LP Prolaps Uteri
LP Prolaps Uteri
ASUHAN KEPERAWATAN
Prolaps Uteri
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Emergency di RS dr. ISKAK Tulungagung
OLEH :
NADHIRA WAHYU LESTARI
115070205111003
Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
NIM. 115070205111003
( ……………………… ) ( ……………………… )
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Prolapsus uteri adalah suatu keadaan pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks atau
seluruh uterus berada di dalam orificium vagina, atau keluar hingga melewati vagina. Turunnya
uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis disebabkan karena kelemahan otot-otot, fascia,
ligamentum-ligamentum yang menyokongnya.
Prolaps uteri adalah turunnya uterus kedalam introitus vagina yang diakibatkan oleh kegagalan
atau kelemahan dari ligamentum dan jaringan penyokong (fasia).
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke dalam atau keluar
melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan dukungan yang tidak adekuat dari ligamentum kardinal
dan uterosakral serta struktur penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-kadang organ
pelvis yang lain juga ikut turun.
II. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan prolapsus organ panggul. Tahun 1996,
International Continence Society, the American Urogynecologic Society, and the Society of
Gynecologic Surgeons memperkenalkan sistem POP-Q (Pelvic Organ Prolapse Quantification).
Metode penilaian prolapsus organ pelvis ini memberikan penilaian yang objektif, deskriptif
sehingga dapat memberikan nilai kuantifikasi atau derajat ringan beratnya prolapsus yang terjadi.
Derajat prolapses organ panggul
Derajat 0 Tidak terlihat adanya prolapse
Derajat 1 Bagian dital dari prolaps > 1 cm di atas hymen
Derajat 2 Bagian yang paling distal dari prolaps < 1 cm di bawah lingkaran hymen
Derajat 3 Bagian yang paling distal dari prolaps > 1 cm di bawah hymen, namun
kurang dari TVL (total vaginal length) – 2 cm
Derajat 4 Eversi komplit total panjang traktur genetalia bawah. Bagian distal
prolapses uteri menurun sampai (TVL-2) cm
Untuk prolapsus uteri, Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam
klasifikasi, tetapi klasifikasi yang dianjurkan sebagai berikut
Desenses uteri Uterus turun, tetapi serviks masih dalam vagina
Prolapsus uteri tingkat I Uterus turun, serviks uteri turun paling rendah sampai
introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II Sebagian besar uterus keluar dari vagina
Prolapsus uteri tingkat III Uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai dengan
atau prodensia uteri inversion uteri
III. ETIOLOGI
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit, merupakan
penyebab prolapsus uteri, dan memperburuk prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah
tarikan pada janin pada pembukaan belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan untuk
mengeluarkan plasenta, dan sebagainya. Jadi, tidaklah mengherankan bila prolapsus genitalia
terjadi segera sesudah partus atau dalam masa nifas. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
mempermudah terjadinya prolapsus uteri. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara, faktor
penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Penyebab prolapsus alat genitalia adalah multifaktorial dan semakin berkembang dari
tahun ke tahun. Namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan “pelvic floor” yang terdiri dari
otot-otot, fascia endopelvik, dan ligamentum-ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia
tersebut.
Faktor resikonya :
Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor resiko terbanyak. Sampai saat ini belum ada
penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor resiko
dari prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko yang paling sering dikutip.
Tidak ada kesepakatan apakah kehamilan atau nifas itu sendiri yang merupakan predisposisi untuk
disfungsi dasar panggul. Namun banyak penelitian statistik jelas menunjukkan bahwa persalinan
pervaginam ini meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ
Prolapse (POP). Sebagai contoh, dalam Dukungan Pelvic Organ Study (POSST), peningkatan
paritas dikaitkan dengan peningkatan resiko prolapsus. Selain itu, risiko POP meningkat 1,2 kali
dengan setiap pengiriman vagina. Studi Kohort Keluarga Berencana Oxford dari 17.000 wanita,
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan
mengalami peningkatan resiko delapan kali lipat di rumah sakit untuk POP.
Faktor penyebab lainnya :
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir yang terlalu lama
bisa menjadi factor resiko yang dapat menyebabkan POP. Selain itu beberapa ahli ginekologi
menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter anal, penggunaan forceps,
stimulasi oksitosin berulang, riwayat operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun hal ini masih menjadi
pertimbangan. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis akan mempermudah terjadinya prolapsus
genitalia. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh
adanya kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Faktor resiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih
menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps ntuk mempersingkat
kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan penggunaan forceps dan episiotomy tidak
dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan berpotensi untuk membahayakan ibu dan
janin. Pertama, penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter
anal.Kedua, Forcep tidak terbukti dalam memperpendek kala dua. Karena alasan inilah,
pengguanaan forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti bermanfaat tetapi
dapat menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin dan alvi,konstipasi postpartum,dan
nyeri postpartum. Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena belum ada
panjelasan jelas mengenai hal tersebut.
Umur
Usia lanjut juga juga merupakan faktor resiko prolapsus uteri. Pada wanita yang telah
menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism) yang dihasilkan
oleh ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul seperti diafragma
pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia akan mengalami atrofi dan melemah, serta
terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan
terjadinya prolapsus genitalia.
Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita Asia
menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki risiko tertinggi.
Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan antara ras, namun perbedaan
tulang panggul dalam settiap ras mungkin juga berperan.Misalnya, perempuan kulit hitam,
umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya Bentuk panggulnya adalah android atau
antropoid.Bentuk panggul ini mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan
dengan ras Barat dimana rata-rata bentuk panggulnya ginekoid.
V. MANIFESTASI KLINIS
Gejala prolapsus uteri bersifat individual, berbeda-beda pada setiap orang. Tingkat keparahan
prolapsus uteri bervariasi. Kadangkala penderita dengan prolapsus yang cukup berat tidak mempunyai
keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolapsus ringan mempunyai banyak keluhan.
Keluhan-keluhan yang paling umum dijumpai:
Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal di vagina atau menonjol di genitalia eksterna
Rasa sakit di panggul atau pinggang (backache) merupakan gejala klasik dari prolapsus
Luka dan dekubitus pada porsio uteri akibat gesekan dengan celana atau pakaian dalam
Gangguan berkemih, seperti inkontinensia urin atau retensi urin
Kesulitan buang air besar
Infeksi saluran kemih berulang
Perdarahan vagina
Rasa sakit atau nyeri ketika berhubungan seksual (dispareunia)
Keputihan atau cairan abnormal yang keluar melalui vagina
Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gangguan bila berjalan dan bekerja
VI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah:
1. Infeksi saluran kencing. Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi. Sistitis
yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis dan pielonefritis yang akhirnya
keadaan tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli. Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan
jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat, karena tarikan ke bawah di bagian uterus
yang turun serta pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi
panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli
3. Kesulitan pada waktu persalinan. Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu
persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan sehingga kemajuan persalinan jadi
terhalang.
4. Hemoroid. Varises yang terkumpul dalam rektokel akan memudahkan terjadinya obstipasi
sehingga lambat laun akan menimbulkan hemoroid.
5. Inkarserasi usus halus. Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit sehingga
kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk
membebaskan usus yang terjepit tersebut.
6. Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri. Prosidensia uteri disertai dengan keluarnya
dinding vagina (inversio); karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut,
dan berwarna keputih-putihan
7. Dekubitus. Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian
dalam; hal itu dapat menyebabkan luka dan radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus.
Dalam keadaan demikian, perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita
berusia lanjut
8. Kemandulan. Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau sama sekali
keluar dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.
9. Gangguan miksi dan stress inkontinensia. Pada sistokel berat, miksi kadang-kadang terhalang
sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga
menyempitkan ureter sehingga bisa menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel
dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat
menyebabkan stress inkontinensia.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Urin residu pasca berkemih
o Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan mengukur volume
berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih yang penuh, kemudian
diikuti dengan pengukuran volume residu urin pasca berkemih dengan kateterisasi
atau ultrasonografi.
b. Skrining infeksi saluran kemih.
c. Pemeriksaan urodinamik apabila dianggap perlu.
d. Pemeriksaan Ultrasonografi
o Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif mudah
dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan informasi real time.
o Pencitraan dapat mempermudah memeriksa pasien secara klinis. Namun belum
ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan dasar panggul pada kasus
POP.
Jadi, yang dimaksud dengan prolapsus organ panggul adalah apabila jelas ada penurunan
organ ke dalam vagina atau keluar melalui vagina dengan keluhan seperti di atas.
Konservatif
Pilihan penatalaksaan non-bedah perlu didiskusikan dengan semua wanita yang mengalami
prolapsus.Terapi konservatif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1) Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) sangat berguna pada prolapsus ringan, terutama
yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lebih dari enam bulan. Tujuannya untuk
menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Cochrane review of conservative management prolapsus uteri
menyimpulkan bahwa latihan otot dasar panggul tidak ada bukti ilmiah yang mendukung.
Cara melakukan latihan yaitu, penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar
panggul seperti setelah selesai buang air besar atau penderita disuruh membayangkan seolah-
olah sedang mengeluarkan buang air kecil dan tiba-tiba menghentikannya.
2) Pemasangan pesarium
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolapsus tanpa melihat stadium
ataupun lokasi dari prolapsus. Pesarium digunakan oleh 75%-77% ahli ginekologi sebagai
penatalaksanaan lini pertama prolapsus. Alat ini tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran,
serta mempunyai indikasi tertentu.
Jenis-jenis pessarium. A. Cube pessary. B. Gehrung pessary. C. Hodge with knob pessary. D. Regula pessary. E. Gellhorn
pessary. F. Shaatz pessary. G. Incontinence dish pessary. H. Ring pessary. I. Donut pessary.
Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif saja, yakni menahan uterus
ditempatnya selama alat tersebut digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat maka timbul
prolapsus kembali. Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan
pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat
turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika pessarium terlalu kecil atau dasar panggulnya
terlalu lemah maka pessarium akan jatuh dan prolapsus uteri akan timbul kembali. Pessarium yang
paling baik untuk prolapsus genitalia ialah pessarium cicic yang terbuat dari plastik. Jika dasar
panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier. Pessarium ini terdiri atas suatu gagang
(stem) dengan dengan ujung atas suatu mangkok (cup) dengan beberapa lobang dan diujung
bawah terdapat 4 tali. Mangkok ditempatkan di bawah serviks dan tali-tali dihubungkan dengan
sabuk pinggang untuk memberikan sokongan pada pessarium. Sebagai pedoman untuk mencari
ukuran yang cocok maka diukur dengan jari berupa jarak antara fornik vagina dengan pinggir atas
introitus vagina, kemudian ukuran tersebut dikurangi dengan 1 cm untuk mendapatkan diameter
dari pessarium yang akan digunakan. Pessarium diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit
ke dalam vagina. Setelah bagian atas masuk ke dalam vagina maka bagian tersebut ditempatkan ke
forniks vagina posterior. Kadang-kadang pemasangan pessarium dari plastik mengalami
kesukaran, akan tetapi kesukaran ini biasanya dapat diatasi oleh penderita. Apabila pessarium
tidak dapat dimasukkan sebaiknya digunakan pessarium dari karet dengan per di dalammnya.
Pessarium ini dapat dikecilkan dengan menjepit pinggir kanan dan kiri antara 2 jari dan dengan
demikian lebih mudah dimasukkan ke dalam vagina. Untuk mengetahui setelah dipasang apakah
ukurannya cocok maka penderita disuruh batuk atau mengejan. Jika pessarium tidak keluar lalu
penderita disuruh berjalan-jalan dan apabila ia tidak merasa nyeri maka pessarium dapat
digunakan terus.
Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asalkan penderita diawasi dan diperiksa
secara teratur.Pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali.Vagina diperiksa secara
inspekulo untuk menentukan ada tidaknya perlukaan, pessarium lalu dibersihkan dan disterilkan
lalu kemudian dipasang kembali.Pada kehamilan, reposisi prolapsus uteri dengan memasang
pessarium berbentuk cincin dan kalau perlu ditambah tampon kassa serta penderita disuruh tidur
mungkin sudah dapat membantu penderita.Apabila pessarium dibiarkan di dalam vagina tanpa
pengawasan yang teratur, maka dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti ulserasi,
terpendamnya sebagian dari pessarium ke dalam dinding vagina, bahkan dapat terjadi fistula
vesikovaginalis atau fistula rektovaginalis.Kontraindikasi terhadap pemakaian pesarium ialah
adanya radang pelvis akut atau subakut serta adanya keganasan. Sedangkan indikasi penggunaan
pessarium antara lain kehamilan, hingga penderita belum siap untuk dilakukan tindakan operasi,
sebagai terapi tes untuk menyatakan bahwa operasi harus dilakukan, penderita yang menolak
untuk dilakukan tindakan operasi dan lebih suka memilih terapi konservatif serta untuk
menghilangkan keluhan yang ada sambil menunggu suatu operasi dapat dilakukan.
Operatif
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita, masih
berkeinginan untuk mendapatkan anak atau mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya
keluhan. Prolapsus uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan
pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus vagina juga perlu ditangani. Terdapat kemungkinan
prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan, tetapi tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus
uteri yang ada belum perlu dioperasi. Di Inggris dan Wales pada tahun 2005-2006, 22.274 operasi
dilakukan untuk prolapsus vagina. Beberapa literatur melaporkan bahwa dari operasi prolapsus
uteri, disertai dengan perbaikan prolapsus vagina pada waktu yang sama. Macam-macam operasi
untuk prolapsus uteri sebagai berikut:
1. Ventrofikasi
Dilakukan pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak. Cara
melakukannya adalah dengan memendekkan ligamentum rotundum atau mengikat
ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare (membuat uterus
ventrofiksasi).
2. Operasi Manchester
Operasi ini disarankan untuk penderita prolapsus yang masih muda, tetapi biasanya dilakukan
amputasi serviks uteri, dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong, di depan
serviks dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan
untuk memperpendek serviks yang memanjang (elongasio koli). Tindakan ini dapat
menyebabkan infertilitas, partus prematurus, abortus .
Bagian yang penting dari operasi Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan
serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek, sehingga uterus akan
terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat dicegah.
3. Histerektomi Vagina
Operasi ini tepat dilakukan pada prolapsus uteri tingkat lanjut (derajat III dan IV) dengan
gejala pada saluran pencernaan dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus
diangkat, puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri atas pada
ligamentum infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan kolporafi
anterior dan kolpoperineorafi untuk mengurangi atau menghilangkan gejala saluran
pencernaan seperti, sembelit, inkontinensia flatus, urgensi tinja, kesulitan dalam
mengosongkan rektum atau gejala yang berhubungan dengan gangguan buang air besar dan
untuk mencegah prolaps vagina di kemudian hari. Histerektomi vagina lebih disukai oleh
wanita menopause yang aktif secara seksual. Di Netherlands, histerektomi vaginal saat ini
merupakan metode pengobatan terkemuka untuk pasien prolapsus uteri simtomatik.
4. Kolpokleisis (kolpektomi)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi wanita yang tidak menginginkan fungsi vagina (aktivitas
seksual dan memiliki anak) dan memiliki risiko komplikasi tinggi. Operasi ini dilakukan
dengan menjahit dinding vagina depan dengan dinding vagina belakang, sehingga lumen
vagina tertutup dan uterus terletak di atas vagina. Keuntungan utama dari prosedur ini adalah
waktu pembedahan singkat dan pemulihan cepat dengan tingkat keberhasilan 90 - 95%.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdominal
2) Resiko tinggi infeksi y.b.d luka akibat pergeseran massa uterus
3) Resiko dekubitus y.b.d pergeseran massa uterus
4) Kurangnya pengetahuan y.b.d keterbatasan kognitif dan kurangnya keinginan mencari
sumber informasi
5) Gangguan eliminasi uri y.b.d adanya desakan uterus
6) Gangguan eliminasi alvi y.b.d adanya desakan uterus
Rencana tindakan :
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Observasi keluhan nyeri, lokasi, jenis dan intensitas nyeri
c) Jelaskan penyebab rasa sakit, cara menguranginya.
d) Beri posisi senyaman mungkin untuk pasien.
e) Ajarkan tehnik-tehnik relaksasi/ nafas dalam.
f) Beri obat-obat analgetik sesuai pesanan dokter.
g) Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rencana tindakan :
a) Kaji TTV, perhatikan peningkatan suhu.
b) Kaji tanda-tanda infeksi (tumor kalor rubor, dolor, fungsileisa).
c) Lakukan tehnik perawatan luka secara steril 1x/hari
d) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotic.
f) Lakukan Health Education kepada keluarga tentang pentingnya mencuci tangan
sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien.
Anwar Mochamad, Baziad Ali, Prabowo R. Prajitno. 2011. Ilmu Kandungan: Kelainan Letak
Alat-Alat Genital. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Berek, Jonathan S. 2012. Berek & Novak’s Gynecology 15th ed. Lippincott Williams &
wilkins;
Doshani A, Teo RE, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine prolapse. BMJ: British Medical Journal
[internet]. 2007. [cited 2014 Des 8]; 335:819-823.
Junizaf. 2002. Prolapsus alat genitalia. Dalam: Buku ajar: Uroginekologi. Jakarta Subbagian
uroginokologi rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN-CM; 70-76
Noerpramana, Noor Pramono, Hadijono, R Soerjo, Iskandar, T. Mirza, Kristanto Herman,
Hidayat, Syarief Thaufik, Erwinanto. 2013. Praktis Klinis Obstetri Ginekologi. Semarang: Cakrawala
Media;
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC; 2012.
Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG.
Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies. 2008.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,: 103-131, 421-446
PATHOPHYSIOLOGY
displacement of the
sacral back pain with lower abdominal rectal pressure
bladder
standing discomfort
voiding difficulties
(incontinence, defecatory difficulties
frequency, and (Constipation,
urgency) uncontrollable gas, and
fecal incontinence)
Skema Patofisiologi Pelvic Organ Prolapse