Anda di halaman 1dari 6

The Dark Age di Eropa

The Dark Age (400 M-1400 M) merupakan masa di mana ilmu pengetahuan, kebudayaan, seni,
dan pemikiran manusia terbilang stagnat atau diam dan tidak berkembang. Pemikiran masyarakat
pada masa itu dilandasi oleh berkembangnya doktin filsafat idealisme, terutama idealisme
objektif, di mana masyarakat pada saat itu mempercayai sesuatu yang bukanlah materi, di mana
penganut paham ini meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan ciptaan ide
universal suatu materi, di mana materi tersebut sudah ada dari saat manusia dan seluruh alam
semesta ini belum diciptakan. Johann Gottlieb Fichte (1762-1814), merupakan seorang filosof
asal Jerman yang juga mengembangkan paham idealisme. Ia berpendapat bahwa “objek”
diciptakan oleh “subjek”. Tidaklah bisa objek tercipta tanpa subjek, karena subjeklah yang
mampu menciptakan objek. Kesatuan subjek dan objek ini disebut kesatuan sintesis. Segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan hasil penciptaan “subjek”, sang Aku yang ada
di luar nalar manusia. Perkembangan paham ini makin kuat di kalangan masyarakat seiring
dengan gencarnya penyebaran doktrin-doktrin agama yang menyebabkan pola piker ini dapat
bertahan lama di masyarakat. Pada abad ke-9 Masehi, Eropa memasuki masa Skolastisisme,
masa di mana munculnya sekolah-sekolah dan para pengajar ulung yang dilandaskaran atas
landasan keagamaan untuk memecahkan suatu permasalahan secara rasional. Pada masa ini,
pendapat Plato (384 SM – 322 SM), seorang filosof Yunani banyak digunakan di masa itu.
Menurut Plato, terdapat substansi yang merupakan zat yang tidak berwujud, yaitu Tuhan. Ia
mempercayai bahwa dunia merupakan hierarki dari seluruh sistem hierarki alam semesta. Hal ini
berimbas kepada kuatnya pengaruh gereja di masyarakat kala itu, di mana gereja dan otoritasnya
dianggap sebagai “Wakil Tuhan” di muka bumi. Sebagai timbal balik, para pemuka agama pun
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pemerintahan, di mana raja pun menjadi berada di
bawah posisi para uskup dan pemuka agama. Inilah asal mula Abad Kegelapan (The Dark Age)
di Eropa.
Reformasi Gereja
a. Asal Mula Reformasi Gereja
Setelah Gereja Katolik memegang kendali dan memiliki pengaruh kuat di Eropa,
terjadi penyimpangan antara ajaran agama dan praktik keagamaan yang
berlangsung di masyarakat. Hal utama yang memicu timbulnya reformasi gereja
adalah penjualan surat indulgensi oleh pihak gereja kepada para bangsawan
sebagai syarat penghapusan dosa yang telah dilakukan. Pada mulanya surat
tersebut dijual kepada para bangsawan yang tidak ikut Perang Salib yang
berlangsung antara abad ke-11 sampai abad ke-13. Lama-kelamaan praktik
penjualan indulgensi ini dijadikan peluang untuk mengumpulkan dana bagi
gereja. Karena indulgensi ini hanya dapat ditebus oleh bangsawan yang memiliki
banyak harta, kebanyakan bangsawan kala itu melupakan makna beramal dan
membantu rakyat yang kesulitan. Mereka semakin tidak memperhatikan kondisi
rakyat dan hanya mengandalkan indulgensi untuk pengampunan dosa. Muncul
pula praktik Simoni, suatu praktik suap yang dilakukan untuk meningkatkan status
keagamaan seseorang di kala itu. Karena semakin berpengaruh posisi seseorang
dalam badan internal gereja, semakin kuat pula pengaruhnya dalam pemerintahan.
Penyimpangan terhadap ritus suci berupa pemujaan terhadap tokoh-tokoh suci
pun turut menjadi pemicu munculnya reformasi gereja. Para pemimpin agama
pada kala itu hidup bertentangan dengan ajaran kitab suci. Akan tetapi, rakyat
tidak dapat membantah dan mengkritik karena anggapan para petinggi agama
merupakan Wakil Tuhan di muka bumi yang tidak dapat ditentang. Masyarakat
pun mulai berpaling dari gereja, akan tetapi mereka tetap terikat dengan gereja
karena anggapan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh di dalam gereja.
Sehingga apabila seseorang tidak terikat dengan gereja, orang tersebut akan
binasa.
Reformasi gereja sendiri muncul sebagai respons lahirnya Renaissance di Eropa,
menuju pemikiran modern bangsa Eropa yang menjadi titik balik kemajuan di
Eropa kala itu.
b. Faktor Penyebab
Ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya reformasi gereja di Jerman
sekitar abad ke-15 sampai abad ke-16. Dari aspek agama, terdapat banyak
keluhan dari rakyat terhadap otoritas gereja. Setiap tahun, gereja selalu meminta
upeti dari raja, gereja selalu meminta dana tersendiri bagi pembangunan gereja,
juga gereja selalu meminta upeti kepada para uskup. Pada saat itu, gerej
amemiliki kekayaan yang sangat besar, sedangkan rakyat terbebani dengan
besarnya pajak yang setiap tahun harus dibayarkan kepada pihak gereja. Hal yang
paling menguntungkan dari semua itu adalah penjualan surat indulgensi yang kian
marak di lingkungan masyarakat. Dari segi politik, sentralisasi kekuasaan raja-
raja di Eropa turut mendukung lahirnya reformasi. Rakyat menuntut agar
kekuasaan raja tidaklah turun-temurun. Hal ini muncul akibat teori modern yang
menganggap bahwa raja merupakan kekuasaan yang diberikan langsung oleh
Tuhan. Rakyat kala itu menuntut bahwa raja merupakan kekuasaan yang
diberikan oleh rakyat, karena itu pertanggungjawaban raja adalah kepada rakyat.
Kekuasaan raja yang bersifat mutlak kala itu pun menyulitkan rakyat, seperti di
Perancis. Dari segi sosial dan ekonomi, alasan utama yaitu Jerman masih
merupakan Negara agraris yang jauh tertinggal laju perekonomiannya
dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, pengaruh katolisme yang melekat di
masyarakat konservatif, penjualan surat indulgensi melebihi negara-negara lain di
Eropa, profesi rakyat Jerman yang sebagian besar merupakan petani pun
merupakan masalah karena beratnya pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat.
Akan tetapi, factor yang paling mendasari reformasi gereja di Jerman adalah
proses transisi masyarakat feudal menuju masyarakat kapitalis. Dari hal ini,
muncullah pelopor reformasi gereja, Martin Luther (1483-1546). Ia merupakan
seorang professor teologi, komponis, imam, dan rahib berkebangsaan Jerman.

Penyimpangan yang terjadi kala itu menurut Martin Luther (Suhelmi, 2001, hlm
149-156; McDonald, 1968, hlm 220, 233) antara lain sebagai berikut.
1. Komersialisasi jabatan gereja dalam starata sosial.
2. Penjualan surat indulgensi.
3. Doktrin sakramen suci gereja. Menurut Martin Luther, yang harus
dipertahankan adalah pembaptisan dan komuni, sesuai yang tercantum dalam
kitab suci. sakramen gereja lainnya, yaitupernikahan, perintah suci, dan
pemberian minyak suci tidaklah dianggap sebagai sakramen pentahbisan
(McDonald, 1968, hlm 233). Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa
manusia sama di hadapan Tuhan. Apabila manusia ingin mengakui dosa dan
bertpbat kepada Tuhan, maka hal itu haruslah hubungan antara masing-masing
individu kepada Tuhan, bukan melalui pastor yang dianggap sebagai mediator
antara manusia dan Tuhan. Hal ini sontak menimbulkan desakralisasi tubuh
gereja. System hierarki gereja yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
menyebutkan bahwa kitab suci hanya bisa ditafsirkan oleh gereja dan tidak
boleh ditafsirkan oleh masyarakat pada umumnya. Luther pun mendapat
gagasan yang akhirnya ia wujudkan, yaitu menerjemahkan kitab suci ke dalam
bahasa Jerman agar dapat dimengerti oleh seluruh kalangan masyarakat.
4. Martin Luther menganjurkan perkawinan bagi kalangan pastor dan pemuka
agama. Menurutnya, pernikahan adalah hal wajar yang bukan merupakan dosa
serta merupakan kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa banyaknya kasus di masa itu di mana para pastor
memiliki wanita dan anak di luar nikah. Hal inilah yang justru dianggap
sebagai tindakan amoral. Luther memperkenalkan gagasan asketisme duniawi,
yaitu manusia dapat menyucikan diri dan meraih keselamatan dengan cara
terlibat langsung persoalan duniawi, aslakan dengan tujuan sesuai yang
dikehendaki Tuhan. Luther pun menolak sebagian besar prosesi misa yang
dianggapnya tidak sesuai dengan perintah agama dan kitab suci, seperti
mencium kaki Paus dan menggotongnya dengan tandu apabila ia masih
mampu untuk berjalan (McDonald, 1968, hlm 230).
5. Pekembangan kapitalisme di wilayah Eropa sejak masa Renaissance
mendukung timbulnya reformasi.
6. Penarikan pajak di luar batas yang memeras rakyat.
7. Kasus-kasus amoral yang dilakukan oleh pemuka agama. Misalkan, Paus Leo
X menerima $ 5.250.000 dari hasil ritual keagamaan dan Paus Alexander VII
yang memiliki 8 anak hasil hubungan di luar nikah.
8. Tentangan terhadap hak istimewa pastur sebagai satu-satunya yang dapat
membaca dan menafsirkan kitab suci.
9. Cara hidup monastisisme yang mengharuskan pastor hidup sebagai biarawan
dam menjalani kehidupan asketis.
Martin Luther menyebutkan pilar dasar iman yang harus diyakini, yaitu sebagai
berikut.
1. Sola Gratia (Hanya Anugerah), keselamatan adalah dari Tuhan dan bukan
merupakan pemberian manusia. Manusia sama sekali tidak berdaya atas
keselamatan dirinya. Sehebat apapun manusia berbuat baik, pada dasarnya
manusia akan sadar bahwa manusia melihat lebih banyak dosa. Oleh karena
itu, keselamatan adalah anugerah Tuhan. “Sebab karena kasih karunia kamu
diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Efesus
2:8-9)
2. Sola Scriptura (Hanya Alkitab), kebenaran tertinggi adalah dari Alkitab.
Melalui pilar ini, bukan berarti seseorang tidak boleh mempercayai hal-hal
yang berada di luar konteks Alkitab, akan tetapi konsekuensinya adalah hal
tersebut harus dibuktikan dengan Alkitab. “Segala tulisan yang diilhamkan
Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2
Tim 3:16-17)
3. Sola Fide (Hanya Iman), maksudnya keselamatan hanyalah bisa diperoleh
dengan iman. Manusia tidak akan bisa selamat tanpa iman, oleh karena itu
iman sangat penting. “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1
Korintus 13:13)
Pada tahun 1516, Johann Tezel seorang Ordo Dominikan diutus ke Jerman untuk
menjual surat indulgensi secara penuh (penghapusan dosa sepenuhnya). Pada 31
Oktober 1517, Luther menulis surat kepada uskupnya, Albrecht von Brandenburg.
Isinya adalah ia menentang penjualan surat indulgensi yang dianggapnya
merupakan kewenangan sepihak Paus yang telah menyalahgunakan ajaran agama.
Suratnya ini kemudian dikenal dengan 95 Tesis atau 95 Dalil Luther.
Luther menentang perkataan Tezel yang berkata, “Begitu denting koin dalam peti
keluar, begitu pun jiwa dari dalam purgatorium”. Ia berpendapat bahwa
keselamatan adalah anugerah yang hanya bisa diberikan oleh Allah, bukan oleh
Paus, karena Paus pun adalah manusia biasa.
Menurut laporan, Luther memakukan 95 Tesis ini di pintu masuk Schlosskirche
pada 31 Oktober 1517. Pada 1518, para sahabat Luther menerjemahkan 95 Tesis
ini dari bahasa Latin ke dalam Bahasa Jerman. Terjemahan dalil ini menyebarluas
ke penjuru Jerman hanya dalam waktu 2 minggu. Paus menganggap Martin
Luther sebagai seorang pengkhianat dan penyebar ajaran sesat, ia diperintahkan
oleh Paus untuk menarik kmebali perkataan dan ajaran yang ia sebarkan. Luther
mengirim surat kepada Paus menjelaskan maksud dari dalil-dalilnya. Akan tetapi,
Paus memerintahkannya untuk menghadap para hakim di Roma dalam waktu 60
hari. Hal ini berarti ia akan dibunuh.
Keadaan politik Jerman membantu Luther saat itu. Karena Jerman pada masa itu
merupakan negara kekaisaran, yang akan tetapi kekuasaannya sangat terbatas.
Pada dasarnya Jerman terdiri dari ratusan wilayah byang merupakan negara
merdeka. Termasuk Sachsen, tempat tinggal Luther kala itu. Sang Raja, Friedrich
III dari Sachsen (1463-1525) merupakan pembela Martin Luther dan ajarannya.
Meskipun ia merupakan penganut agama Katolik Roma seumur hidupnya, akan
tetapi dia tidak mau menyerahkan Luther kepada pihak Paus dan terus
melindunginya.
Oleh sebab itu Luther diperiksa di Jerman, meskipun di luar wilayah Saksen, oleh
Kardinal Cajetanus (1518). Setelah dua tahun kemudian Luther dihukum secara
resmi. Luther sontak mendapat dukungan rakyat. Seiring meluasnya pengaruh
Luther di masyarakat, ia sadar bahwa pengaruhnya itu tidak hanya mengubah satu
atau dua pola piker masyarakat, akan tetapi mengubah keseluruhan pandangan
masyarakat saat itu.
Pada tahun 1520, Paus bertindak terus untuk melawan Luther beserta
pengikutnya. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat. Kala itu, ia sudah mendapat
cukup waktu yang ia butuhkan untuk menyebarkan pandangannya kepada
masyarakat. Ia menyatakan Paus sebagai Anti Kristus dan bahwa gereja adalah
perampok yang ingkar hokum, tempat yang paling tidak tahu malu dari semua
tempat pelacuran.saat ia menerima dekrit Paus yang mengucilkannya, ia
membakar dekrit itu.
Perry, Marvin. (2012). PERADABAN BARAT: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman
Pencerahan. Bantul: Kreasi Wacana.
Sundoro, Mohammad Hadi. (2007). Dari Renaisans Sampai Imperialisme
Modern “Sejarah Peradaban Barat abad Modern”. Jember: Jember University
Press.
Van den End, Thomas. (2001). Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas.
Jakarta: Gunung Mulia.
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan
Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Joko, Muhammad. (2015). FILUSUF PLATO DAN ARISTOTELES: Pemikiran
dan Karya. (Online). Tersedia:
https://www.academia.edu/34923007/FILUSUF_PLATO_DAN_ARISTOTELES
_Pemikiran_dan_karya. [2 Maret 2019]
Syauban, Gito Ahmad, dkk. (2015). Aliran-Aliran dalam Filsafat. (Online).
Tersedia: https://www.academia.edu/17274547/Aliran_-_aliran_dalam_filsafat. [2
Maret 2019].
Van den End, Thomas. (2004). “Permulaan Perbaruan Gereja (Reformasi)”.e-
Reformed 2004. Vol 55 hal 71-78. Tersedia:
http://download.sabda.org/publikasi/pdf/e-reformed/e-reformed_2004.pdf.

Anda mungkin juga menyukai