Anda di halaman 1dari 24

Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping Obat

(MESO) karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap pengembangan obat dapat
timbul setelah penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama. Di Indonesia, Program MESO

dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO Nasional ini
adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang
terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa secara luas. Dengan pelaksanaan
MESO diharapkan akan diperoleh informasi baru mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan
serta frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting) bagi tenaga
kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena merupakan sistem yang relatif
sedikit membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik cukup efektif untuk pengumpulan laporan
ESO dari profesi kesehatan. Keuntungan lain dari sistem ini adalah kemungkinan dapat menemukan ESO
yang jarang terjadi, fatal atau gawat. Disamping itu kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak
dikaitkan dengan suatu kewajiban atau biaya. Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini
adalah bergantung pada peran aktif dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan tenaga
kesehatan tersebut di Rumah Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial dalam pelaporan
ESO.

Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).

Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai laporan ESO
yang diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi tindak lanjut yang perlu
dilakukan. Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional bekerjasama dengan WHO Collaborating
Center for International Drug Monitoring. Dalam kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur
menerima informasi mengenai MESO dari WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir
laporan MESO tersedia di Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan

PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek samping obat
tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik dengan menggunakan Formulir
Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir Monitoring Efek Samping Suplemen
Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESK)
Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat Penilaian Obat
Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Efek Samping Obat Pada Mulut

Kelainan pada mulut yang diinduksi obat mungkin disebabkan oleh tindakan lokal pada mulut atau efek
sistemik yang dapat menyebabkan perubahan pada mulut. Untuk efek sistemik tersebut, rujukan segera
ke dokter mungkin diperlukan.

Mukosa mulut

Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung pada mukosa mulut terutama dapat
menyebabkan inflamasi atau ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi.

Tablet asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi sakit gigi dapat membuat titik
putih yang kemudian menjadi ulkus.

Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat menyebabkan kulit sensitif, tetapi
pembengkakan mukosa yang terjadi biasanya tidak terlalu nyata.

Pasien yang diberi obat sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral, misalnya
metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus meliputi emas, nikorandil, AINS, pankreatin,
penisilamin, dan proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat menyebabkan stomatitis.

Berbagai bentuk eritema (termasuk sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan
bermacam-macam obat, seperti

antibakteri, golongan sulfonamid, dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang meluas,
dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut pada toxic epidermal necrolysis (Lyell’s
sindrom) telah dilaporkan terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan dengan penggunaan AINS,
metildopa, klorokuin, antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan emas.
Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan antibakteri dan immunosuppresan dan merupakan
efek samping kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.

Gigi dan Rahang

Noda coklat pada gigi sering terjadi setelah penggunaan obat cuci mulut klorheksidin, semprot atau gel,
tetapi dengan mudah dihilangkan dengan polishing. Larutan garam besi dapat menyebabkan pewarnaan
hitam pada email gigi. Pewarnaan permukaan gigi dilaporkan jarang pada penggunaan suspensi co-
amoksiklav.

Pewarnaan yang menetap pada gigi umumnya disebabkan oleh tetrasiklin. Tetrasiklin mempengaruhi gigi
jika diberikan pada saat sekitar 4 bulan dalam kandungan sampai usia 12 tahun. Semua tetrasiklin dapat
menyebabkan noda yang menetap, pewarnaan yang mengganggu penampilan, warna berkisar dari
kuning hingga abu-abu. Fluor yang tertelan dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan florosis dental
yang disertai bintik putih pada enamel dan hipoplasia atau lubang. Suplementasi fluor kadang dapat
menyebabkan bintik putih ringan jika diberikan dosis yang terlalu besar pada usia anak. Perhitungkan
juga jumlah fluor yang terkandung dalam air minum. Ostenonekrosis pada rahang telah dilaporkan pada
pasien yang mendapat bisfosfonat secara intravena, tetapi jarang bila digunakan dengan cara oral. Pada
pembedahan gigi selama dan sesudah pengobatan, jika mungkin bifosfonat harus dihindari. Lihat juga
bab tentang bifosfonat.

Periodontium

Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia) merupakan efek samping dari fenitoin dan
kadang-kadang akibat siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis kalsium lain). Trombositopenia
mungkin berkaitan dengan obat dan dapat menyebabkan perdarahan pada daerah gusi, yang mungkin
secara spontan atau akibat dari trauma ringan (seperti sikat gigi).

Kelenjar Ludah

Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu mengurangi aliran (xerostomia). Pasien dengan
mulut kering yang menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat berkembang menjadi
karies gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama kandidiasis). Penggunaan yang berlebihan dari diuretik
dapat juga mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang mengakibatkan xerostomia, terutama
antimuskarinik (antikolinergik), antidepresan (termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-
uptake inhibitors), baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin. Beberapa obat (seperti klozapin,
neostigmin) dapat meningkatkan produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien
mengalami kesulitan menelan,

Rasa sakit pada kelenjar ludah telah dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti:
klonidin, metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah dapat diakibatkan oleh Iodida, obat
antitiroid, fenotiazin, ritodrin dan sulfonamid.

Pengecap

Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah. Obat yang mengakibatkan sensasi rasa
meliputi amiodaron, kaptopril (dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin, garam litium,
metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin, dan zopiklon.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Farmakoterapi merupakan intervensi terapi yang akan paling banyak dilakukan dalam praktek klinik,
sehingga kemungkinan untuk menghadapi kasus efek samping obat bagi seorang praktisi medik mungkin
tidak dapat dihindari sepenuhnya. Seringkali, kejadian efek samping obat ini pada seorang pasien tidak
dengan mudah dikenali, kecuali kalau efek samping yang terjadi adalah bentuk yang berat dan menyolok.
Mahasiswa perlu mengenali bentuk-bentuk efek samping obat, faktor-faktor penyebab atau yang
mendorong terjadinya, upaya pencegahan dan penanganannya.

Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek
farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat
dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara
ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud efek samping obat?


2. Apa saja bentuk efek samping obat yang sering terjadi?

3. Apa saja faktor yang mendukung terjadinya efek samping obat?

4. Apa saja upaya pencegahan dan penanganan efek samping obat dan efek toksik obat?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakologi tentang Efek Samping Obat dan cara
pengatasannya

2. Tujuan Khusus

Agar dapat mengetahui dan memahami tentang:

a. Memahami pengertian efek samping obat

b. Memahami bentuk-bentuk efek samping obat yang sering terjadi.

c. Memahami faktor-faktor yang mendukung terjadinya efek samping obat

d. Memahami upaya pencegahan dan penanganan efek samping obat dan efek toksik obat.

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Pengertian Efek Samping Obat

Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping
suatu obat adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan
pada dosis yang dianjurkan.

Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan
pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan
sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor
risiko yang sebagian besar sudah diketahui. (Anief, 2007)

B. Masalah dan Kejadian Efek Samping Obat

Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping. Oleh karena itu, efek samping
obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik
dalam sistem biologik tubuh. Jika suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, ini juga akan
menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.

Anief (2007) mengatakan bahwa efek samping adalah sautu obat yang tidak termasuk kegunaan terapi.
Misalnya C.T.M efek samping yang ada ialah menidurkan. Pengertian efek samping dalam pembahasan
ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien dari suatu
pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan
atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah
diketahui. Beberapa contoh efek samping misalnya:

a. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik)

b. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan)

c. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan
jangka lama)

d. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat)

e. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek
teratogenik)

Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dihindari begitu saja. Oleh karena itu, kemungkinan
dampak negatif yang terjadi, misalnya:

a) Kegagalan pengobatan

b) Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat yang semula tidak diderita oleh
pasien
c) Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit
atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik)

d) Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut
misalnya menurunnya kepatuhan berobat.

Tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali jika yang terjadi
adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.

Angka kejadian yang dilaporkan cukup beragam. Dari negara-negara Barat, ternyata angka-angka yang
didapatkan cukup mengejutkan, yaitu:

a) Dari pasien rawat inap yang rata-rata menerima 5 sampai dengan 10 jenis obat selama 10 hari
perawatan di rumah sakit, 25 persennya akan menderita 1 macam atau lebih efek samping obat dari
berbagai derajat dan 1 persen menderita efek samping yang membahayakan kehidupan. Pada pasien
rawat inap ini, efek samping yang berat paling banyak terjadi pada pengobatan kemoterapi kanker.

b) Di praktek swasta, kemungkinan terjadinya efek samping jauh lebih besar. Terbukti dari pasien
akut yang masuk rumah sakit (hospital admission), 25 persennya ternyata disebabkan karena efek
samping obat.

c) Dari kematian di rumah sakit, 0,24 sampai dengan 2,9 persen adalah karena efek samping obat.

Golongan umur yang terbanyak mengalami efek samping adalah orang tua. Kelompok ini umumnya
menerima jenis obat cukup banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan farmakodinamik tidak sama.
Data di Indonesia belum banyak terungkap, namun paling tidak angka-angka ini dapat memberikan
gambaran kejadian dan masalahnya.

C. Pembagian Efek Samping Obat

Efek samping obat dapat dikelompokkan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya
hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi dan
sebagainya. Namun, pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan
pengobatan adalah sebagai berikut:

1. Efek samping yang dapat diperkirakan:

a. Aksi farmakologik yang berlebihan

Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis
relatif terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan
memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok
tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi
darah, usia, genetik dan sebagainya, sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim menjadi relatif
terlalu besar pada pasien-pasien. Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik
maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.
Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat,
obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika atau antidiabetika. Beberapa contoh
spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:

1) Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin
atau benzodiazepin.

2) Hipotensi yang terjadi pada stroke atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat
antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.

3) Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.

4) Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.

5) Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.

6) Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena
secara bersamaan juga minum aspirin.

Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini
dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-
kelompok pasien dengan risiko tinggi tersebut. Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang
mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.

b. Gejala putus obat karena narkotika

Gejala penghentian obat adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan
terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan.

Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat
reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya
pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons
penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap
terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap
misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih
ringan.

c. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya
telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik
sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajat ringan namun angka
kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-
laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat
ditemukan dalam buku-buku standar, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai
contoh misalnya:

1) Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat
kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin dan lain-lain.

2) Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan

3) Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.

4) Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita
hamil

5) Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.

6) Ototoksisitas karena kinin atau kinidin

2. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan

1. Reaksi alergi

Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi dan terjadi akibat
reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak
tergantung dosis dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat.
Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat
berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:

1) gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya

2) seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek

3) reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat

4) reaksi hilang bila obat dihentikan

5) keluhan atau gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya ruam di kulit
serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema dan lain-lain.

Dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya
akan meliputi:

1) Demam.

Umumnya demam dalam derajat yang tidak terlalu berat dan akan hilang dengan sendirinya setelah
penghentian obat beberapa hari.

2) Ruam kulit (skin rashes).


Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis
eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi dan lain-lain.

3) Penyakit jaringan ikat.

Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi yang dapat terjadi pada
pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat

4) Gangguan sistem darah.

Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika


merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.

5) Gangguan pernafasan:

Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah
diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau
antiinflamasi lain.

2. Reaksi karena faktor genetik

Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan
efek farmakologik yang berlebihan.

3. Efek yang mungkin timbul pada perpanjangan obat

a) Adisi, terjadi bila campuran obat atau beberapa obat yang diberikan bersama-sama menimbulkan
efek yang merupakan jumlah dari efek masing-masing obat secara terpisah pada pasien.

b) Sinergis, terjasi bila campuran obat atau beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi
proksimat yang sama menimbulkan efek yang lebih besar dari jumlah efek masing-masing obat secara
terpisah pada pasien.

c) Potensiasi, terjadi bila campuran obat atau beberapa obat yang diberikan pada pasien,
menimbulkan efek lebih besar daripada jumlah efek masing-masing secara terpisah pada pasien.

d) Antagonis, terjadi bila campuran obat atau beberapa obat yang diberikan bersama-sama pada
pasien menimbulkan efek yang berlawanan.
D. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat

Faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata
meliputi:

1. Faktor bukan obat

Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:

a) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit,
sikap dan kebiasaan hidup.

b) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh
antibiotika.

2. Faktor obat

a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.

b) Pemilihan obat.

c) Cara penggunaan obat.

d) Interaksi antar obat.

Dalam pengembangan suatu obat, calon obat mengalami serangkaian uji atau penelitian yang sistematis
dan mendalam, untuk mendukung keamanan dan kemungkinan kemanfaatan kliniknya sebelum
digunakan pada manusia. Dalam tahap praklinik ini, penelitian-penelitian toksikologik, farmakokinetik
dan farmakodinamikharus dilakukan secara mendalam, untuk menangkap setiap kemungkinan efek
samping yang dapat terjadi. Bila efek samping terlalu berat relatif terhadap manfaat yang diharapkan,
maka calon obat ini dibatalkan. Efek samping yang terdeteksi pada uji praklinik dan dalam batas yang
masih bisa ditolerir, merupakan pegangan pada waktu melakukan uji klinik. Namun pada waktu
melakukan uji klinik, masih ada kemungkinan untuk menemukan efek samping lain, yang tidak dapat
terdeteksi pada uji sebelumnya, misalnya keluhan mual, gangguan konsentrasi dan lainnya mungkin tidak
akan bisa terdeteksi dari hewan percobaan. Dari penelitian-penelitian praklinik dan penelitian klinik
tahap awal, umumnya akan terdeteksi jenis-jenis efek samping yang angka kejadiannya cukup tinggi.
Identifikasi efek samping dari suatu obat tidak akan pernah berhenti, walaupun obat telah diijinkan
dipakai pada pasien. Pemakaian dalam pengobatan harus selalu diikuti dengan studi-studi maupun cara-
cara tertentu untuk menjaring setiap kemungkinan kejadian efek samping. Cara-cara ini terutama
digunakan untuk mencari efek samping yang jarang namun bisa fatal, yang hanya dapat dideteksi dari
populasi pemakai obat yang lebih besar. Berbagai cara tersebut antara lain adalah:

1) Penelitian kohort:
Pengamatan dilakukan secara terus menerus terhadap sekelompok pasien yang sedang menjalani
pengobatan, untuk mengevaluasi efek samping yang mungkin terjadi setelah pemaparan terhadap obat.

2) Laporan spontan terhadap kecurigaan terjadinya efek samping:

Laporan ini dibuat oleh dokter, apabila mereka menjumpai efek samping atau kemungkinan efek
samping. Laporan dikirim ke Tim khusus yang menangani masalah efek samping (di Indonesia kepada
Tim Monitoring Efek Samping Obat - Departemen Kesehatan RI) yang akan mengumpulkan dan
menganalisis laporan tersebut.

3) Penelaahan terhadap statistik vital:

Penelaahan dilakukan oleh ahli epidemiologi, untuk melihat apakah ada data yang ganjil pada pola
epidemiologi penyakit.

4) Penelitian 'case-control':

Merupakan penelitian retrospektif untuk mengetahui besarnya faktor risiko paparan pemakaian obat
dengan kejadian efek samping obat. Dalam penelitian ini individu-individu dengan efek samping tertentu
yang diteliti, dan individu-individu dari kelompok kontrol, dibandingkan secara retrospektif riwayat
penggunaan obat yang dicurigai.

Masing-masing cara mempunyai keunggulan dan kelemahan, namun hasil dari berbagai macam studi
tersebut akan saling melengkapi satu sama lain.

E. Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping

Saat ini sangat banyak pilihan obat yang tersedia untuk efek farmakologik yang sama. Masing-masing
obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun
kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu terpaku pada obat
baru yang efek sampingnya jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat
bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi atau penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat dari
berbagai pustaka standar maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap
efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat
dalam melakukan evaluasi pengobatan.

1. Upaya pencegahan

Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal
berikut:

a. Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu
sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri.

b. Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi.
c. Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus.

d. Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada anak dan bayi, usia lanjut
dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala
dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk
gangguan pendengaran.

e. Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya
memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, bahwa perubahan tersebut karena perjalanan penyakit,
komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat.

2. Penanganan efek samping

Tidak banyak buku-buku yang memuat pedoman penanganan efek samping obat, namun dengan melihat
jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat
direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:

a. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping.

Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek
farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan
dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi
alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi.
Biasanya reaksi alergi atau idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat
penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat dan belum pasti obat yang mana
penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.

b. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.

Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik.

Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk
mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai,
pemberian antihistamin atau kortikosteroid dan lain-lain.

F. Tindak Lanjut Sesudah Menghadapi Kasus Efek Samping Obat

Jika anda menghadapi suatu kasus efek samping obat dan sudah ditangani secara medis sebagaimana
mestinya, masih diperlukan langkah-langkah tindak lanjut.

1. Dibuat laporan dokumentasi lengkap mengenai kasus efek samping yang bersangkutan dan
dilaporkan ke lembaga yang berwenang, yaini ke Panitia MESO (Monitoring Efek Samping Obat) di Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, (Jalan Percetakan Negara 23, Jakarta).
2. Jika bekerja di rumah sakit cobalah bahas di Panitia Farmasi dan Terapi rumah sakit. Dengan
mengacu ke sumber-sumber referensi, dicari kemungkinan faktor risiko terhadap kasus efek samping
tersebut.

Langkah-langkah koreksi dalam upaya pengelolaan risiko efek samping obat mencakup hal-hal berikut,

a. Membatasi indikasi pemakaian obat yang bersangkutan. Beberapa obat sering dipakai tidak pada
indikasi yang benar.

b. Memperluas atau mempertegas kontra indikasi.

c. Mempertegas cara pemakaian obat (pemberian, dosis, lama dan lain-lain).

d. Mengeluarkan obat dari formularium rumah sakit atau anda tidak memakai obat yang
bersangkutan jika ada alternatif yang lebih aman.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Efek Samping Obat

Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping
suatu obat adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan
pada dosis yang dianjurkan.

Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan
pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan
sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor
risiko yang sebagian besar sudah diketahui.

Jadi, efek samping adalah efek yang tidak diharapkan terjadi dalam suatu obat atau pengobatan.

B. Masalah Efek Samping Obat

Beberapa contoh efek samping misalnya:

1. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),


2. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan)

3. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan
jangka lama)

4. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal


syndrome)

5. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek
teratogenik), dan sebagainya.

Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena
kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:

1. Kegagalan pengobatan

2. Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau
iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien

3. Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit
atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).

4. Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut
misalnya menurunnya kepatuhan berobat.

Efek samping adakalanya tidak dapat dihindarkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin,
ergotamin, atau estrogen dengan dosis yang melebihi dosis normal. Kadang efek samping merupakan
kelanjutan efek utama sampai tingkat yang tidak diinginkan, misalnya rasa kantuk pada fenobarbital, bila
digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek samping terlalu hebat dapat dilawan dengan obat lain
misalnya obat antimual (meklizine, proklorperazin) atau obat anti mengantuk (kofein, amfetamin).

Tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi
adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.

C. Pembagian Efek Samping

Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan
ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi,
dan sebagainya. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam
melakukan pengobatan adalah sebagai berikut:

Efek samping yang dapat diperkirakan, terbagi atas:

1. Aksi farmakologik yang berlebihan


Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis
relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang
diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-
kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan
sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif
terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.

Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat
yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.

Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat,
obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik
dari jenis efek samping ini misalnya:

a. Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin
atau benzodiazepin.

b. Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang
menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.

c. Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.

d. Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.

e. Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.

f. Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena
secara bersamaan juga minum aspirin.

Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini,
dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-
kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan
usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga
perlu diperhatikan.

2. Respons karena penghentian obat

Gejala penghentian obat (=gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala
penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian
pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:

a. Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada
penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan
alkohol.

b. Krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,


c. Hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi
klonidin

d. Gejala putus obat karena narkotika,

Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat
reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya
pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons
penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap
terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap
misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih
ringan.

3. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya
telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik
sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka
kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-
laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas .

Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap
dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:

a. Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat
kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dan lain-lain.

b. Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan
(motion sickness).

c. Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.

d. Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita
hamil

e. Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.

f. Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.

Efek samping yang tidak dapat diperkirakan, terbagi atas:

1. Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat
reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak
tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat.
Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat
berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:

a. Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya

b. Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek

c. Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat

d. Reaksi hilang bila obat dihentikan

e. Keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di
kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dan lain-lain

Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:

a. Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit
basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi,
misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dan lain-lain. Manifestasi efek samping bisa berupa
urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek
samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin,
anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium .

b. Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan
obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena
kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin,
rifampisin, kuinin dan kuinidin, dan lain-lain.

c. Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi,
kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium
kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam
makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah
penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).

d. Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-
protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan
reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep
antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.
Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun
dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya
akan meliputi:

a. Demam

Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah
penghentian obat beberapa hari.

b. Ruam kulit (skin rashes)

Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis
eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dan lain-lain.

c. Penyakit jaringan ikat

Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi
pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.

d. Gangguan sistem darah

Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika


merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.

e. Gangguan pernafasan

Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah
diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau
antiinflamasi lain.

2. Reaksi karena faktor genetic

Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan
efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang
mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang
juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:

a. Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme


suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan
apnea yang berkepanjangan.

b. Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai


potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan
kinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang
paling populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena
adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang
dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara
cepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di
Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada
kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya
lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:

a. Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat

b. Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.

Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau
lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun
sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi
Klinik.

3. Reaksi idiosinkratik

Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak
diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya
reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:

a. Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.

b. Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian
progestogen sama sekali.

c. Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.

d. Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.

e. Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan
iodium-radioaktif sebelumnya.

D. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat


Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat
mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi:

Faktor bukan obat

Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:

a. Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit,
sikap dan kebiasaan hidup.

b. Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh
antibiotika.

Faktor obat

a. Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.

b. Pemilihan obat

c. Cara penggunaan obat

d. Interaksi antar obat

E. Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat

Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat
maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku
pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum
ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko
obat, dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan
terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat
bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.

1. Upaya pencegahan

Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal
berikut:

a. Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu
sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri

b. Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi

c. Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus


d. Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut,
dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala
dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk
gangguan pendengaran

e. Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa
tidak perlu lagi

f. Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat,
selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi
pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat

2. Penanganan efek samping

Dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman
sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:

a. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan
kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu
besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara
hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik,
obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi
alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila
sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka
pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.

b. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-
bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk
syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok.
Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian
antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan), dan lain-lain.

Berikut ini adalah contoh dari efek samping obat yang biasanya terjadi:

a. Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan Accutane

b. Pendarahan usus, akibat Aspirin

c. Penyakit kardiovaskular, akibat obat penghambat COX-2

d. Tuli dan gagal ginjal, akibat antibiotik Gentamisin

e. Kematian, akibat Propofol

f. Depresi dan luka pada hati, akibat Interferon

g. Diabetes, yang disebabkan oleh obat-obatan psikiatrik neuroleptic


h. Diare, akibat penggunaan Orlistat

i. Disfungsi ereksi, akibat antidepresan

j. Demam, akibat vaksinasi

k. Glaukoma, akibat tetes mata kortikosteroid

l. Rambut rontok dan anemia, karena kemoterapi melawan kanker atau leukemia

m. Hipertensi, akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat FDA mencabut status ekstrak tanaman
efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen makanan

n. Kerusakan hati akibat Parasetamol

o. Mengantuk dan meningkatnya nafsu makan akibat penggunaan antihistamin

p. Stroke atau serangan jantung akibat penggunaan Sildenafil (Viagra)

q. Bunuh diri akibat penggunaan Fluoxetine, suatu antidepresan

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien
(adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang sebagian besar sudah diketahui.

Efek samping obat dapat dikelompokkan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya
hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi dan
sebagainya.
Adapun faktor-faktor pendorong terjadinya efek samping obat adalah Faktor bukan obat seperti Intrinsik
dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan
kebiasaan hidup. Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya
pencemaran oleh antibiotika. Dan faktor obat seperti Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat
untuk menimbulkan efek samping, pemilihan obat, cara penggunaan obat, dan interaksi antar obat.

Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk selalu harus
ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan,
baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri dan gunakan obat hanya
bila ada indikasi jelas dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi serta hindari pengobatan dengan
berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus. Adapun penanganan efek sampingnya adalah segera
hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping serta upaya penanganan klinik
tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.

B. Saran

Dalam pemakaian obat, hendaknya kita perhatikan kontra indikasi dari obat tersebut, untuk mencegah
efek samping dari obat yang berlebihan. Dan adapun penangan dari efek samping tersebut disesuaikan
dengan efek sampng yang ditimbulkan oleh obat yang telah dikonsumsi atau telah masuk ke dalam
tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Anief M, 2007, Apa yang Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.

Dwi, F.Y. 2010. Efek samping obat. Jakarta: Hilal Ahmar.

Ikawati, Z. 2010. Cerdas mengenali obat. Yogyakarta: Kanisius

Anda mungkin juga menyukai