Anda di halaman 1dari 12

PEMANFAATAN CERITA RAKYAT SEBAGAI PEMBENTUK

KARAKTER MASYARAKAT BETAWI

NAMA: YOSUA ADIGUNA

NIM: 2115162468

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

wrai68@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ilmiah ini meneiliti tentang pemanfaatan cerita rakyat sebagai


pembentuk karakter masyarakat betawi. Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini
adalah untuk mengetahui apa saja sifat atau watak dari tokoh utama dalam cerita
rakyat Betawi yang bisa diteladani oleh masyarakat Betawi supaya nantinya
masyarakat Betawi tetap menjadi manusia yang berkarakter baik. Penelitian ini
bersifat kualitatif dan sumber data diperoleh dari sumber-sumber tertulis dan juga
lisan. Salah satu sumber lisan adalah narasumber bernama Pak Syaiful Amri selaku
kepala TU UPK PBB Situ Babakan. Kunjungan ke Situ Babakan dilakukan pada
tanggal 21 Desember 2018 dari pukul 8 pagi hingga selesai. Selain itu, untuk
sumber tertulis, data penelitian diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil
penelitian mengemukakan bahwa ada enam sifat atau watak tokoh utama yang
dapat diteladani dari cerita rakyat Betawi. Selain itu, cerita rakyat Betawi juga
terbukti bisa dimanfaatkan sebagai pembentuk karakter masyarakat Betawi
dikarenakan banyaknya nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya.
Kata kunci: Cerita rakyat, karakter tokoh utama, masyarakat Betawi.
PENDAHULUAN

Cerita rakyat merupakan salah satu tradisi sastra lisan dalam dunia
kesusastraan Indonesia. Penyampaian cerita ini biasa dilakukan dari mulut ke
mulut. Budiman (1999:13) menegaskan bahwa setidaknya ada dua generasi yang
memahami folklor, maka folklor tersebut pasti ada dalam suatu generasi. Tradisi
sebagai bagian dari kebudayaan, biasanya diwariskan ke generasi berikut dalam
kelompoknya sendiri. Ketika nenek moyang mewariskan kepada generasi
berikutnya, mereka memilih cerita rakyat untuk menanamkan etika. Mereka
memilih cerita rakyat karena dalam cerita tersebut banyak mengandung adanya
nilai-nilai yang luhur. Nilai-nilai luhur tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman
hidup generasinya, seperti kejujuran, tanggung jawab, gotong-royong, disiplin,
religi, dan sebagainya. Adanya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita
rakyat tersebut hendaknya terus digali dan dikaji agar dapat dimengerti oleh
generasi penerus bangsa. Pengkajian nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat
tersebut tentunya sangat berharga untuk menanamkan sikap dan sifat positif kepada
anak-anak.

Hal ini juga berlaku pada sastra Betawi, khususnya pada cerita rakyat yang
dimiliki oleh masyakarat Betawi. Masyarakat Betawi sangat menjunjung tinggi
budaya dan kekayaan sastra yang dimiliki oleh mereka, sehingga pada zaman
sekarang ini, cerita-cerita seperti Si Pitung, Si Jampang, Macan Kemayoran, dan
Mirah dari Marunda tidaklah asing baik untuk generasi tua, maupun generasi muda.
Masyarakat Betawi sangat gemar menceritakan kisah ini kepada anak-anak mereka
sehingga anak-anak mereka pun tumbuh dengan mengenal baik siapa itu Pitung,
Jampang, Macan Kemayoran, dan Mirah dari Marunda. Seraya diajak mengenal
lebih dalam mengenai cerita-cerita rakyat tersebut, maka anak-anak yang kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari masyarakat Betawi tersebut, sedikit
atau banyak juga turut membawa sikap dan watak dari tokoh-tokoh dalam cerita
rakyat Betawi.

Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas apa saja watak yang
dapat diteladani dari tokoh utama yang ada di empat cerita rakyat Betawi sehingga
bisa membentuk karakter pada kebanyakan masyarakat Betawi. Hal ini sekaligus
membantah stereotipe orang Betawi yang hanya digambarkan sebagai pemalas,
tidak berpendidikan, dan tidak berwawasan untuk maju.

TINJAUAN PUSTAKA

Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, çastra yang berarti tulisan
(Surastina, 2018: 3). Dari makna asalnya, sastra meliputi segala bentuk tulisan
manusia seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-
undang dan sebagainya. Wellek dan Warren dalam Endraswara (2013: 177) juga
menyatakan bahwa salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang dicetak atau
ditulis. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi juga ada kurangnya sebab realitasnya,
ada karya sastra lisan yang tidak pernah ditulis. Sungguh menggiurkan memang,
apa saja yang ditulis seolah-olah harus disebut sastra. Seperti yang banyak diketahui
bahwa sastra banyak mengangkat kisah-kisah kehidupan manusia, maka bisa
dikatakan bahwa sastra adalah cerminan dari kehidupan. Walaupun sastra adalah
cerminan kehidupan tetapi sastra itu tetap merupakan sebuah imajinasi yang
dituangkan dalam tulisan.

Salah satu bentuk sastra adalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan genre
folklor lisan yang diceritakan secara turun temurun (Endraswara, S, 2013: 47).
Cerita rakyat juga dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masayarakat lewat
bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya seperti
agama dan kepercayaan, undang-undang kegiatan ekonomi sistem kekeluargaan
dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut (Isnain, 2007). Ada sangat banyak
sekali katagori daripada cerita rakyat. Namun pada dasarnya, cerita rakyat dapat
dibagi menjadi tiga golongan besar diantaranya: Mite (myth), legenda (legend), dan
dongeng (folktale) (Bascom, 1965, terjemahan, Danandjaja, J, 1984: 50).

Pada setiap cerita yang memiliki tokoh di dalamnya, maka terdapatlah unsur
yang disebut karakter. Karakter dapat pula disebut dengan watak, tabiat, sifat, corak
pribadi. Secara sederhana karakter adalah kondisi jiwa manusia yang diakibatkan
oleh faktor dari dalam maupun dari luar yang membedakan dari orang lain (Muhsin,
M. Arief. 2016). Secara khas baik yang dapat diubah maupun yang tepat dalam
perkembangan kehidupan yang ditampakkan dalam tingkah laku.

Watak adalah keseluruhan (totalitas) kemungkinan-kemungkinan bereaksi


secara emosional; (seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur
dari dalam (dasar, keturunan, faktor-faktor endogen) dan unsurunsur dari luar
(pendidikan dan pengamalan, faktor-faktor eksogen) (Muhsin, M. Arief., 2016)
Walaupun istilah kepribadian dan watak sering dipergunakan secara bertukar-tukar,
Menurut Poedjawijatna tentang karakter atau watak adalah sebagai berikut: watak
itu dapat dipengaruhi dan dididik, tetapi pendidikan watak itu tetap merupakan
pendidikan yang sangat individual dan tergantung pada kehendak bebas dari orang
yang dididiknya (dalam Purwanto, 1990: 144-145). Dari definisi yang diungkapkan
oleh para ahli tersebut, bahwa karakter itu juga dapat dipengaruhi oleh-oleh faktor
dari luar, yakni salah satunya adalah melalui cerita rakyat itu sendiri.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif


kualitatif. Sumber data penelitian adalah cerita rakyat Si Jampang, Si Pitung, Mirah
dari Marunda, dan Murtado Macan Kemayoran. Selain itu, sumber data juga berasal
dari Narasumber bernama Pak Syaiful Amri selaku kepala TU UPK PBB Situ
Babakan. Penulis mengjunjungi Situ Babakan pada tanggal 21 Desember 2017
mulai pukul 8 pagi sampai selesai untuk mendapat informasi mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan kebetawian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari sekian banyaknya cerita rakyat Betawi, yang akan menjadi fokus di
sini adalah empat cerita rakyat yakni berjudul “Si Pitung’, ’Si Jampang’, ‘Murtado
Macan Kemayoran’, dan ‘Mrah dari Marunda’. Berikut akan disajikan tabel
mengenai sifat dari masing-masing tokoh utama pada keempat cerita rakyat Betawi
yang telah disebut sebelumnya berdasarkan cerita yang beredar dari mulut ke mulut
maupun dalam bentuk tulisan yang bisa diakses melalui internet:

Tabel 1

SIFAT / PITUNG JAMPANG MURTADO MIRAH


NAMA
PEMBERANI ✓ ✓ ✓ ✓
BAIK HATI ✓ ✓ ✓ ✓
BERJIWA ✓ ✓ ✓ ✓
SOSIAL
TINGGI
RELIGIUS ✓ ✓ ✓ ✓
JUJUR ✓ ✓ ✓ ✓
HUMORIS ✓ ✓ - -

Dari tabel yang telah disajika di atas, bisa dilihat banyak sifat positif yang bisa
diteladani dari tokoh utama pada cerita rakyat Betawi. Lalu, di sini akan diuraikan
satu per satu mengenai hal itu.

1. Pemberani.
Tampaknya, bukan cerita khas Betawi namanya jika tidak ada unsur
keberanian. Begitu pun pada keempat cerita rakyat di atas, semua tokoh
utama memiliki keberanian yang tinggi. Keberanian ini mempunyai konteks
yakni dalam melawan penjajah yang semena-semena. Mulai dari Si Pitung
yang saking beraninya sampai dijuluki manusia kebal, hingga ada cerita
dengan tokoh utama perempuan bernama ‘Mirah’ yang juga tidak kalah
pemberani. Mirah ini mewarisi kekuatan bapaknya yang sudah semakin
uzur untuk menjaga ketenteraman di daerah Marunda. Sampai akhirnya,
Mirah pun menjadi yang terkuat di daerah itu dan berhasil mengalahkan
perampok-perampok yang memasuki kawasan itu. Tidak berbeda dengan
sebelumnya, baik Si Jampang dan Murtado juga dengan sifat pemberaninya
dan kepiawaian bela dirinya, bisa membuat orang yang semena-mena, dan
orang Belanda kewalahan.
Oleh karena keberanian dari tokoh-tokoh tersebut selalu diperbincangkan
turun temurun dan dari generasi ke generasi, sehingga tanpa disadari kesan
yang melekat pada orang Betawi adalah ‘pemberani’ dan ‘jago silat’.
Karakter ini memanglah yang juga diharapkan oleh para orang tua supaya
bisa diikuti oleh anak mereka kelak, karena jika memiliki sifat pemberani
maka rintangan yang ada dalam hidup pun bisa ditaklukkan.
2. Baik Hati.
Sifat yang satu ini seharusnya tidak dimiliki orang Betawi saja, tetapi juga
untuk semua orang pada umumnya. Dikisahkan pada keempat cerita di atas,
semua tokoh utamanya adalah baik hati. Tolong-menolong yang mereka
lakukan merupakan budaya sekaligus sifat yang masih tecermin hingga kini.
3. Berjiwa Sosial Tinggi
Pada bagian sebelumnya yakni ‘baik hati’ hanya diberikan penjelasan
sedikit saja, karena uraian yang lebih lengkap ada di bagian ini. Berdasarkan
keempat cerita di atas, orang Betawi digambarkan sebagai orang yang
sangat peka terhadap orang yang berada di sekitar mereka. Orang Betawi
sering dibilang ‘enggak tegaan’ kepada orang di sekitarnya. Contohnya
pada kisah Si Pitung dan Si Jampang, oleh karena keprihatinan mereka
terhadap masyarakat Betawi yang lama-kelamaan semakin tertindas
penjajahan kolonial, mereka pun mengadakan perlawanan. Bahkan
Jampang & Murtado sampai rela menggelapkan uang Belanda untuk
kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat Betawi supaya bisa
mencukupi kehidupannya. Di lain sisi, Mirah pun menjadi pasukan garis
depan ketika ada banyak perampok yang mendatangi desa mereka. Jauh
sebelum karakter Robinhood terkenal, mereka sudah ada lebih dahulu
sebagai contoh orang yang memiliki jiwa sosial tinggi kepada sesamanya.
Bahkan hingga kini pun, hal itu masih terlihat. Gotong royong yang ada
pada masyarakat Betawi juga masih terasa, terutama di wilayah Situ
Babakan. Karakter yang satu ini tidak boleh hilang pada diri masyakrakat
Betawi sampai kapan pun. Oleh karena itu, orang tua selaku pendidik
pertama bagi anak tidak boleh lupa menerapkan sifat gotong royong kepada
anaknya sedini mungkin.
4. Religius
Religiusnya orang Betawi adalah sesuatu hal yang tidak perlu diragukan.
Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi
yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan
sosial. Bukan hanya Pitung saja, melainkan juga Jampang, Murtado, hingga
Mirah juga sama. Bahkan banyak yang menganggap bahwa orang Betawi
lebih menomorsatukan agamanya. Hal ini memang tidak salah, dan bisa
dilihat pada Palang Pintu yang merupakan budaya pernikahan Betawi, sikeh
(mengaji) merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh laik-
laki dari pihak pelamar supaya bisa disetujui oleh pihak wanita. Bukan
hanya pada Palang Pintu saja, melainkan pada adat kebiasaan orang Betawi,
hampir semuanya diwarnai dengan unsur agama Islam. Lalu, bukan hanya
ppihak pria saja yang dituntut menjadi religius. Wanita Betawi pun juga
harus religius. Hal ini dipertegas pada Ahyat (2014) bahwa sebagai suatu
kelompok etnik, kaum perempuan Betawi umumnya penganut agama Islam
yang taat dengan ikatan primodial yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari
perkumpulan-perkumpulan masyarakat Betawi yang membentuk ikatan
sosial keagamaan secara kental, seperti majelis taklim atau pengajian, selain
kepatuhan terhadap panutannya (kiai/ajengan).
5. Jujur
Sebenarnya, jika dilihat pada keempat cerita rakyat di atas, sifat jujur
tidaklah begitu digambarkan secara eksplisit. Justru, di cerita Jampang dan
Murtado malah digambarkan sebagai seseorang yang tidak jujur. Yakni
pada bagian “Sejak saat itu Belanda mengganti Bek Lihun ke Murtado. Dia
dipercaya menagih pajak hasil bumi di Kemayoran. Murtado malah
berkhianat. Dia mengambil upeti itu untuk dibagikan kepada warga
Kemayoran”. Dari potongan certita barusan, ternyata ketidakjujuran itu
hanyalah sebagai bentuk perlawanan kepada orang Belanda. Mereka
menggelapkan uang Belanda demi kesejahteraan rakyat Betawi. Mereka,
yakni para tokoh utama cerita tersbeut, sampai akhir hayatnya tetap jujur
kepada rakyat Betawi bahwa mereka adalah penolong dan bukan
pengkhianat. Sifat jujur ini juga masih bertahan hingga sekarang. Bahkan,
beberapa waktu lalu, masyarakat Betawi dikenal sebagai orang yang lugu
hingga akhirnya sampai menjual tanah warisannya kepada orang pendatang
yang kini menyebabkan tidak sedikit dari mereka yang cenderung memilih
untuk minggir ke wilayah perbatasan Jakarta dengan daerah lain.
Kecenderungan inilah yang menyebabkan komunitas mereka semakin agak
terpisah sehingga kebiasaan mereka untuk berkomunikasi dan
bersilaturahmi antarkerabat menjadi renggang (Prabowo, 2003). Namun,
apa yang pernah terjadi di masa lalu mereka bukanlah menjadi penghambat
untuk terus bersifat jujur. Karena, dewasa ini masih banyak ditemukan
orang Betawi yang jika berbicara jujur apa adanya walau cara
penyampaiannya terlalu terus terang, atau lebih dikenal dengan istilah blak-
blakan.
6. Humoris
Walau hanya digambarkan pada cerita Pitung & Jampang, tetapi bukan
berarti tidak berefek kepada karakter masyarakat Betawi hingga saat ini.
Humorisnya masyarakat Betawi sangat dikenal bukan hanya di daerahnya
sendiri, melainkan juga di daerah lain di Indonesia. Melalui kesenian
lenongnya, hingga pantun-pantun yang sering diucapkan kapan saja
membuat orang Betawi dikenal humoris. Sifat humorisnya ini juga
tergambar pada budayanya yang jujur dan berkata apa adanya (blak-blakan).
Dengan adanya sifat blak-blakan ini, penyampaian maksud dari orang
Betawi langsung ke intinya dan tidak basa-basi, disertai oleh logatnya yang
khas, menjadikan tidak sedikit orang akan tertawa jika sudah mendengar
orang Betawi mengoceh. Sifat ini juga tidak boleh hilang pada generasi-
generasi penerus masyarakat Betawi, supaya keramahan orang Betawi
beserta kejenakaannya tetap menjadi ciri khas.
Dari uraian di atas telah dijelaskan mengenai sifat-sifat yang ada pada diri
tokoh utama di cerita rakyat Betawi. Lalu, dari hasil uraian itu jugalah dapat
dikatakan bahwa pemanfaatan cerita rakyat ini sebagai pembentuk karakter adalah
hal yang bagus meskipun mungkin hal ini sudah sangat sering dilakukan tanpa
disadari baik itu oleh orang tuanya, maupun juga oleh anaknya. Hal ini dikarenakan
orang Betawi jika menyampaikan cerita rakyat tidak hanya sekali dua kali, tetapi
bisa berulang kali hingga di benak anak tersebut tertanam nilai-nilai yang perlu
diteladani dari apa yang telah mereka dengar atau baca. Sifat-sifat yang telah
diuraikan tersebut juga membantah kesan bahwa orang Betawi hanya dicap sebagai
orang malas, terbelakang, dan tidak berwawasan untuk maju, Apa yang disajikan
pada sinema seperti Bajaj Bajuri, Wong Cilik, Pepesan Kosong, Kecil-Kecil jadi
Manten, sebenarnya hanyalah perwujudan orang Betawi jika merealisasikan ciri
khas budayanya dalam alkuturasi budaya modern. Mereka bukanlah orang yang
terbelakang, tetapi hanya karena di sekelilingnya berada orang yang lebih modern
sajalah, maka mereka terkesan seperti itu.

Dengan adanya pembahasan ini, diharapkan juga ke depannya orang Betawi


dapat terus mengisahkan secara turun-temurun cerita rakyat ini supaya generasi
Betawi berikutnya dapat terus mewariskan karakter ini. Lalu juga tidak ada
salahnya orang daerah lain turut melihat sisi positif dari watak tokoh utama yang
ada di cerita rakyat Betawi untuk kemudian diterapkan dalam kehidupannya sehari-
hari.
SIMPULAN

Cerita rakyat merupakan salah satu tradisi sastra lisan dalam dunia
kesusastraan Indonesia. Penyampaian cerita ini biasa dilakukan dari mulut ke
mulut. Dari cerita rakyat, bisa ditemukan sifat-sifat tokoh yang patut untuk
diteladani. Salah satunya adalah pada cerita rakyat betawi. Mulai dari cerita Si
Pitung, Si Jampang, Mirah dari Marunda, dan Murtado Macan Kemayoran
semuanya memiliki watak positif yakni pemberani, baik hati, berjiwa sosial tinggi,
religius, jujur, dan juga humoris.

Dengan terus menyampaikan cerita rakyat Betawi dari masa ke masa dan
generasi ke generasi itu dapat turut berperan untuk membentuk karakter masyarakat
Betawi pada masa sekarang. Ini dikarenakan karakter atau watak manusia juga tidak
hanya dipengaruhi oleh keturunan atau faktor internal saja, melainkan faktor
eksternal juga turut berperan dalam pembentukan karakter manusia. Maka dari itu,
pemanfaatan cerita rakyat sebagai pembentuk karakter masyarakat Betawi
bukanlah sesuatu hal yang keliru, justru adalah hal yang bagus karena banyak nilai-
nilai positif yang bisa diteladani dari tokoh utama pada cerita rakyat Betawi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahyat, Ita Syamsiah. 2014. Profil Wanita Betawi Akhir Abad ke-21. Tangerang:
Sabda Alam Media.

Basoeki Koesasi. 1992. Lenong dan Si Pitung. Jakarta: Centre of Southeast Studies-
Australian National University.

Budiman. 1999. Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Danandjaja, James, 1984, Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-lain.
PT Pustaka. Utama Grafiti

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra.


Yogyakarta: Ombak.

Muhsin, Muh. Arief. 2016 . The Effectiveness of Positive Feedback in Teaching


Speaking Skill. Lingua Cultura, 10(1), 25-30.
http://dx.doi.org/10.21512/lc.v10i1.873

Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Surastina. 2018. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Elmatera.

Anda mungkin juga menyukai