Anda di halaman 1dari 55

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu upaya pelayanan kesehatan yang mendapat prioritas untuk

dikembangkan adalah meningkatkan upaya penanggulangan penderita gawat

darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan bencana. Keadaan

gawat darurat bisa terjadi kapan saja, pada siapa saja dan dimana saja. Kondisi ini

menuntut kesiapan petugas kesehatan khususnya perawat untuk mengantisipasi

kejadian tersebut (BPPSDMK, 2014).

Prinsip utama Penanggulangan Penderita Gawat darurat (selanjutnya disebut

PPGD) adalah menyelamatkan pasien dari kematian pada kondisi gawat darurat.

Filosofi dalam PPGD adalah “Time Saving is Live Saving”, dalam artian bahwa

seluruh tindakan yang dilakukan pada saat gawat darurat haruslah benar-benar

efektif dan efisien. Keberhasilan tindakan PPGD sangat dipengaruhi oleh

kompetensi yang dimiliki penolong, baik itu dokter maupun perawat, karena pada

kondisi tersebut kurangnya kompetensi dokter/perawat dapat mengakibatkan

pasien kehilangan nyawa dalam hitungan menit (Herry, 2012).

Pada fase rumah sakit, Instalasi Gawat Darurat ( selanjutnya disebut IGD)

berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat darurat.

Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan

kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah

tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Instalasi Gawat Darurat saat ini

1
2

menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi

suatu rumah sakit.

Kematian pasien gawat darurat masih menjadi salah satu masalah utama di

seluruh dunia. WHO mengestimasi 17,2 juta orang di dunia meninggal akibat

kasus kegawatan pada tahun 2008. Data SKRT tahun 2010 mendapatkan sekitar

30% kematian di Indonesia disebabkan oleh kegawatan (WHO, 2010).

Berdasarkan data kematian pasien gawat darurat di IGD RSI Jemursari

Surabaya kunjungan pasien selama tahun 2012, yaitu sebanyak 762 dengan angka

kematian pasien kritis setelah mendapatkan bantuan hidup dasar sebanyak 7,1 %

atau 54 pasien, sedangkan pada tahun 2013 sebanyak 938 dengan angka kematian

pasien kritis setelah mendapatkan bantuan hidup dasar sebanyak 2,5 % atau 23

pasien, ini membuktikan meskipun telah terjadi penurunan, angka kematian masih

cukup tinggi mengingat target yang diinginkan yaitu dibawah 1 % (Rekam Medik

RSI Jemursari, 2014).

Kasus Gawat Darurat adalah suatu keadaan yang menimpa seseorang yang

dapat menyebabkan sesuatu yang mengancam jiwanya dalam arti memerlukan

pertolongan tepat, cermat dan cepat, bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati

atau menderita cacat. Salah satu standarisasi yang harus dicapai oleh IGD adalah

meningkatkan kompetensi perawatnya. Kompetensi perawat di IGD rumah sakit

sangat penting karena sebagai ujung tombak dan merupakan tenaga kesehatan

yang pertama kali berhadapan dengan pasien yang sangat menentukan

keberhasilan dalam penanganan pasien selanjutnya. Penderita dari ruang IGD

dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal
3

perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

Kompetensi perawat di IGD dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

umur, pendidikan, pelatihan dan pengalaman.

Dalam bidang pelatihan tugas yang harus dikuasai oleh perawat khususnya

di IGD dalam penanganan kasus gawat darurat baik untuk kasus trauma ataupun

non trauma, yaitu menguasai pelatihan PPGD(PPGD) serta melakukan upgrade

seiring berkembangkan panduan pelatihan PPGDdengan pedoman PPGD 2005

dan PPGD 2010 yang terdapat beberapa perbedaan mendasar, dimana bila

pelaksanaan RJP pada panduan PPGD 2005 istilah yang dikenal adalah ABC

(Airway, Breathing dan Circulation) sedangkan pada panduan PPGD 2010

sebagai update lima tahunan yang merupakan publikasi dari American Health

Assosiasion (AHA), kompresi dada didahulukan baru setelah itu airway dan

breathing atau yang dikenal dengan istilah CAB (Circulation, Airway dan

Breathing) (Herry, 2012).

Upgrade pedoman dan panduan ilmu PPGD ini menjadi tolak ukur sebagai

kompetensi perawat dalam pelaksanaan penanganan pasien gawat darurat

khususnya pada pemberian bantuan hidup dasar. Sehingga diharapkan upgrade

PPGD dapat dilakukan setiap lima tahun sekali, hal ini sesuai dengan masa

berlakunya sertifikat PPGD yaitu selama lima tahun. Selain itu, pihak rumah sakit

sangatlah perlu untuk melakukan inhouse training atau sosialisasi oleh perawat

yang telah melakukan upgrade pelatihan PPGD atau pelatihan kegawatdaruratan

yang lainnya kepada seluruh perawat khususnya di IGD.


4

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai hubungan upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat dalam

penanganan pasien gawat darurat di IGD RSI Jemursari Surabaya.

B. Pembatasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti hubungan upgrade pelatihan

PPGD dengan kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat darurat

sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi dan penanganan pasien

gawat darurat tidak dilakukan penelitian.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut : “Adakah hubungan upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi

perawat dalam penanganan pasien gawat darurat di IGD RSI Jemursari

Surabaya?”

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan upgrade pelatihan PPGD terhadap kompetensi perawat

dalam penanganan pasien gawat darurat Di IGD RSI Jemursari Surabaya.


5

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi perawat yang melakukan upgrade pelatihan PPGD dan yang

tidak.

b. Mengidentifikasi kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat darurat.

c. Menganalisis hubungan upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat

dalam penanganan pasien gawat darurat.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat menjadi landasan pengembangan kompetensi perawat

dalam penanganan penderita gawat darurat.

2. Manfaat Praktis

Menjadi bahan masukan dalam membuat intervensi keperawatan dengan

masalah kegawatdaruratan dan menyusun rencana sesuai kondisi pasien serta

meningkatkan kompetensi penolong.


6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Upgrade Pelatihan PPGD

1. Konsep Upgrade

Upgrade adalah suatu proses memperbaharui sesuatu, menambahkan

fasilitas dan kemampuan yang baru. Upgrade adalah upaya peningkatan kualitas

dan spesifikasi menjadi lebih baik (Studen Guide Series, 2007).

2. Konsep Pelatihan PPGD

Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa

setiap orang mempunyai hak sama dalam memperoleh derajat pelayanan

kesehatan yang optimal, setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan

lingkungannya. Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang

merata dan terjangkau oleh masyarakat, pemerintah bertanggungjawab untuk

untuk meningkatkan derajat kesehatan.

Bertambahnya jumlah penduduk, angka kematian akibat kecelakaan lalu

lintas dan bencana alam yang juga meningkat, untuk itu diperlukan kesiapan Tim

Medis dan Paramedis Rumah Sakit serta pengembangan kompetensi staff dan

sosialisasi dalam memberikan pertolongan pertama mulai dari tempat kejadian s/d

unit gawat darurat masing-masing Rumah Sakit dan mencapai respon time yang

pendek pada penanganan pasien, transportasi pelayanan ambulans serta dan

6
7

komunikasi radiomedik yang benar. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelatihan

PPGD adalah meliputi dua aspek, yaitu:

a. Aspek kognitif (pengetahuan)

1) Sistem Penangulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).

2) Merubah mindset dalam menyikapi pasien gawat darurat.

3) Airway, Breathing, Circulation dan Disability.

4) Basic Life Support (BLS).

5) Advanced Life Support (ALS).

6) Kegawatan Umum.

7) Kegawatan Trauma.

8) Bebat Bidai.

9) Transportasi.

10) Komunikasi dan Rujukan.

b. Aspek psikomotorik (keterampilan)

1) Memeriksa dan mengelola fungsi airway, breathing, circulation dan

disability.

2) Mengenal dan menggunakan alat life support penanganan airway, breathing,

circulation, disability.

3) BLS-nafas buatan tanpa alat dan menggunakan alat serta pijat jantung luar.

4) Pembebatan dan Pembidaian.

5) Transportasi.

6) Tim Work menghadapi kasus gawat darurat.


8

3. Konsep Kegawatdaruratan

Kasus Gawat Darurat adalah kasus yang memerlukan pertolongan segera

karena ancaman kematian. Critical ILL Patien : Immediatelly Life Threatening &

Potentially Life Threatening. Suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat

menyebabkan sesuatu yang mengancam jiwanya dalam arti memerlukan

pertolongan tepat, cermat dan cepat bila tidak maka seseorang tersebut dapat

mati/menderita cacat.

Situasi gawat darurat disebabkan oleh banyak hal dan dapat berakibat

kematian atau cacat dalam waktu singkat,baik sebab bidang medik ataupun

trauma. Kegawatan menyangkut, jalan napas dan fungsi napas, fungsi peredaran

darah, fungsi otak dan kesadaran.

a. Tindakan Pertolongan Pertama Gawat Darurat :


1) Oleh siapa saja (dokter, perawat, orang awam) yang pertama mengetahui.
2) Tindakan pertolongan pertama (first action) bukan terapi definitif.
3) Terdiri dari BHD (Bantuan Hidup Dasar)/"Basic Life Support" dan BHL

(Bantuan Hidup Lanjut)/"Advanced Life Support".


4) Penanganan melibatkan multi disiplin, multi profesi dan lintas sektoral, bukan

merupakan penjumlahan masing-masing disiplin/spesialisasi.


5) Pendekatan dalam upaya pertolongan berdasarkan problem dan pendekatan

fungsi-fungsi.
6) Bila resusitasi yang bersifat "life saving" berhasil, diperlukan pengetahuan

tambahan (spesialistis) sesuai kasus untuk rujukan.


7) Kegiatan meliputi:
a) Pra rumah sakit.
b) Intra rumah sakit.
c) Antar rumah sakit
b. Pertolongan Pertama

Pertolongan pertama adalah pemberian pertolongan, pengobatan dan

perawatan yang sifatnya darurat dan harus dilaksanakan dengan cepat, tepat dan
9

serasi ketika menangani korban kecelakaan atau bencana sebelum dirujuk ke

rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang lebih memadai.

Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan seorang pelaku pertolongan

pertama :

1) Tetap tenang dan jangan panik, perhatikan kondisi sekitar.


2) Kumpulkan informasi yang penting dengan cepat dan jelas.
3) Lakukan penanganan sederhana dan tepat guna sesuai prioritas dan jenis

cedera.
4) Transportasikan korban ke sarana kesehatan untuk mendapat perawatan lebih

lanjut.
c. Prinsip Pokok

Setiap kecelakaan atau bencana pasti akan dijumpai situasi kekacauan dan

kepanikan, korban yang mungkin jumlahnya lebih dari satu dengan berbagai

macam gangguan seperti gangguan napas, gangguan kesadaran, perdarahan

ataupun trauma yang lain. Pelaku pertolongan pertama harus mampu mengatasi

berbagai kondisi diatas. Menghilangkan kekacauan, menata tempat kejadian, dan

merencanakan tindakan sesuai prioritas.

d. BLS (Basic Life Support)

BLS atau Bantuan Hidup Dasar merupakan awal respons tindakan gawat

darurat. BLS dapat dilakukan oleh tenaga medis, paramedis maupun orang awam

yang melihat pertamakali korban. Skil BLS haruslah dikuasai oleh paramedis dan

medis, dan sebaiknya orang awam juga menguasainya karena seringkali korban

justru ditemukan pertamakali bukan oleh tenaga medis. BLS adalah suatu cara

memberikan bantuan/pertolongan hidup dasar yang meliputi bebasnya jalan napas

(Airway/A), pernapasan yang adekuat (Breathing/B), sirkulasi (Circulation/C).


10

e. Urutan Penanganan Gawat Darurat

Penentuan status gawat darurat dapat ditentukan dengan Pemeriksaaan

Primer (Primary Survey), yakni deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi

yang mengancam jiwa. Dilakukan dengan prinsip D-R-A-B-C (AHA, 2005).

Menurut konsensus terbaru American Heart Association 2010, penanganan dalam

Basic Life Support menjadi D-R-C-A-B, dimana D/Danger (bahaya), R/Response

(respon), C/Circulation (sirkulasi + kontrol perdarahan), A = Airway (jalan nafas)

+ servical control dan B/Breathing (oksigenasi).

1) Danger, “Do No Further Harm”, jangan membuat cedera lebih lanjut.

Keamanan merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Prioritasnya

adalah keamanan diri sendiri, lingkungan dan terakhir korban. Betapapun

ironisnya, korban memang menjadi prioritas terakhir, sebab korban memang

sudah cedera dari awal. Prinsipnya jangan menambah cedera pada korban.

Langkah:

a) Perkenalkan diri & memakai pelindung diri


b) Membubarkan kerumunan dan memastikan lokasi aman
c) Aktifkan respons emergency
2) Response
a) Respon panggil: “Pak, Pak, bagaimana keadaan Bapak?”
b) Respon sentuh: Lakukan dengan menepuk pundak atau pipi (jika keadaan

memungkinkan), jangan menggoyang-goyangkan bahu jika curiga terdapat

cedera tulang belakang.


c) Respon nyeri: tekan daerah antara kuku jari tangan korban dan kulitnya, atau

tekan daerah sternum (taju pedang) korban dengan jari tangan.

Penilaian A-V-P-U:

a) Alert (sadar)
b) Verbal (disorientasi tapi masih ada respon)
11

c) Painful (memberi respon pada nyeri)


d) Unresponsif
3) Circulation

Bila korban mengalami henti jantung, segera lakukan RJPO (Resusitasi

Jantung Paru Otak) sebagai pertolongan awal. Jika ada denyut nadi namun tidak

ada napas, berikan pernapasan buatan sambil terus mengecek denyut nadi Carotis.

a) Kontrol perdarahan

Hanya perdarahan hebat yang diutamakan selama pemeriksaan primer.

Ingatlah bahwa korban mungkin mengalami cedera tulang belakang atau mungkin

cedera lain yang lebih serius. Jika ada perdarahan hebat, hentikan dengan prinsip

4T (Tekan langsung, Tekan tidak langsung, Tinggikan, Torniket).

b) Resusitasi Jantung Paru Otak

Perubahan dari AHA 2005 menjadi AHA 2010:

1. Saat melihat korban, segeralah mengaktifkan sistem kegawatdaruratan.


2. Jika korban tak bernapas/bernapas tidak normal (hanya mengerang) segera

lakukanlah RJP.
3. Look, listen and feel dieliminasi dari algoritma.
4. Lakukan RJP yang berkualitas (pijat jantung yang cukup, dengan kedalaman

yang cukup) dan tiap pijatan biarkan dada kembali mengembang dan hindari

ventilasi berlebih.
5. Untuk 1 penolong, lebih utama melakukan pijat jantung 30x, baru memberi

bantuan napas 2x.


6. Pijat jantung minimal 100x/menit.
7. Kedalaman pijat jantung dewasa kurang lebih 5 cm.
c) Teknik Resusitasi Jantung Paru
1. Satu orang penolong: memberikan pernafasan buatan dan pijat jantung luar

dengan perbandingan 30:2.

Tindakan oleh 1 (satu) penolong:


12

a. Pada korban tidak sadar, cek respons (verbal, sentuh, nyeri).


b. Sekaligus atur posisi korban, terlentangkan di atas alas yang keras. Hati-

hati dengan adanya patah tulang belakang.


c. Berusaha segera minta bantuan.
d. Jika nafas korban tidak normal / korban tidak bernapas, segera lakukan

RJP
e. Menentukan titik tumpuh pijat jantung: dengan menyusuri tulang rusuk

paling bawah sampai ke ulu hati tambahkan dua jari di atasnya.


f. Kedua lutut penolong merapat, lutut menempel bahu korban. Kedua

lengan tegak lurus.


g. Pijatan dengan cara menjatuhkan berat badan ke sternum, titik tumpu pijat

jantung sedalam 4-5cm.


h. Lengkapi tiap siklus 30 x pijat jantung dan 2 x bantuan napas.
i. Lakukan evaluasi denyut nadi karotis tiap 4 siklus.
j. Bila denyut nadi karotis belum teraba, lanjutkan resusitasi jantung paru

hingga korban membaik atau hentikan jika penolong kelelahan.


2. Dua orang penolong: memberikan pernafasan buatan dan pijat jantung luar

yang dilakukan oleh masing-masing penolong secara bergantian dengan

perbandingan 15:2.

Tindakan oleh 2 (dua) penolong:

a. Langkah 1-10 di atas tetap dilakukan oleh penolong pertama hingga penolong

kedua datang. Saat penolong pertama memeriksa denyut nadi karotis dan

nafas, penolong kedua mengambil posisi untuk menggantikan pijat jantung.


b. Bila denyut nadi belum teraba, penolong kedua melakukan pijat jantung

sebanyak 15 kali, kemudian penolong pertama memberikan nafas buatan dua

kali secara perlahan sampai dengan dada korban terlihat terangkat. Demikian

seterusnya,
13

c. Lanjutkan siklus pertolongan dengan perbandingan 15 kali pijat jantung (oleh

penolong kedua) dan 2 kali nafas buatan (oleh penolong pertama). Evaluasi

tiap 4 siklus.
4) Airway

Korban sadar dan dapat berbicara biasanya airway nya baik. Untuk korban

tidak sadar, penilaian airway dapat dilakukan dengan Lihat, Dengar, Rasakan

(Look, Listen, Feel). Perbaikan Airway dapat dilakukan dengan cara:

1. Buka jalan nafas

Membuka jalan nafas dapat dilakukan dengan beberapa manuver,

diantaranya : head-tilt, head-tilt chin-lift, head-tilt neck-lift, dan jaw-thrust.

Head-tilt chin-lift manuver jaw-thrust

Gambar 2.1 Cara Membuka Jalan Nafas

2. Hilangkan sumbatan

Menghilangkan sumbatan yang disebabkan oleh benda asing, dapat

dilakukan beberapa cara:

a. Heimlich Manouver - Abdominal thrust

Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan nafas parsial boleh

dilakukan tindakan "Adominal thrust" (pada pasien dewasa).

1) Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke depan

dengan merangkul dari belakang.


14

2) Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis

antar belikat dan garis punggung tulang belakang (Back Blow).


3) Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dengan

mempergunakan kepalan kedua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati

(abdominal thrust).
4) Ulangi hingga jalan nafas bebas atau hentikan bila korban jatuh

tidak sadar, ulangi tindakan tersebut pada penderita terlentang.


5) Segera panggil bantuan.

Untuk penderita tidak sadar dengan sumbatan jalan nafas parsial boleh

dilakukan tindakan "Adominal thrust" (pada pasien dewasa).

1) Tidurkan penderita terlentang.


2) Lakukan back blow dan chest thrust.
3) Tarik lidah dan dorong rahang bawah untuk melihat benda

asing
a) Bila terlihat ambil dengan jari-jari.
b) Bila tak terlihat jangan coba-coba digaet dengan jari.
4) Usahakan memberikan nafas (meniupkan udara).
5) Bila jalan nafas tetap tersumbat, ulangi langkah di atas.
6) Segera panggil bantuan setelah pertolongan pertama dilakukan

1 menit.
b. Back Blows (untuk bayi)
1) Bila penderita dapat batuk keras, observasi ketat.
2) Bila nafas tidak efektif/berhenti.
3) Back blows 5 kali (hentakan keras mendadak pada

punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang

punggung/vertebra).

c. Chest Thrust

Untuk bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil.

1) Penderita sadar, penderita anak lebih dari satu tahun:


15

Lakukan "chest thrust" 5 kali (tekan tulang dada dengan jari kedua dan

ketiga kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu).

2) Penderita tak sadar


a) Tidurkan terlentang, lakukan chest thrust.
b) Tarik lidah, lihat adakah benda asing, berikan pemafasan

buatan.
d. Membersihkan jalan nafas dengan sapuan jari (finger sweep)

Pada sumbatan jalan nafas di rongga mulut belakang/hipofaring oleh adanya

benda asing (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) dan tak terdapat

hembusan udara pemafasan maka lakukan teknik "sapuan jari" dengan cara:

1) Miringkan kepala pasien


2) Buka mulutnya dengan "jaws thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang

lemas (emarasi manouver).


3) Gunakan 2 jari kita yang bersih (bungkus dengan kassa/kain/sarung tangan)

korek/gaet semua benda asing dalam mulut dan keluarkan.


4) Setelah bersih pasang pipa orofaring. Peringatan tidak boleh dilakukan pada

dugaan trauma leher.

3. Posisi terbaik menjaga airway

Pada orang dewasa yang tidak sadar, posisi terbaik pada keadaan ini

adalah posisi pulih (recovery position).

Berikut ini adalah prosedur untuk melakukan posisi pulih:

a. Berlutut disamping korban, kepala ditarik ke bawah dan dagu diangkat untuk

membuka jalan nafas. Kedua kaki lurus. Lengan korban yang paling dekat

dengan penolong ditekuk membuat sudut siku-siku dengan badannya, siku

ditekuk dan telapak tangan membuka keatas.


16

b. Lengan korban yang jauh disilangkan pada dadanya, telapak tangannya

memegang pipi. Tangan penolong yang lain memegang paha korban yang

jauh, lutut korban ditekuk ke atas, kakinya menginjak lantai.


c. Tangan korban dipegang supaya terus memegangi pipi. Tarik badannya ke

arah penolong melalui tangan yang memegang paha.


d. Kepala korban ditarik kebelakang supaya jalan napas selalu terbuka. Bila

perlu atur tangannya agar tetap menopang kepala. Kaki korban yang ada

diatas diatur agar panggul dan lututnya membentuk siku-siku. Periksa nadi

dan pernapasannya secara teratur.


5) Breathing

Look, Listen, Feel dan pengelolaan pada jalan nafas telah dilakukan tetapi

tetap tidak didapatkan adanya pernafasan, artinya masalah ada disini. Tindakan

yang dilakukan, yaitu:

a) Tanpa alat

Memberikan pernafasan buatan dan mulut ke mulut atau dari mulut ke

hidung sebanyak 2 (dua) kali tiupan dan diselingi ekshalasi.

b) Dengan menggunakan alat

Memberikan pemafasan buatan dengan alat "ambu bag" (self inflating

bag). Pada alat tersebut dapat pula ditambahkan oksigen.

f. Perbedaaan langkah-langkah BLS Sistem ABC Dengan CAB

Tabel 2.1 Perbedaaan langkah-langkah BLS Sistem ABC Dengan CAB.

No ABC (AHA, 2005) CAB (AHA, 2010)


1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien
termasuk ada/tidaknya nafas
17

secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat dan Melakukan panggilan darurat
mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x ventilasi
dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung + nafas
Breathing ( memberikan ventilasi
buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi
jantung + nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi
Sumber: AGD 118 (2005), AGD 118 (2010), Herry (2012).

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :

a) Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan

kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah

henti jantung dan Ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless

Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling

penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis

segera (early defibrillation).

b) Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda

karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi

mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya.

Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan

dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi

dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).

c) Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP

dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun

salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan
18

jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam airway adalah prosedur yang

kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai dengan

kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga

semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang

enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan

kompresi dada.

B. Konsep Dasar Kompetensi Perawat IGD

1. Konsep kompetensi perawat

Kompetensi perawat terdiri dari kompetensi teknis dan kompetensi

perilaku. Agar seseorang memiliki kompetensi yang sesuai dengan

pekerjaannya, dia harus memanfaatkan secara optimal kedua komponen utama

kompetensi tersebut. Sehingga ia memiliki kompetensi yang sesuai dengan apa

yang disyaratkan oleh pekerjaannya. Apabila dilihat kompetensi teknis atau

kompetensi perilaku secara terpisah, dengan hanya memiliki salah satu

kompetensi tersebut belumlah cukup bagi seseorang untuk mampu melakukan

pekerjaan dengan prestasi yang luar biasa secara konsisten. Seseorang yang

memiliki kompetensi teknis yang baik mampu mengerjakan suatu perkerjaan

secara teknis, namun hal tersebut belum menjamin orang tersebut dapat

berprestasi secara berkesinambungan, karena untuk melaksanakan perkerjaan

dengan baik orang juga mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitar

pekerjaan tersebut (Hutapea, 2008).

a) Kompetensi teknis
19

Kompetensi teknis adalah kompetensi yang berfokus pada pengetahuan

dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan

profesi yang dimiliki. Bila kompetensi teknis ini tidak dimiliki oleh

karyawan maka pekerjaan tidak dapat dilakukan secara profesional. Selain

kompetensi teknis yang dimiliki maka kompetensi perilaku harus juga dimiliki

karyawan. Karena seseorang yang memiliki kompetensi pengetahuan dan

keterampilan saja maka dia mampu melakukan pekerjaan. Kemampuan

tersebut tidak termasuk kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan kerja, menerima tantangan kerja dan berperilaku produktif

(Hatikah, et.al, 2004).

b) Kompetensi perilaku

Perilaku yang digambarkan dalam kompetensi adalah perilaku kerja

produktif (bukan perilaku umum) dan seseorang dapat memiliki dan

memeragakan perilaku tersebut pada saat melaksanakan perkerjaan, dapat

disimpulkan bahwa penerapan kompetensi perilaku tersebut sudah

mencakup keseluruhan komponen utama kompetensi.

Perilaku produktif di tempat kerja, seseorang harus memiliki

kemampuan teknis untuk melaksanakan pekerjaannya. Apabila orang tersebut

tidak mampu mengerjakan pekerjaannya secara teknis, maka akan mengalami

kendala untuk memeragakan kompetensi perilakunya. Sebagai contoh, perilaku

berorientasi pada pencapaian hasil adalah sebuah kompetensi perilaku, yang

berarti keinginan yang kuat untuk bekerja dengan baik atau berkompetensi

untuk mencapai hasil dengan standar terbaik.


20

Keinginan tersebut harus tercermin dalam perilakunya saat melaksanakan

pekerjaan. Perilaku tersebut bukan merupakan perilaku yang umum,

melainkan perilaku kerja produktif, yaitu perilaku yang muncul dari orang-

orang yang memiliki kompetensi berorientasi pada pencapaian hasil pada saat

mereka bekerja. Agar mampu menunjukkan keinginan kuat mereka untuk

mencapai hasil yang terbaik pada saat mereka bekerja, tentunya orang-orang

tersebut harus telah memiliki kompetensi dasar yang lain, yaitu pengetahuan

dan keterampilan untuk melakukan teknisnya. Jika tidak, bagaimana

mereka bisa menunjukkan sikap dan tindakannya agar dapat berorientasi

untuk mencapai hasil yang terbaik, apabila mereka belum mampu

mengerjakan pekerjaan mereka secara teknis.

Permasalahan yang sering terjadi di perusahaan menggunakan

kompetensi perilaku tanpa menata terlebih dahulu sistem sumber daya

manumur yang mereka miliki saat itu. Misalnya dengan memastikan lebih dulu

apakah semua karyawannya telah memenuhi persyaratan jabatan atau pekerjaan

secara teknis atau belum. Apabila belum, kekurangmampuan mereka secara

teknis akan mengakibatkan sipemangku jabatan tidak mampu memunculkan

perilaku produktifnya (Hutapea, 2008).

Kompetensi teknis dan kompetensi perilaku bagi perawat pada rumah

sakit dituntut harus profesional. Maka pengetahuan tentang asuhan keperawatan,

dalam menentukan dan meningkatkan mutu Asuhan Keperawatan diperlukan

suatu alat ukur yaitu Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang baku,

sebagaimana standar praktik keperawatan yang dijabarkan oleh PPNI (2000)


21

dalam Nursalam (2013) yaitu mengacu pada tahapan proses keperawatan yang

meliputi:

1) Standar I : Pengkajian Keperawatan

Kriteria pengkajian keperawatan meliputi:

a) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan

fisik serta dari beberapa jenis pemeriksaan penunjang.

b) Sumber data adalah klien, keluarga atau orang yang terkait, tim kesehatan,

rekam medik.

c) Data fokus yang dikumpulkan untuk mengidentifikasi adalah:

1) Status kesehatan klien masa lalu

2) Status kesehatan klien saat ini

3) Status biologis, psikologis, sosial dan spiritual

4) Respon terhadap terapi

5) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal

6) Resiko-resiko tinggi masalah

d) Kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (lengkap, akurat, relevan

dan baru).

2) Standar II : Diagnosis Keperawatan

Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan.

Kriteria proses meliputi:

c) Proses diagnosis terdiri atas analisis, interpretasi data, identifikasi masalah

klien dan perumusan diagnosis keperawatan.


22

d) Diagnosis keperawatan terdiri atas: masalah (P), penyebab (E), dan tanda atau

gejala (S), atau terdiri atas masalah (P) dan penyebab (E).

e) Bekerja sama dengan klien dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi

diagnosis keperawatan.

f) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis berdasarkan data baru.

3) Standar III : Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan

meningkatkan kesehatan klien. Kriteria proses meliputi:

a) Perencanaan, terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana

tindakan keperawatan.

b) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.

c) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan kliean.

d) Mendokumentasi rencana keperawatan.

4) Standar IV : Implementasi Keperawatan

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana

asuhan keperawatan. Kriteria proses meliputi:

a) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

b) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

c) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.

d) Memberikan pendidikan kepada klien dan keluarga mengenai konsep,

keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan

yang digunakan.
23

e) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan

respons kliean.

5) Standar V : Evaluasi Keperawatan

Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam

pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan. Kriteria proses

meliputi:

a) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi sacara komprehensif,

tepat waktu dan terus-menerus.

b) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan ke

arah pencapaian tujuan.

c) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.

d) Bekerjasama dengan klien dan keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan

keperawatan.

e) Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi perawat

Kompetensi perawat dipengaruhi oleh karakteristik perawat (Rahmika,

2009). Karakteristik perawat yang dimaksud antara lain:

a) Umur

Semakin lanjut umur seseorang semakin menunjukkan kematangan jiwa,

lebih mampu mengambil keputusan, semakin bijaksana, berpikir lebih rasional,

mampu mengendalikan emosi dan lebih toleran dalam menanggapi pandangan

orang lain serta produktivitasnya mengalami peningkatan.

Menurut Desmita (2008) tahap perkembangan individu dibagi menjadi:


24

1) Remaja (<20 tahun)

Masa ini merupakan masa yang berlangsung paling lama diantara fase-fase

lainnya dan merupakan inti dari seluruh masa pemuda. Tahap perkembangan

remaja umur < 20 tahun dinilai sebagai masa peralihan dari masa anak-anak

menuju masa dewasa, dimana pada tahap ini kejiwaan dan emosional dalam tahap

belum stabil dan belum matang untuk merespon stressor yang terjadi.

2) Dewasa muda (20-35 tahun)

Masa dewasa umumnya dibagi atas tiga periode yaitu: masa dewasa

awal/muda, masa dewasa pertengahan/dewasa madya, dan masa dewasa

akhir/lansia. Menurut Turner dan Helms, masa dewasa muda yaitu masa manusia

yang telah memasuki kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mencari

titik temu dari ide, gagasan, dan pemikiran yang saling kontradiktif (bertentangan)

sehingga individu mampu menyintesiskan dalam pemikiran yang baru (Dariyo,

2003: 56).

Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola

kehidupan baru dan harapan–harapan sosial baru. Penyesuaian diri ini menjadikan

periode ini suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang). Pada

masa ini perkembangan emosi, sosial dan moral sangat berkaitan berbagai macam

perubahan dari masa sebelumnya, yaitu masa remaja.

3) Dewasa akhir (>35 tahun)

Pada tahap perkembangan dewasa akhir, individu memiliki tugas

perkembangan, yaitu menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan

kesehatan, menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income


25

(penghasilan) keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup,

membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia, membentuk pengaturan

kehidupan fisik yang memuaskan dan menyesuaikan diri dengan peran sosial

secara luwes.

b) Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manumur yang

diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan,

semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan pengetahuan dan

teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas (Rahmika, 2009).

Sedangkan menurut Royani (2010) latar pendidikan yang tinggi sangat

mempengaruhi kualitas kerja (asuhan keperawatan), semakin tinggi pendidikan

keperawatan maka kemampuan memberikan asuhan keperawatan juga semakin

meningkat. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempunyai hubungan

paling dominan dengan kinerja perawat, dimana perawat yang berpendidikan SPK

dan D1 berpeluang mempunyai kinerja/kompetensi kurang baik dibandingkan

dengan perawat yang berpendidikan D3. Sedangkan perawat dengan pendidikan

D3 mempunyai peluang kinerja/kompetensi kurang baik bila dibandingkan dengan

perawat yang berpendidikan S1.

c) Pelatihan

Berdasarkan instruksi presiden RI Nomer 15 tahun 1974 tentang pokok-

pokok pelaksanaan pembinaan pendidikan dan pelatihan, bahwa pelatihan adalah

proses belajar mengajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di

luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang singkat dan dengan
26

metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori.

Sedangkan menurut hollenback and Wright (2003) dalam Rahmika (2009),

menyatakan juga bahwa pelatihan adalah usaha-usaha terencana dalam

memfasilitasi pembelajaran karyawan untuk meningkatkan kompetensi yang

sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Semakin banyak pelatihan yang diikuti

karyawan maka semakin meningkat pengetahuan dan keterampilannya sehingga

baik pula kompetensi karyawan tersebut. Pelatihan harus diikuti secara

berkesinambungan serta diikuti perkembangannya (ter-upgrade).

d) Pengalaman (Masa Kerja)

Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin banyak pengalaman

yang didapatkan, sehingga produktivitas dan kinerja akan semakin baik dan

meningkat (Royani, 2010).

3. Ruang lingkup kompetensi perawat IGD dalam penanganan

kegawaratdaruratan

Ruang lingkup kompetensi perawat IGD merupakan kemampuan perawat

dalam melaksanakan implementasi keperawatan gawat darurat yang didasarkan

atas kemampuan melakukan Bantuan Hidup Dasar (BHD) pada pasien gawat

darurat yang mengacu pada konsensus terbaru American Heart Association

(2010), yaitu D = Danger (bahaya), R = Response (respon), C = Circulation

(sirkulasi + kontrol perdarahan), A = Airway (jalan nafas) + servical control dan B

= Breathing (oksigenasi).

4. Pengukuran Kompetensi Perawat IGD dalam penanganan kegawaratdaruratan

Instrument pengukuran kompetensi perawat IGD merupakan aplikasi


27

instrument penilaian kerja perawat menurut Nursalam (2013) yang dimodifikasi

berdasarkan standar kompetensi penanganan penderita gawat darurat dapat

digambarkan pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.2 Instrumen penilaian kompetensi perawat IGD dalam penanganan


pasien gawat darurat.
Score
No Hal-Hal Yang Dinilai
0 1 2 3 4
D = Danger (Bahaya)
1 Perawat melaksanakan perkenalkan diri &
memakai pelindung diri
2 Perawat membubarkan kerumunan dan
memastikan lokasi aman
3 Perawat mengaktifkan respons emergency)
R = Response (respon)
4 Melakukan respon pasien dengan panggilan,
sentuhan dan nyeri
5 Melakukan penilaian A-V-P-U & GCS
C = Circulation (sirkulasi)
6 Menilai tanda – tanda syok
7 Menangani syok
8 Mengevaluasi resusitasi cairan
9 Mengontrol adanya cedera tulang belakang
10 Mengontrol dan menghentikan perdarahan
11 Melakukan Resusitasi Jantung Paru dengan benar
A = Airway (jalan nafas)
12 Menilai airway dengan Lihat, Dengar, Rasakan
(Look, Listen, Feel) dan adanya gangguan jalan
nafas nafas
13 Membuka jalan nafas
14 Menghilangkan sumbatan
B = Breathing (oksigenasi)
15 Memberikan pemafasan buatan dengan alat "ambu
bag" (self inflating bag). Pada alat tersebut dapat
ditambahkan oksigen.
16 Perawat melakukan secara berurutan
Kategori skor:
4 Bila telah dilakukan sepenuhnya dengan tepat dan cepat
3 Bila dilakukan sepenuhnya dengan tepat tapi tidak cepat
2 Bila dilaksanakan sebagian dengan tepat dan cepat
1 Bila dilaksanakan sebagian dengan tepat tapi tidak cepat
0 Bila tidak dikerjakan sama sekali
1 2 3 4 5
28

Sangat kurang Kurang Cukup Baik Sangat baik


0 – 12 13 – 24 25 – 36 37 – 48 49 – 64
Sumber: Nursalam (2002), AGD (2010)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konseptual
29

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (diukur) melalui

penelitian yang dimaksud.

Pentingnya Faktor yang mempengaruhi


pelatihan PPGD kompetensi perawat IGD:
dilakukan: a. Usia
1. Bertambahnya b. Pendidikan Kompetensi
jumlah c. Pelatihan (Upgrade PPGD) perawat IGD
penduduk d. Pengalaman (masa kerja) dalam penanganan
2. Meningkatnya pasien gawat
angka darurat
kematian
akibat
kecelakaan lalu
lintas
3. Meningkatnya
bencana alam

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Upgrade Pelatihan


PPGD Dengan Kompetensi Perawat Dalam Penanganan Pasien
Gawat Darurat di IGD RSI Jemursari Surabaya.

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pelatihan PPGD

sangatlah penting dilakukan mengingat bertambahnya jumlah penduduk,

meningkatnya angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan meningkatnya

benmcana alam, namun pada penelitian ini yang akan diteliti hubungan upgrade

pelatihan PPGD terhadap kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat

darurat. Variabel yang diteliti adalah upgrade pelatihan PPGD sebagai variabel
30
independen dan kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat darurat

sebagai variabel dependen.


30

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan yang masih lemah. Karena

hipotesis sifatnya masih lemah, perlu dilakukan pembuktian dengan data empiris

untuk menguji kebenarannya.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada hubungan upgrade

pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat

darurat.

BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancang Bangun Penelitian


31

Rancangan penelitian atau desain penelitian adalah sesuatu yang sangat

penting dalam penelitian, yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa

faktor yang bisa mempengaruhi akurasi suatu hasil.

Desain penelitian yang digunakan adalah desain peneitian analitik dengan

menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat serta

hanya mengkaji masalah-masalah keadaan subjek pada waktu penelitian

berlangsung atau informasi data yang akan dikumpulkan hanya pada satu waktu

tertentu. Untuk mengetahui hubungan antara suatu variabel dengan variabel yang

lain tersebut diusakan dengan mengidentifikasi variabel yang ada pada suatu

objek, kemudian diidentifikasi pula variabel lain yang ada pada objek yang sama

dan dilihat apakah ada hubungan antara keduanya.

B. Populasi Penelitian

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat

pelaksana di IGD RSI Jemursari Surabaya dengan jumlah responden 24 perawat.

C. Sampel, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

1. Sampel
31
Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah semua perawat

pelaksana di IGD RSI Jemursari Surabaya.


32

2. Besar sampel

Besar sampel adalah banyaknya anggota yang akan dijadikan sampel, yaitu

sebanyak 24 responden.

3. Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel dengan non probability sampling dengan teknik

total sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota

populasi sebagai responden.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di IGD RSI Jemursari Surabaya.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015.

E. Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam

penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian, mulai dari penjelasan

populasi hingga simpulan.


33

Populasi
Semua perawat pelaksana di IGD RSI Jemursari Surabaya dengan jumlah
populasi sebanyak 24 responden

Total Sampling

Sampel
Semua perawat pelaksana di ruang IGD RSI Jemursari Surabaya dengan
jumlah populasi sebanyak 24 responden

Pengumpulan Data
Menggunakan lembar observasi kompetensi perawat

Pengolahan Data dan Analisis Data


Pengolahan data dengan editing, scoring, coding dan tabulasi
Dianalisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney

Hasil Penelitian

Simpulan dan Saran

Bagan 4.1 Kerangka Kerja Pengaruh Hubungan Upgrade Pelatihan PPGD


Dengan Kompetensi Perawat Dalam Penanganan Pasien Gawat
Darurat Di IGD RSI Jemursari Surabaya.
F. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian.
34

Dalam penelitian ini mempunyai 2 variabel, yaitu :

a. Variabel Independent

Dalam penelitian ini variabel independent yang dimaksud adalah upgrade

pelatihan PPGD.

b. Variabel Dependent

Dalam penelitian ini variabel dependent yang digunakan adalah

kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat darurat.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena.

Tabel 4.1. Definisi Operasional Hubungan Upgrade Pelatihan PPGD


Terhadap Kompetensi Perawat Dalam Penanganan Pasien Gawat
Darurat di IGD RSI Jemursari Surabaya

Definisi
Variabel Katagori dan Kriteria Skala
Operasional
Independent Suatu pembaharuan 1. Belum upgrade, memiiki Nominal
: standar prosedur sertifikat pelatihan PPGD
Upgrade untuk meningkatkan AHA 2005, Kode = 0
pelatihan kemampuan
35

PPGD penanganan 2. Sudah upgrade, memiiki


penderita gawat sertifikat pelatihan PPGD
darurat kearah yang AHA 2010, Kode = 1
lebih baik
Dependent: Kemampuan yang 1. Sang Ordinal
Kompetensi harus dimiliki at baik, skor: 49-64, Kode =
perawat perawat dalam upaya 5
dalam penanganan pasien 2. Baik,
penanganan dengan gawat darurat. skor: 37-48, Kode = 4
pasien gawat 3. Cuku
darurat p, skor: 25-36, Kode = 3
4. Kura
ng, skor: 13-24, Kode = 2
5. Sang
at kurang, skor: 0-12, Kode
=1

G. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pada waktu penelitian yang menggunakan

suatu metode. Instrumen dalam penelitian ini pada variabel independen instrumen

penelitian yang digunakan adalah dengan lembar observasi sertifikat PPGD

perawat, kemudian pada variabel dependent instrumen penelitian yang digunakan

adalah dengan menggunakan lembar observasi penilaian kompetensi BLS perawat

dalam menangani pasien gawat darurat di IGD RSI Jemursari Surabaya.

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini diawali dengan mengajukan

permohonan ijin pada Direktur RSI Jemursari atas persetujuan pembimbing


36

skripsi dan pihak UNUSA. Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti melakukan

penelitian. Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan di IGD RSI Jemursari

menggunakan pengamatan (observasi) terhadap kompetensi perawat IGD dalam

penanganan pasien gawat darurat. Observasi dilakukan selama empat hari yaitu

pada tanggal 4-7 Februari 2015 pada perawat IGD yang dinas secara bergantian.

Tanggal 4 Februari peneliti melakukan penelitian pada 6 perawat yang dinas pada

hari tersebut, tanggal 5 Februari pada 6 perawat, 6 Februari sebanyak 6 perawat

dan tangga 7 Februari dilakukan pada 6 perawat, sehinggal total perawat yang

dilakukan observasi kompetensinya dalam penanganan penderita gawat darurat

sebanyak 24 perawat.

H. Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul melalui lembar observasi, langkah selanjutnya

adalah pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data bertujuan mengubah

data menjadi informasi. Kegiatan pengolahan data meliputi editing, coding,

scoring dan tabulasi hasil observasi terhadap kompetensi perawat IGD dalam

penanganan pasien gawat darurat.

a. Editing

Editing dilakukan untuk mengoreksi apakah isian pada lembar observasi

sudah benar sebagai upaya menjaga kualitas data agar dapat diproses lebih lanjut.
37

b. Scoring

Pada penelitian ini, pemberian skor digunakan pada variabel kompetensi

perawat.

1) Sangat baik, skor: 49-64


2) Baik, skor: 37-48
3) Cukup, skor: 25-36
4) Kurang, skor: 13-24
5) Sangat kurang, skor: 0-12

c. Coding

Pada penelitian ini, klasifikasi coding yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1) Variabel upgrade pelatihan PPGD

a) Memiiki sertifikat pelatihan PPGD AHA 2005, kode = 0


b) Memiiki sertifikat pelatihan PPGD AHA 2010, kode = 1

2) Variabel kompetensi perawat

a) Sangat baik, Kode = 5


b) Baik, kode = 4
c) Cukup, kode = 3
d) Kurang, kode = 2
e) Sangat kurang, kode = 1

d. Tabulating

Pada penelian ini, tabulasi data meliputi pemberian skor terhadap item-

item yang tersedia pada lembar observasi. Data yang sudah diberi skor

disesuaikan dengan teknik analisis yang akan digunakan dalam memberi kode

atau coding dalam hubungan dengan pengolahan data. Hasil data dalam presentase

kemudian diinterprestasikan dengan menggunakan sebagai berikut :

Seluruhnya : 100%

Hampir semua : 76-99%


38

Sebagian besar : 51-75%

Setengahnya : 50%

Hampir setengahnya : 25-49%

Sebagian kecil : 1-24%

Tak satupun : 0%0 %

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk membuktikan hubungan upgrade pelatihan

PPGD terhadap kompetensi perawat dalam penanganan pasien gawat darurat,

yaitu menggunakan uji Mann-Whitney melalui metode SPSS.

I. Etika Penelitian

Pada penelitian ini peneliti mengajukan permohonan ijin pada pihak

terkait, setelah mendapatkan persetujuan barulah kuesioner disebarkan pada

responden yang akan diteliti dengan mempertahankan masalah etika meliputi:

1. Informed consent (lembar persetujuan)

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan

sebelum penelitian dilakukan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi


39

responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan

tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika kebidanan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

BAB 5

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya

yang beralamatkan di Jl. Raya Jemursari no 51 – 57 Surabaya. Letak RS Islam

Jemursari Surabaya berbatasan dengan wilayah lain, yaitu sebelah timur

berbatasan dengan Jalan Raya Jemursari, sebelah selatan berbatasan dengan


40

bengkel mobil Auto Mandiri Service, sebelah barat berbatasan dengan perumahan

Jl. Jemursari VIII Surabaya, dan sebelah utara berbatasan dengan perumahan

Jl.Jemursari V Surabaya. RS Islam Jemursari Surabaya ini dibangun diatas tanah

seluas 4,6 Ha dengan bangunan seluas 22,203 m² dan merupakan salah satu rumah

sakit dibawah naungan Yayasan RumahSakit Islam yang diresmikan pada tanggal

25 Mei 2002. RS Islam Jemursari Surabaya membuka pelayanan 24 jam yaitu

pelayanan Instalasi Dawat Darurat, Pelayanan Farmasi, Laboratorium, Radiologi,

dan Ambulance. Pelayanan penunjang medis yang terdiri dari Treatmill,

Echocardiografi, CT-Scan, Ultra Sonografi, Mamografi, dan X-Ray.RS Islam

Jemursari juga membuka pelayanan khusus (kamar operasi, kamar bersalin,

hemodialisa dan binarohani), rawat inap, dan rawat jalan.

Pada pelayanan rawat inap, untuk saat ini RS Islam Jemursari Surabaya

memiliki 201 kapasitas tempat tidur. Ruang Neonatus memiliki 18 kapasitas

tempat tidur, Ruang Mawar memiliki 14 kapasitas tempat tidur, Ruang Melati

memiliki 31 kapasitas tempat tidur, Ruang


43 Azzahra 1 memiliki 36 kapasitas

tempat tidur, Ruang Azzahra 2 memiliki 29 kapasitas tempat tidur, Ruang Dahlia

memiliki 32 kapasitas tempat tidur, Ruang Teratai memiliki 20 kapasitas tempat

tidur, Ruang Zahira memiliki 10 kapasitas tempat tidur, Ruang ICU memiliki 6

kapasitas tempat tidur, dan Ruang Intermediet memiliki 5 kapasitas tempat tidur.

Pelayanan rawat inap di RS Islam Jemursari memiliki 10 unit rawat inap.

Pelayanan rawat jalan terdiri dari Poli Spesialis, Poli Umum, Poli Kesehatan Ibu
41

Dan Anak (KIA), Poli gigi, dan Poli Rehabilitasi Medik. Untuk pelayanan poli

spesialis itu sendiri terdiri dari Poli Spesialis Kesehatan Jiwa, Spesialis Jantung,

Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Spesialis Internis (Penyakit Dalam), Spesialis

Syaraf, Spesialis Kulit dan Kelamin, Spesialis THT, Spesialis Orthopaedi,

Spesialis Urologi, Spesialis Mata, Spesialis Gigi, Spesialis Paru, Spesialis Bedah

Umum, Spesialis Bedah Syaraf, Spesialis Bedah Plastik, Spesialis Bedah Thorax

Kardiovascular (TKV), Spesialis Bedah Kepala Leher.

Sedangkan di IGD RSI Jemursari yang merupakan bagian dari unit khusus

dimana petugasnya diharuskan dituntut untuk bisa dan menguasai ketrampilan

khusus tentang penanganan pasien dengan kondisi gawat darurat, lokasi IGD RSI

jemursari di sebelah sisi selatan bangunan RSI Jemursari dan akses yang mudah

untuk Ambulance maupun kendaraan pasien.

IGD RSI Jemursari Surabaya terdiri dari beberapa ruangan. Ruang

Admission terdiri dari ruang ruangan pendaftaran dan kasir IGD. Ruang Triage

adalah ruangan untuk memilah kasus berdasarkan kegawatan. Ruang pemeriksaan

medik untuk pemeriksaan pasien non bedah. Ruang pemeriksaan kasus bedah

untuk pemeriksaan kasus bedah. Ruang resusitasi ruangan untuk stabilisasi pasien

yang membutuhkan bantuan hidup dasar. Ruang observasi ruangan untuk

penanganan pasien yang membutuhkan observasi < 24 jam. Ruang operasi minor

ruang untuk tidakan operasi kecil.

Tenaga di IGD RSI Jemursari terdiri dari 14 dokter umum dan 24 tenaga

perawat pelaksana yang seluruhnya memiliki sertifikat PPGD. Pelayanan di IGD

RS Islam Jemursari dibagi menjadi 3 shift. Shift pagi terdiri dari 2 dokter umum
42

dan 8 perawat. Shift siang terdiri dari 2 dokter umum dan 6 perawat. Shift malam

terdiri dari 2 dokter dan 5 perawat.

Kunjungan pasien IGD pada era BPJS ini cukup banyak, dimana

berdasarkan hasil analisa kunjungan 4 bulan terakhir, yaitu bulan September

sebanyak 2068 pasien, Bulan Oktober sebayak 2237 pasien, Bulan November

sebanyak 2315 pasien, Desember sebanyak 2436 pasien, dengan rata2 pasien

selama 4 bulan kunjungan True Emergency sebanyak 1494 dan False Emergency

sebanyak 772 pasien. Meningkatnya kunjungan pasien IGD yang cukup banyak

membuat perawat dituntut untuk lebih tepat dan cepat dalam penanganan pasien

IGD, terutama dalam memberikan bantuan hidup dasar pada penanganan pasien

gawat darurat.

B. Hasil Penelitian

1. Data Umum

Data umum menyajikan distribusi frekuensi menurut umur, pendidikan

terakhir, dan masa kerja. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden menurut umur di Instalasi Gawat


Darurat Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya 2015.
No. Umur Frekuensi Persentase (%)
1. <20 tahun 0 0
2. 20 – 35 tahun 24 100
3. >35 tahun 0 0
43

Total 24 100
Data Primer, 2015

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 24 responden di Instalasi Gawat Darurat

RS Islam Jemursari Surabaya seluruhnya (100%) termasuk dalam kategori umur

20-35 tahun.

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan di Instalasi


Gawat Darurat Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya 2015.
No. Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
1. D3 Keperawatan 21 87,5
2. S1 Keperawatan 3 12,5
Total 24 100
Data Primer, 2015

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 24 responden di Instalasi Gawat Darurat

RS Islam Jemursari Surabaya hampir seluruhnya (87,5%) berlatar pendidikan D3

Keperawatan.

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Masa Kerja di Instalasi


Gawat Darurat Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya 2015.
No. Masa Kerja (tahun) Frekuensi Persentase (%)
1. 0 – 2 tahun 12 50
2. > 2 tahun 12 50
Total 24 100
Data Primer, 2015

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 24 responden di Instalasi Gawat Darurat

RS Islam Jemursari Surabaya setengahnya (50%) bekerja lebih dari 2 tahun.

2. Data Khusus
44

Data khusus menyajikan distribusi frekuensi Upgrade PPGD dan

Kompetensi Perawat. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Upgrade PPGD

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Upgrade PPGD Responden di Instalasi Gawat


Darurat Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya 2015.
No. Upgrade PPGD Frekuensi Persentase (%)
1. Belum Upgrade 7 29,2
2. Sudah Upgrade 17 70,8
Total 24 100
Data Primer, 2015

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 24 responden di Instalasi Gawat Darurat

RS Islam Jemursari Surabaya sebagian besar (70,8%) sudah Upgrade PPGD.

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Kompetensi dalam Penanganan

Penderita Gawat Darurat

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Kompetensi Responden di Instalasi Gawat


Darurat Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya 2015.
No. Kompetensi Perawat Frekuensi Persentase (%)
1. Sangat baik 12 50,0
2. Baik 9 37,5
3. Cukup 3 12,5
4. Kurang 0 0
5. Sangat kurang 0 0
Total 24 100
Data Primer, 2015

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 24 responden di Instalasi Gawat Darurat

RS Islam Jemursari Surabaya setengahnya (50%) memiliki kompetensi sangat


45

baik dalam penanganan penderita gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat

Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya.

3. Tabulasi Silang

Tabel 5.8 Hubungan Upgrade Pelatihan PPGD dengan Kompetensi Perawat


dalam Penanganan Penderita Gawat Darurat di IGD RSI Jemursari
Surabaya 2015.
Kompetensi Perawat
Upgrade Sangat Sangat Jumlah
Baik Cukup Kurang
PPGD baik Kurang
N (%) N (%) N (%) N (%) N (%) N (%)
Belum
0 0 4 57,2 3 42,9 0 0 0 0 7 (100)
Upgrade
Sudah
12 70,6 5 29,4 0 0 0 0 0 0 17 (100)
Upgrade
Jumlah 12 50,0 9 37,5 3 12,5 0 0 0 0 24 (100)
Mann Whitney Test ρ = 0,012

Data Primer, 2015


46

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 24 responden di IGD sebesar 7

responden belum upgrade pelatihan PPGD sebagian besar (57,2%) memiliki

kompetensi baik dalam Penanganan Penderita Gawat Darurat di Ruang IGD RS

Islam Jemursari Surabaya. Sebesar 17 responden sudah upgrade PPGD sebagian

besar (70,6%) memiliki kompetensi sangat baik dalam Penanganan Penderita

Gawat Darurat di IGD RS Islam Jemursari Surabaya.

Berdasarkan uji statistik Mann Whitney dengan menggunakan SPSS 16.0 for

windows didapat ρ = 0,012 < α = 0,05 maka H 0 ditolak artinya ada hubungan

antara upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat dalam penanganan

penderita gawat darurat di IGD RSI Jemursari Suarabaya tahun 2015.

BAB 6

PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Upgrade Pelatihan PPGD

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 24

responden di Instalasi Gawat Darurat RS Islam Jemursari Surabaya sebagian besar

(70,8%) sudah Upgrade pelatihan PPGD. Upgrade Pelatihan PPGD dilakukan

untuk memperbaharui ilmu pengetahuan, menambahkan fasilitas dan kemampuan


47

serta keterampilan perawat dalam menangani pasien dengan kasus gawat darurat,

sebagaimana diketahui bahwa konsep penanganan penderita gawat darurat ini

merupakan ilmu medis yang terus berkembang guna memberikan pelayanan yang

maksimal dan efektif untuk mencegah kematian, sehingga upgrade pelatihan

PPGD harus dilakukan oleh perawat khususnya perawat di IGD yang merupakan

perawat kunci untuk menentukan tindak lanjut pelayanan dan perawatan

selanjutnya. Sesuai dengan pendapat Rahmika (2009) yang menyatakan bahwa

semakin banyak pelatihan yang diikuti karyawan maka semakin meningkat

pengetahuan dan keterampilannya sehingga baik pula kompetensi karyawan

tersebut. Pelatihan harus diikuti secara berkesinambungan serta diikuti

perkembangannya (ter-upgrade).

Henry (2012) menyatakan bahwa ada perbedaan antara konsep penanganan

penderita gawat darurat AHA 2005 dengan AHA 2010, dimana pada AHA 2005

metode yang digunakan adalah ABC (airway, breathing, circulation), sedangkan

pada AHA 2010 menggunakan CAB (circulation, airway, breathing). Beberapa

alasan untuk dilakukan upgrade pelatihan


50 PPGD, yaitu henti jantung terjadi

sebagian besar pada dewasa, pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada

seringkali tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk

memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat

pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi

dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus

kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik),
48

kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari

orang sekitarnya.

2. Kompetensi Perawat

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 24

responden di Instalasi Gawat Darurat RS Islam Jemursari Surabaya setengahnya

(50,0%) memiliki kompetensi sangat baik dalam penanganan penderita gawat

darurat.

Hal diatas menunjukkan bahwa perawat mampu melaksanakan tugasnya

dengan baik dalam menangani pasien gawat darurat. Standarisasi Instalasi Gawat

Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan

dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang IGD dapat dirujuk ke unit

perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika

dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain, sehingga sudah

seharusnya perawat di IGD memiliki kompetensi yang sangat baik dalam

penanganan kasus gawat darurat baik untuk kasus trauma ataupun non trauma.

Kompetensi perawat yang sangat baik di rumah sakit sangat penting karena

sebagai ujung tombak khususnya di IGD yang merupakan tenaga kesehatan yang

pertama kali berhadapan dengan pasien yang sangat menentukan keberhasilan

dalam penanganan pasien selanjutnya. Sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar IGD Rumah Sakit,

yaitu pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang

cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan

gawat darurat sesuai kompetensinya dan kemampuannya sehingga dapat


49

menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan repon time yang cepat dan

penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan

sarana, prasarana sumber daya manumur dan manajemen instalasi gawat darurat

rumah sakit sesuai standar.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009

tentang Target Pencapaian Standar IGD Rumah Sakit dapat dicapai karena sumber

daya manumurnya dalam hal ini perawat, yaitu memiliki kompetensi yang sangat

baik melalui pelatihan emergency nursing seperti BTLS, BCLS, BLS, PPGD dan

lainnya, sehingga tercapailah target pencapaian standar dalam memberikan

pelayanan gawat darurat sesuai level rumah sakit tersebut. IGD RSI Jemursari saat

ini jika diklasifikasikan berdasarkan Kepmenkes (2009) diatas menempati level

III, yaitu memberikan pelayanan yang meliputi diagnosis dan penanganan

permasalahan pada A,B,C dengan alat yang lebih lengkap termasuk ventilator,

penilaian disability, penggunaan obat, EKG, defibrilasi, observasi HCU atau

Resusitasi dan melakukan bedah cito. Kompetensi perawat yang sangat baik dapat

dijadikan standar demi tercapainya target diatas. Kompetensi yang sangat baik

yang dimiliki perawat IGD di RSI Jemursari Surabaya dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain umur, pendidikan, masa kerja dan pelatihan.

3. Hubungan upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat

Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 24

responden di IGD sebesar 7 responden belum upgrade pelatihan PPGD sebagian

besar (57,2%) memiliki kompetensi baik dalam Penanganan Penderita Gawat

Darurat di Ruang IGD RS Islam Jemursari Surabaya. Sebesar 17 responden sudah


50

upgrade PPGD sebagian besar (70,6%) memiliki kompetensi sangat baik dalam

Penanganan Penderita Gawat Darurat di IGD RS Islam Jemursari Surabaya.

Berdasarkan uji statistik Mann Whitney dengan menggunakan SPSS 16.0 for

windows didapat ρ = 0,012 < α = 0,05 maka H 0 ditolak artinya ada hubungan

antara upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat dalam penanganan

penderita gawat darurat di IGD RSI Jemursari Suarabaya tahun 2015.

Hasil penelitian diatas menjelaskan bahwa dengan pelatihan PPGD yang

dimiliki oleh seluruh perawat di IGD RSI Jemursari menunjukkan perawat

mempunyai kompetensi baik, hanya saja perawat yang melakukan upgrade

pelatihan PPGD mempunyai kompetensi yang sangat baik dalam menangani

pasien gawat darurat, sehingga upgrade pelatihan PPGD harus terus dilakukan

guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi perawat dalam

penanganan penderita gawat darurat. Berdasarkan instruksi presiden RI Nomer 15

tahun 1974 tentang beberapa pokok pelaksanaan pembinaan pendidikan dan

pelatihan, bahwa pelatihan adalah proses belajar mengajar untuk memperoleh dan

meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu

yang singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada

teori. Sesuai dengan pendapat Hollenback and Wright (2003) dalam Rahmika

(2009) yang menyatakan bahwa semakin banyak pelatihan yang diikuti karyawan

maka semakin meningkat pengetahuan dan keterampilannya sehingga baik pula

kompetensi karyawan tersebut. Pelatihan harus diikuti secara berkesinambungan

serta diikuti perkembangannya (upgrade).


51

Pelatihan PPGD sangatlah penting dimiliki oleh perawat masa kini

khususnya perawat di Instalasi Gawat Darurat, hal ini ditujukan agar penanganan

dan pelayanan terhadap pasien gawat darurat dapat berjalan dengan efektif. Sesuai

dengan tujuan pelatihan PPGD yang diungkapkan oleh BPPSDMK (2014) yang

menyatakan bahwa pelatihan PPGD bertujuan meningkatkan kompetensi

perawat/bidan khususnya di bidang kegawatdaruratan medis. PPGD merupakan

pelatihan yang menyediakan suatu metode yang dapat dipercaya dalam

penanganan kasus trauma dan keterampilan dalam memberikan bantuan hidup

dasar.

B. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini baru pertama kali dilakukan di IGD RSI Jemursari Surabaya,

sehingga masih terdapat kelemahan dalam penelitian ini.


2. Waktu yang terbatas menjadi hambatan bagi peneliti untuk menyusun

penetian ini.
3. Kurangnya kemampuan peneliti dalam menganalisa, mengadopsi literatur

atau kepustakaan sehingga kedalaman isi penelitian kurang sempurna.

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSI Jemursari Surabaya sebagian besar

melakukan Upgrade pelatihan PPGD.


52

2. Perawat di IGD RSI Jemursari Surabaya sebagian besar memiliki kompetensi

sangat baik dalam penanganan penderita gawat darurat.


3. Ada hubungan antara upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat

dalam penanganan penderita gawat darurat di IGD RSI Jemursari Surabaya

2015.

B. Saran
1. Bagi Responden

a. Diharapkan responden lebih aktif lagi

mengikuti pelatihan-pelatihan di bidang medis dan perawatan serta

melakukan upgrade khususnya dalam PPGD

b. Bagi yang telah melakukan upgrade

pelatihan PPGD diharapakan untuk dapat berbagi pengetahuan dan

keterampilan serta mendemonstrasikan hasil pelatihan yang diikuti dengan

perawat yang lainnya.

2. Bagi Tempat Penelitian

a. Bagi pihak rumah sakit59diharapkan dapat memfasilitasi untuk

pelaksanaan inhouse training atau sosialisasi oleh perawat yang telah

melakukan upgrade pelatihan PPGD atau pelatihan kegawatdaruratan yang

lainnya kepada seluruh perawat khususnya di IGD.

b. Sewaktu-waktu pihak rumah sakit perlu memberikan suatu tes baik

itu tertulis maupun wawancara mengenai PPGD(PPGD)

3. Bagi Peneliti lain


53

Memberikan masukan untuk mengembangkan penelitian yang berhubungan

dengan upgrade pelatihan PPGD dengan kompetensi perawat.

DAFTAR PUSTAKA

AGD 118 RSUD Dr. Sutomo. 2008. Buku Pelatihan PPGD Bagi Perawat-AHA
2005. Surabaya, tidak dipublikasikan

AGD 118 RSUD Dr. Sutomo. 2014. Buku Pelatihan PPGD Bagi Perawat -AHA
2010. Surabaya, tidak dipublikasikan

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta, Rineka Cipta

Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manumur Kesehatan


(BPPSDMK). 2014. www.bppsdmk.depkes.go.id/pustanserdik, diakses 28
Oktober 2014
54

Herry, 2012. Kemampuan Dasar Medis: Resusitasi Jantung Paru/Cardio


Pulmonary Resuscitation (CPR). Sumedang Selatan,
http://www.dokterbedahherryyudha.com.html, diakses 28 Oktober 2014

Hidayat, Alimul Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Tehnik Analisis Data.
Jakarta, Salemba Medika

Idhami, Desmita E1.2005. Psikologi Perkembangan. Bandung, PT.Remaja


Rosdakarya

Fitri, Rahmika. 2009. Gambaran Kompetensi Perawat ICU dan HCU serta
Hubungannya Dengan Pendidikan, Pelatihan dan Pengalaman di RSI.
Jakarta Cempaka.Skripsi. Depok. www.Gambaran-kompetensi-
pendahuluan.com, diakses 01 November 2014

Kepmenkes RI. (2009). Standarisasi IGD Rumah Sakit.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, PT


Rineka Cipta

Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika

Nursalam. 2013. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional Ed-3. Jakarta, Salemba Medika

Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.


Jakarta, Salemba Medika

Rekam Medik RSI Jemursari. 2014. Data Kunjungan Pasien Gawat Darurat.
Surabaya. Yayasan Rumah sakit Islam Jemursari Surabaya

61
Rekam Medik RS RKZ. 2014. Data Kunjungan Pasien Gawat Darurat. Surabaya,
www.rs-rkz-kunjungan-pasien-gadar.com, diakses 12 Oktober 2014

RSUD Dr. Soetomo. 2014. Pelatihan Penderita Gawat Darurat (PPGD) General
Emergency Lifes Upport (GELS). Surabaya, www.ppgd-soetomo.com,
diakses 28 Oktober 2014

Student Guide Series. 2007. Mengoptimalkan Kinerja PC-Konsep Upgrade.


Jakrta, Elex Media Komputindo

Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta, ECG
55

WHO. 2010. Angka kematian pasien akibat kegawatan. www.world-heath-


organization.com, diakses 23 Januari 2015

Anda mungkin juga menyukai