Anda di halaman 1dari 34

KASUS

Ahmad, anak usia 16 bulan dirujuk ke Puskesmas oleh karena berat badan yang
selalu di bawah garis merah sejak 4 bulan sebelumnya. Berat badan 8,2 kg dengan
panjang badan 85 cm. Pasien sudah mendapatkan penanganan gizi melalui
program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Posyandu, akan tetapi tidak
ada perbaikan. Ahmad juga mengalami BAB cair sejak 18 hari yang lalu, tidak
disertai lendir atau darah. Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital nadi 122
kali/menit, kuat, frekuensi napas 30 kali/menit, suhu 37,9. Pada penilaian minum
dan cubitan perut ditunjukkan oleh video. Pada kaki didapatkan bengkak.
a. Lakukan penilaian dan klasifikasi menurut MTBS untuk kasus di atas!
b. Lakukan pengobatan dan tindak lanjutnya!

PENILAIAN DAN KLASIFIKASI MENURUT MTBS


Pada anak usia 16 bulan, tenaga kesehatan memeriksa kemungkinan
adanya tanda bahaya umum, keluhan utama (batuk/sukar bernafas, diare, demam
dan masalah telinga), status gizi, anemia, dan riwayat imunisasi.

Pasien dalam video memiliki tanda bahaya, yaitu mengalami penurunan


kesadaran (letargi). Keluhan orang tua pasien adalah berat badan anaknya yang
selalu di bawah garis merah sejak 4 bulan sebelumnya dan anak mengalami diare.
Berat badan anak tetap di bawah garis merah meskipun sudah mendapatkan
penanganan gizi melalui PMT (Pemberian Makanan Tambahan) di Posyandu
tetapi tidak ada perbaikan. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas bawah (kaki) juga
didapatkan edema serta pada bokong didapatkan adanya baggy pants.

1
Dari hasil pemeriksaan tersebut, status gizi anak dapat diklasifikasikan
sebagai sangat kurus dan/atau edema. Kemudian pada pemeriksaan fisik
didapatkan informasi bahwa suhu badan anak 37,9oC (demam), frekuensi nadi 122
kali/menit dan kuat, serta frekuensi napas 30 kali/menit.

2
Dari hasil pemeriksaan tersebut, demam pada anak diklasifikasikan
sebagai penyakit berat dengan demam. Ahmad mengalami diare cair serta tidak
disertai lendir dan darah dalam tinjanya selama 18 hari. Pada video, anak tampak
letargi, mata cekung, dan tidak ditampilkan apakah cubitan perut kembali normal
atau tidak.

Dari hasil pemeriksaan tersebut, anak dapat diklasifikasikan dalam diare


dehidrasi berat dan diare persisten berat. Pada skenario kasus dan video tidak
disebutkan mengenai kondisi anemia, riwayat imunisasi, serta pemberian vitamin
A, sehingga dianggap tidak mengalami anemia, riwayat imunisasi lengkap, telah
diberi vitamin A, serta tidak disertai keluhan lain.

3
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus diatas dapat diklasifikasikan dalam penyakit berat
dengan demam, diare persisten dengan dehidrasi berat, dan sangat kurus dan/atau
edema. Pada kasus penyakit berat dengan demam, pasien perlu diberi dosis
pertama antibiotik yang sesuai, mencegah agar gula darah tidak turun, diberi dosis
pertama parasetamol bila demam tinggi (≥ 38,5oC), kemudian dirujuk segera.
Pada kasus ini, pemberian parasetamol tidak perlu dilakukan karena suhu tubuh
tidak melampaui 38,5oC. Pada pemberian dosis pertama antibiotik yang sesuai,
tenaga kesehatan perlu memberi penjelasan kepada orang tua mengapa obat
tersebut diberikan, kemudian menentukan dosis yang sesuai dengan berat badan
ataupun umur anak, menggunakan jarum dan alat suntik steril, dan memberikan
obat secara intramuskular. Tenaga kesehatan memberikan dosis pertama Ampisilin
dan Gentamisin intramuskular dan merujuk segera. Jika rujukan tidak
memungkinkan, maka harus mengulangi suntikan Ampisilin intramuskular setiap
12 jam selama 5 hari kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral yang sesuai
untuk melengkapi 10 hari pengobatan. Dosis Ampisilin untuk anak adalah 50
mg/kgBB yang ditambahkan dengan 4 mL aquadest dalam 1 vial 1000 mg
sehingga menjadi 1000 mg/5 mL atau 200 mg/mL. Dosis Gentamisin untuk anak
adalah 7,5 mg/kgBB.

Tabel 1. Dosis antibiotik pada penyakit berat dengan demam (Kemenkes, 2011)
Umur atau Berat
Ampisilin Gentamisin
Badan
2 bulan - < 4 bulan
1,25 ml = 250 mg 1 ml = 40 mg
(4- <6 kg)
4 bulan - <9 bulan
1,75 ml = 350 mg 1,25 ml = 50 mg
(6- <8 kg)
9 bulan - <12 bulan
2,25 ml = 450 mg 1,75 ml = 50 mg
(8- <10 kg)
12 bulan - < 3 tahun
3 ml = 600 mg 2,5 ml = 100 mg
(10- <14 kg)

4
3 tahun - <5 tahun
3,75 ml = 750 mg 3 ml =120 mg
(14-19 kg)

Cara untuk mencegah agar gula tidak turun, tenaga kesehatan perlu
meminta ibu untuk menyusui bayinya jika bayi masih bisa menyusu. Apabila bayi
tidak dapat menyusu tetapi masih bisa menelan, maka diberikan ASI perah atau
susu formula ataupun air gula 30-50 mL sebelum dirujuk. Apabila bayi tidak bisa
menelan, diberikan 50 mL susu formula atau air gula melalui pipa orogastrik
(OGT). Jika tidak terdapat pipa orogastrik maka pasien harus dirujuk segera. Cara
membuat air gula adalah dengan melarutkan 1 sendok teh gula pasir (5 gram)
kedalam gelas yang berisi 50 mL air matang, kemudian diaduk hingga larut.
Apabila pasien mengalami demam >38,5C (dalam kasus ini demam
pasien tidak melampaui 38,5oC), maka pasien harus diberi parasetamol.
Parasetamol diberikan setiap 6 jam sampai demam hilang. Bentuk sediaan obat ini
adalah tablet 500 mg dan 100 mg serta sirup 120 mg/5 mL. Berikut adalah dosis
pemberian parasetamol pada anak usia 2 bulan hingga 5 tahun.

Tabel 2. Dosis pemberian parasetamol (Kemenkes, 2011)


Umur atau Berat Tablet Tablet
Sirup 120mg/5 ml
Badan 500 mg 100 mg
2bulan - <6 bulan
1/8 ½ 2,5 ml (½ sendok takar)
(4 - <7 kg)
6 bulan - <3 tahun
¼ 1 5 ml (1 sendok takar)
(7- <14 kg)
3 tahun - <5tahun
½ 2 7,5 ml (1½ sendok takar)
(14- <19 kg)

Tenaga kesehatan juga harus menangani diare persisten dengan dehidrasi


berat. Jika tidak ada klasifikasi berat lain maka harus diberikan cairan untuk
dehidrasi berat (Rencana Terapi C) dan Tablet Zinc. Rencana Terapi C meliputi:

5
Gambar 1. Renncana Terapi C (WHO, 2009)

6
Pemberian tablet zinc diperlukan untuk setiap anak dengan usia > 2 bulan
yang menderita diare. Dosis tablet zinc untuk anak umur 2-6 bulan adalah ½ tablet
(1 tablet = 20 mg), sedangkan dosis tablet zinc untuk anak umur ≥ 6 bulan adalah
1 tablet (20 mg). Tablet zinc diberikan 1 kali sehari selama 10 hari. Cara
pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet dengan sedikit air atau ASI
dalam sendok teh (larut dalam 30 detik), kemudian segera berikan kepada anak.
Apabila anak muntah sebelum 30 menit setelah pemberian tablet zinc, ulangi
pemberian dengan cara memberikan potongan lebih kecil yang dilarutkan
beberapa kali hingga satu dosis penuh. Tenaga kesehatan juga perlu mengingatkan
ibu untuk memberikan tablet zinc setiap hari selama 10 hari penuh, meskipun
diare sudah berhenti. Apabila anak menderita dehidrasi berat (seperti dalam kasus
ini) dan memerlukan cairan infus, tablet zinc tetap diberikan segera setelah anak
bisa minum atau makan.
Tindakan pra rujukan untuk anak sangat kurus disertai diare adalah dengan
memberikan cairan Resomal atau modifikasinya sebanyak 5 mL/kgBB melalui
oral atau pipa nasogastrik sebelum dirujuk. Cara pembuatan cairan Resomal
adalah dengan mencampurkan oralit 1 sachet (untuk 200 mL), gula pasir 10 gram
(1 sendok makan peres), mineral mix 8 mL (1 sendok makan), dan air matang
hingga volumenya menjadi 400 mL. Cara pembuatan cairan Modifikasi Resomal
adalah dengan mencampurkan oralit 1 sachet (untuk 200 mL), gula pasir 10 gram,
bubuk KCl 0,8 gram (seujung sendok makan), dan air matang hingga volumenya
menjadi 400 mL. Apabila tidak terdapat mineral mix atau KCl maka perlu
mengencerkan 1 sachet oralit menjadi 400 mL dan menambahkan dengan gula
pasir 10 gram (1 sendok makan peres). Jika kondisi anak masih mau minum,
pemberian cairan resomal/modifikasinya selama perjalanan.
Anjuran makan untuk anak sehat maupun sakit pada usia 12-24 bulan
adalah dengan tetap meneruskan pemberian ASI, memberikan makanan keluarga
secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak 3x sehari sebanyak 1/3 porsi
makan orang dewasa yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur, dan buah, serta
memberikan makanan selingan kaya gizi 2x sehari diantara waktu makan
(biskuit/kue). Sedangkan anjuran makan untuk anak dengan diare persisten adalah

7
tetap memberikan ASI lebih sering dan lebih lama. Apabila anak mendapat susu
selain ASI, maka perlu mengurangi pemberian susu tersebut dan meningkatkan
pemberian ASI, menggantikan setengah bagian susu dengan bubur nasi ditambah
tempe, mengingatkan kepada orang tua anak untuk tidak memberikan susu kental
manis, serta untuk makanan lain mengikuti anjuran pemberian makan sesuai
dengan kelompok umur anak.
Tenaga kesehatan perlu menasihati orang tua pasien kapan harus kembali
ke petugas kesehatan sesuai waktu yang paling awal untuk permasalahan anaknya.
Pada kasus ini, anak mengalami diare persisten dengan dehidrasi berat, sangat
kurus dan/atau edema, dan penyakit berat dengan demam. Anak dengan diare
persisten perlu melakukan kunjungan ulang setelah 5 hari dan anak kurus perlu
melakukan kunjungan ulang setelah 14 hari. Tenaga kesehatan juga perlu
menasihati orang tua pasien kapan harus kembali segera bila ditemukan tanda-
tanda sebagai berikut:
Tabel 3. Tanda-tanda anak harus melakukan kunjungan ulang segera (Kemenkes,
2011)

Apabila anak dengan diare persisten melakukan kunjungan ulang setelah 5


hari, maka perlu ditanyakan apakah diare sudah berhenti atau belum. Jika diare
belum berhenti, maka dilakukan penilaian ulang lengkap, memberikan pengobatan
yang sesuai, kemudian dirujuk. Bila diare persisten pada anak terus berkelanjutan,

8
perlu dipikirkan penyebab lain misalnya HIV/AIDS. Apabila sewaktu kunjungan
ulang diare sudah berhenti, maka tenaga kesehatan perlu menasihati ibu untuk
menerapkan anjuran makan untuk anak sehat maupun sakit sesuai dengan
kelompok umur.
Apabila anak kurus melakukan kunjungan ulang setelah 14 hari, maka
perlu diperiksa berat badan nya dan ditentukan letak BB menurut PB atau TB
serta perlu dilakukan penilaian ulang tentang cara pemberian makan. Jika BB/PB
sudah berada > -2 SD, maka pemberian makanan dilanjutkan. Jika BB/PB masih
berada antara –3 SD dan -2 SD, maka nasihati ibu untuk setiap masalah
pemberian makan yang dijumpai dan menganjurkan untuk membawa anak
kembali setiap bulan sampai makannya membaik dan BB/PB > -2 SD. Apabila
tenaga kesehatan tidak yakin ada perbaikan cara pemberian makan atau berat
badan anak terus menurun, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah merujuk.
Pada pasien ini, terdapat klasifikasi berat lain yaitu penyakit berat dengan
demam sehingga tindakan yang harus dilakukan secepatnya adalah merujuk
segera. Apabila anak masih bisa minum, dapat diberi ASI dan larutan oralit selama
perjalanan, serta bila di daerah tempat tinggal pasien terdapat penyakit kolera,
maka perlu diberi antibiotik untuk kolera.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Malnutrisi
Malnutrisi merupakan latarbelakang lebih dari 50% kematian balita
sekaligus masalah kesehatan utama di negara-negara berkembang (Susanto et
al., 2014). Menurut WHO (2009), malnutrisi merupakan suatu kondisi yang
diakibatkan dari inadekuat intake protein dan energi dalam jangka panjang
yang dapat menjadi kehilangan jaringan tubuh dan meningkatkan resiko
infeksi. Hal ini dapat terjadi karena nutrisi yang tidak adekuat, pemanfaatan
yang tidak benar, kurangnya kesehatan, perhatian dan pengetahuan orang tua,
infeksi. Penyapihan yang tidak tepat atau tidak adekuat (Short et al., 2010).

9
Malnutrisi akut berat (MAB) atau Severe acute malnutrition (SAM) atau
disebut gizi buruk akut merupakan suatu keadaan dimana seorang anak
tampak sangat kurus, Panjang Badan (PB) dibandingkan dengan Tinggi Badan
(TB) nilainya <-3SD dari median WHO child growth standard, atau ditemukan
adanya edema nutrisional, dan Lingkar Lengan Atas (LILA) <115mm pada
anak usia 5-59 bulan (WHO & Unicef, 2009). Diagnosis MAB ditegakkan
berdasarkan kriteria 4 kriteria, pertama anak tampak sangat kurus yang
merupakan tanda khas pada marasmus. Kedua, adanya edema nutrisional
tanda khas pada kwashiorkor. Ketiga BB/TB < -3 SD, beberapa alasan
penggunaan cut-off <-3SD median standard berdasarkan WHO karena anak di
bawah cut-off tersebut memiliki risiko lebih tinggi dari anak yang berada di
atasnya. Selain itu akan mengalami peningkatan BB lebih cepat bila anak
tersebut mendapat terapi diet serta tidak ada risiko atau efek negatif dari
pemberian terapi diet pada anak dalam kelompok tersebut. Terakhir LILA <
115 cm, ini merupakan indikator paling unggul bila dibandingkan dengan
antropometri yang lain. Kelebihan disbanding pengukuran lain yaitu
sederhana, lebih diterima oleh anak, biaya lebih murah, ketepatan dan akurasi
lebih tinggi, dan nilai prediksi, sensitivitas serta spesifisitas terbaik (Susanto
et al., 2014).
1. Marasmus
Marasmus terjadi karena asupan energi dan protein tidak adekuat
yang sangat berat (Krebs & Primak, 2011). Kasus ini banyak terjadi di
negara berkembang, terutama pada satu tahun pertama kehidupan. Etiologi
yang mendasari kejadian marasmus antara lain kurang baik dalam meyusui
karena daya hisap neonatus yang belum sempurna, bayi yang terus-
menerus hanya diberi air susu ibu (ASI), infeksi, terutama diare yang
seringkali merupakan penyakit penyerta. Selain itu marasmus bisa juga
muncul sebagai penyerta pada prematuritas (Short et al., 2010).
Marasmus ditandai dengan tubuh yang tampak sangat kurus dan
disertai tanda lainnya (Susanto et al., 2014). Manifestasi utama yang
sering muncul adalah berkurangnya cadangan lemak tubuh serta berat

10
badan menurut usia kurang dari 60% median (persentil 50) atau kurang
dari 70% berat badan ideal menurut tinggi badan. Inspeksi dan palpasi
terhadap pasien didapatkan penyusutan massa otot, kulit tipis dan kering,
rambut tipis, jarang dan mudah dicabut, namun tidak ditemukan edema.
Terkadang anak tampak lemah dan apatis. Stomatitis moniliasis dan atrofi
papilla filiformis lidah juga umum dijumpai pada anak dengan marasmus.
Adanya bradikardi dan hipotermi merupakan tanda bahaya dan
mengancam jiwa (Krebs & Primak, 2011). Selain itu, gejala lain yang juga
ditemukan dapat berupa gagal tumbuh, dehidrasi, mungkin juga terdapat
defisiensi vitamin, pigmentasi dan perubahan kulit sedikit atau tidak sama
sekali, dan nafsu makan biasanya baik (Short et al., 2010).
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan kondisi malnutrisi yang ditandai dengan
edema pitting dan hipoalbuminemia (Krebs & Primak, 2011). Edema
dimulai dari punggung kaki yang kemudian dapat meluas ke seluruh tubuh
seiring derajat keparahan (Susanto et al., 2014). Berdasarkan teori,
kwashiorkor terjadi karena defisiensi asupan protein sedangkan asupan
kalori cukup atau mendekati cukup. Toksin, infeksi akut, dan
ketidakseimbangan mikronutrien atau asam amino merupakan faktor lain
yang dicurigai berperan terhadap kondisi ini (Krebs & Primak, 2011).
Manifestasi klinis yang timbul antara lain berat badan menururt
usia berkisar antara 60% sampai 80%, jaringan lemak subkutan masih ada
disertai atrofi nyata massa otot, rambut jarang, tampak kusam, mudah
dicabut, berwarna merah, cokelat atau pirang. Dijumpai perubahan kulit
yang bervariasi mulai dari hiperkeratosis, ruam makular eritematosa,
hingga “flaky paint” rash (deskuamasi superfisial bila diberikan
penekanan pada permukaan kulit) pada kwashiorkor paling berat. Atrofi
papilla filiformis lidah, keilosis angular, stomatitis moniliasis, umum
ditemukan. Tanda khas yang dapat ditemukan adalah pembesaran kelenjar
parotis dan edema pada muka mengakibatkan muka membulat seperti
bulan. Selain itu anak juga tampak apatis dan enggan untuk makan. Edema

11
bervariasi mulai dari edema pitting ringan di daerah punggung kaki hingga
edema skrotum dan bola mata (Krebs & Primak, 2011). Edema yang
terjadi menyebabkan skrining kwashiorkor tidak akurat bila hanya
dilakukan dengan BB/TB, karena yang terjaring hanya penderita
marasmus, sedangkan penderita kwashiorkor hanya sedikit yang terjaring
(Susanto et al., 2014).
3. Tatalaksana
Tatalaksana MAB menurut WHO dibagi menjadi 2, yaitu MAB dengan
komplikasi dan MAB tanpa komplikasi. MAB dengan komplikasi
merupakan indikasi untuk dirawat inap di RS. Sedangkan MAB tanpa
komplikasi cukup dilakukan rawat jalan dengan Output Therapeutic
Program (OTP) yang bertujuan untuk mengurangi beban rawat inap bagi
pasien dan keluarganya. Meskipun secara klinis ada beberapa perbedaan
antara marasmus dan kwashiorkor, tetapi prinsip penatalaksanaan
keduanya sama (Susanto et al., 2014).

Gambar 2. Tatalaksana MAB yang digunakan pada program CTC (Susanto


et al., 2014).

12
a. Rawat inap
Tatalaksana rawat inap dibagi dalam 2 tahap, yaitu fase
stabilisasi dan fase rehabilitasi yang terdiri dari 10 langkah tindakan.
Fase stabilisasi bertujuan untuk menangani kondisi kedaruratan medis
dan menstabilkan kondisi klinis anak. Sedangkan fase rehabilitasi lebih
menekankan pada pemulihan dan tumbuh kejar yang memerlukan
waktu lebih lama (Susanto et al., 2014).
Langkah pertama yaitu atasi/cegah hipoglikemia. Anak
dikatakan hipoglikemia bila kadar gula darah < 3mmol/dl atau 54
mg/dl. Bila anak sadar bisa diberi bolus 50ml larutan glukosa 10% atau
sukrosa 10% baik peroral maupun dengan pipa nasogastrik. Bila anak
tidak sadar berikan glukosa 10% intavena (5mg/ml), diikuti dengan
50ml glukosa 10% atau sukrosa melalui pipa nasogastrik. Ulangi
pemeriksaan gula darah setelah 2 jam, bila gula darah masih rendah
ulangi pemberian 50ml bolus glukosa 10% atau larutan sukrosa
(Susanto et al., 2014).
Langkah kedua yaitu atasi/cegah hipotermia. Periksa suhu aksila
anak, bila <35,0°C lakukan pemeriksaan suhu rektal. Bila hasilnya
<35,5°C lakukan tindakan. Hangatkan anak, selain dengan
memakaikan pakaian jga beri selimut hingga kepala tanpa menutupi
wajah. Tempatkan di dekat lampu atau penghangat, atau letakkan pada
dada ibu lalu tutup kdeuanya dengan selimut. Lakukan pemeriksaan
suhu rektal setiap 30 menit untuk memastikan anak dalam suhu yang
baik. Tetap tutupi anak dan pastikan anak terhindar dari paparan
langsung dengan udara, seperti mandi dan pemeriksaan fisik yang
terlalu lama (Susanto et al., 2014).
Langkah ketiga atasi/cegah dehidrasi. Tidak mudah untuk
mendiagnosis apakah seorang anak mengalami dehidrasi atau tidak.
Tanda-tanda seperti turgor kulit yang buruk dan mata cekung sering
dijumpai pada anak dengan gizi buruk walaupun tanpa dehidrasi.
Meski begitu, kondisi dehidrasi yang ringan sekalipun dapat

13
menimbulkan komplikasi lain dan memperburuk kondisi klinis anak.
Oleh karena itu, perlu diantisipasi adanya dehidrasi pada anak dengan
riwayat muntah atau diare dan harus dilakukan tindakan pencegahan.
Beri larutan rehidrasi khusus, yaitu rehydration solution for
malnutrition (ReSoMal) 5ml/kg tiap 30 menit selama 2 jam pertama
(peroral maupun NGT). Lanjutkan dengan 5-10 ml/kg/jam selama 4-10
jam berikutnya. Bila anak masih diare, ReSoMal diberikan setiap diare
sebanyak 50-100 ml untuk anak < 2 tahun dan 100-200 ml untuk anak
> 2 tahun. rehidrasi tidak boleh dilakukan melalui jalur intravena
kevuali pada kasus syok. Monitor kemajuan rehidrasi dengan cara
observasi denyut jantung, frekuensi napas, frekuensi miksi dan
frekuensi defekasi/muntah tiap 30 menit selama 2 jam pertama dan
dilanjutkan tiap 1 jam untuk 6-12 jam berikutnya (Susanto et al.,
2014).
Langkah keempat koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
Anak dengan malnutrisi berat selalu mengalami kelebihan natrium
(Na) walaupun kadar Na darah rendah karena kadar Na darah lebih
mencerminkan kadar Na ekstraseluler bukan Na total yang termasuk
didalamnya Na intraseluler. Kalium (K) dan Na diatur oleh pompa Na-
K yang dalam kondisi normal (cukup energi) K dipertahankan berada
di intrasel. Namun, jika tubuh kekurangan energi maka Na berada di
intrasel. Kondisi menyebabkan udem seluler dan kematian. Terapi
yang diberikan adalah ekstra K 3-4 mmol/kg/hari, ekstra Magnesium
0,4-0,6 mmol/kg/hari, berikan cairan rendah Na saat rehidrasi, siapkan
makanan tanpa garam (Susanto et al., 2014).
Langkah kelima yaitu obati/cegah infeksi. Umumnya tanda
infeksi seperti demam jarang dijumpai pada malnutrisi berat, karena
infeksinya sering tersembunyi. Beri antibiotik spektrum luas, bila
tanpa komplikasi bisa menggunakan larutan kotrimoksasol 5ml peroral
2x sehari selama 5hari. Bila anak terlihat sangat sakit atau terdapat
komplikasi berikan ampisilin 50mg/kg per 6 jam untuk 2 hari,

14
lanjutkan dengan amoksisilin per oral 15mg/kg per 8 jam untuk 5 hari.
Bila tidak tersedia, bisa menggunakan ampisilin peroral 50mg/kg per 6
jam. Tambahkan gentamisin 7,5 mg/kgBB Im/IV satu kali sehari
selama 7 hari. Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam maka
tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg IM/IV per 8 jam selama 5 hari.
Bila penyebab infeksi spesifik sudah ditemukan maka beri antibiotic
spesifik yang sesuai (Susanto et al., 2014).
Langkah ke enam koreksi defisiensi mikronutrien. Defisiensi
mikronutrien juga terjadi pada anak yang mengalami malnutrisi berat.
Pada periode awal tidak boleh diberikan suolemen zat besi (Fe),
tunggu hingga anak mengalami kenaikan berat badan dan nafsu makan
membaik. Fe dapat memperburuk keadaan infeksi dan merusak
membran sel karena reaksi oksidatif oleh besi bebas. Pada hari pertama
diberikan vitamin A peroral, hal ini dapat ditunda bilai kondisi klinis
anak buruk, serta diberikan asam folat 5mg peroral. Hari-hari
berikutnya (selama 2 minggu) diberikan suplemen multivitamin, asam
folat 1mg, zinc 2mg/kgBB, dan preparat besi 3mg/kgBB. Dapat juga
memberikan 20ml larutan Mineral Mix yang dilarutkan dalam 1 L
makanan untuk memenuhi keutuhan seng (Zn) dan tembaga (Cu)
(Susanto et al., 2014).
Langkah ketujuh yaitu pemberian makanan. Pemberian
makanan dilakukan segera setelah pasien masuk dan harus dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi dan
protein untuk mempertahankan proses fisiologis dasar. Pada fase
stabilisasi hal-hal yang harus diberikan adalah makanan dengan
osmolaritas rendah dan rendah laktosa diberikan dalam porsi kecil
namun frekuensi pemberian yang sering, energi 80-100
kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari,
namun bila anak mengalami edema dapat dikurangi menjadi 100
cc/kgBB/hari, bila masih minum ASI maka tetap diberikan setelah

15
anak menghabiskan formula, pemberian secara oral atau melalui pipa
nasogastrik (tidak boleh secara parenteral) (Susanto et al., 2014).

Tabel 4. Jadwal pemberian makanan yang direkomendasikan (Susanto


et al., 2014):
Hari Frekuensi Volume/kgBB/pemberian Volume/kgBB/hari
1-2 Tiap 2 jam 11 cc 130
3-5 Tiap 3 jam 16 cc 130
6-7+ Tiap 4 jam 22 cc 130
Langkah kedelapan yaitu mencapai kejar-tumbuh. Pemberian
makanan yang dilakukan pada fase transisi yaitu Formula F75 diganti
dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam, volume dapat
ditambah secara bertahap sebanyak 10-15 ml tiap kali pemberian
hingga 150 kkal/kgBB/hari, energy 100-150 kkal/kgBB/hari, protein 2-
3 g/kgBB/hari, ASI tetap diberikan diantara pemberian formula bila
anak memang masih mendapatkan ASI (Susanto et al., 2014). Pada
fase stabilisasi yang harus diberikan kepada anak adalah teruskan
penambahan volume pemberian F100 hingga anak tidak mampu
menghabiskan porsinya, pemberian makanan yang sering, setidaknya
tiap 4 jam, energi 150-220 kkal/kg/hari, protein 4-6 g/kg/hari, tetap
berikan ASI bila anak masih mendapatkan ASI
Langkah kesembilan yaitu memberikan stimuli fisik, sensorik,
dan dukungan emosional. Perlu diberikan beberapa hal berikut ini
karena anak dengan malnutrisi berat biasanya mengalami
perkembangan mental dan perilaku terlambat, kegembiraan dan
kenyamanan lingkungan, kasih saying dan perawatan, terapi bermain
selama 15-30 menit yang terstruktur, aktivitas fisik sesuai dengan

16
kemampuan anak, keterlubatan ibu dam kegiatan anak seperti mandi,
bermain, dan makan (Susanto et al., 2014).
Langkah terakhir yaitu persiapan tindak lanjut setelah
perawatan. Bila anak sudah mencapai -1 SD maka anak sudah
diperbolehkan pulang karena anak dianggap sudah pulih dari keadaan
malnutrisi. Kepada orang tua atau pengasuh tunjukkan bagaimana cara
pemberian makanan dengan frekuensi sering dan kandungan energi
dan nutrient mencukupi dan cara memberikan terapi bermain yang
terstruktur. Selain itu, orang tua atau pengasuh juga harus diberi saran
untuk membawa anak kembali untuk kontrol secara teratur,
memberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali, memberikan imunisasi
booster (Susanto et al., 2014).
b. Perawatan OTP
Perawatan OTP ini dilakukan dengan rawat jalan. Anak hanya
perlu datang sekali dalam seminggu untuk dilakukan penimbangan
berat badan, pemeriksaan kesehatan serta untuk mendapatkan Ready to
use Therapeutic Food (RUTP) yang cukup untuk digunakan selama
satu minggu. Keuntungan yang dari rawat jalan ini adalah orang tua
masih dapat menjalankan aktivitas lain, memperkecil kemungkinan
risiko tertular penyakit infeksi seperti penderita yang dirawat di RS,
juga tidak memerlukan ruangan dan tenaga ahli untuk merawat
(Susanto et al., 2014).
Setiap anak yang mengikuti program ini dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, antropometri, terapi penyakit penyerta dan
pemberian RUTP. Anak diminta datang untuk melakukan kontrol satu
kali seminggu. Bila anak tidak datang 2 minggu berturut-turut maka
petugas kesehatan harus melakukan kunjungan ke rumah anak. Bila 3
minggu tidak datang maka anak dianggap drop out dari program
(Susanto et al., 2014).
B. Diare Persisten

17
Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
anak didunia (Soenarto, 2009). Diare didefinisikan sebagai peningkatan
frekuensi pengeluaran tinja atau peningkatan kandungan cairan pada feses
(Kaskel & Shelov, 2012). Menurut Soenarto (2009), diare didefinisikan
sebagai peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih cair dari
biasanya, dan terjadi ≥ 3 kali dalam 24 jam. Pada bayi dan anak, diare
diartikan sebagai pengeluaran tinja > 10g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata
pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam (Ghishan, 2007).
Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang
berkepanjangan (kronis dan/atau persisten) (Soenarto, 2009). Menurut
Ghishan (2007), diare kronis diartikan sebagai suatu episode diare lebih dari 2
minggu. Sedangkan menurut Bhuta (2006), diare kronis diartikan sebagai
suatu episode diare lebih dari dua minggu yang disebabkan oleh diare akut
berkepanjangan akibat infeksi. Pakar gastrohepatologi di Indonesia
menjelaskan bahwa definisi diare persisten adalah diare yang berlangsung ≥
14 hari dan memiliki dasar etiologi infeksi, sedangkan diare kronis adalah
diare yang berlangsung ≥ 14 hari dan memiliki dasar etiologi non-infeksi
(Soenarto, 2009).
Faktor risiko terjadinya diare persisten antara lain malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma yang
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi
kontributor terjadinya diare persisten (Soenarto, 2009).
Tabel 5. faktor risiko diare persisten (Soenarto, 2009)

18
Gambar 3. perjalanan diare akut menjadi diare persisten (Bhutta, 2006)
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor mukosal dan
faktor intralumen. Faktor mukosal merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan
segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa
usus, ataupun gangguan pada fungsi trasport protein. Perubahan integritas
membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun
npn-infeksi, seperti intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein
misalnya disebabkan gangguan pompa ion Na+/H+ dan Cl-/HCO3-. Faktor
intralumen berhubungan dengan pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan
pankreas, hepar, dan brush border membrane (Field, 2003).
Menurut Ghishan (2006), secara umum patofisiologi diare
kronis/persisten dibagi menjadi lima mekanisme, yaitu sekretoris, perubahan
motilitas usus, pengurangan luas permukaan anatomi, mutasi protein transport
membran apikal, dan osmotik.
1. Sekretoris

19
Mekanisme sekretoris pada diare terjadi akibat peningkatan sekresi Cl-
secara aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP,
cGMP, dan Ca2+. Hal tersebut mencegah terjadinya perangkaiaan antara
Na+ dan Cl- di sel vili usus, sehingga cairan tidak dapat terserap dan terjadi
pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare sekretoris memiliki
ciri yaitu, volume tinja yang banyak (>200ml/24 jam), konsistensi tinja
yang sangat cair, konsentrasi Na+ dan Cl- >70 mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Salah satu penyebab diare sekretoris
adalah Vibrio cholerae yang menghasilkan toksin untuk mengaktivasi
cGMP.
2. Perubahan Motilitas Usus
Kondisi malnutrisi, skleroderma, dan obstruksi usus dapat menyebabkan
hipomotilitas usus. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan bakteri
meningkat didalam usus. Akibat dari pertumbuhan bakteri yang berlebihan
adalah menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang selanjutnya dapat
mengakibatkan naiknya cAMP intraseluler. Perubahan motilitas usus pada
penyakit diabetes melitus terjadi karena neuropati saraf otonom, seperti
saraf adrenergik, yang normalnya berperan sebagai antisekretori dan/atau
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.
3. Pengurangan Luas Permukaan Anatomi
Keadaan seperti atresia intestinal, penyakit Crohn, dan volvulus
memerlukan tatalaksana pemotongan bagian usus yang kemudian
menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini
ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang banyak, serta
malabsorpsi makronutrien-mikronutrien.
4. Osmotik
Diare osmotik akan menimbulkan gejala ketika terjadi kegagalan proses
pencernaan dan/atau penyerapan nutrisi dalam usus sehingga zat tersebut
akan langsung memasuki usus besar, sehingga menyebabkan terjadinya

20
peningkatan tekanan osmotik di lumen usus dan menarik cairan ke dalam
lumen usus. Absorpsi usus bergantung pada keutuhan epitel, kecukupan
waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel.
Perubahan waktu transit usus dapat menimbulkan gangguan absorpsi
nutrien. Contoh diare osmotik adalah diare karena intoleransi laktosa.
Intoleransi laktosa terjadi karena kurang/tidak adanya enzim laktase
sehingga menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak
terserap. Laktosa yang tidak terserap akan difermentasi oleh flora usus
sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini mengakibatkan pH
feses < 5, bereaksi terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan
penghentian konsumsi makanan yang menimbulkan diare.
5. Mutasi Protein Transport Membran Apikal
Mutasi protein tertentu seperti CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang
mengatur pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apikal usus
berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan mengakibatkan HCO3- tidak
dapat tersekresi. HCO3- yang tidak tersekresi mengakibatkan alkalosis
metabolik dan pengasaman isi usus. Kadar Na+ dan Cl- yang tinggi di
dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Mutasi
juga bisa terjadi pada pompa Na+/H+.
Menurut Soenarto (2009), diare persisten menunjukkan manifestasi
diare cair. Keadaan seperti malnutrisi merupakan gambaran umum anak-anak
dengan diare persisten. Manifestasi tambahan yang dapat terjadi diantaranya
penurunan nafsu makan, muntah, demam, dan gejala lain yang mungkin
timbul tidak khas karena sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya.
Diagnosis pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
perlu digali mengenai perjalanan penyakit diare, seperti onset, lama, dan
frekuensi diare. Faktor risiko terjadinya diare juga perlu ditanyakan, antara
lain riwayat pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah/lendir dalam
tinja anak, riwayat pemberian obat, dan adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten mencakup penilaian status

21
dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak. Pemeriksaan
laboratorium pada diare kronis/persisten mencakup pemeriksaan darah dan
pemeriksaan tinja. Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung
darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B 12, folat,
kalsium, feritin, laju endap darah, dan protein C-reaktif. Pemeriksaan tinja
spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas (suspek insufisiensi pankreas).
pH tinja <5 atau terdapatnya substansi yang dapat mereduksi pada
pemeriksaan tinja dapat mengarahkan adanya intoleransi laktosa. Kultur tinja
dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa.
(Soenarto, 2009)
Menurut Soenarto (2009) dan Bhutta (2006), manajemen diare persisten
dilakukan secara bertahap, meliputi:
1. Penilaian Awal, Resusitasi, dan Stabilisasi
Tahap ini dilakukan penilaian status dehidrasi kemudian dilakukan
rehidrasi secepatnya. Pada tahap ini juga perlu dilakukan koreksi elektrolit
jika terdapat kecurigan adanya gangguan elektrolit.
2. Pemberian Nutrisi
Kebutuhan energi pada diare persisten/kronis sebesar 100 kcal/kg/hari dan
kebutuhan protein pada diare persisten/kronis sebesar 2-3 gr/kg/hari.
Pilihan terapi nutrisi diantaranya diet elemental, diet berbahan dasar susu,
dan diet berbahan dasar ayam. Asupan nutrisi yang tidak adekuat dan
sekresi melalui defekasi ketika diare persisten/kronis dapat mengakibatkan
defisiensi Zn, vitamin A, dan Fe. Suplementasi zink untuk anak usia ≤ 6
bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet), sedangkan anak usia > 6 bulan sebesar 20
mg (1 tablet), dengan periode pemberian 10-14 hari.
3. Terapi Farmakologis
Pemberian antibiotik hanya dianjurkan jika terdapat tanda-tanda infeksi
(intestinal maupun ekstraintestinal). Bila pada tinja didapatkan darah,
segera diberikan antibiotik untuk Shigellosis. Metronidazole oral dapat
diberikan pada kondisi adanya trofozoit E.histolytica, trofozoit Giardia

22
lamblia, atau tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua
antibiotik berbeda untuk Shigella. Bila terdapat kecurigaan infeksi lain,
antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.

4. Follow up
Pemantauan dilakukan untuk menilai tumbuh kembang anak sekaligus
melihat perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan terapi diare persisten memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yakni
diare yang berlangsung ≥ 14 hari dimana 50% kebutuhan cairan harus
diberikan secara intravena. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan
adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda
dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.

Gambar 4. Alur pengobatan diare persisten (Bhutta, 2006)

23
C. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan sebab tersering diberikannya terapi cairan dan
elektrolit pada anak. Penyebab dehidrasi antara lain intake cairan yang tidak
adekuat (disfagia, letargi, koma), peningkatan kehilangan cairan melalui
saluran cerna (muntah, diare), peningkatan kehilangan cairan yang tidak
disadari (demam, berkeringat), dan peningkatan kehilangan cairan melalui
ginjal (diabetes insipidus, diuresis osmotik). Infeksi saluran cerna yang
disebabkan oleh virus seperti rotavirus, serta bakteri seperti Salmonella,
Shigella dan Cholera, merupakan sebab tersering dehidrasi pada anak yang
ditemukan di sebagian besar daerah di dunia (Kaskel & Shelov, 2012). Semua
anak yang datang dengan keluhan diare harus selalu dipaeriksa apakah
terdapat dehidrasi atau tidak. Status dehidrasi yang berkaitan dengan diare
dapat diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat, dehidrasi ringan/sedang dan
tanpa dehidrasi (WHO, 2009).
Tabel 6. Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan diare (WHO, 2009)
Klasifikasi Tanda-tanda atau gejala
Dehidrasi berat Terdapat dua atau lebih dari tanda di bawah ini:
 Letargis atau tidak sadar
 Mata cekung
 Tidak bisa minum atau malas minum
 Cubitan kulit perut kembali sangat lambat
(≥2detik)
Dehidrasi Terdapat dua atau lebih tanda dibawah ini:
ringan/sedang  Rewel, gelisah
 Mata cekung
 Minum dengan lahap, haus
 Cubitan kulit perut kembali lambat
Tanpa dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda untuk diklasifikasikan
sebagai dehidrasi ringan atau berat.
Menurut WHO (2009), penatalaksanaan dehidrasi pada diare diatur
dalam rencana terapi yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat keparahannya.
Dehidrasi berat ditangani sesuai rencana terapi C: penanganan dehidrasi berat

24
dengan cepat. dehidrasi ringan/sedang ditangani dengan rencana terapi B:
penanganan dehidrasi sedang/ringan dengan oralit. Sedangkan diare tanpa
dehidrasi ditangani dengan rencana terapi A: penanganan diare di rumah.

25
Gambar 5. Rencana Terapi C (WHO, 2009).

26
Gambar 6. Rencana terapi B (WHO, 2009).

27
Gambar 7. Rencana terapi A (WHO, 2009).

28
D. Demam
Temperatur tubuh dipertahankan secara normal pada kisaran 37°C-
38°C. Secara umum disebutkan suhu tubuh normal adalah 37°C dan pada sore
hari tubuh berada pada suhu maksimal. Dianggap tidak normal bila terjadi
peningkatan temperatur rektum yang melebihi 38°C, terutama bila ditemukan
gejala klinis lain yang menyertai. Pengaturan suhu tubuh berpusat di
hipotalamus anterior yang bekerja mempertahankan suhu tubuh normal
melalui sistem regulasi yang kompleks. Proses infeksi, inflamasi, ataupun
keganasan dapat memicu demam dengan pelepasan pirogen endogen ke dalam
sirkulasi. Pelepasan pirogen endogen, termasuk sitokin seperti interleukin-1
(IL-1), IL-6, tumor necrosis factor (TNF) dan interferon distimulasi oleh
mikroba dan toksin mikroba yang bertindak sebagai pirogen eksogen. Sitokin
ini akan bersirkulasi hingga mencapai hipotalamus anterior dan melepaskan
asam arakidonik yang kemudian dimetabolisme menjadi prostaglandidn E2.
Prostaglandin E2 ini akan berinteraksi dengan komplemen dan menyebabkan
peningkatan termostat hipotalamus (Krebs & Primak, 2011).
Demam pada anak dapat dibagi ke dalam 3 kategori. Pertama demam
dengan durasi pendek, yaitu demam ditandai dengan adanya gajala yang
terlokalisir, pemeriksaan fisik dan anamnesis riwayat penyakit dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis. Kedua yaitu demam tanpa disertai
tanda dan gejala yang terlokalisir (demam tanpa fokus) sehingga pemeriksaan
fisik dan anamnesis riwayat penyakit tidak berhasil untuk menegakkan
diagnosis, kondisi ini sering kali ditemukan pada anak dengan usia kurang dari
3 tahun. Terakhir, demam yang tidak diketahui penyebabnya, merupakan
kondisi demam yang lebih dari 14 hari tanpa adanya etiologi yang tidak dapat
diidentifikasi dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium rutin atau bahkan setelah menjalani perawatan inap selama
1minggu dan telah diadakan evaluasi (Krebs & Primak, 2011).
Kunci evaluasi klinis pada anak usia dibawah 3 tahun yang mengalami
demam tanpa adanya tanda infeksi terlokalisir adalah penilaian selama
observasi. Dikatakan normal dan dalam kesadaran yang baik bisa saat

29
pemeriksaan anak memandang pemeriksa dan sekeliling dengan mata yang
berbinar atau jernih. Sebalikya tatapan nanar atau kosong menunjukkan
adanya suatu penyakit yang berat. Kemampuan motorik yang normal
tergambarkan dengan kondisi anak yang mampu duduk tanpa penyangga dan
menggerakan tangan dan kaki. Sebaliknya bila anak tidak bergerak dalam
gendongan ibu atau hanya terbaring di atas meja periknya menunjukkan
adanya gangguan berat. Sikap senang bermain ditunjjukkan dangan perilaku
normal seperti bersuara spontan, tersenyum, bermain dengan suatu obyek, dan
menangis saat diberi stimulus yang membuat tidak nyaman. Pada anak dengan
respon normal akan berhenti menangis bila dipeluk oleh orang tuanya.
Sebaliknya, anak dengan gangguan berat menunjukkan perilaku abnormal
dengan kondisi yang rewel dan terus menangis meskipun dibujuk dan
digendong oleh orang tuanya (Krebs & Primak, 2011).
Tabel 7. Diagnosis Banding untuk Demam tanpa disertasi tanda lokal (WHO,
2009):
Diagnosis Demam Didasarkan pada Keadaan
Infeksi virus  Demam atau riwayat demam mendadak tinggi
dengue: demam selama 2-7 hari
dengue, demam  Manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji
berdarah dengue, bending positif)
dan sindrom syok  Hepatomegali
dengue  Tanda-tanda gangguan sirkulasi
 Peningkatan nilai hematokrit, trombositopenia dan
leukopenia
 Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar
menderita atau tersangka demam berdarah dengue
Malaria  Demam tinggi khas bersifat intermitten
 Demam terus menerus
 Menggigil, nyeri kepala, berkeringat dan nyeri otot
 Anemia
 Hepatomegali, splenomegali
 Hasil apus darah positif (plasmodium)
Demam tifoid  Demam lebih dari tujuh hari
 Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebeb
yang jelas
 Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare,
konstipasi

30
 Delirium
Infeksi saluran  Demam terutamadi bawah umur dua tahun
kemih  Nyeri ketika berkemih
 Berkemih lebih sering dari biasanya
 Mengompol (diatas usia 3 tahun)
 Ketidakmampuan untuk menahan kemih pada
anak yang sebelumnya bisa melakukannya
 Nyeri ketuk sudut kostovertebral atau nyeri tekan
suprapubic
 Hasil urinalisi menunjukkan proteinuria,
leukosituria dan hematuria
sepsis  Terlihat jelas sakit berat dan kondisi serius tanpa
penyebab yang jelas
 Hipo atau hipertermia
 Takikardia, takipneu
 Gangguan sirkulasi
 Leukositosis atau leukopeni
Demam yang  Tanda-tanda infeksi HIV
berhubungan
dengan infeksi
HIV

ANALISIS REFERENSI LAIN


Pada kasus ini pasien mengalami kondisi malnutrisi berupa marasmus-
kwarshiorkor dan diare persisten. Pengobatan pada kondisi marasmus-
kwarshiorkor memerlukan upaya untuk mengurangi kehilangan panas badan,
tetapi memberikan tambahan panas tidak diperbolehkan. Ketidakseimbangan
cairan/elektrolit harus segera diperbaiki dan diberikan makanan dengan susu
pengenceran ½, diberikan semaunya sampai mencapai 90 kkal/kg untuk 1-2 hari.
Saat nafsu makan anak sudah kembali, perlu dinaikkan masukan volume dan
energi, memberikan protein 2 g/kg, campuran mineral (termasuk Mg, K, Zn, Cu)
dan multivitamin termasuk asam folat. Campuran yang bermanfaat misalnya susu
bubuk skim, gula, dan minyak. Setelah 7-10 hari, diberikan susu berserta minyak
makan, paling sedikit 150 kkal/kg. Pada saat itu masukan makanan disesuaikan
dengan nafsu makan anak, serta dicampur dengan daging, sayuran, dan kacang-
kacangan. Kemudian, mengobati penyakit penyerta dan memberikan edukasi pada
ibu agar tidak terjadi relaps (Short et al., 2010).

31
Pengobatan pada kasus diare, Giannattasio (2016) mengatakan bila pasien
diare tidak mengalami penurunan berat badan maka terapi cukup dengan
pengaturan pola makan yang normal. Pola makan harus diatur dengan aturan 4F.
Pertama fat atau lipid, yaitu meningkatkan intake lipid minimal 35-40% dari total
intake energi harian. Kemudian fiber atau serat, yaitu menormalkan intake serat
dengan memperbanyak buah-buahan dan roti gandum. Ketiga fluid atau cairan,
membatasi intake cairan apabila terdapat riwayat yang signifikan untuk
mengkonsumsi cairan tinggi. Terakhir fruit juice yaitu kurangi konsumsi jus buah,
terutama yang mengandung sorbitol atau rasio fruktosa/glukosa tinggi. Diet bebas
laktosa dapat dilakukan apabila terjadi menurunan berat badan. Menurut Indian
Academy of Pediatrics (2016) diet campuran sereal dan susu dalam jumlah susu
yang rendah terbukti sama berhasilnya dengan diet bebas susu pada tahap awal
ketika diare masih ringan. Diet bebas susu dengan karbohidrat ideal untuk
penderita diare berat. Diet monosakarida hanya untuk pasien yang tidak
memberikan respon pada tindakan lain. Sebagian besar pasien diare mengalami
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit yang membutuhkan koreksi. Bukti
menunjukkan bahwa Oral Rehydration Salt (ORS) efektif untuk terapi dehidrasi
pada diare persisten.
Anak dengan diare persisten yang sekaligus memiliki kondisi malnutrisi
berat, pengobatannya terdiri dari 3 fase, yaitu fase inisial, rehidrasi, dan fase
rehabilitasi. Fase inisial merupakan fase kritis yang lebih menekankan dalam
menangani gangguan yang mungkin mengancam jiwa seperti hipoglikemia,
hipotermia, infeksi, dan dehidrasi. Prioritas pengobatan pada fase ini meliputi
pengontrolan temperatur (warming), pemberian antibiotik, dan rehidrasi (Klish,
2016). Tambahan suplementasi mikronutrien, pengobatan dengan antibiotik dan
obat antiparasit, agen antimotilitas dan strategi makan yang dimodifikasi
merupakan terapi potensial lain yang diharapkan bisa efektif dalam pengobatan
diare (Manary et al., 2016). Pemberian makan dimulai pada periode ini. Apabila
suhu rektal < 35,5oC, anak harus dihangatkan dengan diberikan selimut ataupun
dengan menggunakan lampu yang diarahkan ke tubuh anak namun tidak sampai
menyentuhnya. Bila selimut dan lampu tidak tersedia, anak dapat dihangatkan

32
menggunakan close contact dengan tubuh ibu. pemberian antibiotik spektrum luas
harus segera dimulai karena banyak anak dengan malnutrisi berat memiliki infeksi
sistemik. WHO merekomendasikan beberapa pilihan antibiotik untuk penanganan
inisial pada anak dengan malnutrisi. Apabila tidak terdapat komplikasi, antibiotik
yang dapat diberikan adalah suspensi sulfametoksazol-trimetoprim. Jika berat
badan anak > 4 kg, maka dosisnya 5 mL secara oral 2 kali sehari selama 5 hari (5
mL ekuivalen dengan 200 mg SMX dan 40 mg TMP). Bila berat badan anak < 4
kg, maka dosisnya 2,5 mL secara oral 2 kali sehari selama 5 hari. Apabila terdapat
gejala yang menandakan komplikasi atau anak usia < 6 bulan, antibiotik yang
dapat diberikan adalah Ampisilin, Amoxicilin, dan Gentamisin. Dosis Ampisilin
adalah 50mg/kgBB secara IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari kemudian dilanjutkan
dengan Amoxicilin 15 mg/kgBB secara oral 2 kali sehari selama 5 hari, dan
Gentamisin 7,5 mg/kgBB secara IM/IV satu kali sehari selama 7 hari. Namun bila
anak gagal untuk merespon dalam 48 jam, maka ditambahkan dengan
Kloramfenikol 25 mg/kgBB secara IM/IV setiap 8 jam selama 5 hari. Fase
rehidrasi memberikan cairan menggunakan ReSoMal. ReSoMal merupakan ORS
(oral rehydration solution) dari WHO yang dimodifikasi dengan menurunkan
konsentrasi sodium dan meningkatkan konsentrasi kalium. Hal ini bertujuan untuk
mengoreksi hipernatremia dan defisiensi kalium yang sering terjadi pada
malnutrisi berat. Fase rehabilitasi dimulai bila nafsu makan membaik. Fase ini
menggunakan F-100 yang mengandung 100 kcal/100 mL, disertai dengan
suplemen diet seperti pemberian vitamin A, Fe, dan asam folat (Klish, 2016).

DAFTAR PUSTAKA
Bhutta, Z.A., 2006, Persistent diarrhea in developing countries, Ann Nestle. 64:
39-47.
Field, M., 2003, Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J
Clin Invest. 111(7): 931-943.

33
Giannattasio, A., Guarino, A., Vecchio, A.L., 2016, Management of Children with
Prolonged Diarrhea, F1000 Research, volume 206: 1-11 February 23,
2016 Number 5.
Ghishan, R.E., 2007, Chronic Diarrhea, In Nelson Textbook of Pediatrics (8 th eds),
WB Saunders, Philadelphia.
Indian Academy of Pediatrics, 2011, Chronic and Persistent Diarrhea in Infants
and Young Children: Status Statement, Indian Pediatrics, volume 48: 37-
42 January 17, 2011.
Kaskel, F.J., Shelov, S.P., 2012, Principles of Pediatric Nutrition, Fluids, and
Electrolytes, in Bernstein, D., Shelov, S.P., Pediatrics for Medical
Students, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Buku Bagan: Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Klish, W.J., 2016, Severe Malnutrition in Children in Resource-Limited
Countries: Treatment. https://www.uptodate.com/contents/severe-
malnutrition-in-children-in-resource-limited-countries-treatment?
source=see_link#H17439035 [diupdate tanggal 27 Mei 2016, diakses pada
tanggal 01 Desember 2016]
Krebs, N.F., Primak, L.E., 2011, Pediatric Nutrition and Nutritional Disorders, in
Marcdante, K.J., Kliegman, R.M., Jenson, H.B., Behrman, R.E., Nelson:
Essentials of Pediatrics (6th eds). Elsevier, Canada, 112-114.
Manary, M., Iannotti, L., Trehan, I., Weisz, A., 2012, Systemativ review of the care
of children with diarrhea in the community-based management of severe
acute malnutrition, WHO.
Short, J.R., Gray, O.P., Dodge, J.A., 2010, Synopsis: Pediatrics. Gultom, E., 2010
(Alih Bahasa), Bina Rupa Aksara, Tangerang, 138-140.
Soenarto, Y., 2009, Diare Kronis dan Diare Persisten, dalam Juffrie, M., Buku
Ajar Gastroenterologi-Hepatologi, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Susanto, J.C., Mexitalia, M., Nasar, S.S., 2014, Malnutrisi Akut Berat dan Terapi
Nutrisi Berbasis Komunitas, dalam Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia,
M., Nasar, S.S (eds) Buku Ajar: Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 133-148
WHO, 2005, Pocket Book of hospital Care for Children, Guidelines for The
Management of Common Illnesses with Limited Resources, Tim Adaptasi
Indonesia, 2008 (Alih Bahasa), WHO, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai