Anda di halaman 1dari 2

LO KHENG HONG

ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak
mampu. Pada 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank.
Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses dan
dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari pendekar saham yang
rendah hati ini. Ciaaaaat! Dua minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan
kasus flu burung untuk menambah kekayaannya.

BERITA REKOMENDASI

Beda Warren Buffet dan Lo Kheng Hong

Tips Beli Saham ala Warren Buffet Indonesia

Lo Kheng Hong: Kalau Mati Miskin Itu Salah Saya

Minggu ini kita akan belajar bagaimana LKH menentukan saat untuk menjual sahamnya yang sudah
untung. Kita ambil contoh kasus PT Timah Tbk (TINS). TINS adalah badan usaha milik negara (BUMN)
yang bergerak di bidang pertambangan atau eksplorasi timah. TINS merupakan penghasil timah
dunia terbesar pada 2008. Timah digunakan untuk solder, kemasan produk, baju antiapi, hingga
untuk bahan pembuatan stabiliser PVC, pestisida, dan pengawet kayu. LKH membeli saham TINS
pada 2002 pada harga sekitar Rp290 per saham. Ia membeli 24 juta saham TINS dan menjadi salah
satu pemegang saham TINS terbesar di luar pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. LKH
menjual saham TINS pada 2004 seharga Rp2.900 per saham, meraup cuan (keuntungan) Rp63 miliar,
atau cuan 900% dalam waktu dua tahun. LKH tertarik membeli saham TINS karena pada 2002 nilai
buku ekuitasnya Rp1,5 triliun, sedangkan nilai pasar ekuitasnya (kapitalisasi pasar) pada harga saham
Rp290 hanya Rp150 miliar. Pada tahun yang sama, laba bersih TINS hanya Rp11 miliar, turun dari
Rp37 miliar pada 2011. Salah satu penyebabnya adalah harga timah yang rendah. Ketika harga timah
mulai membaik, kinerja keuangan dan harga saham TINS juga terkerek naik. Sebenarnya LKH punya
peluang untuk memperoleh keuntungan lebih fantastis dari TINS jika ia tidak menjual saham TINS di
Rp2.900 per saham. Setelah ia jual, harga saham TINS masih terus naik seiring pertumbuhan harga
timah dunia yang luar biasa. Pada grafik bisa dilihat harga saham TINS mengalami lonjakan sejak
akhir 2006 hingga pertengahan 2008, di mana harga saham TINS menyentuh Rp38.000. Bisa
dibayangkan, seandainya LKH melepas saham TINS-nya pada harga puncak ini, ia bakal meraup
keuntungan 12.000% dalam waktu 5,5 tahun! Tentu ini menjadi pelajaran bagi investor pemula
bahwa memprediksi titik puncak harga sebuah saham tidaklah mudah. Investor berpengalaman dan
hebat seperti LKH saja bisa “membuat kesalahan” dengan melepaskan kesempatan emas untuk
meraup cuan gila-gilaan. Namun, saat LKH “membuat kesalahan”, ia masih untung 900% dalam
waktu dua tahun. Sedangkan kebanyakan investor lain jika melakukan kesalahan investasi, biasanya
harus melakukan cut lossalias merugi. Kalau selama ini kita sudah tahu bagaimana konsep LKH dalam
memilih/membeli saham yang salah harga, yakni menggunakan indikator price earnings ratio (PER)
kurang dari lima kali, bagaimana dengan konsep menjual saham? LKH menjelaskan ketika nilai
intrinsik saham yang ia pegang sudah mendekati harga pasarnya, ia mulai mempertimbangkan untuk
melepas saham tersebut. Ketika nilai saham sudah mendekati harganya, cuan di masa depan dari
saham tersebut sudah tidak tinggi. Lantas bagaimana caranya LKH menghitung nilai intrinsik sebuah
saham? Secara teoritis ada beberapa metode. Yang banyak digunakan oleh para analis saham adalah
metode discounted cash flow(DCF). Analis mencoba memprediksi arus kas yang bisa dihasilkan oleh
sebuah perusahaan bagi investor di masa yang akan datang. Arus kas tersebut kemudian
dinilaisekarangkan (present value). Nilai intrinsik saham adalah jumlah dari seluruh nilai sekarang
arus kas tersebut. Metode ini canggih, namun kadang kurang akurat karena banyak asumsi yang
harus dibuat. Misalnya, pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, belanja modal, dan
suku bunga. LKH menggunakan PER untuk memperkirakan apakah harga sebuah saham sudah
mendekati nilai intrinsiknya.

“Ketika PER saham yang saya pegang sudah mendekati 17 kali, saya mempertimbangkan untuk
melepas saham tersebut,” kata LKH. Ia menggunakan angka 17 kali sebagai acuan karena rata-rata
PER saham di Bursa Efek Indonesia yang dianggap wajar adalah 17 kali. Kadang LKH menggunakan
indikator price to book value ratio (PBV atau harga saham dibagi book value ekuitas saham) sebesar
satu kali. Pendekatan lain yang LKH gunakan adalah replacement cost, di mana ia bertanya kepada
direksi perusahaan, berapa nilai wajar perusahaan mereka. Ada satu hal lagi yang bisa membuat LKH
melepas sahamnya yang sudah dalam posisi untung (in the money). “Kalau ada saham perusahaan
bagus jatuh harganya, dan kebetulan saya tidak punya uang tunai, saya bisa menjual saham saya
untuk membeli saham tersebut,” LKH menjelaskan. Inilah yang disebut asset allocation (alokasi aset),
salah satu prinsip investasi Warren Buffett, mahaguru LKH.

Anda mungkin juga menyukai