Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KEGIATAN PRAKTIKUM

APLIKASI KLINIK GIGI DAN PENCEGAHAN

Caries Risk Assessment

CAMBRA (Caries Management by Risk Assessment)

Disusun oleh:

Nama : Intan Nur Fajri

NIM :13/347789/KG/09513

Kelompok : 1 (satu)

PROGRAM STUDI HIGIENE GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
CAMBRA (Caries Management by Risk Assessment)

Caries Management by Risk Assesment (CAMBRA) merupakan metode yang


digunakan untuk mengidentifikasi penyebab karies dengan menilai adanya faktor
resiko yang dapat mengindikasikan aktivitas karies pada saat ini dan resiko karies
pada masa mendatang setiap individu. Resiko pada sistem CAMBRA
dikategorikan menjadi 4 level yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah
(Mount. G J., dkk, 2016).
Berdasarkan konsep karies balance/imbalance atau konsep keseimbangan
karies, CAMBRA mengakui bahwa proses deminiralisasi maupun remineralisasi
gigi dapat disebabkan oleh banyak faktor (Mount. G J., dkk, 2016). Konsep
keseimbangan karies dibuat untuk menggambarkan multifaktor penyebab
terjadinya karies dan menekankan keseimbangan antara kondisi patologis, dan
faktor pelindung pada proses terjadinya karies gigi. Apabila faktor patologis lebih
besar daripada faktor pelindung maka proses karies akan berkembang.
Perkembangan ataupun penurunan aktivitas karies ditentukan oleh keseimbangan
antara indikator penyakit dan faktor resiko pada sisi yang sama dengan faktor
pelindung pada sisi yang berlawanan (Maheswari. S U., dkk, 2015).

A. Tujuan
Tujuan praktikum pemeriksaan resiko karies menggunakan metode
CAMBRA untuk mengidentifikasi faktor resiko klien terhadap karies
sehingga dapat memberikan rekomendasi yang tepat berdasarkan faktor
resiko tersebut.

B. Alat dan Bahan


1. Tray
2. Diagnostic set (kaca mulut, sonde, ekskavator, pinset)
3. Alat Pelindung Diri (masker dan glove)
4. Gelas kumur
5. Toples untuk cotton roll dan cotton pellet
6. Air/water syringe
7. Spuit injeksi
8. Tissu
9. Cotton roll
10. Formulir CAMBRA
11. Formulir odontogram

C. Cara Kerja
1. Mempersiapkan dental unit dan dental chair.
2. Mempersiapkan gelas kumur.
3. Mempersilahkan pasien untuk memposisikan diri di dental chair.
4. Mengisi identitas pasien pada formulir CAMBRA.
5. Mengatur posisi pasien dalam keadaan supinasi, kemudian mengarahkan
dental light pada mulut klien.
6. Mengisi Odontogram sesuai dengan keadaan rongga mulut (DMFT).
7. Melakukan pemeriksaan klinis berupa:
a) Pemeriksaan apakah ada white spot pada gigi yang mudah menempel
sisa makanan yaitu pada bagian servikal gigi dan pada permukaan
gigi yang susah dilakukan pembersihan yaitu pit dan fissure.
Penilaian white spot dapat dilakukan dalam keadaan gigi basah
maupun dikeringkan dengan air syringe.
b) Pemeriksaan apakah ada restorasi 3 tahun terakhir. Penilaian
terhadap restorasi dilakukan untuk mengecek restorasi masih bagus
atau terdapat restorasi yang pecah maupun sekunder karies.
Pengecekan restorasi menggunakan probe WHO.
c) Pemeriksaan apakah terdapat plak yang tebal dan tinggi (Heavy
Plak). Terdapat 2 macam yaitu plak yang nampak dan plak yang
tidak nampak. Pada penilaian CAMBRA ini mengetahui adanya plak
yang nampak pada gigi yaitu dengan mengusap permukaan gigi yang
pada area yang sulit pembersihan menggunakan sonde, sedangkan
untuk menilai plak yang tidak nampak dapat menggunakan
disklosing gel (Tri Plaque ID Gel).
d) Pengukuran saliva
Pengukuran saliva merupakan cara untuk melihat kecepatan sekresi
saliva pada individu. Pengukuran dilakukan pada mukosa bibir
bawah dengan metode spitting. Pengukuran saliva dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1) Mengukur laju aliran saliva klien dengan menginstrukasikan
klien merubah posisi duduk menjadi tegak dengan kepala sedikit
ditundukkan. Klien diminta untuk menampung dahulu saliva
pada dasar mulutnya.
2) Pada waktu 60 detik (1 menit) klien diminta meludahkan saliva
kedalam gelas plastik.
3) Setelah saliva terkumpul, saliva dimasukkan ke dalam spuit.
4) Menghitung volume saliva yang terkumpul dengan membaca
skala yang tertera pada spuit. Volume yang tertera pada spuit
merupakan volume saliva selama 1 menit. Laju aliran saliva
normal tanpa adanya stimulasi berkisar 0,25-0,35 ml/menit,
dengan rata-rata terendah 0,1-0,25 ml/menit dan pada keadaan
hiposalivasi laju aliran saliva kurang dari 0,1 ml/menit.
5) Mencatat hasil pemeriksaan pada form yang tersedia.
8. Melakukan wawancara dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
ada pada formulir CAMBRA, melingkari pada bagian “YA” jika sesuai
dengan pernyataan klien jika tidak abaikan.

D. Pembahasan
1. Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan penilaian risiko karies dengan metode
CAMBRA yaitu dengan melakukan pemeriksaan klinis terhadap rongga
mulut pasien, melakukan wawancara, serta mengisi daftar pertanyaan
dalam formulir CAMBRA.
a. Identitas Klien
Nama Klien : Z.S.L.G
Identitas Pemeriksa : Intan Nur Fajri
NIM : 13/347789/KG/09513
Tanggal Pemeriksaan : 6 Febuari 2017
Usia / Jenis kelamin : 21 th / Perempuan

Hasil Pemeriksaan:
 Gigi 18 belum erupsi.
 Gigi 16 hilang dicabut karena karies.
 Gigi 15 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan
fissure).
 Gigi 25 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan
fissure).
 Gigi 26 terdapat restorasi resin komposit pada permukaan
oklusal.

 Gigi 27 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan


fissure).
 Gigi 28 belum erupsi.
 Gigi 38 belum erupsi sempurna.
 Gigi 37 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan
fissure).
 Gigi 36 terdapat brown spot pada permukaan oklusal (pit dan
fissure).
 Gigi 44 terdapat white spot pada permukaan servikal gigi
sebelah bukal.

 Gigi 46 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan


fissure).
 Gigi 47 terdapat white spot pada permukaan oklusal (pit dan
fissure).
 Gigi 48 belum erupsi.

Dari hasil pemeriksaan dengan pengisian Odontogram didapatkan


hasil Decay (D) 0, Missing (M) 1, Filling (F) 1 dengan jumlah gigi
27. Jadi jumlah DMFT pada klien adalah 2.

b. Indikator Penyakit
1) Lesi white spot yang terlihat pada permukaan halus.
Terdapat lesi white spot pada servikal gigi 44 permukaan
bukal. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan air syringe
dan sonde, air syringe berfungsi untuk mengisolasi saliva agar
tidak menghalangi pandangan white spot, dan saat diisolasi
bagian yang dicurigai white spot akan terlihat lebih putih seperti
kapur dari permukaan disekitarnya. Selanjutnya disentuh
menggunakan sonde dan akan terasa kasar atau pada ujung
sonde terdapat white spot (putih) yang tersangkut.
Menurut Sumawinata (2004) white spot disebut dengan
bercak putih pada email yang terlihat putih dari sekelilingnya
akibat demineralisasi, merupakan proses awal karies. Adanya
lesi white spot menggambarkan bahwa bakteri patogen telah
menembus lapisan enamel dan asam organik yang dihasilkan
oleh bakteri telah melarutkan sejumlah ion kalsium dan fosfat
yang seharusnya digunakan untuk menggantikan secara alami
pada proses remineralisasi. Bercak putih ini disebabkan oleh
aktivitas plak gigi yang memproduksi asam yang dapat merusak
dan melepaskan email gigi. Bagian matriks enamel yang terlepas
tersebut dapat digantikan oleh air, dan menyebabkan perubahan
warna pada gigi, hingga menyebabkan timbulnya warna putih.
Lokasi yang umum terdapat white spot akibat lesi karies adalah
permukaan bukal dan oklusal gigi. Setelah terbentuk white spot,
jika tidak dicegah semakin lama akan tercipta karies pada white
spot tersebut.

2) Restorasi gigi yang dilakukan pada 3 tahun terakhir karena


karies.
Terdapat restorasi pada gigi 26 permukaan oklusal.
Restorasi dapat menjadi indikator penyakit karies gigi karena
restorasi yang mengalami kerusakan pada tepi marginal dan
terbentuknya celah antara gigi dan restorasi menyebabkan
terjadinya karies sekunder pada gigi (Kidd dan Bechal, 1991).

c. Faktor Resiko (Faktor Predisposisi Biologis)


1) Terdapat banyak plak terlihat pada gigi.
Dari hasil pemeriksaan klinis, ditemukan bahwa terdapat
plak yang terlihat pada gigi posterior bagian tepi gingiva yang
menghadap ke lingual.
Plak merupakan penyebab utama terjadinya karies. Plak
adalah lapisan yang didominasi oleh bakteri beserta produk-
produknya. Mekanisme terjadinya karies gigi dimulai dengan
adanya plak di permukaan gigi. Sukrosa (gula) dari sisa
makanan dan bakteri berproses menempel pada waktu tertentu
berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut
menjadi kritis (5,5). Hal ini menyebabkan demineralisasi email
berlanjut menjadi karies gigi (Ramayanti dan Purnakarya,2013).
Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan
mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan
proses karies pun dimulai dari permukaan gigi (pit, fissure dan
daerah interproksimal) meluas ke arah pulpa.

2) Pit dan fisur yang dalam


Dari hasil pemeriksaan klinis, terdapat pit dan fissura yang
dalam pada gigi 37, 36, dan 47.
Bentuk pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya
adalah sempit, melipat dan tidak teratur. Pit dan fisura yang
merupakan bagian yang rentan karies, karena bentukan
anatomisnya yang menyempit. Bakteri dan sisa makanan
menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan alat pembersih
mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan
penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat
mencegah bakteri sisa makanan berada dalam pit dan fisura
(Kervanto, 2009). Pit dan fissura yang dalam akan tampak
berwarna cokelat kehitaman. Pemeriksaan pit dan fissure
menggunakan sonde. Sonde akan tersangkut pada pit dan fissure
yang dalam. Perbedaan pemeriksaan dengan karies adalah jika
menggunakan sonde akan tersangkut dan terjadi perlunakan dan
akan terambil oleh sonde.

d. Faktor Pelindung
1) Pasta gigi berfluoride minimal 2x/hari
Dari hasil wawancara, diketahui pasien sikat gigi
menggunakan pasta gigi berfluoride sebanyak minimal 2x
sehari.
Klien mengaku menggunakan pasta gigi bermerk pepsodent
yang diketahui memiliki salah satu komposisi Sodium
Monoflourophosphate sebanyak 1,12%. Sodium
Monoflourophosphate merupakan senyawa yang dapat
melindungi lapisan email gigi, mengurangi sifat asam yang
dihasilkan oleh aktivitas bakteri dalam mulut, sebagai anti
bakteri dan mencegah kerusakan gigi. Pada pasta gigi Sodium
monofluorophosphate dapat menurunkan jumlah bakteri
Streptococcus sp. pada saliva (Agrippina, 2006). Kandungan
fluor dalam pasta gigi berfungsi menghambat kerusakan email
lebih lanjut, serta membantu remineralisasi pada lesi awal karies
(Ramayanti dan Purnakarya,2013).

2) Topikal fluoride 6 bulan terakhir.


Berdasarkan hasil wawancara, diketahui klien telah
melakukan fluoridasi topikal sekitar 1 bulan yang lalu.
Penggunaan fluor sebagai bahan topikal aplikasi telah dilakukan
sejak lama dan telah terbukti menghambat pembentukan asam
dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga menghasilkan
peningkatan yang signifikan dalam mempertahankan permukaan
gigi dari proses karies (Yanti, 2002).
Fluor bekerja dengan cara menghambat metabolisme
bakteri plak yang dapat memfermentasikan karbohidrat melalui
perubahan hidroksilapatit pada enamel menjadi fluor apatit yang
lebih stabil dan lebih tahan terhadap pelarutan asam sehingga
dapat menghambat demineralisasi dan meningkatkan
remineralisasi (Angela,2005). Yang dimaksud dengan topikal
aplikasi fluor adalah pengolesan langsung fluor pada enamel.
Setelah gigi dioleskan fluor lalu dibiarkan kering selama 5
menit, dan selama 1 jam tidak boleh makan, minum atau
berkumur (Lubis, 2001).
Jenis topikal yang digunakan adalah APF, APF lebih sering
digunakan karena memiliki sifat yang stabil, tersedia dalam
bermacam-macam rasa, tidak menyebabkan pewarnaan pada
gigi dan tidak mengiritasi gingiva. Bahan ini tersedia dalam
bentuk larutan atau gel siap pakai. Kandungan fluor dari APF
adalah 1,23% atau 12,300 ppm ion fluoride.

3) Aliran saliva tanpa stimulasi yang adekuat (0,3-0,5 ml/menit).


Fungsi saliva adalah sebagai pelicin, sebagai pelindung,
sebagai buffer yang dapat menahan turunnya pH atau
meningkatnya keasaman mulut, sebagai pembersih, sebagai anti
pelarut dan sebagai antibakteri.
Klien diintruksikan untuk menampung saliva pada gelas
selama 1 menit, lalu diukur volumenya menggunakan spuit dan
didapat 0,4 ml/menit. Laju aliran saliva normal tanpa adanya
stimulasi berkisar 0,25-0,35 ml/menit, dengan rata-rata terendah
0,1-0,25 ml/menit dan pada keadaan hiposalivasi laju aliran
saliva kurang dari 0,1 ml/menit. Laju aliran saliva klien
termasuk dalam kategori normal.
Nama Pasien : Z.S.L.G

Tanggal Pemeriksaan : 6 Febuari 2017 Data dasar atau Kontrol

Indikator Penyakit (Jika ada satu Yes YA= YA= YA=


menunjukkan adanya ‘’Resiko Tinggi” dan Lingkari Lingkari Lingkari
melakukan tes bakteri**)
1. Lesi karies yang terlihat dari gambaran
radiografi sudah penetrasi mencapai YA
dentin
2. Lesi pada enamel yang dapat dilihat
pada gambaran radiografi (belum YA
mencapai dentin)
3. Lesi white spot yang terlihat pada YA
YA
permukaan halus
A
4. Restorasi gigi yang dilakukan pada 3 YA
YA
tahun terakhir karena karies
A
Faktor Resiko (Faktor Predisposisi biologis)
1. MS dan LB baik dalam kategori sedang YA
maupun tinggi (melalui kultur
bakteri**)
2. Terdapat banyak plak terlihat pada gigi YA
A
YA

3. Frekuensi camilan (> 3x/sehari di antara


makan besar) YA

4. Pit dan fisur dalam YA


YA
A
5. Penggunaan obat – obatan rekreasional YA
6. Laju aliran saliva yang tidak adekuat
YA
pada hasil pengukuran (< 0,1 ml/mnt)
7. Faktor penurunan saliva (pengobatan,
YA
radiasi, sistemik)
8. Permukaan akar yang terbuka YA
9. Pemakaian alat ortodontik YA

Faktor Pelindung
1. Fluoridasi di lingkungan rumah,
YA
sekolah, tempat kerja
2. Pasta gigi berfluoride min 1x/hari YA
3. Pasta gigi berfluoride min 2x/hari
YA
YA
A
4. Obat kumur berfluoride (0,05% NaF)
setiap hari YA

5. Pasta gigi berfluoride 1000 ppm setiap


hari YA

6. Fluoride varnish 6 bulan terakhir


YA
7. Topikal fluoride 6 bulan terakhir YA

8. Pemakaian chlorhexidine 1
minggu/bulan selama 6 bulan terakhir YA

9. Permen karet xylitol 4 kali sehari selama


6 bulan terakhir YA

10. Ca dan PO4 suplementasi selama 6 bulan


terakhir YA

11. Aliran saliva tanpa stimulasi yang


adekuat (0,3-0,5mL/menit) YA
YA
A

Volume saliva : 0,4 mL/menit

Faktor Resiko Karies (lingkari): Ekstrim Tinggi


Tinggi Sedang
Rendah
E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
klien memiliki resiko karies yang tinggi (high risk), sebab terdapat lesi white
spot pada permukaan halus dan terdapat restorasi 3 tahun terakhir. Hal ini
sesuai dengan kategori CAMBRA bahwa sesorang masuk dalam kategori
high risk apabila terdapat 1 atau lebih indikator penyakit. Faktor resiko yang
dimiliki responden adalah plak yang terlihat pada gigi serta pit dan fissure
yang dalam. Faktor pelindung yang dimiliki pasien adalah pasta gigi berfluor
minimal 2x sehari, fluoridasi topikal pada 6 bulan terakhir dan aliran saliva
yang adekuat.

Faktor Pelindung:
a. Pasta gigi berfluoride
min 2x/hari
b. Topikal apklikasi 6
Faktor resiko: bulan terakhir
a. Terdapat banyak c. Aliran saliva tanpa
plak yang stimulasi yang adekuat
terlihat
Indikator penyakit b. Pit dan fissure
a. Terdapat lesi
yang dalam
white spot pada
permukaan halus
b. Terdapat
tumpatan 3 tahun
terakhir

Gambar: Timbangan Keseimbangan CAMBRA


2. Rekomendasi
Bagan Alternatif Rekomendasi
Indikator Penyakit Rekomendasi
dan Faktor Resiko
Lesi white spot CPP-ACP
Restorasi 3 tahun Memperbanyak
terakhir konsumsi sayuran
dan buah, serta
mengurangi
konsumsi makanan
yang manis dan
lengket
Banyak plak yang Pemakaian
terlihat chlorheksidin
glukonat 0,12 % dan
xylitol
Pit dan fissure yang
Pasta gigi berfluoride
dalam
Fissure sealant
(SIK/resin) atau
restorasi
Mengunyah permen
karet berxylitol
Berkunjung ke dokter
gigi
Oral Hygiene (sikat
gigi)
Rekomendasi yang disarankan untuk pasien dengan kategori resiko tinggi adalah:
a. Topikal aplikasi kalsium fosfat/CPP-APP (Casein Phosphopeptide-
Amorphous Calsium Phosphate)
CPP-APP digunakan untuk remineralisasi enamel gigi dan menyediakan
aktivitas anti karies. CPP-APP dapat menstabilkan ion kalsium dan fosfat.
Mekanisme kerja dari CPP-ACP yaitu dengan mempenetrasikan ion lebih
dalam sehingga menyebabkan proses remineralisasi pada lesi yang tidak
hanya pada permukaan lesi saja. Aplikasi CPP-ACP dapat berupa pasta
topikal, cream, obat kumur, dan permen karet (Mount. G J, dkk, 2016).
CPP-ACP mempunyai kemampuan sebagai antikariogenik dengan
menempatkan ACP di plak gigi (Reema, dkk., 2014). Kemudian pH plak gigi
dapat disangga (buffer) sehingga ion kalsium dan fosfat pada plak meningkat.
Dengan jumlah ion kalsium dan fosfat pada plak yang tinggi, maka
remineralisasi permukaan gigi dapat terjadi (Farooq, 2013). Selain itu, dalam
bertindak sebagai antikariogenik CPP-ACP dapat menggabungkan kalsium
fosfat dalam keadaan tidak berbentuk atau amorf ke dalam plak gigi, sehingga
dapat menekan demineralisasi email (Reema, dkk., 2014) dan dapat
meningkatkan proses remineralisasi (Pereira dan Soraya, 2014; Mettu, dkk.,
2015). CPP-ACP juga bersifat sebagai anti bakteri dengan mengganggu
perlekatan dan pertumbuhan dari Streptococcus mutans dan Streptococcus
sorbinus. CPP-ACP dapat berikatan menggunakan gaya tarik-menarik dengan
sel bakteri pada plak gigi, yang kemudian akan memfasilitasi perlekatan
kalsium dan menyebabkan kalsium berdifusi ke dalam permukaan gigi
(Reema, dkk., 2014).
Bahan Casein Phosphopeptides Amorphous Calcium Phosphate Fluoride
(CPP-ACPF). CPP memiliki kemampuan untuk mengikat dan menstabilkan
ion kalsium dan ion fosfat dalam larutan, serta mengikatnya dalam plak gigi
dan enamel gigi. Ion kalsium dan ion fosfat bebas berbentuk struktur kristal
pada pH netral. Namun, CPP menjaga ion kalsium dan ion fosfat dalam
keadaan amorf (tidak berbentuk). Dalam keadaan amorf, ion kalsium dan ion
fosfat dapat memasuki enamel gigi dengan cara berdifusi. Konsentrasi yang
tinggi dari ion kalsium dan ion fosfat dalam plak gigi dan saliva telah banyak
diteliti dan terbukti dapat mengurangi resiko demineralisasi enamel dan
membantu remineralisasi enamel gigi. Ion kalsium dan ion fosfat dari ACP
tersebut kemudian akan berdifusi ke dalam gigi dan lingkungan sekitarnya,
dan proses remineralisasi akan terjadi (Hasanah dkk., 2014).
 Peranan CPP pada gigi, yaitu mereduksi karies dengan cara :
- Berikatan dengan molekul perlekatan yang ada pada Streptococcus
mutans lalu merusak penyatuan bakteri tersebut ke plak.
- Meningkatkan ion kalsium untuk menghambat fermentasi plak.
- Menyediakan buffer protein dan fosfat untuk menekan pertumbuhan
bakteri saat terdapat karbohidrat terfermentasi berlebihan (Hasanah
dkk., 2014).
 Mekanisme CPP-ACPF:
- Membantu proses remineralisasi enamel gigi
- Mereduksi aktivitas karies
CPP-ACP mampu masuk ke dalam permukaan enamel dan
mempengaruhi proses karies (Hasanah dkk., 2014).
Cara pengaplikasian CPP-ACP dapat dilakukan oleh tenaga profesional
maupun klien sendiri. Aplikasi oleh klien sendiri klien dapat diajarkan cara
aplikasi pasta CPP-ACP. Salah satu produk pasta CPP-ACP adalah GC Tooth
Mousse Plus. Pasta GC Tooth Mousse Plus diaplikasikan pada seluruh
permukaan gigi dengan ujung jari atau cotton bud. Pasta diaplikasikan
langsung pada permukaan gigi dan biarkan selama 3 menit (Hasanah dkk.,
2014).

b. Memperbanyak konsumsi buah dan sayuran, serta mengurangi konsumsi


makanan manis dan lengket
Mengkonsumsi makanan karbohidrat terutama sukrosa, akan
mempengaruhi terbentuknya plak, sehingga membantu perkembangan dan
kolonisasi dari bakteri di dalam rongga mulut. Kondisi ini dapat
mempengaruhi metabolisme bateri dengan menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan untuk memproduksi asam dan bahan aktif yang akan
menyebabkan karies. Frekuensi konsumsi makan kariogenik yang sering
dapat menjadi penyebab munculnya plak. Konsumsi camilan makanan yang
manis dan lengket, sebaiknya diganti dengan konsumsi buah dan sayuran
segar yang mengandung vitamin, mineral, serat dan air sehingga dapat
melancarkan mpembersihan sendiri pada gigi (selfcleancsing). Konsisi ini
dapat mengurangi luas permukaan plak, sehingga resiko terjadinya karies
akan dapat dikurangi (Hidayanti, dkk).
Karbohidrat merupakan bahan yang paling berhubungan dengan karies
gigi. Karbohidrat adalah bahan yang sangat kariogenik. Gula yang terolah
seperti glukosa dan terutama sekali sukrosa sangat efektif menimbulkan
karies karena akan menyebabkan turunnya pH saliva secara drastis dan akan
memudahkan terjadinya demineralisasi. Seringnya mengkonsumsi gula
sangat berpengaruh dalarn meningkatnya kejadian karies. Gula yang
dikonsumsi akan dimetabolisme sedemikian rupa sehingga terbentuk
polisakarida yang rnemungkinkan bakteri melekat pada permukaan gigi,
selain itujuga akan menyediakan cadangan energi bagi metabolisme karies
selanjutnya serta bagi perkembangbiakan bakteri kariogenik (Ramayanti dan
Purnakarya, 2013).
Salah satu cara mudah untuk mencegah karies gigi adalah mengatur pola
makan dengan memperbanyak mengkonsumsi makanan berserat seperti sayur
dan buah-buahan. Makanan berserat perlu dikunyah lebih lama sehingga
gerakan mengunyah dapat merangsang pengeluaran saliva (air liur) lebih
banyak. Di dalam saliva terkandung zat-zat seperti substansi antibakteri,
senyawa glikoprotein, kalsium dan fluorida yang sangat berguna melindungi
gigi. Mengunyah makanan berserat seperti buah-buahan dapat membantu
membersihkan gigi, contohnya pepaya, semangka, apel, jambu air, jambu biji
adalah contoh dari buah-buahan yang mudah dijumpai dan dapat langsung
dikonsumsi dalam keadaan segar. Gerakan mengunyah dapat merangsang
pengeluaran saliva (air liur) lebih banyak. Di dalam saliva terkandung zat-zat
seperti substansi antibakteri, senyawa glikoprotein, kalsium, dan fluorida
yang sangat berguna melindungi gigi. Dalam hal ini saliva akan membasuh
gigi dari zat-zat makanan yang menempel dan menetralkan zat-zat asam
sehingga terhindar dari proses demineralisasi atau kerusakan gigi (Cahyati,
2013).
Perubahan diet merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan untuk
mencegah penyakit gigi. Tujuannya untuk mengurangi baik jumlah/frekuensi
konsumsi gula/sukrosa (Cahyati, 2013). Sukrosa merupakan gula yang paling
kariogenik, namun demikian gula lainnya tetap berbahaya. Konsumsi sukrosa
dalam jumlah besar dapat menurunkan kapasitas buffer saliva sehingga
mampu meningkatkan insiden terjadinya karies. Manifestasi sukrosa dalam
kehidupan sehari-hari adalah dalam bentuk gula putih. Sukrosa banyak
dikonsumsi orang karena rasa manisnya enak, bahan dasarnya mudah
diperoleh, dan biaya produksinya cukup murah. Tapi ternyata menurut
penelitian, sukrosa yang menaikkan indikasi karies paling besar. Fruktosa
merupakan kelompok monosakarida karbohidrat organik yang dikenal dengan
gula buah-buahan. Sintesis polisakarida ekstra sel gula sukrosa lebih cepat
diubah oleh mikroorganisme dalam rongga mulut menjadi asam daripada gula
glukosa, fruktosa, dan laksota, sehingga mengonsumsi buah-buahan dapat
menjadi pengganti mengonsumsi sukrosa (Soesilo dkk., 2005)

c. Berkumur dengan Chlorhexidine


Chlorhexidine glukonat merupakan suatu agen bakterisidal yang efektif
dan memiliki spektrum luas. Mekanisme aksi dari klorheksidin yaitu karena
adanya gaya elektrostatik antara ion positif dari klorheksidin dan ion negative
dari bakteri (Limeback, 2012).
Klorheksidin merupakan ion positif sedangkan bakteri merupakan ion
negatif sehingga akan terjadi tarik menarik antara klorheksidin dengan sel
bakteri dan menyebabkan kerusakan lapisan luar dinding sel bakteri.
Klorheksidine akan berpenetrasi kedalam sel bakteri sehingga menyebabkan
presipitasi sitoplasma dan mencegah perbaikan membrane sel dan terjadi
kerusakan sel bakteri. Pada konsentrasi rendah, klorheksidin akan bersifat
bakteriostat yang menyebabkan substansi dengan berat molekul rendah
seperti potassium dan fosfor terlepas dan sel bakteri menjadi rusak. Pada
konsentrasi tinggi, klorheksidin menyebabkan presipitasi sitoplasma bakteri
sebagai efek dari bakterisidal.
Umumnya klorheksidin digunakan dengan konsentrasi antara 0,12% dan
2%. Pada konsentrasi ini, klorheksidin hanya memiliki level toksisitas yang
sangat rendah terhadap jaringan (Kohli, 2010).
Klorheksidin tersedia dalam konsentrasi antara 0,2% dan 0,12%. Waktu
pemakaian yaitu selama 30-60 detik dengan berkumur, namun dosis ini
bervariasi setiap individu. Idealnya digunakan dua kali sehari (pagi dan
malam) (Balagopal, 2013).
Contoh pemakaiannya yaitu 10ml klorheksidin 0,2% digunakan dua kali
sehari, 10ml 0,1% dua kali sehari, 15ml klorheksidin 0,1% satu kali sehari.
Contoh produk obat kumur yang mengandung klorheksidin 0,2% yaitu
Clohex, Hexidine, Rexidin (Ghom, 2014).

Gambar: Sediaan klorheksidin

d. Pemakaian pasta gigi berfluoride


Sebagian besar pasta gigi di pasaran mengandung 1000 parts per million
(ppm), fluoride dan sebagian mencapai 1500 ppm. Beberapa pengujian klinis
menunjukkan terjadi penurunan insidensi karies sebesar 30% pada pengguna
pasta gigi dengan kandungan fluoride 1000-2800 ppm (Walsh and Darby,
2014). Pasta gigi yang ada di pasaran dapat mencegah karies karena
mengandung fluoride yang cukup untuk memfasilitasi remineralisasi enamel.
Karena ancaman karbohidrat dan bakteri terjadi setiap hari, maka penggunaan
pasta gigi berfluoride minimal 2x sehari dapat mencegah terjadinya karies
(Walsh and Darby, 2014). Mineral fluor mempercepat proses remineralisasi
dengan menyerap kristal mineral kedalam gigi dan menarik ion kalsium,
sehingga terbentuk kristal fluoroapatit. Kristal flluoroapatit lebih tahan
terhadap kelarutan daripada mineral email gigi yang asli (Walsh dan Darby,
2014).
Tujuan penggunaan fluor adalah untuk melindungi gigi dari karies, fluor
bekerja dengan cara menghambat metabolisme bakteri plak yang dapat
memfermentasi karbohidrat melalui perubahan hidroksil apatit pada enamel
menjadi fluor apatit yang lebih stabil dan lebih tahan terhadap pelarutan
asam. Reaksi kimia : Ca10(PO4)6(OH)2+F → Ca10(PO4)6(OHF)
menghasilkan enamel yang lebih tahan asam sehingga dapat menghambat
proses demineralisasi dan meningkatkan remineralisasi (Angela, 2005).
Remineralisasi adalah proses perbaikan kristal hidroksiapatit dengan cara
penempatan mineral anorganik pada permukaan gigi yang telah kehilangan
mineral tersebut (Kidd dan Bechal, 1991). Demineralisasi adalah proses
pelarutan kristal hidroksiapatit email gigi, yang terutama disusun oleh mineral
anorganik yaitu kalsium dan fosfat, karena penurunan pH plak sampai
mencapai pH kritis (pH 5) oleh bakteri yang menghasilkan asam (Rosen,
1991; Wolinsky, 1994).

e. Fissure sealant dengan SIK atau resin


Sealant merupakan material yang berwarna opak atau transparan yang
diaplikasikan pada pit dan fissure dimana sering terjadi karies gigi. Tujuan
dari fissure sealant adalah untuk menyediakan perlindungan secara fisik
(physical barrier) pada pit dan fissure dari bakteri dan sisa makanan(Vann
dan McIver).
Fissure sealing yang dapat bertahan lama karena penetrasinya bagus ialah
resin komposit. Etsa dari resin komposit menghilangkan mineral pada
permukaan email gigi sehingga menghasilkan mikroporositi lebih dalam dan
panjang. Resin yang masuk ke dalam mikropositi lebih banyak sehingga
membentuk resin tag. Resin tag ini mempunyai fungsi memberikan retensi
pada bahan fissura sealant secara mekanis (Ganesh, 2007).
Kelebihan resin komposit adalah untuk tambalan posterior cukup kuat,
tidak berbahaya seperti amalgam yang dapat menyebabkan toksisitas merkuri
pada pasien dan memiliki warna yang sewarna dengan gigi. Sedangkan
kekurangan dari resin komposit adalah dapat terjadi perubahan warna pada
saat pemakaian dan pengkerutan yang biasanya terjadi akan menyebabkan
perubahan warna pada margin gingiva (Rismaindar, 2011).
Fissure sealing berbasis SIK yang mengandung gelas alumuninosilikat,
asam poliakrilat merupakan bahan restorasi pertama yang adesif terhadap
email dan dentin secara kimia. Dentin konditioner digunakan untuk
membersihkan debris organik (Kidd dan Bechal, 1991). Dentin Konditioner
memiliki kandungan asam poliakrilat, asam poliakrilat ini menjamin
bersihnya permukaan sehingga ikatan tidak terganggu (Kidd dan Bechal,
1991).
Semen ionomer kaca melepaskan ion fluor dalam jangka waktu yang
cukup lama sehingga dapat menghilangkan sensitivitas dan mencegah
terjadinya karies. Kemampuan dalam melepaskan ion fluor terhadap
compressive strength dari bahan restorasi Semen ionomer kaca,
mengakibatkan korelasi negatif antara pelepasan ion fluoride dengan
compressive strength. Bahan material yang memiliki tingkat pelepasan ion
fluoride yang lebih tinggi, secara umum mempunyai kekuatan yang lebih
rendah dari material yang memiliki tingkat pelepasan ion fluoride yang
rendah (Robert, 2002).
SIK konvensional menghasilkan fluorida lima kali lebih banyak daripada
kompomer dan 21 kali lebih banyak dari resin komposit dalam waktu 12
bulan. Jumlah fluorida yang dihasilkan, selama 24 jam periode satu tahun
setelah pengobatan, adalah lima sampai enam kali lebih tinggi dari kompomer
atau komposit yang mengandung fluor (Craig, 2004).
Sebelum mengaplikasikan bahan GIC seorang operator harus mengetahui
kekurangan dan kelebihan dari bahan yang akan digunakan agar nantinya
dapat dipertimbangkan bahan yang cocok untuk diaplikasikan pada kavitas.
Adapun kelebihan dan kekurangan dari bahan restorasi GIC adalah sebagai
berikut :
 Kelebihan: potensi antikariogenik, translusen, biokompatibel, melekat
secara kimia dengan struktur gigi, sifat fisik yang stabil, mudah
dimanipulasi (Craig, 2004).
 Kekurangan : water in and water out, compressive strenght kurang baik,
resistensi terhadap abrasi menurun, estetik kurang baik, warna tambalan
lebih opaque, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara tambalan
dengan gigi asli (Craig, 2004)

f. Mengunyah permen karet Xylitol


Xylitol merupakan pemanis seperti gula namun tidak dapat di fermentasi
oleh bakteri karies yang dapat menghambat perlekatan dan transmisi bakteri.
Pemakaian xylitol dapat melalui permen karet. Mengunyah permen karet
sebanyak 2 tablet 4 kali sehari direkomendasikan untuk pasien dengan resiko
tinggi. Fungsi mengunyah permen karet yang mengandung xylitol yaitu,
meningkatkan remineralisasi, menghambat transmisi dan perlekatan bakteri,
dan menghambat rekolonisasi bakteri (Walsh and Darby, 2014).
Xylitol adalah penitol yang digunankan sugar substitutes yang mempunyai
efek menguntungkan bagi flora dalam rongga mulut. Molekul xylitol terdiri
dari lima atom karbon dan lima kelompok hidroksil sehingga xylitol termasuk
gula alkoloh dari jenis penitol. Rumus molekul xylitol adalah C5H12O5
(Kurniawati, 2012).
Xylitol tidak dapat difermentasi oleh bakteri plak gigi khususnya dalam
menghambat metabolisme glikolisis dari Streptococcus mutans, sehingga
akan mempengaruhi pertumbuhannya. Efek lainya yaitu kariostatik dengan
mengurangi perlekatan plak dengan menghambat pembentukan polisakarida.
Streptococcus mutans adalah target utama dari xylitol, sehingga dengan
penggunaan xylitol jangka panjang akan mengurangi jumlah Streptococcus
mutans pada plak gigi dan saliva (Kurniawati, 2012).

Mekanisme aksi xylitol di dalam rongga mulut :


Xylitol merupakan gula alkohol yang bersifat antimikroba dan
nonkariogenik karena dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri plak. Hal
tersebut terjadi karena xylitol tidak dapat dimetabolisme oleh bakteri plak
kariogenik, melalui mekanisme pengeluaran metabolit toksik pada fructose
phosphortrasferase system (fructose-PTS) dalam tubuh bakteri sehingga
bakteri tidak bisa menggunakan xylitol sebagai nutrisinya, sehingga
akumulasi plak pada permukaan gigi seseorang menjadi berkurang karena
sintesa polisakarida ekstrasel yaitu glukan dan dekstran berkurang. Pada
rongga mulut pH plak tidak akan turun menjadi asam, sehingga
demineralisasi email dan bakteri plak tidak berkembang biak (Kurniawati,
2012).
Metabolisme xylitol dalam kelompok mutans streptococci, yaitu dengan
masuknya xylitol ke dalam sel bakteri melalui fructose-PTS. Setelah masuk
kedalam sel bakteri (akumulasi intraseluler) xylitol dikonversi menjadi xylitol
5-phospate (X5P) dan menghambat metabolisme bakteri termasuk produk
asam dan menyebabkan efek toksik pada bakteri (Kurniawati, 2012).
Xylitol dalam bentuk permen karet sudah banyak diproduksi dan
menunjukkan sifat antikariogenik. Namun bentuk ini mungkin tidak
digunakan oleh beberapa orang, sehingga xylitol dalam bentuk cair seperti
obat kumur dapat menjadi alternatif.

g. Kunjungan rutin ke dokter gigi


Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko karies yang muncul pada gigi
geligi pasien maupun pada tambalannya. Melakukan pengambilan radiografi
bitewing setiap 6-18 bulan sekali atau sampai tidak terdapat kavitas lagi.
Pengambilan radiograf ini penting untuk melihat adanya karies sekunder pada
daerah restorasi atau ada tidaknya kebocoran restorasi pada gigi klien.
h. Menjaga oral hygiene dengan menyikat gigi dan menggunakan benang gigi
Plak dapat dihilangkan dengan menyikat gigi dan menggunakan alat
pembersih sela-sela gigi atau dental floss (Field, 2015). Menyikat gigi dengan
menggunakan sikat gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara mekanis.
Saat ini telah banyak tersedia sikat gigi dengan berbagai ukuran, bentuk,
tekstur, dan desain dengan berbagai derajat kekerasan dari bulu sikat. Salah
satu penyebab banyaknya bentuk sikat gigi yang tersedia adalah adanya
variasi waktu menyikat gigi, gerakan menyikat gigi, tekanan, bentuk dan
jumlah gigi pada setiap orang (Haryanti, 2014).
Terdapat beberapa metode menyikat gigi yaitu, Bass, Stillman, Horizontal,
Vertikal, dan Roll. Metode Bass dan Roll yang paling sering
direkomendasikan. Metode yang umum digunakan adalah meode horizontal,
metode roll, dan metode vertical. Metode horizontal dilakukan dengan cara
semua permukaan gigi disikat dengan gerakan ke kiri dan ke kanan.
Permukaan bukal dan lingual disikat dengan gerakan ke depan dan ke
belakang. Metode horizontal terbukti merupakan cara yang sesuai dengan
bentuk anatomis permukaan oklusal. Metode ini lebih dapat masuk ke sulkus
interdental dibanding dengan metode lain. Metode ini cukup sederhana
sehingga dapat membersihkan plak yang terdapat di sekitar sulkus interdental
dan sekitarnya (Haryanti, dkk., 2014).
Menurut Haryanti, dkk. (2014) metode vertikal dilakukan untuk menyikat
bagian depan gigi, kedua rahang tertutup lalu gigi disikat dengan gerakan
keatas dan kebawah. Untuk permukaan gigi belakang gerakan dilakukan
dengan keadaan mulut terbuka. Metode ini sederhana dan dapat
membersihkan plak, tetapi tidak dapat menjangkau semua bagian gigi seperti
metode horizontal dengan sempurna sehingga apabila penyikatan tidak benar
maka pembersihan plak tidak maksimal.
Metode roll adalah cara menyikat gigi dengan ujung bulu sikat diletakkan
dengan posisi mengarah ke akar gigi sehingga sebagian bulu sikat menekan
gusi. Ujung bulu sikat digerakkan perlahan-lahan sehingga kepala sikat gigi
bergerak membentuk lengkungan melalui permukaan gigi. Yang perlu
diperhatikan pada penyikatan ini adalah sikat harus digunakan seperti sapu,
bukan seperti sikat untuk menggosok. Metode roll mengutamakan gerakan
memutar pada permukaan interproksimal tetapi bagian sulkus tidak
terbersihkan secara sempurna. Metode roll merupakan metode yang danggap
dapat membersihkan plak dengan baik dan dapat menjaga kesehatan gusi
dengan baik (Haryanti, dkk., 2014).
Metode Stillman adalah dengan menggerakkan buku sikat gigi dari
gingiva ke arah koronal gigi, dengan gerakan vertikal. Metode Stillman
dikembangkan selain dapat untuk membersihkan plak, dapat juga untuk
menstimulasi gingiva (Hiremath, 2011).

Bagan Rekomendasi Klien


Indikator Penyakit Rekomendasi
dan Faktor Resiko
Lesi white spot CPP-ACP
Menggunakan pasta
Restorasi 3 tahun gigi berfluoride dan
terakhir berkunjung ke dokter
gigi
Banyak plak yang Oral Hygiene (sikat
terlihat gigi)
Fissure sealant
Pit dan fissure yang
(SIK/resin) atau
dalam
restorasi
Penjelasan pemilihan rekomendasi untuk klien:
1. Aplikasi CPP-ACP
Pilihan rekomendasi untuk lesi white spot pada pasien adalah
dengan aplikasi CPP-ACP, aplikasi ini dipilih karena pasien sudah
melakukan topikal aplikasi fluor sekitar 1 bulan yang lalu, namun lesi
white spot masih terlihat. CPP-ACP mempercepat proses remineralisasi
dengan mekanisme kerja yaitu dengan mempenetrasikan ion lebih dalam
sehingga menyebabkan proses remineralisasi pada lesi yang tidak hanya
pada permukaan lesi saja. Aplikasi CPP-ACP dapat berupa pasta topikal,
cream, obat kumur, dan permen karet (Mount. G J, dkk, 2016).

2. Tumpatan 3 tahun terakhir direkomendasikan untuk menggunakan pasta


gigi berfluoride dan berkunjung ke dokter gigi karena menyikat gigi
dengan teratur akan mencegah penumpukkan sisa makanan dan plak yang
menempel pada gigi yang merusak tambalan. Begitupula dengan pasta
gigi. Peran pasta gigi selain untuk membantu menghilangkan plak dan
sisa-sisa makanan pada saat penyikatan gigi tersebut, kandungan fluoride
di dalamnya akan membunuh kuman penyebab gigi berlubang dan
membantu proses perbaikan mineral gigi.

3. Terdapat banyak plak direkomendasikan untuk menjaga oral hygiene


karena plak dapat dihilangkan dengan menyikat gigi dan menggunakan
alat pembersih sela-sela gigi atau dental floss (Field, 2015). Menyikat gigi
dengan menggunakan sikat gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara
mekanis.

4. Fissure sealant
Rekomendasi untuk masalah pasien yang memiliki pit dan fissure
yang dalam adalah dengan melakukan fissure sealant, karena pit dan
fissure yang dalam tersebut harus ditutup agar sisa makanan dan plak
tidak tertinggal pada pit dan fissure. Kondisi pit dan fissure yang dalam
akan mempersulit proses pembersihan pada area tersebut.
Tujuan dari fissure sealant adalah untuk menyediakan
perlindungan secara fisik (physical barrier) pada pit dan fissure dari
bakteri dan sisa makanan (Vann dan McIver). Fissure sealing yang dapat
bertahan lama karena penetrasinya bagus ialah resin komposit. Etsa dari
resin komposit menghilangkan mineral pada permukaan email gigi
sehingga menghasilkan mikroporositi lebih dalam dan panjang. Resin
yang masuk ke dalam mikropositi lebih banyak sehingga membentuk
resin tag. Resin tag ini mempunyai fungsi memberikan retensi pada bahan
fissura sealant secara mekanis (Ganesh, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Agrippina, N.K, 2006, Pengaruh Pasta Gigi Yang Mengandung Xylitol Dan
Sodium Monofluorophosphate Terhadap Pertumbuhan Streptococcus Sp.
Pada Saliva, Skripsi, Fakultas kedokteran Gigi, Universitas Jember, Jember.
Angela, A., 2005, Pencegahan Primer Pada Anak Yang Berisiko Karies Tinggi,
Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), 38(3).
Balagopal, S., Arjunkumar, R., 2013, Chlorhexidine: The Gold Standard
Antiplaque Agent, Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, vol
5(12); 270-274.
Cahyati, W.H., 2013, Konsumsi Pepaya (carica Papaya) dalam Menurunkan
Debris Index, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(2): 127-136.
Craig, Robert G., Powers, John M., Wataha, John C. 2004. Dental Materials
Properties and Manipulation 9th Edition. Mosby Elsevier, Missouri
Farooq, I., dkk., 2013, A Review of Novel Dental Caries Preventive Material:
Casein Phosphopeptide–Amorphous Calcium Phosphate (CPP–ACP)
Complex, King Saud University Journal of Dental Sciences, Vol 4 : 48.
Ganesh, M., 2007, Comparative Evaluation of The Marginal Sealing Ability.
Ghom, A., Anil, S., 2014, Textbook of Oral Medicine, New Delhi, Jaypee
Brothers Medical Publisher.
Hasanah, I, Setyorini, D, dan Sulistiyani, 2014, Kadar Ion Fosfat dalam Saliva
Buatan Setelah Aplikasi CPP-ACP (Casein Phosphopeptides-Amorphous
Calcium Phosphate) (Phosphate Ion Level in Artificial Saliva After
Aplication of CPP-ACP (Casein Phosphopeptides-Amorphous Calcium),
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, FKG Universitas Jember.
Haryanti, D.D., dkk., 2014, Efektivitas Menyikat Gigi Metode Horizontal,
Vertical dan Roll Terhadap Penurunan Plak pada Anak Usia 9-11 Tahun,
Jurnal Kedokteran Gigi Dentino, Vol 11 (2) : 151.
Hidayanti, L., Lina, N., Bachtiar, K. R., ____ , Peran Buah dan Sayur dalam
Menurunkan Keparahan Karies Gigi pada Anak, Kesmas Universitas
Soedirman, Purwokerto
Hiremath, S.S., 2011, Textbook of Preventive and Community Dentistry, 2nd ed.,
Elsevier, New Delhi, hal. 416.
Kervanto, S., 2009, Arresting Oklusal Enamel Caries Lesions with Pit and Fissura
Sealants, Academic Dissertation Faculty of Medicine, University of
Helsinki.
Kidd, E.A.M., dan Bechal. S.J., 1991, Dasar-dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta (terj).
Kohli, A., 2010, Textbook of Endodontics, Haryana, Elsevier.
Kurniawati, V., 2012, Mekanisme Aksi Permen Kaaret Xylitol dalam Pencegahan
Pembentukan Plak dan Karies Gigi, Oral Biology, Maranatha Christian
University, Vol 1(1)26.
Limeback, H., 2012, Comprehensive Preventive Dentistry, Oxford, Wiley
Blackwell.
Lubis. S.L.A. 2001. Fluor dalam Pencegahan Karies Gigi. USU e-Repository.
Mettu, S., dkk., 2015, Effect of Casein Phosphopeptide-Amorphous Calcium
Phosphate (CPP-ACP) on Caries-Like Lesions in Terms of Time and Nano-
Hardness: An in vitro Study, Journal of Indian Society of Pedodontics and
Preventive Dentistry, Vol 33(4).
Mount. G J., Hume. W R., Ngo. H C., Wolff. M S., 2016, Preservation and
Restoration of Tooth Structure 3rd edition, John Wiley and Sons, New
Delhi
Pereira, R.F., dan Soraya, C.L., 2014, Efficacy of Casein Derivate CPP-ACP, Rev
Gaúch Odontol, Porto Alegre, Vol 62 (3) : 245.
Ramayanti, S dan Purnakarya, I., 2013, Peran Makanan Terhadap Kejadian Karies
Gigi, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2): 89-93
Reema, S.D., dkk., 2014, Review of Casein Phosphopeptides-Amorphous
Calcium Phosphate, The Chinese Journal of Dental Research, Vol 17 (1) :
8.
Rismaindar, 2011, Degradasi Bahan Restorasi Resin Komposit, FKG USU,
Medan
Robert G., John M. Powers. 2002. Restorative Dental Materials : 11 th
edition. Missouri : Mosby Inc.
Soesilo, D., Santoso, R.E., Diyatri, I., 2005, Peranan sorbitol dalam
mempertahankan kestabilan pH saliva pada proses pencegahan karies, Maj.
Ked. Gigi. (Dent. J.), 38(1) Januari 2005: 25–28.
Sumawinata, 2004, Senarai Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
Vann. W F., McIver. F T., ____, Pit and Fissure Sealant, Health Research and
Service Administration, North Carolina
Walsh. M., Darby, M L., 2014, Dental Hygiene: Theory and Practice, Elsevier,
Missouri
Wollinsky, L. E., 1994, Caries and Cariology. Dalam Nisengard, R. J. and M. G.
Newman. Oral Microbiology and Immunology. 2nd Ed., Philadelphia, W. B.
Saunders Company, hal. 341-344
Yanti, S. 2002. Topikal Aplikasi Pada Gigi Permanen Anak. USU e-Repository.

Anda mungkin juga menyukai