Anda di halaman 1dari 49

Skenario 3

Bengkak pada payudara

Seorang perempuan berusia 28 datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri dan


bengkak pada payudara kanan sejak 3 hari yang lalu. Pasien baru saja
melahirkan anak pertamanya 10 hari yang lalu. Keluhan juga disertai demam
dan sedikitnya ASI yang dikeluarkan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu
38,20C, tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi denyut nadi 90 x/menit,
frekuensi pernapasan 20 x/menit. Status lokalis mammae dekstra nampak
oedem, hiperemis dan tegang. Dokter kemudian memberikan terapi obat dan
edukasi untuk pasien tersebut.

Step 1

1. ASI : Air susu ibu

Step 2

1. Bagaimana fisiologi pengeluaran asi?

2. Kenapa pasien mengeluhkan nyeri, bengkak pada payudara dan


pengeluaran asi sedikit?

3. Apa hubungan pasien baru saja melahirkan dengan keluhan tersebut?

4. Mengapa mamae bias edem, hiperemis dan tegang?

5. Faktor risiko apa yang bisa menyebabkan keluhan?

6. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?

7. Apa terapi dan edukasi untuk pasien tersebut?

Step 3

1. - Hiperemis →saraf → Oksitosin → peningkatan kontraksi alveolus


→ ejeksi susu

- Hipofisis anterior →peningkatan prolaktin


- Regulasi → Laktogenesis 1,2,3

- Reflek prolaktin

- Reflek let down.

2. - Statis asi

- Inflamasi

- Iskemik jaringan

- Akumulasi cairan di jaringan alveolus

3. 10 hari post partum → masa nifas → pada mamae : mastitis, galaktokel


dan penghentian laktasi

4. Karena tidak ada hisapan oleh bayi tidak ada ejeksi susu

5. - Post partum

- Teknik menyusui

- Stress

- Serangan sebelumnya

- Gizi

- Umur

6. Penegakan diagnosis

Anamnesis : - nyeri pada mamae

- hiperemis

- timbul garis merah

Pemeriksaan fisik : - TTV

- Suhu meningkat
- Inspeksi : edem

- Palpasi : nyeri tekan

Pemeriksaan penunjang : - Kultur asi

- Darah rutin : leukosit meningkat

8. - Konseling suportif

- Pengeluaran asi dengan efektif

- Terapi antibiotic

- Edukasi : - Menyusui jangan 1 payudaara saja

- Jangan samapi kegigit

- Higenitas

- Kompres

Step 4

1. - Hipothalamus → Hipofisis

- Reflek hisap → Medspin → Sinap → nucleus → Pengenalan impuls


→ Oksitosin → Mioepitel → Ejeksi susu

- Laktogenesis

I : Fase pada akhir kehamilan

Kolostrum → cairan pertama yang pertama disekresi

II : Peralihan

Matur → 10 hari setelahnya

III : Progres, HPL menurun

Kolostrum IGA
IV : Kontrol endokrin

Reflek prolactin : Hisapan bayi → medspin → Hipothalamus


→ Hipofisis → Prolaktin → air susu

Reflek letdown : Hipofisis → Oksitosin → kontraksi duktus →


ejeksi susu

2. ↑ duktus → asi statis → tegangan alveoli → permeabilitas ↑ → plasma


masuk ke asi → Inflamasi → mediator inflamasi : nyeri, bengkak dan
kemerahan

- Obstruksi → kista → kantong berisi asi → iskemik

3. Nifas → 6 minggu

Perubahan yang terjadi

- Reproduksi : uterus : 1-5 hari : 2 jari dari umbilikal

5-12 hari : tengah umbilical

12 hari : kembali normal

- Kardovaskular : ↑ CO: karena makin banyak dari ibu ke ibu

- Genitourinarius : Vu tertekan → kencing

- Lokia (darah keluar setelah persalinan)

- Lokia rubra

- Lokia sanguingolenta

- Lokia serosa

- Lokia alba

- Lokia purulenta

4. Sudah jelas
5. - Riwayat dulu

- puting lecet

- bra ketat

- umur : 21- 35 tahun

- Trauma

- Stres

-Pekerjaan

6. Sudah jelas

7. - Konseling suportif : asi itu penting dan beri cara untuk pengeluaran asi

- Pengeluaran asi yang efektif

- Terapi : antibiotik : Eritromisin 250-500 mg

MIND MAP
Perubahan Fisiologis

ASI

Nifas
Hormon

Lokia

Kelainan
Genitourinari

Kardiovaskular
Etiologi Faktor risiko Patomekanisme
Step 5

1. Menjelaskan proses masa nifas (hormon dan organ reproduksi)

2. Menjelaskan etiologi sampai penatalaksanaan dari kelainan pada


masa nifas

STEP 7

1. Perubahan fisiologis dan biokimiawi masa nifas


a. Pengertian Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu.2
b. Involusi Uterus

Setelah persalinan, uterus menciut ke ukuran pragestasinya, suatu


proses yang dikenal sebagai involusi, yang berlangsung empat hingga
enam minggu. Selama involusi, jaringan endometrium yang tertinggal dan
tidak dikeluarkan bersama plasenta secara bertahap mengalami
disintegrasi dan terlepas, menghasilkan duh vagina yang disebut lokia
yang terus keluar selama tiga hingga enam minggu setelah persalinan.
Setelah periode ini, endometrium pulih ke keadaan sebelum hamil.1

Gambar 1.1 Involusi normal dari uterus sesudah persalinan.2


Involusi terutama disebabkan oleh penurunan tajam estrogen dan
progesteron darah saat plasenta sebagai sumber steroid ini keluar saat
persalinan. Proses ini dipercepat pada ibu yang menyusui bayinya
karena terjadi pelepasan oksitosin akibat isapan. Selain berperan
penting dalam menyusui, pelepasan oksitosin yang dipicu oleh
menyusui ini mendorong kontraksi miometrium yang membantu
mempertahankan tonus otot uterus, mempercepat involusi. Involusi
biasanya tuntas dalam waktu sekitar empat minggu pada ibu yang
menyusui, tetapi memerlukan sekitar enam minggu pada ibu yang tidak
menyusui bayinya.1
Pada masa nifas dari jalan lahir ibu mengeluarkan cairan
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam
uterus (Lochia). Lochia berbau amis atau anyir dengan volume yang
berbeda-beda pada setiap wanita . Pengeluaran lochia berlangsung pada
hari pertama setelah persalinan hingga 6 minggu setelah persalinan dan
mengalami perubahan warna serta jumlahnya karena proses involusi.2
Berdasarkan waktu dan warnanya pengeluaran lochia dibagi
menjadi 4 jenis:3
 lochia rubra, lochia ini muncul pada hari pertama
sampai hari ketiga masa postpartum, warnanya
merah karena berisi darah segar dari jaringan sisa-
sisa plasenta
 lochia sanginolenta, berwarna merah kecoklatan
dan muncul di hari keempat sampai hari ketujuh
 lochia serosa, lochia ini muncul pada hari ketujuh
sampai hari keempatbelas dan berwarna kuning
kecoklatan
 lochia alba, berwarna putih dan berlangsung 2
sampai 6 minggu postpartum.

c. Laktasi dan Menyusui


 Persiapan payudara untuk laktasi
Selama kehamilan, estrogen kadar tinggi mendorong
perkembangan ekstensif duktus, sementara progesteron kadar tinggi
merangsang pembentukan alveolus-lobulus. Peningkatan
konsentrasi prolaktin dan human chorionic somatomammotropin
(hCS) juga berperan dalam perkembangan kelenjar mammaria
dengan menginduksi sintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk
memproduksi susu. Komitmen untuk mempersiapkan payudara
bagi nutrisi janin sangat besar sehingga ukuran kelenjar hipofisis
selama kehamilan meningkat dua atau tiga kali lipat akibat
peningkatan jumlah sel penyekresi prolaktin yang diinduksi oleh
estrogen.1

Gambar 1.2 Anatomi Kelenjar Mammaria.1


 Stimulasi laktasi oleh pengisapan
Setelah produksi susu dimulai sesudah pelahiran, dua hormon
berperan penting untuk mempertahankan laktasi, yaitu :
1. Prolaktin, yang meningkatkan sekresi susu.
2. Oksitosin, yang menyebabkan ejeksi susu atau milk down.
Gambar 1.3 Refleks Pengisapan.1
Menyusui juga menguntungkan bagi ibu. Pelepasan oksitosin
yang dipicu oleh menyusui mempercepat involusi uterus. Selain itu,
pengisapan oleh bayi menekan daur haid karena prolaktin
menghambat GnRH, sehingga sekresi LH dan FSH juga tertekan.
Karena itu, laktasi cenderung mencegah ovulasi, menurunkan
kemungkinan kehamilan berikutnya. Tanpa pengisapan, sekresi
prolaktin tidak terangsang sehingga stimulus utama untuk sintesis
dan sekresi susu yang berkelanjutan lenyap. Dan juga menyebabkan
tidak terjadi oekeoasan oksitosin dan ejeksi susu.1
d. Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini
terjadi karena pada waktu melahirkan sistem pencernaan mendapat
tekanan menyebabkan kolon menjadi kosong, kurang makan, dan
laserasi jalan lahir.2
e. Perubahan Sistem Perkemihan
Diuresis postpartum normal terjadi dalam 24 jam setelah
melahirkan sebagai respon terhadap penurunan estrogen.
Kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher buli-buli
sesudah bagian ini mengalami tekanan kepala janin selama persalinan.
Protein dapat muncul di dalam urine akibat perubahan otolitik di dalam
uterus. 2
f. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu
persalinan, setelah bayi lahir berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih
kembali. 2
g. Perubahan Sistem Hematologi
Selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah
sekitar 200-500 ml. Penurunan volume dan peningkatan sel
darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan
hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 postpartum dan
akan kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum. 2
h. Perubahan Sistem Endokrin
Human Choirionic Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan
menetap sampai 10 % dalam 3 jam hingga hari ke-7 postpartum.
i. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Setelah persalinan volume darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan
ini akan menimbulkan beban pada jantung, dapat menimbulkan
decompensation cordia pada penderita vitum cordia.
j. Perubahan Tanda-tanda Vital
Pada ibu masa nifas terjadi perubahan tanda-tanda vital, meliputi2:
 Suhu tubuh
24 jam setelah melahirkan subu badan naik sedikit (37,50C-380C)
sebagai dampak dari kerja keras waktu melahirkan, kehilangan
cairan yang berlebihan, dan kelelahan.
 Nadi
Sehabis melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat dari
denyut nadi normal orang dewasa (60-80x/menit).
 Tekanan darah
Biasanya tidak berubah, kemungkinan bila tekanan darah tinggi
atau rendah karena terjadi kelainan seperti perdarahan dan
preeklamsia.
 Pernafasan
Frekuensi pernafasan normal orang dewasa adalah 16-24 kali per
menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau
normal. Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih
cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok.

Asal Mula Evolusi

Fisiologi hormon dalam masa nifas telah berevolusi selama


berjuta-juta tahun untuk meningkatkan reproduksi. Tingkat kehidupan
ibu dan janin sangat penting dalam keberlangsungan reproduksi,
tetapi penting pula untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu dengan
suksesnya proses laktasi dan pendekatan bayi dengan ibu setelah
pasca melahirkan. Proses mediasi hormon ini berlangsung secara
terus-menerus setelah terjadinya partus atau kelahiran. Gangguan
fisiologi hormon perinatal akan mempengaruhi bukan hanya terhadap
proses kelahiran, tetapi juga saat proses menyusui dan penempelan
ibu dan bayi. Karena manusia mengalami kesamaan proses reproduksi
dengan mamalia lainnya, maka penelitian terhadap hewan membantu
menjelaskan proses fisiologis hormonal , terlebih karena penelitian
terhadap manusia langsung itu sangat dibatasi.1
Mother-Baby Dyad

Fisillogi hormon sangat berelasi, terkoordinasi, dan beregulasi


antara ibu dan bayi untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi
keduanya. Contohnya, kesiapan antara ibu dan janil untuk proses
kelahiran sangat berpengaruh dalam bermulanya fisiologi dalam
efektifitas perubahan dalam kelahiran. Sama pula dengan kontak skin-
to-skin setelah lahir meregulasi sistem oksitosin ibu dan bayi. Dalam
prinsip umum, efek dari fisiologi hormon ibu mempengaruhi fisiologi
hormon dari janin/bayi baru lahir.1

Manfaat Jalur Fisiologis Hormonal

Dari masa kehamilan sampai melahirkan, menyusui, dan


penempelan ibu kepada bayi, proses hormonal dalam fisiologi
mengantisipasi dan mempersiapkan proses yang akan terjadi dan
kebutuhan biologis. Sebagai contoh, persiapan kelahiran melibatkan
jalur oksitosin untuk mendapatkan kelahiran yang baik dan juga
reseptor dari regulasi reseptor epinephirn-norepinephrin
mengoptimalkan adaptasi janin dalam kelahiran yang mengakibatkan
hipoksia.1

Endokrinologi Masa Nifas

Kelahiran bayi dan plasenta mengharuskan adanya


penyesuaian segera ataupun jangka panjang terhadap kehilangan
hormon-hormon kehamilan. Terhentinya tiba-tiba hormon-hormon
dari unit plasenta-janin pada persalinan memungkinkan kita
menentukan waktu paruh dari hormon-hormon tersebut dan juga
evaluasi dari sebagian fungsinya selama kehamilan. 1

Perubahan-perubahan Endokrin:

A. Steroid
Dengan ekspulsi plasenta, kadar steroid akan turun mendadak dan
waktu paruh dapat terukur beberapa menit atau jam. Akibat produksi
kontinu progesteron dalam kadar rendah oleh korpus luteum, maka
kadarnya dalam darah tidak segera mencapai kadar basal pranatal,
seperti halnya estradiol. Progesteron plasma menurun mencapai kadar
fase luteal dalam 24 jam setelah persalinan, namun baru mencapai
kadar folikular setelah beberapa hari. Pengangkatan korpus luteum
berakibat penurunan mencapai kadar fase folikular dalam 24 jam.
Estradiol mencapai kadar fase folikular dalam 1-3 hari setelah
persalinan.1
B. Hormon-hormon Hipofisis
Kelenjar hipofisis yang mengalami pembesaran selama kehamilan
terutama akibat peningkatan laktotrof, tidak akan mengecil sampai
selesai menyusui. Sekresi FSH dan LH terus ditekan pada minggu-
minggu pertama nifas, dan stimulus dengan bolus GnRH
menyebabkan pelepasan FSH dan LH subnormal. Dalam minggu-
minggu berikutnya, kepekaan terhadap GnRH kembali pulih dan
banyak wanita memperlihatkan kadar LH, dan FSH serum fase
folikular pada minggu ketiga atau keempat postpartum.1
C. Prolaktin
Prolaktin (PRL) serum yang meningkat selama kehamilan akan
menurun pada saat persalinan dimulai dan kemudian memperlihatkan
pola sekresi yang bervariasi tergantung apakah ibu menyusui atau
tidak. Persalinan dikaitkan dengan suatu lonjakan PRL yang diikuti
suatu penurunan cepat kadar serum dalam 7-14 hari pada ibu-ibu yang
tidak menyusui.1
Pada wanita yang tidak menyusui, kembalinya fungsi dan ovulasi
siklik normal dapat diharapkan sesegera timbul pada bulan kedua
postpartum, di mana ovulasi pertama rata-rata terjadi 9-10 minggu
postpartum. Pada wanita menyusui, PRL biasanya, menyebabkan
anovulasi yang menetap. Lonjakan PRL dipercaya bekerja pada
hipotalamus untuk menekan sekresi GnRH. Pemberian GnRH
eksogen pada saat ini menginduksi respons normal dari hipofisis, dan
terkadang ovulasi dapat timbul spontan bahkan pada masa laktasi.
Waktu rata-rata terjadinya ovulasi pada wanita yang menyusui
sedikitnya 3 bulan adalah sekitar 17 minggu. Persentase wanita tak
menyusui kembali mengalami menstruasi rneningkat linear hingga
minggu ke-12, pada saat ini 70% -nya sudah akan kembali mengalami
menstruasi. Sangat berbeda pada wanita menyusui, di mana
peningkatan linear ini jauh lebih landai dan 70% wanita menyusui
baru akan kembali mengalami menstruasi setelah sekitar 36 minggu.1
D. Laktasi

Lobulus-lobulus alveolar payudara berkembang selama


kehamilan. Periode mamogenesis memerlukan partisipasi terpadu dari
estrogen, progesteron, PRL, GH dan glukokortikoid. hPL mungkin
pula berperan tetapi tidak mutlak. Sekresi ASI pada masa nifas telah
dihubungkan dengan pembesaran lobulus lebih lanjut, diikuti sintesis
unsur-unsur ASI seperti laktosa dan kasein. Laktasi memerlukan
PRL, insulin dan steroid-steroid adrenal. Laktasi tidak akan terjadi
sampai kadar estrogen tak terkonjugasi jatuh di bawah kadar tak hamil
sekitar 36-48 jam postpartum. PRL sangat penting untuk produksi
ASI. Kerjanya melibatkan sintesis reseptor PRL dalam jumlah besar;
sintesis ini tampaknya berjalan di bawah otoregulasi PRL karena PRL
meningkatkan jumlah reseptor pada biakan sel, dan karena
bromokriptin (suatu penghambat PRL) dapat menyebabkan
penurunan kadar PRL maupun reseptornya. Jika tidak ada PRL,
sekresi ASI tidak terjadi; tetapi bahkan pada trimester ketiga di mana
kadar PRL tinggi; sekresi ASI juga tidak terjadi sampai setelah
persalinan karena terhambat oleh estrogen dalam kadar tinggi.1

Sekresi ASI memerlukan rangsangan tambahan untuk


mengosongkan payudara. Suatu busur saraf perlu diaktifkan agar
sekresi ASI dapat kontinu. Ejeksi ASI terjadi sebagai respons terhadap
suatu lonjakan oksitosin yang merangsang suatu respons kontraktil
otot polos yang mengelilingi duktuli kelenjar. Pelepasan oksitosin
terkadang timbul dari rangsang yang bersifat visual, psikologis, atau
alamiah yang menyiapkan ibu untuk dihisap. 1

Organ Reproduksi

a. Vagina dan Ostium Vagina

Pada awal masa nifas, vagina dan ostiumnya membentuk


saluran yang berdinding halus dan lebar yang ukurannya berkurang
secara perlahan namun jarang kembali ke ukuran semula saat nulipara.
Rugae mulai muncul kembali pada minggu ke tiga namun tidak
semenonjol sebelumnya. Hymen tinggal berupa potongan-potongan
kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan parut disekitar
carunculae myniformes. Epitel vagina mulai berproliferasi pada
minggu ke-4 sampai minggu ke-6, biasanya bersammaan dengan
dengan kembalinya produksi estrogen ovarium.2

b. Uterus
 Pembuluh darah
Terdapatnya peningkatan aliran darah uterus massif yang
penting untuk mempertahankan kehamilan, dimungkinkan oleh
adanya hipertrofi dan remodeling signifikan yang telah terjadi pada
pembuluh darah pelvis. Setelah pelahiran, diameternya berkurang
kira-kira ke ukuran sebelum kehamilan. Pada uterus puerperal,
pembuluh darah yang membesar menjadi tertutup oleh perubahan
hialin, secara perlahan terabsorbsi kembali, kemudian digantikan oleh
yang lebih kecil. Akan tetapi sedikit sisa-sisa dari pembuluh darah
yang lebih besar tersebut tetap bertahan selama beberapa tahun. 2
 Segmen serviks dan uterus bagian bawah
Selama persalinan, batas serviks bagian luar, yang
berhubungan dengan ostium externum, biasanya mengalami laserasi,
terutama dilateral. Pembukaan serviks berkontraksi secara perlahan
dan selama beberapa hari setelah persalinan masih sebesar dua jari.
Diakhir minggu pertama, pembukaan ini menyempit, serviks menebal
dan kanalis endoservikal kembali terbentuk. Ostium externum tidak
dapat kembali sempurna ke keadaan sebelum hamil. Bagian tersebut
tetap lebar, dan secara khas, cekungan dikedua sisi pada tempat
laserasi menjadi permanen. Perubahan-perubahan ini merupakan
karakteristik serviks para. Segmen uterus bagian bawah yang menipis
secara nyata mengalami kontraksi dan retraksi, namun tidak sekuat
pada corpus uteri. Selama beberapa minggu berikutnya, segmen
bawah yang sebelumnya secara jelas merupakan substruktur tersendiri
yang cukup besar untuk mengakomodasi kepala bayi, berubah
menjadi isthmus uteri yang hamper tidak terlihat yang terletak
diantara corpus dan ostium internum. 2
 Involusi Uterus
Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang
berkontraksi tersebut terletak sedikit di bawah umbilicus. Bagian
tersebut sebagian besar terdiri dari myometrium yang ditutupi oleh
serosa dan dilapisi oleh desidua basalis. Dinding posterior dan
anterior, dalam jarak yang terdekat, masing-masing tebalnya 4 sampai
5 cm. segera setelah pascapartum,berat uterus menjadi kira-kira 1.000
g. karena pembuluh darah ditekan oleh myometrium yang
berkontraksi, maka uterus pada bagian tersebut tampak iskemik
dibandingkan dengan uterus hamil yang hiperemis berwarna ungu-
kemerahan. 2
Selama nifas, tour de force destruksi dan dekontruksi yang
sungguh luar biasa dimulai. Dua hari setelah pelahiran, uterus mulai
berinvolusi, dan pada minggu pertama, beratnya sekitar 500 g. pada
minggu ke dua, beratnya sekitar 300 g dan telah turun dan masuk ke
pelvis sejati. Sekitar 4 minggu setelah pelahiran, uterus kembali ke
ukuran sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang. 2
 Lokia
Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua
menyebabkan timbulnya duh vagina dalam jumlah yang beragam.
Duh tersebut dinamakan lokia dan terdiri atas eritrosit, potongan
jaringan desidua, sel epitel, dan bakteri. Pada beberapa hari pertama
setelah pelahiran, duh tersebut berwarna merah karena adanya darah
dalam jumlah cukup banyak-lokia rubra. Setelah 3 atau 4 hari, lokia
menjadi semakin pucat- lokia serosa. Setelah kira-kira pada hari ke-
10, karena campuran leukosit dan penurunan kandungan cairan, lokia
berwarna putih atau putih kekuningan-lokia alba. Lokia bertahan
selama 4 sampai 8 minggu setelah pelahiran. 2
 Saluran kemih
Trauma kandung kemih sangat berhubungan erat dengan
lamanya persalinan pada tahap tertentu merupakan akibat normal dari
pelahiran pervaginal. Pascapartum, kandung kemih mengalami
peningkatan kapasitas dan relative tidak sensitive terhadap tekanan
intravesika. Jadi, overdistensi, pengosongan yang tidak sempurna, dan
residu urin yang berlebihan biasa terjadi. 2
 Peritoneum dan Abdomen

Ligamentum rotundum dan latum memerlukan waktu yang


cukup lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang terjadi
selama kehamilan. Sebagai akibat dari rupture serat elastic pada
kulitdan distensi lama Karena uterus hamil, maka dinding abdomen
tetap lunak dan flaksid. Beberapa minggu dibutuhkan oleh struktur-
struktur tersebut untuk kembali menjadi normal. 2

 Payudara dan Laktasi


Setelah pelahiran, payudara mulai menyekresi kolostrum,
suatu cairan yang berwarna kuning lemon tua. Cairan ini biasanya
keluar dari papilla mammae pada hari kedua pascapartum.
Dibandingkan dengan air susu biasa kolostrum mengandung lebih
banyak mineral dan asam amino. Kolostrum juga mengandung lebih
banyak protein, sebagian besarnya adalah globulin, namun sedikit
gula dan lemak. Sekresi berlanjut selama kira-kira 5 hari, dengan
berubah menjadi air susu matang selama 4 minggu berikutnya.
Kolostrum mengandung antibody, dan immunoglobulin A (IgA) yang
dikandungnya memberikan perlindungan bagi neonatus terhadap
pathogen enteric. Factor pertahanan tubuh lainnya yang ditemukan di
kolostrum dan susu mencangkup komplemen, makrofag, limfosit,
laktoferin, laktoperoksidase, dan lisozim. 2
Air susu ibu (ASI) merupakan suspensi lemak dan protein
dalam larutan karbohidrat mineral. Air susu bersifat isotonic terhadap
plasma, dan setengah dari nilai osmotic ditimbulkan oleh laktosa.
Asam amino esensial diambil dari darah dan asam amino non esensial
sebagian berasal dari darah atau disintesis di kelenjar mamae.
Sebagian besar protein susu bersifat unik dan mencangkup α-
laktalbumin, β-laktoglobalin, dan kasein. 2

2. Kelainan pada masa nifas

 Mastitis
Mastitis adalah infeksi pada jaringan payudara yang
menyebabkan nyeri, pembengkakan dan kemerahan pada payudara dan
sering terjadi pada hari ke-10 dan hari ke-28, biasanya gejalanya disertai
dengan demam dan menggigil. Mastitis paling sering menyerang wanita
yang sedang menyusui, disebut juga dengan masitits laktasi. Namun,
terkadang mastitis juga menyerang perempuan yang sedang tidak
menyusui. Pada kebanyakan kasus, mastitis laktasi menyerang pada tiga
bulan pertama setelah melahirkan (postpartum), tetapi dapat juga terjadi
selama menyusui. Tapi seorang ibu masih bisa terus menyusui bayinya
saat mastitis.5
A. Jenis-Jenis Mastitis
Ada 4 jenis mastitis yaitu mastitis puerparalis epidemic, mastitis
maninfeksosa, mastitis subklinis. Mastitis infeksiosa. Ke empat jenis ini
muncul dalam kondisi yang juga berbeda. Diantaranya adalah sebagai
berikut 3,5:
1. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul bila
pertama kali bayi dan ibunya terpajan pada organisme yang
tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering terjadi di
rumah sakit, dari infeksi silang atau bekesinambungan strain
resisten.
2. Mastitis Moninfesiosa
Mastitis moninfeksiosa bila ASI tidak keluar dari
sebagian atau seluruh payudara, produksi ASI
melambat dan aliran terhenti, namun proses ini
membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan
selesai dalam 2 – 3 minggu. Untuk sementara waktu,
akumulasi ASI dapat menyebabkan respons
peradangan
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebuah kondisi yang
disebut mastitis subklinis. Dapat disertai dengan pengeluaran
ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat
berkurang sampai sampai di bawah 400 ml/hari
4. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi bila siasis ASI tidak sembuh
dan proteksi oleh faktor imun dalam ASI dan oleh respons –
respons inflamasi. Secara formal ASI segar bukan merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
B. Tanda Gejala Mastitis
Jika sudah terinfeksi, payudara akan bengkak dan terasa nyeri,
terasa keras saat diraba dan tampak memerah. Permukaan kulit dari
payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah-pecah. Badan
demam seperti terserang flu. Namun bila karena sumbatan tanpa infeksi,
biasanya badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada payudara juga
tidak teraba bagian yang keras dan nyeri, serta merah.5
Tanda-tanda dan gejala mastitis dapat muncul tiba-tiba dan bisa
mencakup4,5:
1. Payudara hangat bila disentuh,
2. Perasaan sakit,
3. Pembengkakan payudara,
4. Nyeri atau rasa panas terus menerus atau saat menyusui,
5. Kulit kemerahan,
6. Demam dengan suhu 38,3° C atau lebih.
Mastitis walaupun biasanya terjadi dalam beberapa minggu
pertama menyusui, hal ini bisa terjadi setiap saat selama menyusui.
Mastitis cenderung hanya menyerang satu payudara bukan kedua
payudara.5
C. Etiologi Mastitis
Pada umumnya yang dianggap porte d’entre’e dari kuman
penyebab adalah putting susu yang luka atau lecet dan kuman
perkontinuitatum menjalar ke duktus-duktus dan sinus. Sebagian
beasr yang ditemukan pada pembiakan pus ialah stavilokokus aureus.
Penyebab mastitis diantaranya :5
1. Payudara bengkak yang tidak disusui secara adekuat
2. Putting susu lecet akan memudahkan masuknya kuman
3. BH yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement
4. Ibu yang diet jelek, kurang istirahat, dan anemi akan mudah
terkena infeksi.

D. Patifisiologi

Stasis ASI Fisura pada


puting

Jaringan mammae
menjadi tegang

Lubang duktus
laktiferus lebih
terbuka Terbukanya
port de entry

Bakteri masuk
MASTITIS

Ketegangan Laktasi Proses infeksi


pada jaringan terganggu bakteri
mammae

Reaksi imun

Ukuran Penekanan Menyusui tidak


mammae reseptor nyeri efektif
membesar
Muncul pus

Kurang
pengetahuan
Gangguan Nyeri akut
citra
tubuh Resiko
Ansietas tinggi
infeksi

E. Gejala Klinis
Tingkat penykit ini ada dua yakni tingkat awal peradangan dan
tingkat abses. Pada peradangan dalam taraf permulaan penderita hanya
merasa nyeri setempat, taraf ini cukup memberikan support mamae itu
dengan kain tiga segi, supaya tidak menggantung dan memberikan rasa
nyeri, dan di samping itu memberi antibiotika. Dalam hal ini antibiotik
dapat dikemukakan bahwa kuman dari abses yang di biakkan dan di
periksa resistensinya terhadap antibiotik,ternyata banyak yang resistensi
terhadap penisilin dan stertomisin.5
Dari tingkat radang ke abses berlangsung sangat cepat karena oleh
radang duktulus-duktulus menjadi edemetus,air susu yang terbendung
akan bercampur dengan nanah. Gejala abses ini menimbulkan nyeri
bertambah heba dipayudara, kulit diatas abses mengkilat dan suhu
tinggi(39-400c). 5

F. Pemeriksaan Penunjang
Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu
nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen.
Namuan World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan
kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:3,4,5
a. pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik
dalam 2 hari;
b. terjadi mastitis berulang;
c. mastitis terjadi di rumah sakit; dan
d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan
yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting
harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak
menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang
terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.5

G. Penatalaksanaan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan
adalah pemberian susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan
diberi antibiotik. Dengan tindakan ini terjadinya abses seringkali dapat
dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan sebagai terapi
antibiotik.Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan pembiakan/kultur air
susu, supaya penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabilaada abses
maka nanah dikeluarkan,kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah
dapat keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus,
sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus tersebut.3,4,5
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah3,4,5:
1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyakwanita merasa
sakit dan membuat frustasi.Selain dalam penanganan yang efektif dan
pengendalian nyeri, wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus
diyakinkan kembali tentang nilai menyusui, yang aman untuk diteruskan,
bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak akan membahayakan bayinya
dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk maupun fungsinya. Klien
membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang
dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan
menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit. Klien akan
membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan
bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih.

2. Pengeluaran ASI dengan efektif


Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
a. Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki,
tanpa pembatasan
c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai
menyusui dapat dimulai lagi
3. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan
infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI
diperbaiki maka Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap
Staphylococcus aureus. Untuk organisme gram negatif,
sefaleksin/amoksisillin mungkin paling tepat. Jika mungkin, ASI dari
payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan sensivitas bakteri antibiotik
ditentukan.

Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain4,5:


1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6
jam selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari
selama 10 hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan
nyeriyaitu dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap
4 jam dan lakukan evaluasi secara rutin.

Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah


pada dokter antibiotik yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui,
selain itu bila badan terasa panas, ibu dapat minum obat turun panas,
kemudian untuk bagian payudara yang terasa keras dan nyeri, dapat
dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi rasa nyeri.
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit,
istirahat yang cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh
menjadi sehat kembali. Disamping itu, makan dan minum yang bergizi,
minum banyak air putih juga akan membantu menurunkan demam,
biasanya rasa demam dan nyeri itu akan hilang dalam dua atau tiga hari
dan ibu akan mampu beraktivitas seperti semula.4,5
4. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen
dipertimbangkan sebagai obat yang paling efektif dan dapat membantu
mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol merupakan alternatif yang
paling tepat. Istirahat sangat penting, karena tirah baring dengan bayinya
dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat memperbaiki
pengeluaran susu. Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan
kompres hangat pada payudara yang akan menghilangkan nyeri dan
membantu aliran ASI, dan yakinkan bahwa ibu cukup minum cairan.
Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4
kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan,
sebaiknya dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara
yang terkena.3,4,5
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila
diberikan sebelum terbentuk abses biasanya keluhannya akan
berkurang.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang
kemerahan).
 Diperlukan anestesi umum.
 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak
mendorong saluran ASI.
 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari
tangan.
 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan
nanah, serta dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri
dapat diberikan obat pereda nyeri (misalnya acetaminophen atau
ibuprofen).Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui dan bayinya.3,5

H. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis dapat dilakukan beberapa tindakan
sebagai berikut 3,5
a. Menyusui secara bergantian antara payudara kiri dan kanan
b. Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan
payudara dengan cara memompanya
c. Gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah
robekan/luka pada puting susu
d. Minum banyak cairan
e. Menjaga kebersihan puting susu
f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
Tindakan-tindakan berikut ini juga dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya mastitis, yaitu:4,5
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
 Menyusui sedini mungkin setelah melahirkan;
 Menyusui dengan posisi yang benar;
 Memberikan ASI On Demand dan memberikan ASI eklusif;
 Makan dengan gizi yang seimbang;
b. Pemberian infotentang hal-hal yang mengganggu proses menyusui,
membatasi, mengurangi isapan proses menyusui dan meningkatkan statis
ASI antara lain:
 Penggunaan dot;
 Pemberian minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama;
 Tindakan melepaskan mulut bayi dari payudara pertama sebelum bayi
siapuntuk menghisap payudara yang lain;
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan;
 Kealpaan menyusui bila bayi mulai tidur sepanjang malam
 Trauma payudara karena tindakan kekerasan atau penyebab lain.
c. Pemberian infotentang penatalaksaan yang efektif pada payudara
yangpenuh dan kencang. Adapun hal-hal yang harus dilakukan yaitu:4,5
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki kenyutan pada payudara oleh
bayinya untuk memperbaiki pengeluaran ASI serta mencegah luka pada
punting susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi
menghendaki tanpa batas.
 Perawatan payudara dengan dikompres dengan air hangat dan
pemerasan ASI
d. Pemberian informasi tentang perhatian dini terhadap semua tanda statis
ASIIbu harus memeriksa payudaranya untuk melihat adanya benjolan,
nyeri/panas/kemerahan:4,5
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor resiko, seperti kealpaan
menyusui.
 Bila ibu mengalami demam/merasa sakit, seperti sakit kepala.
 Bila ibu mempunyai satu dari tanda-tanda tersebut, maka ibu perlu
untuk:beristirahatdi tempat tidur bila mungkin, sering menyusui pada
payudara yang terkena, mengompres panas pada payudara yang
terkena, berendam dengan air hangat/pancuran, memijat dengan lembut
setiap daerah benjolan saat bayi menyusui untuk membantu ASI
mengalir dari daerah tersebut, mencari pertolongan dari nakes bila ibu
merasa lebih baik selanjutnya.
e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain4,5
Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat dan
ibu mengalami kesulitan yang dapat menyebabkan statis ASI, seperti:
 Nyeri/puting pecah-pecah
 Ketidaknyaman payudara setelah menyusui
 Kompresi puting susu (garis putih melintasi ujung puting ketika bayi
melepaskan payudara)
 Bayi yang tidak puas, menyusu sangat sering, jarang atau lama
 Kehilangan percaya diri pada suplay ASInya, menganggap ASInya
tidak cukup
 Pengenalan makanan lain secara dini
 Menggunakan dot
f. Pengendalian infeksi
Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara menyeluruh
dan sering sebelum dan setelah kontak dengan bayi. Kontak kulit dini,
diikuti dengan rawat gabung bayi dengan ibu merupakan jalan penting
untuk mengurangi infeksi rumah sakit.4

 Endometritis
A. Pengertian

Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium,


merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam
setelah melahirkan5

B. Etiologi

Mikroorganisme yang menyebabkan endometritis diantaranya


Campylobacter foetus, Brucella sp., Vibrio sp. dan Trichomonas foetus.
Endometritis juga dapat diakibatkan oleh bakteri oportunistik spesifik seperti
Corynebacterium pyogenes, Eschericia coli dan Fusobacterium
necrophorum. Organisme penyebab biasanya mencapai vagina pada saat
perkawinan, kelahiran, sesudah melahirkan atau melalui sirkulasi darah. 5

Terdapat banyak faktor yang berkaitan dengan endometritis, yaitu


retensio sekundinarum, distokia, faktor penanganan, dan siklus birahi yang
tertunda. Selain itu, endometritis biasa terjadi setelah kejadian aborsi,
kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran sesudah melahirkan.
Endometritis dapat terjadi sebagai kelanjutan kasus distokia atau retensi
plasenta yang mengakibatkan involusi uteruspada periode sesudah
melahirkan menurun. Endometritis juga sering berkaitan dengan adanya
Korpus Luteum Persisten (CLP).5

hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi pada wanita adalah:5

· Waktu persalinan lama, terutama disertai pecahnya ketuban.


· Pecahnya ketuban berlangsung lama.
· Adanya pemeriksaan vagina selama persalinan dan disertai pecahnya
ketuban.

· Teknik aseptik tidak dipatuhi.


· Manipulasi intrauterus (pengangkatan plasenta secara manual).
· Trauma jaringan yang luas/luka terbuka.

· Kelahiran secara bedah.


· Retensi fragmen plasenta/membran amnion
Patofisiologi
Infeksi endometrium biasanya merupakan hasil dari infeksi
ascending dari saluran reproduksi bawah. Dari sisi patologi,
endometritis dapat diklasifikasikan dengan akut dan kronis.
Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil diantara sel
kelenjar endometrium, sedangkan, endometritis kronis ditandai
dengan adanya sel plasma dan limfosit diantara sel stroma
endometrium.
Kuman yang masuk ke endometrium, biasanya pada luka
insertio plasenta, dan waktu singkat mengikuti sertakan seluruh
endometrium. Pada infeksi pada kuman yang tidak seberapa
pathogen, radang terbatas pada endometrium. Jaringan desidua
bersama-sama sengan bekuan darah menjadi nekrosis serta cairan.
Pada batas antara daerah yang meradang dan sehat terdapat lapisan
terdiri atas leukosit-leukosit. Pada infeksi yang lebih berat batas
endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran infeksi.3,4,5
Gambar 1.4 Patofisiologi endometritis.3

C. Klasifikasi

1. Endometritis akut

Terutama terjadi pada masa post partum / post abortum. Pada


endometritis post partum regenerasi endometrium selesai pada hari ke-9,
sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum hari ke-9.
Endometritis post abortum terutama terjadi pada abortus provokatus.3

Pada endometritis akuta, endometrium mengalami edema dan


hiperemi, dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan
infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahan-perdarahan
interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea dan infeksi pada
abortus dan partus.3

Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke


atas dan menyebabkan endometritis akut. Infeksi gonorea akan dibahas secara
khusus.3

Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke


miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke
parametrium, ketuban dan ovarium, dan ke peritoneum sekitarnya. Gejala-
gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit
dalam keseluruhannya. Penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar
leukorea yang bernanah, dan uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada
perabaan.3

Sebab lain endometritis akut ialah tindakan yang dilakukan dalam


uterus di luar partus atau abortus, seperti kerokan, memasukan radium ke
dalam uterus, memasukan IUD (intra uterine device) ke dalam uterus, dan
sebagainya.3

Tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus,


apakah endometritis akut tetap berbatas pada endometrium, atau menjalar ke
jaringan di sekitarnya.3

Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak


seberapa patogen pada umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri,
dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu
haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah
berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar.3

Gejalanya :

· Demam.
· Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar
flour yang purulent.
· Lochea lama berdarah malahan terjadi metrorrhagi.
· Kalau radang tidak menjalar ke parametrium atau parametrium tidak
nyeri.
Terapi :

· Uterotonika.
· Istirahat, letak fowler.
· Antibiotika.

· Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan corpus


carsinoma. Dapat di beri uterotonika.

2. Endometritis kronika

Endometritis kronika tidak seberapa sering terdapat, oleh karena itu


infeksi yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat
mempertahankan diri, karena pelepasan lapisan fungsional darn endometrium
pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan banyak sel-sel
plasma dan limfosit. Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu
juga ditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium.Gejala-gejala
klinis endometritis kronika adalah leukorea dan menorargia. Sedangkan
Pengobatannya tergantung dari penyebabnya.3

Endometritis kronis ditemukan pada:

1. Pada tuberkulosis.
2. Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus.
3. Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri.
4. Pada polip uterus dengan infeksi.
5. Pada tumor ganas uterus.
6. Pada salpingo – oofaritis dan selulitis pelvik.
Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus
TB genital. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tuberkel pada tengah-
tengah endometrium yang meradang menahun.
Pada abortus inkomplitus dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus
terdapat desidua dan vili korealis di tengah-tengah radang menahun
endometrium.

Pada partus dengan sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus,


terdapat peradangan dan organisasi dari jaringan tersebut disertai gumpalan
darah, dan terbentuklah apa yang dinamakan polip plasenta.

Endometritis kronika yang lain umumnya akibat ineksi terus-menerus


karena adanya benda asing atau polip/tumor dengan infeksi di dalam kavum
uteri.

Gejalanya :

· Flour albus yang keluar dari ostium.


· Kelainan haid seperti metrorrhagi dan menorrhagi.
Terapi :

· Perlu dilakukan kuretase.

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari endometritis tergantung pada jenis dan virulensi


kuman, daya tahan penderita dan derajat trauma pada jalan lahir. Kadang-
kadang lokhea tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta dan selaput ketuban.
Keadaan ini dinamakan lokiometra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu
yang segera hilang setelah rintangan dibatasi. Uterus pada endometrium agak
membesar, serta nyeri pada perabaan, dan lembek. Pada endometritis yang
tidak meluas penderita pada hari-hari pertama merasa kurang sehat dan perut
nyeri, mulai hari ke 3 suhu meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam
beberapa hari suhu dan nadi menurun, dan dalam kurang lebih satu minggu
keadaan sudah normal kembali, lokhea pada endometritis, biasanya
bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal yang terakhir ini tidak boleh
menimbulkan anggapan bahwa infeksinya berat. Malahan infeksi berat
kadang-kadang disertai oleh lokhea yang sedikit dan tidak berbau.3,4
Gambaran klinik dari endometritis:3,4

1. Nyeri abdomen bagian bawah.


2. Mengeluarkan keputihan (leukorea).
3. Kadang terjadi pendarahan.
4. Dapat terjadi penyebaran.
· Miometritis (pada otot rahim).
· Parametritis (sekitar rahim).
· Salpingitis (saluran otot).
· Ooforitis (indung telur).
· Pembentukan penahanan sehingga terjadi abses.

tanda dan gejala endometritis meliputi:

· Takikardi 100-140 bpm.Suhu 30 – 40 derajat celcius.


· Menggigil.
· Nyeri tekan uterus yang meluas secara lateral.
· Peningkatan nyeri setelah melahirkan.
· Sub involusi.

· Distensi abdomen.
· Lokea sedikit dan tidak berbau/banyak, berbau busuk, mengandung
darah seropurulen.
· Awitan 3-5 hari pasca partum, kecuali jika disertai infeksi streptococcus.
· Jumlah sel darah putih meningkat.
E. Patofisiologi

Kuman-kuman masuk endometrium, biasanya pada luka bekas


insersio plasenta, dan waktu singkat mengikut sertakan seluruh endometrium.
Pada infeksi dengan kuman yang tidak seberapa patogen, radang terbatas
pada endometrium. Jaringan desidua bersama-sama dengan bekuan darah
menjadi nekrosis serta cairan. Pada batas antara daerah yang meradang dan
daerah sehat terdapat lapisan terdiri atas lekosit-lekosit. Pada infeksi yang
lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran. 3,4
F. Komplikasi

· Wound infection.
· Peritonitis.
· Adnexal infection.
· Parametrial phlegmon.
· Abses pelvis.
· Septic pelvic thrombophlebitis.

G. Penatalaksanaan

Antibiotika ditambah drainase yang memadai merupakan pojok


sasaran terpi. Evaluasi klinis daan organisme yang terlihat pada pewarnaan
gram, seperti juga pengetahuan bakteri yang diisolasi dari infeksi serupa
sebelumnya, memberikan petunjuk untuk terapi antibiotik.3,4

Cairan intravena dan elektrolit merupakan terapi pengganti untuk


dehidrasi ditambah terapi pemeliharaan untuk pasien-pasien yang tidak
mampu mentoleransi makanan lewat mulut. Secepat mungkin pasien
diberikan diit per oral untuk memberikan nutrisi yang memadai. 3,4

Pengganti darah dapat diindikasikan untuk anemia berat dengan post


abortus atau post partum. Tirah baring dan analgesia merupakan terapi
pendukung yang banyak manfaatnya. Tindakan bedah endometritis post
partum sering disertai dengan jaringan plasenta yang tertahan atau obstruksi
serviks. Drainase lokia yang memadai sangat penting. Jaringan plasenta yang
tertinggal dikeluarkan dengan kuretase perlahan-lahan dan hati-hati.
Histerektomi dan salpingo – oofaringektomi bilateral mungkin ditemukan
bila klostridia teah meluas melampaui endometrium dan ditemukan bukti
adanya sepsis sistemik klostridia (syok, hemolisis, gagal ginjal). 3,4

 Subinvolusi Uteri

Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola


normal involusi/proses involusi rahim tidak berjalan sebagaimana
mestinya,sehingga proses pengecilan uterus terhambat. Subinvolusi
ini adalah kegagalan perubahan fisiologis pada sisitem reproduksi
pada masa nifas yang erjadi pada setiap organ dan saluran yang
reproduktif. 3,4
Etiologi:
a. Status gizi ibu nifas buruk (kurang gizi)
b. Ibu tidak menyusui bayinya
c. Kurang mobilisasi
d. Usia
e. Parietas
f. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar
g. Terdapat sisa plasenta dan selaput plasenta dalam uterus
h. Tidak ada kontraksi
i. Infeksi.
j. Terjadi infeksi pada endometrium
k. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya
l. Terdapat bekuan dara

Faktor resiko:
a. Tertinggalnya sisa plasenta di dalam rongga uterus
b. Endometritis
c. Mioma uteri
d. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar
e. Parietas
f. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya dalam uterus sehingga
proses involusi uterus tidak berjalan dengan normal atau
terhambat
g. Terjadi infeksi pada endometrium
h. Inflamasi

Patofisiologi
Gambar 1.5 Patofisiologi subinvolusi uteri.4

Kekurangan darah pada uterus. Kekurangan darah ini bukan


hanya karena kontraksi dan retraksi yang cukup lama, tetapi
disebabkan oleh pengeluaran aliran darah yang pergi ke uterus di
dalam perut ibu hamil, karena uterus harus membesar
menyesuaikan diri dengan pertumbuhan janin. Untuk memenuhi
kebutuhannya, darah banyak dialirkan ke uterus dapat
mengadakan hipertrofi dan hyperplasia setelah bayi dilahirkan
tidak diperlukan lagi, maka pengaliran darah berkurang, kembali
seperti biasa. Demikian dengan adanya hal-hal tersebut uterus
akan mengalami kekurangan darah sehingga jaringan otot-otot
uterus mengalami atrofi kembali ke ukuran semula. 3,4
Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun
sehingga pembuluh darah yang lebar tidak menutup sempurna,
sehingga pendarahan terjadi terus menerus, menyebabkan
permasalahan lain baik itu infeksi maupun inflamasi pada bagian
rahim khususnya endometrium. Sehingga proses involusi yang
mestinya terjadi setelah nifas terganggu karena akibat dari
permasalahan-permasalahan yang terjadi. 3,4

Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
Pada saat dilakukan anamnesa ibu mengeluhkan adanya darah
yang keluar dari vagina berbau menyengat dalam beberapa
hari post partum atau lebih dari dua minggu post partum,
pasien mengeluhkan adanya demam.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan bimanual uterus menjadi lebih besar dan
konsistensi lunak daripada normalnya.
Pemeriksaan fisik khusus :
 Uterus
fundus uteri lebih besar posisi dan konsistensi dari
normalnya
 Perineum
Perineum diobservasi untuk melihat apakah ada tanda
infeksi dan luka jahitan
 Vulva
Vulva dilihat apakat terdapat edema atau tidak
 Payudara
Dilihat kondisi areola, konsistensi, dan kolostrum.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan untuk
mengindentifikasi tekan fragmen yang tertahan di dalam
uterus.
Penatalaksanaan
Terapi subinvolusi adalah dengan pemberian ergometrin 0,2
mg setiap 3-4 jam selama tiga hari. Pada subinvolusi karena
tertinggalnya sisa plasenta, perlu dilakukan kerokan rongga Rahim
kuretase. Antibiotik spektrum luas contohnya paracetamol 500 mg
dapat diminum 3 kali sehari bisa ditambahkan jika uterus nyeri tekan
selama 2 minggu. Beberapa praktkisi merekomendasikan terapi awal
dengan antibiotik, dengan pertimbangan ternyata infeksi merupakan
faktor yang sering ditemukan pada involusi yang terlambat. 3,4

Gambar 1.6 Involusi normal dari uterus sesudah persalinan.6

 Vaginitis

Vaginitis adalah suatu peradangan pada lapisan vagina.Vaginitis


dapat terjadi secara langsung pada luka vagina atau melalui luka perineum,
Permukaan mukosa membengkak dan kmerahan, terjadi ulkus.6

Etiologi 6
penyebab vaginitis :
1.Vulvovaginitis pada anak
2.Sering disebabkan oleh gonorrhea atau corpus allienum.
3.Kolpitis senilis
4.Disebabkan karena ovaria berhenti berfungsi.
5.Kolpitis pada masa reproduktif
 Masturbasi
 Corpus allienum : pessaerium, obat atau alat kontrasepsi kapas
 Rangsang themis seperti berenang dalam air dingin.

Klasifikasi6

 Vaginitis Candida disebabkan oleh Candida albicans.


Penyebab :
1) Hygiene yag kurang.
2) Pertumbuhan Candida yang berlebihan, karena kadar glukosa
darah yang tinggi, danpemberian antibiotik berspektrum luas.
Tanda dan gejala:
1) Pruritus vulvae.
2) Nyeri vagina yang hebat.
3) Disuria eksterna dan interna.
4) Rash pada vulva.
5) Eritematosa.
6) Sekret khas seperti keju lembut.
 Vaginitis Trichomonas disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
Penyebab : hubungan seksual.
Tanda dan gejala:
1) Secret banyak dan bau busuk.
2) Disuria eksterna dan interna.
3) Pruritus vulva.
4) Edema vulva.

 Vaginitis non spesifik disebabkan oleh Gardnerella vaginalis.


Penyebab :
1) Hygiene yang kurang.
2) Hubungan seksual.

Tanda dan gejala :

1) Vagina berbau busuk dan amis.


2) Sekret encer, kuning sampai abu-abu.
 Vaginitis Atrofican disebabkan oleh infeksi epitel vagina yang
defisiensi estrogen.
Penyebab : pasca menopause rentan terhadap infeksi.
Tanda dan gejala :
1) Pendarahan pervaginam
2) Disuria eksterna.
3) Pruritus.
4) Dispareunia.
5) Permukaan vagina merah muda, pucat, halus tanpa rugae.

Patofisiologi6,7 :
Bila keseimbangan mikroorganisme berubah, maka organisme
yang berpotensipatogen, yang merupakan bagian flora normal, misalnya
C. albicans pada kasus infeksimonolia serta G. vaginalis dan bakteri anaerob
pada kasus vaginitis non spesifik berproliferasi sampai suatu konsentrasi
yang berhubungan dengan gejala. Pada mekanismelainnya, organisme
ditularkan melalui hubungan seksual dan bukan merupakan bagian
floranormal seperti Trichomonas vaginalis dan Nisseria gonorrhoea dapat
menimbulkan gejala .Gejala yang timbul bila hospes meningkatkan respon
peradangan terhadap organisme yangmenginfeksi dengan menarik leukosit
serta melepaskan prostaglandin dan komponen responperadangan
lainnya.Gejala ketidaknyamanan dan pruritus vagina berasal dari respon
peradanganvagina lokal terhadap infeksi T. vaginalis atau C. albicans.
Organisme tertentu yang menarikleukosit, termasuk T. vaginalis,
menghasilkan secret purulen. Diantara wanita denganvaginitis non spesifik.
Baunya disebabkan oleh terdapatnya amina dibentuk sebagai
hasilmetabolisme bakteri anaerob. Histamin dapat menimbulkan
ketidaknyamanan oleh efekvasodilatasi local. Produk lainnya dapat merusak
sel-sel epitel dengan cara sama denganinfeksi lainnya.

Manifestasi klinis6
Vaginitis :
1) leukorea yang kadangkadang berbau (anyir).
2) Perasaan panas/ pedih pada vagina.
3) Perasaan gatal pada vulva.
Menurut Sinklair & Webb (1992), tanda dan gejala vaginitis6,7 :
Akut
1. Pruritus.
2. Panas.
3. Eritema.
4. Edema..
5. Perdarahan.
6. Nyeri (mungkin sangat, menyebabkan tidak mampu berjalan, duduk
dan retensi urine).
7. Ulserasi dan vesikel.
Kronik
1. Inflamasi hebat dengan edema minimal.
2. Pruritus hebat ekskoriasi infeksi sekunder.
3. Daerah yang terserang : monpubis, perineum, paha yang berdekatan,
anus, sekitarpaha.
4. Lesi ulseratif disebabkan : granuloma, karsinoma, melanoma.
5. Hasil akhir mungkin berupa ekstruksi vulva

Pencegahan
Kebersihan yang baik dapat mencegah beberapa jenis vaginitis dari berulang
dandapat meredakan beberapa gejala:
1. Hindari bathtub dan pusaran air panas spa. Bilas sabun dari luar
daerah genital Andasetelah mandi, dan keringkan area itu dengan baik
untuk mencegah iritasi. Jangangunakan sabun wangi atau kasar,
seperti yang dengan deodoran atau antibakteri.
2. Hindari iritasi. Ini termasuk tampon dan bantalan berparfum.
3. Usap dari depan ke belakang setelah menggunakan toilet. Hindari
penyebaran bakteridari tinja ke vagina.Hal-hal lain yang dapat
membantu mencegah vaginitis meliputi:
 Jangan gunakan douche. Vagina anda tidak memerlukan
pembersihan lain dari mandi biasa. Berulang menggunakan douche
mengganggu organisme normal yang berada divagina dan dapat
benar-benar meningkatkan risiko infeksi vagina. Douche tidak
menghilangkan sebuah infeksi vagina.
 Gunakan kondom lateks laki-laki. Ini membantu mencegah infeksi
yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Penegakan Diagnosa.
Keluhan Utama:
 Nyeri
 Luka
 Perubahan fungsi seksual
Riwayat Penyakit.
 menderita infeksi alat kelamin.
 Dahulu Riwayat keluarga mempunyai penyakit serupa, gangguan
reproduksi
Pemeriksaan fisika. Pemeriksaan Bagian Luar6,7:
Inspeksi
Rambut pubis, distribusi, bandingkan sesuai usia perkembangan.Kulit dan ar
ea pubis, adakah lesi, eritema, visura, leokoplakia dan eksoria.Labia mayora
, minora, klitoris, meatus uretra terhadap pemebengkakan ulkus,keluaran
dan nodul.

Pemeriksaan Bagian Dalam


Inspeksi Serviks: ukuran, laserasi, erosi, nodula, massa, keluaran
dan warnanya

Palpasi6:
Raba dinding vagina: Nyeri tekan dan nodula,· Serviks: posisi, ukuran, kons
istensi, regularitas, mobilitas dan nyeri tekan· Uterus: ukuran, bentuk, konsi
stensi dan mobilitas· Ovarium: ukuran, mobilitas, bentuk, konsistensi dan n
yeri tekan

Tatalaksana6 :

Gambar 1.7 Tatalaksana Vaginitis6

 Servitis

Servisitis adalah infeksi pada serviks uteri. Infeksi serviks sering


terjadi karena luka kecil bekas persalinan yang tidak dirawat dan infeksi
karena hubungan seksual. Servisitis adalah infeksi pada mulut rahim.
Servisitis yang akut sering di jumpai pada infeksi hubungan seksual
sedangkan yang bersifat menahun di jumpai pada sebagian besar wanita
yang pernah melahirkan. Servisitis adalah radang dari selaput lender
canalis cervixalis.7

Jenis-jenis :
1. Servisitis spesifik
Servisitis spesifik merupakan radang pada serviks yang di sebabkan
oleh kuman yang tergolong penyakit akibat hubungan seksual,
beberapa kuman pathogen tersebut antara lain, Chlamydia
trachomatis, Ureaplasma urealytikum, Trichomonas vaginalis,
Spesies Candida, Neisseria gonorrhoeae, herpes 14 simpleks II
(genitalis), dan salah satu tipe HPV, di antara pathogen tersebut
Clamydia trachomatis adalah yang tersering dan merupakan penyebab
pada hamper 40% kasus servisitis yang di temukan di klinik menular
seksual sehingga jauh lebih sering dari pada gonorrhea. Infeksi servik
oleh Herpes perlu di perhatikan karena organism ini dapat di tularkan
pada bayi saat persalinan melalui jalan lahir yang kadang-kadang
menyebabkan infeksi Herpes sistematik serius yang mungkin fatal.7

2. Servisitis non-spesifik Servisitis non-spesifik relative lebih banyak di


jumpai karena kuman yang ringan sering di temukan sampai derajat
tertentu pada hamper setiap multipara. Walaupun juga sering di
ketahui bersamaan dengan beberapa organism termasuk bentuk koli
(coli-form), bakteroides, streptokokus, dan stafilokokus, namun
pathogenesis radang tersebut masih belum di ketahui dengan jelas.
Beberapa pengaruh predisposisi servisitis non-spesifik antara lain :
trauma pada waktu melahirkan, pemakaian alat pada prosedur
ginekologi, hiperestrinisme, hipoestrinisme, sekresi berlebihan
kelenjar endoserfiks, alkalinisasi mucus serviks, eversi congenital
mukosa endoserviks. Servisitis non-spesifik dapat bersifat akut
ataupun kronik, namun sebelumnya perlu di singkirkan kemungkinan
infeksi gonokokus yang menyebabkan bentuk spesifik dari penyakit
akut.7

Etiologi:

Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual, infeksi


menular seksual yang dapat menyebabkan servisitis anatara lain 6,7:
1. Clamydia trachomatis
2. Gonorrhea Gonorrhea
3. Herpes simpleks II (genitalis) Herpes simpleks II ( herpes genitalis)
4. Human Papiloma Virus (HPV-kutil)
5. Trichomoniasis Trichomoniasis
6. Penggunaan kondom wanita
7. Penyangga uterus
8. Alergi spermatisid
9. Paparan terhadap bahan kimia

Patofisiologi

Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman pathogen aerob dan


anaerob, peradangan ini terjadi karena luka bekas 20 persalinan yang tidak di
rawat serta infeksi karena hubungan seksual. Proses peradangan melibatkan
epitel serviks dan stoma yang mendasarinya. Inflamasi serviks ini bisa
menjadi akut atau kronik. Masuknya infeksi dapat terjadi melalui perlukaan
yang menjadi pintu masuk saluran genetalia, yng terjadi pada waktu
persalinan atau tindakan medis yang menimbulkan perlukaan, atau terjadi
karena hubungan seksual. Selama perkembanganya, epitel silindris penghasil
mucus di endoserviks bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi
ektoserviks os eksternal, oleh karena itu keseluruhan serviks yang terpajan
dilapisi oleh epitel gepeng. Epitel silindris tidak tampak dengan mata
telanjang atau secara koloposkopis. Seiring dengan waktu, pada sebagian
besar wanita terjadi pertumbuhan ke bawah, epitel silindris mengalami
ektropion, sehingga tautan skuamokolumnar menjadi terletak dibawah
eksoserviks dan mungkin epitel yang terpajan ini mengalami “Erosi”
meskipun pada kenyataannya hal ini bias terjadi secara normal pada wanita
dewasa. Remodeling ini bisa terus berlanjut dengan regenerasi epitel gepeng
dan silindirs sehingga membentuk zona transformasi. Pertumbuhan
berlebihan epitel gepeng sering menyumbat orifisium kelenjar endoserviks di
zona transformasi dan menyebabkan terbentuknya kista nabothian kecil yang
dilapisi epitel silindirs penghasil mucus. Di zona transformasi mungkin
terjadi infiltrasi akibat peradangan banal ringan yang mungkin terjadi akibat
perubahan pH vagina atau adanya mikroflora vagina.6,7

Manifestasi Klinis7

1. Keluarnya bercak darah/ perdarahan, perdarahan pascakoitus.


2. Leukorea (keputihan)
3. Serviks kemerahan.(pemeriksaan lebih lanjut)
4. Sakit pinggang bagian sacral.
5. Nyeri abdomen bawah.
6. Gatal pada area kemaluan.
7. Sering terjadi pada usia muda dan seseorang yang aktif dalam
berhubungan seksual.
8. Gangguan perkemihan (disuria) dan gangguan menstruasi.
9. Pada servisitis kronik biasanya akan terjadi erosi, suatu keadaan yang
ditandai oleh hilangnya lapisan superficial epitel skuamosa dan
pertumbuhan berlebihan jaringan endoserviks.

Diagnosis

Servisitis dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, yaitu7:

a. Pemeriksaan dengan speculum

1) Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat keputihan yang


purulen keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio normal tidak ada
ektropion, maka harus diingat kemungkinan gonorroe.

2) Sering menimbulkan erusio (Erythroplaki) pada portio yang tampak seperti


daerah merah menyala.

3) Pada servisitis kronik kadang dapat dilihat bintik putih dalam daerah
selaput lender yang merah karena infeksi. Bintik-bintik ini disebabkan oleh
ovulonobothi dan akibat retensi kelenjar-kelenjar serviks karena saluran
keluarga tertutup oleh pengisutan dari luka serviks atau kerena peradangan.
b. Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan.
c. Pap smear

d. Biakan clamydia

e. Biopsy

Tatalaksana7:

Pemberian antibiotik terutama bila ditemukan gonococcus dalam


secret. Servisitis non-spesifik dapat diobati dengan rendaman dalam Albothyl
dan irigasi, namun jika servisitis tidak segera sembuh dilakukan tindakan
opertif dengan melakukan konisasi,dan jika sebabnya ektropion dapat
dilakukan amputasi.E rosion dapat disembuhkan dengan obat keras seperti
Albothyl yang menyebabkan nekrosis epitel silindris dengan harapan bahwa
kemudian diganti dengan epitel gepeng berlapis banyak, namun jika radang
sudah 24 menjadi servisitis kronik pengobatanya lebih baik dilakukan dengan
jalan kauterisasi-radial dengan termokauter atau dengan krioterpi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sarah J, Buckley. Executive Summary of Hormonal
Physiologi of Childbearing: Evidence and Implication for
Women Babies and Maternity Care. Volume 24, Number
3. The Journal of Perinatal Education. 2015.
2. Cunningham F G et all. Obstetry Williams. Ed 23. Volume
1. Jakarta. EGC. 2018.
3. Benson RC dan Pernoll ML. Buku Saku Obstetri dan
Ginekologi Edisi 9. Jakarta: EGC;2009
4. Oxorn, Harry, William R. Forte. Ilmu Kebidanan: Patologi
& Fisiologi Persalinan. Jakarta: Yayasan Essentia
Medica;2010
5. Prawirohardjo, Sarwono.Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2014
6. Manuaba, Ida Bagus. (2001). Ilmu kebidanan, penyakit
kandungan, dan keluarga berencana untuk
7. pendidikan bidan. Jakarta : EGC.Padjadjaran, Universitas.
(1981). Ginekologi. Bandung : Elstar Offset

Anda mungkin juga menyukai