Misal
kayak tadi saya ingin mengubah pandangan kalo perempuan itu nggak harus
feminin. Sekarang, sih, ngerasa bebas. Tapi pas saya di SMA, itu iya. Karena
waktu itu saya stres sendiri. Saya merasa bersalah terhadap diri saya sendiri.
Jadi, waktu SMA tu saya tertekan dengan, ya, Mamak saya sendiri yang
maksain saya untuk harus bisa masak. Sedangkan saya memang nggak suka
masak. Dan Mamak saya bilang ‘Kamu bukan perempuan kalo nggak bisa
masak’. Tapi sekarang saya udah nggak peduli lagi dengan perkataan itu. Saya
adalah perempuan menurut versi saya sendiri. Saya percaya perempuan itu
punya otoritas, bisa menentukan keputusan sendiri, bebas untuk melakukan apa
pun sesuai nalarnya. Terlebih ketika saya mengambil mata kuliah Gender.
24. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Iya. Soalnya kayak yang saya bilang tadi. Karena soalnya dulu apa-apa ikutin
apa yang orang bilang. Tapi sekarang saya udah nggak mau lagi kayak gitu.
25. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Walaupun kesempurnaan itu nggak ada, tapi saya merasa tubuh saya ini
sempurna buat saya. Soalnya kenapa? Karena bisa saya bilang, saya bisa
mengatur tubuh saya sendiri. Iya. Tapi susah untuk menjalankan itu karena kita
pasti akan dikontrol oleh lingkungan sekitar.
160
Respons saya terhadap syariat Islam yang terlalu berfokus pada perempuan itu.
Kasihan aja, gitu. Lebih ke kasihan, sih. Kayak terlalu dikekang dan sebenarnya
saya sendiri pun melihat nirfaedah aja, gitu. Dikekang, tetapi nggak ada alasan
yang gimana, gitu. Ini saya ngomong sebagai observant, ya, soalnya ‘kan yang
melihat penerapannya di Aceh. Jadi, respons saya, ya, kayak kasihan gitu aja.
Saya pun SMP pun pake jilbab, kan. Waktu SMP itu kenapa harus pake karena
wajib—di SMP negeri gitu, kan. Terus, ya, karena saya juga merasa itu bukan
satu hal yang melanggar di agama saya juga. Bukan satu hal yang prinsipal yang
nggak boleh dilanggar.
Terus, respons orang awal-awal ada yang positif, ada yang negatif. ‘Ih, cantik,
sih, kalau pake. Udah, pake aja’. Malah ngajak-ngajak gitu kaya pindah agama.
Terus yang negatif kaya, dulu kan saya pake itu kan kalau cuma di sekolah aja,
kan. Kalau di luar lepas. Terus kata mereka itu katanya menghina Islam karena
pake-lepas-pake-lepas. Gitu katanya gitu, respons orang-orang.
Itu paksaan, sih, tapi, ya, nggak apa. Tapi kalau dikasih pilihan, sih, saya nggak
pake. Saya pikir itu peraturannya cuma sebatas SMP, tapi teman gereja saya ada
yang pake di SMA-nya. Tapi cuma di beberapa SMA aja, deh, kayanya. Nggak
enak tau. Panas.
5. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Jilbab menurut saya, ya? Definisi, ya? Jilbab itu adalah kain yang menutupi
rambutnya perempuan—sesimpel itu. Lebih ke…3, deh. Ya, sekadar dipake aja
karena takut sama peraturan, gitu. Soalnya nggak dikit yang saya lihat, teman-
teman saya yang sudah dewasa kebanyakan udah hijrah itu paham apa yang
mereka lakuin. Tapi kalau di jalan itu saya lihat jilbab cuma sekadar kewajiban
karena takut dengan aturan aja gitu.
6. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
162
Yang tiap hari gitu? Tante saya pakek. Dia bukan Islam, kerjanya di rumah
sakit. Banyak orang gereja saya yang kaya gitu.
7. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
‘Ngapaen lo? Nggak ada kerjaan apa?’ Aneh aja. Mereka nggak punya hak.
Nggak masuk akal menurut saya.
8. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Iyalah berhak. Karena itu relatif banget, ya, masalah tentang busana muslim itu.
Kecuali kalau di qanun ada dibuat ukuran, kalau ketebalan kain yang harus
dipakai itu berapa dan semacamnya. Itu kembali lagi ke perspektif masing-
masing menilai itu busana muslimah atau belum. Itu sifatnya kualitatif.
9. Sweeping di Banda Aceh terus berjalan. Merdeka.com (2014) mengatakan
bahwa Wilayatul Hisbah menghentikan dua perempuan yang tidak
mengenakan jilbab dan menginterogasinya. Namun, ternyata dua
perempuan tersebut adalah nonmuslim. Maka, petugas melepaskan kedua
perempuan itu. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika Samsuddin,
Kasi Penegakan Pelanggaran Satpol PP WH, meminta perempuan
nonmuslim untuk tetap mengenakan jilbab atau pakaian muslimat dalam
rangka menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat
Islam. Apakah perempuan nonmuslim di Aceh juga tidak memiliki akses
terhadap pilihan atas ekspresi dirinya?
Ini masalah jilbab, ya? Kalau masalah jilbab saya keberatan. Soalnya apa, ya,
kecuali kalau pakaian. Mungkin kalau pakaian yang terlalu gimana-gimana saya
masih kayak ‘Oh, yaudah’. Tapi kalok jelbab saya merasa agak tidak rela gitu
soalnya, siapa yang peduli? Mungkin pun kalau cowok ngeliat cewek nggak
163
pake kerudung cuma bikin dia noleh, tapi nggak sampe bikin dia, you know-lah
maksudnya gimana kan. Jadinya saya kayak nggak dapat esensinya kenapa.
Menurut saya, syariat Islam itu hanya berlaku untuk yang Islam. Dan saya
dengan tidak memakai jilbab, itu bukan termasuk tidak menghormati karena
Nggak deh untuk jilbab, tapi untuk pakaian saya bisa nerima. Tapi kalau jilbab,
itu sangat nggak related aja gitu sama tidak menghormati. Dan argumen bapak
itu nggak rasional. Dan nggak nyaman kalau ada peraturan kayak gitu.
164
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Sangking banyak dan nggak jelasnya, yang terpikirkan di saya itu tentang
persepsi manusianya yang terbagi dua. Satu, yang masih otentik sekali kepada
Islam dan budaya. Satu lagi mereka, sekelompok anak muda, yang cuma
ngikutin keotentikan itu, tapi sebenarnya jati dirinya udah nggak di situ lagi.
Jadi sebenarnya generasi yang seumuran saya ini sebenarnya udah nggak ada
islami-islaminya yang sejati lagi. Mereka cuma ngikutin hal yang lama, hal yang
lama yang punya orang tua-orang tua kita itu, tapi sebenarnya mereka itu udah
kehilangan jati diri mereka, sih. Sama seperti zaman orang tuanya Nabi Ibrahim,
mereka nyembah berhala, ya, karena memang harus menyembah aja. Sama kaya
kita sekarang, kita Islam karena keturunan, tetapi sebenarnya nggak paham.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX?
Yang saya tahu tentang perempuan Aceh di masa lampau, ya, itulah sejatinya
perempuan Aceh. Mereka itu, menurut saya, sangat sangat sangat islami dan
bersahaja. Mereka terindoktrinisasi dengan pemahaman mereka sendiri dan
mereka mantap. Didoktrin dengan sangat mantap. Mereka itu orang-orang yang
kuat dengan pemikirannya pada masa itu, sih.
3. Apakah yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam yang sesungguhnya, ya? Pertama saya pengen bilang dulu kalau
syariat Islam yang ada di Aceh itu belum syariat Islam seratos persen. Tapi itu
peraturan daerah yang islami, tapi itu bukan syariat Islam. Syariat Islam yang
sebenarnya itu yang sesuai dengan hadis dan Alquran. Itu harga mati syariat
165
Islam. Dalil dan hadis. Nggak bisa ditambah, nggak bisa dikurang. Dan
sebenarnya, saya adalah yang termasuk setuju sekali dengan syariat Islam, tapi
tidak untuk Indonesia.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah?
Nggak sama sekali.
5. Apakah Anda mencari tahu tentang syariat Islam dari orang tua, teman,
atau kelompok lain?
Kajian, sih. Jadi, pada suatu hari jadi berpikir gitu. Kita kan beragama, tapi apa
bedanya kita dengan penyembah berhala kalau kita beragama dengan cara yang
sama? Diturunkan aja, gitu, tanpa mencari tau. Emang benar kebenaran Allah?
Kebenaran tauhid? Emang itu semua benar? Akhirnya saya cari tau. Akhirnya
saya ngaji di tempat orang-orang bisa menyebutnya Muhammadiyah, Asnah.
Satu lagi saya ke tempat yang Aswaja. Dari situ saya mendapatkan kesimpulan
kalau agama itu udah cukup didapat dari hadis dan dalil. Akhirnya saya memilih
ajaran salafi, itu ada di Masjid Oman, yang benar-benar dari Madinah yang
ngajarin Islam pada masa nabi. Dan saya masih belajar, sih, sampai sekarang.
6. Salah satu peneliti fenomena syariat Islam, bernama Salehati, mengatakan
bahwa fenomena sweeping ini sangat berlawanan dengan visi dan misi
syariat Islam. Hukum ini sejatinya menebarkan kasih sayang, akan tetapi
setelah dirumuskan menjadi qanun, pelaksanaannya justru
mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu.
Tindakannya sama sekali menegasikan sifat asal manusia serta hak-hak
yang melekat padanya. Bagaimana respons Anda terhadap argumen ini?
Setuju sekali. Sangat setuju. Memang ini udah jauh kali, sih. Memang gini, ya,
kita itu pengen mendekati syariat Islam, bawa-bawa nama syariat, tapi
sebenarnya kita menjauhi hak asasi manusia yang sebenarnya. Bawa-bawa
syariat, tapi kita lupa sama HAM yang sebenarnya. Itulah Aceh sekarang.
7. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai perempuan di dalam keluarga,
di institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan laki-laki? Tentu Anda tidak asing dengan
166
Respon saya sebenarnya, ya, kayak orang biasa, sih, lumrah. Dan kalau
menerapkan syariat Islam, hal itu memang esensial. Tapi kalau dalam perihal
tubuh perempuan, ya, itu tuh bukan dengan cara paksaan, dengan
mempermalukan orang, itu tuh nggak. Tapi kaya perempuannya tudididik. Jadi
ada wadah pendidikan agama untuk ibu dan untuk keluarga. Itu baru benar
pendidikan syariat Islam yang baik, bukan dengan label dari luar gitu, lho.
Bukan persoalan ‘Kamu harus menutup ini’, tapi pemahamannya nggak ada.
Dan mereka nggak dibantu untuk paham.
9. Aceh dikenal sebagai kota seribu kedai kopi. Apakah Anda sering ngupi?
Biasanya pukul berapa dan bersama siapa? Apakah Anda pernah ngupi
sampai larut malam? Bagaimana respons dari para pengunjung yang ada
di kedai kopi tersebut—yang notabene laki-laki?
Ya, sering, sih, ke tempat ngopi tapi nggak minum kopi. Bebas, sih, biasanya
sama kawan. Saya ngopi sampai jam 12. Sampai jam 11. Dan itu nggak
masalah. Sempat, sih, ada peraturan kalau cewek nggak boleh pulang di atas
jam 11, tapi, ya, lagi-lagi peraturan itu nggak jalan. Toh, peraturan itu juga
nggak diperlukan.
10. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab dan
kapan kali pertama Anda mengenakannya?
Definisi menurut saya, sesuai dengan iman saya, sih. Apa yang saya percaya.
Jilbab itu memang untuk melindungi wanita. Itu bisa disebut sebagai prodak
dalam Islam yang digunakan untuk melindungi wanita. Dan saya setuju kalau
jilbab itu pada akhirnya melindungi perempuan, sih.
Kelas 5 SD karena aturan. Tapi karena di sekolah pake jilbab, jadi kalo les juga
pake jilbab. Sekalian. Dan semua orang lagi heboh-heboh pake jilbab, jadi, ya,
ikut-ikut juga.
168
11. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Sejak syariat juga Mamak saya. Di keluarga saya nggak ada. Bahkan
saya, SMA sama kuliah S-1, kalau saya lagi di Malaysia atau lagi di Medan,
saya lepas jilbab, lho. Saya gila, kan? Dan orang tua saya, saya lepas jilbab pun
nggak ada masalah.
12. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Ya, jelas yang pertamalah. Karena menurut saya, hadis dan dalil itu final—
bahkan cara saya berjilbab sekarang pun masih salah. Karena cara pake jilbab
yang benar itu menjulurkan kain ke seluruh tubuh dan saya belum ngelakuin
itu. Tapi saya ngerasasafe untuk tidak ngelakuin itu sekarang karena ada juga
hadis yang berpendapat tentang ‘Kalau kita di dalam suatu lingkungan yang
kebanyakan orang memakai baju berwarna-warni, ya, kita nggak masalah
berwarna-warni karena kita adalah bagian dari mereka dan mereka nggak
masalah melihat kita itu sebagai orang yang mencolok’. Saya masih pake baju
kemeja yang biasa aja, pokonya nggak gimana-gimana kali kaya orang yang
bajunya panjang-panjang. Tapi saya merasa safe, kok, dari pandangan laki-laki.
Saya merasa nggak begitu mencolok, jadi aman aja gitu.
13. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi yang Anda
pilih?
Saya milihnya hadis dan dalil, kan, ya. Jujur saya merasa nggak bebas, sih. Saya
jawab dengan suara kecil, ya. Karena saya sedih, udah percaya dan udah
memilih hadis dan dalil, tapi saya kok nggak sanggopjalanin. Saya masih
169
pengen terlihat rapi. Masih pakai baju berwarna-warni. Tapi, ya, karena saya
merasa ini nggak mengurangi nilai saya sebagai manusia. Nggak ada pun cowok
yang bakal tertarik dengan saya.
Jadi misalnya juga apa yang saya dapatkan dari kelompok kajian saya yang
melarang cewek untuk salaman dengan cowok. Tapi, ya, saya lebih memilih
untuk ngambil ilmunya aja, nggak untuk praktek. Saya masih menggunakan
rasional saya soalnya. Karena menurut saya itu nggak masalah.
14. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima? Apakah Anda nyaman
dengan aturan tersebut?
Nggak. Saya nggak nyaman dengan aturannya. Kalau mau bener-bener, ya,
caranya nggak kayak gini. Peraturan yang sekarang ini saya nggak nyaman.
Karena sebenernya pelakunya dalam sebuah kemunafikan besar, lho.
15. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Ya, nggak setuju. Saya lebih suka Aceh sebelum syariat Islam, sih. Jadi, semua
syariat itu dilakukan per personal dari hati dengan jujur dari keluarga semuanya.
16. Perihal sweeping busana muslim, apakah Anda pernah ditangkap?
Nggak pernah. Cuma saya pernah dulu kejadian di Simpang Mesra ada razia
celana untuk anak mahasiswa. Kan saya FKIP, jadi pake rok. Disuruh lewat.
Cuma saya lihat sendiri, sampek itu tuh udah membahayakan kali. Si yang
perempuan pake celana ini dia nabrak dia nerobos terus dihadang sama Satpol
PP-nya terus ketabrak Satpol PP-nya. Mereka dua-duanya celaka karena itu.
konstitusi?’ tapi saya nggak yakin, sih, di sini mereka mau ngerti. Malah mereka
malah makin marah dan makin nganggap kita sinting, sih. Dan saya agak ribet
untuk memperjuangkan itu. Hal yang mereka nggak ngerti.
19. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena kesalahan yang dilakukan oleh perempuan dalam syariat lebih besar,
sih, dibandingkan laki-laki. Kelihatan daripada laki-laki. Karena memang ini,
ya, ide utama untuk sweeping itu sendiri kan aurat. Jadi, ya, pasti perempuanlah.
Laki-laki auratnya semanalah.
20. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Berhak, sih. Cuma ada pandangan secara umum yang udah semuanya sama-
sama tau. Misal nggak membentuk sampe nyeplak-nyeplak kali. Jadi, kalau ada
yang kaya gitu dan dia ketangkap, ya, wajar-wajar aja. Udah lumrah-lumrah
aja. Yang jelas menutup yang harus ditutup.
21. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Apakah prinsip kesetaraan ini
dapat diwujudkan dalam syariat Islam? Dan jika tidak, mengapa?
Tidak. Laki-laki dan wanita itu nggak, tapi dalam beberapa hal itu bisa setara.
Tapi sebenarnya umum banget itu tuh bener-bener nggak setara karena
perempuan itu memang menggunakan perasaan. Misalnya perempuan mimpin,
dia memang gunain perasaan, sih, dalam kepemimpinannya. Laki-laki tu
cenderung tenang. Terus, laki-laki tu, dia tu kuat. Dan memang laki-laki dan
perempuan itu nggak setara. Menurut saya.
22. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi perempuan sesuai dengan
apa yang Anda inginkan?
171
Belom.
23. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Bukan sama sekali.
24. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Udah. Tapi itu baru sejak tahun 2013. Ketika saya hijrah, ketika saya belajar
mencari tahu kenapa begini kenapa begitu. Kenapa harus pake jilbab. Dan dari
situ saya mendapatkan pengetahuan kenapa saya harus memakai itu.
25. BagaimanaAnda memahami tubuh Anda sendiri?
Saya memahami tubuh saya sendiri sekaligus memaknai tubuh orang lain juga,
kan. Jadi, menurut saya, tubuh saya cukup aman, sih, untuk pakek baju apa pun
karena memang tidak terlalu membentuk. Kalau pake baju kemeja di atas pantat
dan celana kulot aja saya masih merasa aman, sih. Masih merasa nyaman dan
sopan karena nggak ada bagian tubuh yang gimana gitu. Ya, pastilah percaya.
Tubuhku otoritasku. Benar, saya setuju.
172
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik tentang Aceh?
Aceh itu kota yang sebenarnya ramah bagi pendatang, ya. Mereka punya local
wisdom untuk memuliakan tamu. Jadi, itu yang menggambarkan Aceh
sebenarnya. Bahwa Aceh itu ramah, sangat welcome terhadap orang luar, tamu.
Tapi kan sejak selama ini dalam konteks syariat Islam, dengan hukuman
cambuk, dan lain-lain, orang-orang takut untuk datang ke Aceh. Razia-razia itu.
Nah, mungkin ada sedikit pergeseran.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya sebenarnya nggak paham, ya, sejarah-sejarah Aceh. Tapi yang saya dapat
informasi selama ini, dari pelajaran, dari diskusi dengan kawan-kawan, Aceh
itu sangat tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya
dalam konteks pemerintahan. Bahkan dalam situasi perang pun perempuan
Aceh siap, tidak hanya sebagai perawat, penjaga orang yang sakit karena
perang, tetapi juga sebagai komandan perang. Kan Aceh punya Laksamana
Malahayati yang sangat terkenal dengan kepemimpinan perangnya. Perempuan
Aceh dulu kuat dan mereka di depan.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam itu menurut saya itu syariat menurut ajaran agama yang rahmatan
lil alamin untuk semua orang. Nggak cuma untuk umat muslim, tapi juga untuk
semua orang. Menurut saya, sih, gitu.
173
Ramadan itu kan kita buka puasa sama-sama tu. Itu Ibu saya tu mengkhususkan
menyediakan untuk laki-laki. Untuk abang laki-laki atau adik laki-laki. Jadi dia
dibikin spesial. Ditarok spesial gitu. Misalnya dibiken makanan, dibiken
masakan, disediain pireng gitu. Kalau kita perempuan-perempuan nggak gitu.
Kadang adik saya juga protes, ‘Mama ni apa beda-bedain gitu?’. Tapi, ya, gitu,
di masyarakat Aceh tu dia diutamakan, didahulukan, jadi dalam relasi saya di
pekerjaan, sih, lebih terasa. Dari 50 pegawai, cuma saya satu orang perempuan.
Yang dirasakan memang minoritas perempuan berada di lingkup yang
mayoritas laki-laki. Jadinya, kita jadi yang pegang urusan-urusan domestik.
Misalnya saya jadi seksi konsumsi gitu-gitu kalau acara. Tapi kalau dalam relasi
suami-istri, saya aman. Nggak punya masalah relasi keluarga. Kami kalau apa-
apa kompromi. Kalau di lingkungan masyarakat, ya, gitu. Patriarki cukup
sangat kuat.
7. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Saya sebenarnya nggak setuju. Karena seharusnya penerapan syariat Islam tu
pertama harus diedukasi dulu. Masyarakat harus diberi pemahaman dulu
tentang implementasi syarat Islam itu sendiri dulu. Satu lagi adalah APA.
Mereka juga nggak satu kepala; nggak sama persepinya. Jadinya misal ada satu
yang pake celana boleh lewat, ada juga yang dirazia nggak boleh lewat.
8. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Pemahaman saya, yang saya dapatkan terkait jilbab tu, persoalan bagaimana
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Yang saya pahami, ya. Kalau di
Aceh tu pergeserannya beda sekarang. Kalau di Aceh tu, kalau nggak berjilbab
tu, capnya langsung dicap nonmuslim. Kalo dulu tu kan nggak ada kek gitu.
Kalo nggak mau berjilbab, yaudah nggak apa. Karena nggak ada perempuan
175
Aceh yang keluar nggak pake jilbab. Dan di Aceh tu Islam simbolisnya kuat
kali.
9. Alasan terbesar Anda mau mengenakan jilbab?
Karena pandangan masyarakat, sih. Karena pekerjaan saya ini bisa disebut
sebagai public figure, kan.
10. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Keluarga saya dulu malah pake mickey-minnie. Semuanya baru pake
setelah syariat Islam. Kecuali adik saya soalnya dulu dia sekolah di MTsN. Kan
diwajibkan mengenakan jilbab.
11. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Kalok saya memilih yang konservatif. Saya pertama karena mengikuti hadis
yang dibilang Rasulullah supaya‘Bilang pada anak-anak perempuanmu dan
istrimu untuk menutupi dada dengan kain panjang’. Jadi saya menganggapnya
itu sunah yang dianjurkan, tapi saya nggak mengklaim itu kewajiban. Tapi
ketika kemudian ketika sekarang syariat Islam, itu menjadi diwajibkan. Ketika
dia mulai diformulasikan ke dalam kebijakan, itu jadi tunggal kebenarannya.
Jadinya nggak bisa mengakomodasi kepentingan aliran-aliran atau mazhab lain.
Jadi kalau saya nggak mau pake jilbab, mau nggak mau harus pakek. Saya
punya pengalaman awal pakek jilbab tu karena terpaksa. Pas saya kuliah karena
dosen saya suruh pake jilbab. ‘Kalo kamu mau masuk kelas saya, kamu harus
pake jilbab, ya. Kalau nggak, nggak usah masuk ke kelas saya’. Akhirnya saya
pake jilbab karena terpaksa.
12. Apakah Anda merasa bebas dan rasional dengan interpretasi yang Anda
pilih?
176
Ya nggaklah pasti. Karena dari awal dipaksa, kan. Padahal jilbab tu kan pilihan,
kan? Jilbab tu sama kayak pilihan kita mau pake rok, mau pake jins, atau
semacamnya.
13. Apakah aturan mengenakan jilbab dan baju panjang yang tidak
membentuk lekuk tubuh dapat Anda terima?
Saya nggak terima, sih. Karena menurut saya, yang mereka bikin
standarisasinya syariat itu, perempuan itu kan harus memakai rok atau apa itu
namanya gamis gitu, yang panjang gitu. Saya nggak nyaman sebenarnya.
Karena apa? Karena dalam bekerja saya merasa terganggu. Saya sering
tersandung setiap naik tangga. Saya lebih nyaman pake celana.
14. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Sebenarnya, ya, polisi syariat itu ditugasi untuk memantau jalannya peraturan
syariat (qanun). Untuk mengingatkan, untuk mengimbau, hal-hal seperti itu.
Bukan kemudian dia yang memberikan sanksi, yang memberikan kekerasan.
Juga bahasa-bahasanya yang menurut kawan-kawan kita itu bahasa-bahasanya
sangat tidak manusiawi. Bahkan ada yang melakukan pelecehan sampe
ngerogoh celana. Sekarang, bicara syariat Islam, nggak ada lagi ranah privat,
semua publik. Kayak saya biasanya di depan rumah jemur baju nggak pake
jilbab, itu kalo ada WH bisa aja ditegor itu. Nggak terima lagi mereka kalo saya
jelasin itu ranah privat saya.
15. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Menurut saya iya, sih. Karena nggak perlu sebenarnya ada razia-razia gitu. Itu
kan termasuk kekerasan, membuat orang nggak nyaman. Karena kalau ada
razia, dilihat dari jaoh, orang tu langsung mutar balek, karena takot dan dia
nggak nyaman. Karena dia tu tugasnya bukan di situ.
16. Jika terjaring sweeping, respons apa yang Anda berikan?
Yang pertama saya lakukan, ‘Saya salah apa?’. Karena saya ngerti hukum, ya,
saya bakal tanya ‘Pasal mana?’. Karena saya yakin mereka juga nggak ngerti
pasalnya gimana.
177
17. Kalau yang merazia adalah WH, apakah Anda setuju jika masyarakat
(terutama kelompok laki-laki) ikut merazia?
Oh, itu jelas salah tu. Nah, itu juga sebenarnya salah satu tafsiran dalam
kebijakan. Kebijakan ini kan multitafsir. Setiap orang bisa menafsirkan. Dan
sekarang masyarakat pada saat ini merasa punya kekuasaan. Punya authority
untuk ikut kayak gini.
18. Apakah Anda memiliki alasan tersendiri mengapa sweeping syariat lebih
berfokus kepada perempuan dibanding laki-laki?
Karena kan perempuan itu dianggap lemah. Di-sweeping gitu-gitu kan diam-
diam aja. Yang dianggap gampang dikontrol tu kan perempuan, karena
perempuan diliat powerless.
19. Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 (a) yang menyatakan
bahwa “Setiap orang Islam wajib berbusana islami”. Peraturan ini
sebenarnya diwajibkan kepada setiap orang Islam, baik perempuan dan
laki-laki. Namun, pada interpretasi dan penegakan dari peraturan ini
hanya mengarah kepada perempuan muslim Aceh. Dengan pernyataan
yang masih terlalu abstrak terkait “busana islami”, apakah Anda sebagai
perempuan berhak mengonsepsikan busana islami yang seperti apa?
Yang nyaman buat saya dan nyaman juga buat orang lain yang liat.
20. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Apakah prinsip kesetaraan ini dapat diwujudkan dalam syariat Islam?
Setara, seharusnya setara. Tapi itu karena konstruksi sosial, ya. Kenapa? Karena
kita lahir sama, kok. Laki-laki perempuan laher telanjang bulat, kok. Sama aja.
Nggak ada yang lahir dengan sesuatu yang wah.
Perempuan memiliki rasionalitas dan kebebasan yang sama. Kita punya otoritas
terhadap tubuh kita sendiri. Terserah kita. Bukan negara yang atur.
Secara Islam tu sangat sangat sangat sangat. Nggak tau, ya. Saya
menginterpretasikan Islam itu sangat menghargai kedudukan perempuan.
Sampe-sampe ada surat An-Nisa, kan. Dalam konteks Islam yang saya pahami,
178
ya laki-laki dan perempuan itu setara. Cuma kembali lagi kepada hadis-hadis
yang selama ini dianut masyarakat.
21. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Ya, saya yang sekarang tuh adalah saya yang bentukan Aceh hari ini. Jadi kalo
saya mau jadi bentukan seperti yang bukan Aceh mau, saya harus keluar dulu
dari Aceh.
22. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Ya, saya cenderung mengikuti apa yang dimau di Aceh, ya. Tanda kutip untuk
mencari aman.
23. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Ya otonomi tubuh saya ya hak saya. My body is my right. The personal is
political.
179
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Kalok tentang Aceh, hal yang pertama yang terlintas di benak tu tsunami.
Fenomena bersejerah kek gitu.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Yang saya tahu , sih, Laksamana Malahayati, yang mana beliau merupakan
laksamana perempuan pertama di dunia. Kek fearless, gitu. Nilai religi dan
budayanya juga tinggi.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Nggak tau.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Nggak. Saya merasa masih kurang pemahaman. Paling teman, beberapa teman
sering berdiskusi membahas itu dan saya kurang tertarik terhadap itu.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
Hubungan saya dengan perempuan dari kecil mudah bergaul, tidak
membedakan cowok-cewek sih. Di rumah saya juga kadang merangkap
180
pekerjaan domestik karena tidak anak saudara perempuan selain Ibu. Tapi di
sekolah iya, karena di mana-mana saya mendengar kalau cowok harus menjadi
pempimpin. Bukan cewek.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Benar. Karena dari zaman Rasulullah wanita itu harus menutup auratnya. Dan
menutup aurat tersebut merupakan hal yang esensial.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Definisi jilbab…pelindung. Sesuai dengan dimensi-dimensi di atas.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Nggak wajib, tapi yang penting tertutup auratnya. Nggak mesti pake jilbab.
9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Nggak. Ibu saya mulai sejak kuliah baru menggunakan jilbab. Karena teman-
temannya sudah mulai pake jilbab, jadi Ibu saya ikut-ikutan.
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Nggak. Karena dalam Islam tidak mengenal kekerasan.
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
181
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
Apa, ya... Tentang Aceh tentang keislamannya. Soalnya kan Aceh kan kayak
dilabeli dengan daerah istimewa kan padahal seharusnya sama aja kayak
daerah-daerah lainnya. Keistimewaan Aceh tu terletak pada coraknya yang
islami. Menurut saya, nilai-nilai kebinekaan kurang dihargai di Aceh. Sekarang
jadi semakin parah apalagi terkait sweeping baju islami.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Saya kurang tau, sih, kalau masa lampau. Tapi kayaknya nggak jauh beda sama
jaman sekarang. Cuma lebih banyak peraturan dan lebih ketat peraturan jaman
sekarang.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Peraturan yang tertera dalam Alquran.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Tidak. Kurang. Iya. Dari buku, dari pertemanan diskusi dengan teman-teman.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
183
Iya, sangat. Kalok di keluarga biasanya lebih diutamakan yang jenis kelaminnya
laki-laki alasannya karena laki-laki harus lebih bermartabat dibanding
perempuan. Kalo makan pun harus lebih banyak porsinya karena laki-laki harus
lebih kuat.
Di sekolah malah lebih parah lagi. Di Aceh pemerintahnya malah nyuruh
perempuan, eh lebih mengatur perempuan lebih ketat daripada laki-laki. Seakan
laki-laki lebih diizinkan untuk sewenang-wenang daripada perempuan. Padahal
seharusnya nggak gitu. Kalo menurut saya sih harusnya sama, ya. Kalok
perempuan diatur sedemikian rupa, maka laki-laki juga.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Saya biasa aja sih soalnya bukan saya yang diatur. Tapi alangkah baiknya kalo
perempuan diberi kelonggaran terhadap peraturan itu. Menurut saya banyak
peraturan yang nggak penting.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Pakaian yang menutupi kepala perempuan.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Wajib. Karena di Alquran ditulis wajib. Oh tapi saya nggak tau surat apa yang
menerangkan kalo jilbab itu wajib. Tapi dari SD dibilang guru agama wajib.
184
Iya. Karena lingkungan saya membebaskan apa pun pilihan yang saya inginkan.
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Tidak.
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Tidak semua, sih. Tapi lumayanlah.
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Kayanya sebagai pribadi yang bebas, melakukan apa pun dan mengenakan apa
pun, saya melakukannya sesuai yang saya inginkan. Dan orang lain tidak bisa
mengatur hal itu.
186
Nggak, sih. Tergantung kenyamanan seseorang, ya. Kalau dia nyaman dengan
jilbab, ya, oke. Tapi kalo dia nggak nyaman, terpaksa,untuk apa dijalani., ya.
Yang penting sopan kalo menurut saya.
9. Apakah keluarga Anda (nenek, ibu, dan sebagainya) mengenakan jilbab
sejak kecil?
Kalo bunda saya, saya lihat beberapa foto pas masih muda nggak mengenakan
jilbab. Dan lihat foto saya dan kakak saya, kakak saya juga nggak mengenakan
jilbab.
10. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
Nggak. Nggak boleh. Karena menurut saya kalo melarang orang tu harus
dengan kelembutan, harus pelan-pelan, nggak boleh langsong begitu jumpa
langsong menggunakan kekerasan. Itu bukan jalan keluar.
11. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Ya, setara. Karena yang membedakan laki-laki dan perempuan menurut saya
hanya kelamin saja. Yang lain, apa yang cewek lakukan, cowok bisa lakukan.
Begitu pula sebaliknya. Itu hanya konstruksi sosial aja yang biken cewek
melakukan kebiasaan cowok itu menjadi canggung.
12. Apakah sweeping busana muslim ini dapat dikelompokkan sebagai
tindakan kekerasan dan penindasan?
Ya.
13. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
Nggak. Karena dia bukan WH yang ditugaskan untuk melakukan sweeping. Jadi
kan dia tu udah ada tugas masing-masing.
14. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
189
Wajar. Karena itu menurut saya ikut-ikutan aja,s ih. Kayak kebanyakan orang
bilang ini, jadi terikut kayak gini. Padahal sebenarnya orang yang bilang itu
juga nggak tau juga.
15. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
Sudah.
16. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Ya, kayaknya.
17. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Terkadang belum.
18. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Menurut saya, saya memahami tubuh saya, saya sukak-sukak mau buat tubuh
saya gimana walaupun terkadang jika ada yang tidak biasa itu jadi canggung.
190
1. Ketika diminta untuk menjelaskan tentang Aceh, hal apa yang ingin Anda
jelaskan kepada publik?
GAM-nya, sih. Kalok GAM tu kayak, hal yang paling menarik di situ, pasti ada
tuntutan yang diminta oleh GAM. Jadi, bagaimana peran pemerintah dalam
mengurusi hak GAM tersebut.
2. Apa yang Anda ketahui tentang perempuan Aceh pada masa lampau
(periode abad XV—XIX)?
Sebenarnya saya nggak begitu tahu tentang perempuan Aceeh pada masa
lampau. Tapi yang saya tau tempat penyebaran agama Islam itu kuat di sini.
3. Apa yang Anda ketahui tentang syariat Islam?
Syariat Islam, ya, hukum yang berlandaskan agama Islam.
4. Apakah Anda merasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang syariat Islam dari pemerintah daerah? Atau Anda mencari
tahunya dari orang atau kelompok lain?
Nggak, sih. Syariat Islam dipake untuk kepentingan pihak tertentu aja. Nggak
pernah. Paling teman, beberapa teman sering berdiskusi membahas itu dan saya
kurang tertarik terhadap itu.
5. Bagaimana posisi dan peran Anda sebagai laki-laki di dalam keluarga, di
institusi pendidikan atau pekerjaan, dan di lingkungan masyarakat—
terutama dalam berelasi dengan perempuan? Tentu Anda tidak asing
dengan terma “aneuk inong” dan “aneuk agam”. Apakah Anda merasa
mendapatkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga, di institusi
pendidikan atau pekerjaan, atau pun di lingkungan masyarakat?
191
Kalo misal saya liat, perempuan tu kan di syariat Islam tu hanya sebagai
pelengkap bagi laki-laki. Jadi, intinya gimana caranya laki-laki
mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat dan juga menguasai
dan menjadi kepala keluarga di keluarganya. Kayanyanggak ada, sih. Soalnya
laki-laku tu berperan sebagai kepala keluarga pada hakikatnya.
6. Terdapat sebuah fenomena penerapan syariat Islam yang menurut
beberapa literatur, penerapannya ini terlalu berfokus pada tubuh
perempuan. Sebagai perempuan Aceh, bagaimana respons Anda?
Kalau saya, sih, ngedukung soalnya ya namanya mata laki-laki ya gak ada yang
tau. Jadi gimana caranya cewek ini harus memosisikan diri dengan menjaga
citranya di mata lelaki.
7. Berbicara mengenai jilbab, jilbab sendiri mengandung arti di dalam tiga
dimensi. Dimensi pertama untuk menyembunyikan sesuatu dari
pandangan seseorang; dimensi kedua sebagai ruang untuk memisahkan
dan membuat batas; dan dimensi ketiga bermakna etika yang bertalian
dengan ranah larangan. Kalau menurut Anda, apa definisi jilbab?
Jilbab itu untuk menutup auratlah intinya agar terhindar dari pandangan laki-
laki.
8. Setelah membaca beberapa penelitian, peneliti mendapatkan kesimpulan
bahwa hukum mengenakan jilbab masuk ke dalam ranah khilafiah
(kontroversi). Ada dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab.
Dalam syariat tradisional, jilbab merupakan kewajiban perempuan
muslim. Namun, dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Anda termasuk kelompok yang mana
dan apa alasan Anda memilih interpretasi tersebut?
Wajib, sih. Karena yang saya bilang tadi tu cewek tu harus bisa menjaga dirinya
di mana pun dirinya berada. Makanya jilbab itu dipergunakan. Jangan sampe
perempuan itu membuat dirinya menjadi pembuat nafsu bagi cowok.
9. Apakah larangan, ancaman, dan kadang kekerasan boleh dilakukan oleh
polisi syariat untuk menegakkan aturan ini?
192
Ya kalo misalnya kita lihat Aceh, kan ada otonomi khusus, jadi pantes aja gitu.
Kecuali itu dilakukan di wilayah lain. Intinya otonomi daerahnya itu sih.
10. Apakah Anda mempercayai bahwa perempuan dan laki-laki itu
kedudukannya setara? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Kalo saya sih nggak percaya kalau laki-laki dan perempuan itu setara karena
kalau kita lihat dari awalnya kan perempuan itu tugasnya untuk melengkapi
laki-laki.
11. Kalau yang melakukan sweeping adalah WH, apakah Anda setuju jika
masyarakat (terutama kelompok laki-laki) ikut melakukan sweeping?
Nggg… kalau saya nggak setuju sih. Biar aja apa yang dilakukan oleh pihak
berwajib
12. Bagaimana pendapat Anda perihal respons dari masyarakat terhadap
pakaian yang Anda kenakan—yang biasanya aurat laki-laki lebih dapat
ditolelir dibanding aurat perempuan?
Setuju untuk menerapkan seperti itu. Ya kalo cowok pake baju sesuai dia, itu
hak dia.
13. Apakah selama ini Anda merasa telah menjadi laki-laki sesuai dengan apa
yang Anda inginkan?
Kayaknya belum, sih.
14. Apakah Anda yang sekarang adalah Anda yang berasal dari tuntutan dan
ancaman lingkungan sekitar?
Gak juga.
15. Apakah dalam mengambil keputusan selama ini, Anda telah mendapatkan
pemahaman yang komprensif dan utuh terlebih dahulu?
Ya.
16. Bagaimana Anda memahami tubuh Anda sendiri?
Tubuh saya tu ya urusan saya. Karena sebagai laki-laki saya mempunyai hak
untuk mengatur tubuh saya sendiri.