Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT & REFLEKSI KASUS

RSU ANUTAPURA Februari 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

KATARAK KONGENITAL

Disusun Oleh :
Firyal Amyrah Delicia
N 111 17 037

Pembimbing Klinik :
dr. Santy Kusumawaty, Sp.M, M.Kes

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Firyal Amyrah Delicia, S.Ked


No. Stambuk : N 111 17 037
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Universitas Tadulako
Judul Referat : Katarak Kongenital
Bagian : Ilmu Kesehatan Mata

Bagian Ilmu Kesehatan Mata


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Februari 2019

Pembimbing Dokter Muda

dr. Santy Kusumawaty, Sp.M, M.Kes Firyal Amyrah Delicia, S.Ked

1
BAB I
PENDAHULUAN

Katarak adalah kekeruhan pada lensa sehingga cahaya sulit mencapai


retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina.1 Katarak
kongenital adalah perubahan pada kebeningan struktur lensa mata yang muncul
pada saat kelahiran bayi atau segera setelah bayi lahir. Katarak jenis ini dapat
terjadi bilateral maupun unilateral. Penyebab paling umum adalah mutasi genetik,
biasanya autosomal dominan (AD), penyebab lain termasuk oleh kelainan
kromosom, kelainan metabolik, infeksi intraurin atau gangguan penyakit maternal
selama masa kehamilan.2
Katarak kongenital terjadi pada sekitar 3 pada 10 000 kelahiran hidup.2
Penelitian di Inggris didapatkan hasil bahwa insidensi dari katarak kongenital dan
infantil tertinggi pada tahun pertama kehidupan, yaitu 2,49 per 10.000 anak.
Insidensi katarak bilateral lebih tinggi jika dibandingkan yang unilateral, akan
tetapi tidak dapat dibedakan oleh jenis kelamin dan tempat.3
Katarak kongenital harus segera mendapatkan intervensi. Tanpa intervensi
yang segera, katarak kongenital dapat memicu terjadinya “mata malas” atau
ambliopia. Keadaan ambliopia ini kemudian memicu masalah lain seperti
nistagmus, strabismus, dan ketidakmampuan untuk menyempurnakan gambaran
terhadap objek. Hal ini akan sangat mempengaruhi kemampuan belajar,
kepribadian, dan penampilan, lebih jauh lagi mempengaruhi seluruh kehidupan
anak.4 Mengingat pentingnya pengetahuan tentang katarak kongenital ini maka
hendaknya penulisan referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca
tentang definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis. Sehingga dapat membantu memberi petunjuk dalam
penatalaksanaan katarak kongenital untuk mencegah terjadinya penanganan yang
tidak tepat dan berakibat fatal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LENSA
1. Anatomi lensa
Lensa mata berbentuk bikonveks, avaskuler, transparan, dengan
diameter 9 mm, dan tebal sekitar 5 mm. Lensa terdiri dari kapsul, epitel
lensa, korteks dan nukleus. Anterior lensa berhubungan dengan humor
aqueous, ke posterior berhubungan dengan corpus vitreus. Di posterior iris,
lensa digantung pada prosesus siliaris oleh zonula Zinii (ligamentum
suspensorium lentis), yang melekat pada ekuator lensa, serta
menghubungkannya dengan corpus siliare. Zonula Zinii berasal dari
lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus siliare. Zonula Zinii melekat
pada bagian ekuator kapsul lensa, 1,5 mm pada bagian anterior dan 1,25
pada bagian posterior.5

Gambar 1. Anatomi mata5

Permukaan lensa pada bagian posterior lebih cembung daripada


permukaan anterior. Lensa diliputi oleh kapsula lentis, yang bekerja
sebagai membran semipermeabel, yang dapat dilewati air dan elektrolit
sebagai sumber nutrisi. Di bagian anterior terdapat epitel subkapsuler
sampai ekuator. Epitel subkapsuler ini berperan dalam proses metabolisme

3
dan menjaga sistem normal dari aktivitas sel, termasuk biosintesa dari
DNA, RNA, protein dan lipid.5,6
Substansi lensa terdiri dari nukleus dan korteks, yang terdiri dari
lamel-lamel panjang yang konsentris. Nukleus lensa lebih keras daripada
korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar
subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih
besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae
konsentris yang panjang. Tiap serat mengandung inti yang pipih dan
terdapat di bagian pinggir lensa dekat ekuator, yang berhubungan dengan
epitel subkapsuler. Serat-serat ini saling berhubungan di bagian anterior.
Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamellae
ini ujung-ke-ujung berbentuk {Y} bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk
{Y} ini tegak di anterior dan terbalik di posterior (huruf Y yang terbalik).5

Gambar 2. Struktur lensa7

Gambar 3. Sutura Y7

4
Sebanyak 65% bagian dari lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein
(kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit
sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Protein lensa
terdiri dari water soluble dan water insoluble. Water soluble merupakan
protein intraseluler yang terdiri dari alfa (α), beta (β) dan delta (δ) kristalin,
sedang yang termasuk dalam water insoluble adalah urea soluble.
Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan
lain. Pada lensa tidak terdapat serat nyeri, pembuluh darah atau saraf.5

Gambar 4. Biokimia lensa7

2. Embriologi lensa
Mata berasal dari tonjolan otak (optic vesicle). Lensanya berasal
dari ektoderm permukaan pada tempat lensplate, yang kemudian
mengalami invaginasi dan melepaskan diri dari ektoderm permukaan
membentuk vesikel lensa dan bebas terletak di dalam batas-batas dari optic
cup. Segera setelah vesikel lensa terlepas dari permukaan ektoderm, maka
sel-sel bagian posterior memanjang dan menutupi bagian yang kosong.
Pada stadium ini, kapsul hialin dikeluarkan oleh sel-sel lensa. Serat-serat
sekunder memanjangkan diri, dari daerah ekuator dan tumbuh ke depan di
bawah epitel subkapsuler, yang hanya selapis dan ke belakang di bawah
kapsula lentis. Serat-serat ini saling bertemu dan membentuk sutura lentis,
yang berbentuk huruf Y yang tegak di anterior dan Y yang terbalik di
posterior. Pembentukan lensa selesai pada usia 7 bulan penghidupan fetal.

5
Inilah yang membentuk substansi lensa, yang terdiri dari korteks dan
nukleus. Pertumbuhan dan proliferasi dari serat-serat sekunder
berlangsung terus selama hidup tetapi lebih lambat, karenanya lensa
menjadi bertambah besar lambat-lambat. Kemudian terjadi kompresi dari
serat-serat tersebut dengan disusul oleh proses sklerosis.6

Gambar 5. Nukleus dan korteks lensa7

3. Fisiologi lensa
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina.
Supaya hal ini dapat dicapai, maka daya refraksinya harus diubah-ubah
sesuai dengan sinar yang datang sejajar atau divergen. Perubahan daya
refraksi lensa disebut akomodasi. Hal ini dapat dicapai dengan mengubah
lengkungnya lensa terutama kurvatura anterior.6
Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot
siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter
anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, dalam posisi ini
daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya pararel akan
terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot
siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa
yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi
oleh daya biasnya. Kerjasama fisiologik antara korpus siliaris, zonula dan
lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai
akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa
perlahan-lahan akan berkurang.5

6
Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu yaitu kenyal atau
lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media
penglihatan, dan terletak di tempatnya.8 Pada fetus, bentuk lensa hampir
sferis dan lemah. Pada orang dewasa lensanya lebih padat dan bagian
posterior lebih konveks. Proses sklerosis bagian sentral lensa, dimulai pada
masa kanak-kanak dan terus berlangsung secara perlahan-lahan sampai
dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat dimana nukleus menjadi
lebih besar dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa menjadi
lebih besar, lebih gepeng, warna kekuning-kuningan, kurang jernih dan
tampak sebagai grey reflex atau senile reflex, yang sering disangka sebagai
katarak. Karena proses sklerosis ini, lensa menjadi kurang elastis dan daya
akomodasinya pun berkurang. Keadaan ini disebut presbiopia, pada orang
Indonesia dimulai pada umur 40 tahun.5

4. Perkembangan Visus Pada Anak


Secara sistematis, perkembangan visus pada anak dapat dibagi
berdasarkan umur.6,7
1. Bayi Baru Lahir.
BBL sudah dapat melihat,tapi untuk penglihatan jarak kurang dari
8 inci (20cm) atau lebih jauh dari 18 inci (45 cm) penglihatan akan
kabur dan tidak fokus. Pada tahap ini bayi lebih mudah melihat wajah
manusia dan objek yang terang seperti polahitam putih dan warna –
warna yang cerah. BBL tidak dapat melihat secara detail.
Diperkirakan bahwa visus pada 75% BBL mencapai 20/300.
Koordinasi mata pada BBL masih lemah dan belum bisamemfiksasi
sebuah objek pada kedua mata. BBL kurang dapat melihat pada
malamhari, ini disebabkan karena lensa lebih cembung dibanding
lensa dewasa, selain ituBBL belum memiliki cukup pigmen dalam
fotoreseptor.

7
2. 3 – 8 minggu.
Pada tahap ini penglihatan mulai memperhatikanobjek yang
bergerak terutamayang berwarna cerah. Penglihatan binokuler mulai
berkembang dan juga koordinasikedua mata mulai meningkat.
3. 2 – 3 Bulan
Mulai mengenal detail seperti pengenalan wajah dan mata.
4. 3 – 4 Bulan
Pada tahap ini mata mulai dapat melakukan akomodasi karena
lensa mulai mendatardan otot siliaris mulai menguat. Penglihatan
binokuler menjadi lebih baik, dan telahdapat memfiksasi objek dengan
kedua mata secara bersamaan. Selain itu bayi jugatelah dapat
menggabungkan informasi visual dengan indera lainnya seperti suara
dansentuhan.Mereka mulai menggengam benda yang mereka lihat dan
melihat ke arahsuara yang mereka dengar. Pada tahap ini makula telah
mulai matur.
5. 5 – 7 Bulan
Di usia ini koordinasi mata dan tangan mulai berkembang.
Biasanya bayi telahmampu untuk mempertahankan fiksasi mata pada
benda yang diam untuk beberapadetik. Visus pada usia 6 bulan telah
mencapai 50/200 dan terus berkembang seiringdengan perkembangan
makula di retina. Pada tahap ini penglihatan malam mulai sensitif
sudah seperti penglihatan pada orang dewasa.
6. 8 – 9 Bulan
Usia 8 bulan makula telah matang dan penglihatan mulai jernih.
Bayi juga mulai menggunakan jari untuk menunjuk benda yang ada di
lapangan penglihatan mereka.
7. 1 tahun
Pada usia 1 tahun visus telah mencapai 20/100. Fusi pada kedua
mata juga telah berkembang baik, tapi reflek tersebut masih mudah
diganggu. Pada usia ini bayi sudah dapat membedakan bentuk seperti
kotak, bulat, dll.

8
8. 2 tahun
Visus balita usia 2 tahun telah mencapai visus 20/40. Balita usia ini
sangat tetarik dengan benda – benda kecil.
9. 3 tahun
Visus balita 3 tahun rata – rata 20/300. Kedua mata
telah mampu mengkonvergensikan lensa ketika melihat dekat.
10. 4 tahun
Visus telah mampu mencapai 20/20. Pada usia ini, balita telah siap
untuk membaca.
11. 5 tahun
Pada usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang
sempurna.
12. 6 tahun
Pada usia ini penglihatan sentral telah sempurna. Visus normalnya
20/20. Anak ini dapat memperhatikan banyak aktivitas di sekitarnya
selama ± 20 menit.
13. 8 tahun
Pada usia ini ukuran bola mata telah mencapai ukuran dewasa.

B. KATARAK KONGENITAL
1. Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract
dan Latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia
disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa
yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang
dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein
lensa atau terjadi akbiat keduanya. Katarak kongenital adalah katarak yang
mulai terjadi sebelum atau segera setelah kelahiran dan bayi yang berusia
kurang dari satu tahun.9 Sebuah katarak disebut kongenital bila ada saat
lahir, atau dikenal juga sebagai “infantile cataract” jika berkembang pada
usia 6 bulan setelah lahir.10

9
2. Epidemiologi
a. Frekuensi
Di Indonesia belum data mengenai insiden katarak kongenital,
namun di Amerika Serikat insiden katarak kongenital adalah 1,2-6
kasus per 10.000 kelahiran. Insiden katarak secara internasional
belum diketahui. Meskipun WHO dan organisasi kesehatan yang
lain membuat resolusi yang luar biasa dalam vaksinasi dan
pencegahan penyakit, angka rata-rata katarak kongenital mungkin
lebih tinggi di bawah negara berkembang.5,12
b. Mortalitas/Morbiditas12
Mordibitas penglihatan mungkin berasal dari ambliopia deprivasi,
ambliopia refaksi, glaukoma (sebanyak 10% setelah operasi
pengangkatan), dan retinal detachment. Penyakit metabolik dan
sistemik ditemukan sebanyak 60% pada katarak bilateral. Katarak
kongenital umumnya menyertai pada retardasi mental, tuli,
penyakit ginjal, penyakit jantung dan gejala sistemik.
c. Umur10
Katarak kongenital biasanya didiagnosa pada bayi yang baru lahir.

3. Etiologi
Katarak terbentuk saat protein di dalam lensa menggumpal
bersama-sama membentuk sebuah clouding atau bentuk yang menyerupai
permukaan. Ada banyak alasan yang menyebabkan katarak kongenital,
yaitu antara lain:5,11
1) Herediter (isolated – tanpa dihubungkan dengan kelainan mata atau
sistemik) seperti autosomal dominant inheritance.
2) Herediter yang dihubungkan dengan kelainan sistemik dan sindrom
multisistem.
 Kromosom seperti Down’s syndrome (trisomy 21), Turner’s
syndrome.
 Penyakit otot skelet atau kelainan otot seperti Stickler syndrome,
Myotonicdystrophy.

10
 Kelainan sistem saraf pusat seperti Norrie’s disease.
 Kelainan ginjal seperti Lowe’s syndrome, Alport’s syndrome.
 Kelainan mandibulo-fasial seperti Nance-Horan cataract-dental
syndrome.
 Kelainan kulit seperti Congenital icthyosis, incontinentia pigmenti.
3) Infeksi seperti toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, herpes simplex,
sifilis, poliomielitis, influenza, Epstein-Barr virus saat hamil.
4) Obat-obatan prenatal (intra-uterine) seperti kortikosteroid dan vitamin
A
5) Radiasi ion prenatal (intra-uterine) seperti X-rays
6) Kelainan metabolik seperti diabetes pada kehamilan dan galaktosemia.
7) Tapi penyebab terbanyak pada kasus katarak adalah idiopatik, yaitu
tidak diketahui penyebabnya.

4. Klasifikasi2
Klasifikasi katarak kongenital berdasarkan morfologi penting,
karena dapat menunjukkan etiologi kemungkinan, diwariskan dan efek
pada penglihatan. Adapun klasifikasi berdasarkan morfologi adalah
sebagai berikut:
a. Katarak nuclear adalah katarak yang terbatas pada nukleus lensa
embrio atau janin. Katarak bisa padat atau halus dengan kekeruhan
berbentuk serbuk/seperti debu (Gambar 6A). Berhubungan dengan
mikrophthalmos.
b. Katarak lamellar, mempengaruhi lamella tertentu dari lensa baik
anterior dan posterior (Gambar 6B) dan dalam beberapa kasus
dikaitkan dengan ekstensi radial (Gambar 6C). Katarak lamellar
mungkin AD, terjadi pada bayi dengan gangguan metabolik dan
infeksi intrauterin.
c. Katarak koroner (supranuclear), katarak terletak di korteks dalam dan
mengelilingi inti seperti mahkota (Gambar 6D). Biasanya sporadis dan
hanya sesekali yang bersifat herediter.

11
d. Katarak blue dot (cataracta punctata caerulea - Gambar 6E) yang
umum dan tidak berbahaya, dan dapat bersamaan dengan katarak jenis
lain.
e. Katarak sutura, di mana kekeruhan mengikuti sutura Y anterior atau
posterior. (Gambar 6F).
f. Katarak polaris anterior (Gambar 7A), bisa flat atau kerucut ke ruang
anterior (katarak piramidal - Gambar 7B). Katarak piramidal sering
dikelilingi oleh daerah katarak kortikal dan dapat mempengaruhi
penglihatan. Berhubungan dengan katarak polaris anterior termasuk
membran pupil persisten (Gambar 7C), aniridia, anomali Peters dan
lenticonus anterior.
g. Katarak polaris posterior (Gambar 7D) kadang-kadang berhubungan
dengan sisa-sisa hyaloid persisten (Mittendorf dot), lenticonus
posterior dan vitreous primer hiperplastik persisten.
h. Katarak central oil droplet (Gambar 7E), khas pada galaktosemia.
i. Katarak membranosa, jarang dan mungkin terkait dengan Hallermann-
Streiff-François sindrom. Terjadi ketika bahan lentikular sebagian atau
seluruhnya menyerap kembali meninggalkan sisa kapur putih-materi
lensa yang terjepit di antara kapsul anterior dan posterior (Gambar
7F).

Gambar 6. Morfologi katarak kongenital2

12
Gambar 7. Morfologi katarak kongenital2

5. Diagnosis
Gejala klinis pada katarak kongenital adalah silau, bercak putih
pada pupil disebut leukokoria, penglihatan berkurang, cahaya tidak dapat
melalui lensa, karena tidak lagi transparan. Pada anak yang lebih tua mata
bisa berubah. Ini disebut strabismus, atau dikenal dengan juling. Terjadi
karena mata tidak bisa fokus dengan baik.12 Pemeriksaan mata secara
menyeluruh dapat menegakkan diagnosis dini katarak kongenital. Lensa
yang keruh dapat terlihat tanpa bantuan alat khusus dan tampak sebagai
warna keputihan pada pupil yang seharusnya berwarna hitam. Bayi gagal
menunjukkan kesadaran visual terhadap lingkungan di sekitarnya dan
kadang terdapat nistagmus.
Pemeriksaan dengan slit lamp pada kedua bola mata tidak hanya
melihat adanya katarak tetapi juga dapat mengidentifikasi waktu terjadinya
saat di dalam rahim dan jika melibatkan sistemik dan metabolik.
Pemeriksaan dilatasi fundus direkomendasikan untuk pemeriksaan kasus
katarak unilateral dan bilateral. Bila fundus okuli tidak dapat dilihat

13
dengan pemeriksaan oftalmoskopi indirek, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi.3
Pada katarak kongenital, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
seperti hitung jenis darah, titer TORCH, tes reduksi urin, red cell
galactokinase, pemeriksaan urin asam amino, kalsium dan fosfor.
Pemeriksaan darah dan rontgen perlu dilakukan untuk mencari
kemungkinan penyebab.10

6. Penatalaksanaan2
Pertimbangan waktu sangat penting dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Katarak total bilateral memerlukan operasi awal ketika usia anak 4-6
minggu untuk mencegah penurunan perkembangan stimulus
ambliopia. Jika kelainan asimetris yang sudah berat, mata dengan
katarak harus ditangani terlebih dahulu.
2. Katarak parsial bilateral mungkin tidak memerlukan pembedahan.
Dalam kasus yang meragukan, mungkin lebih bijaksana untuk
menunda operasi, kekeruhan lensa dan fungsi visual dimonitor dan
dilakukan intervensi nanti jika penglihatan memburuk.
3. Katarak total unilateral harus dioperasi segera (mungkin dalam
hitungan hari) diikuti oleh terapi anti-amblyopia agresif, meskipun
yang hasilnya sering minimal. Waktu intervensi harus seimbang
dengan saran bahwa intervensi dini (<4 minggu) dapat menyebabkan
peningkatan risiko glaukoma sekunder berikutnya. Jika katarak
terdeteksi setelah usia 16 minggu maka prognosis penglihatan sangat
minimal.
4. Katarak parsial unilateral biasanya dapat diamati atau diperlakukan
secara non-pembedahan dengan dilatasi pupil dan mungkin oklusi
kontralateral untuk mencegah ambliopia.
5. Pembedahan yang melibatkan capsulorhexis anterior, aspirasi materi
lensa, capsulorhexis dari kapsul posterior, terbatas pada anterior
vitrektomi dan implantasi IOL, jika sesuai. Hal ini penting untuk
memperbaiki kesalahan bias terkait.

14
a. Rehabilitasi optikal setelah operasi
Pemilihan optical device untuk koreksi aphakia tergantung
pada beberapa faktor. Kacamata merupakan metode yang paling
aman, mudah diatur sesuai pertumbuhan tetapi tidak ideal pada kasus
aphakia monokular.
1. Lensa kontak merupakan metode yang paling popular pada kasus
aphakia monokular tetapi mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami infeksi mata dan ulkus kornea. Meskipun kesulitan
teknis melakukan operasi katarak pada bayi dan anak-anak
sebagian besar telah diselesaikan, hasil visual yang terhambat
oleh amblyopia. Sehubungan dengan koreksi optik untuk anak
aphakia, dua pertimbangan utama adalah usia dan laterality dari
aphakia. Kacamata berguna untuk anak-anak dengan aphakia
bilateral.
2. Lensa kontak memberikan solusi optik superior untuk aphakia
baik unilateral dan bilateral. Toleransi biasanya wajar sampai usia
sekitar 2 tahun, meskipun setelah ini masalah periode dengan
kepatuhan dapat berkembang sebagai anak menjadi lebih aktif
dan mandiri.
3. IOL implantasi semakin banyak dilakukan pada anak-anak muda
dan tampaknya efektif dan aman dalam kasus-kasus dipilih.
Kesadaran laju pergeseran rabun yang terjadi di mata
berkembang, dikombinasikan dengan biometri akurat,
memungkinkan perhitungan kekuatan IOL ditargetkan pada awal
hypermetropia (diperbaiki dengan kacamata) yang idealnya akan
membusuk menuju emmetropia di kemudian hari. Namun,
refraksi akhir adalah variabel dan emetropia di masa dewasa tidak
dapat dijamin.
4. Oklusi untuk mengobati atau mencegah ambliopia sangat penting.
Atropin juga dapat dipertimbangkan.

15
b. Perawatan pasca operasi
 Terapi medis
Jika seluruh korteks dapat diangkat maka inflamasi setelah
operasi tanpa IOL, biasanya ringan sehingga dapat diberikan
antibiotik topikal dan steroid topikal sekitar 2 minggu. Pada kasus
aphakia, pemberian midriasis dilanjutkan beberapa minggu
menggunakan atropin atau agen lainnya. Steroid topikal diberikan
lebih agresif pada pemasangan IOL dan steroid oral diberikan bila
heavy pigmented irides.
 Manajemen ambliopia
Terapi ambliopia penting dilakukan secepat mungkin
setelah operasi. Pada pasien aphakia, kacamata atau lensa kontak
diberikan 1 minggu setelah operasi. Patching diindikasikan pada
kasus katarak unilateral atau katarak bilateral dimana ditutup mata
yang lebih baik. Part time occlusion pada neonatus untuk
merangsang penglihatan binokular dan menghambat strabismus.
Regimen yang popular : jumlah jam mata ditutup sesuai dengan
usia anak dalam bulan. Misalnya mata ditutup 1 jam pada usia 1
bulan setiap hari. Maksimal 8 jam pada usia 8 bulan.

7. Komplikasi
Tanpa intervensi yang segera, katarak kongenital dapat memicu
terjadinya “mata malas” atau ambliopia. Keadaan ambliopia ini kemudian
memicu masalah lain seperti nistagmus, strabismus, dan ketidakmampuan
untuk menyempurnakan gambaran terhadap objek. Hal ini akan sangat
mempengaruhi kemampuan belajar, kepribadian, dan penampilan, lebih
jauh lagi mempengaruhi seluruh kehidupan anak.4 Ambliopia yang terjadi
dapat berupa ambliopia sensoris (ambliopia ex anopsia) akibat makula
lutea yang tidak cukup mendapat rangsangan dan ambliopia eksanopia
akibat kerusakan permanen pada saraf penglihatan.14 Operasi katarak pada
anak-anak memiliki komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan pada orang
dewasa. Komplikasi pasca operasi adalah sebagai berikut:2

16
1. Kekeruhan capsular posterior hampir menyeluruh jika kapsul posterior
masih dipertahankan pada anak di bawah usia 6 tahun. Hal ini juga
lebih penting pada anak-anak karena efek ambliogeniknya. Insiden
kekeruhan berkurang saat capsulorhexis posterior dikombinasikan
dengan vitrektomi.
2. Membran sekunder dapat terbentuk di seluruh pupil, terutama di
microphthalmic mata atau dengan uveitis kronis. Pada uveitis pasca
operasi fibrinosa di mata dinyatakan normal, kecuali jika diobati
dengan agresif, juga dapat mengakibatkan pembentukan membran.
3. Proliferasi epitel lensa bersifat universal tetapi biasanya penglihatan
tidak konsekuen, karena tidak melibatkan sumbu visual. Dan dapat
berupa sisa-sisa kapsul anterior dan posterior dan disebut sebagai
cincin Soemmerring.
4. Glaukoma akhirnya berkembang pada sekitar 20% dari mata.
 Closed-angle glaucoma dapat terjadi pada periode pasca operasi
segera di mata microphthalmic sekunder karena terdapat
penyumbatan pupil.
 Secondary open-angle galucoma dapat berkembang bertahun-
tahun setelah operasi awal, karena itu penting untuk memantau
tekanan intraokular jangka panjang.
5. Ablasio retina merupakan komplikasi yang jarang terjadi dan biasanya
terlambat.

8. Prognosis
Prognosis visus tergantung dari age of onset, jenis katarak
(unilateral/bilateral, total/parsial), ada tidaknya kelainan mata yang
menyertai katarak, tindakan operasi (waktu, teknik, komplikasi) dan
rehabilitasi visus pasca operasi.2 Dengan menggunakan teknik-teknik
bedah canggih saat ini, penyulit intra-operasi dan pasca-operasi serupa
dengan yang terjadi pada tindakan untuk katarak dewasa. Dengan
pengalaman, ahli bedah katarak anak-anak dapat mengharapkan hasil
teknik yang baik pada lebih dari 90 % kasus. Koreksi optik sangat penting

17
bagi bayi dan memerlukan usaha besar oleh ahli bedah dan orang tua
pasien. Koreksi tersebut dapat berupa kacamata untuk anak-anak harus
diikuti dengan koreksi lensa kontak. Epikeratofakia tampaknya memberi
harapan untuk mengkoreksi afakia pada pasien pediatrik yang tidak dapat
mentoleransi lensa kontak.15
Prognosis penglihatan untuk pasien katarak anak-anak yang
memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien senilis.
Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina
membatasi tingkat pencapaian penglihatan pada kelompok pasien ini.
Prognosis untuk perbaikan ketajaman penglihatan setelah operasi paling
buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak
kongenital bilateral inkomplit yang progresif lambat.14
Hasil pembedahan katarak kongenital biasanya kurang memuaskan,
karena banyak penyulit pembedahan atau adanya kelainan-kelainan
kongenital lainnya di mata yang menyertainya.6 Pada monokular katarak
yang dibedah dini disertai dengan pemberian lensa kontak segera akan
menghindari gangguan perkembangan penglihatan, maka sebaiknya
katarak kongenital dilakukan pembedahan sebelum bayi berusia 4 bulan.
Pada bayi pemakaian lensa kontak masih merupakan masalah.
Pembedahan katarak kongenital sesudah berusia 4 bulan biasanya tidak
efektif lagi.13 Beberapa ahli mengatakan waktu yang optimum untuk
pembedahan katarak adalah antara enam minggu hingga tiga bulan sejak
kelahiran bayi.15

18
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : An. Ananda No. Reg : 321679


Agama : Islam Umur : 3 tahun 5 bulan
Suka / Bangsa : Kaili/ Indonesia Laki/Perempuan : Perempuan
Tanggal
Pekerjaan :- : 30 Januari 2019
Pemeriksaan
Alamat : Ds. Pandere Pemeriksa : Firyal Amyrah Delicia
DIAGNOSIS : Ambliopia
I. ANAMNESIS
Penglihatan kabur pada kedua mata
Pasien anak perempuan berusia 3 tahun 5 bulan
A. Keluhan Utama
datang diantar oleh neneknya ke RS dengan keluhan
penglihatan kabur pada kedua mata yang dialami kurang
lebih 1 tahun yang lalu, keluhan dirasakan perlahan –
lahan dan semakin memburuk hingga pasien susah
untuk berjalan atau melihat benda disekitarnya. Keluhan
lain, pasien mengeluhkan mata silau apabila melihat
cahaya.
Dari heteroanamnesis, pasien tersebut dilahirkan
dengan cara sectio caesarea, kurang bulan, dan namun
tidak ada penyulit saat dilahirkan. Riwayat infeksi pada
ibu disangkal. Ibu pasien memeriksakan kehamilannya
setiap bulan di puskesmas. Riwayat infeksi pada saat
lahir hingga umur 2 disangkal. Riwayat operasi katarak
pada mata kiri dilakukan 2 bulan yang lalu.

B. Penglihatan : Menurun

C. Sakit : Nyeri (-) pada kedua mata

D. Sekret / Air Mata : Hiperlaksimasi (-) pada kedua mata

19
E. Kacamata
:-

F. Peny. Mata/Peny.Lain : Tidak ada


G. Peny. Mata dalam Keluarga : Tidak ada
II. PEMERIKSAAN
A. INPEKSI OD OS
1 Palpebra Edema (-) Edema (-)
2 Apparatus Lakrimalis Hiperlakrimasi (-) Hiperlakrimasi (-)
3 Silia Trichiasis (-), sekret (-) Trichiasis (-),sekret (-)
4 Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-),
5 Bola Mata Normal Normal

6 Mekanisme Muscular

7 Kornea
- Tes Sensitivitas Refleks Kornea (+) Refleks Kornea (+)
- Tes Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
8 Bilik mata depan Dalam, hipopion (-), Dalam, hipopion (-),
hifema (-) hifema (-)
Warna cokelat, bentuk Warna cokelat, bentuk
9 Iris
normal normal
10 Pupil Bulat isokor, RCL (+) Bulat isokor RCL (+)
11 Lensa Keruh Jernih

B PALPASI OD OS
1 Tensi Okular Normal Normal
2 Nyeri Tekan Nyeri (-) Nyeri (-)
3 Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
4 Glandula Pre-Aurikuler Normal, pembesaran (-) Normal, pembesaran (-)

C TONOMETRI Tidak dilakukan


Tidak dilakukan

20
D. VISUS
VOD : Sulit dinilai VOS : 3/60

Kor : - Kor : - -
sAX - sAX
Menjadi : - Menjadi : -
Lihat Dekat : - Lihat Dekat : -
-
Koreksi : - menjadi Gagang : -

DP : - Warna Lensa : -

E. CAMPUS VISUAL

Tidak dilakukan pemeriksaan

F. COLOR SENSE

Tidak dilakukan pemeriksaan

G. LIGHT SENSE

Tidak dilakukan pemeriksaan

PENYINARAN OPTIK DEKSTER SINISTER


KONJUNGTIVA Hiperemis (-) Hiperemis (-)
KORNEA Tampak jernih Tampak jernih

21
BMD Normal Normal
IRIS Cokelat, krypte (+) Cokelat, krypte (+)
PUPIL Bulat isokor, RCL (+) Bulat isokor RCL (+)

J. OFTALMOSKOPI

Tidak dilakukan

K. SLIT LAMP : Tidak dilakukan

III. RESUME
Anamnesis :
Pasien anak perempuan umur 3 tahun 5 bulan datang ke RS dengan keluhan kedua penglihatan
kabur, dialami kurang lebih 1 tahun yang lalu disertai dengan fotofobia (+/+). Riwayat infeksi
maternal-fetal disangkal.Riwayat dilahirkan dengan sectio caesarea. Riwayat operasi katarak
OS 2 bulan yang lalu.
Pemeriksaan (ODS) :
- Visus : VOD: sulit di evaluasi VOS: 3/60
- Lensa : tampak keruh pada OD
IV. DIAGNOSIS / DIAGNOSIS BANDING

OD KATARAK KONGENITAL

V. TERAPI

Operatif : SICS dengan implantasi IOL

Medikamentosa
Instruksi Post OP
C LFX ED 6x1gtt OD
C P Pred ED 6 x 1gtt OD
C Glaucon 250 mg 2 x ¼ tab
Inj. Ceftriaxone 250mg/12j/IV
Inj. Dexametason 1/3 amp/ 8j/IV
Inj. Ranitidin 1/3 amp/8j/IV
Sanmol syr 3 x 1 sdt

22
BAB IV
PENUTUP

Katarak kongenital didefinisikan sebagai katarak yang mulai terjadi


sebelum atau segera setelah kelahiran dan bayi yang berusia kurang dari satu
tahun. Katarak kongenital disebabkan oleh berbagai hal, seperti herediter,
herediter yang dihubungkan dengan kelainan sistemik dan sindrom multisistem,
infeksi, obat-obatan prenatal, radiasi ion prenatal, kelainan metabolik dan
idiopatik. Berdasarkan morfologi katarak diklasifikasikan atas, katarak nuclear,
lamellar, supranuclear, blue dot, sutura, polaris anterior, polaris posterior, central
oil droplet dan membranosa.
Gejala-gejala pada katarak kongenital dapat berupa silau, leukokoria,
penglihatan berkurang dan strabismus. Intervensi katarak kongenital meliputi
bedah dan non bedah., tergantung pada jenis katarak. Komplikasi berupa
ambliopia, nistagmus, strabismus. Prognosis visus tergantung dari age of onset,
jenis katarak, ada tidaknya kelainan mata yang menyertai katarak, tindakan
operasi (waktu, teknik, komplikasi) dan rehabilitasi visus pasca operasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Jakarta Eye Center. Katarak. Diakses melaluii: http://www.infomedika.com.


Pada 1 Februari 2019.
2. Kanski JJ Bowling B. Congenital Cataract in Clinical Ophthalmology A
Systematic Approach. Congenital Cataract. Seventh Edition. UK : Elsevier.
2011. Pp 303.
3. Jugnoo S. R., Carol D. and for the British Congenital Cataract Interest Group.
Measuring and Interpreting the Incidence of Congenital Ocular Anomalies:
Lessons from a National Study of Congenital Cataract in the UK
(Investigative Ophthalmology and Visual Science. 2001;42:1444-1448.
Diakses melalui http://www.iovs.org/misc/terms.shtml. Pada 1 Februari 2019.
4. PERDAMI. Katarak kongenital. Diakses melalui:
http://www.perdami.or.id/?page=content.view&alias=custom_88 . Pada 1
Februari 2019
5. Vaughan DG, Asbury T, Riorda P. Oftalmologi Umum. Katarak. Edisi 14.
Idya Medika Jakarta : 2000. Pp 175-184.
6. Wijana NSD. Ilmu Penyakit Mata. Katarak Kongenital. Cetakan ke-11. Abadi
Tegal. Jakarta : 2013. Pp 190-196.
7. Aminah, Hamzah. Anatomi Dan Fisiologi Lensa. Diakses melalui:
http://perdamisulsel.org/dokumen/Sari%20Pustaka%20-
%20Anatomi%20Lensa,%20Aminah,%20Hamzah.pdf. Pada 1 Februari 2019.
8. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Katarak Kongenital. Edisi keenam. FKUI.
Jakarta : 2015. Pp 201-204.
9. RNIB. 2012. Congenital cataract. Diakses melalui:
from:http://www.rnib.org.uk/eyehealth/eyeconditions/conditionsac/Pages/con
genital_cataracts.aspx. Pada 1 Februari 2019.
10. Boshour M, et al. 2012. Congenital cataract. Diakses melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/1210837-followup#showall . Pada 1
Februari 2019.
11. Fecoretta C, et al. 2012. Congenital cataract. Diakses melalui
:http://www.merckmanuals.com/professional/pediatrics/eye_defects_and_con
ditions_in_children/congenital_cataract.html. Pada 1 Februari 2019.
12. Kids Health SCHN. Fact Sheet Congenital Cataracts . Diakses melalui:
http://kidshealth.schn.health.nsw.gov.au/sites/kidshealth.chw.edu.au/files/fact-
sheets/pdf/congenital-cataracts.pdf. Pada 1 Februari 2019.
13. Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, Sp.M; Ilmu Penyakit Mata. Katarak Kongenital.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2015. Pp 124-126
14. Kanski JJ Bowling B. Congenital Cataract in Clinical Ophthalmology A
Systematic Approach Seventh Edition. UK : Elsevier. 2016. Pp303-306
15. Carol D. Measuring and Interpreting the Incidence of Congenital Ocular
Anomalies: Lessons from a National Study of Congenital Cataract in the UK.
British Congenital Cataract Interest Group. Vol.42: Pp1444-1448. London;
2011; Diakses mealui: http://www.iovs.org/misc/terms.shtml Pada 1 Februari
2019.

24

Anda mungkin juga menyukai