Pendahuluan
Pemahaman yang baik tentang anatomi pangkal aorta, pangkal arteri koronaria dan
arteri koronaria secara keseluruhan sangat penting untuk suksesnya prosedur diagnostik dan
intervensi arteri koronaria.
Trivellato dkk merumuskan kriteria minimal untuk mengatakan bahwa seseorang
memiliki arteri koronaria yang normal, yaitu:
1. Terdapat 2 pangkal arteri koronaria
2. Arteri koronaria kanan (right coronary artery – RCA) berjalan melalui sulkus
atrioventrikularis kanan
3. Arteri koronaria kiri (left coronary artery – LCA) berjalan di belakang arteri
pulmonalis sebagai arteri koronaria utama kiri (left main coronary artery [LMCA])
yang kemudian terbagi 2 menjadi arteri desenden anterior kiri (left anterior
descending artery [LAD]) yang berjalan melalui sulkus interventrikularis anterior dan
arteri sirkumfleks kiri (left circumflex artery [LCx]) yang berjalan melalui sulkus
atrioventrikularis kiri
4. Arteri desenden posterior (Posterior descending artery [PDA]) berasal dari RCA atau
LCx dan berjalan melalui sulkus interventrikularis posterior
5. Cabang utama arteri koronaria berjalan di permukaan jantung (epikardial)
6. Arteri koronaria berakhir di kapiler (intramuskular)
Meskipun demikian masih terdapat beberapa variasi arteri koronaria yang tergolong normal
dan tidak merupakan anomali selama masih berpegang pada kriteria di atas.
A B
C D
Gambar 2. Sistim vaskularisasi arteri koronaria; A) Arteri posterolateral dan posterior desenden berasal dari
arteri koronaria kanan yang menunjukkan sistem vaskularisasi kanan dominan; B) Arteri posterolateral dan
posterior desenden berasal dari arteri sirkumfleks kiri yang menunjukkan sistem vaskularisasi kiri dominan; C)
dan D) Arteri posterior desenden berasal dari arteri koronaria kanan, sedangkan arteri posterior desenden berasal
dari arteri sirkumfleks kiri yang menunjukkan sistem vaskularisasi ko-dominan
RPL, Right Posterolateral; RPD, Right Posterior Descending; LPL, Left Posterolateral; LPD, Left Posterior
Descending; OM, Obtuse Marginal; RAM, Right Acute Marginalis; RV, Right Ventricular; LAD, Left Anterior
Descending
Gambar 7. Lokasi ostium arteri koronaria. A) dan B) Lokasi ostium di bawah sinotubular junction (anak panah);
C) dan D) Lokasi ostium tepat di sinotubular junction (anak panah); E) Lokasi ostium di atas sinotubular
junction; E) Ostium berbentuk seperti elips.
Dengan mengetahui variasi lokasi dan bentuk ostium arteri koronaria, kesulitan yang
terjadi pada saat kateterisasi diagnostik maupun intervensi dapat diatasi maupun diantisipasi
dengan pemilihan jenis kateter yang sesuai dan teknik kanulasi yang tepat.
Kepustakaan
Arteri koronaria yang melawati crux jantung dan memberikan percabangan ke PDA
dianggap sebagai arteri koronaria yang dominan. Pada hampir 85% individu, RCA melewati
posterior interventricular groove dan memberikan cabang ke PDA (dominan kanan); pada 7-
8% individu, arteri LCX melewati interventricular groove dan memberikan cabang ke
permukaan ventrikel kanan bagian posterior (dominan kiri); dan sisanya (7-8% individu),
septum interventricular bagian inferior diperdarahi oleh bagian distal RCA dan bagian distal
arteri LCX.1
RCA berasal dari anterior sinus valsava kanan dan terletak sedikit inferior dari ostium
LMCA. RCA kemudian melewati bagian kanan dan posterior arteri pulmonalis dan kemudian
berjalan ke arah bawah pada atrioventricular groove bagian kanan menuju ke
interventricular groove bagian posterior. Pada lebih dari 50% individu, cabang pertama dari
RCA adalah arteri konus, kecuali apabila terdapat anomali di mana arteri konus memiliki
ostium langsung dari sinus valsava.2,6
Cabang ke-2 umumnya terdiri dari arteri nodus sinoatrial (Sinoatrial node [SAN]) dan
beberapa cabang anterior yang memperdarahi dinding bebas ventrikel kanan. Percabangan ke
ventrikel kanan pada perbatasan antara RCA tengah dan distal disebut sebagai cabang
marginal akut (acute marginal branch/AM). RCA bagian distal kemudian terbagi menjadi
cabang PDA dan cabang ventrikel kiri posterior (posterior left ventricle branches/PLV) pada
anatomi koronaria dominan kanan.1,2,6
LMCA muncul dari posterior sinus koronaria kiri, dengan panjang 5-10 mm, dan
tidak bervariasi pada ukuran diameternya. LMCA melewati bagian kiri dan posterior trunkus
pulmonalis dan kemudian terbagi menjadi 2 cabang menjadi LAD dan LCX. Seringkali
LMCA terpecah menjadi 3 cabang, yaitu LAD, LCX, dan ramus intermedius (IM). Ramus
IM memiliki jalur mirip dengan cabang diagonal 1 yang merupakan cabang LAD yang
menuju ventrikel kiri. LAD akan melewati bagian kiri trunkus pulmonalis dan memutar ke
anterior dann melewati interventricular groove melewati apeks kordis. Arteri ini memberikan
percabangan diagonal untuk memperdarahi dinding bebas ventrikel kiri dan cabang septum
(septal branch) untuk memperdarahi anterior septum interventrikular. Arteri LCX memiliki
jalur yang melalui atrioventrikular groove kiri dan memberikan percangan obtuse marginal
(OM) untuk memperdarahi bagian lateral ventrikel kiri. Pada anatomi dominan kiri atau ko-
dominan, arteri LCX akan membeikan percabangan ke PDA atau PLV.1,2,3
Variasi arteri koronaria digambarkan melalui distribusi regional dari arteri koroner,
denominasi aktual dan asal arteri koronaria tersebut. Di dalam mendefinisikan variasi yang
abnormal, beberapa komponen penting arteri koronaria harus diperhitungkan. Variasi
kuantitatif (seperti jumlah ostium) ataupun variasi kualitatif (seperti ostium yang sangat kecil,
sudut ostium dan segmen proksimal yang sangat tajam, membran obstruktif dan tidak
ditemukannya salah satu arteri koronaria) digunakan untuk menggambarkan variasi arteri
koronaria. Kriteria empiris juga dapat digunakan untuk menggambarkan anomali, yaitu
“observasi yang ditemukan pada kurang dari 1% populasi atau yang termasuk dalam 2
strandard deviasi dari kurva distribusi Gaussian” didefinisikan sebagai abnormal.5
Definisi anomali juga sulit dilakukan dengan hanya memperhitungkan kompenen
makrosirkulasi (pembuluh darah subepikardial dan percabangannya) tanpa memperhitungkan
komponen mikrosirkulasi yang lebih memiliki peran secara langsung. Seringkali ditemukan
adanya lumen arteri koronaria dan skintigram miokardium yang normal melalui pemeriksaan
diagnostik, namun memiliki perfusi yang terganggu (seperti sindroma X). Data yang ada juga
tidak menunjukkan hubungan antara jumlah segmen yang stenosis dan keparahan penyakit
jantung iskemia dan tidak ada pula korelasi dengan lokasi, ukuran dan keparahan infark
miokard. Dengan demikian, terdapat hubungan kompleks yang belum mampu untuk
dimengerti seluruhnya.1,4,7
Gambar 4. Ostium Multipel LAD dan LCX pada Sinus Valsava Kiri5
Ostium yang terpisah dari LCA dan arteri LCX jarang terjadi (0,41%). Meskipun
ostium multipel akan menyebabkan kesulitan teknis dilakukannya angiografi, namun anomali
ini memiliki keuntungan dengan adanya kesempatan yang lebih besar untuk timbulnya
kolateral pada kasus penyakit jantung koroner yang mengenai bagian proksimal arteri
koronaria.4,5
Meskipun arteri koronaria tunggal tidak memiliki masalah dengan angka harapan
hidup yang normal, pasien memiliki risiko untuk kematian mendadak jika cabang utama
arteri koronaria melwati jalur interarterial. Sebagai tambahan, stenosis segmen proksimal
arteri koronaria tunggal dapat berakibat fatal jika tidak terdapat kemampuan untuk membuat
kolateral.2,4,5
Atresia Kongenital LMCA (Congenital Atresia of the left main coronary artery/CALM)
Tipe ini berbeda dengan arteri koronaria tunggal, dimana RCA memperdarahi seluruh
bagian jantung, tetapi aliran darah dari LAD dan LCX tidak sentrifugal, melainkan
sentripetal. Ostium LMCA tidak ada dan bagian proksimal LMCA berakhir buntu.
Anastomosis yang diketahui antara sistem kanan dan kiri dapat timbul. LAD dan LCX berada
pada posisi normal. Konsekuensi klinis dari anomali ini bergantung pada lesi superimposed
(seperti aterosklerosis). Ditemukan pula hubungan dengan stenosis aorta supravalvular pada
sindrom William.4,5,9,10
Anomali Asal Arteri Koronaria dari Arteri Pulmonalis (anomalous origin of the
coronary artery from the Pulmonary Artery/ALCAPA).
ALCAPA adalah salah satu anomali arteri koronaria kongenital yang sangat serius.
Prevalensi anomali ini dipekirakan 1 dibandingkan 300.000 kelahiran hidup. Sebagian besar
pasien akan menimbulkan gejala pada masa infancy dan early childhood. Hampir 90% dari
infant yang tidak mendapatkan perawatan akan mati pada tahun pertama kehidupan, dan
hanya sebagian kecil pasien akan bertahan sampai dewasa. Pada kebanyakan kasus anomali
ini, LCA berasal dari arteri pulmonalis dan RCA berasal dari aorta, yang dikenal sebagai
sindroma Bland-White-Garland (gambar 8).5,11,12
Selama periode neonatus, resistensi vaskular paru sangat tinggi dan tekanan arteri
pulmonalis menyebabkan aliran darah antegrade dari PA ke arteri koroner anomali. Ketika
tekanan pulmonal ini menurun seiring dengan pertambahan usia, aliran darah akan berbalik
dengan resultan pirau kiri ke kanan. Pada keadaan ini, terjadi keadaan coronary steal
syndrome, dimana perfusi miokardium akan berkurang karena darah akan memintas menuju
ke trunkus pulmonalis. Kecepatan timbulnya pirau kiri ke kanan ini akan mengelompokkan
pasien ke dalam 2 kategori, yaitu tipe infantil dan tipe dewasa.5,11
Tipe infantil memiliki sedikit atau tidak ada kolateral dan iskemia miokard akan
timbul secara cepat dengan tanda disfungsi miokardium iskemik akan muncul. Infant akan
muncul dengan keluhan sulit menyusui yang mungkin disebabkan oleh angina, takipnea,
takikardia, dan gejala gagal jantung akut. Temuan klinis demikian sulit untuk dibedakan dari
diagnosa lainnya, seperti kardiomiopati atau endokardium fibroelastosis. Tanda dari
elektrokardiogram akan menunjukkan tanda-tanda infark anterolateral, dapat bersamaan
dengan hipertrofi ventrikel kiri. Enzim miokardium dapat meningkat. Kardiomegali dan tanda
bendungan paru juga dapat ditemukan pada gambaran roentgen thorax. Keputusan untuk
melakukan operasi harus dilakukan secara cepat untuk mencegah kematian atau komplikasi
lainnya.4,5,11,12
Tipe dewasa ditemukan pada 10-15% pasien ALCAPA, dimana pasien dapat bertahan
hidup bergantung pada adanya kolateral yang besar. Presentasi klinis yang mungkin timbul
adalah lemah badan, sesak nafas, palpitasi, angina pektoris yang dapat timbul setelah usia 20
tahun. Sebelumnya pasien dapat asimtomatik dengan hanya meninggalkan gejala murmur
pansistolik pada apeks yang non spesifik sebagai akibat dari mitral regurgitasi. Gambaran
EKG seringkali abnormal, menunjukkan infark lama anterolateral. Kardiomegali juga dapat
ditemukan dengan fraksi ejeksi yang dapat normal namun dapat ditemukan hipokinesia
dinding anterolateral.11
Angiografi koroner biasanya akan membantu konfirmasi diagnosa ALCAPA dan
mendemonstrasikan sirkulasi kolateral antara RCA dan LCA dan fenomena coronary steal ke
arteri pulmonalis. Tata laksana dari ALCAPA mencakup re-kreasi perfusi koronaria 2 jalur.
Pada ALCAPA tipe infantil, baik usaha reimplantasi dari LCA anomali ke dalam aorta atau
kreasi intrapulmonary conduit dari ostium LMCA ke dalam aorta (prosedur Takeuchi) dapat
digunakan. Pada ALCAPA tipe dewasa, ligasi LCA dari arteri pulmonalis, dikombinasikan
dengan CABG dengan menggunakan arteri mamaria interna atau vena safena dapat
dilakukan.4,5,11
Asal Arteri Koronaria atau Cabang dari Sinus valsava yang Berlawanan atau dari
Sinus Non-koronarius dan Jalur yang Abnormal
Asal arteri koronaria abnormal umumnya tidak membahayakan, kecuali apabila asal
LMCA dan RCA berasal dari sinus yang berlawanan apabila melalui jalur interarterial.
Terdapat 4 pola yang telah diketahui dari anomali asal arteri koronarial dari sinus
valsava yang berlawanan atau dari sinus non koronarius, yaitu:4,5,7,9,10
1. RCA berasal dari sinus valsava kiri
2. LMCA berasal dari sinus valsava kanan
3. LCX dan LAD berasal dari sinus valsava kanan
4. LMCA atau RCA (atau cabang dari kedua arteri) berasal dari sinus non koronarius.
Pada anomali ini, ostium sinus valsava dapat berada pada posisi normal (normal takeoff),
atau pada posisi high/low takeoff. Lebih lanjut, arteri koronarius timbul dari sinus valsava
yang berlawanan atau sinus non koronarius dapat mengambil keempat pola jalur anomali,
bergantung pada hubungan anatomis dari pembuluh darah anomali dengan aorta dan arteri
pulmonalis, yaitu:4,5,13,14
1. Interarterial
2. Retroaortik
3. Prepulmonal
4. Septal (subpulmonal)
Gambar 10. Anomali Asal Ostium Arteri Koronaria dan Variasi Jalur Anomali4
Pola jalur demikian akan menentukan konsekuensi klinis yang mungkin terjadi.
Meskipun jalur retroaortik, prepulmonal, dan septal (subpulmonal) merupakan jalur yang
tidak memiliki implikasi klinis yang penting, tetapi jalur interarterial merupakan jalur dengan
risiko tinggi untuk kematian mendadak.13,14
Gambar 11. Jalur Retroaortik LCX dari Sinus Valsava Kanan13,15
RCA yang berasal dari sinus sebelah kiri sebagai arteri yang terpisah atau merupakan
cabang dari arteri koronaria tunggal dapat ditemukan pada 0,03-0,17% pasien. Jalur RCA
anomali yang berasal dari sinus sebelah kiri seringkali melalui jalur ineraterial; varian
tersebut diasosiasikan dengan kematian mendadak sampai lebih dari 30% pasien. Telah
dipostulasikan sebelumnya bahwa dilatasi aorta selama latihan fisik, anomali ostium RCA
yang berbentuk slit pada sinus sebelah kiri menjadi lebih sempit, dan membatasi aliran darah
koroner dan akan menyebabkan infark miokardium.16
LCA yang berasal dari sinus sebelah kanan sebagai pembuluh darah yang terpisah
atau cabang dari arteri koronaria tunggal ditemukan pada 0,09-0,11% pasien yang
menjalankan angiografi. Jalur interarterial terdapat pada hampir 75% pasien dengan anomali
ini, yang merupakan faktor risiko yang tinggi untuk terjadinya kematian mendadak. Hal ini
terjadi karena sudut ostium yang sangat tajam, peregangan segmen intramural, dan kompresi
antara komisura katup aorta kiri dan kanan. Tetapi anomali dari LCA ini dapat pula
mengambil jalur retroaortik, prepulmonal, atau septal (subpulmonal).4,5,18
Baik arteri LCX atau LAD dapat secara tidak normal berasal dari sinus valsava kanan.
Arteri LCX adalah arteri yang seringkali berasal dari ostium yang terpisah di antara sinus
kanan atau sebagai cabang proksimal dari RCA (ditemukan pada 0,32-0,67% populasi).
Beberapa laporan menunjukkan bahwa anomali arteri LCX akan melewati bagian belakang
aortic root. Untungnya anomali ini tidak berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas.
Arteri LAD dapat berasal dari sinus kanan pada tetralogy of Fallot (TOF), double outlet right
ventricle (DORV), dan kompleks transposisi, tetapi jarang ditemukan pada jantung yang
normal. Anomali ini dapat mengambil jalur interarterial atau prepulmonal.5,10,18
Meskipun baik RCA atau LCA dapat berasal dari sinus non koronarius, anomali ini
jarang ditemukan pada jantung yang normal dan seringkali tidak memiliki implikasi klinis.
Anomali ini dapat pula ditemukan pada transposisi arteri besar.10,18
Gambar 13. Myovardial Bridging pada Diastolik (a), dan sistolik (b)
Gambar 15. Fistula dari communicating vessels RCA dan LCA ke Arteri Pulmonalis
Pembedaan harus dibuat pada kasus atresia pulmonal dengan septum ventrikel intak,
dengan right ventricular dependent circulation. Pada kasus tanpa koneksi antara arteri
koronaria proksimal dan aorta (atau dengan stenosis lumen berat atau oklusi), sebagian atau
seluruh sirkulasi koroner bergantung dari perfusi dari RV. Tindakan yang dapat menyumbat
kavitas ventrikel kanan (contoh tromboekslusi, tricuspid oversewing) atau penekanan
terhadap RV (contoh rekonstruksi RVOT) akan menyebabkan eksaserbasi iskemia
miokard.5,7
Pada kasus dengan kontinuitas antara aorta, arteri koronaria, dan ventrikel kanan,
aliran darah bidireksional dapat terjadi. Kebanyakan pasien menderita iskemia oleh karena
fenomena diastolic steal. Menurunkan tekanan RV (dengan penggunaan prostaglandin atau
kreasi pirau sistemik-pulmonal) dapat memperparah fenomena tersebut dan mengeksaserbasi
iskemia.5,21
Pembedaan juga harus dibuat antara sinusoid miokardium dengan koneksi ventrikulo-
arteri koroner. Sinusoid miokardium akan berhubungan pertama kali dengan jalinan kapiler
yang merupakan kelanjutan dari arteri koronaria epikardial. Koneksi ventrikulo-arteri koroner
menggambarkan hubungan langsung. Fistula dapat ditutup dari ruang jantung yang terlibat
atau melalui arteri koroner yang membesar. Pengikatan atau bypass koroner merupakan
teknik lain yang dapat digunakan. Dilatasi aneurisma arteri koroner juga harus diperbaiki.5
Terminasi Ekstrakardiak
Hubungan dapat ditemukan antara arteri koronaria dan pembuluh darah ekstrakardiak
(seperti arteri bronkiale, arteri mamaria interna, perikardium, mediastinum anterior, frenik
superior dan inferior, dan arteri interkostalis dan cabang esofagus dari aorta). Moberg
mendemonstrasikan hubungan antara arteri bronkiale dan arteri koronaria pada semua pasien,
tidak bergantung pada umur dan adanya atherosklerosis. Jalur ini memiliki fungsional yang
penting hanya ketika perbedaan tekanan ada di antara kedua sistem arteri. Kondisi ini
seringkali berhubungan dengan pernyakit aterosklerosis arteri koronaria, yang menyebabkan
aliran darah dari arteri bronkiale ke arteri koronaria.21
Gambar 17. Fistula LCX ke Arteri Bronkiale21
Kesimpulan
Seperti halnya bagian tubuh lainnya yang sering disertai dengan variasi anatomis,
begitupun juga halnya dengan arteri koronaria. Anomali arteri koronaria harus dianggap
sebagai sebagai kelainan kongenital yang terdistribusi secara tidak merata dan dengan
mekanisme patofisiologi yang bervariasi. Transisi dari “variasi” menjadi “anomali” sulit
untuk ditetapkan. Oleh karena itu anomalis harus dipandang dari konteks sistem
kardiovaskular secara keseluruhan.
Kepentingan anomali koroner sendiri sulit untuk didemonstrasikan dan sulit untuk
memperoleh gambaran keseluruhan dari sebuah kasus, dimulai dari gejala dan tanda klinis,
dan berakhir pada pemeriksaan paotologis. Dalam menghadapi tantangan ini, pendekatan
yang dapat dilakukan adalah berusaha menghubungkan kejadian kardiovaskular dalam
kaitannya dengan adanya anomali arteri koronaria dan cara mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi. Anomali koroner mewakili sebuah contoh dilema antara “doing too much”
dan “doing too little”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baim, Donald. 2006. Grossman’s Cardiac Catheterization, Angiography, and
Intervention.Massachusets : Lippincot and Wilkins
2. Bruce FW. 2008. Non Atherosclerotic Coronary Heart Disease ; Hurst’s The Heart.
Edisi 12. New York: McGraw-Hill. Hal. 1277-1310.
3. Jeffrey JP. 2012. Coronary Arteriography ; Braunwald's heart disease : A textbook of
cardiovascular medicine. Edisi 9. Philadelphia: Elsevier Saunders. Hal. 406-432.
4. Paolo A., Jose A., and Scott F. Coronary Anomalies: Incidence, Patophysiology, and
Clinical Relevance. Circulation 2002; 105: 2449-2454.
5. Horia M. Coronary Arterial Anomalies. A Journal of Clinical Medicine 2006; 1(1):
38-48.
6. Pinar K. Anatomic variations and anomalies of the coronary arteries: 64-slice CT
angiography appearance. Diagn Interv Radiol 2009; 15: 275-283
7. Paolo Angelini. Coronary Artery Anomalies: An Entity in Search of an Identity.
Circulation 2007; 115: 1296-1305.
8. Richard L, et al. Aberrant Coronary Artery Origin from the Aorta: Diagnosis and
Clinical Significance. Circulation 1974; 50: 774-9.
9. Welton M. Management of Anomalous Coronary Artery from the Contralateral
Coronary Sinus. Journal of Americal College of Cardiology Vol. 50, No. 21, 2007.
10. Mustafa A and Jeffrey S. Anomalous Coronary Artery from the Opposite Coronary
Sinus in Young Children. Kuwait Medical Journal 2006; 38(4):
11. G.H. Ajami et al. Coronary Artery Origin Anomalies with Especial Emphasis on
Delayed Diagnosis of Anomalous Origin of the Left Coronary Artery from Pulmonary
Artery, A report from South of Iran. Iranian Cardiovascular Research Jounal Vol 3,
No. 1, 2009.
12. Jason T.S. et al. Anomalous Right Coronary Artery from the Pulmonary Artery:
Noninvasive Diagnosis and Serial Evaluation. Journal of Cardiovascular Magnetic
Resonance 2007; 9: 57-61.
13. Cristina B. and Gaetano T. Congenital Coronary Artery Anomalies at Risk of
Myocardial Ischemia and Sudden Death. Bussiness Briefing : European Cardiology
2005.
14. Eldad E et al. Anomalous Coronary Artery with Aortic Origin and Course Between
the Great Arteries: Improved Diagnosis, Anatomic Findings, and Surgical Treatment.
Ann Thorac Surg 2006; 82: 973-7
15. So Yeon K. et al. Coronary Artery Anomalies : Classification and ECG-gated Multi-
Detector Row CT Findings with Angiographic Correlation. RadioGraphics 2006; 26:
317-334.
16. Hung YC and Wei HY. Anomalous Right Coronary Artery Arising from Left
Coronary Sinus in Two Brothers. Aeta Cardiol Sin 2011; 27: 124-7
17. Huseyin S et al. Rare Coronary Artery Anomaly: A Single Coronary Artery Arising
from the Right Sinus of Valsava. Original Image.
18. Koichiro N. Coronary Artery Anomalies and Coronary Artery Disease in Adults with
Congenital Cardiac Disease. Touch Briefing 2007.
19. Adam Bograd. The Intramural Course of Anomalous Coronary Arteries: A High Risk
Characteristic?. GCRC Elective-DDCF
20. Zain K et al. Left Circumflex to Bronchial Artery Fistula. Ann Thorac Surg 2009; 88:
303.
21. Ufuk G. Anomalous Origin of the Right Coronary Artery from the Left Anterior
Descending Coronary Artery in a Patient with Ascending Aortic Aneurysm. Kosuyolu
Kalp Dergisi 2012l 15(1): 42-44.
22. GP Parale and SS Pawar. Adult Type Anomalous Left Coronary Artery from
Pulmonary Artery. JAPL 2006; 54: 397-394.
23. Zamani J and Mahmmody Y. Anomalous Right Coronary Artery Originating from the
Left Main Coronary Artery. Iranian Cardiovascular Research Journal 2009; 3(3): 167-
169.
24. Mustafa A, et al. The Conus Branch Artery from Posterolateral Branch of the Right
Coronary Artery; A Case Report. Kosuyolu Kalp Dergisi 2010; 13(1): 20-21.
3. ANGIOGRAFI KORONER & PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION:
INDIKASI, KONTRAINDIKASI, DAN PROTEKSI TERHADAP RADIASI
Pendahuluan
Dewasa ini, angiografi koroner diagnostik merupakan komponen utama dalam
kateterisasi jantung yang bertujuan untuk me-meriksa keseluruhan cabang pembuluh darah
koroner baik pembuluh darah asli maupun graft bypass.
Pada angiografi koroner, perekaman anatomi koroner mencakup pola distribusi arteri,
anatomi atau patologi fungsional (aterosklerosis, trombosis, diseksi, myocardial bridging,
anomali kongenital, atau spasme koroner fokal), serta adanya hubungan kolateral antara arteri
koroner dengan arteri koroner yang lain atau antar segmen pada arteri koroner yang sama.
Disamping itu, angiografi koroner juga dapat menetapkan atau menyingkirkan adanya
stenosis koroner, penentuan pemilihan terapi serta prognosis. Angiografi koroner merupakan
standar penilaian gangguan anatomi koroner dan juga dipakai untuk follow up prosedur
invasif atau terapi farmakologik.
Dalam melakukan angiografi koroner perlu diperhatikan berbagai hal penting dari
segi keamanan baik pada pasien maupun operator berkaitan dengan fasilitas bangunan dan
peralatan yang tersedia. Indikasi dan kontraindikasi angiografi koroner harus dipahami
dengan jelas, dan analisis manfaat risiko harus menjadi bahan pertimbangan oleh setiap
operator.
Tabel 1. Pre Test Probability (PTP) untuk pasien dengan nyeri dada stabil
Angina Tipikal Angina atipikal Nyeri non-angina
Usia Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
30-39 59 28 29 10 18 5
40-49 69 37 38 14 25 8
50-59 77 47 49 20 34 12
60-69 84 58 59 28 44 17
70-79 89 68 69 37 54 24
>80 93 76 78 47 65 32
Grup dengan kotak putih memiliki PTP <15% dan tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Grup dengan
kotak biru memiliki PTP 15-65%. Dapat dilakukan pemeriksaan uji latih EKG sebagai pemeriksaan pertama.
Akan tetapi, apabila pemeriksaan pencitraan non invasif untuk iskemia memungkinkan, maka lebih dianjurkan
karena kemampuan diagnostik yang lebih superior. Grup dengan kotak merah muda memiliki PTP 66-85% dan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan pencitraan non invasif fungsional untuk menegakkan diagnosis PJK stabil
Grup dengan kotak merah tua memiliki PTP >85% dan dapat diasumsikan bahwa terdapat PJK stabil. Pada grup
ini hanya diperlukan stratifikasi resiko.1
Gambar 1. Strategi diagnosis pasien yang dicurigai PJK stabil. CAD, coronary artery disease; CTA, computed
tomography angiography; CXR, chest X-ray; ECG, electrocardiogram; ICA, invasive coronary angiography;
LVEF, left ventricular ejection fraction; PTP, pre-test probability; SCAD, stable coronary artery disease
a
Dapat diabaikan pada pasien sehat yang sangat muda dengan kecurigaan tinggi penyebab ekstrakardiak dan
pada pasien dengan multimorbiditas di mana hasil pemeriksaan ekokardiografi tidak mempunyai konsekuensi
pada penanganan lebih lanjut dari pasien.
b
Jika diagnosis PJK stabil meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan beban farmakologis untuk
menegakkan diagnosis sebelum terapi.1
Angiografi koroner sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang menolak prosedur
invasif, yang tidak ingin melakukan prosedur revaskularisasi, yang bukan merupakan
kandidat intervensi koroner perkutan atau bedah pintas jantung, atau jika tindakan
revaskularisasi diperkirakan tidak akan meningkatkan status fungsional atau kualitas hidup.1
Penilaian derajat angina harus dilakukan pada setiap pasien PJK yang simtomatik.
Klasifikasi CCS (Canadian Cardiovascular Society) dapat memberikan panduan mengenai
angina yang tipikal dan kemungkinan angina (angina non spesifik). Pasien yang memiliki
gejala yang berat, meskipun dengan pemberian terapi medis, harus dilakukan angiografi
koroner. Pasien yang mengalami perburukan gejala ataupun hasil pemeriksaan non invasif,
meskipun dengan pemberian terapi medis yang optimal, juga merupakan indikasi
dilakukannya angiografi koroner.2
Pada pasien dengan angina stabil yang memberikan respon baik dengan terapi
medikamentosa, stratifikasi resiko harus dilakukan dengan pemeriksaan non invasif. Hasil
pemeriksaan non invasif yang memprediksikan resiko tinggi, sedang dan rendah tertera pada
tabel 2.3
Tabel 5. Revaskularisasi untuk memperbaiki gejala dengan lesi anatomis yang signifikan (lesi
left main >50% atau non-left main >70%) atau kelainan fisiologis yang signifikan (FFR <0.8)
Seting klinis COR LOE
Stenosis signifikan ≥1 yang merupakan kandidat revaskularisasi I-CABG A
dengan angina yang mengganggu meskipun GDMT I-PCI
Stenosis signifikan ≥1dengan angina yang mengganggu di mana IIa-CABG C
GDMT tidak bisa diberikan karena kontraindikasi, efek samping IIa-PCI
obat, maupun pilihan pasien
CABG sebelumnya dengan stenosis signifikan ≥1 yang berhubungan IIa-PCI C
dengan iskemia dan angina yang mengganggu meskipun GDMT IIb-CABG C
3 vessel CAD kompleks (misal skor SYNTAX >22) dengan ataupun IIa-CABG lebih utama dari B
tanpa lesi proksimal LAD dan merupakan kandidat yang baik untuk PCI
CABG IIb-TMR sebagai penunjang B
CABG
Tidak ada kriteria anatomis ataupun fisiologis untuk revaskularisasi III-CABG C
III-PCI
CABG indicates coronary artery bypass graft; CAD, coronary artery disease; COR, class of recommendation;
FFR, fractional flow reserve; GDMT, guideline-directed medical therapy; LOE, level of evidence; N/A, not
applicable; PCI, percutaneous coronary intervention; SYNTAX, Synergy between Percutaneous Coronary
Intervention with TAXUS and Cardiac Surgery; and TMR, transmyocardial laser revascularization. 4
Guideline dari ESC tahun 2011 memberikan rekomendasi tindakan invasif pada
UA/NSTEMI berdasarkan adanya kriteria resiko tinggi (tabel 7) yang tertera pada tabel 8.7
Tabel 7. Kriteria resiko tinggi dengan indikasi untuk tindakan invasif
Primer
Peningkatan atau penurunan troponin yang relevan
Perubahan dinamik segmen ST atau gelombang T (simtomatik ataupun asimtomatik)
Sekunder
Diabeter mellitus
Insufisiensi ginjal (eGFR <60ml/menit/1.73 m2)
Penurunan fungsi ventrikel kiri (EF <40%)
Angina dini post infark
PCI baru-baru ini
Riwayat CABG sebelumnya
Skor GRACE sedang hingga tinggi
CABG, coronary artery bypass graft; eGFR, estimated glomerular filtration rate; GRACE, Global Registry of
Acute Coronary Events; PCI, percutaneous coronary intervention.
Tabel 8. Indikasi revaskularisasi pada pasien UA/NSTEMI berdasarkan ESC
Kondisi klinis COE LOE
Strategi invasif (dalam 72 jam setelah presentasi) diindikasikan pada pasien : I A
Memiliki setidaknya 1 kriteria resiko tinggi (tabel 7)
Gejala yang berulang
Angiografi koroner segera (<2 jam) direkomendasikan pada pasien dengan resiko sangat tinggi I C
(angina refrakter, berkaitan dengan gagal jantung, aritmia ventrikel yang mengancam jiwa, atau
gangguan hemodinamik
Strategi invasif dini (<24 jam) direkomendasikan pada pasien dengan skor GRACE >140 atau I A
memiliki setidaknya 1 kriteria resiko tinggi primer
Pada pasien dengan resiko rendah tanpa gejala yang berulang, dokumentasi iskemia yang I A
terinduksi pada pemeriksaan non invasif sebaiknya dilakukan sebelum memutuskan
dilakukannya evaluasi invasif
Strategi revaskularisasi (PCI pada lesi culprit/PCI mutivessel/CABG) harus berdasarkan status I C
klinis dan juga keparahan dari penyakit; misalnya distribusi dan karakteristik lesi angiografi
(misal: skor SYNTAX), berdasarkan protocol dari tim jantung setempat
Mengingat tidak adanya pertimbangan keamanan khusus mengenai penggunaan DES pada ACS, I A
DES diindikasikan berdasarkan pertimbangan individual dengan mengingat karakteristik dasar,
anatomi koroner dan resiko perdarahan
PCI pada lesi non signifikan tidak dianjurkan III C
Evaluasi invasif rutin pada pasien dengan resiko rendah tidak dianjurkan III A
COR indicates class of recommendation; LOE, level of evidence; UA/NSTEMI, unstable angina/non ST-
elevation myocardial infarction; PCI, percutaneous coronary intervention; CABG, coronary artery bypass
grafting; ACS, acute coronary syndrome; GRACE, Global Registry of Acute Coronary Events; DES, drug
eluting stent
Indikasi Angiografi dan PCI pada STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction)
Pada pasien STEMI dengan PCI primer, kesulitan yang utama adalah untuk
mendapatkan waktu intervensi yang secepat mungkin dan meningkatkan akses pasien
terhadap intervensi ini. Sedangkan pasien STEMI dengan fibrinolisis, tantangan yang utama
adalah untuk menentukan pasien dan waktu yang tepat untuk melakukan angiografi koroner.
Pada pasien yang tidak stabil (gagal jantung berat, syok kardiogenik, aritmia ventrikel yang
mengganggu hemodinamik) yang belum dilakukan PCI primer, maka angiografi koroner
dengan tujuan melakukan PCI harus segera dilakukan. Pada pasien stabil yang diterapi
dengan fibrinolisis dan ada dugaan kegagalan fibrinolisis, angiografi koroner dengan tujuan
melakukan PCI harus segera dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi. Pada pasien stabil
yang mendapatkan terapi fibrinolisis dengan bukti klinis keberhasilan reperfusi, strategi
invasif dini dengan kateterisasi yang dilakukan dalam 24 jam akan menurunkan infark ulang
dan kejadian iskemia berulang. Meskipun demikian, karena adanya peningkatan resiko
perdarahan pada kateterisasi yang dilakukan terlalu dini (<2 hingga 3 jam) setelah
fibrinolisis, maka tindakan kateterisasi dini dengan tujuan melakukan revaskularisasi
sebaiknya ditujukan hanya pada pasien dengan bukti kegagalan fibrinolisis dan kerusakan
miokardium yang signifikan di mana angiografi segera dan revaskularisasi diperkirakan dapat
memberikan hasil yang baik.4,8-9
Secara umum, indikasi untuk angiografi dan PCI pada pasien STEMI sesuai dengan
ACCF/AHA/SCAI Guideline for Percutaneous Coronary Intervention tahun 20114 yang juga
ditunjang oleh ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial
Infarction tahun 20138 dan ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation tahun 20129 tertera pada tabel 9
dan 10.
Tabel 9. Indikasi angiografi pada pasien STEMI
Indikasi COR LOE
Angiografi Koroner Segera
Kandidat PCI primer I A
Gagal jantung berat atau syok kardiogenik (jika merupakan kandidat revaskularisasi) I B
Area miokardium sedang hingga luas mengalami resiko dengan tanda kegagalan fibrinolisis IIa B
Angiografi koroner 3 hingga 24 jam setelah fibrinolisis
Pasien dengan hemodinamik stabil dengan bukti keberhasilan fibrinolisis IIa A
Angiografi koroner sebelum keluar rumah sakit
Pasien stabil IIb C
Angiografi koroner kapan saja
Pasien dengan resiko revaskularisasi melebihi keuntungan atau pasien menolak tindakan III C
invasif
COR indicates class of recommendation; LOE, level of evidence; N/A, not applicable; PCI, percutaneous
coronary intervention; and STEMI, ST-elevation myocardial infarction.
Tabel 12. Indikasi revaskularisasi pada pasien gagal jantung berdasarkan guideline
ACCF/AHA 2013
Indikasi COR LOE
CABG atau PCI diindikasikan pada pasien gagal jantung yang dalam GDMT dengan angina I C
dan anatomi koroner yang sesuai, terutama stenosis yang signifikan pada LM atau ekuivalen
LM
CABG untuk meningkatkan ketahanan hidup dapat dipertimbangkan pada pasien dengan IIa B
disfungsi ventrikel kiri ringan hingga sedang dan PJK multivessel yang signifikan atau stenosis
proksimal LAD, jika terdapat miokardium yang viabel
CABG atau terapi medikamentosa dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan untuk IIa B
memperbaiki morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri berat (EF
<35%), gagal jantung dan memiliki PJK yang signifikan
CABG dapat dipertimbangkan pada pasien PJK, disfungsi ventrikel kiri berat dan anatomi IIb B
koroner yang sesuai untuk dioperasi tanpa melihat apakah terdapat miokardium yang viabel
atau tidak
COR indicates class of recommendation; LOE, level of evidence; CABG, coronary artery bypass graft; LAD,
left anterior descending; PCI, percutaneous coronary intervention; EF, ejection fraction; GDMT, guideline-
directed medical therapy.
Selain itu, terdapat beberapa kontraindikasi relatif untuk tindakan angiografi yaitu:13
Perdarahan gastrointestinal atau anemia
Antikoagulan (atau kelainan hemostasis)
Ketidakseimbangan elektrolit
Infeksi dan demam
Intoksikasi obat (misal: digitalis)
Kehamilan
Kejadian serebrovaskular <1 bulan
Gagal ginjal
Gagal jantung kongestif, tekanan darah tinggi dan aritmia yang tidak terkontrol
Pasien yang tidak kooperatif
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa tidak ada indikasi maupun kontraindikasi “pasti”
pada setiap pasien, karena pada prinsipnya, indikasi dan kontraindikasi harus
dipertimbangkan secara individual pada setiap pasien dengan mempertimbangkan berbagai
faktor, termasuk keadaan klinis pasien, kondisi keluarga, pekerjaan, dan gaya hidup.
Tabel 15. Perkiraan dosis efektif untuk berbagai prosedur dengan menggunakan radiasi
Pemeriksaan Perkiraan dosis efektif (mSv)
X-ray dada 0,1
CT dada (standard) 7,0
CT dada (kardiak) 16
Angiografi koroner diagnostik 7,0
PCI 15,0
Ablasi aritmia radiofrequency 15,0
TIPS 70,0
ERCP 4,0
Tc-99m jantung (uji beban) 11,4
Thallium jantung (uji beban) 16,9
CT, computed tomography; PCI, percutaneous intervention; TIPS, transjugular intrahepatic
portosystemic shunt; ERCP, endoscopic retrograde cholangiopancreatography.
Sedangkan perkiraan dosis efektif untuk operator masih belum terlalu banyak diteliti.
Review dari Kim dkk menunjukkan bahwa dosis efektif untuk tiap prosedur berkisar antara
0,02 hingga 30,2 μSv untuk kateterisasi diagnostik, 0,17 hingga 31,2 μSv untuk PCI, 0,24
hingga 9,6 μSv untuk ablasi dan 0,29 hingga 17,4 μSv untuk implantasi alat pacu jantung
atau defibrilasi intrakardiak.15
Beberapa strategi telah dianjurkan untuk dapat meminimalisasi dosis paparan radiasi
baik pada pasien maupun pada operator. The Society of Cardiovascular Angiography and
Interventions (SCAI) memberikan beberapa prinsip untuk meminimalisasi dosis paparan
radiasi seperti yang tertera pada tabel 16
Tabel 16. Strategi untuk mengurangi paparan radiasi pada pasien dan operator
Pencegahan untuk meminimalisasi paparan pada pasien dan operator
Gunakan radiasi hanya jika pencitraan diperlukan untuk membantu penanganan klinis
Minimalkan penggunaan cine
Minimalkan penggunaan sudut gelombang X-ray yang tajam
Minimalkan penggunaan mode pembesaran
Minimalkan penggunaan frame rate fluoroskopi dan cine
Pertahankan reseptor gambar dekat ke pasien
Gunakan collimation semaksimal mungkin
Monitor dosis radiasi untuk menilai resiko dan keuntungan untuk pasien selama
prosedur
Pencegahan untuk meminimalkan radiasi pada operator
Gunakan bahan pelindung yang sesuai
Maksimalkan jarak antara operator ke sumber gelombang X-ray dan pasien
Pertahankan pelindung di atas dan bahwa meja pada posisi seoptimal mungkin
Jaga semua bagian tubuh jauh dari lapang penglihatan pencitraan
Pencegahan untuk meminimalkan radiasi pada pasien
Pertahankan tinggi meja senyaman mungkin untuk operator
Lakukan sudut pencitraan bervariasi untuk meminimalkan paparan pada salah satu
area kulit
Jaga ekstremitas pasien jauh dari gelombang radiasi
Ringkasan
Angiografi koroner merupakan metode invasif jantung yang paling sering dilakukan
saat ini. Meskipun pemeriksaan ini relatif aman, efek samping kadang-kadang masih
ditemukan dan kadang kala dapat menjadi komplikasi yang serius. Pengetahuan yang baik
mengenai indikasi, kontraindikasi dan metode proteksi terhadap radiasi akan membantu
dalam meminimalkan resiko yang mungkin muncul dan mendapatkan keuntungan klinis yang
maksimal untuk pasien.
Kepustakaan
PENDAHULUAN
Salah satu kunci keberhasilan prosedur angiografi dan intervensi koroner perkutan
adalah mendapatkan akses vaskular yang mudah dan aman dari komplikasi selama maupun
sesudah prosedur. Angiografi koroner pertama kali dilakukan melalui arteriotomi terbuka
arteri brakhialis oleh Sones pada tahun 1959. Prosedur ini dilakukan sampai tahun 1960-an
yang kemudian ditinggalkan oleh karena kompleksitas prosedurnya. Selanjutnya akses
transfemoral lebih disukai untuk akses oleh karena lebih sederhana dan mudah. Sampai saat
ini transfemoral masih merupakan akses yang terbanyak dilakukan.1 Pada tahun 1989, Lucien
Campeau memperkenalkan ulang teknik akses transradial dan sejak saat itu akses transradial
makin popular digunakan untuk akses angiografi koroner bahkan intervensi.2
Di seluruh dunia, angiografi dan intervensi koroner perkutan saat ini masih
didominasi oleh akses transfemoral. Namun, dalam dekade terakhir, akses transradial makin
banyak dilakukan terutama di negara-negara Eropa dan Jepang. Keuntungan dari akses ini
adalah komplikasi vaskular lebih rendah dan mobilisasi pasien lebih dini dibanding akses
transfemoral. Akan tetapi, akses transradial tidak selalu berhasil dilakukan dan akses
transbrakhial merupakan alternatif pada kasus-kasus tersebut.3 Beberapa operator
mengusulkan akses transulnar sebagai alternatif pada kasus tersebut.4
Setiap akses umumnya aman dilakukan dan memiliki keuntungan dan kerugian
tersendiri. Teknik pungsi yang benar dapat menghindari komplikasi tersebut. Berikut akan
dibahas mengenai prosedur, keuntungan, kerugian dan komplikasi lokasi akses vaskular pada
angiografi dan intervensi koroner.
AKSES TRANSFEMORAL
Prosedur
Studi RIVAL (radial versus femoral access for coronary angiography and
intervention in patients with acute coronary syndromes) menunjukkan bahwa baik akses
transradial dan transfemoral sama efektif pada intervensi koroner perkutan namun komplikasi
lokasi akses lebih kecil pada akses transradial.6
Akses transfemoral dilakukan pada arteri femoralis komunis di bawah ligamentum
inguinalis. Di area pulsa femoralis teraba paling kuat (Gambar 2), diberikan anestesi lokal
kemudian dilakukan pungsi dengan teknik single wall dimana hanya dinding depan arteri
yang ditembus. Lokasi ideal untuk pungsi arteri adalah 1 cm lateral dari permukaan medial
kaput femoris di pertengahan batas superior dan inferior (Rupp’s rule). Terdapat beberapa
patokan yang digunakan untuk akses arteri femoralis yaitu: 1) 2-3 cm di bawah pertengahan
lipatan inguinal, 2) 2-3 cm di bawah pertengahan antara spina iliaka anterior superior dan os
pubis, 3) pulsasi teraba paling keras, 4) fluoroskopi untuk visualisasi kaput femoris.7
Komplikasi
Bila pungsi dilakukan di atas ligamentum inguinal, maka insersi kateter akan sulit.
Selain itu, kompresi sulit dilakukan sehingga mudah terbentuk hematoma dan perdarahan
retroperitoneal setelah sheath dikeluarkan. Bila pungsi terlalu distal, maka yang mungkin
tertusuk adalah arteri femoralis superfisial atau profunda, sehingga mudah terbentuk
pseudoaneurisma, fistula arteriovenosa dan oklusi/trombosis oleh karena ukuran
pembuluhnya kecil.9
Komplikasi angiografi secara umum terbagi menjadi minor dan mayor. Komplikasi
minor berupa perdarahan ringan, ekimosis dan hematoma ringan. Komplikasi mayor berupa
pseudoaneurisma, fistula arteriovenosa, hematoma yang membutuhkan transfusi, perdarahan
retroperitonial, diseksi, ruptur arteri, emboli, trombosis, infeksi, dan iskemia anggota gerak.
Komplikasi keseluruhan dilaporkan bervariasi 0-17% pada keseluruhan prosedur. Angka
kejadian komplikasi lokasi akses lebih banyak terjadi pada prosedur intervensi (4%)
dibanding diagnostik (1,8%), yang berhubungan dengan antikoagulan dan ukuran sheath.
Komplikasi lokasi akses yang membutuhkan intervensi bedah atau perdarahan yang
membutuhkan transfusi bervariasi 2,6-6,6%. Hematoma merupakan komplikasi tersering
dengan angka kejadian 12%. Angka kejadian pseudoaneurisma sebesar 0,5-3,6% dan fistula
arteriovenosa sebesar 0,2-2,1%, dan perdarahan retroperitoneal 0,5-1,5%. Komplikasi lain
berupa diseksi dan ruptur pembuluh darah serta infeksi lokasi akses.7,9
AKSES TRANSRADIAL
Prosedur
Idealnya akses transradial dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, usia <
70 tahun, belum pernah akses transbrakhial dan radial ipsilateral sebelumnya, pulsasi arteri
radialis teraba kuat, dan hasil tes Allen normal. Akses transradial sebaiknya dihindari pada
pulsasi arteri radialis yang tidak teraba, hasil tes Allen abnormal, dan penyakit Raynaud.3
Angka keberhasilan akses transradial >90% dengan angka komplikasi mayor terendah
di antara semua akses. Kesulitan terbesar akses transradial terletak pada pungsi arteri dan
hampir selalu menjadi sebab kegagalan prosedur. Hal ini merupakan alasan utama dimana
pengalaman operator sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dan durasi prosedur.
Sebelum tindakan, dilakukan tes Allen (Gambar 3) untuk konfirmasi suplai ganda
oleh a.radialis dan a.ulnaris ke tangan dengan cara kompresi bersamaan arteri radialis dan
arteri ulnaris sampai telapak tangan terlihat pucat kemudian kompresi pada arteri ulnaris
dilepaskan. Hasil tes Allen yang normal (positif) bila reperfusi terjadi kurang dari 7-10 detik.
Cara yang sama diulangi pada arteri radialis (inverse Allen’s test). Selain itu, dilihat bentuk
gelombang dan saturasi oksigen pada pulse oximeter yang dipasang di ibu jari pasien.
Sekarang ini masih diperdebatkan apakah tes Allen esensial dilakukan, dimana sekitar 30%
ahli kardiologi intervensi tidak lagi melakukan tes Allen. 10,11
4. Kemudian kepalan
tangan pasien dibuka,
akan terlihat telapak
tangan menjadi pucat
1. Ukur saturasi pada
jari tangan sebelum
tes dengan oksimetri.
5. kemudian ukur
saturasi
2. Angkat tangan
pasien kemudian
pasien diminta untuk
mengepal tangan
kanan
6. Lepas tekanan
pada arteri radialis
3. Tekan kedua
arteri radialis dan 7. kemudian ukur
ulnaris durasi capillary refill
time(CRT) serta catat
perubahan saturasi
pada alat oksimetri.
8. Pasien diminta untuk mengepal tangan kembali, kemudian tekan kembali arteri radialis.
9. Buka kembali kepalan tangan pasien, pasang oksimetri dan lepaskan tekanan pada arteri ulnaris.
10. Catat durasi CRT serta saturasi pada alat oksimetri
Jarum pungsi arteri yang dipakai bervariasi dengan ukuran 19-21G. Teknik pungsi
ada 2 yaitu single wall dan double wall puncture. Teknik double wall (through and through)
atau teknik kanula vena lebih disukai oleh karena angka keberhasilan lebih tinggi. Posisi
jarum membentuk sudut 450 terhadap permukaan kulit dengan ujung distal jarum mengarah
ke atas. Pungsi harus dilakukan pada dinding depan arteri, tidak boleh dari dinding samping.
Bila sudah terlihat darah, jarum terus dimasukkan sampai menembus dinding belakang
(double wall puncture). Jarum dikeluarkan dan kanula plastik ditarik perlahan sampai keluar
darah arteri yang berpulsasi dan berwarna merah terang (Gambar 5).3,10
`
Gambar 5. Teknik pungsi double wall.4
Komplikasi
Pada akses transradial, komplikasi perdarahan dilaporkan hampir 0%.5,7 Oklusi arteri
radialis merupakan komplikasi tersering dengan angka kejadian yang paling tinggi dilaporkan
sebesar 9% namun biasanya asimtomatik. Oklusi disebabkan oleh trombosis yang dapat
dicegah dengan memakai sheath hidrofilik dengan ukuran lebih kecil.10,13 Komplikasi yang
sangat jarang yaitu abses steril akibat pemakaian sheath hidrofilik.10
AKSES TRANSBRAKHIAL
Prosedur
Arteri brakhialis merupakan salah satu akses alternatif untuk angiografi koroner dan
intervensi, terutama sebelah kanan. Akses transbrakhial atau transfemoral dapat menjadi
alternatif apabila terjadi kegagalan akses transradial dan transulnar ipsilateral atau operator
tidak terbiasa dengan teknik transulnar.2,17 Kegagalan akses bisa disebabkan anomali
kongenital arteri radialis dan arteri ulnaris, kerusakan akibat tindakan kateterisasi
sebelumnya, atau pulsasi lemah akibat spasme atau aterosklerosis berat.18
Disinfeksi dan anestesi lokal subkutan di fossa antekubiti tepat di atas lipatan lengan
dimana pulsasi arteri brakhialis teraba paling kuat. Teknik pungsi yang digunakan adalah
teknik single wall. 2,17,18
Komplikasi
Relatif lebih rendah dibanding akses transfemoral, berupa trombosis, perdarahan,
pseudoaneurisma, diseksi dan ruptur, infeksi (selulitis, flebitis), dan cedera nervus medianus.
2,18
AKSES TRANSULNAR
Prosedur
Arteri ulnaris dapat digunakan untuk kateterisasi dan intervensi. Dibanding arteri
radialis, arteri ulnaris tidak tepat berada di atas tulang sehingga kompresi hemostasis lebih
sulit. Akses transulnar dilakukan pada kasus dimana terdapat kelainan anatomi arteri radialis
(berkelok-kelok, terdapat lengkungan, atau hipoplastik), gagal pungsi arteri radialis, atau
arteri radialis telah berulang kali digunakan sebagai akses.
Anestesi lokal subkutan di area proksimal dan lateral terhadap os pisiform. Lokasi
pungsi pada pulsasi arteri ulnaris teraba paling kuat, sekitar 2-3 cm di bawah lipatan fleksor.
Posisi jarum terhadap permukaan kulit membentuk 45º dengan ujung distal jarum mengarah
ke atas. Teknik pungsi yang digunakan adalah double wall. Pungsi harus dilakukan pada
dinding depan arteri. 3
Komplikasi
Sama dengan akses transradial tetapi risiko cedera saraf besar.8
HEMOSTASIS
Komplikasi angiografi koroner terbilang jarang, namun jika terjadi, yang paling sering
adalah berhubungan dengan hemostasis. Terbentuknya hematoma yang walaupun tidak fatal
tetapi sangat tidak nyaman bagi pasien. Mencapai hemostasis arteri merupakan faktor utama
yang menentukan ambulasi dari rumah sakit. Kompresi manual atau mekanik selama 15-30
menit diikuti tirah baring selama 3-6 jam telah menjadi standar praktis. Beberapa studi
menyatakan ambulasi dapat lebih singkat bila menggunakan ukuran 5 - 6 F. Namun,
kompresi manual dan tirah baring seringkali memberikan ketidaknyamanan terutama untuk
orang tua dan/atau dengan nyeri pinggang.2,19
Untuk memudahkan hemostasis, beberapa perangkat hemostatik (vascular closure
device) telah dikembangkan, pertama kali pada awal1990 dalam upaya untuk mengurangi
waktu untuk hemostasis sehingga memungkinkan ambulasi lebih dini dan meningkatkan
kenyamanan pasien. Secara umum, dapat dikategorikan sebagai perangkat penutupan aktif
(active closure device) seperti penutupan langsung dengan jahitan, klip dan plug kolagen, dan
perangkat penutupan pasif (passive closure device) yaitu klem, perangkat yang membantu
koagulasi dan sealant.19,20
RINGKASAN
Masing-masing akses vaskular memiliki keuntungan dan kerugian beserta komplikasi
yang walaupun jarang tetapi dapat berakibat serius pada pasien. Walaupun akses transfemoral
masih paling banyak dilakukan sekarang ini, akses transradial dikatakan akan menjadi pilihan
utama di masa mendatang.
Pilihan akses vaskular harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang
disesuaikan dengan kasus/pasien. Hemostasis sesudah prosedur sangat penting untuk
diperhatikan oleh karena sebagian besar komplikasi angiografi berhubungan dengan
hemostasis.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Dewasa ini, arteri radialis telah diterima sebagai akses vaskular yang sangat
bermanfaat pada prosedur koroner, baik untuk diagnostik maupun intervensi.1-3 Penggunaan
akses transradial pada prosedur intervensi diawali oleh laporan Lucian Canpeau (1989) yang
melakukan angiografi koroner melalui arteri radialis kiri,4,5 dan selanjutnya oleh Ferdinand
Kiemeneiji (1992) dengan radial percutaneous coronary intervention (PCI) pada arteri
radialis kanan.4,6
Akses transradial telah men-dominasi akses transfemoral di berbagai negara dan
diperkirakan 20% prosedur intervensi telah menggunakan akses transradial. Data dari Eropa
mengemuka-kan persentase penggunaan akses transradial sebesar ~30%, Asia/Australia ~
40%, Amerika Tengah dan Selatan 15%, Amerika Utara 2%, dan Kanada ~ 50%. Negara
dengan persentase tertinggi menggunakan akses transradial (70-80%) yaitu Norwegia,
Malaysia, dan Bulgaria.6
Akses transradial merupakan pilihan utama pada prosedur intervensi dengan alasan
utama keamanannya, antara lain mudah melakukan penekanan pada arteri tersebut, terdapat
jarak dengan vena besar dan saraf, dan adanya pasokan aliran darah arteri ulnaris ke arkus
palmar.6,7 Penggunaan akses transradial pada prosedur diagnostik dan intervensi koroner
membutuhkan ketrampilan teknis khusus bila dibandingkan dengan akses trans-femoral,
tetapi ternyata prosedur ini sangat menurunkan kejadian komplikasi pada daerah akses.1,3,8,9
Studi random maupun observasional terhadap akses lainnya (transfemoral dan transbrankial)
memperlihatkan terdapatnya penurunan bermakna dari perdarahan dan komplikasi vaskular
daerah akses seperti pseudoaneurisma atau fistula arterio-venosa pada akses transradial.
Selain itu, biaya prosedur transradial lebih rendah dibandingkan lainnya. Pasien yang pernah
dilakukan baik tindakan transradial maupun trans-femoral lebih menyukai akses transradial
oleh karena tidak memerlukan tirah baring lama, perlangsungan prosedur yang lebih nyaman,
dan biaya yang lebih rendah.6
Kegagalan prosedur transradial umumnya diakibatkan oleh adanya varian anatomi
arteri radialis,3,10 yaitu berkisar 1-5% kasus,10,11 dan juga pada lanjutan arteri radialis ke
proksimal sampai aorta.1 Sampai saat ini, varian anatomi arteri radialis belum terdata dengan
baik.3,10 Varian arteri radialis yang dideteksi melakui diseksi mayat dilaporkan lebih sering
ditemukan dan lebih bervariasi dibandingkan gambaran radiologik sesuai dengan prosedur
yang dipakai.10 Adanya varian anatomi yang meliputi baik aksis brakial-radial, aksilaris-
subklavia-anonima, maupun arkus aorta dapat menjadi hambatan prosedur transradial.1
Informasi mengenai anatomi arteri radialis sangat membantu keberhasilan prosedur
koroner transradial. Ukuran arteri, adanya percabangan anomali, dan kelokan arteri radialis
dapat memengaruhi keberhasilan prosedur.2,12 Adanya anomali percabangan dan kelokan
arteri radialis tidak jarang ditemukan. Umumnya tindakan yang lebih lama dan kemudian
akhirnya beralih ke arteri yang lain berkaitan dengan adanya kelokan arteri radialis, tetapi
tidak dengan percabangan anomali. Insidens percabangan anomali dan berkeloknya arteri
radialis juga berhubungan dengan usia lanjut.2 Usia >75 tahun, postur tubuh pendek, dan
tindakan bedah pintas jantung sebelumnya merupakan faktor prediksi independen untuk
terjadinya kegagalan prosedur transradial.11
Diagnosis dan penanganan berbagai kendala yang mungkin terjadi pada tahap-tahap
prosedur diagnostik dan intervensi transradial perlu disikapi sejak awal.1 Adanya varian
bukan merupakan pembatasan penggunaan akses transradial, tetapi bila varian tersebut telah
terdokumentasi dengan baik akan sangat mengurangi terjadinya kegagalan prosedur
transradial.10
ANATOMI ARTERI RADIALIS
Arteri radialis berasal dari percabangan arteri brakialis pada bagian inferior fosa
kubiti. Arteri ini berjalan di bagian lateral antebraki ke arah distal dengan menyusur
sepanjang otot sampai mencapai bagian distal lengan bawah. Di daerah ini, arteri tersebut
terletak pada permukaan anterior radius dan ditutupi hanya oleh kulit dan fasia, sehingga
sangat ideal untuk meraba denyut nadi.5,13,14
Perjalanan arteri radialis pada lengan bawah dapat diperlihatkan oleh garis yang
menghubungkan titik tengah fosa kubiti ke suatu titik sebelah medial prosesus stiloideus
radius. Arteri radialis meninggalkan lengan bawah dengan menyusur sepanjang bagian lateral
pergelangan tangan.13 (Gambar 1 dan 2)
Gambar 2. Hasil angiografi yang memper-lihatkan perjalanan arteri radialis, arteri ulnaris,
dan arteri brakialis yang normal. Sumber: Jung.
VARIAN ARTERI RADIALIS
Varian arteri radialis telah diamati pada saat diseksi mayat dan melalui hasil
angiografi. Dalam praktek klinis rutin, varian arteri radialis merupakan alasan utama
terjadinya kegagalan teknis pada tindakan kateterisasi transradial. Di Korea Selatan, dengan
menggunakan retrograde radial artery angiography Joo dkk. mendapatkan percabangan
anomali dari pembuluh arteri ekstremitas atas 3,2%; asal yang lebih tinggi (proksimal) dari
arteri radialis (Gambar 3) 2,4%; kelokan arteri radialis dan brakialis 4,2%; terutama
ditemukan bentuk S (Gambar 4) 31,3% dan bentuk omega (Gambar 5, 6) 31,3%; dan kelokan
arteri radialis terutama 1/3 proksimal fosa antekubiti (52,2%) (Gambar 7-9).2 Penelitian
Burzotta di Roma mengemukakan terdapatnya varian aksis arterial radial-brakial sebesar
7,2%, aksis aksilaris-subklavia-anonima 1,9%, dan arkus aorta 0,3%.1 Failure rate ditemukan
sebesar 0,7% pada kasus tanpa varian sedangkan yang dengan varian 15,2%. Varian arteri
radialis yang tersering ialah kelokan arteri radialis dan brakialis (4,9%) diikuti oleh asal arteri
radialis yang tinggi dari arteri brakialis atau arteri aksilaris (2,9%). Jung dkk juga
mengemukakan adanya varian arteri radialis berbentuk huruf alfa (Gambar 10).14 Dengan
menggunakan pre-procedural ultrasound of the arm arteries (PPUAA) Chugh dkk
mendapatkan abnormalitas 9,8% untuk arteri radialis, arteri ulnaris, dan arteri brakialis.12
Adanya varian dapat menghambat kelancaran dan keberhasilan tindakan sehingga
identifikasi varian arteri radialis akan sangat membantu para klinisi terutama ahli kardiologi
intervensi. Lengkung arteri radialis merupakan anomali kongenital yang tersering (1-2%).14
Selain itu terdapat variasi dari asal dan perjalanan arteri radialis, yaitu hipoplasia arteri
radialis, kelokan arteri radialis (terutama pada orang tua >75 tahun dengan hipertensi dan
riwayat perokok berat),8,14 asal arteri radialis yang lebih tinggi dari arteri aksilaris atau
brakialis,10,13 dan lengkung radioulnar (Gambar 11). Kadang-kadang ditemukan arteri radialis
yang terletak superfisial terhadap fasia profunda, dan tidak di sebelah dalamnya.13 Juga bisa
ditemukan arteri radialis berasal dari sudut kanan arteri brakialis dan berjalan dibelakang
tendon biseps brakii kemudian me-lengkung ke bawah dan berjalan sesuai arteri radialis
umumnya. Dari bagian atas arteri radialis, sebelah lateral dari tendon biseps brakii muncul
arteri radialis rekuren dan beberapa cabang arteri yang memasok otot di sekitarnya. Varian
pola percabang-an arteri radialis dapat juga disertai varian arteri lainnya.10
Gambar 6. Hasil angiografi memperlihatkan arteri radialis berbentuk huruf omega di bagian
distal. Sumber: Jung.
Gambar 7. Lengkungan arteri radialis yang kompleks. Sumber: Jung.
Gambar 9. Kelokan arteri radialis dengan high take off. Sumber: Caputo, 2011.
Gambar 10. Hasil angiografi memperlihatkan arteri radialis berbentuk huruf alfa. Sumber:
Jung.
Gambar 12. Klasifikasi klinis varian arteri radialis. A. Variasi asal dan/atau perjalanan arteri
radialis dengan diameter normal pada pergelangan tangan: (a) asal arteri radialis yang tinggi dari
arteri aksilaris – arteri brakioradialis; (b) asal arteri radialis yang tinggi dari arteri brakialis –
arteri brakioradialis; (c) asal brakial yang tinggi dari arteri radialis dan perjalanan superfisial
sepanjang antebraki dan ke tendon-tendon membentuk anatomical snuff box – arteri
brakioradialis superfisialis; (d) pebentukan lingkaran lengkap pada fosa antekubital – lengkung
arteri radialis; (e) asal arteri radialis yang tinggi dari arteri brakialis dan adanya anstomosis
pembuluh kecil dengan arteri ulnaris di fosa antekubital – lengkung radioulnar; (f) perjalanan
arteri radialis di belakang tendon biseps brakii. B. Variasi arteri radialis dengan kemungkinan
hipoplasia dan/atau akses pergelangan tangan yang atipik: (a) pembentukan arteri radialis utama
yang sangat rendah, melalui hubungan dua pembuluh proksimal yang kecil – low orgin of the
radial artery; (b) arteri brakioradial superfisialis dengan asal yang tinggi, berakhir sebagai
cabang metakarpal dorsal dan arteri radialis dengan asal dan perjalanan yang tipik – duplikasi
arteri radialis; percabangan arteri radialis menjadi dua cabang pada antebraki bawah (1/4 distal),
satu cabang sebagai arteri antebraki dorsalis superfisialis, yang lainnya (sebelah luar) menempati
posisi arteri radialis yang normal; (d) percabangan arteri radialis di bagian atas antebraki yang
berjalan berdekatan sampai ¼ distal antebraki; (e) aplasia arteri radialis, bagian paling distal dari
arteri radialis merupakan lanjutan arteri interosea anterior yang berkembang baik. Sumber:
Jelev dan Surchev, 2008.
54
dalam hal distribusi maupun anomali, stenosis, spasme, diseksi, cedera arteri radialis (yang
sering mengakibatkan oklusi), serta adanya keragu-raguan operator untuk mencoba tehnik yang
berbeda.5,11,12 Selain itu, perlu dipertimbangkan pada individu yang bertubuh kecil dan beberapa
etnik tertentu yang mempunyai ukuran arteri radialis kecil.12
55
Arteri radialis termasuk jenis arteri muskularis yang kaya dengan α-adrenoreseptor yang
mengakibatkan arteri ini reaktif terhadap bahan yang beredar dalam sirkulasi dan trauma.6 Chugh
dkk melaporkan terjadinya spasme arteri radialis pada 1,5% kasus. Beberapa cara yang dapat
dipertimbangkan untuk mencegah spasme arteri radialis ialah pemberian sedasi, koktail
spasmolitik, pemilihan sheath hidrofilik dengan diameter terkecil, dan pemakaian kateter yang
telah dibilas dengan larutan yang mengandung penghambat gerbang kalsium atau nitrat.12 Bila
spasme arteri radialis tetap terjadi, perlu dipertimbangkan penambahan spasmolitik,
analgetik/anksiolitik, papaverin (bekerja sebagai miorelaksan langsung), dan anestesi umum bila
tindakan lain tidak berhasil. Juga pada saat mengeluarkan kateter atau sheath, perlu diberikan
waktu cukup untuk relaksasi arteri.6
Sindroma kompartemen merupakan keadaan gawat darurat yang dapat dihindari bila
dilakukan pencegahan yang optimal pada saat diduga telah terjadi perdarahan. Penanganan disini
meliputi penghentian terapi antikoagulan intravena, kontrol nyeri dan tekanan darah, dan
pemasangan cuff tekanan darah. Perlu dilakukan monitoring yang ketat terhadap perfusi distal
dan dikonsultasikan ke ahli bedah vaskular.6
Secara klinis, terjadinya RAO sulit dideteksi bila terdapat arteri ulnaris dan arkus
palmaris yang paten. Pemberian heparin sangat diperlukan untuk menurunkan risiko RAO.
Selain itu, perlu dipertimbangkan secara cermat mengenai pemilihan ukuran kateter, jenis
kelamin perempuan, kurang/tidak adanya pemberian clopidogrel sebelumnya, diabetes, dan
hemostasis oklusif. Kompresi berkepanjangan dari arteri radialis dapat disertai oklusi menetap
dam distrofi refleks simpatis yang tertunda.6
Pseudoaneurisma dapat diatasi dengan local pressure dressing.5,6 Bila area transradial
membengkak dan terasa nyeri, harus dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dan dikonsultasikan
dengan ahli bedah vaskular.5
Terjadinya diseksi arteri radialis atau perforasi dapat dihindari dengan melakukan
angiografi bila terdapat kesulitan melanjutkan pemasangan kawat atau kateter. Bila telah terjadi
diseksi atau perforasi, dilakukan penyebrangan kembali secara berhati-hati dengan menggunakan
kawat angioplasti lunak 0,014. Bila usaha ini berhasil, kateter biasanya akan menutup diseksi
atau perforasi. Kecurigaan terjadinya diseksi atau perforasi arteri radialis tidak merupakan alasan
untuk menghentikan prosedur karena cedera tersebut akan tetap terbuka dan sulit dikontrol.6
Kegagalan prosedur terjadi bila tidak mendapatkan akses transradial atau tidak berhasil
mencapai arteri koronaria yang mungkin diakibatkan oleh adanya varian dan kelokan yang
ekstrim pada arteri radialis, brakialis, dan subklavia. Angka kegagalan prosedur berkisar <5%
dan akan berkurang dengan meningkatnya pengalaman dan kepakaran operator.6
KONTRAINDIKASI
Terdapat beberapa kontraindikasi pelaksanaan prosedur transradial, yaitu: tes Allen
abnormal (ditemukan pada 10% kasus), pemeriksaan oksimetri yang abnormal, pasien yang
mungkin memerlukan intra-aortic balloon pump counter-pulsation (IABP), pasien yang
memerlukan device yang tidak kompatibel dalam 7F atau sheath yang lebih kecil, penyakit
vaskular ekstremitas superior (kelokan yang ekstrim, anomalous take off, atau aterosklerosis
berat), penyakit Buerger, penyakit Raynaud yang parah, serta penyakit vaskular perifer lainnya.5
Kontraindikasi relatif ditemukan pada pasien dengan graft arteri mamaria interna
kontralateral, arteri radialis yang dipersiapkan untuk konduit bedah pintas jantung, atau graft
dialisis.5
56
SIMPULAN
Dewasa ini akses transradial telah menjadi prosedur yang cukup diminati baik pada
tindakan diagnostik maupun intervensi koroner. Adanya varian arteri radialis tidak merupakan
halangan untuk menggunakannya sebagai akses vaskular. Komplikasi yang terjadi akibat akses
transradial umumnya lebih mudah ditangani daripada akibat akses trans-femoral. Pemahaman
dan pertimbangan yang cermat mengenai adanya varian dapat menekan terjadinya kegagalan
tindakan transradial atau beralihnya ke akses lain yang sangat berperan dalam kenyamanan dan
keamanan pasien.
57
DAFTAR PUSTAKA
58
6. KATETER KORONER
PENDAHULUAN
Angiografi koroner saat ini merupakan komponen utama dari kateterisasi jantung, dengan
estimasi 2 juta prosedur (sekitar 800 per 100 ribu populasi) dilakukan setiap tahun di Amerika
Serikat. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah mengetahui keadaan sirkulasi koroner (baik 2
pembuluh darah utama ataupun pembuluh darah koroner lain yang dibuat melalui operasi
bypass) dan mendokumentasikan detil anatomi koroner yang mencakup pola distribusi arteri,
anatomi ataupun fungsional patologi (aterosklerosis, trombosis, anomali kongenital, atau spasme
koroner fokal), dan adanya kolateral intrakoroner dan interkoroner. Prosedur ini biasanya
dilakukan dalam 30 menit atau kurang, dengan anestesi lokal, sehingga pasien dapat langsung
dipulangkan setelah observasi selesai, dengan komplikasi mayor (kematian, stroke, infark
miokard) kurang dari 0,1%. Dengan melakukan injeksi kontras intrakoroner melalui beberapa
pandangan dengan gambaran X-ray resolusi tinggi, gambaran sirkulasi arteri koroner sampai ke
pembuluh darah kecil dengan ukuran 0,3 mm dapat ditampilkan, bebas dari berbagai artefak
sebagai hasil dari overlap pembuluh darah atau pemendekan.1,2
Saat ini belum ada teknik pencitraan lain yang membeikan gambaran detil sirkulasi koroner,
walaupun teknik non-invasif lain seperti magnetikc resonance angiography (MRA) dan
multidetector and electrone beam computed tomography (MDCT,EBCT) telah meningkatkan
resolusi dan menjadi skrining yang efektif untuk penyakit jantung koroner pada arteri koronaria
proksimal, anomali koroner, dan patensi graft operasi bypass. Tetapi untuk pasien dengan gejala
iskemia, aplikasi angiografi koroner dapat langsung memberikan kesempatan terapi definitif
secara langsung (percutaneous coronary intervention/ PCI) melalui akses yang sama. Namun
demikian, pemeriksaan angiografi koroner hanya terbatas pada lumen koroner, sedangkan
permukaan endotelial, komponen plak, dinding pembuluh darah, ataupun fisiologi aliran koroner
tidak dapat diketahui secara langsung. Ketika komponen-komponen tersebut dibutuhkan sebagai
informasi tambahan, aplikasi angiografi koroner dapat dilengkapi dengan ultrasonografi
intravakular, optical coherence tomography, angioskopi, atau tekanan intrakoroner dan
pengukuran aliran darah. Terlepas dari keterbatasan ini, angiografi koroner selektif masih
menjadi standar baku klinis untuk evaluasi anatomi koroner.1,4,5
Kateter
Kateter adalah pipa yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Kateter memungkinkan
pengeluaran dan pemasukkan cairan tubuh seperti darah dan urin. Proses memasukkan kateter ke
59
dalam tubuh dikenal dengan kateterisasi. Umumnya, kateter adalah pipa kecil dan fleksibel,
meskipun pada beberapa kasus ukurannya dapat besar dan kaku. Kateter yang ditinggalkan di
dalam tubuh, baik permanen ataupun sementara dikenal dengan indwelling/ implanted
catheter.2,6
Kateter dibuat dari berbagai macam polimer yang mencakup silikon, lateks, dan elastomer
termoplastik. Oleh karena silikon merupakan properti statis, kontak dengan cairan tubuh atau
cairan medis tidak menimbulkan reaksi yang berbahaya. Sementara itu, oleh karena polimer
tidak memberikan kekuatan maksimal, kateter dapat patah pada keadaan tertentu.2,7
Untuk pemilihan kateter, pertimbangan yang tepat diperlukan. Terdapat begitu banyak jenis
kateter yang ada di pasaran. Masing-masing dari kateter tersebut memiliki sudut dan lengkung
yang berbeda. Beberapa diantaranya juga memiliki beberapa lekukan pula. Sebagai contoh,
untuk angiografi LCA, biasanya kateter JL diperlukan. Berdasarkan letak LCA, kateter lain dapat
digunakan, seperti kateter Amplatz untuk mengatasi letak LCA superior sampai posterior. Untuk
kanulasi RCA, beberapa masalah dapat ditemukan oleh karena letak ostium seringkali sulit untuk
diprediksi, sehingga pemilihan kateter seringkali menjadi masalah. Tinggi RCA bervariasi
bergantung pada bentuk aorta, derajat orientasi dinding posterior dan anterior aorta dan arteri
koronaria, dan keparahan tingkat anomali juga merupakan hal penting yang mempengaruhi
pemilihan kateter, tetapi hal yang terpenting adalah muara dan jalur arteri koronaria dan sudut
yang terbentuk.1,3,8
Pemilihan kateter yang tepat pada situasi yang berbeda adalah hal yang menjadi kunci sukses
angiografi koroner. Posisi ko-aksial dan stabil antara segmen proksimal kateter dan aorta hanya
mungin didapatkan dengan pemilihan kateter yang tepat. Sistem ukuran French gauge digunakan
untuk menentukan diameter kateter. Semakin tinggi ukuran Fr, semakin besar diameter kateter
(Diameter (mm) = Fr / 3).7,8
60
Pertimbangan ini menjadi alasan lebih dipilihnya kateter diagnositik 5 Fr. Tetapi faktanya
opasifikasi arteri koroner dengan kateter 4 Fr lebih baik dibandingkan dengan kateter 5 Fr.7,9
Sebagian besar kasus angiografi koroner dapat dikerjakan dengan kateter 4 Fr, sedangkan kateter
dengan ukuran lebih besar dari 5 Fr tidak diperlukan untuk keperluan diagnostik. Namun, dari
berbagai observasi klinis yang dilaporkan, tidak ada perbedaan bermakna untuk kedua kateter
baik ukuran 4 Fr dan 5 Fr dalam lama tindakan, waktu fluoroskopi, opasifikasi, dan komplikasi
yang mungkin terjadi, seperti ekimosis. Dengan demikian kedua ukuran kateter tersebut dapat
digunakan untuk prosedur angiografi diagnostik.1,4,6,9
Kanulasi arteri koronaria kanan dan kiri dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis kateter
dengan bentuk awal yang berbeda. Untuk sebagian besar kateter, perbedaan bentuk mengacu
pada variasi single plane. Untuk menggambarkan bentuk kateter, terminologi umum harus
digunakan. Primary curve (PC) mengacu pada lekukan yang terdekat dengan ujung kateter
(catheter tip), sementara secondary curve (SC) dan tertiary curve (TC) merupakan lekukan
setelah PC sepanjang kateter.8,10
Tujuan dari kanulasi adalah untuk mensejajarkan ujung kateter dengan muara arteri koronaria
secara ko-aksial, dan merekam gelombang tekanan arteri normal secara kontinyu. Pengertian
yang cukup mengenai jenis-jenis kateter yang tersedia, mengetahui cara memanipulasi kateter-
kateter tersebut, dan mengadaptasi pemilihan kateter berdasarkan anatomi individual adalah
elemen penting untuk mencapai tingkat keberhasilan kanulasi dengan komplikasi yang minimal.
Sebagai tambahan, kawat penuntun juga dapat digunakan untuk memodifikasi bentuk kateter
yang diinginkan.1,10
61
Pemilihan Kateter Secara Umum
Arteri Koronaria Kiri (Left Coronary Artery/LCA)
Ostium LCA umumnya berada pada pertengahan sinus koronarius, agak dibawah sinotubular
junction (STJ), dan segmen proksimal arteri membentuk jalur ortogonal terhadap sinus. Dengan
demikian, kateter Judkins Left (JL) 4 akan secara mudah bertemu ostium LCA tersebut dengan
sedikit atau tanpa manipulasi. Variasi letak ostium dan jalur segmen proksimal LCA pada arah
anterior/posterior dan superior/inferior sering pula ditemukan, dan membutuhkan sedikit
manipulasi kateter JL4. Rotasi clockwise (CW) dan counter clockwise (CCW) kateter JL4 akan
mengatasi masalah letak ostium anterior/posterior dan orientasi LCA. Lokasi dan orientasi
superior/inferior LCA dapat diatasi dengan jarak PC dan SC yang lebih pendek/panjang (contoh :
JL3 dan JL5). Strategi alternatif adalah dengan menggunakan kateter Amplatz Left (AL). Pada
usaha kanulasi dengan menggunakan kateter AL, SC diharapkan akan bersandar pada sinus non-
koronaria, sementara PC dan ujung kateter berada di sinus koronarius anterior kiri. Dengan
mendorong kateter bersamaan dengan rotasi CCW, ujung kateter akan bergerak ke atas menuju
ke ostium LCA. Ketika gerakan akhir kateter merupakan dorongan, maka ujung kateter akan
bergerak ke superior, sedangkan apabila gerakan akhir merupakan tarikan, maka ujung kateter
akan bergerak ke inferior, sehingga memungkinkan kanulasi pada lokasi superior/inferior dan
orientasi LCA.5,6,11
Ukuran aorta asenden torakalis juga mempengaruhi pemilihan kateter untuk kanulasi LCA. Pada
kondisi normal, SC dari kateter JL bersandar pada pertengahan dinding kontralateral aorta
asenden. Pada pasien dengan aorta yang sangat besar (aneurisma aorta asenden), titik pertemuan
SC akan bergerak ke inferior menuju sinus koronarius, mengakibatkan orientasi vertikal ujung
kateter, sehingga mengakibatkan kegagalan ujung kateter membentuk hubungan koaksial dengan
ostium LCA dan meningkatkan kemungkinan diseksi arteri koronaria apabila injeksi dilakukan
dengan posisi demikian. Solusi dari masalah ini adalah dengan menggunakan kateter JL dengan
jarak PC dan SC yang lebih panjang (JL 5). Demikian pula halnya pada pasien dengan diameter
aorta asenden yang kecil, SC kateter JL 4 akan bersandar pada daerah dekat dengan porsi
horisontal arkus aorta, menghasilkan orientasi ujung kateter horsontal atau inferior. Solusi dari
masalah ini adalah dengan menggunakan kateter JL dengan jarak PC dan SC yang lebih pendek
(JL 3)12
62
Gambar 6. Ilustrasi kanulasi LCA dengan aorta asenden sempit
Anomali letak ostium arteri koronria natif mengacu pada variasi yang terjadi dengan frekuensi
kurang dari 1%. Letak ostium yang terpisah antara left anterior descending artery (LAD) dan left
circumflex (LCX) ditemukan pada 0,7% populasi. Ostium LAD akan lebih mudah dikanulasi
dengan menggunakan kateter JL dengan jarak PC dan SC yang lebih pendek (JL 3), dengan
rotasi CW, sedangkan ostium LCX dapat dikanulasi dengan kateter JL dengan jarak PC dan SC
yang lebih panjang, dengan rotasi CCW. Strategi yang sama dapat diterapkan ketika menghadapi
pasien dengan left main coronary arteri (LM) yang sangat pendek, dimana kanulasi selektif LAD
dan LCX dibutuhkan untuk menghasilkan gambar yang baik.13
Gambar 8. Ilustrasi Kanulasi LCA dengan ostium ganda LAD dan LCX
LCX dapat pula muncul dari sinus koronaria kanan atau dari segmen proksimal right coronary
arteri (RCA). Anomali ini timhul dengan frekuensi mendekati 0,7%. Umumnya segmen
proksimal anomali demikian memiliki jalur inferior. Berbagai bentuk kateter termasuk Judkins
Right (JR), Amplatz Right (AR), dan Multipurpose (MP) dapat digunakan untuk kanulasi
anomali LCX yang muncul dari sinus koronaria kanan. Akhirnya, LCA dapat pula bermula
63
seluruhnya dari sinus koronaria kanan. Anomali ini sangat jarang terjadi, dilaporkan hanya
ditemukan pada 0,15% populasi. Kateter AR dapat digunakan untuk kanulasi anomali ini.1,13
Gambar 9. Pemilihan kateter yang tepat dibutuhkan untuk kanulasi yang optimal
Terdapat pembagian RCA berdasarkan sudut yang terbentuk oleh segmen proksimal RCA,
yaitu:11,12
1. Tipe 1 : Sudut 900 dengan aorta (sudut horisontal), pada tipe ini, RCA keluar dari aorta
dengan membentuk sudut horisontal dari sinus valsava kanan. Untuk tipe ini kateter
Judkins dengan ujung kateter horisontal dibutuhkan untuk menemui ostium RCA.
64
2. Tipe II : kurang dari 900 dari aorta (sudut upward), sudut antara RCA proksimal dengan
ostium terkadang menimbulan kesulitan, terutama untuk PCI. Beberapa kateter penuntun
dapat digunakan untuk mencapai ostium dan membentuk hubungan ko-aksial dengan
lumen RCA.
3. Tipe III : lebih dari 900 dari aorta (sudut downward), tipe ini jarang ditemukan dan dapat
menimbulkan masalah untuk kanulasi dengan kateter JR. Untuk keperluan angioplasti,
penggunaan kateter seperti kateter Right Venous Bypass dan kateter MP dapat
diperlukan. Hubungan ko-aksial dengan segmen proksimal juga dapat dilakukan dengan
kateter Amplatz dan Sterzer.
4. Tipe IV : Anomali muara RCA, segmen proksimal RCA panjang dan horisontal,
pandangan LAO dapat digunakan untuk menentukan jalur segmen proksimal RCA dan
menentukan apakah kateter JR dapat digunakan. Sedangkan muara RCA anomali dapat
dinilai dengan pandangan RAO. Pada kasus ini kateter Amplatz, Stertzer, Venous Bypass
atau konfigurasi King paling baik digunakan.
Gambar 10. Orientasi segmen proksimal RCA (a) dan letak ostium anomali (b)
65
Kanulasi Graft
Graft Vena Kanan
Gambar 13. Kateter yang biasa digunakan untuk kanulasi graft vena
66
Gambar 14. Kanulasi Graft Vena Kiri
Gambar 15. Kateter AL1 untuk kanulasi LCA/RCA(a), dan kateter IMA(b)
Setelah mencapai arteri subklavia dan angiografi dilakukan, J-tipped wire 0,035 dimasukkan ke
arteri aksilaris, untuk memungkinkan penghantaran kateter diagnostik ke segmen ke-2 dan ke-3
arteri subklavia. Gambaran anatomi yang berliku dari arteri subklavia kiri biasanya
membutuhkan soft-tipped wire (Wholey, Rosen, Magic Torque) atau glidewire untuk mengatasi
hambatan anatomis. Kateter JR 4 kemudian diganti dengan kateter IM yang memiliki ujung
67
kateter yang mengarah ke inferior sehingga lebih cocok untuk kanulasi LIMA. Melalui
pandangan RAO, kateter IM ditarik perlahan dan ketika ujung kateter dekat dengan ostium
LIMA, kateter IMA dirotasi CCW untuk menggerakkan ujung kateter ke arah anterior.9,10
Ketika kateter Vitek atau Simmons diperlukan untuk masuk ke arteri subklvia, kateter ini dapat
diganti dengan kateter Bernstein atau JR 4 setelah penghantaran kawat 0,035 ke dalam arteri
aksilaris karena bentuk kateter tersebut menyebabkan kateter sulit untuk masuk ke dalam arteri
subklavia. Pada situasi dimana LIMA berasal dari bagian vertikal arteri subklavia, kateter
diagnostik dengan ujung yang lebih horsisontal dibandingkan dengan kateter IM (seperti JR 4
dan Bernstein) mungkin lebih berhasil.5,6
Anatomi arteri mamaria interna kanan (right internal mammary artery/RIMA) mirip dengan
LIMA, kecuali bahwa arteri subklavia kanan muncul dari arteri inominata, berbeda dengan arteri
subklavia kiri. Dengan demikian, meskipun pertimbangan teknis sama dengan kanulasi LIMA,
teknik untuk kanulasi RIMA lebih menantang. Pada pasien yang diketahui mendapatkan graft
RIMA, adalah penting untuk menentukan sebelum angiografi apakah RIMA dalam posisi in situ
atau diturunkan dan diletakkan pada aorta asenden dimana arteri ini akan melekat pada dinding
anterior aorta dan digunakan untuk bypass percabangan LCA.4
68
miokard akut dengan ST elevasi, penggunaan kateter universal dapat memperpendek waktu
reperfusi. Tingkat keberhasilan angiografi koroner dilaporkan mencapai 96-98%.12
Gambar 17. Kateter Tiger (a); ilustrasi kanulasi ke RCA (b) dan kanulasi RCA/LCA (c)
69
ostial, atherektomi rotasional (sampai ukuran bor 1,5 mm), proteksi emboli, dan lainnya. Sebagai
tambahan sebagian kecil populasi dapat pula menerima ukuran sheath yang lebih besar sampai 8
Fr jika diperlukan. Belakangan ini, teknik tanpa sheath dengan kateter penuntun 7 Fr dan 8 Fr
telah dilaporkan untuk menghasilkan support yang lebih baik dan lumen yang lebih besar untuk
prosedur yang kompleks dengan pendekatan TRA.6
Gambar 18. GC terdiri dari 3 lapisan (a). Lengkung (curve) pada GC (b)
Ukuran DI yang lebih besar diharuskan untuk tindakan yang membutuhkan banyak peralatan
seperti rotablator, laser, kateter aterektomi, proteksi vaskular atau alat pencitraan, atau pada
teknik intervensi tertentu seperti kissing balloon dan kissing stent. GC umumnya tersusun dari 3
lapisan. Lapisan terluar terdiri dari poliuretan atau polietilen untuk mendapatkan kekakuan.
Lapisan tengah terdiri dari matriks kawat untuk properti torque, dan lapisan dalam yang tersusun
dari lapisn Teflon untuk jalan yang halus dan lancar sebagai pasase kateter balon. Umumnya GC
memiliki 3 lekukan yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan konfigurasi uniknya.11,12
70
Tipe Kateter Penuntun
Judgkins dan Amplatz
GC tersedia dalam berbagai bentuk. Tetapi pemilihan GC kanan selalu menimbulkan dilema.
Kateter Judkins sangatlah berguna sebagai kateter diagnostik oleh karena PC fixed, dengan
demikian kateter ini hanya mengintubasi ostium dengan panjang yang sangat pendek baik untuk
RCA maupun untuk LCA. Tetapi, properti ini juga mengakibatkan keterbatasan mendasar saat
melakukan PCI. Oleh karena PC fixed, kateter dapat sulit untuk membentuk hubungan ko-aksial
dengan indeks arteri. Pada saat kateter membentuk sudut 900 dengan segmen proksimal arteri
yang dituju, maka kateter balon atau alat lainnya sulit untuk melewati ostium. PC yang fixed
umumnya tidak menguntungkan untuk intervensi LCX karena sudut yang terbentuk menjadi
lebih besar, bahkan sampai 1800 pada beberapa kasus. Di samping itu, ada hal penting lain yaitu
SC yang lebih panjang dan lurus dan membuat sudut 900 pula, sehingga menambah kesulitan
untuk penghantaran peralatan intervensi. Lebih jauh lagi, kateter JL, porsi kontak dengan dinding
aorta asenden kontralateral juga sangat tinggi sempit, meningkatkan risiko prolaps dan
dislodgment. Di sisi lain, tidak adanya kontak antara kateter JR dengan aorta menyebabkan
support yang tidak adekuat untuk melakukan intervensi RCA. 1,13
Gambar 19. kanulasi kateter ke RCA (a) dan backup support pada dinding aorta (b)
Ikari dkk telah mengukur backup force GC secara kualitatif untuk LCA. Tiga faktor ditemukan
yang terhubung dengan backup force, yaitu ukuran kateter, sudut kateter pada dinding aorta
kontralateral (teta) dan area kontak antara kateter dengan aorta. Teta menggambarkan gaya yang
dapat menyebabkan dislodgement dari GC. Apabila sudut ini kecil, backup force yang dihasilkan
semakin tinggi. Oleh karena itu, posisi yang lebih rendah dari kateter diperlukan untuk
mendapatkan sudut mendekati 900. Support yang lebih baik didapatkan dengan ukuran kateter
yang lebih besar dan luas area kontak dengan aorta. Dengan kateter Judkins, area kontak sangat
sempit dan lebih tinggi, menyebabkan backup support yang rendah. Di sisi lain, kateter AL, SC
diharapkan utnuk bersandar pada aortic root untuk mendapatkan backup support yang lebih
baik. Tetapi properti ini meningkatkan kemungkinan diseksi pada arteri yang dituju.12,13
71
Kateter Penuntun Lainnya
Ujung yang lebih panjang GC seperti kateter Xtra Backup (XB) dan Extra Backup (EBU)
merupakan modifikasi penting dari kateter JL, menghasilkan kateter yang lebih kaku dan bebas
dari PC, menyebabkan mereka dapat membentuk hubungan ko-aksial dan memberikan support
yang lebih baik. Ujung kateter XB terletak lebih horisontal dengan ostium koroner, terkadang
mengarah ke atas, dan mengintubasi LMCA lebih baik. Semakin panjang segmen kateter XB
yang bersentuhan dengan dinding aorta kontralateral, semakin besar support yang dihasilkan.
Rata-rata kateter XB memberikan 67% support lebih baik dibandingkan dengan kateter JR.
Tetapi support ekstra ini menyebabkan peningkatan risiko trauma terhadap LMCA, terutama
apabila terdapat plak pada pembuluh darah ini. Di samping itu, kekakuan yang lebih besar dapat
menyebabkan cedera pada cabang vaskular, terutama apabila kateter tidak ditarik dengan kateter
penuntun. Seringkali stent yang panjang dapat mengalami kesulitan untuk melalui bagian
lengkung dari kateter XB. Demikian, kateter ini mungkin tidak diperuntukkan untuk pemula dan
lebih baik digunakan oleh intervensionist yang berpengalaman. Kateter XB hanya digunakan
untuk kanulasi LCA dan biasanya akses dilakukan melalui arteri radialis kiri.12
Kateter HS dapat digunakan untuk TRA dengan keuntungan yang dimilikinya, dimana lengkung
kateter ini cukup tajam dengan sudut 900 dan segmen distal yang lebih panjang (mirip dengan
kateter JR 5). Kateter ini dapat digunakan untuk kanulasi baik untuk RCA maupun untuk
LCA.10,11
Kateter MP saat ini telah melalui beberapa modifikasi dengan berbagai versi, seperti Barbeau
Curve, Kimny, dan lainnya. Kateter ini dapat digunakan pada TRA kanan dan kiri, juga graft
vena. Kateter MP A memiliki lengkung kurang dari 900, sehingga cocok untuk jalur inferior
segmen proksimal arteri koronaria. Kateter MP B memiliki lengkung kanan mendekati 900,
sehingga cocok untuk digunakan pada jalur horisontal dan superior.12,13
72
Kateter Kimmny dibuat untuk kanulasi RCA dan LCA, dengan rancangan khusus untuk
intervensi arteri radialis, PC degnan sudut 450 dan SC dengan sudut 900 memungkinkan kateter
ini untuk memberikan support pada dinding aorta kontralateral. Kanulasi LCA biasanya dicapai
dengan ujung kateter mengarah ke superior, sedangkan pada kanulasi RCA ujung kateter
mengarah ke horisontal atau inferior.10,13
Kateter Barbeau adalah bentuk modifikasi dari MP A. Kateter ini memiliki lengkung tambahan
1350 pada ujung kateter untuk mempermudah kanulasi. Kateter ini paling baik digunakan melalui
TRA untuk RCA dan graft vena.11,12
Selain beberapa jenis kateter di atas, kateter lain juga dapat digunakan untuk intervensi melalui
TRA, seperti kateter Sones, kateter Radial, kateter IMA, kateter Modified Saphenous Curves
(MSC), dan kateter Castilo Curves. Kateter MSC dan IMA harus digunakan dengan hati-hati
oleh karena pengalaman beberapa interventionist yang menemukan risiko trauma pada kanulasi
dengan sudut yang sangat sempit. 11,12
73
muara LCX yang terlalu ke bawah dari LMCA. Kateter AL terkadang dapat masuk ke dalam
LMCA cukup dalam, dan jika hal ini terjadi pengeluaran kateter harus dilakukan secara hati-hati.
Tidak seperti kateter JL, pengeluaran kateter ketika ditarik, ujung kateter Amplatz bahkan dapat
masuk lebih dalam ke arteri koronaria.11
Gambar 24. GC handling dan support yang adekuat untuk PCI LCX
Cara terbaik untuk mengeluarkan kateter AL adalah dengan mendorong sedikit untuk
mengeluarkan ujung kateter dari arteri dan kemudian merotasi kateter tersebut sebelum ditarik
keluar. Kateter Voda memiliki lengkungan multipel, tidak tajam yang disesuaikan dengan kontur
aorta sehingga menghasilkan support yang sangat baik dengan sedikit manupulasi kateter
dibandingkan dengan kateter Amplatz. Perbandingan lain dengan kateter JL atau AL, kateter
Voda terbukti memiliki efektivitas yang sama, tetapi sulit digunakan ketika angioplasti untuk
LAD dan LCX direncakan bersamaan.12
Tabel 2. Daftar GC untuk kanulasi LCA dan LCA
74
kontralateral. Kateter ini berguna untuk menghantarkan peralatan dalam jumlah yang besar.
Kateter LCB atau RCB adalah kateter pre-formed lain yang dapat digunakan untuk beberapa
kasus. Kateter LCB dirancang untuk graft vena kiri. Kateter ini memiliki ujung dengan PC 90 0
dan SC 700. Bentuk kateter ini mirip dengan kateter Kobra. Kateter RCB dirandang untuk graft
vena kanan, ujung kateter dan SC membentuk sudut 1200. Bentuk kateter ini mirip dengan
kateter JR dengan PC yang lebih mendatar. Kateter MP A1 dapat pula berguna pada situasi ini,
dimana kateter ini memiliki ujung yang lurus yang memudahkan kanulasi ke dalam graft vena
secara lebih mudah. Kateter IMA dirancang untuk RIMA dan LIMA. Bentuknya seperti kateter
JR tetapi PC lebih besar (80-850).11
75
tumpul dan harus mampu membentuk hubungan koaksial dengan ostium dan segmen proksimal
arteri koronaria. Arteri radialis adalah salah satu dari arteri yang memiliki tendensi spasmogenik
pada tubuh manusia. Spasme dapat dipicu oleh rangsangan mekanis, sehingga semakin sedikit
manipulasi yang dilakukan, semakin berkurang pula risiko terjadinya spasme. Beberapa tipe
kateter yang tersedia untuk LCA, RCA, dan graft vena. Kateter penuntun femoral juga dapat
digunakan untuk TRA, kateter JL dan JR dapat digunakan untuk kanulasi LCA dan RCA. Tetapi,
untuk kanulasi LCA pengurangan ukuran sebesar 0,5 mungkin diperlukan. Untuk kanulasi RCA,
kateter AR dapat digunakan dan kateter AL dan MP dapat digunakan untuk RCA dan LCA.
Ketika support ekstra dibutuhkan, kateter EBU, XB, atau Voda dapat pula digunakan9,10
Beberapa macam GC yang dirancang untuk TRA diantaranya adalah kateter Fajadet, Kimny,
MUTA, IKARI, Barbeau’s, new long tip GC. Semua kateter ini dimaksudkan untuk
mendapatkan support yang optimal dan hubungan ko-aksial yang lebih baik.12
76
DAFTAR PUSTAKA
1. Baim, Donald. 2006. Grossman’s Cardiac Catheterization, Angiography, and
Intervention.Massachusets : Lippincot and Wilkins
2. Ivan P.C. and John C.M. Technique and Catheters. Cardiol Clin 27 (2009) : 417-432
3. Lim V.Y., Chan C.N, Mak K.H. Koh T.H. Transradial Access for Coronary Angiography
and Angioplasty: A Novel Approach. Singapore Med J 2003; Vol 44(11) : 563-569
4. Ronald P.C. et al. Transradial Arterial Access for Coronary and Peripheral Procedures :
Executive Summary by the Transradial Committee of the SCAI. Catheterization and
Cardiovascular Intervention 2011; 78: 823-839
5. Sundeep M. and Vinay K. Curiculum in Cath. Lab: Coronary Hardwarre – Part 1 : The
Choice of Guiding Catheter. Indian Heart J. 2009; 61 : 80-88
6. Steven L.A. and William W.O. Radial Artery Access for Diagnostic and Interventional
Procedures. 1999. Accured System, Michigan
7. Jack C.J.. Basic Catheters and Wires. 2012. University of Washington
8. Tas H.Y., Do I.K., Seung H.L. Catheter Selection of Transradial Coronary Angiogram.
9. Sami U.R., Stefan W, dan Wolfram V. Patient Specific Optimal Catheter Selection for
the Left Coronary Artery. Interactive Graphics System Group
10. Sami U.R., Stefan W, dan Wolfram V. Patient Specific Optimal Catheter Selection for
Right Coronary Artery. Interactive Graphics System Group
11. Usman R. Optimal Catheter Selection for Anomalous Right Coronary Artery (RCA).
2011. Blekinge Institute of Technology
12. Yu C.W. Selection of Guiding Catheter and Guidewire. Sejong General Hospital
13. Clara T. Catheter Simulation for Optimal Catheter Selection Prior to Coronary
Angiography. Technische Universtitat Darmstadt
77
7. ANGULASI DAN PROYEKSI ANGIOGRAFI KORONER
Pendahuluan
Angulasi dan proyeksi dari masing-masing pandangan dapat digolongkan dalam dua bagian
besar. Yang pertama disebut rotasi (rotation) yaitu right anterior oblique (RAO) bila image
intensifier berada di atas dinding dada kanan depan penderita dan left anterior oblique (LAO)
bila image intensifier berada di atas dinding dada kiri depan penderita (gambar 1). Pada proyeksi
ini, dapat dilihat pandangan posteroanterior dan lateral yang sesungguhnya dari jantung.
Meskipun demikian, bila hanya dengan pandangan ini, masih akan tetap terlihat pemendekan dan
tumpang tindih dari arteri koronaria utama dan cabang-cabangnya, sehingga dibutuhkan
kombinasi dengan pandangan yang lain.1,2
Tipe angulasi yang kedua disebut kemiringan (skew) yaitu besarnya angulasi ke arah
kepala penderita (cranial) atau ke arah kaki penderita (caudal). Meskipun istilah kemiringan
menunjukkan posisi sumber sinar X dan posisi image intensifier (misalnya caudocranial untuk
menunjukkan posisi tabung sinar X berada di bagian caudal penderita dan image intensifier
berada di bagian cranial penderita; craniocaudal untuk menunjukkan posisi tabung sinar X
berada di bagian cranial penderita dan image intensifier berada di bagian caudal penderita),
secara praktis hanya disebutkan lokasi image intensifier sehingga istilah RAO caudocranial
hanya disebut dengan RAO-cranial dan sebaliknya (gambar 2).1,2
Angulasi dan proyeksi pada sumbu transversal dan sagital tubuh secara simultan akan
memberikan pandangan yang lebih baik terhadap arteri koronaria utama dan cabang-cabangnya.
Gambar 1. Proyeksi Left Anterior Oblique (RAO) dan Right Anterior Oblique (LAO)
78
adekuat dengan mengambil gambar dari beberapa proyeksi yang dapat memperlihatkan sebagian
besar anatomi sistem koroner kemudian dilengkapi dengan satu atau beberapa gambar untuk
memperjelas kelainan yang dicurigai (gambar 3). Metode ini secara tidak langsung akan
mengurangi paparan radiasi dan kontras.3
79
berguna untuk melihat segmen proksimal dan mid LCx beserta ostium cabang-cabang
marginal letak tinggi (proksimal) sehingga dapat digunakan untuk menempatkan wire
pada cabang-cabang ini.1,6-9
Proyeksi ini biasanya dilakukan dengan angulasi 25-40o caudal dan 30-50o ke kiri, tapi
pada jantung dengan aksis yang lebih horizontal atau vertikal diperlukan angulasi ke
caudal atau ke kiri yang lebih besar/curam. Yang harus menjadi perhatian adalah pada
proyeksi LAO-caudal, penetrasi sinar X terbatas sehingga memberikan masalah kualitas
gambar pada pasien dengan obesitas atau bila menggunakan peralatan yang sudah lama.7
Proyeksi ini jarang digunakan secara rutin pada tindakan intervensi kecuali bila pada
proyeksi RAO-caudal, segmen proksimal LAD dan LCx saling tumpang tindih.8
80
Right anterior oblique-cranial (gambar 6)
Proyeksi RAO-cranial sangat berguna bila dilakukan dengan angulasi 30o cranial atau
bahkan lebih. Proyeksi ini memperlihatkan dengan baik segmen mid LAD dan pangkal
cabang-cabang diagonal sehingga dapat digunakan untuk mengatasi lesi bifurkasi LAD
dan diagonal. Kadang-kadang ostium diagonal akan tumpang tindih sehingga proyeksi
LAO-cranial, LAO-caudal atau anteroposterior-cranial lebih baik untuk tujuan tadi. Bila
LMCA sangat pendek, ostium dan segmen proksimal LAD dapat dilihat dengan proyeksi
RAO-cranial yang lebih curam. LCx dapat dinilai pada proyeksi ini hanya jika dominan
dan hanya segmen paling distal saja. Segmen proksimal dan mid LCx tidak dapat
dievaluasi secara adekuat pada proyeksi ini.1,6-9
81
Anteroposterior-cranial (gambar 8)
Proyeksi AP-cranial memperlihatkan ostium LMCA seperti pada proyeksi LAO-cranial.
Meskipun beberapa operator menggunakan proyeksi ini untuk tindakan intervensi pada
segmen proksimal LAD, tumpang tindih dengan LCx cukup mengganggu dan masih ada
proyeksi yang lebih baik dibandingkan dengan proyeksi AP-cranial. Proyeksi ini dapat
juga digunakan untuk evaluasi segmen mid dan distal LAD serta pangkal cabang-cabang
diagonal meskipun tidak jarang, ostium cabang-cabang diagonal dapat tumpang tindih
dengan LAD. LCx pada proyeksi ini sering membingungkan bagi operator yang kurang
berpengalaman terutama pada segmen proksimal dan mid LAD, tapi bila dominan,
proyeksi ini berguna untuk evaluasi segmen paling distal LCx.1,6-8
Anteroposterior-caudal (gambar 9)
Proyeksi AP-caudal sangat baik untuk evaluasi LMCA, bifurkasi (atau kadang-kadang
trifurkasi), ostium LAD dan keseluruhan LCx bila tidak dominan. Proyeksi ini
merupakan proyeksi favorit beberapa operator untuk melakukan intervensi pada LCx.
Proyeksi ini dapat berguna untuk pemasangan stent ostial di LAD, sama seperti pada
proyeksi LAO-caudal. Beberapa operator memilih untuk menempatkan wire di cabang-
cabang marginal pada proyeksi RAO-caudal, namun pada proyeksi tersebut, ostium
cabang-cabang marginal sering tumpang tindih dengan LCx. Proyeksi AP-caudal
dianggap paling baik untuk mengevaluasi keseluruhan LCx, termasuk cabang-cabang
marginal, yang berarti proyeksi ini juga paling baik dipakai untuk penempatan wire pada
LCx dan cabang-cabang marginalnya. Proyeksi ini terutama digunakan untuk menangani
lesi bifurkasi LCx dan cabang marginal, tapi dapat juga untuk lesi bifurkasi LMCA ke
LAD dan LCx bersama-sama dengan ‘spider’ view. Meskipun demikian, jika LCx
dominan, segmen distal LCx biasanya tumpang tindih dengan cabang-cabang marginal
ketiga, posterolateral kiri (LPL) dan/atau posterior descending kiri (LPD). Pada keadaan
seperti ini, proyeksi-proyeksi cranial yang harus digunakan.1,6-8
82
Gambar 9. Proyeksi Anteroposterior 0o – Caudal 40o
Pada Tabel 1 dapat dilihat rangkuman proyeksi dan angulasi yang paling optimal untuk menilai
masing-masing arteri koronaria, segmen-segmennya serta cabang-cabang utamanya.8
83
Gambar 11. Proyeksi Right Anterior Oblique 50o
84
Tabel 1. Arteri Koronaria dan Proyeksi Terbaik untuk Evaluasi
85
Kepustakaan
86
8. KONTRAS MEDIA ANGIOGRAFI KORONER
Pendahuluan
Kontras media sangat penting untuk tindakan radiodiagnostik secara umum, termasuk di
dalamnya tindakan angiografi dan intervensi koroner. Meskipun terdapat perkembangan
signifikan kontras media, terutama dalam hal tingkat keamanan dan tolerabilitas, akan tetapi
resiko yang berhubungan dengan pemakaian kontras media masih belum dapat dihilangkan
sepenuhnya. Pemakaian kontras media harus bersifat individual dengan mempertimbangkan
karakteristik masing-masing kontras media dan kondisi pasien secara keseluruhan.
87
kontras media yang kental melalui kateter yang pipih dan panjang dapat menyebabkan
visualisasi pembuluh darah yang tidak adekuat. Viskositas dapat diturunkan dengan
mengurangi konsentrasi yodium dalam kontras media namun dengan konsekuensi
opasifikasi yang tidak memuaskan. Selain itu, viskositas dapat diturunkan dengan
menghangatkan kontras media sampai pada suhu tertentu namun harus segera disuntikkan
setelah dihangatkan. Pemakaian alat suntik mekanik dapat membantu tapi tekanan tinggi
yang dihasilkan oleh alat suntik dapat mempengaruhi tekanan dalam kateter maupun pipa
penghubung sehingga diperlukan peralatan yang lebih mahal.
2. Osmolalitas
Osmolalitas adalah kemampuan untuk menarik air dari larutan dengan konsentrasi rendah
menuju larutan dengan konsentrasi tinggi. Osmolalitas terutama dipengaruhi oleh
konsentrasi partikel terlarut dalam larutan. Semakin dekat osmolalitas suatu kontras
media terhadap osmolalitas cairan tubuh, semakin dapat ditoleransi oleh tubuh.
Osmolalitas darah dan cairan serebrospinal adalah sekitar 290 mOsm/kg dan hampir
seluruh kontras media memiliki osmolalitas lebih dari itu. Osmolalitas berhubungan
langsung dengan efek klinis yang penting. Sensasi hangat dan ketidaknyamanan bahkan
nyeri saat kontras media disuntikkan berhubungan langsung dengan osmolalitas. Efek
lain yang tak kalah penting adalah kerusakan sawar darah otak, kerusakan ginjal dan
gangguan elektrolit. Viskositas dan osmolalitas kontras media berhubungan dengan
konsentrasi kontras media dan dinyatakan sebagai konsentrasi yodium dalam miligram
per mililiter. Semakin tinggi konsentrasi kontras media, semakin baik gambar yang
dihasilkan namun semakin rendah toleransi tubuh. Hal ini menyebabkan perlunya kontras
media dengan konsentrasi yang berbeda-beda.
3. Komotoksisitas
Kemotoksisitas adalah mekanisme yang bertanggungjawab menyebabkan efek toksik
kontras media yang tidak dapat dijelaskan oleh mekanisme lainnya (seperti osmolalitas,
kelistrikan). Ada beberapa karakteristik kontras media yang berhubungan dengan
mekanisme ini antara lain kelarutan kontras media dalam air (hidrofilik), kelarutan
kontras media dalam lemak (lipofilik), ikatan dengan protein, pelepasan histamin.
4. LD50
LD50 adalah nilai yang digunakan untuk menunjukkan toksisitas kontras media. Hal ini
digambarkan sebagai jumlah kontras media (dalam gram yodium per kilogram berat
hewan) yang mampu membunuh 50% dari kelompok hewan yang diteliti. Semakin tinggi
LD50, semakin dapat ditoleransi oleh tubuh. Kontras media berbasis yodium yang
digunakan saat ini seluruhnya memiliki nilai LD50 yang tinggi.
88
Gambar 2. Klasifikasi kontras media
89
terionisasi dalam larutan sehingga untuk setiap 3 atom yodium, hanya terdapat 1 partikel
dalam larutan. Hal ini menyebabkan kontras media non ionik, monomer hanya memiliki
setengah osmolalitas dibandingkan dengan kontras media ionik, monomer pada
konsentrasi yang sama. Dengan adanya peningkatan viskositas akibat rantai samping
yang panjang dari gugus hidroksil, kontras media non ionik, monomer, kontras media ini
sulit untuk disuntikkan namun tidak ada hubungan dengan frekuensi terjadinya efek
samping. Kontras media non ionik, monomer merupakan kontras media pilihan untuk
prosedur angiografi/intervensi koroner karena kemotoksisitasnya yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kontras media ionik, monomer.
Masing-masing kontras media yang disebutkan di atas diproduksi dalam konsentrasi yang
berbeda-beda dan memiliki osmolalitas dan viskositas yang berbeda-beda sehingga
pemakaiannya berbeda pula. Gambar 6 memperlihatkan jenis-jenis kontras media berdasarkan
sifat ioniknya, konsentrasi yodium di dalamnya, osmolalitasnya dan vsikositasnya.
90
Gambar 6. Karakteristik kontras media
Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya reaksi terhadap kontras media intravaskular antara lain:
1. Riwayat alergi terhadap kontras media sebelumnya, riwayat alergi obat-obatan, riwayat
alergi makanan, riwayat anafilaktik dan riwayat atopik.
2. Pernah atau sedang mengalami serangan asma
3. Adanya gangguan ginjal
4. Adanya penyakit jantung yang simtomatis misalnya pasien dengan angina atau gejala
gagal jantung kongestif dengan aktivitas minimal, pasien dengan stenosis aorta yang
berat, hipertensi pulmonal primer atau pasien dengan kardiomiopati yang berat.
91
5. Kecemasan yang berlebihan baik dari pihak pasien maupun dari pihak tenaga medis yang
akan melakukan prosedur
6. Faktor resiko lainnya seperti ada tidaknya penyakit paraproteinemia (misalnya mieloma
multipel), umur (terutama pada bayi dan anak-anak), pemakaian penyekat beta
sebelumnya, ada tidaknya penyakit tiroid dan sebagainya.
Efek samping
Efek samping pemakaian kontras media dapat dikategorikan dalam 2 kolompok besar
yaitu reaksi idiosinkrasi (reaksi menyerupai reaksi anafilaktik) yang bersifat ringan, sedang dan
berat, serta reaksi non idiosinkrasi.
1. Reaksi Idiosinkrasi
Reaksi idiosinkrasi terjadi dalam 20 menit pertama sejak kontras media diinjeksikan ke
dalam tubuh pasien dan tidak tergantung dosis. Meskipun reaksi ini menyerupai reaksi
anafilaktik, reaksi ini bukan merupakan reaksi hipersensitivitas karena imunoglobulin E
(IgE) tidak terlibat di dalamnya dan tidak dibutuhkan sensitisasi sebelumnya. Belum
tentu seorang pasien akan mengalami reaksi yang sama pada 2 atau lebih prosedur yang
berbeda yang menggunakan kontras media yang sama dan berbagai gejala yang berbeda
dapat muncul bersamaan pada seorang pasien yang mengalami reaksi idiosinkrasi. Atas
alasan ini, reaksi idiosinkrasi disebut juga reaksi anafilaktoid. Gejala-gejala yang muncul
akibat reaksi anafilaktoid dapat dikategorikan sebagai gejala yang ringan misalnya
urtikaria setempat, gatal-gatal, hidung berair, mual dan/atau muntah, batuk; gejala yang
sedang berupa muntah-muntah, urtikaria menyeluruh, nyeri kepala, muka bengkak,
spasme bronkus yang ringan, berdebar-debar, takikardi atau bradikardi, hipertensi dan
kejang otot perut; gejala yang berat seperti aritmia yang mengancam nyawa (misalnya
takikardi ventrikel), hipotensi, spasme bronkus yang berat, edema paru, kejang-kejang,
sinkop dan kematian.
Insidens terjadinya efek samping akibat pemakaian kontras media cukup bervariasi,
namun pada umumnya sangat kecil terutama apabila prosedur dilakukan dengan profesional.
Pada penelitian berskala besar di Jepang (337.647 kasus), resiko keseluruhan efek samping
pemakaian kontras media adalah 12,66% dengan kontras media ionik dan 3,13% dengan kontras
media non ionik; resiko terjadinya efek samping berat adalah masing-masing 0,2% dan 0,04%
untuk kontras media ionik dan non ionik,; resiko terjadinya efek samping sangat berat adalah
92
masing-masing 0,04% dan 0,004% untuk kontras media ionik dan non ionik. Penelitian lain
memperlihatkan dari 6000 pasien yang menggunakan kontras media ionik, insidens efek samping
ringan 2,5%, sedang 1,2%, dan berat 0,4%. Dari 7170 pasien yang menggunakan kontras media
non ionik, insidens efek samping hanya 0,58% untuk reaksi ringan, 0,11% untuk reaksi sedang
dan 0% untuk reaksi berat. Meta analisis yang dilakukan oleh Caro dkk memperlihatkan bahwa
resiko terjadinya efek samping berat sebesar 0,157% untuk kontras media osmolalitas tinggi dan
0,031% untuk kontras media osmolalitas rendah. Resiko kematian hanya ditemukan pada 1 dari
100.000 pasien untuk masing-masing jenis kontras media.
Kesimpulan
Pemakaian kontras media sangat penting untuk prosedur radiografi pada umumnya dan
posedur angiografi maupun intervensi koroner secara khusus.
Pemakaian kontras media bukanlah tanpa resiko namun resiko dapat ditekan seminimal
mungkin dengan melakukan prosedur secara profesional dan menggunakan kontras media secara
rasional dengan mempertimbangkan segala aspek mulai dari indikasi, faktor resiko, efek
samping dan hasil yang ingin dicapai.
93
9. CONTRAST INDUCED NEPHROPATHY (CIN)
PENDAHULUAN
Definisi klinis yang umumnya digunakan pada CIN adalah peningkatan relatif kreatinin
serum (SCr) > 25% dari nilai awal atau peningkatan absolut kreatinin > 0,5 mg/dL dalam 48 jam
setelah pemberian CM. Peningkatan SCr > 50% atau 1,0 mg/dL mengindikasikan kerusakan
ginjal yang serius dan implikasi klinis yang lebih signifikan.
Kerusakan akut fungsi ginjal dalam 3 hari terhadap pemberian media kontras (contrast
media/CM) dapat terjadi dengan beberapa mekanisme, diantaranya adalah ateroemboli pada
pasien dengan penyakit vaskular difus, nefritis interstitial akut yang terjadi karena
hipersensitivitas terhadap CM, dan penyebab prerenal yang dapat terjadi karena deplesi volume
intravaskular ataupun kondisi lain yang menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Ketika
etiologi lain telah dieksklusi, nefropati yang terjadi harus diduga disebabkan oleh contrast-
induced nephropathy (CIN).
Studi retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa munculnya CIN dikaitkan dengan
jumlah faktor risiko yang dimiliki oleh pasien. Prevalensi beberapa faktor risiko, seperti usia
lanjut dan diabetes juga meningkat. Dengan terus meningkatnya permintaan pemeriksaan
diagnostik yang membutuhkan CM, maka insiden CIN juga terus meningkat. Sampai saat ini
CIN adalah penyebab tersering ke-3 gagal ginjal yang didapat pada hospitalisasi. Pemeriksaan
angiografi dan angioplasti koroner merupakan prosedur radiologis yang paling sering
menyebabkan insufisiensi ginjal.
Tabel 1. Penyebab Gagal Ginjal
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan CIN dan pilihan terapi
terbatas pada perawatan suportif. Karena faktor risiko dari CIN sering ditemukan dan
konsekuensi dari CIN dapat memberikan dampak yang serius, adalah penting untuk praktisi
kesehatan untuk menggunakan strategi preventif dalam menggunakan CM pada praktek klinis.
94
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Insiden CIN
Insiden dari CIN dilaporkan berkisar antara 1-30%. Frekuensi dari kerusakan ginjal
ringan setelah injeksi kontras intra-vena yang direfleksikan oleh perubahan minor dari SCr
dilaporkan lebih jarang dibandingkan dengan injeksi intra-arterial pada angiografi koroner.
Harris dkk, Tepel dkk, dan Garcia dkk menunjukkan bahwa injeksi intra-vena CM non-ionik
dengan osmolaritas rendah (LOCM) pada pasien dengan CKD merupakan risiko rendah untuk
terjadinya CIN.
Tabel 2. Perbandingan head to head IOCM dengan HOCM dan LOCM
95
osmotik lainnya, CM pada lumen tubulus akan menurunkan reabsorbsi air, sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menurunkan gradien filtrasi dari kapiler
glomerulus. Hal ini akan meningkatkan penghantaran air dan natrium ke bagian distal tubulus
dan mengaktivasi umpan balik tubuloglomerular (tubuloglomerular feedback/TGF) yang akan
mengurangi GFR dari seluruh bagian ginjal. Peningkatan tekanan interstitium renal juga
memberikan kontribusi terhadap penurunan GFR dan terhadap hipoksia medula renal akibat
kompresi lokal vasa rekta.
Patogenesis
Perubahan pada hemodinamik renal dan toksisitas tubulus langsung dipercaya merupakan
jalur utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya CIN. Setelah injeksi CM, terdapat
peningkatan transien RBF yang diikuti dengan penurunan RBF dengan lebih lama, sehingga
mengindikasikan iskemia renal sebagai faktor utama dalam patogenesis CIN. Medula renal lebih
sedikit mendapatkan oksigen dibandingkan dengan korteks, berhubungan dengan tingginya
kebutuhan oksigen untuk transport aktif natrium dan aliran countercurrent. Kondisi dasar
hipoksia pada bagian luar medula membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan akibat hipoksia.
CM telah ditunjukkan mengurangi tekanan oksigen pada korteks dan medula. Efek ini dimediasi
dengan peningkatan efisiensi transport aktif dalam respon terhadap diuresis osmotik yang
disebabkan oleh HOCM dan pelepasan vasokontriktor seperti endotelin.
96
natrium bikarbonat untuk pencegahan CIN digunakan sebagai hipotesa awal beberapa studi
karena kemampuan keduanya untuk mencegah kerusakan oksidatif dari ROS. Beberapa
observasi klinis dan eksperimental menyatakan bahwa komponen hiperosmolalitas dari CM
memiliki peranan dalam patogenesis CIN, meskipun hal tersebut masih kontroversial.
Mekanisme lain mungkin mencakup peningkatan apoptosis sel, perburukan hipoksia medula,
peningkatan produksi ROS, aktivasi umpan balik tubuloglomerular, atau peningkatan tekanan
hidrostatik tubulus, salah satunya dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Gambar 3. Patogenesis CIN : radikal bebas, injury reperfusi, dan toksisitas tubulus.
97
Gambar 4. GFR dan risiko CIN
Faktor risiko independen dari CIN telah dilaporkan pada pasien yang menjalani
kateterisasi jantung, PCI, dan revaskularisasi koroner. Faktor demografik dasar mencakup usia
lanjut, faktor klinis berupa SCr yang tinggi, kerusakan ginjal yang sudah ada sebelumnya atau
chronic renal failure (CRF), kadar natrium serum yang rendah, kadar albumin serum yang
rendah, diabetes, hipertensi, ejeksi fraksi ventrikel kiri (LVEF) yang rendah atau gagal jantung
akut, revaskularisasi koroner sebelumnya atau operasi bypass (CABG), infark miokard akut
(IMA), syok, anemia, penyait vaskular perifer, dan riwayat stroke sebelumnya, dan faktor
prosedural yang mencakup penyakit multi-vessel, hipotensi, penggunaan intra-aortic balloon
pump (IABP), tipe CM yang digunakan, dan volume CM yang diberikan.
Mehran dkk mengembangkan skoring sederahana untuk CIN setelah PCI untuk pasien
dengan > 1 faktor risiko. Prediktor multivariat adalah hipotensi, penggunaan IABP, CHF,
gangguan fungsi ginjal (SCr > 1,5 mg/dL, umur > 75 tahun, anemia, diabetes, dan volume CM
yang banyak. Dua model multivariat digunakan, satu model digunakan untuk mengidentifikasi
fungsi ginjal dengan SCr dan model lain dengan GFR. Sistem skoring stratifikasi risiko
dikembangkan dengan menggunakan data dari kedua model multivariat dengan skor integral
antara satu dan enam untuk tiap variabel (gambar 6).
98
Gambar 6. Skor Risiko CIN
Pasien dikelompokkan menjadi 4 grup berdasarkan skor yang didapat, yaitu: risiko
rendah (skor < 5), risiko moderat (skor 6-10), risiko tinggi (skor 11-15), dan risiko sangat tinggi
(skor > 16).
Diagnosis Deferensial
Beberapa kondisi yang harus dipikirkan sebagai diagnosis diferensial CIN adalah sebagai
berikut:
1. Gagal ginjal ateroembolic : biasanya timbul lebih dari 1 bulan setelah pemberian kontras,
ditandai dengan blue toes, perjalanan penyakit yang lebih panjang, dan pemulihan yang lebih
jarang ditemukan.
2. GGA (termasuk azotemia pre-renal dan post-renal) : biasanya berkaitan dengan dehidrasi
akibat penggunaan diuretik yang berlebihan dan mengeksaserbasi kondisi deplesi cairan yang
telah ada sebelumnya. GGA biasanya oliguria dan perbaikan akan terjadi dalam 2-3 minggu.
3. Nefritis interstitial akut (trias demam, ruam kulit, dan eosinofilia) : ditandai pula dengan
eosinofiluria, nefritits biasa disebabkan karena obat-obatan seperti penisilin, sefalosporin,
dan NSAID.
4. Nekrosis tubular akut : timbul karena iskemia akibat sebab pre-renal, baik toksin endogen
seperti hemoglobin, mioglobin, dan rantai pendek, ataupun toksin eksogen seperti antibiotik,
agen kemoterapi, pelarut organik, dan logam berat.
Prognosis CIN
Pemulihan dari CIN umum terjadi dan dialisa jarang diperlukan. Beberapa derajat sisa
kerusakan ginjal telah dilaporkan pada 30% populasi yang sebelumnya menderita CIN. GGA
yang timbul pada CIN umumnya non-oliguria dan reversibel. Pada pasien dengan risiko tinggi,
oliguria dapat terjadi dalam 24 jam setelah pemberian CM. Terjadinya GGA akan
memperpanjang masa hospitalisasi. Timbulnya CIN dikaitkan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas in-hospital dan mortalitas jangka panjang. Pada sebuah studi retrospektif, Levy
dkk menyimpulkan bahwa pasien yang menderita CIN memiliki angka mortalitas yang lebih
tinggi (34%) dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita CIN (7%) setelah pemberian
kontras.
99
Gambar 7. Hubungan CIN dengan mortalitas.
Komplikasi Non-Renal
Pasien yang menderita CIN memiliki risiko yang lebih tinggi untuk beberapa komplikasi
non-renal. Sebagai contoh, analisa retrospektif dari data the Mayo Clinic PCI Registry yang
menunjukkan komplikasi kardiak yang lebih sering, termasuk perlunya CABG, emergensi, Q-
wave IMA, peningkatan kreatinin kinase, hipotensi, syok, henti jantung, dan penggunaan IABP,
pada pasien dengan CIN dibandingkan dengan pasien tanpa CIN. Komplikasi prosedur vaskular
dan sistemik terjadi pada frekuensi yang lebih sering pada pasien dengan CIN dan mencakup
perdarahan femoral, hematoma, pseudoaneurisma, stroke, sindrom respirasi akut, emboli
pulmonal, dan perdarahan gastrointestinal.
Asosiasi komplikasi non-renal dengn CIN memunculkan sejumlah pertanyaan penting
apakah timbulnya CIN meningkatkan risiko komplikasi tersebut, atau apakah pasien-pasien
tersebut memiliki predileksi kelaianan non renal sebelumnya (patologi vaskular) yang
merupakan faktor predisposisi terjadinya CIN, dan apakah penanganan gagal ginjal
(hemodialisa) pada pasien yang menderita CIN akan mengurangi angka kematian, serta apakah
pasien-pasien tersebut meninggal karena gagal ginjal atau karena kompllikasi non-renal.
100
Gambar 8. Pantuan tatalaksana pasien dengan pemberian kontras.
Terapi Hidrasi
Terapi hidrasi merupakan satu-satunya terapi yang secara universal terbukti berguna
dalam tatalaksana pencegahan CIN. Studi awal Solomon dkk menampilkan keuntungan dari
terapi hidrasi dalam pencegahan CIN. Peneliti juga menemukan pemberian diuretik kuat tidak
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan terapi hidrasi dengan salin 0,45%.
Cairan dengan komposisi yang berbeda dan tonisitas telah diteliti, termasuk bikarbonat dan
manitol.
Normal Saline (NS) telah dibuktikan lebih superior dibandingkan dengan salin 0,45%
dalam kemampuannya menghasilkan ekspansi volume intravaskular. Hal ini juga akan
meningkatkan ekskresi natrium ke nefron bagian distal, sehingga mencegah aktivasi renin-
angiotensin, dan dengan demikian akan meningkatkanaliran darah renal. Dalam memberikan
terapi hidrasi, pemberian oral dibuktikan lebih inferior dibandingkan dengan pemberian
intravena.
The CIN Consensus Working Panel menemukan bahwa ekspansi volume intravaskular
yang adekuat dengan kristaloid isotonik (1-1,5 mL/kg/h), 3-12 jam sebelum prosedur dan
dilanjutkan 6-12 jam setelahnya, menurunkan insiden CIN pada pasien dengan risiko. Grup
tersebut juga menganalisa 6 trial dengan protokol yang berbeda untuk ekspansi volume. Studi
yang dilakukan berbeda pada tipe cairan yang digunakan untuk hidrasi (isotonik vs salin 0,45%),
rute pembeian, durasi, waktu pemberian, dan jumlah cairan yang digunakan.
Untuk pasien yang dihospitalisasi, ekspansi volume seharusnya dimulai 6 jam sebelum
prosedur dan dilanjutkan 6-24 jam setelah prosedur. Untuk pasien rawat jalan, pemberian cairan
101
dapat dimulai 3 jam sebelum tindakan dan dilanjutkan untuk 12 jam setelah prosedur. Ekspansi
cairan post-prosedur lebih penting dari hidrasi pre-prosedur. Beberapa ahli juga menyatakan
jumlah urin sebesar 150 mL/jam menunjukkan kecepatan penggantian cairan, meskipun The CIN
Consensus Working Panel tidak menemukan kegunaan target jumlah urin dalam evaluasi pasien.
Tabel 5. Panduan Pemberian Hidrasi
CHF memiliki tantangan khusus. Pasien dengan CHF terkompensasi harus diberikan
cairan pula meskipun perhitungan kecepatan pemberian yang lebih rendah harus dipikirkan.
CHD yang tidak terkompensasi harus menjalankan monitoring hemodinamik jika dimungkinkan,
dan diuretik harus dilanjutkan. Pada kondisi emergensi, pertimbangan klinis harus digunakan dan
tanpa adanya pemeriksaan fungsi ginjal awal, hidrasi post-prosedur yang cukup harus diberikan.
Statin
Statin telah digunakan secara luas pada kasus penyakit jantung koroner (PJK) dengan
efek pleiotropik tambahan (efek menguntungkan terhadap endotelin dan pembentukan trombus,
stabilisasi plak, dan properti anti-inflamasi), dan dipercaya bahwa berdasarkan mekanisme
vaskular terjadinya CIN, statin mungkin pula memiliki manfaat efek renoprotektif. Data yang
terdapat dari penggunaan statin meskipun demikian masih anekdotal dan merupakan studi
retrospektif, diambil dari data pasien yang menjalankan PCI dimana biasanya statin merupakan
obat rutin yang telah digunakan.
Angka kejadian CIN yang lebih rendah ditemukan pada pasien yang mendapatkan statin
sebelum tindakan (insiden CIN 4,37% pada kelompok statin vs 5,93% pada kelompok non-
statin). Tetapi, studi prospektif mengenai penggunaan statin pada pasien yang menjalani
prosedur non kardia masih dibutuhkan untuk kualifikasi yang lebih baik dari hasil studi
sebelumnya.
N-Acetylcysteine (NAC)
NAC adalah L-sistein terasetilasi yang merupakan sebuah asam amino. Grup sulfhidril
yang dimiliki membuatnya memiliki komponen antioksidan yang sangat baik dan pengikat
radikal oksigen bebas. NAC juga dapat meningkatkan efek vasodilatasi dari NO. Sebanyak 12
metaanalisa yang mencakup 29 RCT mengenai efek pemberian NAC pada CIN telah
dipublikasikan. Hasil studi-studi tersebut menunjukkan variasi yang signifikan. Regimen
pemberian NAC oral adalah 600 mg dua kali sehari pada 24 jam sebelum prosedur dan pada hari
prosedur akan dilaksanakan. Penggunaan dosis yang lebih besar (1.000 mg, 1.200 mg, dan 1.500
mg dua kali sehari) juga telah diteliti tanpa menunjukkan perbaikan efektivitas. Begitupun pula
dari studi yang dilakukan mengenai rute pemberian, baik oral ataupun intra-vena juga tidak
menghasilkan perbedaan yang signifikan. NAC memiliki bioavaliabilitas yang rendah secara
102
pemberian oral, dengan variabilitas yang cukup signifikan pada pasien yang berbeda, dan
inkonsistensi antara produk NAC yang tersedia di pasaran juga turut berperan dalam
menghasilkan keluaran yang seragam.
Seperti halnya pendekatan preventif lainnya, berbagai kontroversi juga ditemukan pada
pemberian NAC. Kontroversi terkini berkaitan dengan parameter keluaran yang ingin dicapai
melalui terapi NAC. Kemampuan NAC dalam menurunkan kadar SCr ditengarai bukan
disebabkan oleh kemampuan NAC dalam memperbaiki GFR, tetapi hal ini disebabkan oleh
kemampuan intrinsik NAC yang sercara langsung dapat menurunkan kadar SCr melalui
peningkatan ekskresi SCr melalui sekresi tubulus, menurunkan produksi SCr (mengaugmentasi
aktivitas kreatinin kinase), atau mempengaruhi pengukuran laboratorium, abik secara enzimatik
ataupun non-enzimatik.
The CIN Consensus Working Panel menyimpulkan bahwa data sebelumnya mengenai
terapi NAC pada CIN cukup bervariasi sehingga belum dapat digunakan untuk menghasilkan
rekomendasi yang valid. Pada praktek klinis, NAC tetap diberikan sebagai terapi standar yang
didukung pula oleh harganya yang tidak mahal, sedikitnya efek negatif, potensi efek
menguntungkan yang ditunjukkan dengan penurunan risiko relatif CIN yang berkisar antara
0,37-0,73 dari beberapa metaanalisa.
Tabel 7. Panduan Pemberian NAC
103
Pencegahan dan Hal-hal yang Harus Dihindari
Telah diketahui bahwa terapi terbaik untuk CIN adalah pencegahan. Pasien dengan faktor
risiko harus diidentifikasi secara dini, terutama pasien GGK. Riwayat penyakit yang seksama
harus didata secara akurat, terutama diabetes. Pada pasien dengan faktor risiko CIN,
kemungkinan pemeriksaan diagnostik lain yang tidak memerlukan kontras harus dipergunakan
apabila memungkinkan.
Pada pasien dengan risiko moderat dan berat CIN, klirens kreatinin atau GFR harus
diukur dengan menggunakan formula CG atau MDRD dan dilakukan pengukuran ulang pada 24-
48 jam setelah pemberian kontras. Dalam keadaan emergensi, ketika keuntungan pencitraan dini
dengan kontras memiliki manfaat yang lebih dari risiko yang mungkin terjadi, maka pemeriksaan
dapat dilakukan tanpa perlu mendapatkan nilai SCr atau GFR sebelumnya. Pada pasien dengan
peningkatan risiko CIN yang mendapatkan kontras intra-arterial, IOCM non ionik dihubungkan
dengan risiko terendah terjadinya CIN.
Jumlah kontras yang digunakan selam prosedur harus dibatas sesedikit mungkin dan
dibatasi tidak melebih 100 mL. Risiko CIN meningkat sampai 12% untuk setiap tambahan 100
mL CM.
Beberapa formula untuk menghitung dosis maksimal CM yang aman telah
dipublikasikan. Dua formula yang sering digunakan adalah menurut Cigarroa dkk dan the
European Society of Urogenital Radiology (ESUR). Cigarroa dkk dalam studi retrospektif hyang
mencakup 115 pasien yang menjalankan kateterisasi jantung dan angiografi, menggunakan
HOCM diatrizoate, menganjurkan dosis CM tidak melebihi 5 mL/kgBB (maksimum 300 mL
dibagi dengan SCr [mg/dL]). ESUR juga telah mempublikasikan volume maksimal LOCM untuk
setiap nilai SCr.
Rentang jarang antara 2 prosedur dengan kontras sendiri harus dilakukan sedikitnya 48-
72 jam. Pengulangan yang terlalu cepat dihubungkan dengan risiko univariat terjadinya CIN.
Obat-obatan dengan efek nefrotoksik (seperti NSAID, aminoglikosida, amfoterisin B,
siklosporin, dan takrolimus) harus dihentikan sementara 24 jam sebelum prosedur pada pasien
dengan risiko (GFR < 60 mL/menit). Metformin meskipun tidak nefrotoksik harus digunakan
secara hati-hati karena jika gagal ginjal terjadi, terdapat risiko asidosis laktat konkomitan.
Karena itu, metformin sebaiknya dihentikan pada saat prosedur dan dapat diberikan kembali
setelah 48 jam apabila fungsi renal dalam batas normal. Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) menyebabkan peningkatan SCr sebesar 10-15%
dengan mengurangi rekanan intraglomerular. Ketika obat ini tidak harus dimulai pada saat
prosedur ataupun harus dihentikan untuk sementara waktu masih menyisakan perdebatan dan
kontroversial.
104
Kepustakaan
1. Owen RJ et al. Consensus Guidelines for the Prevention of Contrast Induced Nephropathy.
Canadian Association of Radiologists.
2. Marc JS et al. Prevention of Contrast Induced Nephropathy : Recommendation for the High
Risk Patient Undergoing Cardiovascular Procedures. Catheterization and Cardiovascular
Intervention 2007; 69: 135-140.
3. Aine MK et al. Meta Analysis : Effectiveness of Drugs for Preventing Contrast-Induced
Nephropathy. Annals of Internal Medicine 2008; 14: 284-295
4. Richard S and Christoper ID. Prevention of Contrast-Induced Nephropathy in the Emergency
Department. Annals of Emergency Medicine 2007; 50(3): 335-347.
5. Gregory J et al. Prevention of Contrast-Induced Nephropathy with Sodium Bicarbonate.
JAMA 2004; 291(19): 2328-2334.
6. William F. The Clinical and Renal Consequences of Contrast-Induced Nephropathy. Nephrol
Dial Transplant 2006 (21): i2-i10.
7. Martin T, Peter A, and Norbert L. Contrast-Induced Nephropathy: a Clinical and Evidence-
Based Approach. Circulation 2006; 113: 1799-1806.
8. Neesh P et al. Prophylaxis Strategies for Contrast-Induced Nephropathy. JAMA 2006;
295(23): 2765-2779.
9. Richard JS et al. Contrast-Induced Nephropathy and Long-Term Adverse Events: Cause and
Effect?. Clin J Am Soc Nephrol 2009; 4: 1162-1169.
10. Roxana M et al. A Simple Risk Score for Predicition of Contrast-Induced Nephropathy after
Percutaneous Coronary Intervention. Journal of American College of Cardiology 2004;
44(7): 1393-1393.
11. Mohammad KS et al. Approaches to Contrast-Induced Nephropathy. Touch Briefings 2009:
36-40
12. Sean MB et al. Acetylcysteine in the Prevention of Contrast-Induced Nephropathy. Arch
Intern Med 2006; 166: 161-166.
13. Norbert HL. Contrast-Induced Nephropathy-Prevention and Risk Reduction. Nephrol Dial
Transplant 2006; 21: i11-i23.
14. Pinelopi PK and Michael RR. Contrast-Induced Nephropathy-Pathogenesis and
Prevention.Touch Briefings 2007: 83-85.
15. Sam WW et al. Prevention of Contrast-Induced Nephropathy. Touch Briefings 2009: 41-45.
16. Pontus BP, Peter H, and Per L. Pathophysiology of Contrast Medium-Induced Nephropathy.
Kidney International 2005; 68: 14-22.
17. Hans PN, Lengsfeld P, Brautigam M. Contrast-Induced Nephropathy Coronary Intervention.
Touhc Briefings 2007: 54-57.
18. Wong GTC, Irwin MG. Contrast-Induced Nephropathy. British Journal of Anaesthesia 2007;
99(4): 474-83.
19. Pontus B and Andreas P. Renal Haemodynamic in Contrast Medium-Induced Nephropathy
and the Benefit of Hydration. Nephrol Dial Transplant 2005; 20: i2-i5.
20. Adis T. Protection of Radiocontrast Induced Nephropathy by Vitamin E (Alpha Tocopherol):
A Randomized Controlled Pilot Study. J Med Assoc Thai 2009. 92(19): 1273-1281.
21. Mehran E and Nikolsky E. Contrast-Induced Nephropathy: Definition, Epidemiology, and
Patient at Risk. Kidney International 2006; 69: 511-515.
22. Weisbord S and Palevsky P. Practical Strategy to Prevent Contrast-Induced Nephropathy.
Touch Briefing 2008: 56-59.
105
23. Barret, B et al. Contrast-Induced Nephropathy in Patients with Chronic Kidney Disease
Undergoing Computed Tomography: A Double Blind Comparison of Iodixanol and
Iopamidol. Investigative Radiology 2006; 41(11): 815-821.
24. Thomsen H and Morcos S. Risk of Contrast-Induced Nephropathy in High Risk Patients
Undergoing MDCT – A Pooled Analysis of Two Randomized Trials. Eur Radiol 2009; 19:
891-897.
25. Goldfarb S et al. Contrast-Induced Acute Kidney Injury: Specialty-Specific Protocols for
Interventional Radiology, Diagnostic Computed Tomography Radiology, and Interventional
Cardiology. Mayo Clin Proc 2009; 84: 170-179.
26. Bettman M. Contrast Medium-Induced Nephropathy: Critical Review of the Existing Clinical
Evidence. Nephrol Dial Transplant 2005; 20: i2-i7.
27. Cruz D et al. Extracorporeal Blood Purification Therapies for Prevention of Radiocontrast-
Induced Nephropathy: A Systematic Review. American Journal of Kidney Disease 2006;
48(3): 361-371.
28. Caixeta A, Nikolsky E, and Mehran R. Contrast-Induced Nephropathy in High-risk Patient
Population. Touch Briefing 2008: 10-16.
29. Katzberg R and Barrett B. Risk of Iodinated Contrast Material-Induced Nephropathy with
Intravenous Administration. Radiology 2007; 243: 622-628.
30. Onbasili A et al. Trimetazidine in the Prevention of Contrast-Induced Nephropathy after
Coronary Procedures. Heart 2007; 93: 698-702.
31. Katholi R. Contrast-Induced Nephropathy – Update and Practical Clinical Applications. US
Cardiovascular Database 2006: 73-84.
32. Bartorelli A and Marenzi G. Contrast-Induced Nephropathy. J Interven Cardiol 2008; 21: 74-
85.
33. Solomon R. Long-Term Prognostic Implications of Acute Kidney Injury in Patients
Undergoing Coronary Angiography. Touch Briefings 2009: 33-37.
34. Sinert R and Doty C. Update: Prevention of Contrast-Induced Nephropathy in The
Emergency Department. Ann Emerg Med 2009; 54: e1-e5.
35. Tepel M, Aspelin P, and Lameire N. Contrast-Induced Nephropathy: A Clinical and
Evidenced-Based Approach. Circulation 2006: 1799-1806.
36. Detrenis S et al. Lights and Shadows on the Pathogenesis of Contrast-Induced Nephropathy:
State of the Art. Nephrol Dial Transplant 2005; 20: 1542-1550.
37. Rudnick M, Kesselheim A, and Goldfarb S. Contrast-Induced Nephropathy: How It
Develops, How to Prevent It. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2006; 73: 75-85.
38. Goldenberg I and Matetzky S. Nephropathy Induced by Contrast Media: Pathogenesis, Risk
Factors, and Preventive Strategies. CMAJ 2005; 172(11): 1461-1471.
106
10. STRATEGI REPERFUSI INVASIF: PRIMARY PCI, FACILITATED PCI,
PHARMACOINVASIVE
Pendahuluan
Penggunaan PCI pada STEMI dapat dibagi menjadi Primary PCI, PCI yang
dikombinasikan dengan terapi reperfusi farmakologis, dan rescue PCI jika reperfusi
farmakologis gagal. Primary PCI dapat didefinisikan sebagai angioplasi koroner/stenting tanpa
pemberian obat obatan fibrinolitik atau GPIIB/IIIa antagonis terlebih dahulu. Biasanya pasien
hanya mendapat obat aspirin, clopidogrel, heparin arau bivalirudin sebelum dilakukan intervensi.
Facilitated PCI didefinisikan sebagai reperfusi farmakologis yang diberikan sebelum dilakukan
PCI terencana, untuk menjembatani terjadinya keterlambatan untuk dilakukan Primary PCI.
Dengan strategi ini sangatlah penting untuk diputuskan bahwa akan dilakukan PCI sebelum
dilakukan reperfusi farmakologis.1
Angka keberhasilan bertahan hidup pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST
(STEMI) sangat tergantung pada seberapa cepat, lengkap dan berkelanjutan dari strategi
reperfusi pada arteri yang menyebabkan infark.2,3,4 Terapi farmakologis dengan menggunakan
regimen fibrinolisis memberikan reperfusi yang cepat, tetapi aliran yang dapat dikembalikan
secara sempurna hanya terdapat pada 60% dari pasien. Reperfusi mekanis dengan percutaneous
coronary intervention (PCI) dapat mengembalikan aliran darah secara sempurna pada 95%
pasien dan kejadian terjadinya oklusi ulang lebih rendah; akan tetapi tidak tersedia luas.5 Dari
hasil studi yang membandingkan antara terapi fibrinolitik dengan PCI, didapatkan hasil ada
perbedaan 2% lebih tinggi pada grup PCI terhadap angka bertahan hidup.6
Primary PCI
Pasien yang datang ke rumah sakit dengan durasi sakit dada kurang dari 12 jam, Primary
PCI menunjukkan angka mortalitas pada 30 hari, infark miokard tidak fatal, stroke yang lebih
rendah dibandingkan dengan trombolisis.7,9 Primary PCI tetap lebih efektif dibandingkan
trombolisis ketika pasien perlu ditransfer ke rumah sakit dengan fasilitas PCI dengan waktu
kurang dari 90 menit dan pantensi dari pembuluh darah didapatkan dalam waktu 120 menit.9,10
Manfaat relatif dari Primary PCI dibandingkan trombolisis tampaknya akan berkurang jika onset
gejala kurang dari 2 jam, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan antara waktu yang dibutuhkan
untuk memulai rekanalisasi mekanik (yang diukur dengan waktu pintu-ke-balon) dan waktu yang
dibutuhkan untuk memulai farmakologis rekanalisasi (yang diukur dengan waktu pintu-ke-
jarum) melebihi 1 jam.11
Primary PCI dengan jendela waktu sesuai guidelines tidak bisa ditawarkan kepada semua
pasien, walaupun dengan jaringan yang baik antara ambulan dan rumah sakit. Untuk beberapa
pasien tersebut, terutama pasien dengan onset yang sangat baru tanpa adanya risiko pendarahan,
pemberian terapi trombolitik masih merupakan pilihan terbaik sambil pasien dikirim ke rumah
sakit dengan fasilitas PCI untuk dilakukan rescue PCI atau angiografi dalam rangka memutuskan
perlu atau tidaknya dilakukan PCI atau CABG atau tidak perlu intervensi mekanis.12
Facilitated PCI
Walaupun terdapat superioritas intervensi mekanik bahkan dengan keadaan dimana
memerlukan transfer pasien, sangatlah jelas bahwa penundaan reperfusi memberikan dampak
yang buruk. Data dari NRMI menunjukkan bahwa jika waktu yang dibutuhkan dari pintu ke
balon lebih dari 2 jam meningkatkan angka mortalitas dari 42-62% dibandingkan pasien yang
107
segera direperfusi. Selain hal tersebut konsep penting dari efikasi facilitated PCI adalah
keuntungan tercapainya TIMI flow grade 3 sebelum dilakukan intervensi mekanik. Facilitated
PCI dapat dilakukan dengan trombolitik dosis penuh ataupun dikurangi. 12,13,14 Guidelines dari
The American Heart Association/ American College of Cardiology (AHA/ACC) memberikan
rekomendasi kelas IIB pada facilitated PCI, dengan pernyataan berupa "facilitated PCI dapat
dilakukan ketika PCI tidak tersedia dengan cepat dan risiko pendarahan rendah".16
108
Pharmacoinvasive
Definisi dari strategy pharmacoinvasive adalah reperfusi dengan fibrinolitik dengan
memikirkan rencana cadangan tindakan invasif, yang berarti pasien dikirim ke rumah sakit
dengan fasilitas PCI untuk dilakukan rescue PCI jika fibrinolitik gagal atau angiografi koroner
untuk menentukan apakah perlu dilakukan tindakan terhadap lesi (PCI atau CABG). Menurut
guidelines dari ESC waktu yang baik untuk dilakukan angiografi koroner adalah 3-24 jam
setelah fibrinolitik.12
Ringkasan
Seiring dengan berjalannya waktu banyak ditemukan strategi baru dalam penanganan
infark miokard. Trombolitik, Primary PCI, Facilitated PCI, Rescue PCI, Strategi
pharmacoinvasive merupakan strategi yang dapat dipilih sesuai keadaan rumah sakit, demografi,
dan pasien itu sendiri.
Primary PCI merupakan strategi terbaik, tetapi tidak dapat dilakukan pada semua rumah
sakit dan mempunyai jendela waktu yang relatif sempit. Berdasarkan keterbatasan tersebut
dibuatlah sebuah strategi berupa facilitated PCI untuk menjembatani keterbatasan Primary PCI,
tetapi hasil yang didapat kurang begitu memuaskan, walaupun ada beberapa keuntungan yang
bisa didapat seperti tercapainya TIMI flow 3 yang lebih cepat.
Sehingga sejak tahun 2003 diperkenalkan strategi baru berupa strategi pharmacoinvasive
dimana hasil yang didapatkan memuaskan dan dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat
dilakukan Primary PCI. Tetapi kontroversi masih terjadi, sehingga masih diperlukan menunggu
hasil studi yang lebih besar, yang melibatkan banyak center untuk membuat sebuah kesimpulan
yang baik.
109
Daftar Pustaka
1. Van de Werf F. Pharmaco-invasive vs. Facilitated percutaneus catheter intervention
strategies for ST-segment elevation acute myocardial infarction patients in the new ESC
guidelines. Eur Heart Journal 2009;30:2817-28.
2. Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction.
Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell’Infarto Miocardico (GISSI).
Lancet. 1986;1:397-402.
3. The effects of tissue plasminogen activator, streptokinase, or both on coronary-artery
patency, ventricular function, and survival after acute myocardial infarction. The GUSTO
Angiographic Investigators [published erratum appears in N Engl J Med. 1994;330:516].
N Engl J Med. 1993;329:1615-1622.
4. Ohman EM, Califf RM, Topol EJ, et al. Consequences of reocclusion after successful
reperfusion therapy in acute myocardial infarction. TAMI Study Group. Circulation.
1990;82:781-791.
5. Gibson CM. Primary angioplasty compared with thrombolysis: new issues in the era of
glycopro- tein IIb/IIIa inhibition and intracoronary stenting. Ann Intern Med.
1999;130:841-847.
6. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic
therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomized trials.
Lancet. 2003;361:13-20.
7. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic
therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials.
Lancet. 2003;361:13–20.
8. Mehta RH, Granger CB, Alexander KP, et al. Reperfusion strategies for acute myocardial
infarction in the elderly: benefits and risks. J Am Coll Cardiol. 2005;45:471–478.
9. Dalby M, Bouzamondo A, Lechat P, et al. Transfer for primary angioplasty versus
immediate thrombolysis in acute myocardial in- farction: a meta-analysis. Circulation.
2003;108:1809–1814.
10. Ishihara M, Inoue I, Kawagoe T, et al. Impact of spontaneous antero- grade flow of the
infarct artery on left ventricular function in patients with a first CILOSTASOLanterior
wall acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2002; 90:5–9.
11. Nallamothu BK, Bates ER. Percutaneous coronary intervention versus fibrinolytic
therapy in acute myocardial infarction: is timing (almost) everything? Am J Cardiol.
2003;92:824–826.
12. Werf FV. Pharmaco-invasive vs facilitated percutaneus coronary intervention strategies
for ST segment elevation acute myocardial infarction patients in the new ESC guidelines.
Eur Heart Journal 2009;30:2817-28.
13. Cannon CP, Gibson CM, Lambrew CT, et al. Relationship of symptom-onset–to-balloon
time and door-to balloon time with mortality in patients undergoing angioplasty for acute
myocardial infarction. JAMA 2000;283:2941–2947.
14. Stone GW, Cox D, Garcia E, et al. Normal Flow (TIMI-3) before mechanical reperfusion
therapy independent determinant of survival in acute myocardial infarction. Circulation
2001;104:636–641.
15. Michel RLM. PCI strategies after fibrinolytic threapy: how to choose the appropriate
reperfusion strategy. Cardiac Interventions Today. 2010:57-61.
110
16. AntmanEM,AnbeDT,ArmstrongPW,etal.ACC/AHAguidelines for the management of
patients with ST-elevation myocardial infarc- tion: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee
to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Circulation 2004;110:E82–E293.
17. Borden WB, Faxon DP. Facilitated Percutaneous Coronary Intervention. Journal of the
American college of cardiology 2006;48(6):1120-8
18. Vermeer F, Ophuis AJMO, Berg EJv, et al. Prospective randomised comparison between
thrombolysis, rescue PTCA, and primary PTCA in patients with extensive myocardial
infarction admitted to a hospital without PTCA facilities: a safety and feasibility study.
Heart 1999;82: 426 –31.
19. Widimsky P, Groch L, Zelizko M, Aschermann M, Bednar F, Suryapranata H.
Multicentre randomized trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate
thrombolysis vs combined strategy for patients with acute myocardial infarction
presenting to a community hospital without a catheterization laboratory. The PRAGUE
study. Eur Heart J 2000;21:823–31.
20. Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport for primary
angioplasty vs immediate thrombolysis in acute myocardial infarction: final results of the
randomized national multicentre trial— PRAGUE-2. Eur Heart J 2003;24:94 –
104.
21. Kurihara H, Matsumoto S, Tamura R, et al. Clinical outcome of percutaneous coronary
intervention with antecedent mutant t-PA administration for acute myocardial infarction.
Am Heart J 2004; 147:676.
22. Thiele H. ST-Segment Recovery in Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction
Reperfused by Prehospital Fibrinolysis, Prehos- pital Initiated Facilitated PCI or Primary
PCI. Presented at: American Heart Association Scientific Sessions; Dallas, TX: 2005.
23. Arntz HR. Effects of Out-of-Hospital Thrombolysis Prior to PCI on Patency Rate and
PCI Success in Acute Myocardial Infarction. Presented at: American Heart Association
Scientific Sessions; Dallas, TX: 2005.
24. The ASSENT-4 Investigators. Assessment of the safety and efficacy of a new treatment
strategy with percutaneous coronary intervention: primary versus tenecteplase-facilitated
percutaneous coronary intervention in patients with ST-segment elevation acute
myocardial infarction (ASSENT-4 PCI): randomised trial. Lancet 367:569–78.
25. Ross AM, Coyne KS, Reiner JS, et al. A randomized trial comparing primary angioplasty
with a strategy of short-acting thrombolysis and immediate planned rescue angioplasty in
acute myocardial infarction: the PACT trial. J Am Coll Cardiol 1999;34:1954.
26. Fernandez-Aviles F. Primary Optimal Percutaneous Coronary Inter- vention Versus
Facilitated Intervention (Tenecteplase Plus Stenting) in Patients With ST-Elevated Acute
Myocardial Infarction (GRACIA-2). Presented at: European Society of Cardiology
Annual Congress; Vienna, Austria: 2003.
27. The ADVANCE MI Investigators. Facilitated percutaneous coronary intervention for
acute ST-segment elevation myocardial infarction: results from the prematurely
terminated ADdressing the Value of facilitated ANgioplasty after Combination therapy or
Eptifibatide monotherapy in acute Myocardial Infarction (ADVANCE MI) trial. Am
Heart J 2005;150:116–22.
111
28. Kastrati A, Mehilli J, Schlotterbeck K, et al. Early administration of reteplase plus
abciximab vs abciximab alone in patients with acute myocardial infarction referred for
percutaneous coronary intervention: a randomized controlled trial. JAMA 2004;291:947–
54.
29. McNamara RL, Herrin J, Bradley EH, et al. Hospital improvement in time to reperfusion
in patients with acute myocardial infarction, 1999 to 2002. J Am Coll Cardiol
2006;47:45–51.
30. Dauerman HL, Sobel BE. Synergistic treatment of ST-segment elevation myocardial
infarction with pharmacoinvasive recanalization. J Am Coll Cardio 2003;42:646-651.
31. Kiernan TJ, Ting HH, Gersh BJ. Facilitated percutaneous coronary intervention: current
concepts, promises, and pitfalls. Eur Heart Journal 2007;28:1545-53.
112
12. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Dalam Intervensi Jantung
Pendahuluan
Angiografi koroner hingga saat ini masih merupakan metode utama untuk menilai derajat
stenosis arteri koroner.2 Meskipun demikian, beberapa studi otopsi telah menunjukkan bahwa
angiografi koroner tidak memprediksikan derajat stenosis secara akurat.3-4 Proses aterosklerosis
di koroner sering terjadi secara difus, konsentrik, simetris dan mempengaruhi seluruh pembuluh
darah koroner, yang akan menghasilkan gambaran angiografi arteri koroner dengan lumen yang
kecil tanpa gambaran iregular yang signifikan.5
Sebagai tambahan, angiografi koroner hanya dapat memberikan informasi mengenai
derajat stenosis arteri koroner; sedangkan data mengenai komposisi plak aterosklerosis dan
remodeling vaskular tidak dapat ditentukan melalui angiografi koroner.6 Hal ini menyebabkan
angiografi koroner tidak dapat membedakan antara plak yang stabil dan plak yang tidak stabil,
sehingga tidak dapat memprediksikan kejadian kardiovaskular secara akurat.7
Beberapa metode diagnostik penunjang telah dikembangkan dalam rangka menunjang
hasil pemeriksaan angiografi koroner untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, termasuk di
antaranya Fractional Flow Reserve (FFR), Intravascular Ultrasound (IVUS) dan Optical
Coherence Tomography (OCT). Berikut akan dibahas mengenai metode penunjang diagnostik
yang tersedia, termasuk indikasi, keuntungan, kelemahan dan manfaatnya dalam aplikasi klinis.
113
Peranan FFR
Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan antara derajat stenosis melalui angiografi
dengan derajat fungsional stenosis. Sebuah subanalisis dari studi FAME (Fractional flow reserve
versus Angiography for Multivessel Evaluation) menunjukkan dari pasien-pasien yang
didiagnosa memiliki kelainan di ketiga pembuluh darah koroner berdasarkan angiografi, ternyata
hanya 14% di antaranya yang benar-benar memiliki kelainan 3 pembuluh darah berdasarkan
pemeriksaan FFR, di mana hanya 9% di antaranya yang memiliki stenosis yang secara
fungsional signifikan. Sebagai tambahan dalam studi FAME terlihat bahwa jika tidak dilakukan
pemeriksaan FFR, maka sekitar 40% prosedur PCI sebetulnya dilakukan pada stenosis yang
secara fungsional tidak signifikan.16
Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa pada pasien dengan stenosis sedang, tetapi
tanpa disertai gangguan FFR yang signifikan, angka kejadian kardiovaskular akan lebih rendah
bila PCI tidak dilakukan. Pada studi DEFER (FFR to Determine Appropriateness of Angioplasty
in Moderate Coronary Stenoses), dilakukan randomisasi 325 pasien yang direncanakan untuk
PCI menjadi 3 grup. Pada pasien dengan FFR <0.75, pasien dirandomisasi menjadi grup PCI (90
pasien) dan grup tanpa PCI (91 pasien); sedangkan pada pasien dengan FFR >0.75, PCI
dilakukan sesuai jadwal dan pasien digolongkan dalam grup referensi (144 pasien). Secara
umum, angka kejadian kematian kardiovaskular dan infark miokard akut pada grup tanpa PCI,
grup PCI dan grup referensi secara berturut-turut adalah 3,3%, 7,9% dan 15,7% (P= 0,21 untuk
grup tanpa PCI vs grup PCI dan P= 0,003 untuk grup referensi vs grup tanpa PCI dan grup
PCI).17 Pada studi FAME, grup dengan FFR-guided PCI secara signifikan memiliki kejadian
MACE (Major Adverse Cardiovascular Events) yang lebih rendah (13,2% vs 18,4%, P= 0,002),
angka kematian dan infark miokard yang lebih rendah (7,3% vs 11%, P= 0,04) dan jumlah total
MACE yang lebih rendah (76 vs 113, P= 0,02) dibandingkan dengan grup dengan Angio-guided
PCI.18 Gambar 4 menunjukkan contoh pasien dengan lesi multivessel di mana terapi PCI
diputuskan berdasarkan hasil FFR.14
Gambar 4. (A)Angiografi dan FFR pasien dengan kelainan multivessel. (Kiri) Arteri koroner kanan dengan kelainan
berat difus. (tengah) Obtuse marginal 1 (OM1) menunjukkan FFR= 0,76. (Kanan) Left anterior descending (LAD)
FFR= 0,85. Intervensi pada arteri koroner kanan dan OM1 dilakukan. (B) Gambaran angiografi dari FFR guided
PCI
Indikasi FFR
Berdasarkan guideline PCI dari ACCF/AHA/SCAI tahun 2011, FFR dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan stenosis sedang secara angiografi (diameter stenosis 50%
hingga 70%) dan dapat berguna dalam membantu memutuskan dilakukannya revaskularisasi
114
pada pasien dengan penyakit jantung iskemik yang stabil (Indikasi kelas IIa, Level of Evidence:
A). Selain itu terdapat beberapa indikasi potensial di mana FFR juga dapat dipertimbangkan,
meskipun hal ini masih belum termasuk di dalam guideline dan masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut (tabel 1).
Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi ischemic reserve
sehingga mempengaruhi nilai FFR, termasuk meningkat atau menurunnya demand dan faktor
selain aliran yang mempengaruhi perfusi atau supply (seperti hemoglobin atau saturasi oksigen)
(tabel 2).19
Keterbatasan FFR
Vasodilatasi yang optimal sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil FFR yang akurat.
Metode standar untuk mendapatkan kondisi hiperemia maksimal adalah dengan memberikan
adenosine 140 μg/kg/menit selama minimal 2 menit. Meskipun demikian, beberapa pasien tidak
115
memberikan respon atau hanya memberikan respon sebagian terhadap pemberian adenosine.
Pemberian adenosine juga dapat menimbulkan efek samping berupa dyspnea, flushing, nausea,
dan kadang-kadang AV blok atau asystole. Pemberian adenosine juga dikontraindikasikan pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif. Ketidakmampuan menghasilkan kondisi hiperemia yang
maksimal merupakan penyebab utama kegagalan pengukuran FFR. Selain itu, juga terdapat
beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan pengukuran FFR yang akurat (tabel 3).19
116
Gambar 7. Prinsip dasar pengukuran IVUS. (A) adalah referensi proksimal, (B) adalah lokasi stensosis yang paling
signifikan, menandakan lumen area minimal, (C) ilustrasi kalkulasi area stenosis, (D) ilustrasi kalkulasi beban plak.
MLA=minimal lumen area, RLA= reference lumen area, EEM= external elastic membrane. (Dikutip dari: McDaniel
MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of coronary
intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Peranan IVUS
IVUS dapat memberikan gambaran real time cross sectional dari dinding pembuluh
darah, termasuk morfologi dan struktur patologis, serta dapat menilai karakteristik dari plak
aterosklerosis. Sebagai tambahan, IVUS dapat membantu dalam membuat keputusan dalam
pemasangan stent dan prediktor dari penyakit jantung koroner.22
117
signifikan. Secara umum, algoritma yang diajukan oleh Mc Daniel dkk. dapat digunakan untuk
membantu memutuskan perlu tidaknya dilakukan PCI pada lesi intermediate (gambar 8).23
Gambar 8. Kriteria IVUS untuk menilai lesi intermediate pada non-left main coronary lesions (Dikutip dari :
McDaniel MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of
coronary intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Gambar 9. Pemeriksaan IVUS pada lesi intermediate di left main (A) pemeriksaan angiografi pada lesi LM, (B)
pemeriksaan FFR, (C) (D) pemeriksaan IVUS. Panah merah (A) menunjukkan lokasi IVUS pada (C) dan (D). FFR=
0,88 dan IVUS menunjukkan plak ringan dengan MLA 8,9 mm2 (Dikutip dari : MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ,
Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of coronary intravascular ultrasound. J Am Coll
Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Banyak studi yang telah dilakukan untuk menentukan cut off yang efektif sebagai
prediktor adanya gangguan hemodinamik yang signifikan; akan tetapi studi-studi ini memberikan
hasil cut off yang berbeda-beda. Mengingat hal ini, maka FFR merupakan modalitas utama untuk
penilaian lesi intermediate pada LM. Meskipun demikian, apabila IVUS digunakan, maka
revaskularisasi dapat ditunda pada pasien dengan MLA ≥6,0 mm2 karena terbukti tidak
118
berhubungan dengan iskemia dan memiliki outcome yang baik. Untuk pasien dengan MLA <6,0
mm2, perlu dipertimbangkan untuk melakukan FFR ataupun stress testing non invasive sebelum
revaskularisasi, karena adanya beberapa perbedaan cutoff MLA IVUS (4,5 hingga 6,0 mm 2)
yang berhubungan dengan FFR (gambar 10).23
Gambar 10. Kriteria IVUS untuk analisa lesi intermediate di left main (Dikutip dari : McDaniel MC, Eshterhadi P,
Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of coronary intravascular ultrasound.
J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Gambar 11. Ilustrasi pemasangan stent yang tidak tepat (Dikutip dari : Yoon HJ and Hur SH. Optimization of stent
deployment by intravascular ultrasound. Korean J Intern Med 2012; 27: 30-38)30
119
Stent underexpansion didefinisikan sebagai area di mana expansi stent tidak adekuat
dibandingkan dengan area referensi di dekatnya (gambar 12).23
Gambar 12. Contoh Stent Underexpandion berdasarkan IVUS. (B) Contoh stent underexpansion pada daerah medial
stent dengan area plak kalsifikasi, (A)Bagian proksimal stent menunjukkan ekspansi stent yang simetris. (Dikutip
dari: McDaniel MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of
coronary intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Hingga saat ini masih belum tersedia konsensus mengenai kriteria pemasangan stent yang
“adekuat”. Studi MUSIC (Multicenter Ultrasound Stenting in Coronaries Study), yang dilakukan
pada era BMS, dan studi AVIO (Angiography versus IVUS Optimization) yang dilakukan pada
era Drug Eluting Stent (DES), memberikan kriteria optimal yang berbeda untuk pemasangan
stent (tabel 4).23,34
Tabel 4. Kriteria IVUS untuk pemasangan stent yang optimal
Kriteria MUSIC Kriteria AVIO
Aposisi stent yang sempurna Area minimal post stent >70% dari CSA balon yang
digunakan untuk post dilatasi stent
Ekspansi stent yang adekuat Ukuran balon noncompliant yang digunakan untuk
MSA ≥90% dari rata-rata area lumen referensi atau post dilatasi ditentukan berdasarkan rata-rata ukuran
≥100 % segmen referensi dengan area yang terendah media ke media maksimum dan minimum pada
jika MSA <9 mm2 beberapa lokasi :
Atau 1. Segmen distal dari stent
MSA ≥80% rata-rata area lumen referensi atau ≥90% 2. Segmen proksimal dari stent
dari segmen referensi dengan area yang terendah jika 3. Penyempitan maksimal dari stent
MSA >9 mm2
Ekspansi stent simetris, didefinisikan sebagai diameter
minimal lumen dibagi diameter maksimal lumen ≥0,7
AVIO= Angiography versus IVUS Optimization study, MSA= minimal stent area, MUSIC Multicenter Ultrasound
Guided Stent Implantation in the Coronaries study, CSA= cross sectional area. (Dikutip dari : McDaniel MC,
Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical applications of coronary
intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Edge dissection, yang disertai dengan komplikasi penyempitan lumen <4 mm2 atau sudut
diseksi ≥60º berhubungan dengan peningkatan kejadian trombosis stent. Sedangkan diseksi yang
kecil mungkin tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian trombosis stent. Meskipun saat
ini belum tersedia konsensus mengenai strategi yang paling optimal untuk mengatasi diseksi
minor, observasi yang ketat tanpa stenting mungkin merupakan metode pilihan pertama.23,30
Incomplete stent apposition (ISA) didefinisikan sebagai tidak adanya kontak antara
dinding stent dengan dinding pembuluh darah. ISA dapat teradi segera setelah pemasangan stent
(acute ISA) atau terjadi perlahan-lahan (late-acquired ISA). ISA akut hampir selalu terjadi akibat
pemasangan stent yang tidak optimal (gambar 13). Sedangkan ISA tipe lambat dapat terjadi
120
karena remodeling positif dari pembuluh darah, resolusi thrombus saat pemasangan stent atau
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Insiden dari ISA tipe lambat 4 kali lebih banyak pada DES
dibandingkan BMS. Meskipun hingga saat ini masih terdapat perdebatan apakah ISA
berhubungan dengan resiko terjadinya trombosis stent, akan tetapi, pencapaian aposisi yang
optimal harus diusahakan maksimal pada setiap pemasangan stent.23
Gambar 13. Acute Incomplete Stent Apposition (ISA). (A) Angiogram dari acute ISA yang ditemukan segera
setelah pemasangan stent (B) IVUS dari acute ISA, (C) dan (D) Angiografi dan IVUS post dilatasi dari tempat yang
sama. (Dikutip dari : McDaniel MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary clinical
applications of coronary intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4(11): 1155-1167)23
Beberapa studi telah berusaha untuk membandingkan antara IVUS-guided PCI dengan
angiography-guided PCI. Studi yang dilakukan pada era BMS menunjukkan keuntungan yang
signifikan dari penggunaan IVUS dalam PCI. Pada sebuah meta analisis yang melibatkan 2193
pasien dari 7 studi yang dilakukan pada era BMS, angiographic restenosis dan target vessel
revascularization (TVR) dalam 6 bulan secara signifikan lebih rendah pada grup dengan IVUS-
guided PCI dibandingkan grup dengan angiography-guided PCI (22% vs 29%, P= 0,02 dan 13%
vs 18%, P <0,001); akan tetapi tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam tingkat
kematian dan infark miokard.35
Sedangkan untuk DES, hingga saat ini hanya beberapa studi yang dilakukan untuk
menilai keuntungan dari pemasangan DES dengan panduan IVUS. Studi HOME IVUS (long
term health outcome and mortality evaluation after invasive coronary treatment using drug-
eluting stents with or without IVUS guidance) menunjukkan bahwa meskipun grup dengan
IVUS-guided PCI balon tambahan lebih banyak digunakan dan ukuran balon yang lebih besar
dengan tekanan yang lebih tinggi juga lebih banyak digunakan; akan tetapi tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kejadian kardiovaskular mayor ataupun sten trombosis.36 Sebuah studi
besar yang melibatkan 2 center di Korea berusaha membandingkan IVUS-guided PCI dan
angiography-guided PCI, baik dengan BMS maupun DES. Total ada 8371 pasien yang terlibat
dalam studi ini, di mana 4672 pasien termasuk dalam grup IVUS-guided PCI dan 3744 pasien
termasuk dalam angiography-guided PCI. Secara umum, insiden mortality dalam 3 tahun secara
secara signifikan lebih rendah pada grup dengan IVUS-guided PCI (HR 0,70, P= 0,001). Akan
tetapi tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam hal kejadian infark miokard, TVR atau stent
121
thrombosis.38 Sebagai tambahan, pada subpopulasi DES, IVUS-guided PCI juga secara
signifikan menurunkan mortalitas (HR= 0,55, P <0,001); akan tetapi hasil yang sama tidak
ditemukan pada subpopulasi BMS, di mana tidak ada perbedaan mortalitas antara grup IVUS-
guided PCI dengan angiography-guided PCI (HR= 0,79, P= 0,10). Meskipun studi-studi
mengenai peranan IVUS dalam pemasangan DES masih banyak perbedaan, tetapi secara umum
banyak studi secara uniform menunjukkan bahwa IVUS-guided PCI pada era DES dapat secara
signifikan dapat mencegah terjadinya stent thrombosis.39-41 Hal ini mungkin disebabkan oleh
kemampuan IVUS dalam mengidentifikasi dan mengatasi pemasangan stent yang tidak optimal.
Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa keuntungan IVUS-guided PCI adalah
terutama menurunkan kejadian restenosis dan TVR pada era BMS; serta menurunkan resiko stent
thrombosis dan kemungkinan menurunkan mortalitas pada era DES. Kriteria IVUS untuk
pemasangan stent yang optimal dapat dilihat pada gambar 14.30
Gambar 14. Kriteria IVUS untuk pemasangan stent yang optimal. (Dikutip dari : Yoon HJ and Hur SH.
Optimization of stent deployment by intravascular ultrasound. Korean J Intern Med 2012; 27: 30-38)30
122
Gambar 15. Gambaran thin capped fibroatheroma dengan inti lipid yang besar. (Kiri) Gambaran histology, (Tengah)
Color-coded map dari IB-IVUS. (Kanan) Gambaran dari VH IVUS. (Dikutip dari : Kato K, Yasutake M, Yonestsu
T, Kim SJ, Lei X, Kratlian CM et al. Intracoronary imaging modality for vulnerable plaques. J Nippon Med Sch
2011; 78(6): 340-351)42
Meta analisis yang melibatkan 11 studi yang bertujuan untuk menganalisa hubungan
antara komposisi plak berdasarkan VH-IVUS dan embolisasi distal setelah PCI menunjukkan
bahwa derajat inti nekrotik secara signifikan lebih besar pada pasien yang mengalami embolisasi
distal.44 Hasil serupa juga ditemukan oleh meta analisis yang dilakukan oleh Jang dkk. baru-baru
ini, yang melibatkan 16 studi dengan total 1697 pasien yang menjalani PCI (292 pasien
mengalami embolisasi distal dan 1405 pasien tanpa mengalami embolisasi distal), juga
menunjukkan peranan IVUS dalam mendeteksi pasien dengan resiko untuk embolisasi distal.
Pada meta analisis ini terlihat bahwa pada daerah dengan lumen minimal, membrane elastic
eksternal serta CSA plak dan media secara signifikan lebih tinggi pada grup dengan embolisasi.
Volume inti nekrosis serta area nekrosis absolute dan relatif pada daerah dengan lumen minimal
juga secara signifikan lebih tinggi pada grup dengan embolisasi.45
Meskipun studi-studi yang ada secara signifikan menunjukkan hubungan antara
komposisi plak berdasarkan VH-IVUS dengan resiko terjadinya embolisasi distal setelah PCI,
123
akan tetapi hingga saat ini masih belum ada konsensus mengenai pasien mana yang perlu
dilakukan pemeriksaan IVUS untuk menilai karakteristik dari plak.
Sebuah metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi plak yang vulnerable
adalah dengan menggunakan contrast enhanced-IVUS (CE-IVUS). Pada prinsipnya, CE-IVUS
menganalisa perubahan echogenicity lokal yang disebabkan perfusi microbubble ke dalam
dinding pembuluh darah, yang dihasilan oleh pemberian kontrast melalui kateter penuntun.
Gambaran yang didapatkan sebelum dan sesudah pemberian kontras akan dibandingkan.
Perubahan yang terjadi akibat pemberian kontras akan direfleksikan sebagai perubahan positif
intensitas yang kemudian dinilai sebagai mean enhancement in region of interest statistic
(MEIR) (gambar 16). Peningkatan MEIR akan mengindikasikan adanya peningkatan
angiogenesis, sebagai salah satu marker dari proses inflamasi yang merupakan salah satu proses
penting dalam destabilisasi plak dan ruptur plak. Meskipun demikian, studi lebih lanjut masih
diperlukan untuk menilai manfaat, akurasi dan efektivitas metode ini dalam mengidentifikasi
plak yang vulnerable.46
A. B.
C. D.
E.
Gambar 16. Pemeriksaan CE-IVUS. (A) Gambaran IVUS sebelum kontras, (B) Gambaran IVUS setelah
pemberian kontras, (C) MEIR sebelum dan sesudah pemberian kontras, (D) dan (E) Contoh IVUS dan MEIR
pasien dengan peningkatan enhancement. MEIR = Mean Enhancement In Region of interest. (Dikutip dari :
Ruiz EG, Papaioannou TG, Vavuranakis M, Stefanadis C, Naghavi M, and Kakadiaris IA. Analysis of contrast-
enhanced intravascular ultrasound images for the assessment of coronary plaque neoangiogenesis: another step
closer to the identification of vulnerable plaque. Current Pharmaceutical Design 2012; 18: 2207-2213)46
124
Indikasi Pemeriksaan IVUS
Berdasarkan guideline PCI dari ACCF/AHA/SCAI tahun 2011, indikasi pemeriksaan IVUS
adalah sebagai berikut:
Kelas IIa
1. IVUS dapat dipertimbangkan untuk menganalisa lesi left main yang indeterminant secara
ngiografi (LOE :B)
2. IVUS dan angiografi koroner dapat dipertimbangkan 4 hingga 6 minggu dan 1 tahun
setelah transplantasi jantung untuk menyingkirkan PJK dari donor serta mendeteksi
vasculopathy allograft jantung yang progresif dan memberikan informasi prognostic
(LOE:B)
3. IVUS dapat dipertimbangkan untuk menentukan mekanisme terjadinya restenosis stent.
(LOE:C)
Kelas IIb
1. IVUS dapat dipertimbangkan untuk menganalisa stenosis koroner intermediate secara
angiografi (diameter stenosis 50-70%) pada non-left main arteri koroner (LOE:B)
2. IVUS dapat dipertimbangkan untuk membantu pemasangan stent, terutama pada kasus
stenting di left main arteri koroner (LOE:B)
3. IVUS dapat dipertimbangkan untuk menentukan mekanisme trombosis stent (LOE :C)
125
atau perdarahan di dalam plak
Penilaian Penilaian lumen, area sten dan Kemampuan terbatas dalam OCT atau
terapi invasif hiperplasi intima dengan baik mengidentifikasi trauma dinding kombinasi
Evaluasi ekspansi stent yang akurat pembuluh darah (erosi, diseksi) dan OCT dan
Evaluasi recoil bioabsorbable stent trombus IVUS
dengan baik Tidak mampu menilai coverage sten
struts
Peran Visualisasi pembuluh darah secara Kemampuan terbatas dalam IVUS
hemodinamik lengkap-karakterisasi plak mendeteksi karakteristik plak
pada Terdapat metode yang dapat vulnerable
aterosklerosis melakukan segmentasi IVUS dan
penggabungan IVUS dan angiografi
(Dikutip dari: Bourantas CV, Garg S, Naka KK, Thury A, Hoye A and Michalis LK. Focus on the research utility of
intravascular ultrasound-comparison with other invasive modalities. Cardiovascular Ultrasound 2011; 9(2): 1-10)46
Peranan OCT
Peranan OCT dalam Karakterisasi Plak
Karena resolusi yang tinggi, OCT dapat membedakan antara internal elastic membrane
(IEM) (perbatasan antara tunika intima dan tunika media) dan external elastic membrane (EEM)
(perbatasan antara tunika media dan tunika adventitia), dan juga membedakan tunika intima,
media dan adventitia (gambar 18).51
Gambar 18. Dinding pembuluh darah normal. Lapisan tunika intima media dan adventitia dapat dibedakan dengan
baik melalui OCT (Dikutip dari : Tearney GJ, Regar E, Akasaka T, AdriaenssensT, Barlis P, Bezerra HG et al.
Consensus standard for acquisition, measurement, and reorting of intravascular optical coherence tomography
studies. A report from the International Working Group for Intravascular Optical Coherence Tomography
standardization and validation. J Am Coll Cardiol 2012; 59: 101058-1072)50
126
signal rendah dengan batas yang difus (gambar 19). Pada studi ini, Yabushita dkk. melaporkan
sensitivitas dan spesifisitas >90% untuk mendeteksi plak yang kaya lipid.53
Beberapa studi otopsi menunjukkan fibroateroma dengan fibrous cap yang tipis <65 μm (thin
cap fibroatheroma [TCFA]), sering ditemukan pada pasien dengan sindroma koroner akut,
sehingga dianggap sebagai plak yang vulnerable.54-55 Kemampuan untuk mendeteksi TCFA
secara dini akan mempengaruhi keputusan untuk melakukan pemberian terapi yang lebih agresif
dan dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas. Dua studi, dengan total 64 plak yang kaya
lipid, menunjukkan adanya hubungan kuat antara gambaran OCT dengan pemeriksaan histologi
untuk tebal fibrous cap (r=0,89 dan r=0,90, P<0,001).56-57 Hal ini menunjukkan bahwa OCT
dapat dengan sangat akurat menunjukkan tebal dari fibrous cap. Secara umum, definisi OCT
untuk TCFA meliputi plak yang kaya lipid (lipid arc >2 kuadran) dengan fibrous cap yang tipis
(ketebalan pada segmen yang paling tipis <65 μm) (gambar 20). OCT juga mampu memberikan
gambaran ruptur plak dengan sangat akurat (gambar 21).51
Gambar 19. (A) Plak Fibrosa dengan Internal Elastic Membrane (IEM) (panah hijau) dan External Elastic
Membrane (EEM) (panah kuning), (B) Plak tanpa IEM atau EEM (panah putih). EEM (panah kuning) dan IEM
(panah hijau) terlihat pada sisi berlawanan dari lesi utama. (C) Plak fibrokalsifikasi menunjukkan signal yang lemah
heterogen dengan batas yang jelas. (D) Plak dengan deposit kalsium fokal, terdiri dari regio dengan batas jelas,
konsisten dengan kalsium (panah merah) dan daerah sebelahnya berupa area dengan signal lemah dengan batas difus
(panah kuning). *=artefak kawat penuntun (Dikutip dari : Tearney GJ, Regar E, Akasaka T, AdriaenssensT, Barlis
P, Bezerra HG et al. Consensus standard for acquisition, measurement, and reorting of intravascular optical
coherence tomography studies. A report from the International Working Group for Intravascular Optical Coherence
Tomography standardization and validation. J Am Coll Cardiol 2012; 59: 101058-1072)50
127
Gambar 20. Gambaran OCT untuk thin fibrous cap atheroma (Dikutip dari : Terashima M, Kaneda H, and Suzuki T.
The role of optical coherence tomography in coronary intervention. Korean J Intern Med 2012: 27: 1-12)51
Gambar 21. Gambaran OCT untuk ruptur plak dan fibrous cap yang tipis pada lesi culprit pasien sindroma koroner
akut (Dikutip dari : Terashima M, Kaneda H, and Suzuki T. The role of optical coherence tomography in coronary
intervention. Korean J Intern Med 2012: 27: 1-12)51
128
Gambar 22 Evaluasi OCT post PCI. (A) Stent struts malapposition (panah). Hanya ujung dari stent struts terlihat
pada OCT. (B) Stent edge dissection (panah). (C) Intrastruts prolapse (panah). Prolaps didefinisikan sebagai
proyeksi jaringan >50 μm dari garis yang ditarik antara stent struts. (D) Trombus (panah) tampak sebagai regio
dengan signal yang tinggi dan batas irregular (Dikutip dari: Lowe HC, Narula J, Fujimoto JG, and Jang IK.
Intracoronary optical diagnostics: current status, limitation and potential. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4: 1257-
1270)49
Prolaps jaringan didefinisikan sebagai penonjolan jaringan >50 μm di antara stent struts
tanpa disertai disrupsi jaringan. Gonzalo dkk. melaporkan bahwa 78 dari 80 (97,5%) pembuluh
darah post pemasangan stent yang dianalisa dalam studi mereka memiliki prolaps jaringan. 58 Hal
ini mirip dengan studi postmortem yang menunjukkan adanya prolaps jaringan pada sekitar 94%
pasien.49 Penemuan ini secara signifikan jauh lebih tinggi dari apa yang dilaporkan melalui IVUS
(18-35%). Hal ini menunjukkan bahwa OCT secara signifikan lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan IVUS dalam mendeteksi prolaps jaringan. Akan tetapi Gonzalo dkk. tidak
menemukan hubungan antara prolaps jaringan dengan komplikasi klinis, sehingga signifikansi
dari prolaps jaringan secara klinis masih belum jelas.58
Diseksi intra stent didefinisikan sebagai disrupsi dinding pembuluh darah, baik disertai
dengan flap ataupun kavitas. Gonzalo dkk. juga melaporkan tingginya temuan diseksi
intravaskular berdasarkan pemeriksaan OCT (87,5%); sedangkan edge dissection ditemukan
dalam frekuensi yang lebih rendah (26,3%). Akan tetapi Gonzalo dkk. juga tidak menemukan
adanya hubungan antara diseksi intra stent maupun edge dissection dengan komplikasi klinis.58
Data yang ada menunjukkan bahwa incomplete stent apposition (ISA) berhubungan
dengan terbentuknya thrombus dan late/very late stent thrombosis. ISA dapat menghambat
penyembuhan neointima dari pemasangan stent dan endotelialisasi yang tidak sempurna dan
merupakan salah satu kelainan morfologis yang sering ditemukan pada kasus kasus stent
thrombosis.59 OCT merupakan modalitas yang paling sensitif dalam mengevaluasi aposisi. OCT
dapat memberikan gambaran yang sangat baik mengenai ujung dari stent struts dan hubungannya
dengan dinding pembuluh darah. Berdasarkan studi-studi OCT yang ada, maka stent struts
diklasifikasikan menjadi: 1) Aposisi baik dan tertutup oleh jaringan; 2) aposisi baik tetapi tidak
tertutup oleh jaringan; 3) malaposisi dan tidak tertutup oleh jaringan; 4) malaposisi tetapi
tertutup oleh jaringan (gambar 23).49,60-61
129
Gambar 23. Gambaran OCT untuk posisi stent. (A) Aposisi baik dan tertutup oleh jaringan; B) aposisi baik tetapi
tidak tertutup oleh jaringan; C) malaposisi dan tidak tertutup oleh jaringan; D) malaposisi tetapi tertutup oleh
jaringan (Dikutip dari : Lowe HC, Narula J, Fujimoto JG, and Jang IK. Intracoronary optical diagnostics: current
status, limitation and potential. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4: 1257-1270)49
Mengingat kemampuan OCT untuk menganalisa pembuluh darah, komposisi plak dan
komplikasi pemasangan stent, beberapa studi mencoba menganalisa peranan OCT dalam
prosedur intervensi jantung. Sebuah studi kecil yang dilakukan pada 90 pasien-pasien dengan
sindroma koroner akut, menganjurkan suatu kriteria untuk dilakukannya PCI berdasarkan OCT.
Pada lesi intermediate (stenosis 40-70%), keputusan untuk melakukan intervensi diambil jika
dari OCT ditemukan : Minimum Lumen Cross Sectional Area (MLCSA) <3,5 mm2 atau
ditemukan adanya trombus yang menandakan plak yang tidak stabil. Hasil setelah pemasangan
stent kembali dianalisa dengan OCT dan post dilatasi atau pemasangan stent tambahan
diindikasikan bila ditemukan: 1) Underexpansion; 2) Incomplete stent apposition (ISA) yang
signifikan; 3) edge dissection >200 μm atau 4) prolaps jaringan yang besar. Metode ini
meghasilkan keberhasilan prosedur yang sangat tinggi (99,1%) dan hasil klinis yang sangat baik
dalam 5 bulan, di mana tidak ada pasien yang mengalami kematian, infark miokard,
revaskularisasi segera, emboli, aritmia yang mengancam jiwa, diseksi koroner, spasme pembuluh
darah yang berat ataupun contrast induced nephropathy.62 Studi baru-baru ini yang dilakukan
oleh Viceconte dkk. juga menunjukkan bahwa pada 108 pasien dengan angina stabil, OCT dapat
digunakan dengan aman untuk memandu pemasangan stent dan menghasilkan ekspansi dan
aposisi stent yang lebih baik.63 Dalam studi lain yang dilakukan pada 41 pasien dengan lesi
bifurkasio, strategi untuk melakukan pemasangan stent pada main vessel dengan bantuan FD
OCT akan menghasilkan malaposisi yang lebih rendah.64 Meskipun studi-studi ini memberikan
hasil yang baik, namun hingga saat ini masih belum tersedia studi yang menunjukkan bahwa
intervensi yang dipandu oleh OCT akan memberikan keuntungan klinis dibandingkan dengan
intervensi yang dipandu angiografi ataupun IVUS.
130
Tabel 6. Indikasi Potensial Pemeriksaan OCT
OCT direkomendasikan
Evaluasi post-stent untuk studi klinis
Evaluasi studi klinis untuk terapi stabilisasi plak yang baru
OCT dapat dipertimbangkan
Karakterisasi plak koroner
Evaluasi segera status vaskular post PCI (diseksi, ekspansi stent strut, aposisi stent strut, thrombus
Penilaian resiko late stent thrombosis (coverage stent strut, malaposisi)
Evaluasi pembuluh darah lain (pulmonal, arteri perifer, vasculopathy post transplantasi)
OCT mungkin tidak berguna
Penilaian severitas left main stem
Penilaian aterosklerosis saphenous vein graft
(Dikutip dari : Lowe HC, Narula J, Fujimoto JG, and Jang IK. Intracoronary optical diagnostics: current status,
limitation and potential. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4: 1257-1270)49
Meskipun demikian, studi lebih lanjut, terutama mengenai efek klinis dari penggunaan OCT
dibandingkan angiografi atau IVUS, masih diperlukan sebelum adanya konsensus mengenai
indikasi pemeriksaan OCT.
Manfaat dari masing-masing modalitas diurutkan sebagai : (+++): sangat berguna; hingga (-) : tidak berguna, NA:
Not available, NIH: Neointimal Hyperplasia. (Dikutip dari : Gutiérrez-Chico JL, Alegría-Barrero E, Teijeiro-Mestre
R, Chan PH, Tsujioka H, de Silva R et al. Optical coherence tomography: from research to clinical practice. Eur
Heart J Cardiovascular Imaging 2012; 13: 370-384)59
131
Meskipun demikian OCT memiliki beberapa kekurangan. Yang pertama, hemoglobin dan
eritrosit dapat menyebarkan gelombang cahaya sehingga untuk menghasilkan gambar yang
optimal, maka darah harus dikeluarkan atau diencerkan dengan pemberian kontras ataupun
cairan. Kedua, OCT mempunyai kemampuan penetrasi yang jauh lebih pendek (1-3 mm)
dibandingkan IVUS (10 mm). Hal ini akan menyebabkan keterbatasan dalam analisa CSA dari
plak; sehingga OCT mempunyai keterbatasan dalam menganalisa kelainan di left main artery dan
graft vena saphena. Ketiga, OCT ada kalanya sulit untuk membedakan area kalsifikasi dan area
lipid; karena keduanya akan memberikan gambaran dengan signal yang lemah; tetapi pada area
lipid akan disertai dengan batas yang irregular. Keempat, artefak dapat terjadi pada pemeriksaan
OCT, yang dapat disebabkan karena pengeluaran atau pengenceran darah yang tidak optimal,
adanya udara, “step up” atau “sew up” artefak akibat pergerakan kawat atau pembuluh darah
terlalu cepat selama pengambilan gambar, stent struts “merry go around” akibat posisi kawat
yang terlalu distal, saturation artifact atau blooming akibat adanya struktur yang sangat
reflectant, seperti stent struts (gambar 24).49
Gambar 24. Artefak Pada Pemeriksaan OCT. (A)Kontaminasi darah akibat pembilasan yang tidak adekuat (Panah);
(B)Artefak bubble akibat ada udara sehingga terjadi penurunan kualitas gambar (panah); (C)”Step-up” artefak
(Panah); (D) Stent strut “merry go round”, terutama terlihat pada strut yang paling distal (panah); (E) Saturasi
artefak atau blooming (panah). * menunjukkan posisi kawat; ** menunjukkan artefak bayangan kawat (Dikutip dari
: Lowe HC, Narula J, Fujimoto JG, and Jang IK. Intracoronary optical diagnostics: current status, limitation and
potential. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4: 1257-1270)49
Ringkasan
Intervensi jantung saat ini merupakan modalitas terapi utama pada pasien dengan
penyakit jantung koroner. Meskipun demikian, prosedur intervensi konvensional dengan
menggunakan angiografi hanya memberikan gambaran dua dimensi dari suatu struktur 3
dimensi; dan seringkali tidak memberikan informasi yang cukup, sehingga beberapa
pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya diperlukan dalam beberapa situasi. FFR merupakan
suatu pemeriksaan invasive yang dapat memberikan informasi mengenai gangguan fungsional
132
akibat suatu stenosis. FFR dapat dipertimbangkan pada pasien dengan stenosis intermediate
untuk memutuskan perlu tidaknya dilakukan prosedur intervensi.
IVUS dan OCT dapat memberikan gambaran yang lebih baik mengenai karakterisasi
plak, dan dapat mengidentifikasi pemasangan stent yang tidak optimal jauh lebih baik daripada
pemeriksaan angiografi saja. Pemahaman mengenai manfaat dan keterbatasan dari masing-
masing pemeriksaan penunjang diagnostik ini akan membantu praktisi klinis untuk menentukan
pemeriksaan penunjang diagnostik tambahan yang perlu dilakukan dalam situasi-situasi tertentu
dan dapat memberikan hasil klinis yang lebih optimal.
133
Daftar Pustaka
1. Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis and coronary artery disease. NEJM 2005;
352: 1685-1695.
2. Ryan TJ. The coronary angiogram and its seminal contributions to cardiovascular
medicine over five decades. Circulation 2002; 106: 752-756
3. Grondin CM, Dyrda I, Pasternac A, Campeau L, Bourassa MG and Lespérance J.
Discrepancies between cineangiographic and postmortem findings in patients with
coronary artery disease and recent myocardial revascularization. Circulation 1974; 49:
703-708.
4. Arnett EN, Isner JM, Redwood DR, Kent KM, Baker WP, Ackerstein H, et al. Coronary
artery narrowing in coronary heart disease: Comparison of cineangiographic and
necropsy findings. Ann Intern Med 1979; 91: 350-356.
5. Topol EJ, Nissen SE. Our preoccupation with coronary luminology. The dissociation
between clinical and angiograpic findings in ischemic heart disease. Circulation 1995; 92:
2333-2342.
6. Minana G, Nunez J, and Sanchis J. Coronary angiography, too far to be a gold standard
technique for identifying a vulnerable plaque. J Clinic Experiment Cardiol 2011; 2(4): 1-
3.
7. Nissen SE. Pathobiology, not angiography, should guide management in acute coronary
syndrome/non-ST-segment elevation myocardial infarction: the non-interventionist’s
perspective. J Am Coll Cardiol 2003; 41: 103S-112S.
8. Gruntzig AR, Senning A, Siegenthaler WE. Nonoperative dilatation of coronary-artery
stenosis: percutaneous transluminal coronary angioplasty. N Engl J Med 1979; 301: 61-
68.
9. Pijls NH, Van Gelder B, Van der Voort P, Peels K, Bracke FA, Bonnier HJ, el Gamal MI.
Fractional flow reserve: a useful index to evaluate the influence of an epicardial coronary
stenosis on myocardial blood flow. Circulation 1995; 92: 3183-3193.
10. De Bruyne B, Bartunek J, Sys SU and Heyndrickx GR. Relation between myocardial
fractional flow reserve calculated from coronary pressure measurements and exercise-
induced myocardial ischemia. Circulation 1995; 92: 39-46.
11. Park SJ, Ahn JM and Kang SJ. Paradigm shift to functional angioplasty: new insights for
fractional flow reserve- and intravascular ultrasound- guided percutaneous coronary
intervention. Circulation 2011; 124: 951-957.
12. Levine GN, Bates ER, Blankenship JC, Bailey SR, Bittl JA, Cercek B, et al. 2011
ACCF/AHA/SCAI guideline for percutaneous coronary intervention: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines and the Society for Cardiovascular Angiography and Interventions.
Circulation 2011; 124: e574-e651.
13. Vranckx P, Cutlip DE, McFadden EP, Kern MJ, Mehran R and Muller O. Coronary
pressure-derived fractional flow reserve measurements: recommendations for
standardization, recording, and reporting as a core laboratory technique. Proposals for
integration in clinical trials. Circ Cardiovasc Interv 2012; 5: 312-317.
14. Kern MJ, Samady S. Current concepts of integrated coronary physiology in the
catheterization laboratory. J Am Coll Cardiol 2010; 55: 173-185.
134
15. Melikian N, De Bondt P, Tonino P, De Winter O, Wyffels E, Bartunek J et al. Fractional
flow reserve and myocardial perfusion imaging in patients with angiographic multivessel
coronary artery disease. JACC Cardiovasc Interv 2010; 3: 307-314.
16. Tonino PA, Fearon WF, De Bruyne B, Oldroyd KG, Leesar MA, Ver Lee PN et al.
Angiographic versus functional severity of coronary artery stenoses in the FAME study
fractional flow reserve versus angiography in multivessel evaluation. J Am Coll Cardiol
2010; 55: 2816 -2821.
17. Pijls NHJ, Van Schaardenburgh P, Manoharan G, Boersma E, Bech JW, Van’t Veer M et
al. Percutaneous coronary intervention of functionally non-significant stenoses: 5-year
follow-up of the DEFER study. J Am Coll Cardiol 2007; 49: 2105-2111.
18. Tonino PAL, DeBruyne B, Pijls NHJ, Siebert U, Ikeno F, Van’t Veer M et al. Fractional
flow reserve versus angiography for guiding percutaneous coronary intervention. N Engl
J Med 2009; 360: 3: 213-224.
19. Sattur S, Mathur A, Acharji S, Waller AH, Prasad H, Singh M, et al. Fractional flow
reserve at 2013: an update. Minerva Cardioangiol 2013; 61: 21-32.
20. Glagov S, Weisenberg E, Zarins CK, et al. Compensatory enlargement of human
atherosclerotic coronary arteries. N Engl J Med 1987; 316: 1371-1376.
21. Kaneda H, Terashima M, and Yamaguchi H. The role of intravascular ultrasound in the
determination of progression and regression of coronary artery disease. Curr Atheroscler
Rep 2012; 14: 175-185.
22. Katouzian A, Angelini ED, Carlier SG, Suri JS, Navab N, and Laine AF. A state-of-the-
art review on segmentation algorithms in intravascular ultrasound (IVUS) images. IEE
Trans. Info. Tech. Biomed 2012; 16(5): 823-834.
23. McDaniel MC, Eshterhadi P, Sawaya FJ, Douglas Jr JS, and Samady H. Contemporary
clinical applications of coronary intravascular ultrasound. J Am Coll Cardiol Intv 2011;
4(11): 1155-1167.
24. Nishioka T, Amanullah AM, Luo H, Berglund H, Kim CJ, Nagai T et al. Clinical
validation of intravascular ultrasound imaging for assessment of coronary stenosis
severity: comparison with stress myocardial perfusion imaging. J Am Coll Cardiol 1999;
33: 1870-1878.
25. Briguori C, Anzuini A, Airoldi F, Gimelli G, Nishida T, Adamian M et al. Intravascular
ultrasound criteria for the assessment of the functional significance of intermediate
coronary artery stenoses and comparison with fractional flow reserve. Am J Cardiol
2001; 87: 136-141.
26. Abizaid AS, Mintz GS, Mehran R, Abizaid A, Lansky AJ, Pichard AD et al. Long-term
follow-up after percutaneous transluminal coronary angioplasty was not performed based
on intravascular ultrasound findings: importance of lumen dimensions. Circulation 1999;
100: 256-261.
27. Takagi A, Tsurumi Y, Ishii Y, Suzuki K, Kawana M, and Kasanuki H. Clinical potential
of intravascular ultrasound for physiological assessment of coronary stenosis:
relationship between quantitative ultrasound tomography and pressure-derived fractional
flow reserve. Circulation 1999; 100: 250-255.
28. Kang SJ, Lee JY, Ahn JM, Mintz GS, Kim WJ, Park DW et al. Validation of
intravascular ultrasound derived parameters with fractional flow reserve for assessment
of coronary stenosis severity. Circ Cardiovasc Interv 2011; 4: 65-71.
135
29. Ben-Dor I, Torguson R, Gaglia MA Jr., Gonzales MA, Maluenda G, Bui AB et al.
Correlation between fractional flow reserve and intravascular ultrasound lumen area in
intermediate coronary artery stenosis. EuroIntervention 2011; 7: 225-233.
30. Yoon HJ and Hur SH. Optimization of stent deployment by intravascular ultrasound.
Korean J Intern Med 2012; 27: 30-38.
31. Kasaoka S, Tobis JM, Akiyama T, Reimers B, Di Mario C, Wong ND et al.
Angiographic and intravascular ultrasound predictors of in-stent restenosis. J Am Coll
Cardiol 1998; 32: 1630-1635.
32. Sonoda S, Morino Y, Ako J, Terashima M, Hassan AH, Bonneau HN et al. Impact of
final stent dimensions on long-term results following sirolimus-eluting stent
implantation: serial intravascular ultrasound analysis from the sirius trial. J Am Coll
Cardiol 2004; 43: 1959-1963
33. de Jaegere P, Mudra H, Figulla H, Almagor Y, Doucet S, Penn I et al. Intravascular
ultrasound guided optimized stent deployment. Immediate and 6 months clinical and
angiographic results from the Multicenter Ultrasound Stenting in Coronaries Study
(MUSIC Study). Eur Heart J 1998; 19: 1214-1223.
34. Chieffo A, Latib A, Caussin C, Presbitero P, Galli S, Menozzi A et al. A prospective,
randomized trial of intravascular-ultrasound guided compared to angiography guided
stent implantation in complex coronary lesions: The AVIO trial. Am Heart J 2013; 165:
65-72.
35. Parise H, Maehara A, Stone GW, Leon MB, Mintz GS. Metaanalysis of randomized
studies comparing intravascular ultrasound versus angiographic guidance of percutaneous
coronary intervention in pre-drug-eluting stent era. Am J Cardiol 2011; 107: 374-382.
36. Jakabcin J, Spacek R, Bystron M, Kvasnák M, Jager J, Veselka J, Kala P et al. Long-term
health outcome and mortality evaluation after invasive coronary treatment using drug
eluting stents with or without the IVUS guidance. Randomized control trial: HOME DES
IVUS. Catheter Cardiovasc Interv 2010; 75: 578-583.
37. Park SM, Kim JS, Ko YG, Choi D, Hong MK, Jang Y et al. Angiographic and
intravascular ultrasound follow up of paclitaxel- and sirolimus-eluting stent after post
stent high-pressure balloon dilation: from the poststent optimal stent expansion trial.
Catheter Cardiovasc Interv 2011; 77: 15-21.
38. Hur SH, Kang SJ, Kim YH, Ahn JM, Park DW, Lee SW et al. Impact of intravascular
ultrasound-guided percutaneous coronary intervention on longterm clinical outcomes in a
real world population. Catheter Cardiovasc Interv 2011; 81(3): 407-416.
39. Roy P, Steinberg DH, Sushinsky SJ, Okabe T, Slottow TLP, Kaneshige K et al. The
potential clinical utility of intravascular ultrasound guidance in patients undergoing
percutaneous coronary intervention with drug-eluting stents. Eur Heart J 2008; 29: 1851-
1857.
40. Cook S, Ladich E, Nakazawa G, Eshterhadi P, Neidhart M, Vogel R et al. Correlation of
intravascular ultrasound findings with histopathological analysis of thrombus aspirates in
patients with very late drug-eluting stent thrombosis. Circulation 2009; 120: 391-399.
41. Cook S, Wenaweser P, Togni M, Billinger M, Morger C, Seiler C et al. Incomplete stent
apposition and very late stent thrombosis after drug-eluting stent implantation.
Circulation 2007; 115: 2426-2434.
42. Kato K, Yasutake M, Yonestsu T, Kim SJ, Lei X, Kratlian CM et al. Intracoronary
imaging modality for vulnerable plaques. J Nippon Med Sch 2011; 78(6): 340-351.
136
43. Stone GW, Maehara A, Lansky AJ, de Bruyne B, Cristea E, Mintz GS et al. A
prospective natural history study of coronary atherosclerosis. NEJM 2011; 364: 226-235.
44. Claessen BE, Maehara A, Fahy M, Xu K, Stone GW, Mintz GS. Plaque composition by
intravascular ultrasound and distal embolization after percutaneous coronary intervention.
JACC Cardiovasc Imaging 2012 ;5 :S111-S118.
45. Jang JS, Jin HY, Seo JS, Yang TH, Kim DY, Park YA et al. Meta-analysis of plaque
composition by intravascular ultrasound and its relation to distal embolization after
percutaneous coronary intervention. Am J Cardiol 2013; 111: 968-972.
46. Ruiz EG, Papaioannou TG, Vavuranakis M, Stefanadis C, Naghavi M, and Kakadiaris
IA. Analysis of contrast-enhanced intravascular ultrasound images for the assessment of
coronary plaque neoangiogenesis: another step closer to the identification of vulnerable
plaque. Current Pharmaceutical Design 2012; 18: 2207-2213.
47. Bourantas CV, Garg S, Naka KK, Thury A, Hoye A and Michalis LK. Focus on the
research utility of intravascular ultrasound-comparison with other invasive modalities.
Cardiovascular Ultrasound 2011; 9(2): 1-10.
48. Huang D, Swanson EA, Lin CP, Schuman JS, Stinson WG, Chang W et al. Optical
coherence tomography. Science 1991; 254: 1178-1181.
49. Lowe HC, Narula J, Fujimoto JG, and Jang IK. Intracoronary optical diagnostics: current
status, limitation and potential. J Am Coll Cardiol Intv 2011; 4: 1257-1270.
50. Tearney GJ, Regar E, Akasaka T, AdriaenssensT, Barlis P, Bezerra HG et al. Consensus
standard for acquisition, measurement, and reorting of intravascular optical coherence
tomography studies. A report from the International Working Group for Intravascular
Optical Coherence Tomography standardization and validation. J Am Coll Cardiol 2012;
59: 101058-1072.
51. Terashima M, Kaneda H, and Suzuki T. The role of optical coherence tomography in
coronary intervention. Korean J Intern Med 2012: 27: 1-12.
52. Alfonso F, Sandoval J, Cárdenas A, Medina M, Cuevas C, and Gonzalo N. Optical
coherence tomography: from research to clinical practice. Minerva Med 2012; 103: 441-
464.
53. Yabushita H, Bouma BE, Houser SL, Aretz HT, Jang IK, Schlendorf KH et al.
Characterization of human atherosclerosis by optical coherence tomography. Circulation
2002; 106: 1640-1645.
54. Burke AP, Farb A, Malcom GT, Liang YH, Smialek J, Virmani R. Coronary risk factors
and plaque morphology in men with coronary disease who died suddenly. N Engl J Med
1997; 336: 1276-1282.
55. Virmani R, Kolodgie FD, Burke AP, Farb A, Schwartz SM. Lessons from sudden
coronary death: a comprehensive morphological classification scheme for atherosclerotic
lesions. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2000; 20: 1262-1275.
56. Kume T, Akasaka T, Kawamoto T, Okura H, Watanabe N, Toyota E et al. Measurement
of the thickness of the fibrous cap by optical coherence tomography. Am Heart J 2006;
152: 755e1– 4.
57. Raffel OC, Akasaka T, Jang IK. Cardiac optical coherence tomography. Heart 2008; 94:
1200-1210.
58. Gonzalo N, Serruys PW, Okamura T, Shen ZJ, Onuma Y, Garcia-Garcia HM et al.
Optical coherence tomography assessment of the acute effects of stent implantation on
the native vessel wall: a systematic quantitative approach. Heart 2010; 95: 1913-1919.
137
59. Gutiérrez-Chico JL, Alegría-Barrero E, Teijeiro-Mestre R, Chan PH, Tsujioka H, de
Silva R et al. Optical coherence tomography: from research to clinical practice. Eur Heart
J Cardiovascular Imaging. 2012; 13: 370-384.
60. Bezerra HG, Costa MA, Guagliumi G, Rollins AM and Simon DI. Intracoronary optical
coherence tomography: a comprehensive review. J Am Coll Cardiol Intv 2009; 2: 1035-
1046.
61. Takano M, Inami S, Jang IK, Yamamoto M, Murakami D, Seimiya K et al. Evaluation by
optical coherence tomography of neointimal coverage of sirolimus-eluting stent three
months after implantation. Am J Cardiol 2007; 99: 1033-1038.
62. Imola F, Mallus MT, Ramazzotti V, Manzoli A, Pappalardo A, Di GA et al. Safety and
feasibility of frequency domain optical coherence tomography to guide decision making
in percutaneous coronary intervention. EuroIntervention 2010; 6: 575-581.
63. Viceconte N, Chan P, Ghilencea L, Lindsay A, Foin N, di Mario C. Frequency domain
optical coherence tomography for guidance of coronary stenting. Int J Cardiol 2013;
166(3): 722-728.
64. Viceconte N, Tyczynski P, Ferrante G, Foin N, Chan P, Alegría-Barrero E et al.
Immediate results of bifurcational stenting assessed with optical coherence tomography.
Cathet Cardiovasc Intervent 2013; 81(3): 519-528.
138